Pemanfaatan agar-agar tepung sebagai texturizer pada formulasi selai jambu biji merah (Psidium guajava L.) lembaran dan pendugaan umur simpannya
DAN PENDUGAAN UMUR SIMPANNYA
WAHYU RAMADHAN
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
(2)
WAHYU RAMADHAN. C34060472. Pemanfaatan Agar-agar sebagai Texturizer pada Formulasi Selai Jambu Biji Merah (Psidium guajava L.) Lembaran dan Pendugaan Umur Simpannya. Dibawah Bimbingan. WINI TRILAKSANI dan WINARTI ZAHIRUDDIN.
Pola kehidupan masyarakat moderen telah banyak berubah, menuntut segala sesuatu yang serba praktis tidak terkecuali dengan masalah pengolahan makanan. Sarapan hanya dengan sekerat roti yang dilengkapi selai pada pagi hari merupakan pola hidup yang sudah biasa. Hal ini mengakibatkan permintaan terhadap roti terus meningkat dan secara langsung juga meningkatkan permintaan terhadap selai. Selai yang ada di pasaran umumnya dalam bentuk selai oles yang dianggap kurang praktis dalam penyajiannya sehingga perlu pengembangan bentuk olahan lain sebagai contoh selai lembaran. Penggunaan agar-agar tepung sebagai texturizer dalam pemanfaatan jambu biji sebagai single selai lembaran menjadikan produk selai lebih praktis dalam penyajiannya.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui formula terbaik dari penambahan agar-agar tepung, asam sitrat dan gula pada proses pembuatan selai lembaran serta pendugaan umur simpan produk. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jambu biji merah (Psidium gujaza L.), gula pasir, agar-agar tepung dan asam sitrat. Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat untuk pembuatan selai lembaran dan analisis antara lain texture analyzer, viscometer, awmeter, thermometer, pH meter dan alat-alat laboratorium lainnya.
Karakteristik formula awal selai lembaran dengan nilai sensori yang paling disukai adalah selai dengan penambahan gula 90 % dan asam sitrat 0,04 %. Selai jambu biji lembaran memiliki nilai pH berkisar antara 3,63-3,90 dan kandungan gula total 34,68 g/100g - 35,77 g/100g. Hasil uji sensori pada penelitian utama menunjukkan bahwa penambahan agar-agar tepung dengan konsentrasi 0,8 %- 1,2 % menghasilkan kekuatan gel berkisar antara 185,20 - 379,42 g/cm; total serat pangan 1,01 % - 1,59 %; dan nilai aw 0,852-0,893. Hasil perangkingan dengan
metode Bayes menghasilkan selai jambu biji lembaran terpilih adalah selai dengan penambahan asam sitrat 0,04 %, gula 90 % dan agar-agar tepung 0,9 %. Selai tersebut berpenampakan menarik, berwarna merah tua, memiliki tekstur yang kompak dan rasa yang disukai oleh panelis.
Hasil uji sensori selama masa penyimpanan pada suhu berbeda (200C, 250C dan 300C) memperlihatkan bahwa selai lembaran terpilih mengalami penurunan mutu warna, aroma, penampakan, teksur dan rasa. Selama penyimpanan jumlah kapang pada selai lembaran juga terus meningkat hingga 5x101 kol/g. Persamaan model Arrhenius yang diperoleh adalah ln k = 20.222-6660.6 (1/T). Dari persamaan tersebut diketahui bahwa selai lembaran terpilih dapat disimpan selama 44 hari pada suhu 100C, 11 hari pada suhu 27 0C dan 6 hari pada suhu 35 0C.
(3)
DAN PENDUGAAN UMUR SIMPANNYA
WAHYU RAMADHAN
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
(4)
Pendugaan Umur Simpannya. Nama : Wahyu Ramadhan
NIM : C34060472
Menyetujui : Pembimbing I
(Ir. Wini Trilaksani, M.Sc) NIP. 196101281986012001
Pembimbing II
(Ir. Winarti Zahiruddin, MS) NIP. 194604141974022001
Mengetahui : Ketua Departemen
(Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS.M.Phil) NIP. 195805111985031002
(5)
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Pemanfaatan Agar-agar sebagai Texturizer pada Formulasi Selai Jambu Biji Merah (Psidium guajava L.) Lembaran dan Pendugaan Umur Simpannya adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2011
Wahyu Ramadhan
(6)
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat, anugerah dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul Pemanfaatan Agar-agar sebagai Texturizer pada Formulasi Selai Jambu Biji Merah (Psidium guajava L.) Lembaran dan Pendugaan Umur Simpannya. Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penelitian dan menyelesaikan skripsi ini, terutama kepada :
1. Ayah dan Ibu atas semua dukungan dan kasih sayang yang diberikan, baik moril maupun materil serta doa yang selalu mengalir tanpa henti kepada penulis.
