Hukum Acara Perdata a. Sifat Hukum Acara Perdata

dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga Kepailitan oleh Kreditor yang tidak beritikad baik. 2. Asas Kelangsungan Usaha Terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitor yang prospektif tetap dilangsungkan. 3. Asas Keadilan Bahwa ketentuan mengenai Kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenangwenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap Debitor, dengan tidak memperdulikan Kreditor lainya. 4. Asas Integrasi Bahwa sistem hukum Formil dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.

C. Pemeriksaan Perkara

Kepailitan Dalam hal ini dapat dilihat dari 2 sistem hukum yaitu Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Kepailitan. Terlebih dahulu akan dibahas :

1. Hukum Acara Perdata a. Sifat Hukum Acara Perdata

Hukum Acara Perdata HAP adalah seperangkat hukum perdata formil yang menjamin kelangsungan proses Pengadilan secara lancar, cepat, dan biaya murah, Universitas Sumatera Utara serta dapat dilaksanakan putusan hakim. Tujuan proses Pengadilan adalah untuk mendapatkan kepastian kedudukan hukum dalam suatu sengketa yang diajukan oleh para pihak ke hadapan sidang Pengadilan. 69 Dalam Hukum Acara Perdata inisiatif suatu perkara perdata berada di tangan para pihak yang bersengketa. Sikap dan prilaku para pihak sangat berpengaruh terhadap jalannya proses Pengadilan. Namun demikian, bukan berarti para pihak bisa bertindak semaunya di muka persidangan. Para pihak, kuasa hukum atau hakim sekalipun terikat dengan aturan main yang telah baku dalam menangani proses perkara. Sebagai contoh, para pihak tidak bisa merubah atau mencabut kembali gugatan yang telah diajukan secara sepihak, terutama bila tergugat telah memberi jawaban terhadap penggugat. Tindakan ini baru dapat dilakukan oleh penggugat atas izin tergugat. Demikian juga mengenai tenggang waktu untuk mengajukan perlawanan terhadap putusan verstek, banding, kasasi, atau Peninjauan kembali PK telah diatur secara cermat dan harus ditaati. Bila ketentuan ini dilanggar, maka konsekuensinya gugatan yang diajukan dinyatakan oleh hakim tidak dapat diterima. 70

b. Tuntutan Hak dan Gugatan Dalam Hukum Acara Perdata

Tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh Pengadilan untuk mencegah tindakan main hakim sendiri 69 Muhammad Nasir, Hukum Acara Perdata, Jakarta : Djambatan,2002, hlm.25. 70 Ibid. Universitas Sumatera Utara eigenrichting. 71 Dalam RUU HAP, gugatan dimaksudkan sebagai tuntutan hak yang mengandung sengketa dan diajukan ke Pengadilan untuk mendapatkan putusan. Darwan Prinst merumuskan gugatan sebagai suatu permohonan yang disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang, mengenai suatu tuntutan terhadap pihak lainnya, dan harus diperiksa menurut tata cara tertetu oleh pengadilan, serta kemudian dibuat putusan terhadap gugatan tersebut. 72 Dari pengertian tuntutan hak di atas dapat dipahami bahwa ada seseorang atau badan hukum yang ‘merasa’ telah dilanggar haknya, sedangkan yang ‘dirasa’ melanggar hak tersebut tidak bersedia secara sukarela memenuhi tuntutan yang diajukan kepadannya. Untuk menentukan siapa yang benar dan berhak, diperlukan adanya suatu putusan hakim. Dalam hal ini hakim bertugas memeriksa, mengadili, dan memutuskan siapa di antara para pihak tersebut yang benar dan berhak atas tuntutan hak tersebut. Seseorang atau badan hukum yang mengajukan tuntutan hak berarti mempunyai kepentingan untuk memperoleh perlindungan hukum. Pihak yang tidak menderita kerugian, baik materiil maupun non-materiil, mengajukan tuntutan hak, dianggap tidak memiliki kepentingan sehingga tuntutanya tidak diterima oleh Pengadilan. Demikian juga, tidak setiap kepentingan dapat diterima sebagai dasar pengajuan tuntutan hak. Sebagai contoh Arnold berutang pada Basri. Setelah jangka 71 Sudikno Mertokusumo, Hukum dan Peradilan, Yogyakarta: Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada,1968, hlm.21 72 Darwan Prinst, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, Bandung : Citra Adytia Bakti, 1992, hlm.2. Universitas Sumatera Utara waktu yang dijanjikan tiba, Arnold belum juga melunasi utangnya kepada Basri. Candri sebagai kakak Basri merasa kasihan kepada adiknya yang merasa ditipu oleh Arnold dan merasa berkewajiban untuk membela kepentingan adiknya. Tanpa mendapat kuasa dari Basri, Chandri menggugat Arnold agar Arnold membayar utangnya kepada Basri. Di sini jelas Chandri memiliki kepentingan yaitu untuk membela adiknya sendiri, Basri. Namun kepentingan seperti itu belum cukup untuk timbulnya hak untuk dapat menuntut melalui Pengadilan. Jadi, tidak setiap orang yang mempunyai kepentingan seperti itu dapat mengajukan tuntutan hak semaunya ke Pengadilan. Hanya kepentingan yang cukup dan layak serta mempunyai dasar hukum sajalah yang dapat diterima sebagai dasar tuntutan hak. 73

