Uji Disolusi Ranitidin HCl Pada Sediaan Tablet Secara Spektrofotometri UV

(1)

UJI DISOLUSI RANITIDIN HCl PADA SEDIAAN TABLET

SECARA SPEKTROFOTOMETRI UV

TUGAS AKHIR

OLEH:

ELY WIDYA SARI

NIM 102410026

PROGRAM STUDI DIPLOMA III

ANALIS FARMASI DAN MAKANAN

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,

Segala puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan Tugas Akhir berjudul “Uji Disolusi Ranitidin HCl Pada Sediaan Tablet Secara Spektrofotometri UV”. Tugas Akhir ini disusun sebagai salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan pendidikan Program Studi Diploma III Analis Farmasi dan Makanan di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Medan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak, penulis tidak akan dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini sebagaimana mestinya. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak antara lain:

1. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Prof. Dr. Jansen Silalahi, M.App.Sc., Apt., selaku Ketua Program Studi Diploma III Analis Farmasi dan Makanan.

3. Ibu Prof. Dr. Julia Reveny. M.Si., Apt., selaku Dosen Pembimbing Tugas Akhir yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengarahan dengan penuh perhatian hingga Tugas Akhir ini selesai.


(4)

4. Bapak Drs. I Gde Nyoman Suwandi, M.M., Apt., selaku Kepala Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Medan yang telah memberikan izin pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan.

5. Ibu Dra. Fat Aminah, M.Sc., Apt., selaku Dosen Penguji yang telah memberikan saran dan petujuk dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini.

6. Bapak Hari Ronaldo Tanjung, S.Si., M.Sc., Apt., sebagai Dosen Penasehat Akademis yang telah memberikan nasehat dan pengarahan kepada penulis dalam hal Akademis setiap semester.

7. Bapak dan Ibu dosen beserta seluruh staff Pegawai Fakultas Farmasi Program Studi Diploma III Analis Farmasi dan Makanan yang berupaya mendukung kemajuan mahasiswa.

8. Bapak dan Ibu staff Pegawai di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Medan yang telah membantu penulis selama melaksanakan Praktik Kerja Lapangan.

Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga kepada Ayahanda Sumadi dan Ibunda Mulyani yang sangat penulis cintai, penulis sayangi, dan penulis banggakan, yang telah melahirkan, membesarkan, serta mendidik penulis agar menjadi anak yang bertaqwa, beriman, dan berilmu.

Kepada abanganda Herial Ardiansyah Putra, S.T., dan adinda Indri Hidayati yang penulis sayangi, penulis mengucapkan terima kasih atas do’a,


(5)

Penulis mengucapkan terima kasih kepada abanganda tercinta Hari Handika, S.T., yang telah memberikan semangat, motivasi, do’a dan

dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan Tugas Akhir ini.

Terima kasih kepada teman sekelompok Praktik Kerja Lapangan dan teman dekat penulis, Ija, Tika, Nadya, Astri, Yuni, Clara, Rama, Yani serta seluruh teman-teman mahasiswa dan mahasiswi Program Studi Diploma III Analis Farmasi dan Makanan angkatan 2010, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun tidak mengurangi arti keberadaan mereka.

Dalam menulis Tugas Akhir ini, Penulis menyadari bahwa sepenuhnya isi dari Tugas Akhir ini masih terdapat banyak kekurangan dan kelemahan serta masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan Tugas Akhir ini. Akhir kata, penulis sangat berharap semoga Tugas Akhir ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak yang memerlukan. Amin.

Medan, Juni 2013 Penulis,

Ely Widya Sari NIM 102410026


(6)

Dissolution Test Of Ranitidine HCl In Preparations Tablet By Spektrofotometry UV

Abstract

Ranitidine HCl (ranin, rantin, renatac, zantac, zantadin) is a typical competitive antagonist of histamine H2 receptor so it can effectively inhibit gastric acid secretion, suppress acid levels and the volume of gastric secretion. Ranitidine is used for gastric ulcer or bowel and pathological hypersecretion. Side effects of ranitidine is include headache, dizziness, nausea, and diarrhea. Purpose of this test is to determine whether ranitidine HCl in tablet dosage by spectrophotometry UV meets the requirements of dissolution test requirements specified in accordance with the fourth edition of the Pharmacope Indonesia.

Dissolution test for 12 tablets of ranitidine HCl 150 mg was conducted using a paddle on medium 900 ml distilled water, 37 ° C ± 0.5 °, and at a rate of 50 rpm for 45 minutes. Soluble substances, specified percentage of the active substance UV spectrophotometric method.

Dissolution test results of ranitidine HCl 150 mg with sample code 83, the percentage of active ingredient dissolved obtained (Dx) is: 96.2; 98; 100.7; 99.4; 98.86, and 101.25%. Dissolution test results of ranitidine HCl 150 mg with sample code 90, the percentage of active ingredient dissolved obtained (Dx) is: 101.15; 97.27; 103.3; 103.81; 99.54, and 100.27%. From the two code sample of ranitidine HCl 150 mg, percentage of active ingredient dissolved in accordance with the limits specified in the fourth edition of the Pharmacope Indonesia, where the number of 12 tablets were tested in stage 1 (S1) meet the acceptance criteria for dissolution test results, not a single unit dosage obtained less than (Q + 5%) that is (80% + 5% = 85%). From the above data revealed that ranitidine HCl 150 mg tablet meets the requirements.


(7)

Uji Disolusi Ranitidin HCl Pada Sediaan Tablet Secara Spektrofotometri UV

Abstrak

Ranitidin HCl (ranin, rantin, renatac, zantac, zantadin) merupakan

antagonis kompetitif histamin yang khas pada reseptor H2 sehingga secara efektif dapat menghambat sekresi asam lambung, menekan kadar asam dan volume sekresi lambung. Ranitidin digunakan untuk tukak lambung atau usus pada keadaan hipersekresi yang bersifat patologis. Efek samping dari ranitidin antara lain adalah nyeri kepala, pusing, mual, dan diare. Tujuan pengujian ini adalah untuk mengetahui apakah ranitidin HCl pada sediaan tablet secara

spektrofotometri UV memenuhi persyaratan uji disolusi sesuai dengan yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia edisi IV.

Uji disolusi terhadap 12 tablet ranitidin HCl 150 mg dilakukan dengan metode dayung pada media aquadest 900 ml, suhu 37°C ± 0,5°, dan dengan laju kecepatan 50 rpm selama 45 menit. Zat yang larut, ditetapkan persentase zat aktifnya dengan metode spektrofotometri UV.

