Evaluasi Profil Disolusi Tablet Lepas Lambat Teofilin yang Beredar di Masyarakat

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Nama : Herlina Pertiwi Program Studi : Farmasi

Judul : Evaluasi Profil Disolusi Tablet Lepas Lambat Teofilin yang Beredar di Masyarakat

Uji disolusi merupakan suatu alat yang sangat penting untuk menggambarkan kesamaan antara formulasi yang berbeda dari zat aktif. Beberapa produk berbeda dengan zat aktif yang sama dapat memberikan laju pelepasan yang berbeda sehingga dapat mebahayakan kesehatan pasien, khusunya untuk obat dengan indeks terapi yang sempit. Evaluasi profil penting dilakukan untuk memberikan gambaran mengenai lama waktu obat dilepaskan dari sediaan dan mengetahui kinetika pelepasan dari suatu produk. Dua nama dagang tablet lepas lambat teofilin yaitu obat A dan obat B di uji disolusi dengan metode uji disolusi tes 1 yang tercantum dalam United State of Pharmacopeia XXX (USP XXX) yaitu menggunakan 900 ml medium dapar HCl pH 1,2 untuk satu jam pertama dan dapar fosfat pH 6,0 untuk tujuh jam berikutnya, apparatus tipe 2 dengan kecepatan pengadukan 50 rpm selama 8 jam. Kadar teofilin yang terdisolusi diukur dengan spektrofotometer UV-vis. Hasil uji disolusi menunjukkan bahwa obat A dan obat B tidak memenuhi kriteria penerimaan persyaratan pelepasan metode disolusi tes satu yang tercantum dalam USP XXX. Persentase kumulatif teofilin yang terlepas dari obat A pada jam pertama melebihi rentang penerimaan persyaratan pelepasan, sedangkan persentase kumulatif teofilin yang terlepas dari obat B kurang dari rentang penerimaan syarat pelepasan pada jam ke-2, 4, 6, dan 8. Persentase kumulatif teofilin yang terlepas pada jam ke delapan dari obat A dan obat B berturut-turut adalah 86,30% dan 68,86%. Kinetika pelepasan obat A cenderung mengikuti kinetika model Higuchi, sedangkan obat B cenderung mengikuti kinetika orde nol. Mekanisme pelepasan obat A dan obat B terjadi secara difusi non-Fick. Analisa statistik data persentase kumulatif teofilin yang terlepas dari obat A dan obat B menunjukkan bahwa kedua obat tersebut berbeda secara bermakna. Berdasarkan profil disolusi, obat A memiliki profil disolusi yang lebih baik dibandingkan dengan obat B.


(7)

Name : Herlina Pertiwi Program Study : Pharmay

Title : Evaluation of Dissolution Profiles of Theophylline Sustained Release Tablets Available in The Market

Dissolution testing is a very important tool used to demonstrate the similarity between different formulations. The rate of release of the same active substance could differ between the products, so that it can endangered patient's health, especially for drugs with a narrow therapeutic range. Evaluation of dissolution profile can overview of how long the drug will be released from the dosage form and to know drug release kinetics from the products. Two brands of theophylline sustained release which are named drug A and drug B were tested for dissolution using dissolution test methods 1 that is listed in United State of Pharmacopeia XXX (USP XXX) using 900 ml medium buffer HCl pH 1.2 for first hour dan buffer fosfat pH 6.0 for the next seven hours, apparatus type 2 with speed of stirring 50 rpm during 8 hours. The content of theophillyne that has been dissolved was measured using UV-vis spectrophotometer. The results of dissolution test showed that drug A and drug B do not meets the range of acceptances of the requirements released dissolution test methods 1 that is listed in United State of Pharmacopeia XXX. The cumulative percentage released of theophylline drug A in first hour more than the range of acceptance of the requirements released, while drug B the cumulative percentage realesed of theophylline less than the range of acceptances at 2nd, 4th, 6th, and 8th hours. The cumulative percentage released of theophylline at the eighth hour of drug A and drug B respectively were 86.30%, and 68.86%. The release kinetics of drug A tend to follow the kinetics model of Higuchi, while drug B tend to follow the kinetic of zero-order. The release mechanism of drug A and drug B that occurred according non-Fick diffusion. Statistical analysis of the cumulative percentage release of theophyllnine showed that drug A was significantly different with drug B. Based on the dissolution profiles, drug A has a better dissolution profile compared to drug B.

Keyword: sustained release tablets of theophylline, dissolution test, UV-vis spectrophotometer


(8)

Alhamdulillah, Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan berbagai macam nikmat, karunia serta kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi dengan

judul “Evaluasi Profil Disolusi Tablet Lepas Lambat Teofilin yang Beredar di Masyarakat”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan program pendidikikan Strata 1 (S1) pada Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam proses perkuliahan hingga penelitian dan penyusunan skripsi ini, penulis menyadari adanya beberapa pihak yang memberikan kontribusi kepada penulis. Oleh karena itu, penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada :

1. Ibu Yuni Anggraeni, M.Farm., Apt. selaku pembimbing pertama dan Bapak Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt selaku pembimbing kedua, yang telah meluangkan waktu, pikiran dan tenaga serta memberikan ilmu terbaik yang dimiliki sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak Dr. Arief Sumantri, S.KM., M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Yardi, Ph.D., Apt selaku ketua Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Nelly Suryani, Ph.D., Apt selaku sekertaris Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Bapak dan Ibu staf pengajar yang telah memberikan ilmu pengetauan selama penulis menempuh pendidikan di Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.


(9)

membalas semua itu, dan saudara-saudaraku yang memberikan do’a dan

dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan penelitian ini.

7. Laboran Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Kak Rahmadi, Kak Eris, Kak Rani, Kak Lisna, dan Kak Tiwi yang dengan sabar membantu keseharian penulis di laboratorium selama penelitian.

8. Teman seperjuangan penelitian, Mufidah dan Wardah, atas kebersamaan, bantuan serta motivasinya sejak awal penelitian hingga akhir penyelesaian skripsi ini.

9. Temanku Mufidah, Monic, Asrul, Nanda,Vina, Lela, Titis, Puspita, Nuha,

Wina, Ni’mah, Mida, Nurul, dan Sutar yang telah menemaniku selama di perantauan dan di bangku perkuliahan, serta telah memberikan dukungan, motivasi, hiburan dan masukan kepada penulis selama pengerjaan skripsi dan selama masa perkuliahan.

10. Teman-teman Tableters, Kingdom, dan PBB yang telah berbagi semangat, motivasi, canda dan tawa selama melakukan penelitian.

11. Teman-teman Farmasi 2011, terima kasih atas persaudaraan dan kebersamaan kita dari awal masuk sampai akhir ini, semoga silahturahmi kita biasa tetap terjaga.

12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang turut memberikan bantuan dan dukungan dalam penyelesaian skripsi.

Penulis sadar bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kelemahan dan kekurangan, kritik dan saran pembaca diharapkan penulis untuk memperbaiki kemampuan penulis. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu.

Ciputat, 29 Juni 2015


(10)

(11)

Halaman

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... x

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian... 3

1.4. Manfaat Penelitian... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sediaan Lepas Lambat ... 4

2.1.1. Tujuan Sediaan Lepas lambat ... 5

2.1.2. Keuntungan dan Kerugian Sediaan lepas Lambat ... 6

2.1.3. Klasifikasi Sediaan Lepas Lambat ... 7

2.2. Disolusi ... 8

2.2.1. Definisi ... 8

2.2.2. Uji DisolusiIn vitro ... 9

2.2.3. Kriteria Hasil Disolusi Sediaan Lepas Lambat ... 12

2.2.4. Uji Disolusi Tablet Lepas Lambat Teofilin ... 13

2.3. Kinetika Pelepasan Obat Berdasarkan Persamaan Matematika ... 14

2.3.1. Kinetika Orde Nol ... 15

2.3.2. Kinetika Orde Satu ... 15

2.3.3. Model Higuchi ... 16

2.3.4. Model Korsmeyer-Peppas ... 16

2.4. Teofilin ... 18

2.4.1. Sifat Fisikokimia ... 18

2.4.2. Mekanisme Kerja ... 18

2.4.3. Farmakokinetik ... 19

2.4.4. Dosis dan Cara Pemberian ... 19

2.4.5. Efek samping ... 19

2.4.6. Stabilitas Penyimpanan ... 20

2.5. Spektrofotometri... 20


(12)

BAB 3 METODE PENELITIAN... 24

3.1. Tempat dan Waktu ... 24

3.2. Alat dan Bahan ... 24

3.3. Prosedur Kerja... 24

3.3.1. Pemilihan Sampel ... 24

3.3.2. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Teofilin... 25

3.3.3. Pembuatan Kurva Kalibrasi Teofilin... 25

3.3.4. Penetapan Kadar ... 25

3.3.5. Keseragaman Sediaan ... 26

3.3.6. Uji Disolusi Tablet Lepas Lambat Teofilin... 27

3.3.7. Analisa Kinetika Pelepasan Teofilin dari Tablet ... 28

3.3.8. Analisa Statistik ... 29

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30

4.1. Pemilihan Sampel ... 30

4.2. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Teofilin ... 30

4.3. Penentuan Kurva Kalibrasi Teofilin ... 31

4.4. Penetapan Kadar Teofilin dalam Tablet... 31

4.5. Keseragaman Sediaan Tablet Lepas Lambat Teofilin ... 32

4.5.1. Keragaman Bobot ... 33

4.5.2. Keseragaman Kandungan ... 33

4.6. Uji Disolusi Tablet Lepas Lambat Teofilin ... 34

4.7. Analisa Kinetika Pelepasan Tablet Lepas Lambat Teofilin ... 42

4.8. Analisa Statistik... 43

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 45

5.1. Kesimpulan ... 45

5.2. Saran... 45

DAFTAR PUSTAKA ... 47


(13)

Gambar Halaman 2.1. Profil kadar obat dalam darah terhadap waktu dari bentuk sediaan

lepas lambat yang ideal ... 4

2.2. Rumus Struktur Teofilin ... 18

4.1. Profil Disolusi Teofilin Obat A dan Obat B ... 36

4.2. Profil Disolusi Quibron-T/SR dan Theo SR 300 mg ... 41

4.3. Profil Farmakokinetik Konsentrasi Teofilin dalam Saliva dari Quibron-T/SR dan Theo SR 300mg ... 41


(14)

Tabel Halaman

2.1. Kondisi yang Dapat Mempengaruhi Pelarutan dan Pelepasan Obat ... 10

2.2. Penerimaan Hasil Uji Disolusi Sediaan Lepas Lambat... 13

2.3. Peralatan dan Kondisi Uji Disolusi Tablet Lepas Lambat Teofilin Pendosisan Tiap 12 jam Menurut USP 30 ... 14

2.4. Rentang Penerimaan Kadar Hasil Uji Disolusi Tablet Lepas Lambat Teofilin Pendosisan Tiap 12 jam Menurut USP 30... 14

2.5. Rumus Perhitungan Kinetika Obat... 15

2.6. Hubungan Eksponen Pelepasan (n) dengan Mekanisme Pelepasan... 17

2.7. Syarat Obat Terlarut Sediaan Lepas Terkendali... 17

4.1. Persamaan Regresi Linear Kurva Kalibrasi Teofilin ... 31

4.2. Kadar Teofilin dari Obat A dan Obat B ... 32

4.3. Keragaman Bobot Obat A ... 33

4.4. Keseragaman Kandungan Obat B ... 34

4.5. Hasil Analisis Kesesuaian Pelepasan Teofilin dari Obat A dengan Persyaratan USP XXX ... 38

4.6. Hasil Analisis Kesesuaian Pelepasan Teofilin dari Obat A dengan Persyaratan USP XXX ... 38


(15)

Lampiran Halaman

1. Bagan Alur Penelitian ... 52

2. Sertifikat Analisis Standar Teofilin ... 53

3. Alat Disolusi... 54

4. Prosedur Pembuatan Larutan NaOH 0,1 N, Dapar HCl pH 1,2, dan Dapar Fosfat pH 6,0 ... 54

5. Panjang Gelombang Maksimum Teofilin ... 55

6. Kurva Kalibrasi Teofilin ... 56

7. Data Kurva Kalibrasi Teofilin ... 57

8. Data Penetapan Kadar Teofilin Obat A dan Obat B ... 58

9. Keragaman Bobot Obat A ... 59

10. Keseragaman kandungan Obat B ... 60

11. Kurva Kinetika Pelepasan Teofilin ... 62

12. Data Hasil Analisa Kinetika Pelepasan Teofilin dari Obat A dan Obat B ... 64

13. Data Persentase Kumulatif Teofilin yang Terlepas dari Hasil Uji Disolusi Obat A ... 65

14. Data Persentase Kumulatif Teofilin yang Terlepas dari Hasil Uji Disolusi Obat B ... 66


(16)

1.1. Latar Belakang

Sediaan padat yang merupakan sediaan konvensional seperti tablet, kapsul dan granul dirancang untuk melepaskan zat aktif dengan segera sehingga diabsorbsi masuk kedalam sirkulasi sistemik dengan cepat dan sempurna (Nixon, 1984; Shargel dan Andrew, 1988; Voight, 1994), namun pada beberapa tahun terakhir telah dikembangkan bentuk sediaan baru dengan memodifikasi laju pelepasan obat secara terkendali. Salah satu produk pelepasan termodifikasi adalah sediaan lepas lambat (Sustained release). Bentuk sediaan lepas lambat yang ideal hendaknya melepaskan suatu dosis terapeutik awal (dosis awal) yang diikuti oleh suatu pelepasan obat yang lambat dan konstan (dosis penjagaan). Dosis muatan diberikan untuk mendapatkan kadar aman maksimal sehingga memberikan efek terapi yang cepat dan kemudian diikuti dengan pelepasan obat secara konstan sampai akhirnya obat tersebut dieksresikan, sehingga konsentrasi obat dalam plasma yang konstan dapat dipertahankan dengan fluktuasi yang minimal (Shargel, Wu-Pong & Yu, 2005).