c. Kompetensi Peradilan Dalam Hukum Acara Perdata

Ada dua bentuk kompetensi peradilan yaitu Kompetensi Absolut dan Kompetensi Relatif. Kompetensi Absolut adalah wewenang yang menyangkut pembagian dalam sengketa perceraian. Bagi mereka yang beragama Islam, penyelesaian sengketa ini menjadi wewenang absolut Peradilan Agama PA sesuai dengan ketentuan Pasal 63 ayat 1a Undang-undang No.1 Tahun 1974. Sedangkan sengketa sewa menyewa, jual beli, pinjam-meminjam, utang piutang, gadai, taggungan, dan perceraian bagi yang beragama non muslim, menjadi wewenang Peradilan Umum PU dalam hal ini Pengadilan Negeri untuk mengadili sengketa tersebut. 73 Star Busmann, dalam Muhammad Nasir, Ibid. Universitas Sumatera Utara Kompetensi Relatif mengatur tentang pembagian kekuasaan mengadili suatu perkara perdata antara Pegadilan sejenis, tergantung tempat domisili tergugat actor sequitur forum rei Pasal 118 ayat 1 HIR,142 ayat 1 Rbg. Jadi Kompetensi Relatif berkaitan dengan wilayah hukum suatu badan Peradilan. 74

d. Tempat Pengajuan Gugatan Dalam Hukum Acara Perdata

1. Pengadilan Negeri yang berwenang mengadili perkara perdata yang diajukan kepadanya adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi : a. tempat tinggal tergugat; b. tempat tinggal salah seorang tergugat, dalam hal tergugat lebih dari seorang: c. tempat tergugat sebenarnya berada, dalam hal tempat tinggal tergugat tidak diketahui; d. tempat tinggal penggugat, dalam hal tempat tinggal tergugat atau tempat tergugat sebenarnya berada tidak diketahui; e. tempat tinggal penggugat, dalam tergugat bertempat tinggal diluar daerah Republik Indonesia; f. tempat tinggal tergugat yang berhutang, dalam hal para tergugat terdiri dari tergugat yang berhutang dan tergugat yang menjamin hutang; g. tempat barang yang digugat berada, dalam hal gugatan tentang barang-barang yang tidak bergerak; 74 Muhammad Nasir, Op.cit, hlm.72. Universitas Sumatera Utara h. tempat tinggal yang ditentukan, dalam hal telah ditentukan dalam suatu perjanjian tertulis antara penggugat dan tergugat. 75 i. Pengadilan Negeri berwenang untuk mengadili perkara perdata yang salah satu pihaknya adalah NegaraPemerintahDaerah Tingkat IDaerah Tingkat II Kotapraja atau Kabupaten. 2. a. Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili perkara perdata yang diajukan kepadanya, apabila perkara tersebut menurut peraturan perundang-undangan yang ada termasuk wewenang badan peradilan yang lain. b. Karena jabatannya Ketua Pengadilan Negeri harus menyatakan bahwa Pengadilan Negeri tersebut tidak berwenang mengadili, walaupun tidak ada suatu tangkisan dari tergugat. 76

