Penyebab Konflik T2 752012005 BAB III

40 kurang lebih dari 140 kepala keluarga berangsur-angsur pindah ke lokasi tersebut sementara sebagian warga jemaat masih menumpang di rumah keluarga atau kenalan dekat sedangkan warga jemaat lain meminjam lahan penduduk setempat kemudian membangun di sekitar lokasi ataupun mencari rumah kontrakan yang relatif murah. Pada tahun 2003, memasuki tahun ketiga bermukim di lahan pinjaman dan menjelang berakhirnya masa peminjaman pada tanggal 1 januari 2004, warga jemaat mengambil alternatif untuk mencari lokasi baru yang dapat menjadi hak milik masing- masing keluarga akan tetapi karena belum menemukan lokasi baru tersebut warga jemaat masih berdomisi di Later sampai tahun 2008 dan mempersiapkan lahan di Kajuawu. Di antara tahun 2008-2009 sebagaian warga jemaat pindah dan berdomisi di Kajuawu sementara sebagian warga jemaat sudah menetap dan berdomisi di Later sampai sekarang. 8 Warga jemaat Kayamanya adalah salah satu jemaat yang keseluruhan anggotanya tidak lagi kembali ke kampung halaman di Kayamanya. Hal ini di sebabkan masih adanya ketakutan untuk kembali karena desa Kayamanya yang telah dihuni oleh mayoritas masyarakat Muslim sehingga hampil seluruh aset dari warga jemaat yang berada di kampung telah di jual. 9

B. Penyebab Konflik

Salah satu dampak yang sangat krusial pasca terjadinya reformasi mei 1998 di Indonesia adalah bertiup kencangnya topan kebebasan. Kebebasan ini tidak sekedar merupakan tetesan dari rasa yang terpendam selama 32 tahun masa kekuasaan pemerintah Orde baru, tetapi juga merupakan akumulasi dari ketidakpuasan terhadap era sebelumnya. 8 Wawancara FGD pada tanggal 19 Januari 2014. 9 Wawancara dengan Bapak A.Ganago pada tanggal 14 Januari 2014. 41 Yang lebih parah lagi adalah kran kebebasan cenderung kearah terjadinya diintegrasi bangsa yang sudah puluhan tahun dianyam dan direkatkan dalam bingkai Kesatuan Republik Indonesia NKRI. 10 Cobaan terhadap keutuhan NKRI tersebut bagaikan bola salju pada sisi awalnya – enam bulan setelahnya – reformasi, tepatnya 24 Desember 1998, yakni dengan pecahnya konflik Poso yang kemudian disebut dengan tahapan jilid 1 yang kemudian disusul dengan konflik jilid II dan jilid III. Konflik Poso merupakan ‘musibah’ demokrasi berlatar belakang konflik struktural yang menyeret anak bangsa berbeda agama di eksploitasi untuk kepentingan kekuasaan. Konflik ini berawal dari pertarungan elit lokal yang menjual isu-isu demokrasi dan sentiment agama, sehingga masyarakat Poso yang dahulunya hidup rukun, dan berdampingan bahkan di antara mereka bertalian darahbersaudara, terpaksa dipisahkan atas nama perebutan kekuasaan. Untuk kepentingan lain mereka terpaksa saling bunuh dan membantai satu sama lain. Hubungan- hubungan sosial antar masyarakat yang dahulunya ramah berubah menjadi beringas dan ganas. Nilai-nilai hidup komunal yang menekankan toleransi dan kerjasama tertelan oleh sentimen-sentimen primordialisme. Kecenderungan ini telah memberi andil dalam hancurnya struktur sosial masyarakat Poso. Masyarakat Poso yang dibesarkan dalam kultur persahabatan, perdamaian dan cinta kasih berubah seketika menjadi masyarakat yang sarat dengan benih kebencian, permusuhan, dan balas dendam. Modal sosial dan kearifan lokal yang disemboyangkan dengan ungkapan sintuwu maroso yang artinya hidup untuk saling menghidupkan dalam satu kebersamaan tercabik dan robek. 11 Sintuwu 10 Hasrullah, Dendam Konflik Poso: Konflik Poso dari Perspektif Komunikasi Politik Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009. 