20 Laju pengeringan bekatul segar selama 4 jam pengeringan sebesar 10
-4
gdet. Berdasarkan laju pengeringan produk Tabel 3, laju pengeringan terbesar ditunjukkan oleh pengukusan produk selama 15 menit yaitu
7,99 x 10
-4
gdet. Perlakuan pengukusan bahan menyebabkan kenaikan laju pengeringan. Hal ini disebabkan oleh kandungan air yang berbeda pada
bekatul segar dan bekatul terstabiliasi. Pengukusan menyebabkan peningkatan penyerapan uap air ke dalam bahan sehingga air yang diuapkan selama
pengeringan meningkat dan laju pengeringan bahan pun menjadi lebih besar.
B. KARAKTERISTIK BEKATUL DAN BEKATUL TERSTABILISASI
Analisis yang dilakukan dalam karakterisasi bekatul dan bekatul terstabiliasi meliputi analisis fisikokimia, fungsional, dan mikrobiologi.
Analisis tersebut digunakan untuk mengetahui perubahan yang terjadi selama stabilisasi dan pengeringan bekatul.
Hasil analisis sifat fisikokimia bekatul dan bekatul terstabiliasi secara rinci disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Sifat fisikokimia bekatul dan bekatul terstabilisasi
Parameter Standar Bekatul
Bekatul terstabilisasi 5
’ 10
’ 15
’ Kadar air
Mak 12 6,86
5,61 5,48
5,72 Kadar protein bk
Min 8 13,72
12,73 12,67 12,67 Kadar lemak bk
Min 3 16,84
14,23 13,38 13,50 Kadar abu bk
Mak 10 7,43
7,99 7,77
7,76 Serat kasar bk
Mak 10 7,25
7,34 6,98
7,02 Karbohidrat by different bk
- 47,9
52,1 53,72 53,33
Kecerahan wana L -
71,90 64,94 65,06 65,48
TBA mg malonaldehidkg sampel -
0,68 0,23
0,27 0,26
SNI 01-4439-1998 Nilai pengujian kadar air bekatul segar sebesar 6,86 berada dalam
kisaran standar. Kadar air bekatul dipengaruhi oleh tingkat pengeringan gabah yang disosoh menjadi beras pecah kulit. Kadar air gabah kering yang
rendah menghasilkan produk samping bekatul dengan kadar air yang rendah pula.
21 Pengukusan dapat menarik sebagian udara dalam jaringan sehingga
tekanan turgor sel berkurang. Hal ini menyebabkan jaringan bahan menjadi lunak. Penarikan udara akan mendegradasi sebagian dinding sel sehingga
jaringan menjadi porous. Selama proses pengukusan, uap air pengukus terserap oleh bahan. Semakin lama bahan dikukus maka penyerapan uap air
oleh bahan semakin meningkat. Produk yang dikukus dapat menyerap air yang berasal dari uap air
pengukus. Air tersebut harus dihilangkan untuk mencegah terjadinya hidrolisis lemak maupun pertumbuhan mikroorganisme. Pengeringan menyebabkan
penurunan kadar air tepung bekatul. Nilai kadar air produk yang dikukus
selama 5 menit 5,61 , 10 menit 5,48 , dan 15 menit 5,72 . Kadar protein bekatul segar sebesar 13,72 bk. Nilai tersebut lebih
besar dari standar yaitu min 8 . Metode protein kasar dalam perhitungan diperoleh dari semua nilia N nitrogen baik N penyusun protein maupun non
protein. Kadar protein yang tinggi diduga berasal dari kontaminasi beras sosoh dan lembaga selama penggilingan dan terhitungnya nilai N non protein.
Menurut Luh 1980, komponen N non protein yang terdapat dalam bekatul adalah guanin, adenin, xanthin, dan hipoxantihin.
Nilai protein bekatul terstabilisasi mengalami penurunan karena sebagian komponen protein diduga larut selama pengukusan. Menurut Luh
1980, komponen utama protein bekatul adalah albumin dan globulin. Albumin merupakan fraksi larut air dan globulin merupakan fraksi yang tidak
larut air. Kadar lemak bekatul relatif tinggi yaitu 16,84 bk. Setelah
mengalami proses pengolahan, kadar lemak produk mengalami penurunan. Nilai kadar lemak produk berkisar antara 13,38-14,23 bk. Penurunan
kadar lemak terjadi karena pengukusan meningkatkan penyerapan uap air sehingga kadar air produk meningkat. Keberadaan air dalam bahan akan
mempercepat proses hidrolisis lemak bekatul menjadi gliserol dan asam lemak bebas. Dalam pengujian, gliserol tidak dapat larut dalam pelarut organik
heksan sehingga nilai kadar lemak kasar produk menjadi lebih kecil daripada bekatul segar.