e. Pelaksanaan Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Perdata

1. Hakekat Pelaksanaan Putusan Hakim Eksekusi adalah hal menjalankan putusan Pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Pada asasnya suatu putusan hakim yang sudah mempunyai hukum pasti yang dapat dijalankan. Semua putusan Pengadilan mempunyai kekuatan eksekutorial yaitu kekuatan untuk dilaksanakan secara paksa oleh alat-alat negara. Adanya kekuatan eksekutorial pada putusan putusan adalah karena kepalanya berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha 75 Lihat dalam Pasal 142 R.Bg118 HIR. 76 K.Wantjik Saleh, Hukum Acara perdata, Jakarta: Ghalia Indonesia,1981, hlm.98-99. Universitas Sumatera Utara Esa”.akan tetapi tidak semua putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap memerlukan pelaksana secara paksa oleh alat negara, tetapi hanya putusan Pengadilan diktumnya bersifat condemtoir. Sedang putusan yang bersifat deklaratoir dan konstitutif tidak memerlukan alat negara untuk melaksanakan karena putusan itu tidak memuat adanya hak atas suatu prestasi”. 77 Pengecualiannya adalah apabila suatu putusan dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu sesuai dengan Pasal 180 HIR. Perlu juga dikemukakan, bahwa tidak semua putusan yang sudah mempunyai kekuatan pasti harus dijalankan, karena yang perlu dilaksanakan hanyalah putusan-putusan yang bersifat condemnatoir yaitu yang mengandung perintah kepada pihak untuk melakukan suatu perbuatan. 78 Cara melaksanakan putusan hakim diatur dalam Pasal 195 sampai Pasal 208 HIR. Sehubungan dengan hal ini dikemukakan, bahwa Pasal 209 sampai dengan Pasal 222 HIR sesungguhnya juga mengatur perihal cara pelaksanaan putusan. Dalam melaksanakan putusan eksekusi dikenal beberapa asas yang harus dipegang oleh pihak pengadilan yaitu : a. Putusan pengadilan harus mempunyai kekuatan hukum tetap, maksudnya putusan ini tidak ada hukum lain baik tingkat banding dan kasasi. Pengecualian atas asas hukum ini adalah : 77 Poltak.I.Wibowo, Tips bagi Pengacara Publik : Sebuah Pengalaman Pendampingan Kasus Lingkungan, Jakarta : Elaw Indonesia, 2003, hlm.14. 78 Ibid. Universitas Sumatera Utara 1. Pelaksanaan putusan uit voerbaar bij voorraad sesuai dengan Pasal 191 ayat 1 Rbg dan Pasal 180 ayat 2 HIR ; 2. Pelaksanaan putusan Provisi sesuai dengan Pasal 191 ayat 1 Rbg dan Pasal 180 ayat 1 dan Pasal 54 RV; 3. Pelaksanaan putusan perdamaian sesuai dengan Pasal 130 ayat 2 HIR dan Pasal 154 ayat 2 Rbg; 4. Eksekusi berdasarkan Grose akta sesuai dengan Pasal 245 HIR dan Pasal 295 Rbg. b. Putusan tidak dijalankan secara sukarela Ada dua cara menyelesaikan pelaksanaan putusan berdasarkan Pasal 196 HIR dan Pasal 207 Rbg yaitu secara sukarela dan Secara Paksa dengan bantuan Pihak Kepolisisan Pasal 200 ayat 1 HIR. c. Putusan mengandung amar Condemtoir, Putusan ini lahir dari perkara yang bersifat contensius dengan proses pemeriksaan yang bersifat contradiktoir. d. Eksekusi dibawah pimpinan Ketua Pengadilan, Pengadilan berwenang melakukan eksekusi adalah pengadilan yang memutus perkara tersebut sesuai dengan kompetensi relatifnya Pasal 195 ayat 1 HIR dan Pasal 206 ayat 1 Rbg. Pengadilan banding tidak mempunyai hak untuk melakukan eksekusi atau melaksanakan putusan. 