2. Ir. Wini Trilaksani, M.Sc dan Ir. Winarti Zahiruddin, MS sebagai pembimbing, yang senantiasa memberi arahan serta bimbingan selama penyusunan skripsi ini.
3. Dra. Pipih Suptijah, MBA sebagai dosen pembimbing akademik yang selalu memberikan motivasi kepada penulis selama menempuh kuliah di THP.
4. Bapak Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil selaku ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan.
5. Bapak Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb, Dipl. Biol sebagai Ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan.
6. Bapak Ir. Heru Sumaryanto, M.Si sebagai dosen penguji yang telah banyak memberikan saran dan perbaikan dalam skripsi ini.
7. Adikku Shabri Prayogi dan Atikah Fajriani, serta seluruh keluarga di Bogor, Jakarta, Bekasi, dan Surabaya atas dukungan yang telah diberikan kepada penulis selama menempuh pendidikan di Bogor.
8. Saudara Idmar Deki dan Idham F. yang telah banyak memberikan ide dan kontribusi besar atas adanya penelitian ini.
(7)
10. Kartika Hastarina, Lia Astriani, Norita, Hilda, Ratna, Yayan, Rozi, Lely, Rida, Supri dan teman-teman lain yang tidak bisa disebutkan saatu persatu yang telah banyak membantu selama proses penelitian berlangsung.
11. Ibu Rubiah, Ibu Ema, Mas Zaky, Mas Ipul, Mba Lastri, Silvi yang telah membantu teknis di laboratorium.
12. Teman-teman ‘satu PS’ (Anggi, Minal, Patma, Rizal, Ibnu, Ozzy), terima kasih telah memberikan bantuan selama penelitian serta semangat dan dorongan untuk segera menyelesaikan seminar dan sidang.
13. Teman-Teman THP 43 atas persahabatan, kebersamaan, bantuan, doa dan canda tawa yang diberikan.
14. Seniorku THP 40, 41 dan 42 serta adik-adikku, THP 44 dan THP 45 atas kebersamaan dan dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan penelitian.
15. Teman-teman Wisma Pajar (Bang Boby, Puguh, Rizal, Budi, Alvin, Qori, Ase, Dul, Faridh, Faruq, Alpin, Anjar, Syamsul, Kiky, Ozzy) atas hiburan, canda dan tawa yang diberikan.
16. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan nama satu persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih ada kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak demi penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya. Terima kasih.
Bogor, Maret 2011
Wahyu Ramadhan
(8)
Penulis dilahirkan pada tanggal 18 April 1988 di Kendari, Sulawesi Tenggara. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Ir.Tjandra Buana, M.Si dan Ir.Hermin Puspa Rahayu. Pendidikan formal yang ditempuh oleh penulis dimulai dari Raudhatul Atfhal Al-Hidayah Kendari, dilanjutkan ke SD Negeri Pembina Kendari dan lulus pada tahun 2000. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 9 Kendari dan mendapatkan kelulusan pada tahun 2003. Pendidikan selanjutnya ditempuh di SMA Negeri 1 Kendari dan lulus pada tahun 2006.