Fokus utama dari formulasi sediaan lepas lambat adalah pengendalian laju pelepasan obat dari suatu produk (Wolny, Gruchlik, Codurek, Szara, et al., 2012), karena pengontrolan pelepasan obat dari produk yang tidak tepat dapat mengakibatkan berkurangnya efikasi atau dapat meningkatkan toksisitas (Mei, et al., 2010) dan beberapa produk berbeda dengan zat aktif yang sama dapat memberikan laju pelepasan yang berbeda sehingga dapat membahayakan kesehatan pasien, khusunya untuk obat dengan indeks terapi yang sempit. Selain itu, suatu sediaan lepas lambat juga memiliki risiko terjadinya kegagalan sistem yang menyebabkan terjadinya dose dumping (Wolny, Gruchlik, Codurek, Szara, et al., 2012).

Uji disolusi in vitro merupakan uji yang digunakan untuk mengetahui profil pelepasan obat yang dapat menggambarkan profil farmakokinetika obat di dalam tubuh (Lachman, 1994), di mana laju pelepasan obat dalam cairan saluran


(17)

cerna merupakan salah satu tahapan penentu (rate limiting step) absorpsi sistemik obat (Sutriyo, dkk., 2005). Dalam bidang farmasi, uji disolusi sangat penting dan bermanfaat untuk mengkarakterisasi kinerja suatu produk obat, misalnya untuk menggambarkan kesamaan antara formulasi yang berbeda dari zat aktif dan produk obat referensi. Selain itu, terdapat korelasi antara uji in vitro dan in vivo sehingga disolusi dapat digunakan sebagai uji untuk menggambarkan bioavaibilitas obat pada manusia dan untuk menentukan bioekivalensi produk berbeda dengan zat aktif yang sama pada suatu sediaan (Wolny, Gruchlik, Codurek, Szara, et al., 2012).

Profil pelepasan merupakan salah satu bagian yang penting untuk menilai keberhasilan suatu formulasi sediaan, terutama untuk formulasi sediaan lepas lambat, di mana pengontrolan laju pelepasan obat merupakan fokus utamanya, sehingga dengan adanya informasi profil pelepasan obat dapat diketahui kinetika laju pelepasan obat dan berapa lama waktu yang dibutuhkan obat untuk lepas dari sediannya. Namun selama ini masih jarang sekali produsen obat yang memberikan informasi mengenai profil disolusi dalam lembar informasi obat maupun dalam media lainnya.

Salah satu obat yang banyak dikembangkan dalam bentuk sediaan lepas lambat dan tersedia di pasaran adalah teofilin. Teofilin (golongan metilxantin) merupakan terapi lini pertama dalam terapi asma yang berkhasiat dalam terapi asma bronkial kronik dan reaksi bronkospasme (Riahi S &Mousavi MF, 2005; Elis EF, 2004). Sediaan teofilin lepas lambat diindikasikan untuk penderita asma kronik karena gejala asma ini dapat muncul setiap hari. Saluran pernafasan para penderita asama kronik sangat hiperaktif sehingga memerlukan stabilisasi sepanjang waktu. Dengan pemberian sediaan teofilin lepas lambat diharapkan kadar teofilin dalam dalam darah tetap terjaga sepanjang waktu (Krowczynski, 1987). Teofilin merupakan obat dengan indeks terapi yang sempit, yaitu pada kadar plasma 10-20 μ g/ml, sementara pada kadar teofilin lebih dari 20 μ g/ml dapat menimbulkan efek toksik dan fluktuasi konsentrasi plasma teofilin yang dapat menyebabkan variasi respon klinis pada pasien (Boswell-Smith, Cazzola, Page, 2006; Siepmann-Peppas, 2001; Parvesz et al., 2004). Hal tersebut menandakan bahwa konsentrasi plasma obat akan berpengaruh terhadap


(18)

efektifitas terapi dan toksisitas, di mana profil pelepasan obat mempengaruhi absorpsi obat serta pencapaian obat ke sirkulasi sistemik sehingga dapat mempengaruhi konsentrasi plasma obat.

Berdasarkan uraian diatas, evaluasi profil disolusi penting dilakukan untuk memberikan informasi mengenai profil disolusi tablet lepas lambat teofilin yang beredar di masyarakat baik kepada instansi terkait dan tenaga kesehatan maupun masyarakat. Dalam hal ini, evaluasi profil disolusi dilakukan terhadap dua nama dagang tablet lepas lambat teofilin yang beredar di masyarakat, yaitu obat A dengan kandungan 300 mg teofilin dan obat B dengan kandungan 250 mg teofilin untuk mengetahui apakah kedua produk tersebut memiliki profil disolusi yang sama dan memenuhi syarat pelepasan tablet lepas lambat teofilin menurut USP XXX, yaitu berdasarkan metode uji disolusi tes satu.

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana profil disolusi tablet lepas lambat teofilin yang beredar di masyarakat?

2. Bagaimana kinetika dan mekanisme pelepasan tablet lepas lambat teofilin yang beredar di masyarakat?

3. Tablet lepas lambat teofilin manakah yang memiliki profil disolusi yang lebih baik?

3.1. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dan membandingkan profil disolusi tablet lepas lambat teofilin yang beredar di masyarakat dengan menggunakan metode yang ditetapkan USP XXX tahun 2007, yaitu berdasarkan metode uji disolusi tes satu.

3.2. Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai profil disolusi sediaan lepas lambat teofilin yang beredar di mayarakat dan memberikan masukan kepada instansi terkait dan masyarakat mengenai mutu sediaan lepas lambat teofilin yang beredar di masyarakat.


(19)

(20)

Karakteristik obat yang dapat diproduksi sebagai sediaan pelepasan dimodifikasi adalah sebagai berikut (Lee et al., 1987):

1. Tidak memiliki absorpsi dan ekskresi yang sangat lambat atau sangat cepat, dan tidak memiliki waktu paruh terlalu cepat (kurang dari dua jam)

2. Dapat diabsorbsi dengan baik pada jalur gastrointestinal, memiliki kelarutan yang baik, tidak boleh terlalu larut atau terlalu tidak larut

3. Memiliki dosis terapi yang relatif kecil atau harus lebih kecil dari 0,5 gram 4. Memiliki indeks terapeutik yang lebar antara dosis efektif dan dosis toksik,

sehingga obat dapat dikategorikan aman

5. Tidak menimbulkan dose dumping, yaitu lepasnya sejumlah besar obat dalam sediaan secara serentak

6. Digunakan lebih baik untuk pengobatan penyakit kronik daripada penyakit akut.

2.1.1. Tujuan Sediaan Lepas Lambat

Tujuan dari sediaan lepas lambat antara lain (Krowcynsk, 1987; Remington, 2006):

1. Untuk mengurangi frekuensi pemberian dosis dalam satu hari sehingga meningkatkan kepatuhan pasien.

2. Peda pemberian obat secara parenteral, maka dapat mengurangi frekuensi injeksi yang seringkali menyakitkan dan dapat menyebabkan injeksi.

3. Untuk mempertahankan kadar terapi obat untuk jangka waktu yang lebih lama.

4. Mencegah fluktuasi obat di dalam darah

5. Untuk mengurangi efek samping yang tidak diinginkan akibat konsentrasi obat yang terlalu tinggi di dalam darah.

6. Pada sediaan oral, dapat mengurangi iritasi mukosa yang terjadi karena konsentrasi obat yang tinggi di dalam saluranan pencernaan.

Namun, tujuan pembuatan bentuk sediaan lepas lambat pada umumnya adalah mempertahankan konsentrasi zat aktif dalam darah atau jaringan untuk periode waktu yang diperpanjang. Hal tersebut dapat dicapai dengan mencoba memperoleh bentuk sediaan dengan kinetika orde nol. Kinetika pelepasan orde nol


(21)

menunjukkan pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan tidak bergantung pada jumlah zat aktif dalam sistem pemberian, atau dapat dikatakan kecepatan pelepasaannya konstan. Sistem lepas lambat pada umumnya tidak menunjukkan tipe pelepasan ini, tetapi biasanya meniru kinetika pelepasan orde nol dengan menyediakan zat aktif dengan pelepasan orde satu yang lambat, yaitu bergantung pada konsentrasi (Banker dan Rhodes, 1990).

2.1.2. Keuntungan dan Kerugian Sediaan Lepas Lambat

Kelebihan atau manfaat sediaan lepas lambat antara lain (Shargel, Wu-Pong & Yu, 2004; Robinson and Lee, 1987):

1. Memberikan konsentrasi dan menghasilkan respon klinis yang diperpanjang dan konstan pada pasien. Hal tersebut dapat memperbaiki efisiensi pengobatan, yakni optimasi terapi.

2. Memperbesar jarak waktu pemberian yang diperlukan, sehingga dapat mengurangi jumlah total dosis yang diperlukan per hari dan mengurangi jumlah total dosis yang diperlukan per hari dan menghindari pemberian obat pada malam hari. Hal tersebut dapat meningkatkan kepatuhan pasien

3. Mengurangi fluktuasi konsentrasi obat dalam darah.

4. Mengurangi iritasi saluran cerna dan efek samping lain yang berkaitan dengan dosis.

5. Memberikan keuntungan ekonomis bagi pasien.

Selain itu, bentuk sediaan lepas lambat juga memiliki kekurangan, diantaranya (Shargel, Wu-Pong & Yu, 2004; Aulton, 1990):

1. Harga per unit yang pada umumnya lebih mahal daripada bentuk sediaan konvensional dengan bahan aktif yang sama.

2. Memperlihatkan abosorbsi obat yang berubah-ubah karena berbagai interaksi obat dengan kandungan saluran cerna dan mengubah motilitas saluran cerna. 3. Jika terjadi reaksi obat yang merugikan (adverse drug reaction) atau


(22)

4. Hanya didesain untuk populasi normal, sehingga keadaan penyakit yang mengubah disposisi obat (ekskresi dan metabolisme) serta variasi pasien yang signifikan tidak diperhitungkan.

5. Tidak semua jenis zat aktif dapat diformulasi ke dalam bentuk sediaan lepas lambat.

2.1.3. Klasifikasi Sediaan Lepas Lambat

Berdasarkan mekanisme pelepasan zat aktif, maka sediaan lepas lambat dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Sulistiawati, 2006).