Hasil uji disolusi tablet ranitidin HCl 150 mg dengan kode contoh 83 diperoleh persentase zat aktif terlarut (Dx) yaitu: 96,2; 98; 100,7; 99,4; 98,86; dan 101,25%. Sedangkan dari hasil uji disolusi tablet ranitidin HCl 150 mg dengan kode contoh 90 diperoleh persentase zat aktif terlarut (Dx) yaitu: 101,15; 97,27; 103,3; 103,81; 99,54; dan 100,27%. Dari kedua kode contoh tablet ranitidin HCl 150 mg persentase zat aktif terlarut tersebut sesuai dengan batas yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia edisi IV, dimana jumlah dari 12 tablet yang diuji pada tahap 1 (S1) memenuhi kriteria penerimaan hasil uji disolusi, yakni tidak satu unit sediaan yang diperoleh kurang dari (Q + 5%) yaitu (80% + 5% = 85%). Dari data diatas dinyatakan bahwa tablet ranitidin HCl 150 mg memenuhi persyaratan. Kata kunci: ranitidin HCl, uji disolusi, metode spektrofotometri UV


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

ABSTRACT ... vi

ABSTRAK ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 3

1.3 Manfaat ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Tablet ... 5

2.1.1 Jenis-Jenis Tablet ... 6

2.1.2 Komponen Tablet ... 9

2.2 Antihistamin ... 10


(9)

2.4.1 Alat Uji Disolusi ... 14

2.4.2 Faktor Pengujian Disolusi ... 15

2.4.3 Kegunaan Uji Disolusi ... 16

2.4.4 Media Disolusi ... 16

2.4.5 Kecepatan Pengadukan ... 17

2.4.6 Kriteria Penerimaan Hasil Uji Disolusi ... 17

2.4.7 Alat Penetapan Laju Disolusi ... 19

2.5 Spektrofotometri UV ... 19

BAB III METODE PENGUJIAN ... 21

3.1 Tempat ... 21

3.2 Alat ... 21

3.3 Bahan ... 21

3.4 Sampel ... 21

3.5 Prosedur ... 23

3.5.1 Larutan Baku ... 23

3.5.2 Larutan Uji ... 23

3.5.3 Uji Disolusi Secara Spektrofotometri UV ... 24

3.5.4 Interpretrasi Hasil ... 25

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 26

4.1 Hasil ... 26


(10)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 28

5.1 Kesimpulan ... 28

5.2 Saran ... 28


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Kriteria Penerimaan Hasil Uji Disolusi ... 18 Tabel 2. Hasil Uji Disolusi Kode Contoh 83 ... 26 Tabel 3. Hasil Uji Disolusi Kode Contoh 90 ... 26


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Catatan Pengujian ... 31 Lampiran 2. Perhitungan ... 32 Lampiran 3. Hasil Spektrofotometri UV Uji Disolusi Ranitidin HCl Kode Contoh 83 ... 35 Lampiran 4. Hasil Spektrofotometri UV Uji Disolusi Ranitidin HCl


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Struktur Ranitidin Hidroklorida ... 11

Gambar 2. Alat Uji Disolusi Pengaduk Tipe 1 (bentuk keranjang) ... 37

Gambar 3. Alat Uji Disolusi Pengaduk Tipe 2 (bentuk dayung) ... 38


(14)

Dissolution Test Of Ranitidine HCl In Preparations Tablet By Spektrofotometry UV

Abstract

Ranitidine HCl (ranin, rantin, renatac, zantac, zantadin) is a typical competitive antagonist of histamine H2 receptor so it can effectively inhibit gastric acid secretion, suppress acid levels and the volume of gastric secretion. Ranitidine is used for gastric ulcer or bowel and pathological hypersecretion. Side effects of ranitidine is include headache, dizziness, nausea, and diarrhea. Purpose of this test is to determine whether ranitidine HCl in tablet dosage by spectrophotometry UV meets the requirements of dissolution test requirements specified in accordance with the fourth edition of the Pharmacope Indonesia.

Dissolution test for 12 tablets of ranitidine HCl 150 mg was conducted using a paddle on medium 900 ml distilled water, 37 ° C ± 0.5 °, and at a rate of 50 rpm for 45 minutes. Soluble substances, specified percentage of the active substance UV spectrophotometric method.

Dissolution test results of ranitidine HCl 150 mg with sample code 83, the percentage of active ingredient dissolved obtained (Dx) is: 96.2; 98; 100.7; 99.4; 98.86, and 101.25%. Dissolution test results of ranitidine HCl 150 mg with sample code 90, the percentage of active ingredient dissolved obtained (Dx) is: 101.15; 97.27; 103.3; 103.81; 99.54, and 100.27%. From the two code sample of ranitidine HCl 150 mg, percentage of active ingredient dissolved in accordance with the limits specified in the fourth edition of the Pharmacope Indonesia, where the number of 12 tablets were tested in stage 1 (S1) meet the acceptance criteria for dissolution test results, not a single unit dosage obtained less than (Q + 5%) that is (80% + 5% = 85%). From the above data revealed that ranitidine HCl 150 mg tablet meets the requirements.


(15)

Uji Disolusi Ranitidin HCl Pada Sediaan Tablet Secara Spektrofotometri UV

Abstrak

Ranitidin HCl (ranin, rantin, renatac, zantac, zantadin) merupakan

antagonis kompetitif histamin yang khas pada reseptor H2 sehingga secara efektif dapat menghambat sekresi asam lambung, menekan kadar asam dan volume sekresi lambung. Ranitidin digunakan untuk tukak lambung atau usus pada keadaan hipersekresi yang bersifat patologis. Efek samping dari ranitidin antara lain adalah nyeri kepala, pusing, mual, dan diare. Tujuan pengujian ini adalah untuk mengetahui apakah ranitidin HCl pada sediaan tablet secara

spektrofotometri UV memenuhi persyaratan uji disolusi sesuai dengan yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia edisi IV.

Uji disolusi terhadap 12 tablet ranitidin HCl 150 mg dilakukan dengan metode dayung pada media aquadest 900 ml, suhu 37°C ± 0,5°, dan dengan laju kecepatan 50 rpm selama 45 menit. Zat yang larut, ditetapkan persentase zat aktifnya dengan metode spektrofotometri UV.

Hasil uji disolusi tablet ranitidin HCl 150 mg dengan kode contoh 83 diperoleh persentase zat aktif terlarut (Dx) yaitu: 96,2; 98; 100,7; 99,4; 98,86; dan 101,25%. Sedangkan dari hasil uji disolusi tablet ranitidin HCl 150 mg dengan kode contoh 90 diperoleh persentase zat aktif terlarut (Dx) yaitu: 101,15; 97,27; 103,3; 103,81; 99,54; dan 100,27%. Dari kedua kode contoh tablet ranitidin HCl 150 mg persentase zat aktif terlarut tersebut sesuai dengan batas yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia edisi IV, dimana jumlah dari 12 tablet yang diuji pada tahap 1 (S1) memenuhi kriteria penerimaan hasil uji disolusi, yakni tidak satu unit sediaan yang diperoleh kurang dari (Q + 5%) yaitu (80% + 5% = 85%). Dari data diatas dinyatakan bahwa tablet ranitidin HCl 150 mg memenuhi persyaratan. Kata kunci: ranitidin HCl, uji disolusi, metode spektrofotometri UV


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Obat dapat didefinisikan sebagai suatu zat yang dimaksudkan untuk mendiagnosis penyakit, mengurangi rasa sakit, dan mengobati atau mencegah penyakit baik pada manusia maupun hewan. Salah satu kualitas obat yang paling penting ialah mempunyai beraneka ragam kerja dan efek pada tubuh (Ansel, 1989).