79 79 Fauizie Yusuf Hasibuan, Seri Pendidikan Advokat : Praktek Hukum Acara Perdata, Jakarta: Fauzie Partnes, 2007, hlm.97. Universitas Sumatera Utara 2. Jenis-Jenis Eksekusi Ada 3 jenis Eksekusi dalam Hukum Acara Perdata, yaitu : a. Eksekusi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 196 HIR dan seterusnya, dimana seorang dihukum untuk membayar sejumlah uang. b. Eksekusi sebagaimana yang diatur dalam pasal 225 HIR dimana seseorang dihukum untuk melakukan suatu perbuatan. c. Eksekusi Riil, yang dalam praktik banyak dilakukan, akan tetapi tidak diatur HIR. 80 Namun dalam Pasal 1033 Rv. Sedangkan hal penjualan lelang Pasal 200 ayat 1 HIR dan Pasal 218 ayat 2 Rbg. Menurut Pasal 1033 Rv, eksekusi riil adalah pelaksanaan putusan hakim yang memerintahkan pengosongan benda tetap. Bila orang yang dihukum untuk mengosongkan benda tetap tidak mematuhi surat perintah hakim, maka hakim dapat memerintah juru sita dengan bantuan panitera Pengadilan dan bila perlu dengan aparat Kepolisian agar benda tersebut dikosongkan oleh pihak yang dihukum d. eksekusi parate parate executie yaitu eksekusi yang dilakukan bila seorang kreditur menjual barang tertentu milik debitur tanpa harus memperoleh titel eksekutorial Pasal 1155, Pasal 1175 ayat 2 KUH perdata. Bila ditelaah secara mendalam terhadap ketentuan-ketentuan dalam HIR, ternyata bahwa pasal-pasal yang mengatur tentang eksekusi Pasal 195 sd Pasal 224 lebih terfokus kepada pelaksanaan putusan yang memerintahkan pembayaran 80 Retno Wulan Sutantio Iskandar Oeripkarta Winata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek ,Bandung : Mandar Maju, 1997, hlm.130. Universitas Sumatera Utara sejumlah uang. Namun demikian, bukan berarti bahwa amar putusan yang memerintahkan pihak tergugat untuk mengosongkan sebidang tanah, merobohkan sebuah tembok, mengeluarkan isi sebuah bangunan, dan lain-lain tidak dapat dijalankan. Hal ini didasarkan pada realita yang ada bahwa pelaksanaan putusan seperti ini relatif mudah dan tidak rumit sehingga tidak memerlukan adanya ketentuan yang rinci. 81 3. Prosedur Pelaksanaan Putusan Hakim Pelaksanaan putusan hakim dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan jurusita yang dipimpin oleh Ketua Pengadilan Negeri Pasal 195 ayat 1 HIR, Pasal 197 ayat 2 HIR, Pasal 206 ayat 1, Pasal 209 ayat 1 Rbg. Ada dua tahap penting dalam pelaksanaan eksekusi yaitu Tahap tegoran dan Tahap sita eksekusi. Untuk dapat dilaksanakan suatu putusan hakim secara paksa oleh pengadilan negeri , maka pihak yang dimenangkan mengajukan permohonan secara lisan atau tertulis kepada Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan supaya putusan tersebut dapat dilaksanakan. Selanjutnya Ketua Pengadilan Negeri berdasarkan permohonan tersebut memanggil pihak yang dikalahkan untuk ditegor agar memenuhi putusan dalam waktu 8 hari setelah teguran tersebut Pasal 196 HIR, Pasal 207 Rbg. Dalam tenggang waktu 8 hari tersebut dan pihak yang dikalahkan juga belum menjalankan atau memenuhi isi putusan, atau jika orang yang dikalahkan sesudah dipanggil 81 Muhammad Nasir, Op.cit, hlm.240. Universitas Sumatera Utara dengan patut tidak juga menghadap, maka Ketua Pengadilan Negeri karena jabatannya memberi perintah dengan surat penetapan supaya disita barang-barang bergerak milik orang yang kalah, atau bila tidak ada barang bergerak untuk disita, maka barang tetap pun dapat disita sebanyak nilai uang yang tersebut dalam putusan hakim untuk menjalankan eksekusi tersebut Pasal 197 ayat 1 HIR, pasal 208 Rbg. Dengan demikian yang diutamakan untuk disita adalah barang-barang bergerak. Bila jumlah barang tidak ada atau belum memadai maka sita dapat dilakukan terhadap benda tetap. Dengan demikian jelaslah bahwa eksekusi merupakan tindakan menguangkan bagian tertentu dari harta kekayaan pihak yang dikalahkan debitur dengan tujuan untuk memenuhi putusan hakim guna merealisasi kepentingan pihak yang dimenangkan hakim guna merealisasi kepentingan pihak yang dimenangkan kreditur. Untuk dapat menguangkan harta kekayaan debitur harta kekayaan tersebut harus disita atau dibekukan terlebih dahulu. Penyitaan ini disebut dengan sita eksekusitorial yaitu penyitaan yang didasarkan atas titel eksekutorial. 