1. Sistem pelepasan dengan difusi terkendali

Pada sistem ini kecepatan pelepasan obat melalui membran penghalang inert. Ada dua tipe yang dikenal yaitu sistem depot (reservoir) dan sistem matriks. Sistem depot terdiri dari suatu inti obat dan suatu depot yang dikelilingi oleh membran polimer. Sedangkan sistem matriks terdiri dari obat yang terdispersi homogen dalam matriks. Ada dua jenis matriks yaitu matriks lipofilik (tidak mengembang) dan matriks hidrofilik (mengembang).

2. Sistem pelepasan dengan disolusi terkendali

Sistem ini bekerja dengan mengendalikan laju pelarutan obat. Umumnya hal tersebut dicapai dengan mengurangi laju pelarutan melalui pembentukan garam atau turunannya, menyalut obat dengan bahan yang lambat larut atau memuat bentuk sediaan dengan bahan yang lambat melarut.

3. Sistem pelepasan dengan erosi matriks (bioerodibel) dan kombinasi difusi dan erosi

4. Sistem pelepasan berdasarkan respon terhadap rangsang

5. Sistem ini dibagi menjadi dua. Pertama, sistem pelepasan terkendali berdasarkan respon terhadap rangsang dari luar. Pada sistem ini laju pelepasan obat dikendalikan oleh pengaruh lingkungan, seperti tekanan osmotik, tekanan uap, gaya mekanik, sifat magnetik, perbedaan medan listrik, pH, ion, enzim, proses hidrasi dan hidrolisis. Kedua, sistem pelepasan terkendali dengan mekanisme umpan balik. Pada sistem ini pelepasan obat diatur oleh konsentrasi zat-zat biologis tertentu dalam tubuh melalui


(23)

mekanisme umpan balik. Contoh: pengendalian pelepasan insulin oleh kadar glukosa darah.

2.2. Disolusi 2.2.1. Definisi

Disolusi merupakan proses dimana sutu bahan kimia atau obat menjadi terlarut dalam suatu pelarut. Dalam sistem biologis, disolusi obat di dalam medium cair merupakan kondisi yang mempengaruhi absorbsi sistemik. Laju disolusi obat-obat dengan kelarutan dalam air yang sangat kecil akan mempengaruhi laju absorbsi sistemik obat (Shargel, Wu-Pong & Yu, 2005).

Noyes dan Whitney menyatakan bahwa tahap disolusi meliputi proses pelarutan obat pada permukaan partikel padat, yang membentuk larutan jenuh di sekeliling partikel. Obat yang terlarut dalam larutan jenuh, yang disebut stagnant layer, berdifusi ke pelarut dari daerah dengan konsentrasi obat tinggi ke daerah dengan konsentrasi rendah. Keseluruhan laju disdolusi dapat digambarkan oleh Persamaan Noyes-Whitney (Shargel, Wu-Pong & Yu, 2005):

dM/dt = (D S / h) ( Cs-Cb)... (2.1.)

Keterangan: dM/dt = laju pelarutan obat pada waktut

M = jumlah masa terlarut (mg atau mmol) terhadaptwaktu (detik)

D = koefisien laju difusi (cm2/s)

S =luas permukaan partikel (cm2)

h = ketebalan dari lapisan film cair (stagnant layer) yang terbentuk

Cs =konsentrasi obat (sama dengan kelarutan obat) dalamstagnant layer

Cb =konsentrasi obat dalam bagian terbesar pelarut

Dalam banyak uji disolusi kosentrasi pada bulk medium selalu jauh lebih kecil dibandingkan dengan larutan jenuh (Cs>>Cb). Kondisi ini disebut kondisi hilang atau sink condition (Mansoor & Beverly, 2003), sehingga Cb bisa dihilangkan dari persamaan 2.1., sehingga persamaan Noyes-Whitney menjadi sama dengan persamaan hukum difusi Fick pertama.


(24)

Persamaan Noyes-Whitney memperlihatkan bahwa pelarutan dalam labu dapat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia obat, formulasi, dan pelarut. Obat dalam tubuh, terutama dalam saluran cerna dianggap melarut dalam suatu lingkungan

“aqueous”. Penetrasi obat melintasi dinding usus dipengaruhi oleh kemampuan

obat berdifusi (D) dan partisi antar membran lipid. Suatu koefisien partisi yang mendukung (Kminyak/air) akan memudahkan absorpsi obat. Faktor-faktor yang

mempengaruhi disolusi obat dari suatu bentuk sediaan oral padat meliputi (1) sifat fisika dan kimia bahan obat aktif, (2) sifat bahan tambahan, dan (3) metode fabrikasi (Shargel, Wu-Pong & Yu, 2005).

2.2.2. Uji DisolusiIn vitro

Uji disolusi merupakan suatu prosedur kendali kualitas yang penting untuk produk obat dan sering dikaitkan dengan tampilan produk in vitro. Uji disolusi dan pelepasan obat merupakan uji in vitro yang mengukur kecepatan dan tingkat disolusi atau pelepasan komponen obat dari sediaan, biasanya pada medium cair di bawah kondisi spesifik (Shargel, Wu-Pong & Yu, 2005).

Uji disolusi secara in vitro dapat digunakan untuk meramalkan ketersediaan hayati dan dapat digunakan untuk membedakan perumusan faktor-faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas obat dan sering digunakan untuk pemantauan stabilitas produk obat dan pengendalian kualitas proses fabrikasisuatu produk obat (Shargel, Wu-Pong & Yu, 2005).

USP-NF (United States Pharmacopeia) mengatur standar untuk uji disolusi dan pelepasan obat dari sebagian besar produk obat dari sebagian besar produk obat. Idealnya, metode disolusiin vitroyang digunakan untuk suatu produk obat tertentu berkorelasi dengan bioavabilitas obat in vivo. Selain itu, metode disolusi hendaknya mampu membedakan perubahan dalam formulasi produk obat, di mana uji disolusi dan pelepasan obat menjadi komponen yang penting dalam pengendalian kualitas dalam proses fabrikasi suatu produk obat yang digunakan untuk (Shargel, Wu-Pong & Yu, 2005):

1. Keseragaman pelepasan obat daribatchkebatch 2. Stabilitas


(25)

3. Scale up dan perubahan setelah persetujuan (SUPAC-scale up and postapproval changes)

4. Prediksi tampilanin vivo

Uji disolusi merupakan suatu alat yang penting dalam pengembangan formulasi, karena suatu metode disolusi yang sesuai dapat mengungkap suatu masalah formulasi pada suatu produk obat yang dapat mengakibatkan permasalahan bioavabilitas. Setiap metode disolusi spesifik untuk produk obat dan formulasinya, sehingga uji disolusi hendaknya mampu membedakan antara formulasi obat yang dapat diterima dan tidak dapat diterima sebagaimana teramati oleh perbedaan laju disolusi obat di bawah kondisi percobaan yang sama dan mampu menggambarkan perubahan formulasi, proses fabrikasi, dan karakteistik fisika dan kimia obat, seperti ukuran partikel, polimorf dan luas pemukaan.

Pengembangan uji disolusi yang tepat mengharuskan peneliti untuk mencoba laju pengadukan yang berbeda, media yang berbeda (mencakup volume dan pH media), dan macam alat pelarutan yang berbeda (Tabel 2.1.). USP-NF terkini mencantumkan alat disolusi resmi. Setelahhasil uji disolusi yang diperoleh, kriteria disolusi yang dapat diterima dikembangkan untuk produk obat dan formulasinya. Kriteria atau spesifikasi ini digunakan untuk menyelidiki masalah formulasi (Shargel, Wu-Pong & Yu, 2005).

Tabel 2.1. Kondisi yang Dapat Mempengaruhi Pelarutan dan Pelepasan Obat

Bahan obat

- Ukuran partikel - Polimorf

- Luas permukaan

- Stabilitas kimia dalam media pelarutan Media

- Volume - pH

- Molaritas

- Ko-solven, enzim/surfaktan yang ditambahkan

Suhu media Peralatan

Formulasi produk obat

- Bahan tambahan (lubrikan, bahan pensuspensi, dll)

Hidrodinamika - Laju pengadukan - Bentuk wadah pelarutan

- Penempatan tablet dalam wadah

“Sinker” (untuk produk obat “floating” dan

produk yang menempel pada sisi wadah) [Sumber: Shargel, Wu-Pong & Yu, 2005]


(26)

Ukuran dan bentuk wadah dapat mempengaruhi laju dan tingkat pelarutan. Sebagai contoh, wadah dapat mempunyai rentang ukuran dari beberapa mililiter sampai beberapa liter. Bentuk wadah dapat mempunyai alas bulat atau datar, sehingga dalam percobaan yang berbeda, tablet dapat berada dalam posisi yang berbeda. Volume media yang lazim 500-1000 ml. Obat-obat dengan kelarutan dalam air yang kecil memerlukan penggunaan wadah yang berkapasitas sangat besar (sampai 2000 ml) untuk mengamati pelarutan/disolusi yang bermakna. Pada beberapa kasus, 1% natrium lauril sulfat (SLS) dapat digunakan sebagai media disoluai untuk obat yang tidak larut air. Kondisi sinkadalah suatu istilah yang merujuk pada suatu volume media yang berlebih yang memungkinkan obat padat untuk melarut secara terus-menerus. Jika larutan obat menjadi jenuh, pelarutan obat lebih lanjut tidak akan terjadi. Menurut USP-NF, jumlah media yang digunakan hendaknya tidak lebih dari tiga kali dari yang diperlukan untuk membentuk larutan jenuh dari bahan obat (Shargel, Wu-Pong & Yu, 2005).

Jumlah pengadukan dan sifat pengaduk mempengaruhi hidrodinamika sistem, sehingga mempengaruhi laju disolusi. Kecepatan pengadukan harus dikendalikan dan produk obat memiliki spesifikasi berbeda. Laju pengadukan rendah (50-75 rpm) lebih membedakan faktor formulasi yang mempengaruhi pelarutan dibanding laju pengadukan yang lebih tinggi. Akan tetapi, laju pengadukan yang lebih tinggi diperlukan untuk beberapa formulasi khusus untuk memperoleh laju pelarutan reprodusibel. Suspensi yang mengandung bahan kental atau pengental dapat mengendap dalam suatu daerah cone shape difusi terkendali dalam labu bila laju pengadukan terlalu lambat. Suhu media pelarutan harus dikendalikan, dan perbedaan suhu harus dihindarkan. Sebagian besar uji disolusi dilakukan pada 37oC. Namun, untuk produk transdermal, suhu yang direkomendasikan adalah 32oC (Shargel, Wu-Pong & Yu, 2005).

Sifat media disolusi juga akan mempengaruhi uji disolusi. Kelarutan maupun jumlah obat dalam sediaan harus dipertimbangkan. Media pelarutan hendaknya tidak jenuh dengan obat. Dalam uji seperti itu biasanya digunakan suatu volume media yang lebih besar daripada jumlah pelarut yang diperlukan untuk melarutkan obat secara sempurna. Media mana yang terbaik merupakan suatu persoalan yang diperdebatkan. Media disolusi dalam beberapa uji pelarutan


(27)

USP adalah air yang mengalami deaerasi atau jika didukung oleh karakteristik kelarutan obat atau formulasi (pH 4-8) atau HCl encer. Kemaknaan dari deaerasi media harus ditetapkan. Beberapa peneliti telah menggunakan HCl 0,1 N, dapar fosfat, cairan lambung tiruan, air dan cairan usus tiruan tergantung pada sifat produk obat dan lokasi dalam saluran cerna di mana diperkirakan obat akan melarut (Shargel, Wu-Pong & Yu, 2005).

Rancangan alat disolusi, bersama faktor-faktor yang digambarkan di atas, mempunyai pengaruh pada hasil uji disolusi. Tidak satu pun alat uji yang dapat digunakan untuk seluruh produk obat. Tiap produk obat harus diuji secara individual dengan uji disolusi yang memberikan korelasi yang paling baik dengan biavabilitasin vivo(Shargel, Wu-Pong & Yu, 2005).

Biasanya, laporan uji disolusi akan menyatakan suatu persentase tertentu dari jumlah obat yang tertera dalam label produk obat yang harus melarut dalam suatu selang waktu tertentu. Dalam praktik, jumlah absolut obat dalam produk obat dari tablet yang satu dengan yang lain dapat bervariasi. Oleh karena itu, untuk mendapatkan suatu laju pelarutan yang mewakili produk biasanya diuji sejumlah tablet dari tiap lot (Shargel, Wu-Pong & Yu, 2005).