11 Ade Alawi dkk, Kabar Dari Poso: Menggagas Jurnalisme Damai Jakarta: LSPP, Kedubes Inggris, 2001, 58. 42 maroso yang mempersatukan masyarakat Poso yang memiliki keberagaman suku dan agama berubah menjadi fanatisme kelompok. 12 Konflik Poso pada awalnya sangat berkaitan dengan kompetisi elite lokal. Saat konflik Poso meletus pada pertama kalinya akhir Desember 1998 bertepatan dengan situasi politik sudah mulai memanas terhadap permasalahan pemilihan bupati Poso dan pejabat- pejabat lain, dimana setelah reformasi dalam demokrasi terbuka menjadi “ the winner takes all ”. Sehingga para elite lokal bersaing untuk mendapat jabatan dalam pemerintahan yang dapat mewakili komunitasnya atau agama tertentu baik itu Kristen maupun Islam, pihak yang kalah tidak menerimanya, sehingga menimbulkan kekecewaan karena tidak mendapatkan ‘kue kekuasaan’. Lebih spesifik lagi, ada kelompok elit agama tertentu karena tidak puas terhadap power sharing dalam perebutan jabatan dan kekuasan di Poso lalu mengaitkan kekalahan tersebut dengan masalah agama. Dari keyataan ini jelas sekali bahwa yang berkonflik di Poso bukanlah rakyat biasa melainkan elit politik lokal atau struktural yang bermain dan memperebutkan kekuasaan. Jadi konflik Poso awalnya bukan konflik kriminal yaitu perkelahian antara dua pemuda yang berlainan agama di akhir Desember 1998, melainkan konflik elite. Konflik kriminal hanya sebagai pemicu untuk mengawali konflik politik yang telah diskenariokan. Selain konflik politik, faktor ekonomi juga turut andil memperbesar konflik. Kemajuan pembangunan infrastruktur di Sulawesi tengah, disisi lain dapat meningkatkan sektor perekonomian, tetapi juga membuat kondisi perbandingan Kristen –Islam tambah bergeser. Hal ini disebabkan dengan masuknya transmigrasi dari berbagai wilayah Indonesia ke Sulawesi tengah. Sebagaimana misalnya para pribumi menjual tanahnya kepada pendatang. Setelah tanah itu dijual, tanah digarap menjadi perkebunan coklat dan hasilnya memberi manfaat besar kepada pendatang. Keberhasilan pendatang ini, 12 Tony Tampake, Redefinisi Tindakan Sosial …, 1 43 mengundang kecemburuan dan hal tersebut merupakan benih-benih konflik laten, sehingga pribumi menganggap dirinya tergusur dari negerinya sendiri. Sementara itu transmigrasi membawa keragaman budaya di Sulawesi tengah. Streotipe pribumi dan pendatang memiliki nilai eksplisit di masyarakat. Jika dilihat dari faktor budaya di Poso antara Islam-Kristen tidak ada permasalahan tetapi perlu diperhatikan bagaimana Kristen pendatang dan Islam pendatang dapat menyesuaikan diri dengan dengan budaya yang telah ada sebelumnya. Dari hal ini dapat ditangkap bahwa Islam-Kristen yang asli atau sebagai pribumi, sebenarnya mereka hidup berdampingan dan saling menghargai. Lain halnya dengan pendatang, baik pihak Islam- Kristen mereka selalu mengusung budaya masing-masing saat berinteraksi dengan penduduk pribumi akibat lain dari dinamika migrasi yang di alami daerah Poso selain berpengaruh terhadap budaya juga terhadap agama dan etnik hal ini menunjuk bahwa ada pembagian tata ruang yang tidak terintegrasi dengan penduduk setempat, sehingga pendatang diaggap eklusif dan terkotak-kotak berdasarkan etnik dan agama. Misalnya ada daerah yang hanya mayoritasnya beragama Muslim dan hanya berasal dari satu etnik. Sebaliknya daerah lain adalah penduduk pribumi dan beragama Kristen terkotak- kotaknya wilayah berdasarkan suku dan agama menyebabkan potensi konflik muncul karena tidak terjadi akulturasi antara pribumi dengan pendatang. Faktor lain yang membuat pecahnya konflik Poso adalah dipicu oleh pemberitaan media massa yang membesar-besarkan hal-hal sensitif, berupa pertentangan antar agama. Pemberitaan media media massa yang tidak sesuai fakta di lapangan menyebabkan kedua kelompok dominan di Poso tidak bisa mengelak dari konflik horizontal dan juga selama berlangsung konflik penyesatan dan desepsi informasi yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu baik dari Islam dan Kristen. 