Obat merupakan zat aktif yang berasal dari nabati, hewani, kimiawi alam maupun sintesis dalam dosis atau kadar tertentu yang dapat digunakan untuk rehabilitasi, terapi, diagnosa terhadap suatu keadaan penyakit pada manusia ataupun hewan. Namun zat aktif tersebut tidak dapat dipergunakan begitu saja sebagai obat, terlebih dahulu harus dibuat dalam bentuk sediaan. Oleh karena itu muncul sediaan pil, kapsul, tablet, sirup, supositoria, suspensi, salep, dan lain-lain (Admar, 2004).

Tablet adalah sediaan padat kompak yang dibuat dengan cara kempa cetak dalam bentuk umumnya tabung pipih atau sirkuler, permukaannya rata atau cembung, mengandung satu jenis obat atau lebih dengan atau tanpa zat pengisi (Admar, 2007).


(17)

Untuk obat yang kelarutan dalam air terbatas, disolusi akan lebih berarti dari pada waktu hancur. Uji disolusi dipersyaratkan dalam sejumlah monografi tablet. Uji disolusi sangat berguna sebagai prosedur pengawasan mutu secara rutin (Ditjen POM, 1995).

Uji disolusi digunakan untuk menentukan kesesuaian dengan persyaratan disolusi yang tertera dalam masing-masing monografi untuk sediaan tablet dan kapsul, kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah (Ditjen POM, 1995).

Salah satu bentuk sediaan obat yang sering digunakan dalam pengobatan adalah tablet ranitidin yang merupakan suatu antagonis reseptor-H2 atau zat penghambat asam. Obat ini menghambat secara selektif sekresi asam lambung yang meningkat akibat histamin, efeknya adalah menurunkan tekanan darah. Sedangkan antagonis reseptor-H1, dapat mencegah terjadinya gejala bersin dan gatal-gatal di mata, efeknya adalah meringankan reaksi alergi lambat (Tan, 2007).

Ranitidin HCl (ranin, rantin, renatac, zantac, zantadin) merupakan antagonis kompetitif histamin yang khas pada reseptor H2 sehingga secara efektif dapat menghambat sekresi asam lambung, menekan kadar asam dan volume sekresi lambung. Ranitidin digunakan untuk tukak lambung atau usus pada keadaan hipersekresi yang bersifat patologis, misalnya sindrom zollinger-elison (Siswandono, 1995).


(18)

Pada pasien sindrom zollinger-ellison, simetidin, ranitidin, dan antagonis reseptor H2 lainnya efektif untuk mengatasi gejala akibat sekresi asam lambung yang berlebihan tetapi memerlukan dosis yang jauh lebih besar dan pemberian yang lebih sering (Setiabudy, 2008).

Menyadari bahwa pengawasan terhadap mutu tablet ranitidin hidroklorida perlu dijaga karena jika tidak memenuhi syarat dapat membahayakan konsumen dan ranitidin merupakan salah satu obat yang cukup dikenal dikalangan masyarakat umum disebabkan pemanfaatan obat ini yang cukup tinggi. Berdasarkan hal tersebut diatas, penulis tertarik untuk membuat judul tugas akhir tentang “Uji Disolusi Ranitidin HCl Pada Sediaan Tablet Secara Spektrofotometri UV” karena analisis dengan metode ini cepat, baik, teliti, dan penyiapan sampelnya mudah. Adapun pengujian dilakukan selama penulis melakukan Praktik Kerja Lapangan di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Medan.

1.2 Tujuan

Adapun tujuan dari uji disolusi ranitidin HCl pada sediaan tablet secara spektrofotometri UV untuk mengetahui apakah tablet ranitidin HCl memenuhi persyaratan uji disolusi sesuai dengan yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia edisi IV.


(19)

1.3 Manfaat

1. Memberikan informasi tentang metode yang digunakan untuk menganalisa uji disolusi tablet ranitidin HCl.

2. Menambah wawasan dari penulis agar dapat mengetahui cara penentuan persentase zat aktif terlarut pada tablet ranitidin HCl dan mengetahui apakah sediaan tersebut layak untuk didistribusikan.


(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tablet

Menurut Farmakope Indonesia edisi IV, tablet adalah sediaan padat yang mengandung bahan obat dengan atau tanpa bahan pengisi. Berdasarkan metode pembuatan, dapat digolongkan sebagai tablet cetak dan tablet kempa. Tablet cetak dibuat dengan cara menekan massa serbuk lembab dengan tekanan rendah ke dalam cetakan. Tablet kempa dibuat dengan memberikan tekanan tinggi pada serbuk atau granul menggunakan cetakan baja (tahan karat) (Agoes, 2008; Ditjen POM, 1995).

Tablet adalah sediaan padat kompak yang dibuat secara kompa cetak dalam bentuk tabung pipih atau sirkuler, mengandung satu jenis obat atau lebih dengan atau tanpa zat tambahan yang berfungsi sebagai zat pengisi, zat pengembang, zat pengikat, zat pelicin, dan zat pembasah (Ditjen POM, 1979).

Tablet merupakan bahan obat dalam bentuk sediaan padat yang biasanya dibuat dengan penambahan bahan farmasetika yang sesuai (Ansel, 1989).

Kriteria sediaan tablet adalah stabil secara fisika dan kimia, secara ekonomi dapat menghasilkan sediaan yang dapat menjamin agar setiap sediaan mengandung obat dalam jumlah yang benar dalam penerimaan kepada pasien (ukuran, bentuk, rasa, warna), dan untuk mendorong pasien menggunakan obat sesuai dengan aturan pemakaian obat (Agoes, 2008).


(21)

2.1.1 Jenis-Jenis Tablet

Menurut Ansel (1989), ada 13 jenis tablet, yaitu:

1. Tablet Kompresi

Yaitu tablet kompresi dibuat dengan sekali tekanan menjadi berbagai bentuk tablet dan ukuran, biasanya kedalam bahan obatnya diberi tambahan sejumlah bahan pembantu.

Bahan tambahan pembantu pada tablet kompresi antara lain:

(a) Pengencer atau pengisi, yang ditambahkan jika perlu kedalam formulasi supaya membentuk ukuran tablet yang diinginkan.

(b) Pengikat atau perekat, yang membantu pelekatan partikel dalam formulasi. (c) Penghancur, membantu menghancurkan tablet setelah pemberian sampai

menjadi partikel-partikel yang lebih kecil.

(d) Antirekat pelincir atau zat pelincir, yaitu zat yang meningkatkan aliran bahan memasuki cetakan tablet.

(e) Bahan tambahan lain, seperti zat warna dan zat pemberi rasa.

2. Tablet Kompresi Ganda

Yaitu tablet kompresi berlapis, dalam pembuatannya memerlukan lebih dari satu kali tekanan. Hasilnya menjadi tablet dengan beberapa lapisan atau tablet didalam tablet.

3. Tablet Salut Gula

Tablet kompresi ini mungkin diberi lapisan gula berwarna dan mungkin juga tidak, lapisan ini larut dalam air dan cepat terurai begitu ditelan. Gunanya


(22)

melindungi obat dari udara dan kelembaban atau untuk menghindari gangguan dalam pemakaiannya akibat rasa dan bau dari bahan obat. Kerugian dari lapisan gula ini adalah pengolahannya membutuhkan waktu dan keahlian serta menambah berat serta ukuran tablet.