2.2.3. Kriteria Penerimaan Hasil Uji Disolusi

Kecuali dinyatakan lain dalam masing-masing monografi, persyaratan dipenuhi jika jumlah zat aktif terlarut dari unit yang diuji memenuhi Tabel penerimaan. Pengujian dilanjutkan hingga tiga tahap kecuali jika hasil sudah memenuhi pada tingkat L1 atau L2. Batas jumlah zat aktif terlarut dinyatakan

dalam batasan persentase terhadap jumlah yang tertera pada etiket. Batas meliputi tiap harga Q1, jumlah zat aktif terlarut pada tiap interval penetapan fraksi terlarut

yang ditetapkan (Ditjem POM, 1995 & The United State Pharmacopeia Convention, 2014).


(28)

Tabel 2.2. Penerimaan Hasil Uji Disolusi Sediaan Lepas Lambat

Tingkat Pengujian

Jumlah

yang Diuji Kriteria

L1 6

Tidak satu nilaipun yang terletak di luar rentang penerimaan yang dinyatakan dan tidak satupun nilai yang kurang dari jumlah yang dinyatakan pada waktu penetapan akhir.

L2 6

Nilai rata-rata dari 12 unit sediaan (L1+ L2) terletak dalam tiap rentang penerimaan yang dinyatakan dan tidak kurang dari jumlah yang dinyatakan pada waktu pengujian akhir; tidak satupun yang lebih 10% dari jumlah yang tertera pada etiket di luar tiap rentang penerimaan yang dinyatakan; dan tidak ada satupun yang lebih 10% dari jumlah yang tertera pada etiket di bawah jumlah yang dinyatakan pada waktu pengujian akhir.

L3 12

Nilai rata-rata dari 24 unit sediaan (L1+ L2+ L3) terletak dalam tiap rentang penerimaan yang dinyatakan dan tidak kurang dari jumlah yang dinyatakan pada waktu pengujian akhir; tidak lebih dari 2 dari 24 unit sediaan yang diuji lebih dari 10% dari jumlah yang tertera pada etiket di bawah jumlah yang dinyatakan pada waktu pengujian akhir; dan tidak satupun dari seluruh unit yang diuji lebih dari 20% dari jumlah yang tertera pada etiket di luar tiap rentang yang dinyatakan atau lebih dari 20% dari jumlah yang tertera pada etiket di bawah jumlah yang dinyatakan pada pengujian akhir.

[Sumber: Ditjem POM, 1995& The United State Pharmacopeia Convention, 2014]

2.2.4. Uji Disolusi Sediaan Lepas Lambat Teofilin

USP 30 (2007) telah mengatur peralatan, kondisi dan penerimaan uji disolusi tablet lepas lambat teofilin untuk pendosisan tiap 12 jam dan 24 jam. Tercatat sebanyak 10 metode uji disolusi tablet lepas lambat teofilin yang ditetapkan USP 30 untuk memenuhi salah satu persyaratan izin edar sebagaimana yang ditetapkan oleh FDA. Untuk peralatan, kondisi dan penerimaan uji disolusi tablet lepas lambat teofilin dengan pendosisan tiap 12 jam lebih rinci dijelaskan dalam Tabel 2.3. dan 2.4.


(29)

Tabel 2.3. Peralatan dan Kondisi Uji Disolusi Tablet Lepas Lambat Teofilin Pendosisan Tiap 12 Jam menurut USP 30

Tes Medium pH

medium Volume medium (ml) Suhu medium

(oC)

Apparatus Kecepatan pengadukan (rpm) Detector UV (nm) 1 HCl (jam ke-1)

Fosfat (jam ke 2-8)

1,2

6,0 900 37±0,5 2 50 271

2 Fosfat 4,5 900 37±0,5 2 75 271

3 HCl (jam ke-1) Fofat (jam ke 2-8)

1,2

7,5 900 37±0,5 2 50 271

4 Fosfat ( 3,5 jam) Fosfat (jam ke 3,6-5)

3,0

7,4 900 37±0,5 2 50 271

5 Fosfat ( 3,5 jam) Fosfat (jam ke 3,6-10)

3,0

7,4 900 37±0,5 2 50 271

7 Fosfat + octocynol 9 4,5 900 37±0,5 2 50 271

8 Fosfat 7,5 900 37±0,5 1 100 271

9 HCl 0,1 N (jam ke-1)

Fosfat (jam ke 2-6) 7,5 900 37±0,5 1 50 271

10 HCl (jam ke-1) Fofat (jam ke 2-8)

1,2

7,5 900 37±0,5 2 50 271

Tabel 2.4. Rentang penerimaan kadar hasil uji disolusi tablet lepas lambat teofilin pendosisan tiap 12 jam menurut USP 30

Waktu (jam)

Tes

1 2 3 4 5 7 8 9 10

1 3-15 10-30 1-17 13-38 10-30 10-40 3-30 5-15 6-27

2 20-40 30-55 30-60 25-50 35-70 15-50 25-45 25-50

3 50-90 50-65

3,5 37-65 30-60 60-90 45-80 65-85

4 50-75 55-80 ≥ 65 ≥ 70

5 85-115 50-80

6 65-100 ≥ 70 ≥85

7 ≥ 80 ≥ 65

8 ≥ 80 ≥ 80 ≥ 85 ≥ 85 ≥ 80

9

10 ≥ 80

Keterangan: penerimaan kadar dalam satuan persen (%)

2.3. Kinetika Pelepasan Obat

Kinetika pelepasan zat aktif dari suatu sediaan yang pelepasannya dimodifikasi dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan Higuchi, orde nol, orde satu, dan Korsmeyer-Peppas (Koester, Ortega, Mayorga, dan Bassani, 2004).


(30)

Rangkuman rumus keempat model matematika ditunjukkan pada tabel 2.5 berikut.

Tabel 2.5. Rumus Perhitungan Kinetika Obat

Persamaan y = a + bx

Orde nol Mt/Mo= k0.t

Orde satu Log (100- Mt/Mo) = log 100–k1.t/2,303 Higuchi Mt/Mo= kH.t1/2

Korsmeyer-Peppas ln Mt/Mo= log k + n log t

[Sumber: Wicaksono, Hendradi & Radjaram, 2005; Siepmann & Peppas, 2001; Dashet al., 2010]

Keterangan: Mt = jumlah obat terlarut pada waktu tertentu (%)

Mo = jumlah obat mula-mula dalam larutan, biasanyaM0=0 (%)

Mt/Mo = Jumlah obat yang dilepaskan pada waktu t (%)

k0, k1, kH, k = konstanta pelepasan obat

t = waktu (menit)

n = eksponen difusi obat

2.3.1. Kinetika Pelepasan Orde Nol

Disolusi obat dari bentuk sediaan lepas lambat idealnya mengikuti kinetika orde nol yaitu pelepasan obatnya konstan dari awal sampai akhir (Dashet al., 2010). Pelepasan obat yang mengikuti kinetika orde nol terjadi melalui mekanisme erosi. Kinetika ini menggambarkan suatu sistem dimana kecepatan pelepasan zat aktif yang konstan dari waktu ke waktu tanpa dipengaruhi oleh konsentrasi zat aktif. Persamaan orde nol diperoleh dari plot persen obat terdisolusi sebagai fungsi waktu (Wicaksono, Hendradi & Radjaram, 2005; Koester, Ortega, Mayorga, dan Bassani, 2004).

Kinetika pelepasan orde nol terjadi pada sediaan yang tidak mengalami disintegrasi seperti sistem penghantaran transdermal, implan, serta sistem penghantaran lepas terkontrol secara oral (Sinko, 2006).

2.3.2. Kinetika Pelepasan Orde Satu

Pelepasan obat yang mengikuti kinetika orde satu terjadi secara difusi. Persamaan orde satu diperoleh dari plot log persen sisaobatsebagai fungsi waktu(Wicaksono, Hendradi & Radjaram, 2005). Kinetika ini menggambarkan


(31)

sistem dimana pelepasan zat aktif bergantung pada konsentrasi di dalamnya (Koester, Ortega, Mayorga, dan Bassani, 2004).

Profil kinetika orde satu ini misalnya dapat dijumpai pada bentuk sediaan farmasetik yang berisi obat larut air dalam matriks berpori (Mulye dan Turco, 1995), dimana obat yang terlepas sebanding dengan jumlah obat mula-mula dalam sediaan (Mouzam et al., 2011).

2.3.3. Kinetika Model Higuchi

Higuchi mendeskripsikan pelepasan obat yang terdispersi dalam matriks tidak larut air sebagai proses difusi. Pelepasan obat yang mengikuti mekanisme difusi terdapat hubungan linear antara jumlah obat yang dilepaskan terhadap akar waktu, yang berarti bahwa pelepasan zat aktif dipengaruhi oleh waktu, sehingga semakin lamazat aktif akan dilepaskan dengan kecepatan rendah yang disebabkan oleh jarak difusi zat aktif semakin panjang (Siepmann & Peppas, 2001; Banakar, 1992). Jika plot akar waktu terhadap jumlah kumulatif obat terdisolusi menghasilkan garis lurus danslopenya(KH)1 atau lebih dari 1, pelepasan obat dan

bentuk sediaan khusus diasurnsikan mengikuti kinetika Higuchi (Mouzam et al., 2011).

2.3.4. Kinetika Model Korsmeyer-Peppas

Korsmeyer menurunkan hubungan sederhana yang mendeskripsikan pelepasan obat dari sistem polimer. Dalam menemukan mekanisme pelepasan obat, data pelepasan obat 60% yang pertama dimasukkan dalam persamaan Korsmeyer-Peppas. Persamaan Korsmeyer-Peppas diperoleh dari plot log persen obat terdisolusi sebagai fungsi log waktu (Dash et al., 2010). Pada persamaan Korsmeyer-Peppas, harus diperhatikan nilai n (eksponen pelepasan) yang menggambarkan mekanisme pelepasan. Untuk sediaan dengan matriks silindris seperti tablet, hubungan n dengan mekanisme pelepasan obat dapat dilihat pada tabel 2.6.


(32)

Tabel 2.6. Hubungan Eksponen Pelepasan (n) dengan Mekanisme Pelepasan n(eksponen pelepasan) Mekanisem Pelepasan

< 0,45 Fickian diffusion

0,45 <n< 0,89 Anomalous (non-fickian) transport

> 0,89 Super case-II transport

[Sumber: Shoaib, Merchat, Tazeen, dan Yousuf, 2006]

Kinetika Korsmeyer Peppas bergantung nilai n. Untuk tablet dengan matriks silindris, jika nilai n<0,45 maka pelepasan obat terjadi berdasarkan mekanisme difusi fickian. Akan tetapi jika 0,45<n<0,89 maka pelepasan obat berdasarkan difusi non-fickian atau anomali, yang menggambarkan pelepasan obat dikendalikan oleh gabungan difusi dan erosi. Jika nilai n = 0,89 maka mekanisme pelepasan obat mengikuti orde nol atau disebut jugacase II transport, yang menggambarkan pelepasan obat terjadi akibat erosi polimer matriks. Jika n>0,89 maka pelepasan obat disebut dengan mekanisme pelepasan obat disebut dengan mekanisme super case II transport (Shoaib, Merchant, Tazeen, dan Yousuf, 2006).

Pada sediaan dengan pelepasan dimodifikasi, terdapat aturan untuk menyatakan jumlah obat terlarut dengan penggunaan sediaan suatu obat yang dihubungkan melalui frekuensi atau interval pemberian obat, yaitu seperti ditunjukkan pada Tabel 2.7. Kriteria penerimaan uji disolusi untuk tablet lepas terkendali adalah sebagai berikut (Banakar, 1992):

1. Pada waktu yang setara dengan 0,25 D : 20-45% terlarut (Q0,25) 2. Pada waktu yang setara dengan 0,5 D: 45-75% terlarut (Q0,5) 3. Pada waktu hingga 1,0 D : tidak kurang dari 75% terlarut (Q1,0)

Dimana D adalah frekuensi dosis lazim yang tertera pada label atau interval pemberian dosis.