44 Melihat kenyataan di atas dapat dikatakan konflik Poso bukan karena agama melainkan agama dijadikan kendaraan untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Akan tetapi tidak dapat disangkali pula jika opini lain yang berkembang bahwa, konflik Poso adalah pada dasarnya konflik agama. Hal tersebut dapat dibenarkan karena simbol-simbol keagamaan menjadi “labeling” konflik. Seperti simbol kelompok putih, yang berarti kelompok Islam; kelompok merah adalah kelompok Kristen. Genderang perang makin nyata setelah bahasa sakral dikumandangkan dalam pertempuran. Salah satu bahasa yang sakral dalam penyerangan atau pun konflik adalah penyebutan nama Tuhan berupa: mengunakan simbol agama dalam konflik, yaitu: Haleluya dan Allahu Akbar yang sasarannya jelas yaitu membunuh dan rumah ibadah. Berdasarkan realitas diatas jelaslah bahwa penyebab konflik Poso berangkat dari konflik struktural yaitu tidak lain mengenai perebutan kekuasaan yang dapat menghasilkan suatu bentuk power sharing di antara elit lokal dan berkembang menjadi konflik yang bernuansa kriminal, walaupun dianggap sebagai pemicu belaka dalam konflik-konflik berikutnya kemudian mampu membagun konflik baru yang bernuansa agama yaitu konflik antara Islam versus Kristen. Konflik inilah yang lebih menonjol ke permukaan. 13 C. Penyelesaian Konflik Poso 14 a. Rujuk Sintuwu Maroso, 22 Agustus 2000 Berdasarkan catatan PRKP-Poso 2000, kegiatan ini diprakarsai oleh pemerintah Kabupaten Poso, dengan mengundang tokoh-tokoh adat 14 kecamatan yang mewakili 13 Hasrullah, Dendam Konflik Poso…, 78-176. 14 Penyelesaian konflik Poso yang dijabarkan disini hanyalah penanganan dari pemerintah Kabupaten Poso dan Pemerintah Pusat. Penyelesaian konflik Poso dari pihak-pihak lain diluar pemerintah tidak dijabarkan. 45 suku asli. Dalam kegiatan yang dihadiri oleh Presiden Abdurrahman Wahid itu, tokoh yang ikut membubuhkan tanda tangan kesepakatan yaitu, A. Tobondo Majelis Adat Kabupaten Poso, Pdt. YH. Tancu Kecamatan Pamona Utara, Y. Pandoli Kecamatan Pamona Selatan, Usri Abd. Rauf Kecamatan Ampana Kota, Djamun Kecamatan Ampana Tete, T. Kareba Kecamatan Lore Utara, T. Tolia kecamatan Lore Selatan, B. Panate kecamatan Poso Pesisir, Sugiono Kecamatan Poso Kota, Sangkoli Timpu Kecamatan Ulu Bongka, LL Latoale Kecamatan Walea Kepulauan, Sofyan Abdullah Kecamatan Unauna, dan DA Lempadeli Bsc Kecamatan Lage. Turut hadir dalam perhelatan adat itu, adalah Widodo AS, Kapolri Rusdihardjo, Menteri Dalam Negeri Suryadi Sudirdja, dan Menteri Agama Tolchah Hasan. Dihadapan Presiden Abdurrahman Wahid, tokoh adat A. Tobondo membacakan lima butir Rujuk Sintuwu Maroso. Pertama , mendukung Rujuk Sintuwu Maroso, yang dilaksanakan di Kabupaten Poso. Kedua , seluruh masyarakat Kabupaten Poso, ikut bertanggung jawab untuk menciptakan keadaan atas dasar perdamaian, kekeluargaan, demi kepentingan bangsa dan negara. Ketiga, tetap menjadikan sintuwu maroso sebagai ikatan moral, kesatuan dan persatuan serta kekeluargaan dari seluruh rakyat Poso dan bahwa kesepakatan ini adalah awal dari upaya menuju