Gross Tonage GT Mesin Kapal

Gambar 13 Coefficient of midship C ⊗ Sumber : Iskandar dan Novita, 1997 digambar ulang Koefisien kapal akan sangat erat hubungannya dengan bentuk dan bobot kapal tersebut. Nilai koefisien bentuk kapal berbeda-beda tergantung dari jenis kapalnya. Nilai tersebut menunjukkan kelangsingan bentuk kapal dan erat hubungannya dengan stabilitas. Koefisien bentuk kapal juga dipengaruhi oleh luas bagian lambung kapal yang terbenam dalam air, bentuk lambung kapal yang terbenam di air berbeda-beda sesuai dengan jenis kapal, dimana kapal yang memerlukan kecepatan tinggi maka bentuk lambungnya lebih langsing dibandingkan dengan jenis kapal yang kurang memerlukan kecepatan tinggi. Bentuk lambung kapal ini berhubungan dengan koefisien bentuk. Dibawah ini disajikan nilai koefisien bentuk yang dikemukakan oleh Nomura dan Yamazaki 1977, pada Tabel 1. Tabel 1 Koefisien bentuk untuk masing-masing jenis kapal berdasarkan alat tangkap yang dioperasikan Kisaran nilai Kelompok kapal C b C p C ⊗ C w Alat tangkap yang ditarik 0,58-0,67 0,66-0,72 0,88-0,93 - Alat tangkap pasif 0,63-0,72 0,83-0,90 0,65-0,75 0,91-0,97 Alat tangkap yang dilingkarkan 0,57-0,68 0,76-0,94 0,67-0,78 0,91-0,95

2.6 Gross Tonage GT

Sebelum ditetapkannya cara pengukuran kapal yang saat ini diberlakukan di banyak negara termasuk Indonesia, masing-masing negara menerapkan cara pengukuran yang berbeda-beda. Cara pengukuran kapal yang berbeda-beda ini kemudian menimbulkan permasalahan bagi kapal-kapal dengan rute pelayaran internasional. Sesuai petunjuk Keputusan Menteri Perhubungan tersebut, maka Direktur Jenderal Perhubungan Laut kemudian menetapkan Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Laut No. PY.67113-90 yang berisi tentang petunjuk pelaksanaan pengukuran kapal-kapal Indonesia. Kemudian dalam keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Laut No. PY.67113-90 ini menyebutkan bahwa terdapat tiga cara pengukuran kapal-kapal di Indonesia, yaitu : 1 Pengukuran untuk kapal berukuran panjang 24 dua puluh empat meter atau lebih dengan cara pengukuran internasional, dengan rumus GT=K 1 xV; 2 Pengukuran untuk kapal berukuan panjang kurang dari 24 dua puluh empat meter dengan cara pengukuran dalam negeri, dengan rumus GT=0,353x V; 3 Pengukuran untuk kapal berukuran panjang kurang dari 24 meter yang dilakukan atas permintaan pemilik kapal dengan cara pengukuran internasional, dengan rumus GT=0,25x V; Tanggal 17 Mei 2002 DIRJEN PERLA menetapkan keputusan Dirjen Perhubungan Laut Nomor PY.67116-02 tentang perubahan atas keputusan Dirjen Perhubungan Laut Nomor PY.67113-90. Keputusan Dirjen Perhubungan Laut Nomor PY.67116-02 ini mengubah dan pengganti rumusan cara pengukuran dalam negeri yang tercantum dalam pasal 26 ayat 1 Keputusan Dirjen Perhubungan Laut Nomor PY.67113-90 sehingga selengkapnya menjadi berbunyi sebagai berikut: Pasal 26 ayat 1 : Isi kotor kapal dapat diperoleh dan ditentukan sesuai dengan rumus sebagai berikut : GT = 0,25 x V; Keterangan : V adalah jumlah isi dari ruangan dibawah geladak utama ditambah dengan ruangan-ruangan diatas geladak atas yang tertutup sempurna yang berukuran tidak kurang dari 1 m 3 .

2.7 Mesin Kapal

Menurut Arismunandar 1977 mesin yang banyak digunakan sekarang adalah mesin kalor, yaitu mesin yang menggunakan energi termal untuk melakukan kerja mekanik atau yang mengubah energi termal menjadi energi mekanik. Energi itu sendiri dapat diperoleh dengan proses pembakaran, proses fusi bahan bakar nuklir atau proses lain-lain. Ditinjau dari segi cara memperoleh energi mesin kalor dibagi menjadi dua golongan, yaitu mesin pembakaran luar dan mesin pembakaran dalam. Mesin pembakaran luar proses pembakaran terjadi di luar mesin, dimana energi termal dari gas hasil pembakaran dipindahkan ke fluida kerja mesin, melalui beberapa dinding pemisah. Pada umumnya mesin pembakaran dalam dikenal dengan motor bakar. Proses pembakaran berlangsung di dalam motor bakar itu sendiri sehingga gas pembakaran yang terjadi sekaligus berfungsi sebagai fluida kerja. Mesin kapal harus dipasang sedemikian rupa sehingga poros engkol yang dihubungkan dengan poros propeller agak menurun sedikit di buritan. Akan sangat baik kalau kemiringannya kecil yaitu tidak lebih dari 8 . Kalau kemiringannya lebih besar akan mengurangi daya yang dikeluarkan sehingga kecepatan pun berkurang. Dudukan mesin harus satu sumbu dengan bantalan poros propeller dan dipasang secara tetap dan menetap kuat pada kapal Soenarta dan Furuhama, 1995. Persyaratan mesin layak pakai yaitu harus memenuhi syarat BKI, mempunyai bobot yang relatif ringan dan volume yang relatif kecil, pada kapal kekiri atau kekanan oleng yang terus menerus dengan sudut kemiringan 22,5 motor tetap dapat berfungsi, pada keadaan oleng arah membujur trim yang terus menerus dengan sudut kemiringan 10 motor dapat befungsi, efisien dalam pemakaian bahan bakar, tidak menimbulkan getaran yang merugikan, mudah untuk diperbaiki dibongkar pasang setiap saat mengingat kemungkinan terjadinya kerusakan pada saat pelayaran, tahan terhadap air laut, tidak menggunakan bahan bakar yang mudah terbakar, tahan untuk pengoperasian yang sifatnya terus-menerus dan mudah untuk dioperasikan Ayodhyoa, 1972.

2.8 Tahanan, Kecepatan dan Daya Penggerak Kapal