4. Penjualan Hasil Eksekusi Ada dua cara barang hasil eksekusi dilakukan penjualan yaitu : a. Penjualan dengan perantaraan kantor lelang Pasal 200 ayat 1 HIR, 215 ayat 1 Rbg Universitas Sumatera Utara b. Penjualan oleh orang yang melakukan penyitaan atau orang ditetapkan secara khusus oleh Ketua Pengadilan Negeri Pasal 200 ayat 2 HIR, Pasal 215 ayat 2 Rbg. Penjualan barang bergerak dilakukan setelah diadakan pegumuman dan tidak boleh dilakukan sebelum hari kedelapan setelah barang tersebut disita Pasal 200 ayat 6 HIR, Pasal 217 ayat 1 Rbg. Bila barang bergerak tersebut tidak lekas rusak, maka penjualan dilakukan sekaligus pada satu waktu sesudah diumumkan dua kali yang berselang 15 hari Pasal 200 ayat 7 HIR,Pasal 217 ayat 2 Rbg. Barang tetap yang harganya lebih dari Rp.1000 harus diumumkan satu kali dalam surat kabar dari tempat barang tetap itu dijual selama-lamanya 14 hari sebelum penjualan Pasal 200 ayat 9, Pasal 217 ayat 4 Rbg. 82 Jika pada saat yang sama diajukan dua permohonan pelaksanaan putusan atau lebih dijatuhkan pada seorang debitur, maka disita sekian banyak barang debitur sekaligus, sehingga cukup untuk memenuhi semua putusan. Untuk penyitaan ini hanya dibuat satu berita acara saja Pasal 201 HIR, Pasal 219 Rbg. Bila setelah penyitaan, namun sebelum barang yang disita tersebut dijual, diterima lagi permohonan pelaksanaan putusan dari kreditur lain terhadap debitur yang sama, maka penyitaan atas barang-barang debitur yang telah dilakukan itu digunakan untuk memenuhi putusan yang diminta pelaksanaan oleh kreditur lain 82 Ibid, hlm.251. Universitas Sumatera Utara tersebut. Jika sekiranya sita eksekutorial yang telah dilakukan itu belum mencukupi, maka Ketua Pengadilan dapat memerintahkan untuk melakukan penyitaan terhadap barang-barang debitur yang belum di sita sekadar cukup untuk memenuhi putusan yang kedua. Pada dasarnya ini tidak merupakan penyitaan yang khusus diadakan atas permohonan kreditur yang kedua, melainkan merupakan sita eksekutorial lanjutan dari sita eksekutorial yang pertama voortgezet beslag Pasal 202 HIR, Pasal 220 Rbg. Ketua Pengadilan Negeri menetukan cara pembagian hasil penjualan di antara kreditur setelah debitur dan para kreditur dipanggil dan didengar keteranganya. Terhadap putusan hakim tentang pembagian ini dapat dimintakan upaya banding Pasal 204 HIR, Pasal 222 Rbg. Hak orang yang dijual barangnya beralih kepada pembeli segera setelah perjanjian jual beli ditutup. Kantor lelang harus membuat surat keterangan kepada pembeli Pasal 200 ayat 10 HIR, Pasal 218 ayat 1 Rbg. 83 Orang yang barang tetapnya dijual harus meninggalkan barang tersebut. Bila yang bersangkutan enggan meninggalkanya, maka Ketua Pengadilan Negeri membuat surat perintah kepada orang yang berkuasa menjalankan surat jurusita supaya dengan bantuan Pengadilan Negeri, bila perlu dengan bantuan Polisi, barang tetap itu ditinggalkan dan dikosongkan oleh yang bersangkutan beserta keluarganya Pasal 200 ayat 11 HIR, Pasal 218 ayat 2 Rbg. 84 Segera setelah hasil penjualan mencapai 83 K. Wantjik saleh, Op.cit, hlm.48-49. 84 Ibid, hlm.50. Universitas Sumatera Utara jumlah yang tersebut dalam putusan ditambah dengan biaya melaksanakan putusan, maka penjualan dihentikan Pasal 200 ayat 5 HIR, Pasal 216 ayat 2 Rbg.