Pada tahun 2006 penulis diterima di Program Strata-1 Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan pada tahun 2007 penulis diterima di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama menempuh pendidikan di IPB penulis pernah menjadi Asisten Luar Biasa m.a. Ekologi Perairan Bagian Ekobiologi Manajemen Sumberdaya Perairan (Tahun 2008/2009), Asisten m.a. Diversifikasi dan Pengembangan Produk Hasil Perairan (2009/2010), Asisten m.a. Teknologi Pemanfaatan Hasil Samping dan Limbah Hasil Perairan (2009/2010), Asisten m.a. Teknologi Industri Tumbuhan Laut (2009/2010), dan Asisten m.a Teknologi Pengolahan Hasil Perairan (2009/2010). Penulis juga aktif di kepanitian kegiatan dari Himpunan Mahasiswa Hasil Perikanan (2008/2009) dan merupakan anggota Ikatan Keluarga Pemuda Sulawesi Tenggara (IKPM Sultra) dari tahun 2006 hingga sekarang. Banyak pelatihan baik intra maupun ekstra kampus yang peneliti ikuti diantaranya adalah pelatihan HACCP, ISO 9001:2008, ISO 14001:2004, dan OHSAS 18001:2007.
Penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, dengan judul Pemanfaatan Agar-agar sebagai Texturizer pada Formulasi Selai Jambu Biji Merah (Psidium guajava L.) Lembaran dan Pendugaan Umur Simpannya, dibimbing oleh Ibu Ir. Wini Trilaksani, M.Sc dan Ir. Winarti Zahiruddin MS.
(9)
viii
DAFTAR GAMBAR………. x
DAFTAR TABEL……….. xii
DAFTAR LAMPIRAN……….. xiii
1 PENDAHULUAN………... 1
1.1 Latar Belakang………. 1
1.2 Tujuan……….. 3
2 TINJAUAN PUSTAKA………. 5
2.1 Agar-agar………. 5
2.1.1 Struktur dan sifat fisiko kimia agar-agar……… 6
2.1.2 Rheologi………... 8
2.1.1 Aplikasi agar-agar……… 10
2.2 Jambu Biji (Psidium guajava L.) ……….………... 13
2.2.1 Klasifikasi dan morfologi jambu biji (Psidium guajava L.) ………... 15
2.2.2 Potensi dan manfaat jambu biji………..……….……… 15
2.3 Selai……….…….…….……... 16
2.3.1 Proses pembuatan selai………. 17
2.3.2 Bahan tambahan selai…….…….…….…….…….…….……. 21
2.4 Pendugaan Umur Simpan……… 24
2.4.1 Model kadar air kritis………..……… 26
2.4.2 Model Arrhenius …….…….…….…….…….…….……..…. 28
3 METODOLOGI…….…….…….…….…….…….…….…….….….……… 34
3.1 Waktu dan Tempat…….…….…….…….…….…….…….………… 34
3.2 Bahan dan Alat…….…….…….…….…….…….…….……..……... 34
3.3 Metode Penelitian………. 34
3.3.1 Penelitian pendahuluan…….…….…….…….…….…….….. 35
3.3.2 Penelitian utama…….…….…….…….…….…….…….….... 37
3.4 Analisis Produk…….…….…….…….…….…….…….…….……... 41
3.4.1 Uji organoleptik………..……… 41
3.4.2 Analisa kadar air…….…….…….…….…….…….……..…. 42
3.4.3 Analisis kadar abu…….…….…….…….…….…….……… 42
3.4.4 Analisa kadar protein....…….…….…….…….…...……..…. 43
3.4.5 Analisis kadar lemak….…….…….…….…….…….….…… 43
(10)
ix
3.4.10 Analisis kadar gula metode Luff Schrool………. 45
3.4.11 Serat makanan………...… 47
3.4.12 Pengukuran pH………. 48
3.4.13 Analisis aktivitas air (aw)………..………… 48
3.4.14 Uji Kapang……… 49
3.5 Analisis Data……… 49
4 HASIL DAN PEMBAHASAN….…….…….…….…….…….…….……… 53
4.1 Penelitian Pendahuluan.…….…….…….…….…….…….…….…… 53
4.1.1 Karakteristik agar-agar tepung….…….…….…….…….…... 53
4.1.2 Karakteristik sensori.…….…….…….…….…….…….……. 54
4.1.3 Karakteristik kimia….…….…….…….…….…….…... 64
4.1.4 Selai lembaran terbaik berbasis indeks kinerja…….……... 67
4.2 Penelitian Utama.…….…….…….…….…….…….…….…….…... 69
4.2.1 Karakteristik sensori….…….…….…….…….…….……….. 69
4.2.2 Kekuatan gel.…….…….…….…….…….…….………. 76
4.2.3 Serat makanan….…….…….…….…….…….….…….…... 78
4.2.4 Water activity...….…….….…….…….…….…….………. 81
4.2.5 Selai lembaran terbaik berbasis indeks kinerja…….…..…… 83
4.3 Pendugaan Umur Simpan.…….…….…….…….…….…….…….… 85
4.4 Informasi Gizi (Nutrition fact).…….…….…….…...….……... 98
