Kerangka Teori dan Konsepsional 1. Kerangka Teori

F. Kerangka Teori dan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Hakekat penulisan karya ilmiah sebagai salah satu landasan dalam hal perkembangan ilmu hukum tidaklah terlepas dari teori sebagai landasannya dan tugas hukum adalah untuk menjelaskan nilai-nilai hukum postulat-postulatnya hingga uphoria reformasi segala bidang. Maka untuk mengantisipasi adanya penegakan hukum, karena kaedah hukum akan tampak ketika penegakan hukum tersebut terjadi. Fungsi penegakan hukum adalah untuk mengaktualisasikan aturan- aturan hukum agar sesuai dengan yang dicita-citakan oleh hukum itu sendiri, yakni dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam, Sehingga penelitian ini tidaklah dapat terlepas dari teori-teori hukum yang dibahas dalam bahasa dan sistem pemikiran ahli hukum sendiri. Apabila ditinjau secara teoritis, lahirnya Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 adalah sebagai konsekwensi dari keadaan krisis ekonomi dan moneter di Indonesia yang pada akhirnya juga menimbulkan krisis sosial dan politik akibat terjadinya e kecenderungan dunia usaha yang bangkrut, Pemerintah pun menerbitkan Undang- Undang ini menjadi suatu kaedah hukum positif dalam sistem perundang-undangan di Indonesia. Dalam Konteks aplikatif, kaedah hukum positif tidak dapat dipisahkan dengan Universitas Sumatera Utara mewujudkan sikap atau tingkah laku manusia sesuai dengan bingkai frame-work yang ditetapkan oleh suatu Undang-Undang atau hukum. 10 Bila hal itu dikaitkan dengan pembangunan hukum, maka pendekatannya tidak sekadar pembaharuan aturan-aturan hukum. Pembangunan hukum bertujuan membentuk atau mewujudkan sistem hukum Indonesia yang bersifat nasional Legal system. Dalam pembangunan, pembaharuan atau pembinaan sistem hukum Indonesia yang bersifat nasional harus diikuti oleh pembangunan, pembaharuan atau pembinaan substansi dari sistem hukumnya. Substansi dari sistem hukum itulah yang akan menentukan sejauh mana sistem hukum Indonesia yang bersifat nasional mencerminkan Indonesia baru dan mampu melayani kebutuhan Indonesia baru. Dengan demikian dalam pembangunan sistem hukum nasional harus mencakup pembangunan bentuk dan isi dari peraturan perundang-undangan. 11 Bagaimana pembangunan, pembaharuan atau pembinaan bentuk dan isi dari peraturan perundang-undangan inilah yang menjadi substansi dari kebijakan legislatif. Kebijakan Legislatif atau kebijakan perundang-undangan adalah kebijakan politik dalam menyusun dan mewujudkan ide-ide para pembuat Undang-Undang Legislator dalam bentuk norma-norma baku yang terumus secara eksplisit dalam 10 Calire Seltz et.,al:1977, seperti dikutip oleh Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta:Universitas Indonesia UI-Press,1986, hlm.9. 11 Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa Suatu Pencarian, Yogyakarta:FH UII Press,2005, hlm.157-158. Lihat juga pendapat Von Savigny yang dikutip Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan sejarah, Yogyakata:Kansius,1990, hlm.114., yang menyatakan, hukum adalah pernyataan jiwa bangsa-Volgheist-karena pada dasarnya hukum tidak dibuat oleh manusia tetapi tumbuh dalam masyarakat, yang lahir, berkembang, dan lenyap dalam sejarah. Dalam pembentukan hukum perlu pula diperhatikan cita-cita bangsa dan nilai – nilai yang terapat dalam bangsa tersebut. Universitas Sumatera Utara bentuk peraturan perundang-undangan nasional, dengan berkekuatan sebagai apa yang dikatakan oleh Austin , “The Command of the Sovereign”. 