Rujuk Sintuwu Maroso yang dikaitkan dengan adat istiadat. Keempat , mendukung upaya penegakan supremasi hukum dalam menyelesaiakan kerusuhan yang terjadi di Kabupaten Poso dan terhadap oknum- oknum yang terbukti melakukan tindak pidana tetap ditindak secara hukum demi tegaknya kebenaran, keadilan, dan ketertiban dalam masyarakat. Kelima , apabila kesepakatan tersebut telah ditandatangani terjadi keıusuhan oleh elompok manapun, maka kelompok tersebut akan ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku. 15 15 Ibid. 46 Dalam perspektif budaya Poso, perhelatan Rujukan Sintuwu Maroso sebenarnya telah menerapkan salah satu bentuk perdamaian secara simbolis, yang dikenal dengan istilah Motambu Tana . 16 Kegiatan ini dilakukan dengan cara memotong seekor kerbau, setelah itu kepala kerbau ditanàm. Prosesi perdamaian secara adat ini dimaksudkan untuk mengubur masa lalu, dengan catatan setelah kepala kerbau ditanam di dalam tanah, semua pihak yang terlibat konflik sebelumnya tak bisa lagi diungkit-ungkit. 17 b. Deklarasi Malino, 20 Desember 2001 Berbeda dengan upaya perdamaian yang dilakukan pemeıintah daerah, Deklarasi Malino mengunakan pendekatan agama. Upaya damai dalam Deklarasi Malino yang melíbatkan 48 orang itu diinisiasi oleh pemerintah pusat. Pada saat itu ada angapan bahwa perundingan harus dilakukan karena konflik Poso yang berawal pada tahun 1998 mengakibatkan semua pihak yang beragama Islam maupun yang beragama Kristen masing-masing merasa tertindas dan merasa kalah. Deklarasi Malino dihadiri 25 orang Islam dan 23 orang Kristen. Secara keseluruhan pertemuan berlangsung selama empat kali, yakni pertama, 5 Desember 2001 di Poso dan Tentena. Kedua, 14 Desember 2001 di Makasar. Ketiga, 19 Desember 2001 di Malino. Dan keempat, 20 Desember 2001 di Malino. Dalam Deklarasi Malino terdapat prestasi yang dapat dikatakan menjadi indikator rekonsiliasi yang baik, salah satunya adalah penyerahan senjata rakitan dari masyarakat secara sukarela. Inisiatif yang muncul dari masyarakat itu terjadi di beberapa desa antara lain, Lawanga dan Pandiri pada tanggal 1 Januari 2002. 18 16 Istilah Motambu tana ini dilakukan ketika ada sebuah peristiwa yang memalukan atau bencanayang melanda, sebuah Wilayah, maka digelarlah motambu tana. Jadi itu merupakan sumpah bagi masyarakat. 17 Ibid., 236-237. 18 Ibid., 239-242. 47 c. Aliansi Kemanusiaan, Maret 2005 Nama Aliansi Kemanusiaan mulai terdengar pada pertengahan tahun 2005. Saat itu, Badan Intelejen Nasional BIN menggagas pertemuan dua tokoh kharismatik yang ada di Poso, yakni, H. Adnan Arshal, dan Pdt. Rinaldy Damanik. Bagi masyarakat Kabupaten Poso, nama kedua tokoh ini tidak asing lagi. Dalam perkembangannya kemudian, berdasarkan catatan PRKP-Poso 2000, kedua tokoh ini memperlihatkan kemajuan yang cukup berarti. Ini bisa dilihat dan semakin intensnya pertemuan yang digelar dengan melibatkan konstituen masing-masing. Dalam sebuah pertemuan, baik Adnan Arshal maupun Pdt. Rinaldy Damanik mengakui, sering melakukan komunikasi dengan baik. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mendorong proses perdamaian adalah dengan membentuk sebuah lembaga yang diberi nama dengan Aliansi Kemanusiaan. Para pengurusnya terdiri dari beberapa orang presidium, yang diambil dari kedua komunitas. Aliansi kemanusiaan memperjuangkan terbentuknya Tim Gabungan Pencari Fakta TGPF. Dalam sebuah pertemuan di kantor PRKP, pengurus secara tegas menyatakan pentingnya dibentuk TGPF untuk mengungkap kebenaran di Poso. 19

D. Dampak Konflik Sampai Sekarang