2. Hukum Acara Kepailitan

Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Terhadap Batas Waktu Di Dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah (Studi Kasus Putusan Perkara Perdata No.577/Pdt.G/2013/ Pn-Mdn)

5 88 92

Tinjauan Yuridis Terhadap Kewarisan Anak Li’an Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Putusan Pengadilan Agama Nomor 1595/PDT.G/2010/PA Sidoarjo)

1 68 141

Analisis Yuridis Terhadap Putusan Bebas Dalam Perkara Nomor: 3212/Pid.B/2007/PN. Mdn

0 55 144

Tinjauan Yuridis Atas Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Memutus Perkara Kepailitan Dengan Adanya Klausul Arbitrase Dalam Perjanjian Para Pihak Yang Bersengketa

3 84 83

Analisis Yuridis Kompetensi Pengadilan Niaga Dalam Perkara Kepailitan (Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor 65/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST)

1 81 151

Analisis Yuridis Atas Kegagalan Pengembang Dalam Memenuhi Klausula Jual Beli Apartemen (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 69/PDT.G/2008/PN.MDN)

0 67 123

Tinjauan Yuridis Pembatalan Putusan Arbitrase Oleh Pengadilan Negeri (Studi Kasus Perkara No. 167/Pdt.P/2000/PN-Jak.Sel)

2 51 168

Analisis Utang Pada Beberapa Putusan Perkara Kepailitan Pada Pengadilan Niaga Dan Mahkamah Agung

0 23 56

Analisis Yuridis Normatif Terhadap Putusan Hakim Nomor: 582/Pid.B/2013/PN.Mlg Dalam Perkara Tindak Pidana Perjudian (Studi Putusan Pengadilan Negeri Malang Nomor: 582/Pid.B/2013/PN.Mlg)

1 8 31

Analisis Putusan Pengadilan Tentang Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi (Studi Kasus Putusan Nomor 35/Pdt.G/2012/PN.YK dan Putusan Nomor 42/Pdt.G/2012/PN.YK)

1 9 63