5 KESIMPULAN DAN SARAN….…….…….…….…….…….…….…….... 100
5.1 Kesimpulan…….…….…….…….…….…….…….…….…….……. 100
5.1 Saran…….…….…….…….…….…….…….……..….…...…..…... 100
DAFTAR PUSTAKA.…….….…….……….……….……….……….…….….. 101
(11)
x
No Hal
1 Struktur agar-agar... 5
2 Struktur agarosa dan agaropektin... 6
3 Pembentukan gel agar-agar... 8
4 Jambu biji (Psidium guajava L). ... 15
5 Skema pembuatan selai secara umum.. ... 20
6 Slope pada kurva soprsi isothermis... 27
7 Hubungan waktu dengan perubahan mutu ordo nol... 30
8 Hubungan waktu dengan perubahan mutu ordo satu dan hubungan waktu dengan logaritma perubahan mutu ... 31
9 Skema pembuatan selai lembaran pada penelitian pendahuluan ... 37
10 Skema pembuatan selai lembaran pada penelitian utama ... 39
11 Grafik ordo nol (garis lurus) ... 40
12 Plot ordo satu ... 41
13 Nilai penampakan selai jambu biji lembaran ... 55
14 Nilai warna selai jambu biji lembaran ... 57
15 Nilai aroma selai jambu biji lembaran ... 59
16 Nilai rasa selai jambu biji lembaran ... 61
17 Nilai tekstur selai jambu biji lembaran ... 63
18 Total gula selai jambu biji lembaran ... 65
19 Nilai pH selai jambu biji lembaran ... 67
20 Nilai penampakan selai jambu biji lembaran ... 70
21 Nilai warna selai jambu biji lembaran ... 72
22 Nilai aroma selai jambu biji lembaran ... 73
23 Nilai rasa selai jambu biji lembaran ... 75
24 Nilai tekstur selai jambu biji lembaran ... 76
25 Nilai kekuatan gel selai jambu biji lembaran ... 77
26 Skema pembentukan gel agar-agar ... 79
27 Nilai total serat mekanan selai jambu biji lembaran ... 80
(12)
xi
30 Nilai warna selai jambu biji lembaran
(selama penyimpanan) ... 89 31 Nilai aroma selai jambu biji lembaran
(selama penyimpanan) ... 90 32 Nilai rasa selai jambu biji lembaran
(selama penyimpanan) ... 91 33 Nilai tekstur selai jambu biji lembaran
(selama penyimpanan) ... 92 34 Laju peningkatan nilai total kapang pada selai lembaran ... 95 35 Persamaan laju kinetik pendugaan umur simpan
(13)
xii
No Hal
1 Komposisi kimia dan parameter gel dari Gracilaria sp ... 7
2 Standar mutu agar-agar menurut Food Chemical Codex ... 10
3 Standar mutu agar-agar menurut SNI ... 11
4 Persyaratan mutu agar-agar ekspor Jepang (Japan Agar Control co.) ... 11
5 Kandungan agar-agar tepung ... 12
6 Kandungan energi, zat gizi dan serat dari jambu biji dalam 100 g ... 16
7 Syarat mutu selai menurut SNI 3746 : 2008 ... 19
8 Ketahanan beberapa bahan pengemas terhadap air, gas dan bau ... 32
9 Permeabilitas beberapa bahan pengemas dan heat stability ... 33
10 Komposisi gula dan asam sitrat pada penelitian pendahuluan ... 36
11 Penetapan gula menurut Luff-Schrool ... 46
12 Hasil proksimat dan fisikokimia agar-agar tepung ... 53
13 Karakteristik dan nilai kepentingan parameter selai lembaran dengan pertimbangan parameter sensori dan kimia. ... 68
14 Perangkingan dan pembobotan selai lembaran... 69
15 Karakteristik dan nilai kepentingan parameter selai lembaran dengan pertimbangan parameter sensori dan kimia (penelitian utama) ... 84
16 Perangkingan dan pembobotan parameter dengan metode Bayes ... 85
17 Perubahan total kapang selai lembaran selama penyimpanan ... 94
18 Nilai koefisien korelasi pada perhitungan pendugaan umur simpan ... 94
19 Laju peningkatan total kapang selai jambu biji lembaran pada suhu penyimpanan yang berbeda... 97
20 Laju peningkatan total kapang selai pada suhu penyimpanan berbeda... 97
(14)
xiii
1 Score sheet uji kesukaan (uji hedonik) selai jambu biji lembaran ... 108
2 Nilai organoleptik penampakan selai lembaran penelitian pendahuluan ... 109