4. Tablet Diwarnai Coklat

Yaitu lapisan coklat merupakan hal yang penting dalam sejarah karena diwaktu itu hanya coklat yang dipakai untuk menyalut dan mewarnai tablet.

5. Tablet Salut Selaput

Tablet kompresi ini disalut dengan selaput tipis dari polimer yang larut atau tidak larut dalam air maupun membentuk lapisan yang meliputi tablet. Kelebihannya ialah lebih tahan lama, bahan yang digunakan lebih sedikit, dan waktu yang lebih sedikit untuk penggunaannya.

6. Tablet Salut Enterik

Tablet salut enterik adalah tablet yang disalut dengan lapisan yang tidak melarut dan tidak hancur di lambung tetapi di usus. Gunanya menghindari terjadinya iritasi pada lambung.

7. Tablet Sublingual Atau Bukal

Yaitu tablet yang disisipkan di pipi dan di bawah lidah biasanya berbentuk datar, agar di absorbsi melalui mukosa secara oral. Cara ini berguna untuk penyerapan obat yang dirusak oleh cairan lambung atau sedikit sekali diabsorbsi oleh saluran pencernaan.


(23)

8. Tablet Kunyah

Tablet dikunyah lembut segera hancur ketika dikunyah atau dibiarkan melarut dalam mulut, menghasilkan dasar seperti krim dari mannitol yang berasa dan berwarna khusus.

9. Tablet Effervescent

Yaitu tablet berbuih dibuat dengan cara kompresi granul yang mengandung garam effervescent atau bahan lain yang mampu melepaskan gas ketika bercampur dengan air.

10. Tablet Triturat

Tablet ini bentuknya kecil dan biasanya silinder, dibuat dengan cetakan atau dibuat dengan kompresi dan biasanya mengandung sejumlah kecil obat keras. Tablet triturat harus mudah larut seluruhnya dalam air.

11. Tablet Hipodermik

Yaitu tablet yang dimasukkan di bawah kulit untuk digunakan oleh dokter dalam membuat larutan parenteral secara mendadak.

12. Tablet Pembagi

Yaitu tablet untuk membuat resep lebih tepat, guna untuk pencampuran, dan tidak pernah diberikan kepada pasien sebagai tablet itu sendiri. Tablet ini relatif mengandung sejumlah besar bahan obat keras.

13. Tablet Dengan Penglepasan Terkendali


(24)

2.1.2 Komponen Tablet

Komponen-komponen dalam formulasi tablet kempa terdiri atas zat aktif, bahan pengisi, bahan pengikat, bahan penghancur, dan bahan pelicin. Selain itu, tablet dapat juga mengandung bahan pewarna yang diizinkan, bahan pengaroma, dan bahan pemanis.

1. Bahan pengisi ditambahkan jika zat aktifnya sedikit atau sulit dikempa. Berfungsi untuk memperbesar volume massa agar mudah dicetak. Contohnya: laktosa, selulosa mikrokristal, dan pati.

2. Bahan pengikat memberikan daya adhesi pada massa serbuk sewaktu digranulasikan serta menambah daya kohesi pada bahan pengisi. Misalnya: gelatin, sukrosa, metil selulosa, dan gelatin.

3. Bahan penghancur membantu tablet agar hancur setelah ditelan. Contohnya: pati, pati dan selulosa yang dimodifikasi secara kimia, asam alginat, dan selulosa mikrokristal.

4. Bahan pelicin berfungsi mengurangi gesekan selama proses pengempaan tablet dan juga berguna untuk mencegah massa tablet melekat pada cetakan. Misalnya: asam stearat, dan minyak nabati terhidrogenasi.

5. Bahan pewarna ditambahkan untuk meningkatkan nilai estetika atau untuk memberikan identitas produk.

6. Bahan pengaroma berfungsi untuk menutupi rasa dan bau zat khasiat yang tidak enak, biasanya digunakan untuk tablet yang penggunaannya lama di mulut. Misalnya: macam-macam minyak atsiri (Syamsuni, 2006; Syamsuni,


(25)

2.2 Antihistamin

Histamin (suatu autacoid atau hormon lokal) adalah suatu amin nabati yang ditemukan oleh dr. Paul Ehrlich (1878) dan merupakan produk normal dari pertukaran zat histisin melalui dekarboksilasi enzimatis. Asam amino ini masuk kedalam tubuh terutama dalam daging (protein) yang kemudian diubah secara enzimatis menjadi histamin (Tan, 2007).

Antihistamin digunakan dalam pengobatan penyakit alergi tertentu. Kerjanya, menekan gejala-gejala yang ditimbulkan oleh histamin, suatu zat kimia yang dilepas selama proses reaksi antibodi dari respon alergi (Ansel, 1989).

Histamin bekerja dengan menduduki reseptor tertentu pada sel yang terdapat pada permukaan membran. Saat ini didapatkan 3 jenis reseptor histamin H1, H2, H3, reseptor tersebut termasuk golongan reseptor yang berpasangan dengan protein (Setiabudy, 2008).

Obat antihistamin yang hingga kini dikenal dapat dibedakan menjadi dua. Yang satu dirancang untuk antagonistik terhadap histamin yang berinteraksi dengan reseptor H1, yang biasanya digunakan untuk mengurangi reaksi alergi karena disebabkan oleh terlepasnya histamin dalam tubuh. Sedangkan yang lain adalah antagonis terhadap histamina yang berinteraksi dengan reseptor H2 (Sardjoko, 1993).


(26)

Obat ini menghambat secara selektif sekresi asam lambung yang meningkat akibat histamin, dengan jalan persaingan terhadap reseptor-H2 di lambung. Efeknya adalah menurunkan tekanan darah. Senyawa ini banyak digunakan pada terapi tukak lambung atau usus, gunanya sebagai zat pelindung tambahan pada terapi. Penghambat asam yang dewasa ini banyak digunakan adalah: simetidin, ranitidin, famotidin, nizatidin, dan roksatidi yang merupakan senyawa-senyawa heterosiklis dari histamin (Tan, 2007).

2.3 Ranitidin HCl

Gambar 1. Struktur Ranitidin Hidroklorida

Menurut Ditjen POM (1995), ranitidin hidroklorida memiliki informasi yaitu: Rumus Molekul : C13H22N4O3S.HCl

Nama Umum : Ranitidin

Pemerian : Serbuk hablur, putih sampai kuning pucat, praktis tidak berbau, peka terhadap cahaya dan kelembaban. Melebur pada suhu lebih kurang 140ºC, dan disertai peruraian. Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, cukup larut dalam etanol,

dan sukar larut dalam kloroform.


(27)

Ranitidin HCl (ranin, rantin, renatac, zantac, zantadin) merupakan antagonis kompetitif histamin yang khas pada reseptor H2 sehingga secara efektif dapat menghambat sekresi asam lambung, menekan kadar asam dan volume sekresi lambung. Ranitidin digunakan untuk tukak lambung atau usus dan keadaan hipersekresi yang bersifat patologis. Efek samping dari ranitidin antara lain adalah nyeri kepala, pusing, mual, dan diare. Setelah pemberian oral, ranitidin diserap 39-87%. Ranitidin mempunyai masa kerja cukup panjang, pemberian dosis 150 mg, efektif menekan sekresi asam lambung selama 8-12 jam. Dosis: 150 mg 2 dd atau 300 mg sebelum tidur (Siswandono, 1995).