12 Penelitian ini pada dasarnya menggunakan teori hukum Positivis, sebagai landasan dan sebagai pisau analisis guna mengkaji hal-hal yang dianggap sebagai permasalahan mendasar dalam penelitian ini. Menurut John Austin, tokoh yang menganut Hukum Positif, dengan menganut sub aliran hukum positif yang analitis dengan teori Analytical Jurisprudence menganut prinsip sebagai berikut: Pertama, merupakan perintah dari penguasa Law is a command of the law giver. Maksudnya, perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau dari yang memegang kedaulatan. Hukum merupakan perintah yang dibebankan untuk mengatur mahluk berfikir, dan perintah itu diberikan oleh mahluk berfikir yang memegang kekuasaan. Dengan kata lain, hukum berlaku bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan sosial, bukan juga karena bersumber pada jiwa bangsa, dan juga bukan karena dasar-dasar hukum alam, melainkan karena mendapatkan bentuk positifnya suatu instansi yang berwenang. Hukum dipandang semata-mata dalam formalnya, yang dapat dipisahkan dari bentuk hukum materialnya. Artinya bahwa proses pembentukan hukum tersebut dilakukan melalui cara tertentu, agar hukum tersebut mempunyai dasar validitasnya. Dengan demikian hukum hanya didasarkan pada kekuasaan dari pihak yang berkuasa, tidak didasarkan pada prinsip keadilan, prinsip 12 Oko Setyono dalam Muladi Edt, Hak Asasi Manusia, Hakekat,Konsep Implikasinya Dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Bandung:PT.Refika Aditama,2005, hlm.123. Universitas Sumatera Utara moralitas baik dan buruk. 13 Dengan demikian , perbedaan antara Hukum positif dan hukum alam adalah bahwa dalam Hukum positif, hukum dibuat oleh pihak yang berkuasa dan pembuatanya didasarkan pula pada pihak yang berkuasa. Meskipun hukum tersebut dirasakan tidak adil atau tidak bermoral, namun karena pembuatan hukum tersebut didasarkan pada pihak yang berkuasa maka hukum ini tetap sah sebagai hukum. Sedangkan dalam hukum alam, hukum dibuat berdasarkan agama, prinsip keadilan, atau prinsip moralitas yang baik atau buruk. Dalam hal ini, hukum tersebut tetap dibuat oleh pihak yang berkuasa, misalnya oleh lembaga legislatif dan eksekutif, tapi pembuatanya didasarkan pada pertimbangan agama, keadilan dan moral. Kedua, hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup Closed Logical System. Maksudnya adalah, bahwa keputusan-keputusan hukum yang tepat atau benar dapat diperoleh dengan alat-alat logika dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan tujuan-tujuan sosial, politik, dan ukuran-ukuran moral. 14 Pandangan ini jelas mendapat pengaruh ketat dari cara berfikir sainsmodern, Ilmu dianggap sebagai penyelidikan mandiri yang objeknya harus dipisahkan dari nilai. Ketiga, hukum positif harus memenuhi beberapa unsur, yaitu unsur perintah, sanksi, kewajiban, dan kedaulatan. Apabila tidak memenuhi keempat unsur tersebut, dia 13 W.Friedmann, Legal Theory, London: Steven sons Limited, Third Edition, 1953, hlm.151. 14 Lili Rasjidi, Filsafat Hukum:Apakah hukum Itu?, Bandung:PT.Remaja Rosdakarya, Cetakan Keenam,1993, hlm.44. Universitas Sumatera Utara bukanlah hukum, melainkan moral positif positive morality. Unsur perintah berarti bahwa satu pihak menghendaki agar orang lain melakukan kehendaknya. Pihak yang diperintah akan dikenakan sanksi apabila perintah itu tidak ditaati. 15 Sebagai contoh, Jika A warga Negara melakukan pelanggarankejahatan, maka B aparat hukum diberikan wewenang untuk mengenakan Y sanksi. 16 Perintah tersebut merupakan pembebanan kewajiban bagi yang diperintah, dan kewajiban ini hanya dapat terlaksana jika yang memerintah tersebut adalah pihak yang berdaulat. Dan yang memiliki kedaulatan itu dapat berupa seseorang atau sekelompok orang. 17 Sedangkan contoh moral positif misalnya hukum internasional yang tidak mempunyai sanksi. Sebagai penganut aliran positivisme dengan teori hukum murni, Hans Kelsen juga menyatakan prinsip dasar dalam aliran positivisme adalah : Pertama, hukum haruslah dipisahkan dari anasir-anasir non-yuridis seperti anasir etis moral, sosiologis, politis, dan sebagainya. Karena dipisahkanya hukum dari unsur non-yuridis itulah, sehingga teori yang dikemukakan oleh Hans kelsen disebut teori hukum murni. 18 Pada dasarnya Hans kelsen berpendapat: “it is called a “pure” theory of law, because it only describes the law and attemps to eliminate from the object of this description ever beratything that is not strictly law. Its aim is to free the science of law from alien elements”. 19 15 Lili Rasjidi Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Teori Hukum, Bandung: Citra Adytia Bakti, 2004, hlm.59. 16 Ibid, hlm.43. 