3 Nilai organoleptik warna selai lembaran penelitian pendahuluan ... 110
4 Nilai organoleptik aroma selai lembaran penelitian pendahuluan ... 111
5 Nilai organoleptik rasa selai lembaran penelitian pendahuluan ... 112
6 Nilai organoleptik tekstur selai lembaran penelitian pendahuluan ... 113
7 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan gula dan asam sitrat terhadap penampakan selai lembaran pada penelitian pendahuluan ... 114
8 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan gula dan asam sitrat terhadap warna selai lembaran pada penelitian pendahuluan ... 115
9 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan gula dan asam sitrat terhadap aroma selai lembaran pada penelitian pendahuluan ... 116
10 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan gula dan asam sitrat terhadap rasa selai lembaran pada penelitian pendahuluan ... 117
11 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan gula dan asam sitrat terhadap tekstur selai lembaran pada penelitian pendahuluan ... 118
12 Uji lanjut Multiple Comparison pengaruh perbedaan komposisi selai (gula dan asam sitrat) terhadap penampakan, warna, aroma, rasa dan tekstur (pendahuluan) ... 119
13 Total kadar gula selai lembaran ... 121
14 Uji lanjut Multiple Comparison pengaruh penambahan gula dan asam sitrat terhadap kadar total gula selai lembaran ... 123
15 Uji lanjut Multiple Comparison pengaruh penambahan gula dan asam sitrat terhadap pH gula selai lembaran ... 124
16 Penilaian indeks kinerja (metode Bayes) terhadap parameter sensori, kadar gula total dan pH selai lembaran ... 125
17 Nilai organoleptik penampakan selai Lembaran penelitian utama ... 127
18 Nilai organoleptik warna selai lembaran penelitian utama ... 128
19 Nilai organoleptik aroma selai lembaran penelitian utama ... 129
20 Nilai organoleptik rasa selai lembaran penelitian utama ... 130
21 Nilai organoleptik tekstur selai lembaran penelitian utama ... 131
22 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan konsentrasi agar terhadap penampakan selai lembaran pada penelitian utama ... 132
(15)
xiv
aroma selai lembaran pada penelitian utama ... 133
25 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan konsentrasi agar terhadap rasa selai lembaran pada penelitian utama ... 133
26 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan konsentrasi agar terhadap tekstur selai lembaran pada penelitian utama... 134
27 Uji lanjut Multiple Comparison pengaruh perbedaan konsentrasi agar terhadap penampakan, aroma, warna, tekstur dan rasa selai lembaran pada penelitian utama ... 134
28 Kekuatan gel selai lembaran ... 136
29 Analisis ragam dan uji lanjut Multiple Comparison terhadap kekuatan gel selai lembaran ... 138
30 Total kadar serat pangan selai lembaran ... 140
31 Uji lanjut Multiple Comparison serat pangan selai lembaran ... 141
32 Water activity selai lembaran ... 141
33 Uji lanjut Multiple Comparison water activity selai lembaran ... 142
34 Selai lembaran terbaik berbasis indeks kinerja terhadap parameter sensori, aw, kekuatan gel, dan serat pangan (peneltian utama) ... 142
35 Hasil organoleptik selama penyimpanan terhadap parameter penampakan... 143
36 Hasil organoleptik selama penyimpanan terhadap parameter warna ... 146
37 Hasil organoleptik selama penyimpanan terhadap parameter aroma ... 147
38 Hasil organoleptik selama penyimpanan terhadap parameter rasa ... 148
39 Hasil organoleptik selama penyimpanan terhadap parameter tekstur ... 149
40 Uji Kruskal Walis terhadap parameter sensori selai selama penyimpanan ... 150