22 Abu merupakan bahan anorganik mineral dalam suatu bahan. Kadar
abu bekatul yang dihasilkan dalam pengujian sebesar 7,43 bk sedangkan nilai kadar abu produk berkisar antara 7,76-7,99 bk. Kandungan abu
dalam bekatul tergantung pada kondisi tanah, lingkungan tumbuh, varietas padi, dan proses penggilingan. Pemanasan dapat membakar atau
menghilangkan unsur organik bahan sedangkan kandungan mineralnya akan tetap. Oleh karena itu, proses pengukusan dan pengeringan bekatul tidak
menyebabkan penurunan kadar abu. Pengujian kadar serat kasar bekatul segar sebesar 7,25 bk. Nilai
serat kasar bekatul terstabilisasi selama 5 menit sebesar 7,34 bk, sedangkan pada pengukusan 10 dan 15 menit berturut-turut sebesar 6,98
bk dan 7,02 bk. Peningkatan waktu pengukusan produk menyebabkan penurunan kadar serat. Pengukusan produk menyebabkan jaringan dinding sel
menjadi lunak dan terlarut dalam air selama pengukusan sehingga kadar serat produk mengalami penurunan.
Warna merupakan parameter mutu yang dapat diamati secara langsung. Pengujian warna dilakukan menggunakan alat colormeter. Nilai
kecerahan warna bekatul segar sebesar 71,70. Nilai kecerahan produk berkisar antara 64,94-65,48. Namun jika nilai kecerahan antar produk dibandingkan,
maka produk yang dikukus selama 15 menit mempunyai tingkat kecerahan yang lebih tinggi dibandingkan pengukusan produk 5 dan 10 menit. Produk
yang dikukus selama 15 menit memiliki kadar air terbesar yaitu 5,72 bb. Pengikatan air selama pengukusan menyebabkan warna bahan menjadi lebih
mengkilab sehingga tingkat kecerahannya pun meningkat. Semakin banyak air yang terserap selama pengukusan maka nilai kecerahan bekatul semakin besar.
TBA Thiobarbituric Acid merupakan suatu reagen yang bereaksi dengan senyawa malonaldehid, hasil okidasi lanjutan peroksida. Hasil reaksi
antara kedua senyawa tersebut membentuk kompleks kromogen berwarna merah. Pengujian nilai TBA bekatul sebesar 0,68 mg malonaldehidkg sampel.
Penurunan nilai TBA terjadi pada semua produk pengukusan 0,23-0,27 mg malonaldehidkg sampel. Penurunan nilai TBA produk diduga karena
23 kandungan airnya yang rendah serta aktivitas enzim menurun karena adanya
proses pengukusan bahan. Selain analisis sifat fisikomia, dilakukan pula analisis sifat fungsional
dan mikrobiologi bekatul dan bekatul terstabilisasi. Hasil pengujian tersebut disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Sifat fungsional dan mikrobiologi bekatul dan bekatul terstabilisasi
Parameter Bekatul
Bekatul terstabilisasi 5
’ 10
’ 15
’ Kelarutan
11,95 18,73
21,21 19,01
Swelling power 5,96
9,34 8,39
8,61 Freeze thaw stability sineresis
95,50 93,92
91,70 90,58
TPC kolonig 1,65 x 10
6
E. coli Angka Perkiraan Mikrobag -
- -
-
Nilai kelarutan bekatul relatif kecil yaitu 11,95 . Kelarutan menunjukkan kemampuan bahan melarut dalam suatu pelarut. Nilai kelarutan
yang kecil menunjukkan bahwa bekatul sulit larut dalam air. Proses stabilisasi melalui metode pengukusan dapat meningkatkan kelarutan bekatul. Nilai
kelarutan produk yang telah dikukus berkisar antara 18,73-21,21 . Pengukusan menyebabkan jaringan bahan mengalami kerusakan sehingga
sebagian komponen bahan yang larut air keluar dari jaringan. Komponen yang berperan dalam kelarutan diduga berasal dari serat dan amilosa. Amilosa
merupakan komponen pati yang larut dalam air. Menurut Luh 1980, selama penyosohan beras pecah kulit, sebagian pati yang berasal dari endosperm dan
germ terikut dalam bekatul. Swelling power merupakan kemampuan bahan untuk mengembang.
Swelling power dipengaruhi oleh kandungan serat bekatul. Swelling power bekatul segar sebesar 5,96 sedangkan produk berkisar antata 8,39-9,34 .
