Pernyataan B pada wacana tersebut sulit dibuktikan kebenarannya karena ia adalah seorang pedagang minyak keliling bukan seorang ahli tambang atau
insinyur perminyakan.
c. Penyimpangan Maksim Relevansi
Wijana 2004: 84-87 menyatakan bahwa untuk mewujudkan komunikasi yang lancar, penutur dan mitra tutur dituntut selalu relevan mengemukakan
maksud dan ide-idenya. Kontribusi-kontribusi yang diberikan harus berkaitan atau sesuai dengan topik-topik yang sedang diperbincangkan. Dalam berbicara,
penutur mengutarakan tuturannya sedemikian rupa sehingga tuturan itu hanya memiliki satu tafsiran yang relevan dengan konteks pembicaraan. Agar
pembicaraan selalu relevan, maka penutur harus membangun konteks yang kurang lebih sama dengan konteks yang dibangun oleh mitra tuturnya. Jika tidak, penutur
dan mitra tutur akan terperangkap dalam kesalahpahaman. Bila kesalahpahaman harus dihindari dalam komunikasi yang wajar, dalam
wacana humor kesalahpahaman menjadi fenomena yang penting untuk menciptakan humor. Kesalahpahaman diciptakan penutur dengan salah
menafsirkan konteks pembicaraan yang dibangun atau ditawarkan oleh mitra tuturnya. Untuk lebih jelasnya dapat disimak contoh wacana berikut ini.
Contoh: 12 A: “Akulah manusia enam juta dollar.”
B: “Biyuh-biyuh, kalau begitu kenalpotnya aja harga berapa?” Dalam wacana tersebut, tokoh B memberikan tanggapan yang
menyimpang dari konteks yang diajukan oleh mitra tuturnya A yakni
menghubungkan manusia enam juta dollar six million dollar man dengan kendaraan. Tidak relevannya tanggapan B karena tidak terlihat hubungan
implikasionalnya.
d. Penyimpangan Maksim Pelaksanaan
Wijana 2004: 88-91 menyatakan bahwa ada beberapa hal yang harus diperhatikan penutur dalam upaya memenuhi maksim pelaksanaan. Penutur harus
mengutarakan ujarannya sedemikian rupa agar mudah dipahami oleh mitra tuturnya dengan menghindari kekaburan, ketaksaan, berbicara secara padat,
langsung, serta runtut. Penutur dan mitra tutur tidak dapat mengutarakan tuturannya secara kabur dan taksa karena setiap bentuk kebahasaan yang memiliki
potensi untuk taksa hanya memiliki satu kemungkinan penafsiran di dalam setiap pemakaian sepanjang konteks pemakaiannya dipertimbangkan secara cermat.
Dengan demikian, penutur dan mitra tutur dapat membedakan secara serta merta tuturan yang diutarakan secara literal dengan tuturan yang bersifat metaforis
figuratif. Bila penutur mengatakan koruptor kelas kakap atau penjahat kelas teri, maka kakap dan teri dalam konteks ini bersifat metaforis, bukan bersifat literal.
Bila mitra tutur menafsirkannya secara literal, maka ia tidak bersifat kooperatif atau melanggar maksim pelaksanaan.
Pemanfaatan ambiguitas di dalam menciptakan humor dapat dilihat dari pemanfaatan homonim, polisemi, dan akronim seperti tampak pada contoh
wacana di bawah ini.
Contoh: 13 A: “Manusia matanya cuma dua... Apa yang matanya banyak?”
B: “Angin, delapan penjuru mata angin.” Wacana pada contoh 13 menunjukkan adanya pemanfaatan polisemi kata
mata. Berbeda halnya dengan wacana berikut ini. Contoh: 14
A: “Masa Peru ibu kotanya Lima, banyak sekali” B: “Bukan jumlahnya, tapi namanya.”
Dalam wacana 14 penutur memanfaatkan homonimi kata lima “nama
bilangan” dengan nama ibu kota Peru. Berbeda lagi dengan contoh di bawah ini.
Contoh: 15 A: “Kenapa disebut banjir?”
B: “Dari kata bantuan jika ada air.” Dalam wacana 15 memanfaatkan akronim kata banjir
“air bah” menjadi “bantuan jika ada air”. Pemanfaatan ambiguitas ternyata tidak terbatas pada
pemanfaatan homonimi, polisemi, dan akronim, tetapi meliputi pula pemanfaatan ketaksaan yang lain seperti substitusi bunyi, penambahan bunyi, idiom, dan
peribahasa seperti nampak pada wacana di bawah ini: Contoh: 16
A: “Dul, sebelah rumahku ada janda kembang.” B: “Jangan kau buat jadi janda kembung, lho”