Ranitidin menghambat reseptor H2 secara selektif. Perangsangan reseptor H2 akan merangsang sekresi asam lambung sehingga pada pemberian ranitidin sekresi asam lambung akan dihambat (Setiabudy, 2008; Tan, 2007).

Daya menghambat senyawa ini terhadap sekresi asam lebih kuat. Tidak merintangi perombakan oksidatif dari obat-obat lain sehingga tidak mengakibatkan interaksi yang tidak diinginkan. Resorpsinya pesat dan baik (Tan, 2007).

Semua antagonis reseptor H2 mengatasi tukak lambung dengan cara mengurangi sekresi asam lambung sebagai akibat penghambat reseptor histamin H2. Terapi antagonis reseptor H2 dapat membantu proses penyembuhan tukak lambung. Efek samping antagonis reseptor H2 adalah diare, gangguan saluran pencernaan, sakit kepala, pusing, dan rasa letih (Depkes RI, 2009).


(28)

Ranitidin mengalami metabolisme lintas pertama di hati dalam jumlah cukup besar setelah pemberian oral. Ranitidin diekskresi terutama melalui ginjal. Karena ekskresi antagonis reseptor H2 terutama melalui ginjal maka pada pasien gangguan fungsi ginjal dosis perlu dikurangi (Setiabudy, 2008).

2.4 Disolusi

Disolusi adalah persyaratan utama untuk dapat melewati dinding usus pada tahap pertama. Pengujian disolusi digunakan untuk membuktikan kesesuaian spesifikasi, dan dapat merupakan persyaratan dalam registrasi obat (Agoes, 2008).

Laju disolusi merupakan tahap yang menentukan laju, akibatnya laju disolusi dapat mempengaruhi onset, intensitas, dan lama respons. Cara pengujian disolusi tablet dinyatakan dalam masing-masing monografi obat. Pengujian merupakan alat yang objektif dalam menetapkan sifat disolusi suatu obat yang berada dalam sediaan padat. Tablet harus memenuhi persyaratan seperti yang terdapat dalam monografi untuk kecepatan disolusi (Ansel, 1989).

Uji disolusi digunakan untuk menentukan kesesuaian dengan persyaratan disolusi yang tertera dalam masing-masing monografi untuk sediaan tablet dan kapsul, kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah (Ditjen POM, 1995).

Pengujian kehancuran yang dicantumkan dalam seluruh farmakope menggambarkan kriteria kualitas yang penting untuk peroralia (tablet, tablet salut, granulat, dan kapsul), meskipun demikian pernyataannya dalam pandangan


(29)

yang lebih baik untuk pelepasan, meskipun bahan pembantu dapat membungkus bahan obat sedemikian rupa, sehingga melarutnya keluar dari produk hancur sangat terhambat. Oleh karena itu, kecepatan pelarutan dari bahan aktif sering kali menggambarkan langkah penentu kecepatan (Voigt, 1994).

2.4.1 Alat Uji Disolusi

Menurut Ditjen POM (1995), ada dua tipe alat uji disolusi sesuai dengan yang tertera dalam masing-masing monografi, yaitu:

a. Alat 1 (metode basket)

Alat terdiri atas wadah bertutup yang terbuat dari kaca atau bahan transparan lain yang inert, dilengkapi dengan suatu motor atau alat penggerak dan keranjang berbentuk silinder. Wadah tercelup sebagian di dalam tangas air sehingga dapat mempertahankan suhu dalam wadah 37°C ± 0,5° selama pengujian berlangsung. Bagian dari alat, termasuk lingkungan tempat alat diletakkan tidak dapat memberikan gerakan, goncangan, atau getaran signifikan yang melebihi gerakan akibat perputaran alat pengaduk. Wadah disolusi dianjurkan berbentuk silinder dengan dasar setengah bola, tinggi 160 mm hingga 175 mm, diameter dalam 98 nm hingga 106 mm, dan

kapasitas nominal 1000 ml. Batang logam berada pada posisi tertentu sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm, berputar dengan halus dan tanpa goyangan yang berarti. Suatu alat pengatur kecepatan digunakan sehingga memungkinkan untuk memilih kecepatan putaran yang dikehendaki dan


(30)

mempertahankan kecepatan seperti yang tertera dalam masing-masing monografi dalam batas lebih kurang 4%.

b. Alat 2 (metode dayung)

Sama seperti alat 1, bedanya pada alat ini digunakan dayung yang terdiri atas daun dan batang sebagai pengaduk. Batang dari dayung tersebut sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada setiap titik dari sumbu vertikal wadah dan berputar dengan halus tanpa goyangan yang berarti. Dayung memenuhi spesifikasi pada jarak 25 mm ± 2 mm antara daun dengan bagian dalam dasar wadah, dan mempertahankan suhu dalam wadah 37°C ± 0,5° selama pengujian berlangsung. Daun dan batang logam yang merupakan satu kesatuan dapat disalut dengan suatu penyalut inert yang sesuai. Sediaan dibiarkan tenggelam ke dasar wadah sebelum dayung mulai berputar.

2.4.2 Faktor Pengujian Disolusi

Menurut Agoes (2008), faktor yang mempengaruhi pengujian disolusi suatu obat dari sediaan dapat dikelompokkan dalam 5 kelompok:

1. Faktor terkait pada sifat fisiko kimia obat. 2. Faktor terkait pada formulasi obat.

3. Faktor terkait dengan bentuk sediaan. 4. Faktor terkait pada alat uji disolusi.


(31)

2.4.3 Kegunaan Uji Disolusi

1. Uji disolusi digunakan untuk memenuhi persyaratan resmi sediaan yang tertera dalam Farmakope Indonesia.

2. Uji disolusi merupakan suatu prosedur pengendalian mutu tetap dalam praktik manufaktur obat yang baik.

3. Data disolusi berguna dalam tahap awal pengembangan zat formulasi.

4. Memberikan sarana untuk mengevaluasi parameter penting seperti ketersediaan hayati yang memadai, dan memberikan informasi yang penting untuk formulator dalam pengembangan bentuk sediaan yang mempunyai daya terapi yang lebih optimal.

5. Berhubungan dengan ketersediaan hayati suatu produk sehingga uji disolusi dapat memastikan ketersediaan hayati produk antar bets yang memenuhi kriteria disolusi (Siregar, 2010).

2.4.4 Media Disolusi

Menurut Farmakope Indonesia edisi IV, media disolusi yang digunakan adalah media yang tertera pada masing-masing monografi. Bila media disolusi berupa larutan dapar. pH larutan harus diatur sehingga berada dalam batas 0,05 satuan pH yang tertera pada masing-masing monografi. Pada umumnya, media disolusi adalah air atau dapar yang sesuai, dan jumlah media disolusi sebanyak 900 ml dalam tiap wadah disolusi (Ditjen POM, 1995; Siregar, 2010).