Tabel 2.7. Syarat Obat Terlarut Sediaan Lepas Terkendali

Q Persen Obat Terlarut

Q0,25 20–45%

Q0,5 45–75%


(33)

(34)

2.4.3. Farmakokinetik

Teofilin [(3,7-dihidro-1,3-di-metilpurin-2,6-(1H)-dion] atau 1,3-dimetilxantin salah satu obat yang memiliki indeks terapi sempit yaitu 8-15 mg/L darah. Potensi toksisitasnya telah diketahui berhubungan dengan kadar teofilin utuh dalam darah yaitu >20 mg/L (Dollery, 1991). Rasio ekstraksi hepatik teofilin termasuk rendah, yakni 0,09 (Shargel, Wu-Pong& Yu, 2005), oleh karena itu, efek potensialnya ditentukan oleh keefektifan sistem oksidasi sitokrom P450 di dalam hati (Dollery, 1991). Menurut Rahmatini,dkk. (2004) teofilin dimetabolisme oleh enzim mikrosom hepar sitokrom P450 CYP 1A2.

Teofilin diabsorbsi dengan cepat dan sempura, sehingga kadar puncak serum dicapai kira-kira hanya 1-2 jam setelah penggunaan oral. Volume distribusinya mencapai 0,5 L/kg dan mengikuti model 2 kompartemen. Pada berat badan ideal, klirens teofilin rata-rata 0,04 L/kg/hari. Tetapi, sebenarnya angka ini sangatlah bervariasi karena banyak hal yang dapat meningkatkannya, seperti kondisi obesitas, merokok, diet dan penyakit hati. Begitu juga dengan t1/2 nya,

dimana pada pasien dewasa mencapai 8 jam (Winter, 2004).

2.4.4. Dosis dan Cara Pemberian Obat

Sediaan lepas lambat teofilin diberikan dengan cara: (1) Sediaan dalam bentuk kapsul lepas lambat dapat dibuka dan dapat dicampurkan dengan makanan yang lunak dan tidak panas, misalnya: puding, telan segera dan jangan dikunyah, tidak direkomendasikan untuk membagi-bagi isi kapsul. (2) Jangan memecah atau mengunyah sediaan lepas lambat. (3) Untuk menjaga konsistensi kadar obat dalam darah, sediaan lepas lambat harus selalu diminum sebelum makan, atau selalu setelah makan.

Dosis pemeliharaan untuk teofilin non-sustained release adalah 200-300 mg, 3-4 kali sehari atau 200-400mg, 2 kali sehari untuk sediaan sustained released(Winter, 2004).

2.4.5. Efek Samping

Efek samping teofilin merupakan kelanjutan dari efek farmakologik. Pada kadar serum sekitar 10 μ g/ml yang merupakan efek terapi, pada beberapa


(35)

orang telah timbul efek samping ringan seperti mual, kadang- kadang muntah atau sakit kepala. Pada kadar di atas 15 μ g/ml efek samping menjadi lebih berat, seperti takikardi, sedangkan di atas 20 μ g/ml dapat terjadi konvulsi (Sukasediati, 1988).

Efek samping terpenting berupa mual dan muntah, baik pada penggunaan oral maupun rektal atau parenteral. Pada dosis berlebih terjadi efek-efek sentral (gelisah, sukar tidur, tremor,dan konvulsi) dan gangguan pernafasan, juga efek kardiovaskuler seperti takikardia, aritmia, dan hipotensi. Anak kecil sangat peka terhadap efek samping teofilin(Tjay dan Raharja, 2007).

2.4.6. Stabilitas Penyimpanan

Stabilitas: sediaan eliksir dan tablet atau kapsul lepas lambat harus disimpan dalam suhu 25°C. Jangan gunakan larutan jika terjadi perubahan warna atau terdapat kristal dalam larutan (Drug Information Handbook International 2008-2009)

2.5. Spektrofotometer

2.5.1. Spektrofotometer UV-Vis

Spektrofotometer serapan merupakan pengukuran suatu interaksi antara radiasi elektromagnetik dan molekul atau atom dari suatu zat kimia. Teknik yang sering digunakan dalam analisis farmasi meliputi spektrofotometri ultraviolet, cahaya tampak, infra merah dan serapan atom. Jangkauan panjang gelombang untuk daerah ultraviolet adalah 190-380 nm, daerah cahaya tampak 380-780 nm, daerah inframerah dekat 780-3000 nm, dan daerah inframerah 2,5-40 μ m atau 4000-250 cm-1(Ditjen POM, 2014).

Radiasi ultraviolet dan sinar tampak diabsorpsi oleh molekul organik aromatik, molekul yang mengandung elektron-π terkonjugasi dan atau atom dengan elektron-n yang menyebabkan transisi elektron di orbital terluarnya dari tingkat energi elektron dasar ke tingkat energi elektron tereksitasi lebih tinggi. Besarnya serapan radiasi tersebut sebanding dengan banyaknya molekul analit yang mengabsorpsi sehingga dapat digunakan untuk analisis kuantitatif (Satiadarma, dkk., 2004).


(36)

Gugus fungsi yang menyerap radiasi di daerah ultraviolet dekat dan daerah tampak disebut gugus kromofor dan hampir semua gugus ini mempunyai ikatan tak jenuh. Pada kromofor jenis ini transisi terjadi dari π → π*, yang menyerap pada panjang gelombang maksimum kecil dari 200 nm, misalnya pada >C=C< dan –C ≡ C–. Kromofor ini merupakan tipe transisi dari sistem yang mengandung elektron π pada orbital molekulnya. Untuk senyawa yang mempunyai sistem konjugasi, perbedaan energi antara keadaan dasar dan keadaan tereksitasi menjadi lebih kecil sehingga penyerapan terjadi pada panjang gelombang yang lebih besar (Dachriyanus, 2004).

Gugus fungsi seperti –OH, -O, -NH2, -Cl, dan –OCH3 yang mempunyai elektron-elektron valensi bukan ikatan (memberikan transisi n → π*) disebut gugus auksokrom yang tidak dapat menyerap radiasi ultraviolet-sinar tampak, tetapi apabila gugus ini terikat pada gugus kromofor mengakibatkan pergeseran panjang gelombang ke arah yang lebih besar (pergeseran batokromik) dengan intensitas yang lebih kuat. Efek hipsokromik adalah suatu pergeseran pita serapan ke panjang gelombang lebih pendek, yang sering kali terjadi bila muatan positif dimasukkan ke dalam molekul dam bila pelarut berubah dari non-polar ke pelarut polar (Dachriyanus, 2004; Rohmandan Sudjaji, 2007).

Menurut Rohman dan Sudjaji (2007), hal-hal yang harus diperhatikan dalam analisis spektofotometri ultraviolet adalah:

1. Pemilihan panjang gelombang

Panjang gelombang yang digunakan untuk analisis kuantitatif adalah panjang gelombang yang mempunyai absorbansi maksimal. Untuk memperoleh panjang gelombang maksimum, dilakukan dengan membuat kurva hubungan antara absorbansi dengan panjang gelombang dari suatu larutan baku pada konsentrasi tertentu. Ada beberapa alasan mengapa harus menggunakan panjang gelombang maksimal, yaitu :

a. Pada panjang gelombang maksimal, kepekaannya juga maksimal karena pada panjang gelombang maksimal tersebut, perubahan absorbansi untuk setiap satuan konsentrasi adalah yang paling besar.

b. Disekitar panjang gelombang maksimal, bentuk kurva absorbansi datar dan pada kondisi tersebut hukum Lambert-Beer akan terpenuhi.


(37)

c. Jika dilakukan pengukuran ulang maka kesalahan yang disebabkan oleh pemasangan ulang panjang gelombang akan kecil sekali, ketika digunakan panjang gelombang maksimal.

2. Pembuatan kurva baku

Dibuat seri larutan baku dari zat yang akan dianalisis dengan berbagai konsentrasi. Masing-masing absorbansi larutan dengan berbagai konsentrasi diukur, kemudian dibuat kurva yang merupakan hubungan antara absorbansi dengan konsentrasi.Bila hukum Lambert-Beer terpenuhi maka kurva kalibrasi merupakan garis lurus.

3. Pembacaan absorbsi sampel atau cuplikan

Absorban yang terbaca pada spektrofotometer hendaknya antara 0,2 sampai 0,8. Anjuran ini berdasarkan anggapan bahwa kesalahan dalam pembacaan T adalah 0,005 atau 0,5% (Rohman dan Sudjaji, 2007).

2.5.2. Hukum Lambert-Beer

Menurut Hukum Lambert, serapan berbanding lurus terhadap ketebalan sel yang disinari. Menurut Hukum Beer, yang hanya berlaku untuk cahaya monokromatik dan larutan yang sangat encer, serapan berbanding lurus dengan konsentrasi (banyak molekul zat). Kedua pernyataan ini dapat dijadikan satu dalam Hukum Lambart-Beer, sehingga diperoleh bahwa serapan berbanding lurus terhadap konsentrasi dan ketebalan sel, yang dapat ditulis dalam persamaan:

A = a.b.cg/liter atauA = ε.b.c... (2.3.) Keterangan : A = serapan (tanpa dimensi)

a = absoptivitas (g-1cm-1) b = ketebalan sel (cm) C = konsentrasi (g.l-1)

ε = absorptivitas molar (M-1cm-1)

Jadi dengan Hukum lambert-Beer konsentrasi dapat dihitung dari ketebalan sel serapan. Absorptivitas merupakan suatu tetapan dan spesifik untuk setiap molekul pada panjang gelombang dan pelarut tertentu.


(38)

Menurut Roth dan Blaschke (1981), absorptivitas spesifik juga sering digunakan sebagai ganti absorptivitas. Harga ini memberikan serapan larutan 1% (b/v) dengan ketebalan sel 1 cm, sehingga diperoleh persamaan:

A = . b. C ... (2.4.)

Keterangan : = absorptivitas spesifik (ml g-1cm-1) b = ketebalan sel


(39)

3.1. Lokasi dan Waktu Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Formulasi Sedian Padat, Laboratorium Farmakologi, dan Laboratorium Peneltian II Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dari bulan Maret hingga Mei 2015.

3.2. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi seperangkat alat disolusi (Erweka), spektrofotometer UV-Vis (Hitachi), termometer (Erweka), pH-meter (Horiba), timbangan analitik (Precisa), magnetic stirer (Nuova Strirer), mikropipet 100-1000 μ l (Bio Rad), spuit injeksi 5 ml (Terumo), membran filterukuran0,45 μ m (Sartorius), dan alat-alat gelas skala laboratorium.

3.3. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teofilin standar (PT.Kimia Farma), dua merk tablet lepas lambat teofilin dengan pendosisan setiap 12 jam (Apotek K, Ciputat), kalium dihidrogen fosfat, natrium hidroksida, asam klorida, kalium klorida, dan aquadest.

3.4. Prosedur Penelitian 3.4.1. Pemilihan Sampel

Sampel obat yang diteliti adalah tablet lepas lambat teofilin dengan pendosisan setiap 12 jam yang beredar di masyarakat. Kriteria pemilihan sampel berdasarkan tahun kadaluwarsa yang sama dan berasal dari Apotek yang sama.


(40)

3.4.2. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Teofilin

Penentuan panjang gelombang maksimum teofilin dilakukan dengan menggunakan tiga jenis pelarut, yaitu dalam pelarut NaOH 0,1 N, dapar HCl pH 1,2, dan dapar fosfat pH 6,0.

Teofilin ditimbang seksama sebanyak 50 mg dan dilarutkan dalam 100 ml pelarut, sehingga diperoleh larutan induk dengan konsentrasi 500 ppm. Dari larutan induk ini, dibuat larutan 50 ppm dengan mengambil 5 ml dan diencerkan dengan pelarut hingga 50 ml. Dari larutan 50 ppm kemudian dibuat larutan 12 ppm dengan mengambil 2,4 ml dan diencerkan dengan pelarut hingga 10 ml.

Larutan diamati absorbansinya dengan spektrofometer UV-Vis pada panjang gelombang 400-200 nm dan ditentukan panjang gelombang maksimumnya (Mariyam, R., 2011, telah diolah kembali).