17 Ibid 18 Pembahasan mengenai konsep pemisahan antara hukum dan moral tampaknya memperoleh perhatian yag cukup besar dari para ahli hukum. Hal ini misalnya dapat dilihat dalam R.M Dworkin,The Philosophy of Law,New Jersey:Oxford University Press,1977,hlm.17-37. 19 Hans Kelsen, Pure theory of law, diterjemahkan oleh Max Knight dari bahasa Jerman, Berkeley:University of california Press,1967, hlm.1. Universitas Sumatera Utara Dipisahkanya hukum dari unsur etis, mengindikasikan bahwa Hans Kelsen tidak memberikan tempat bagi berlakunya hukum alam. Hal ini karena etika memberikan suatu penilaian tentang baik dan buruk, dan ajaran Kelsen menghindari diri dari soal penilaian ini. Begitu pula pemisahan dari unsur sosiologis, berarti ajaran Hans kelsen tidak memandang penting hukum kebiasaan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, dan seterusnya. Kedua, ilmu hukum menurut Hans Kelsen termasuk dalam Sollenkatagori hukum sebagai keharusan, bukan Seinskatagori hukum sebagai kenyataan. Artinya, Kelsen hanya memandang hukum sebagai keharusan yang terlepas sama sekali dari hukum sebagai kenyataan. Orang mentaati hukum karena ia merasa wajib untuk mentaatinya sebagai suatu perintah negara. Contohnya: setiap orang yang membeli barang harus membayar hukum sebagai keharusan, tetapi apabila dalam kenyataanya ada orang yang tidak membayar, maka hal itu bukan menjadi wewenang ilmu hukum, tetapi persoalan nyata dalam masyarakat. 20 Ketiga, ajaran tentang “stuffentheorie” yang dikembangkan muridnya Adolf Merkl, yaitu bahwa sistem hukum hakikatnya merupakan sistem hirarkis yang tersusun dari peringkat terendah hingga peringkat tertinggi grundnorm. Hukum yang lebih rendah harus berdasar,bersumber, dan tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi. Sifat yang bertentangan dari hukum yang lebih rendah mengakibatkan batalnya daya laku hukum itu, sebaliknya, hukum yang lebih tinggi merupakan dasar dan sumber dari hukum yang lebih rendah. Semakin tinggi kedudukan hukum dalam 20 Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Bandung:Penerbit alumni,1982, hlm.39. Universitas Sumatera Utara peringkatnya, semakin abstrak dan umum sifat norma yang dikandungnya dan semakin rendah pangkatnya, semakin nyata dan operasional sifat norma yang dikandungnya. 21 Dalam hal penggunaan istilah hukum telah terjadi pencampuradukkan antara defenisi Pilihan Hukum dan Pilihan Forum sebagaimana diketahui bahwa Pilihan Hukum berkenaan dengan hukum mana yang berlaku untuk suatu perjanjian yang melibatkan dua hukum dua hukum dari dari negara yang berbeda. Sedangkan Pilihan Forum merupakan adalah mengenai badan mana yang berwenang memeriksa atau mengadili perselisihan yang terjadi 22 , bisa diselesaikan melalui Pengadilan Maupun jalur arbitrase yang dalam perkara No. 65PailitPN.JKT.PST, dimungkinkan melakukan Pilihan forum sebagaimana diatur dalam Pasal 303 UUK-PKPU yang telah bersifat final dan mengikat. Indonesia sebagai negara hukum dan penganut aliran hukum positif, setiap aspek tindakan pemerintah baik dalam lapangan pengaturan maupun dalam lapangan pelayanan harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan atau berdasarkan Legalitas. Artinya pemerintah tidak dapat melakukan tindakan pemerintahan tanpa dasar kewenangan, ketentuan bahwa setiap tindakan pemerintah ini harus didasarkan pada asas legalitas. 23 Demikian juga halnya dengan para subjek hukum lainnya bertindak dan bertingkah laku dalam aspek kehidupan haruslah berpedoman pada ketentuan yang ada yaitu peraturan perundang-undangan yang berlaku. 21 Hans kelsen, Op.cit, hlm.126-137. 22 Yansen Dermanto Latip, Pilihan Hukum Dan Pilihan Forum, Jakarta: Universitas Indonesia, 2002, hlm.1. 23 Prajudi, Hukum Administrasi Negara, Jakarta:Ghalia Indonesia,1981, hlm.27. Universitas Sumatera Utara Bertumpu pada teori di atas maka dapat dikatakan bahwa Pasal 3 ayat 1, 2,3,4, dan 5 UUK-PKPU merupakan suatu keharusan yang harus diterapkan oleh hakim sebagai acuan dalam memutus dan memeriksa perkara ini tanpa memperhatikan asal mula dari mana pasal tersebut terbentuk.