(32)

2.4.5 Kecepatan Pengadukan

Untuk tiap uji disolusi dalam Farmakope Indonesia edisi IV, kecepatan pengadukan ditetapkan dengan satuan rpm. Jika ditetapkan, kecepatan 100 rpm untuk Alat 1 (metode basket), dan 50 rpm untuk Alat 2 (metode dayung). Kecepatan pengadukan harus seragam selama pengujian. Kadang–kadang motor pemutar pengaduk dapat secara berkala lambat atau cepat. Oleh karena itu, harus dicek pada awal dan akhir tiap pengujian (Siregar, 2010).

Menentukan kecepatan disolusi obat pada rentang pH larutan sangat penting karena dapat digunakan untuk mengetahui berapa persentase zat aktif dalam obat yang dapat terlarut dan terabsorbsi masuk ke dalam peredaran darah untuk memberikan efek terapi pada tubuh (Kurniawan, 2009).

2.4.6 Kriteria Penerimaan Hasil Uji Disolusi

Persyaratan dipenuhi bila jumlah zat aktif yang terlarut dari sediaan yang diuji sesuai dengan tabel penerimaan. Lanjutkan pengujian sampai tiga tahap, kecuali bila hasil pengujian memenuhi tahap S1 atau S2. Harga Q adalah jumlah zat aktif yang terlarut seperti yang tertera dalam masing-masing monografi, dinyatakan dalam persentase kadar pada etiket, angka 5% dan 15% dalam tabel adalah persentase kadar pada etiket, dengan demikian mempunyai arti yang sama dengan Q (Ditjen POM, 1995).

Pada tahap 1 (S1), 6 tablet diuji dengan kriteria tiap unit sediaan tidak kurang dari Q + 5%. Bila pada tahap ini tidak memenuhi syarat, maka akan


(33)

tambahan diuji lagi, dengan kriteria rata-rata dari 12 unit tablet (S1 + S2) adalah sama dengan atau lebih besar dari Q dan tidak satu unit sediaan yang lebih kecil dari Q – 15%. Bila tetap tidak memenuhi syarat, maka pengujian dilanjutkan lagi ke tahap 3 (S3). Pada tahap ini 12 tablet tambahan diuji lagi, dengan kriteria rata-rata dari 24 unit tablet (S1 + S2 + S3) adalah sama dengan atau lebih besar dari Q, tidak lebih dari 2 unit sediaan yang lebih kecil dari Q – 15% dan tidak satu unitpun yang lebih kecil dari Q – 25% (Ditjen POM, 1995).

Kriteria penerimaan hasil uji disolusi dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Kriteria Penerimaan Hasil Uji Disolusi

Tahap Jumlah yang diuji Kriteria Penerimaan

S1 6

Tiap unit sediaan tidak kurang dari Q + 5%

S2 6

Rata-rata dari 12 unit (S1 + S2) adalah sama dengan atau lebih besar dari Qdan tidak satu unit sediaan yang lebih kecil dari Q – 15%

S3 12

Rata-rata dari 24 unit (S1 + S2 + S3) adalah sama dengan atau lebih besar dari Q, tidak lebih dari 2 unit sediaan yang lebih kecil dari Q – 15% dan tidak satu unitpun yang lebih kecil dari Q – 25% Keterangan:

S1 : Tahap pertama S2 : Tahap kedua S3 : Tahap ketiga


(34)

2.4.7 Alat Penetapan Laju Disolusi

1. Alat pendisolusi zat aktif, adalah alat untuk melepaskan dan melarutkan zat aktif dalam media. Alat ini disebut alat uji disolusi.

2. Alat untuk menganalisis konsentrasi zat aktif dalam sampel media disolusi yang diambil sampelnya pada beberapa titik waktu yang telah ditetapkan atau pada satu titik waktu seperti uji disolusi pada umumnya di Farmakope Indonesia edisi IV. Metode ini disebut metode disolusi satu titik, dimana alat analisis yang digunakan adalah spektrofotometer, spektrofluorometer atau kromatografi cair kinerja tinggi (Siregar, 2010).

2.5 Spektrofotometri UV

Spektrofotometer adalah alat yang terdiri dari spektrofotometer dan fotometer. Spektrofotometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang diabsorbsi. Spektrofotometer yaitu suatu alat yang digunakan untuk menentukan suatu senyawa baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan cara mengukur absorbansi dari suatu cuplikan sebagai fungsi dari konsentrasi (Khopkar, 2008).

Spektrofotometri UV adalah pengukuran panjang gelombang, intensitas sinar ultraviolet, dan cahaya tampak yang diabsorbsi oleh sampel. Sinar ultraviolet berada pada panjang gelombang 200-400 nm (Dachriyanus, 2004).


(35)

Prosedur dasar dalam analisa kuantitatif secara spektroskopi adalah membandingkan absorbsi energi radiasi pada suatu panjang gelombang tertentu oleh suatu larutan contoh terhadap suatu larutan standar. Pada daerah spektrum ultraviolet banyak senyawa yang mampu menyerap radiasi, sehingga perlakuan pendahuluan yang diperlukan melibatkan pemisahan dari zat pengganggu (Sudarmadji, 1989).

Analisis spektrofotometri cukup teliti, cepat, dan sangat cocok untuk digunakan pada kadar yang kecil. Senyawa yang dianalisis harus mempunyai gugus kromofor. Pengamatan spektrum bermanfaat, karena dapat membandingkan spektrum sebelum dan sesudah partisi (Sardjoko, 1993).

Spektrum UV merupakan korelasi antara absorbansi dengan panjang gelombang. Penyerapan sinar UV pada umumnya dihasilkan oleh eksitasi elektron-elekron ikatan, akibatnya panjang gelombang yang mengabsorbsi dapat dihubungkan dengan ikatan yang mungkin ada dalam suatu molekul (Rohman, 2007).

Spektrofotometri UV dapat digunakan untuk informasi kualitatif dan sekaligus dapat digunakan untuk analisis kuantitatif. Pada aspek kualitatif, data spektrofotometri UV secara tersendiri tidak dapat digunakan untuk identifikasi kualitatif obat. Sedangkan pada aspek kuantitatif, radiasi yang diserap oleh cuplikan ditentukan dengan membandingkan intensitas sinar yang diteruskan dengan intensitas sinar yang diserap (Rohman, 2007).


(36)

BAB III

METODE PENGUJIAN

3.1 Tempat

Uji disolusi ranitidin HCl pada sediaan tablet secara Spektrofotometri UV dilakukan di Laboratorium Narkotika Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Medan yang bertempat di Jalan Williem Iskandar Pasar V Barat I No. 2 Medan pada 25 Februari 2013.

3.2 Alat

Alat-alat yang digunakan adalah dissolution tester SR 8 plus, seperangkat alat spektrofotometri UV,timbangan analitik, aluminium foil,spatula, pipet tetes, erlenmeyer, gelas ukur 1000 ml, beaker gelas, labu tentukur 10 ml; 25 ml; 50 ml; 100 ml, pipet volume 1 ml; 2 ml dan 4 ml.

3.3 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan adalah tablet ranitidin 150 mg kode contoh 83 dan 90, baku ranitidin hidroklorida, dan akuades.

3.4 Sampel

Nama Sediaan : Ranitidin

Bentuk Sediaan : Tablet salut selaput No. Kode Contoh : 83


(37)

Nomor Registrasi : GKL0302334117A1 No. Batch : TSB 07941

Kemasan Asli : Kotak/10 strip @10 tablet salut selaput Waktu daluarsa : Jan 15

Komposisi : Ranitidin 150 mg. Tiap tablet salut selaput mengandung: ranitidin HCl 168 mg (setara dengan ranitidin 150 mg).