3.4.3. Pembuatan Kurva Kalibrasi Teofilin

Pembuatan kurva kalibrasi teofilindilakukan dengan tiga jenis pelarut, yaitu pelarut NaOH 0,1 N, dapar HCl pH 1,2, dan dapar fosfat pH 6,0.

Kurva kalibrasi dibuat dengan larutan teofilin dengan konsentrasi 1 ppm, 2 ppm, 4 ppm, 8 ppm, 12 ppm, 16 ppm, 18 ppm, dan 20 pmm, yaitu dengan cara mengambil 0,2 ml; 0,4 ml; 0,8 ml; 1,6 ml; 2,4 ml; 3,2 ml; 3,6 ml; dan 4ml dari larutan teofilin 50 ppm; masing-masing diencerkan dengan pelarut hingga 10 ml.

Masing-masing larutan diukur serapannya dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 274,4 nm untuk pelarut NaOH 0,1 N, panjang gelombang 269,8 untuk pelarut dapar HCl pH 1,2, dan panjang gelombang 271,2 nm untuk pelarut dapar fosfat pH 6,0; kemudian dibuat kurva regresi linear antara kadar teofilin dan serapannya sehingga diperoleh persamaan regresi linear y = a + bx(Mariyam, R., 2011, telah diolah kembali).

3.4.4. Penetapan Kadar Tablet Teofilin Lepas Lambat

Ditimbang 20 tablet teofilin lepas lambat dan dihitung berat rata-ratanya. Tablet diserbukkan, ditimbang setara lebih kurang 100 mg teofilin kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml dan ditambahkan NaOH 0,1 N hingga garis batas. Larutan dikocok hingga larut dan disaring. Dari filtrat hasil


(41)

penyaringan diambil 1 ml, kemudian diencerkan dengan NaOH 0,1 N hingga 100 ml. Larutan ini mengandung kurang lebih 10 µg/ml teofilin (±10 ppm). Serapan larutan diukur pada panjang gelombang 274,4 nm (Ditjem POM, 1995, telah diolah kembali). Penetapan kadar ini dilakukan tiga kali.

Tiap tablet teofilin lepas lambat mengandung tidak boleh kurang dari 90,0% dan tidak boleh lebih dari 110,0% teofilin anhidrat dari jumlah teofilin yang tertera pada etiket (USP XXX,2007).

3.4.5. Keseragaman Sediaan Tablet Teofilin Lapas Lambat

Keseragaman sediaan dapat ditetapkan dengan salah satu dari dua metode, yaitu keragaman bobot atau keseragaman kandungan. Persyaratan keragaman bobot dapat diterapkan pada produk yang mengandung zat aktif 50 mg atau lebih yang merupakan 50% atau lebih dari bobot satuan sediaan. Keseragaman dari zat aktif lain, jika dalam jumlah lebih kecil, ditetapkan dengan persyaratan keseragaman kandungan. Untuk penetapan keseragaman sediaan dipilih tidak kurang dari 30 satuan (Ditjen POM., 1995)

a. Keragaman bobot

Sebanyak 10 tablet lepas lambat teofilin ditimbang seksama satu per satu, dan bobot rata-rata dihitung. Dari hasil penetapan kadar yang diperoleh, jumlah zat aktif dalam masing-masing 10 tablet dihitung dengan anggapan zat aktif terdistribusi homogen.

b. Keseragaman kandungan

Sebanyak 10 tablet lepas lambat teofilin ditetapkan kadarnya satu per satu dengan menggunakan prosedur penetapan kadar.

Persyaratan keseragaman sediaan dipenuhi, jika jumlah zat aktif 10 satuan sediaaan seperti yang ditetapkan dari cara keragaman bobot atau dalam keseragaman kandungan terletak antara 90% hingga 110% dari yang tertera pada etiket dan simpangan baku relatif kurang dari atau sama dengan 6%. Jika satu satuan terletak di luar rentang 90% hingga 110% seperti yang tertera pada etiket, atau jika simpangan baku relatif lebih besar dari 6% atau jika kedua kondisi tidak dipenuhi, uji 20 satuan tambahan dilakukan. Persyaratan dipenuhi jika tidak lebih


(42)

dari 1 satuan dari 30 terletak di luar rentang 75% hingga 125% dari yang tertera pada etiket dan simpangan baku relatif dari 7,8%.

3.4.6. Uji Disolusi Tablet Lepas Lambat Teofilin

Uji disolusi tablet lepas lambat teofilin dilakukan sesuai cara yang tercantum dalam The United States of Pharmacopeia XXX (USP XXX) berdasarkan tes 1, karena di dalam Farmakope Indonesia edisi IV belum tercantum prosedur uji disolusi tablet lepas lambat teofilin. Uji disolusi tes 1 dilakukan menggunakan alat uji disolusi tipe 2 (tipe dayung) pada suhu 37° ± 0,5°C dengan kecepatan 50 rpm selama 8 jam. Uji disolusi dilakukan pada media 900 ml larutan dapar HCl pH 1,2 selama 1 jam pertama kemudian dilanjutkan pada medium 900 ml larutan dapar fosfat pH 6,0 selama 7 jam berikutnya.

Larutan dapar HCl pH 1,2 dimasukkan ke dalam enam wadah disolusi dan dibiarkan hingga suhu 37 ± 0,5 0C. Dari masing-masing tablet lepas lambat teofilin (obat A dan B), diambil enam tablet dan dimasukkan ke dalam wadah disolusi yang telah berisi larutan dapar HCl pH 1,2. Setelah satu jam, medium disaring dengan kertas saring berukuran 0,45μ m sehingga partikel yang belum larut dapat tersaring dan meminimalisir kadar yang hilang akibat pergantian medium. Tablet dan partikel yang tersaring kemudian dimasukkan ke dalam wadah yang telah berisi larutan dapar fosfat pH 6,0 yang suhunya 37 ± 0,5 0C dan didisolusi selama tujuh jam.

Proses pengambilan cuplikan sampel dilakukan pada menit ke 15, 30, 45, 60, 120, 240, 300, 360, 420, dan 480 sebanyak 5 ml dengan menggunakan spuit yang sebelumnya telah dikalibrasi.Setelah pencuplikan sampel dilakukan penggantian medium disolusi, yaitu dengan menambahkan 5 ml medium disolusi ke dalam wadah disolusi dengan menggunakan spuit dan kertas penyaring berukuran 0,45 μ m bekas mencuplik sampel sebelumnya. Sampel yang telah dicuplik disaring dengan memasangkan kertas penyaring ke spuit, sebanyak ±1 ml sampel awal dibuang dan sisanya di tampung di dalam tabung reaksi yang bersih. Kemudian masing-masing sampel dari tiap waktu diencerkan dengan medium HCl pH 1,2 (untuk sampel cuplikanjam pertama) dan medium fosfat pH 6,0


(43)

(untuk sampel cuplikan jam ke 2-7) hingga kadarnya masuk ke dalam rentang konsentrasi kurva baku teofilin dalam masing-masing pelarut.

Masing-masing sampel larutan yang telah diencerkan diukur serapannya dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 269,8 nm untuk sampel dengan medium dapar HCl pH 1,2 dan pada panjang gelombang 271,2 nm untuk sampel dengan medium dapar fosfat pH 6,0. Jumlah kumulatif obat yang dilepaskan dihitung dengan menggunakan persamaan kurva baku teofilin dalam medium dapar HCl pH 1,2 dan dapar fosfat pH 6,0, kemudian data persen kumulatif teofilin yang terdisolusi tiap waktu dianalisa dengan uji statistik untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan persentase pelepasan teofilin tiap waktu antara obat A dan obat B.

3.4.7. Analisa Kinetika Pelepasan Obat

Untuk mengetahui mekanisme dan kinetika pelepasan teofilin dari tablet di dalam tubuh dilakukan dengan cara memplotkan hasil disolusi dengan persamaan kinetika orde nol, kinetika orde satu, Higuchi, dan Korsmeyer-Peppas (Patel, D.M., Patel, N.M. Patel, N.N. Pandya, P.D. Jogani, 2007)

Persamaan garis regresi linear untuk setiap model kinetika dibuat dengan cara (Reza, Md Selim, M.A. Quadir, S.S. Haider, 2003):

a. Kinetikaordenol

Hubungan linear untuk pelepasan orde nol ditunjukkan antara jumlah kumulatif yang dilepaskan matriks dengan waktu.

b. Kinetikaordesatu

Hubungan linear untuk pelepasan orde satu ditunjukkan antara logaritma persentase kumulatif obat yang tersisa dengan waktu.

c. Kinetika model Higuchi

Hubungan linear untuk pelepasan model Higuchi ditunjukkan antarapersentase kumulatif obat yang dilepaskan dengan akar waktu disolusi. d. Kinetika model Korsmeyer-Peppas

Hubungan linear untuk pelepasan Korsmeyer-Peppas ditunjukkan antaralogaritma persentase kumulatif obat yang dilepaskan <60% dengan


(44)

logaritma waktu yang ditunjukkan oleh nilai koefien korelasi mendekati satu (r2> 0,98).

Untuk menentukan kinetika pelepasan suatu obat, dapat dilihat dari harga R2 dari persamaan regresi linier yang didapatkan darimasing-masing tablet. Apabila R2mendekatisatu, maka dianggap kinetikanya mengikut pelepasan dari persamaan regresi dari orde yang bersangkutan (Wicaksono, Hendradi & Radjaram, 2005).

3.4.8. Analisa Satatistik

Pengolahan data dilakukan secara statistik dengan menggunakanmetode uji komparatif Independent Sample Test dengan program SPSS 16. Analisis statistik dilakukan terhadap data persentase kadar teofilin yang terdisolusi tiap waktu dari kedua sampel obat, yaitu obat A dan obat B. Sebelum dilakukan uji komparatif Independent Sample Test, data persentase kadar teofilin yang terdisolusi tiap waktu dari kedua sampel obat di lakukan uji normalitas distribusi dengan ujiSaphiro Wilkdan uji homogenitas data antar kelompok dengan metode

Levene’s Test. Data dikatakan terdistribusi normal dan homogen jika nilai sig

>0,05. Uji komparatif Independent Sample Test dilakukan pada derajat kepercayaan 0,95 (p = 0,05). Dalam hal rancangan ini dapat diuji data persentase kadar teofilin yang terdisolusi tiap antar sampel terdapat perbedaan bermakna. Hal ini dapat diketahui dengan melihat nilai signifikansi (p). Bila nilai p yang dihasilkan <0,05, maka terdapat perbedaan yang bermakna antar data persentase kadar teofilin yang terdisolusi tiap waktu antara kedua sampel obat.


(45)

4.1. Pemilihan Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tablet lepas lambat teofilin dengan pendosisan dua kali sehari yang beredar di masyarakat, di mana terdapat dua merek tablet lepas lambat teofilin yang beredar di masyarakat yaitu obat A dengan kandungan zat aktif 300 mg dan obat B dengan kandungan zat aktif sebesar 250 mg. Kriteria pemilihan sampel berdasarkan tempat pembelian dan tahun kadaluwarsa yang sama, di mana kedua sampel berasal dari Apotek K di daerah Ciputat dan memiliki tahun kadaluwarsa yang sama, yaitu tahun 2019. Tempat dan tahun kadaluwarsa yang sama dipilih untuk meminimalkan faktor kesalahan luar.

4.2. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Teofilin

Penentuan panjang gelombang maksimum teofilin dilakukan dalam tiga pelarut berbeda, yaitu NaOH 0,1 N, dapar HCl pH 1,2 dan dapar fosfat pH 6,0. Pengukuran panjang gelombang dilakukan dengan cara scanning pada panjang gelombang 200-400 nm. Diantara rentang panjang gelombang tersebut dicari panjang gelombang dengan absorbansi yang paling tinggi.

Dari hasil scanning diperoleh panjang gelombang maksimum teofilin dalam ketiga pelarut, yaitu 274,4 nm dalam NaOH 0,1 N, 269,8 nm dalam dapar HCl pH 1,2 dan 271,2 nm dapar fosfat pH 6,0. Panjang gelombang maksimum teofilin dalam ketiga pelarut tersebut dapat dilihat pada lampiran 5.