2. Kerangka Konsepsi

Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Terhadap Batas Waktu Di Dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah (Studi Kasus Putusan Perkara Perdata No.577/Pdt.G/2013/ Pn-Mdn)

5 88 92

Tinjauan Yuridis Terhadap Kewarisan Anak Li’an Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Putusan Pengadilan Agama Nomor 1595/PDT.G/2010/PA Sidoarjo)

1 68 141

Analisis Yuridis Terhadap Putusan Bebas Dalam Perkara Nomor: 3212/Pid.B/2007/PN. Mdn

0 55 144

Tinjauan Yuridis Atas Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Memutus Perkara Kepailitan Dengan Adanya Klausul Arbitrase Dalam Perjanjian Para Pihak Yang Bersengketa

3 84 83

Analisis Yuridis Kompetensi Pengadilan Niaga Dalam Perkara Kepailitan (Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor 65/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST)

1 81 151

Analisis Yuridis Atas Kegagalan Pengembang Dalam Memenuhi Klausula Jual Beli Apartemen (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 69/PDT.G/2008/PN.MDN)

0 67 123

Tinjauan Yuridis Pembatalan Putusan Arbitrase Oleh Pengadilan Negeri (Studi Kasus Perkara No. 167/Pdt.P/2000/PN-Jak.Sel)

2 51 168

Analisis Utang Pada Beberapa Putusan Perkara Kepailitan Pada Pengadilan Niaga Dan Mahkamah Agung

0 23 56

Analisis Yuridis Normatif Terhadap Putusan Hakim Nomor: 582/Pid.B/2013/PN.Mlg Dalam Perkara Tindak Pidana Perjudian (Studi Putusan Pengadilan Negeri Malang Nomor: 582/Pid.B/2013/PN.Mlg)

1 8 31

Analisis Putusan Pengadilan Tentang Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi (Studi Kasus Putusan Nomor 35/Pdt.G/2012/PN.YK dan Putusan Nomor 42/Pdt.G/2012/PN.YK)

1 9 63