Nama Obat : Ranitidin

Bentuk Sediaan : Tablet salut selaput No. Kode Contoh : 90

Pabrik : PT. Bernofarm–Sidoarjo–Indonesia Nomor Registrasi : GKL0302334117A1

No. Batch : TSC 13541

Kemasan Asli : Kotak/10 strip @10 tablet salut selaput Waktu daluarsa : Peb 15

Komposisi : Ranitidin 150 mg. Tiap tablet salut selaput mengandung: ranitidin HCl 168 mg (setara dengan ranitidin 150 mg).


(38)

3.5 Prosedur 3.5.1 Larutan Baku

a. Ditimbang seksama sejumlah ranitidin BPFI 13,069 mg. b. Dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml.

c. Dilarutkan dengan aquadest hingga garis tanda. d. Dikocok hingga homogen.

e. Dipipet 1 ml larutan, masukkan ke dalam labu tentukur 10 ml. f. Dilarutkan dengan aquadest hingga garis tanda.

g. Dikocok hingga homogen.

h. Dimasukkan larutan kedalam kuvet.

i. Diukur serapan larutan baku dengan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 314 nm, menggunakan aquadest sebagai blanko.

3.5.2 Larutan Uji

Cara pembuatan larutan uji dengan metode dayung:

a. Disiapkan alat dissolution tester SR 8 Plus dan pastikan alat siap pakai.

b. Dimasukkan 900 ml aquadest ke dalam 6 wadah (media disolusi) yang sudah disediakan, dipasang alat dengan pengaduk bentuk dayung (tipe 2). Biarkan suhu mencapai 37ºC ± 0,5º terlebih dahulu.

c. Dimasukkan 1 tablet ranitidin HCl 150 mg ke dalam masing-masing wadah secara serentak. Segera jalankan alat pada suhu 37ºC ± 0,5º dengan laju kecepatan 50 rpm dan tunggu selama 45 menit.


(39)

e. Dimasukkan ke dalam erlenmeyer.

f. Dipipet sebanyak 4 ml larutan dari erlenmeyer, kemudian dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml dan diencerkan dengan aquadest sampai garis tanda (untuk kode contoh no. 83). Dikocok.

Dipipet sebanyak 2 ml larutan dari erlenmeyer, kemudian dimasukkan ke dalam labu tentukur 25 ml dan diencerkan dengan aquadest sampai garis tanda (untuk kode contoh no. 90). Dikocok.

g. Diukur serapan masing-masing larutan uji dengan spektrofotometri UV pada panjang gelombang 314 nm.

3.5.3 Uji Disolusi secara Spektrofotometri UV

a. Dihidupkan power / on pada alat spektrofotometer.

b. Dibuka Software Spektrofotometri dan ketik angka panjang gelombang 314 nm.

c. Dibuka tempat kuvet, masukkan larutan blanko (aquadest) pada kuvet 1.

d. Dimasukkan juga larutan standar (larutan baku) pada kuvet 2, tutup.

e. Kemudian dicatat absorbansinya (lihat pada printout).

f. Untuk mengukur absorbansi pada larutan uji dilakukan cara yang sama, dimana larutan blanko pada posisi tetap di kuvet 1 dan larutan uji pada kuvet 2.


(40)

3.5.4 Interpretasi Hasil

Uji disolusi pada sampel ranitidin HCl 150 mg dapat dihitung dengan rumus:

Fk = V x Fu x Bb x Kb x 314,40 Fb x Ab x Ke 350,87 % Zat aktif terlarut (Dx1) : Fk x Au

Keterangan: V = volume media disolusi Au = Absorbansi larutan uji Ab = Absorbansi larutan baku Fk = Faktor perkalian

Kb = Kadar baku Ke = Kadar etiket

Fu = Faktor pengenceran uji Fb = Faktor pengenceran baku Bb = Bobot baku


(41)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Berdasarkan perlakuan uji disolusi tablet ranitidin HCl 150 mg, diperoleh hasil uji disolusi dengan kode contoh 83, yang dapat dilihat pada Tabel 2 dibawah ini.

Tabel 2. Hasil Uji Disolusi Kode Contoh 83

No. Pengenceran (Fu) Pengukuran (Au) % Zat aktif terlarut (Dx) 1. 12,5 ml 0,6393 96,2 %

2. 12,5 ml 0,6513 98 %

3. 12,5 ml 0,6695 100,74 %

4. 12,5 ml 0,6606 99,4 % 5. 12,5 ml 0,6570 98,86 %

6. 12,5 ml 0,6729 101,25 %

Berdasarkan perlakuan uji disolusi tablet Ranitidin HCl 150 mg, diperoleh hasil uji disolusi dengan kode contoh 90, yang dapat dilihat pada Tabel 3 dibawah ini.

Tabel 3. Hasil Uji Disolusi Kode Contoh 90

No. Pengenceran (Fu) Pengukuran (Au) % Zat aktif terlarut (Dx)

1. 12,5 ml 0,6722 101,15 %

2. 12,5 ml 0,6464 97,27 % 3. 12,5 ml 0,6865 103,3 %

4. 12,5 ml 0,6899 103,81 %

5. 12,5 ml 0,6615 99,54 %

6. 12,5 ml 0,6664 100,27 %


(42)

4.2 Pembahasan

Dari hasil uji disolusi tablet ranitidin HCl 150 mg dengan kode contoh 83 diperoleh persentase zat aktif terlarut (Dx) yaitu: 96,2; 98; 100,74; 99,4; 98,86; dan 101,25%. Sedangkan dari hasil uji disolusi tablet ranitidin HCl 150 mg dengan kode contoh 90 diperoleh persentase zat aktif terlarut (Dx) yaitu: 101,15; 97,27; 103,3; 103,81; 99,54; dan 100,27%. Dari kedua kode contoh tablet ranitidin HCl 150 mg, persentase zat aktif terlarut tersebut sesuai dengan batas yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia edisi IV, dimana jumlah dari 12 tablet yang diuji pada tahap 1 (S1) memenuhi kriteria penerimaan hasil uji disolusi, yakni tidak satu unit sediaan yang diperoleh kurang dari (Q + 5%) yaitu (80% + 5% = 85%). Dari data diatas dinyatakan bahwa tablet ranitidin HCl 150 mg memenuhi persyaratan.


(43)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil uji disolusi ranitidin HCl pada sediaan tablet secara spektrofotometri UV dengan kode contoh 83 dan 90 maka dapat disimpulkan bahwa tablet ranitidin HCl 150 mg telah memenuhi persyaratan uji disolusi sesuai dengan yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia edisi IV.

5.2 Saran

Disarankan kepada penguji selanjutnya untuk melakukan pengujian uji disolusi ranitidin HCl pada sediaan tablet tidak hanya menggunakan metode spektrofotometri UV saja tetapi juga dengan menggunakan metode lainnya agar dapat diperoleh perbandingan dari berbagai macam metode.