Teofilin di dalam dapar HCl pH 1,2 dan dapar fosfat pH 6,0 memiliki panjang gelombang maksimum 271 nm (USP XXX, 2007), sedangkan teofilin dalam NaOH 0,1 N memiliki panjang gelombang 274 nm (Florey, 1975). Berdasarkan hasil pengukuran yang diperoleh, panjang gelombang teofilin dalam NaOH 0,1 N dan dapar fosfat pH 6,0 mengalami pergeseran batokromik, yaitu pergeseran panjang gelombang ke arah lebih besar, sedangkan panjang gelombang teofilin dalam dapar HCl mengalami pergeseran hipsokromik, di mana serapan


(46)

bergeser ke panjang gelombang yang lebih pendek, yaitu dari 271 nm menjadi 269,8 nm. Pergeseran panjang gelombang dapat terjadi karena adanya pengaruh dari pelarut, di mana pelarut sering memberikan pengaruh yang besar pada kualitas dan bentuk dari spektrum, hal ini dikaitkan dengan perubahan pH dari pelarut yang digunakan (Moffat et al., 2005).

4.3. Pembuatan Kurva Kalibrasi Teofilin

Kurva kalibrasi digunakan untuk penetapan kadar teofilin dalam tablet lepas lambat, yang kadarnya dapat dihitung melalui persamaan regresi linier.

Kurva kalibrasi standar teofilin dibuat dalam tiga pelarut, yaitu larutan NaOH 0,1 N, dapar HCl pH 1,2 dan dapar fosfat pH 6,0. Dari pembuatan kurva kalibrasi teofilin diperoleh persamaan regresi linear y = a + bx dan koefisien korelasi (r), di mana y menggambarkan absorbansi dan x menggambarkan konsentrasi. Persamaan regresi linear teofilin dapat dilihat pada tabel 4.1., sedangkan kurva kalibrasi dan data kurva kalibrasiyang lebih lengkap dapat dilihat pada lampiran 6 dan 7.

Tabel 4.1.Persamaan Regresi Linear Kurva Kalibrasi Teofilin Pelarut Persamaan Regresi Linear Koefisien Korelasi (r)

NaOH 0,1 N y = 0,0662x + 0,0003 1,0000

Dapar HCl pH 1,2 y = 0,053x + 0,004 0,9994

Dapar Fosfat pH 6,0 y = 0,057x + 0,002 1,0000

Persamaan regresi linear tersebut kemudian digunakan untuk menetapkan kadar teofilin dalam sampel. Tabel diatas menunjukkan bahwa ketiga kurva kalibrasi teofilin tersebut memiliki koefisien korelasi (r) yang memenuhi syarat linearitas yaitu r≥ 0,999(Snyder, Kirkland dan Glajch, 1997).

4.4. Penetapan Kadar Teofilin dalam Tablet Lepas Lambat

Penetapan kadar zat aktif bertujuan untuk mengetahui apakah kadar zat aktif yang terkandung didalam suatu sediaan sesuai dengan yang tertera pada etiket dan memenuhi syarat seperti yang tertera pada masing-masing monografi (Syamsuni, 2007).


(47)

Penetapan kadar dilakukan dengan menggunakan spektrofometer UV-Vis dalam pelarut NaOH 0,1 N. Penetapan kadar teofilin dapat dilakukan dengan spektrofotometri karena memiliki guguskromofor yang berupa ikatan rangkap terkonjugasi dan gugus auksokrom, sedangkan NaOH 0,1 N digunakan karena teofilin mudah larut dalam alkali hidroksida. Penggunaan NaOH untuk penetapan kadar teofilin juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh T.N Syaifullah, dkk. (2006), yang digunakan untuk menetapkan kadar teofilin dalam mikropartikel.

Hasil penetapan kadar obat A antara 92,30% - 97,82% dan obat B antara 97,76% - 101,17%, sehingga obat A dan obat B memenuhi syarat yang tercantum pada USP XXX (2007), yaitu tablet lepas lambat teofilin mengandung tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari 110,0% teofilin anhidrat dari jumlah yang tertera pada etiket. Persyaratan penetapan kadar yang digunakan berdasarkan USP, hal ini dikarenakan di dalam FI V belum tercantum monografi tablet lepas lambat teofilin. Hasil penetapan kadar teofilin dari obat A dan B dapat dilihat pada tabel 4.2.

Tabel 4.2.Kadar Teofilin Obat Adan Obat B

Merek Kadar (%) Rata-rata kadar (%) SD RSD (%)

A 97,82 94,55 2,89 3,07

93,53 92,30

B 97,760 99,57 1,715 1,722

101,17 99,78

4.5. Keseragaman Sediaan Tablet Lepas Lambat Teofilin

Keseragaman sediaan merupakan salah satu uji yang dipersyarakan untuk suatu sediaan yang mengandung satu zat aktif dan sediaan mengandung dua atau lebih zat aktif. Keseragaman sediaan dapat ditetapkan dengan salah satu dari dua metode, yaitu keragaman bobot atau keseragaman kandungan (Ditjem POM, 1995). Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa kandungan zat aktif pada sampel obat seragam.


(48)

4.5.1. Keragaman Bobot

Metode keragaman bobot digunakan untuk menetapkan keseragaman sediaan obat A, karena obat A yang mengandung 300 mg teofilin memiliki bobot rata-rata 398,08 mg, sehingga kandungan teofilindalam obat A lebih dari 50% dari bobot satuan tablet A, yaitu 75,36%. Hasil keragaman bobot obat A dapat dilihat pada tabel 4.3 dibawah ini.

Tabel 4.3.Keragaman Bobot Obat A

Tablet Bobot Tablet (mg) Kadar Zat Aktif (%)

1 396,6 93,79

2 394,9 93,39

3 407,3 96,32

4 396,8 94,84

5 396,4 94,73

6 399,5 94,47

7 392,8 92,89

8 401,3 94,90

9 400,1 94,62

10 395,1 93,43

Rata-rata 398,08 94,14

SD 0,98

RSD 1,04

Keterangan : Kadar (%) = ( )× (%)

( )

Dari hasil keragaman bobot, dapat diketahui bahwa kesepuluh tablet yang telah ditimbang memiliki kadar yang sesuai dengan persyaratan keragaman sediaan yang ditetapkan oleh FI IV, yaitu kadar teofilin terletak antara 90% hingga 110% dari yang tertera pada etiket, dan memiliki simpangan baku relatif yang kurang dari 6%, yaitu 1,04%.

4.5.2. Keseragaman Kandungan

Keseragaman sediaan obat B ditetapkan dengan metode keseragaman kandungan, karena obat B yang mengandung 250 mg teofilin memiliki bobot satuan rata-rata 591,7 mg yang berarti kandungan teofilin dalam tablet B kurang dari 50%. Selain itu, obat B merupakan tablet bersalut, dimana metode keseragaman kandungan digunakan untuk sediaan tablet bersalut untuk penetapan


(49)

keseragaman sediaan (Ditjen POM, 1995). Hasil uji keseragaman kandungan dapat dilihat pada tabel 4.4 dan data selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 10.

Tabel 4.4.Keseragaman Kandungan Obat B

Tablet Kadar (%) Rata-Rata Kadar (%) SD RSD (%)

1 102,08 96,34 3,50 3,63

2 98,45

3 95,59

4 95,87

5 96,77

6 92,62

7 90,86

8 97,09

9 100,67

10 93,41

Dari hasil uji keseragaman kandungan yang dilakukan, menunjukkan bahwa kesepuluh tablet B memiliki kadar antara 90,86% - 102,08% yang masuk dalam persyaratan keseragaman kandungan yang ditetapkan oleh FI IV yaitu kadar terletak antara 90% hingga 110% dari yang tertera pada etiket, dan memiliki simpangan baku relatif kurang dari 6%, yaitu 3,63%.

Berdasarkan hasil uji keragaman bobot dan keseragaman kandungan, dapat disimpulkan bahwa obat A dan obat B telah memenuhi persyaratan keseragaman sediaan. Dengan terpenuhinya persyaratan keseragaman sediaan, faktor kesalahan yang menyebabkan variasi profil disolusi darisetiap tablet dapat diminimalkan, di mana faktor perbedaan kadar dari tiap tablet tidak dapat dijadikan suatu alasan ketika hasil uji disolusi dari tiap tablet bervariasi. Dengan demikian, obat A dan obat B dapat dilanjutkan ke uji disolusi yang hasilnya dapat dianalisis tanpa mempertimbangkan besarnya dosis.

4.6. Uji Disolusi Tablet Lepas Lambat Teofilin

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasidan membandingkan profil disolusi tablet lepas lambat teofilin yang beredar di pasaran sehingga dapat diketahui apakah profil disolusi sediaan tersebut memiliki persamaan dan telah sesuai dengan syarat yang ditentukan oleh USP XXX, dan melalui profil disolusi


(50)

juga dapat diketahui kinetika dan mekanisme pelepasannya. Uji disolusi in vitro merupakan uji yang digunakan untuk mengetahui profil pelepasan obat yang dapat menggambarkan profil farmakokinetika obat didalam tubuh (Lachman, 1994), di mana laju pelepasan obat dalam cairan saluran cerna merupakan salah satu tahapan penentu (rate limiting step) absorpsi sistemik obat (Sutriyo, dkk., 2005).

Uji disolusi dilakukan berdasarkan metode yang ditetapkan USP XXX. Dimana di dalam USP terdapat 9 tes metode uji disolusi dengan persyaratan pelepasan yang bervariasi untuk setiap metodenya. Namun, pada penelitian ini digunakan metode uji disolusi tes satu, di mana pada tes satu ini menggunakan alat disolusi tipe 2 (dayung), medium disolusi cairan lambung tiruan (dapar HCl pH 1,2) dan cairan usus tiruan (dapar fosfat pH 6,0) tanpa enzim sebanyak 900 ml, kecepatan pengadukan 50 rpm, dan suhu 37±0,5°C. Uji disolusi dilakukan selama delapan jam untuk obat A, di mana satu jam pertama dilakukan pada medium cairan lambung tiruan dan tujuh jam berikutnya pada medium cairan usus tiruan, sedangkan untuk obat B dilakukan hingga menit ke-660, yaitu sampai persentase kadar teofilin yang terdisolusi mencapai 80%. Pencuplikan sampel dilakukan setiap 15 menit pada satu jam pertama dan setiap 60 menit untuk jam berikutnya. Volume pencuplikan diambil sebanyak 5 ml dan segera digantikan dengan medium disolusi baru yang sama sejumlah volume yang dicuplik untuk menjagaagar volume disolusi tetap, kemudian sampel diukur serapannya pada panjang gelombang maksimum dan dihitung kadarnya dengan menggunakan persamaan regresi yang telah ditentukan sebelumnya. Uji disolusi dilakukan dengan menggunakan 6 tablet pada setiap obat, baik obat A maupun obat B.

Medium uji disolusi yang digunakan berdasarkan medium disolusi yang tercantum dalam metode uji disolusi tes satu USP XXX, yaitu cairan lambung tiruan (dapar HCl pH 1,2) dan medium cairan usus tiruan (dapar fosfat pH 6,0) tanpa enzim. Selain kedua medium tersebut menggambarkan keadaan fisiologis saluran cerna, sifat medium disolusi merupakan salah satu faktor yang dipertimbangkan dalam uji disolusi. Media yang digunakan tergantung sifat zat aktif obat dan lokasi di dalam saluran cerna di mana diperkirakan obat akan melarut. Zat aktif yang bersifat asam lemah kecepatan disolusinya akan meningkat di dalam medium dengan pH tinggi, sedangkan zat aktif yang bersifat


(51)

0 10 20 30 40 50 60 70

0 200 400 600 800

J u m la h K u m u la tif T T e r d is o lu si (%) Waktu (menit) Obat A Obat B 0 50 100 150 200 250 300

0 200 400 600 800

J u m la h K u m u la tif T e o filin T e r d is o lu si (m g ) Waktu (menit) Obat A Obat B


(52)

persentasemaupun kadar (mg) yang tidak saling berimpit. Kurva jumlah kumulatif teofilin yang terdisolusi obat A dalam bentuk persentase lebih tinggi dari kurva yang dimiliki oleh obat B dan perbedaan ketinggian kurva kedua obat makin terlihat tajam bila dilihat dari kurva jumlah kumulatif teofilin yang terdisolusi dalam bentuk kadar (mg). Perbedaan ketinggian antara kurva dalam bentuk persentase dan kadar (mg) antara kedua obat disebabkan oleh jumlah kandungan zat aktif kedua sampel obat yang berbeda, di mana obat A mengandung 300 mg teofilin dan obat B hanya mengandung 250 mg teofilin, sehingga berpengaruh terhadap bentuk kurva jumlah kumulatif teofilin yang terdisolusi dalam bentuk kadar (mg). Namun perbedaan kandungan zat aktif ini masih berada dalam rentang dosis terapi teofilin untuk sediaan lepas lambat, yaitu 200-400 mg (Winter, 2004).

