perjuangan ideologis, bagi kelompok yang dominan maupun yang terbawahkan.
2. Keterangan Ahli Fadjroel Rahman
- Bahwa ada dua contoh terburuk dengan kerusakan moral, psikologis dan
intelektual terburuk bagi generasi ketika sensor atau pelarangan dan indoktrinasi ideologi dilakukan rezim totaliter Soeharto-Orde Baru.
- Bahwa indoktrinasi ideologi Pancasila yang secara massal dilakukan terhadap seluruh lapisan masyarakat. Hanya ada satu tafsir tunggal
terhadap Pancasila, tafsir lain harus disensor dan dijauhkan dari kemungkinan ada dalam benak setiap manusia Indonesia, tanpa alternatif.
Agar tafsir tersebut tercetak seperti beton di dalam pikiran manusia Indonesia, maka dilakukan program massal indoktrinasi melalui penataran
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila P4, tentu dilengkapi lagi dengan propaganda tentang musuh utama ideologi Pancasila, melalui
film Pengkhianatan G30SPKI yang menjadi tontonan wajib untuk seluruh masyarakat dan diputar berulang setiap tahun melalui layer televisi
bertepatan dengan tanggal 30 September. -
Bahwa kualitas moral dan intelektual terburuk yang diinternalisasi oleh sensor dan indoktrinasi rezim totaliter Soeharto-Orde Baru terjadi.
- Bahwa sensor atau pelarangan terhadap karya-karya Pramudya Ananta
Toer, termasuk tetralogi Pulau Buru, dengan alasan karya-karya tersebut bertentangan dengan ideologi Pancasila dan akan menjerumuskan
pembacanya menjadi penganut komunis. -
Bahwa generasi ahli kehilangan sumber informasi penting untuk perkembangan intelektual dan pemahaman sejarah bangsa dengan cara
pandang yang berbeda daripada cara pandang resmi rezim totaliter Soeharto-Orde Baru.
- Bahwa alasan ahli menolak sensor dan indoktrinasi adalah teramat jelas,
melalui dua kasus yaitu merusak kualitas moral dan intelektual manusia bebas yang menjadi sasarannya ahli yakin kerusakan tersebut masih
membekas pada generasi ahli sebagian besar masih hidup dengan keragu- raguan menerima hak sipil yang menjamin kebebasan dan perbedaan
ideologi, iman, ataupun keyakinan yang berbeda, Padahal hanya dengan kebebasan, pilihan-pilihan rasional dapat dibuat oleh setia manusia,
42
kemudian dengan pilihan rasional tersebut akan muncul tanggung-jawab. Tanpa kebebasan, tidak ada pilihan, tanpa pilihan tidak tanggung-jawab.
Tanpa kebebasan, tanpa pilihan, tidak ada surga dan neraka. -
Bahwa Sidharta Gautama menurut ahli tidak akan ada dan tidak akan memperoleh pencerahan, bila sensor dan indoktrinasi dari orangtua dan
pemimpin agama lama, tetap dipatuhi dalam istana mewah berkecukupan, tanpa penderitaan dan tanpa bersentuhan dengan dunia.
- Bahwa peniadaan sensor dan indoktrinasi adalah sumber penyelamatan
dan pencerahan manusia. Ilmu pengetahuan pun terhambat oleh perilaku barbar para Inkuisitor terhadap Giurdano Bruno dan Galileo Galilei.
Kedatangan Issac Newton harus tertunda berabad-abad karena sensor dan indoktrinasi. Demokrasi di Indonesia pun terhambat puluhan tahun karena
sensor dan indoktrinasi rezim totaliter Soeharto Orde Baru. -
Bahwa ilmu pengetahuan, kemanusiaan dan peradaban ahli yakin hanya bisa berkembang secara progresif bila meniadakan sensor dan indoktrinasi,
dan melepaskan setiap manusia Indonesia untuk hidup dalam kebebasan, menentukan pilihan rasional sendiri, lalu bertanggung jawab terhadap
pilihan rasional tersebut. Sembari tetap berada dalam ketegangan dialektis. -
Bahwa setiap pilihan rasional harus tunduk pada evaluasi kritis dan falsifikasi.
- Bahwa guru ahli adalah Karl Raimund Popper, filsuf yang mengajari metodologi pemecahan kritis, evaluasi kritis, falsifikasi dan masyarakat
terbuka. Dalam buku The Open Society and Its Enemies dan Logic of Scientific Discovery, yang mengajarkan kritisisme, dan masyarakat terbuka
adalah ciri masyarakat demokratis dan prasyarat kemajuan ilmu pengetahuan, bukan sensor, indoktrinasi dan masyarakat tertutup.
- Bahwa tak ada yang absolut di muka bumi ini, setiap orang adalah pencari
kebenaran. Untuk itulah diperlukan sebuah masyarakat terbuka yang dapat dikritik terus menerus, di mana informasi apapun dapat ditemukan tanpa
sensor dan pilihan tak dibatasi melalui indoktrinasi. -
Bahwa ahli mendukung upaya mengembalikan hak konstitusional dan hak demokratis setiap warganegara Indonesia yang dijamin melalui Pasal 28F
UUD 1945 serta membela kebebasan dan hak demokratis ini seperti teladan Giurdano Bruno dan Galileo Galilei.
43
- Bahwa tanpa kebebasan dan pilihan, hanya sensor dan indoktrinasi, maka
tak ada tanggung jawab karena tak berhak meminta tanggung jawab bila tak ada pilihan, bila tak ada kebebasan maka yang dibutuhkan hanyalah
klasifikasi informasi berdasarkan usia, bukan sensor dan indoktrinasi. -
Bahwa betapa buruknya sensor dan indoktrinasi. Keduanya menuju kepada masyarakat tertutup yang dipenuhi kekerasan, kebohongan, dan
kebodohan. Ketika rezim totaliter Soeharto Orde Baru digulingkan mahasiswa. Sensor dan indoktrinasi secara diametral bertentangan dengan
demokrasia akan serta menghapuskan penataran kebodohan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila P4, membubarkan institusi
kekerasan penjaga idelogi tersebut Badan Koordinasi Stabilitas Nasional Daerah Bakorstanasda, menghentikan pemutaran filem propaganda
Pengkhiatanan G30SPKI yang ternyata dipenuhi kebohongan. Kebohongan dan kebodohan tampaknya ingin terus diabadikan oleh Lembaga Sensor
Film LSF -
Bahwa bila ada kegagalan penegakan hukum di masyarakat; bila ada kegagalan tokoh-tokoh agama membina moral umatnya; 3 bila ada
lembaga semacam Komisi Penyiaran Indonesia dan sejenisnya yang tak memiliki atau tak mampu menegakkan wewenang; 4 bila ada kemiskinan
dan kurangnya pendidikan pada mayoritas rakyat, sangatlah keliru dan menyesatkan bila menjadikan keempat realitas hukum, sosial, ekonomi, dan
politik itu sebagai alasan untuk mencabut hak demokrasi dan hak konstitusional setiap warganegara untuk mendapatkan informasi apapun
secara bebas. -
Bahwa tindakan dan upaya mencabut kebebasan memperoleh informasi sebagai hak demokratis dan konstitusional setiap warga negara adalah
logika yang sesat dan menyesatkan. -
Bahwa sebuah Republik tanpa sensor dan indoktrinasi. Republik Konstitusional yang membela hak warganegaranya, membela kebebasan
dan demokrasi.
3. Keterangan Ahli Budiyati Abiyoga Produser Film