(44)

DAFTAR PUSTAKA

Admar, J. (2004). Perihal Obat dengan Berbagai Jenis dan Bentuk Sediaannya. Cetakan Pertama. Medan: Universitas Sumatera Utara Press. Hal. 2–3, 35. Admar, J. (2007). Perihal Obat dengan Berbagai Jenis dan Bentuk Sediaannya.

Cetakan Kedua. Medan: Universitas Sumatera Utara Press. Hal. 37.

Agoes, G. (2008). Pengembangan Sediaan Farmasi. Bandung: ITB Press. Hal. 21, 192, 195, 241, 294–301, 376–380.

Ansel, H.C. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi keempat. Cetakan Pertama. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia Press. Hal. 154, 244-250, 259, 344.

Dachriyanus. (2004). Analisis Struktur Senyawa Organik Secara Spektroskopi. Padang: Andalas University Press. Hal. 1.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2009). Informasi Obat Nasional Indonesia. Cetakan Pertama. Jakarta: Sagung Seto. Hal. 46.

Ditjen POM. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 6–8.

Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 4–6, 733–735, 1083–1087.

Khopkar, S.M. (2008). Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Hal. 211, 225.

Kurniawan, D.W., dan Sudairman, S. (2009). Teknologi Sediaan Farmasi. Edisi Pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hal. 16.

Rohman, A. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 228–229, 240.

Sardjoko. (1993). Rancangan Obat. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 27, 162.

Setiabudy, R. (2008). Farmakologi dan Terapi. Edisi kelima. Cetak ulang dengan perbaikan. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal. 273–283.

Siregar, C.J.P., dan Wikarsa, S. (2010). Teknologi Farmasi Sediaan Tablet Dasar–Dasar Praktis. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.


(45)

Siswandono. (1995). Kimia Medisinal. Surabaya: Airlangga University Press. Hal. 431, 448.

Sudarmadji, S. (1989). Analisa Bahan Makanan Dan Pertanian. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Hal. 31.

Syamsuni, H. (2006). Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi. Cetakan Pertama. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 82–87.

Syamsuni, H. (2007). Ilmu Resep. Cetakan Pertama. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 172-177.

Tan, T.H., dan Rahardja, K. (2007). Obat-Obat Penting. Edisi keenam. Cetakan Pertama. Jakarta: Penerbit PT. Elex Media Komputindo. Hal. 273, 812–813, 818-819.

Voigt, R. (1994). Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Edisi kelima. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Hal. 797-798.


(46)

Lampiran 1. Catatan Pengujian

Nama sediaan : Tablet ranitidin

Zat berkhasiat : Tiap tablet salut selaput mengandung: ranitidin HCl 168 mg (setara dengan ranitidin 150 mg).

No. Bets : TSB 07941 dan TSC 13541 Media disolusi : 900 ml aquadest

Tipe alat : Tipe 2 (metode dayung) Waktu : 45 menit

Kecepatan rotasi : 50 rpm Panjang gelombang : ± 314 nm Bobot baku (Bb) : 13,069 mg

Faktor pengenceran larutan baku (Fb) : 1000 ml Faktor pengenceran larutan uji (Fu) : 12,5 ml Kandungan ranitidin HCl pada etiket (Ke) : 150 mg Absorbansi larutan baku (Ab) : 0,5755 Kadar baku (Kb) : 98,61%


(47)

Lampiran 2. Perhitungan

Tablet ranitidin (kode contoh 83):

Timbangan baku: 22, 826 mg – 9,757 mg = 13, 069 mg Kb = �100−sp

100 � x K

Kb = �100−0,04%

100 � x 99,61%

Kb = 98,61%

Faktor pengenceran baku = 100 x 10 = 1000 ml 1

Faktor pengenceran uji (83) = 50 = 12,5 ml 4

Fk = V x Fu x Bb x Kb x 314,40 Fb x Ab x Ke 350,87

= 900 x 12,5 x 13,069 x 98,61 x 314,40 1000 x 0,5755 x 150 350,87 = 150,48%

% Zat aktif terlarut (Dx1) : Fk x Au

: 150,48% x 0,6393 : 96,2 %

% Zat aktif terlarut (Dx2) : Fk x Au

: 150,48% x 0,6513 : 98%


(48)

% Zat aktif terlarut (Dx3) : Fk x Au

: 150,48% x 0,6695 : 100,74 %

% Zat aktif terlarut (Dx4) : Fk x Au

: 150,48% x 0,6606 : 99,4 %

% Zat aktif terlarut (Dx5) : Fk x Au

: 150,48% x 0,6570 : 98,86 %

% Zat aktif terlarut (Dx6) : Fk x Au

: 150,48% x 0,6729 : 101,25 %

Tablet ranitidin (kode contoh 90):

Timbangan baku: 22, 826 mg – 9,757 mg = 13, 069 mg Kb = �100−sp

100 � x K

Kb = �100−0,04%

100 � x 99,61%

Kb = 98,61%

Faktor pengenceran baku = 100 x 10 = 1000 ml 1


(49)

Fk = V x Fu x Bb x Kb x 314,40 Fb x Ab x Ke 350,87

= 900 x 12,5 x 13,069 x 98,61 x 314,40 1000 x 0,5755 x 150 350,87

= 150,48%

% Zat aktif terlarut (Dx1) : Fk x Au

: 150,48% x 0,6722 : 101,15 %

% Zat aktif terlarut (Dx2) : Fk x Au

: 150,48% x 0,6464 : 97,27 %

% Zat aktif terlarut (Dx3) : Fk x Au

: 150,48% x 0,6865 : 103,3 %

% Zat aktif terlarut (Dx4) : Fk x Au

: 150,48% x 0,6899 : 103,81 %

% Zat aktif terlarut (Dx5) : Fk x Au

: 150,48% x 0,6615 : 99,54 %

% Zat aktif terlarut (Dx6) : Fk x Au

: 150,48% x 0,6664 : 100,27 %


(50)

Lampiran 3. Hasil Spektrofotometri UV Uji Disolusi Ranitidin HCl Kode Contoh 83


(51)

Lampiran 4. Hasil Spektrofotometri UV Uji Disolusi Ranitidin HCl Kode Contoh 90


(52)

(53)

(54)

(1)

Fk = V x Fu x Bb x Kb x 314,40 Fb x Ab x Ke 350,87

= 900 x 12,5 x 13,069 x 98,61 x 314,40 1000 x 0,5755 x 150 350,87

= 150,48%

% Zat aktif terlarut (Dx1) : Fk x Au

: 150,48% x 0,6722 : 101,15 %

% Zat aktif terlarut (Dx2) : Fk x Au

: 150,48% x 0,6464 : 97,27 %

% Zat aktif terlarut (Dx3) : Fk x Au

: 150,48% x 0,6865 : 103,3 %

% Zat aktif terlarut (Dx4) : Fk x Au

: 150,48% x 0,6899 : 103,81 %

% Zat aktif terlarut (Dx5) : Fk x Au

: 150,48% x 0,6615 : 99,54 %


(2)

Lampiran 3. Hasil Spektrofotometri UV Uji Disolusi Ranitidin HCl Kode Contoh 83


(3)

Lampiran 4. Hasil Spektrofotometri UV Uji Disolusi Ranitidin HCl Kode Contoh 90


(4)

(5)

(6)