Dalam hal ini, perbedaan profil disolusi dapat disebabkan oleh faktor formulasi, yang merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi laju disolusi suatu obat. Menurut Iskandarsyah, dkk. (2010), perbedaan bahan baku penyusun matrix dapat menyebabkan perbedaan laju disolusi obat. Adanya perbedaan profil disolusi dari obat A dan obat B dapat memberikan profil farmakokinetik dan efektivitas terapi yang berbeda di antara kedua obat.

Hasil uji disolusi berupa persentase kumulatif kadar teofilin yang terdisolusi dari masing-masing sampel obat kemudian dianalisis untuk mengetahui apakah pelepasan teofilin dari sampel obat A dan B sesuai denganpersyaratan pelepasan tablet lepas lambat teofilin yang disyaratkan oleh USP XXX metode disolusi tes satu.

Berdasarkan hasil analisis pada tabel 4.5., dapat diketahui bahwa keenam tablet uji obat A tidak memenuhi persyaratan profil disolusi yang sesuai dengan persyaratan profil disolusi tablet lepas lambat teofilin menurut USP XXX metode disolusi tes satu. Hal ini terlihat dari persentase kumulatif teofilin yang terdisolusi pada jam pertama dari keenam tablet uji obat A yang melepaskan zat aktif lebih besar dari rentang penerimaan persyaratan pelepasanyang telah ditetapkan oleh USP XXX, yaitu diantara 3-15%, di mana keenam obat A memiliki persentase kumulatif teofilin yang terdisolusi pada jam pertama antara 15,75-21,58% dengan rata-rata 18,67%. Namun untuk persentase kumulatif teofilin yang terdisolusi


(53)

pada jam ke-2, 4, 6, dan 8 dari obat A, keenam tablet uji memenuhi rentang penerimaan persyaratan pelepasan yang ditetapkan oleh USP XXX.

Tabel 4.5. Hasil analisis kesesuaian pelepasan teofilin dari obat A dengan persyaratan USP XXX

Jam

Kadar Teofilin yang Terlepasi (%)

Rentang Penerimaan (%) Kesesuaian Persyaratan Tablet Uji Rata-rata

1 2 3 4 5 6

1 15,75 16,63 21,58 17,90 20,75 19,44 18,67 3-15 x

2 29,43 32,11 36,99 35,08 30,50 30,48 32,43 20-40

3 40,26 43,78 49,63 44,99 41,81 40,10 43,43 -

-4 52,08 54,47 63,24 54,97 53,55 51,32 54,94 50-75

5 64,00 65,93 70,39 61,31 64,52 61,05 64,53 -

-6 69,88 73,79 79,84 71,64 74,81 71,15 73,52 65-100

7 82,56 81,69 89,55 76,14 83,41 75,73 81,51 -

-8 88,76 84,75 94,55 82,46 84,69 82,59 86,30 >80

Keterangan: = sesuai dengan persyaratan pelepasan x = tidak sesuai dengan persyaratan pelepasan

- = tidak ada rentang penerimaan persyaratan pelepasan pada jam tersebut

Tabel 4.6. Hasil Analisis Kesesuaian Pelepasan Teofilin dari Obat B dengan Persyaratan USP XXX

Jam

Kadar teofilin yang terlepas (%) Rentang penerimaan

(%)

Kesesuaian persyaratan Tablet Uji

1 2 3 4 5 6 Rata-rata

1 12,36 11,12 12,59 14,49 12,19 11,69 12,41 3–15

2 23,98 22,97 24,40 26,11 22,87 22,15 23,75 20-40

3 31,64 29,82 31,94 34,32 29,23 29,64 31,10 -

-4 39,29 37,32 40,32 42,51 35,79 38,59 38,97 50-75 x

5 46,49 45,71 48,03 50,85 43,86 45,94 46,81 -

-6 54,60 53,56 57,29 60,23 49,76 53,37 54,64 65-100 x

7 63,76 59,10 65,18 68,52 55,38 58,08 61,67 -

-8 68,41 67,12 71,94 75,01 63,07 67,59 68,86 ≥80 x

Keterangan: = sesuai dengan persyaratan pelepasan x = tidak sesuai dengan persyaratan pelepasan

- = tidak ada rentang penerimaan persyaratan pelepasan pada jam tersebut

Berbanding terbalik dengan obat A yang tidak memenuhi rentang penerimaan persyaratan pelepasan pada jam pertama namun memenuhi rentang penerimaan persyaratan pada jam ke-2, 4, 6, dan 8, berdasarkan hasil analasis


(1)

Lampiran 15.

Data Hasil Analisa Statistik Uji Disolusi Obat A dan Obat B

(a)

Uji Normalitas

Saphiro-Wilk

Tests of Normality

Merek_O bat

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Menit_15 Obat A .219 6 .200* .921 6 .515

Obat B .299 6 .102 .754 6 .022

Menit_30 Obat A .210 6 .200* .915 6 .467

Obat B .314 6 .065 .865 6 .207

Mneit_45 Obat A .210 6 .200* .914 6 .464

Obat B .234 6 .200* .907 6 .417

Menit_60 Obat A .149 6 .200* .953 6 .763

Obat B .272 6 .189 .898 6 .361

Menit_120 Obat A .241 6 .200* .891 6 .325

Obat B .210 6 .200* .941 6 .664

Menit_180 Obat A .178 6 .200* .899 6 .367

Obat B .398 6 .004 .687 6 .004

Menit_240 Obat A .330 6 .039 .793 6 .051

Obat B .116 6 .200* .995 6 .998

Menit_300 Obat A .176 6 .200* .914 6 .465

Obat B .221 6 .200* .944 6 .689

Menit_360 Obat A .200 6 .200* .906 6 .413

Obat B .189 6 .200* .970 6 .896

Menit_420 Obat A .189 6 .200* .920 6 .504

Obat B .198 6 .200* .960 6 .822

Menit_480 Obat A .298 6 .105 .841 6 .132

Obat B .210 6 .200* .967 6 .872


(2)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(b)

Uji Homogenitas Metode

Levene’s Test

Test of Homogeneity of Variance

Levene Statistic df1 df2 Sig.

Menit_15 Based on Mean 3.261 1 10 .101

Based on Median 2.664 1 10 .134

Based on Median and with

adjusted df 2.664 1 9.305 .136

Based on trimmed mean 3.326 1 10 .098

Menit_30 Based on Mean 4.749 1 10 .054

Based on Median 3.955 1 10 .075

Based on Median and with

adjusted df 3.955 1 9.115 .078

Based on trimmed mean 4.744 1 10 .054

Mneit_45 Based on Mean 4.798 1 10 .053

Based on Median 4.177 1 10 .068

Based on Median and with

adjusted df 4.177 1 6.774 .082

Based on trimmed mean 4.793 1 10 .053

Menit_60 Based on Mean 5.129 1 10 .047

Based on Median 5.106 1 10 .047

Based on Median and with

adjusted df 5.106 1 9.772 .048

Based on trimmed mean 5.166 1 10 .046

Menit_120 Based on Mean 4.082 1 10 .071

Based on Median 1.843 1 10 .204

Based on Median and with

adjusted df 1.843 1 6.608 .219

Based on trimmed mean 3.653 1 10 .085

Menit_180 Based on Mean 1.574 1 10 .238

Based on Median .408 1 10 .537

Based on Median and with

adjusted df .408 1 5.721 .548

Based on trimmed mean 1.037 1 10 .333

Menit_240 Based on Mean .590 1 10 .460

Based on Median .360 1 10 .562

Based on Median and with

adjusted df .360 1 6.615 .569

Based on trimmed mean .468 1 10 .509

Menit_300 Based on Mean .389 1 10 .547

Based on Median .455 1 10 .515

Based on Median and with

adjusted df .455 1 9.386 .516


(3)

Levene Statistic df1 df2 Sig.

Menit_360 Based on Mean .000 1 10 .994

Based on Median .002 1 10 .967

Based on Median and with

adjusted df .002 1 9.992 .967

Based on trimmed mean .000 1 10 .999

Menit_420 Based on Mean .082 1 10 .780

Based on Median .098 1 10 .760

Based on Median and with

adjusted df .098 1 8.241 .762

Based on trimmed mean .069 1 10 .799

Menit_480 Based on Mean .120 1 10 .736

Based on Median .004 1 10 .949

Based on Median and with

adjusted df .004 1 9.336 .950


(4)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(c)

Uji Komparatif

Independent Sample Test

Independent Samples Test

Levene's Test for

Equality of Variances t-test for Equality of Means F Sig. t df Sig. (2-tailed)

Mean Difference

Std. Error Difference

95% Confidence Interval of the Difference

Lower Upper

Menit_15 Equal variances assumed 3.261 .101 3.653 10 .004 2,30483 ,63088 ,89915 3,71052

Equal variances not assumed 3.653 7.406 .007 2,30483 ,63088 ,82946 3,78020

Menit_30 Equal variances assumed 4.749 .054 4.945 10 .001 3,44717 ,69706 1,89403 5,00031

Equal variances not assumed 4.945 7.281 .001 3,44717 ,69706 1,81169 5,08264

Mneit_45 Equal variances assumed 4.798 .053 5.048 10 .001 4,73617 ,93825 2,64561 6,82672

Equal variances not assumed 5.048 6.423 .002 4,73617 ,93825 2,47650 6,99583

Menit_60 Equal variances assumed 5.129 .047 5.949 10 .000 6,26700 1,05338 3,91993 8,61407

Equal variances not assumed 5.949 7.338 .000 6,26700 1,05338 3,79925 8,73475

Menit_120 Equal variances assumed 4.082 .071 6.447 10 .000 8,68517 1,34711 5,68362 11,68672

Equal variances not assumed 6.447 7.141 .000 8,68517 1,34711 5,51243 11,85791

Menit_180 Equal variances assumed 1.574 .238 3.936 10 .003 15,66350 3,97929 6,79710 24,52990

Equal variances not assumed 3.936 6.540 .006 15,66350 3,97929 6,11815 25,20885

Menit_240 Equal variances assumed .590 .460 7.993 10 .000 15,96700 1,99761 11,51605 20,41795

Equal variances not assumed 7.993 7.726 .000 15,96700 1,99761 11,33194 20,60206

Menit_300 Equal variances assumed .389 .547 10.366 10 .000 17,71867 1,70930 13,91010 21,52723

Equal variances not assumed 10.366 8.922 .000 17,71867 1,70930 13,84680 21,59054

Menit_360 Equal variances assumed .000 .994 9.036 10 .000 18,71717 2,07130 14,10202 23,33231


(5)

Menit_420 Equal variances assumed .082 .780 6.815 10 .000 19,84300 2,91156 13,35565 26,33035

Equal variances not assumed 6.815 9.988 .000 19,84300 2,91156 13,35456 26,33144

Menit_480 Equal variances assumed .120 .736 6.871 10 .000 17,44350 2,53881 11,78668 23,10032


(6)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(d)

Uji Komparatif Non-Parametrik

Mann-Whitney

Ranks

Merek_Obat N Mean Rank Sum of Ranks

Menit_15 Obat A 6 9.17 55.00

Obat B 6 3.83 23.00

Total 12

Menit_60 Obat A 6 9.50 57.00

Obat B 6 3.50 21.00

Total 12

Menit_180 Obat A 6 9.50 57.00

Obat B 6 3.50 21.00

Total 12

Test Statisticsb

Menit_15 Menit_60 Menit_180

Mann-Whitney U 2.000 .000 .000

Wilcoxon W 23.000 21.000 21.000

Z -2.562 -2.882 -2.882

Asymp. Sig. (2-tailed) .010 .004 .004

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .009a .002a .002a a. Not corrected for ties.