Dalam penelitian ini, kandungan serat bekatul sebesar 7,25 bk dan bekatul terstabilisasi relatif sama yaitu 6,98-7,34 bk. Peningkatan nilai swelling
power bekatul setelah pengukusan dipengaruhi oleh kemampuan serat dalam mengerap air. Proses pengukusan menyebabkan peningkatan keporousan
jaringan sehingga kemampuannya mengikat air semakin besar.
24 Freeze thaw stability merupakan stabilitas bahan untuk disimpan
dalam kondisi beku dan dinyatakan sebagai sineresis. Sineresis merupakan proses keluarnya air dari jaringan bahan setelah bahan diletakkan pada suhu
ruang 25-30
o
C. Nilai pengujian bekatul segar sebesar 95,50 . Penurunan nilai sineresis produk 90,58-93,92 menunjukkan perbaikan sifat
fungsional bekatul dalam mengikat air. Pengukusan pada dasarnya membuat jaringan menjadi porous sehingga air lebih banyak terikat oleh jaringan.
Nilai WRC Water Retention Capacity menunjukkan kemampuan bahan menyerap dan menahan air. Serat berperan penting dalam pengikatan
air. Lama pengukusan menyebabkan kerusakan jaringan bahan sehingga pengikatan air meningkat. Nilai WRC disajikan pada gambar berikut.
5 10
15 20
25 30
60 65
70 75
80 85
90 95
100 Suhu pemanasan C
W R
C
Kukus 5 menit Kukus 10 menit
Kukus 15 menit Bekatul segar
Gambar 9. Hubungan antara suhu pemanasan dengan WRC Hasil pengujian menunjukkan peningkatan nilai WRC seiring dengan
kenaikan suhu pemanasan. Pemanasan menyebabkan peningkatan energi kinetik air sehingga pengikatan air terhadap serat bekatul meningkat.
Pengukusan menyebabkan komponen serat menjadi porous sehingga pengikatan air menjadi lebih besar. Mekanisme pengikatan air terjadi melalui
ikatan hidrogen yang menghubungkan gugus hidroksil serat bekatul dan ion hidrogen dalam molekul air. Nilai WRC secara lengkap disajikan pada
Lampiran 4. ORC Oil Retention Capacity merupakan pengujian kemampuan
pengikatan minyak oleh suatu bahan. Dalam pengujian ini, pengikatan minyak
25 dilakukan oleh komponen serat bekatul. Pengujian dilakukan pada suhu
pemanasan 65-95
o
C. Hasil pengujian ORC disajikan pada gambar berikut.
4 8
12 16
20
60 65
70 75
80 85
90 95
100 Suhu pemanasan C
O R
C
Kukus 5 menit Kukus 10 menit
Kukus 15 menit Bekatul segar
Gambar 10. Hubungan antara suhu pemanasan dengan ORC Gambar 10 menunjukkan bahwa pengikatan minyak oleh bekatul dan
bekatul terstabilisasi relatif stabil pada setiap suhu pemanasan. Pengukusan mampu meningkatkan keporousan serat. Rongga serat yang porous dapat diisi
oleh kompenen lain dari bahan yang dicampurkan ke dalam bekatul. Namun demikian, kemampuan serat mengikat minyak terbatas karena panjangnya
rantai karbon minyak. Uji total mikroorganisme menggunakan metode TPC Total Plate
Count dilakukan untuk mengetahui jumlah mikroorganisme yang tumbuh secara keseluruhan bakteri, kapang, maupun khamir. Hasil pengujian TPC
menunjukkan nilai total mikroorganisme yang melebihi batas maksimal SNI 01-3549-1994 mak 10
6
sedangkan produk pengukusan tidak menunjukkan adanya koloni. Tingginya jumlah mikroba dalam bahan dapat disebabkan oleh
mikroba yang secara alami terdapat dalam bekatul maupun kontaminasi saat pengujian. Dengan adanya proses pengukusan akitivitas mikroorganisme
dapat dihilangkan. Pengujian E. coli dilakukan untuk mengetahui pencemaran kotoran
manusia maupun hewan terhadap suatu bahan. Pengujian E. coli pada bekatul segar tidak menunjukkan adanya koloni negatif begitu juga dengan produk.
Keberadaan E. coli dapat menyebabkan produk ditolak karena membahayakan konsumen. Pencegahan pertumbuhan mikroorganisme selama penyimpanan
26 dapat dilakukan dengan penurunan kadar air bahan dan pengaturan oksigen
melalui penggunaan kemasan.
C. PERUBAHAN MUTU SELAMA PENYIMPANAN