36 Perhitungan angka kecukupan gizi (AKG) selai lembaran ... 151
(16)
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rumput laut merupakan salah satu hasil laut perairan Indonesia yang potensial untuk dikembangkan dan mempunyai prospek bisnis yang cerah, tetapi dalam upaya pengembangannya masih banyak kendala yang dihadapi. Faktor pengetahuan terhadap arti penting kualitas dan diversifikasi hasil olahan produk menjadi kendala utama di bidang pengolahan. Hal ini tercermin dari terbatasnya industri pengolahan rumput laut serta proses produksi dan peralatan yang masih jauh dari standar pengolahan. Selama ini sebagian besar hasil rumput laut diekspor dalam bentuk kering. Indonesia mengekspor rumput laut dalam jumlah besar. Produksi rumput laut tahun 2007 mencapai 1,62 juta ton, dengan volume ekspor 94.073 ton dan nilai 57,52 juta dollar AS, selain itu produksi untuk rumput laut merah sendiri lebih dari 38.000 ton per tahun (Anggadireja et al. 2008). Pada tahun 2009 hingga 2010 jumlah produksi rumput laut Indonesia mencapai 2,67 juta ton dan proyeksi hingga tahun 2014, produksi akan terus meningkat hingga 10 juta ton atau dengan peningkatan dari tahun 2009-2014 sebesar 389 % (KKP 2010). Potensi rumput laut di Indonesia yang sangat besar tersebut memiliki peluang untuk dimanfaatkan dalam bidang industri seperti farmasi, kosmetika, tekstil, pangan, dan lain-lain. Salah satu hasil turunan rumput laut yang telah banyak digunakan dalam bidang industri adalah agar-agar.
Agar-agar merupakan polisakarida yang linear dan merupakan molekul galaktan yang diekstrak dari rumput laut merah. Agar-agar banyak dimanfaatkan dalam berbagai bidang sebagai bahan pengental, pengemulsi, penstabil, dan berbagai fungsi lain di bidang pangan. Salah satunya adalah sebagai pengental yang digunakan pada produk jelly, selai, marmalade, sirup dan makanan lainnya (FAO 2003).
Pola kehidupan masyarakat moderen telah banyak berubah, menuntut segala sesuatu yang serba praktis tidak terkecuali dengan masalah pengolahan makanan. Sarapan hanya dengan sekerat roti yang dilengkapi selai pada pagi hari merupakan pola hidup yang sudah biasa. Hal ini mengakibatkan permintaan terhadap roti terus meningkat dan secara langsung juga meningkatkan permintaan terhadap selai termasuk selai buah.
(17)
Buah-buahan merupakan salah satu produk pertanian unggulan yang banyak dihasilkan di Indonesia sebagai negara agraris. Jenis buah yang dihasilkan sangat beragam dan tergolong ke dalam jenis buah tropis. Jambu biji merupakan salah satu jenis buah yang banyak dihasilkan di Indonesia, berbuah sepanjang tahun akan tetapi memiliki harga jual yang relatif rendah (Fachruddin 2005). Khususnya di daerah Jawa Barat, jambu biji banyak diproduksi namun pengolahan paska panennya masih sangat kurang. Pada tahun 2009 Jawa Barat memasok 65.131 ton jambu biji atau 36,29 % dari total produksi nasional yang besarnya 179.474 ton (Kemendag 2010). Selain masa simpannya yang relatif singkat dan harganya yang rendah, pemanfaatan jambu biji oleh masyarakat pada umumnya hanya sebatas untuk dikonsumsi langsung atau dibuat minuman jus. Oleh karena itu untuk meningkatkan nilai jual dan masa simpannya maka buah jambu biji dapat diolah menjadi produk selai yang mempunyai nilai tambah.
Selai yang ada di pasaran umumnya dalam bentuk selai oles. Hal ini dianggap kurang praktis dalam penyajiannya sehingga perlu pengembangan bentuk olahan lain sebagai contoh selai lembaran. Selai lembaran lebih praktis dan lebih mudah dalam penyajiannya, sehingga menjadi alternatif utama produk pangan yang dapat dikonsumsi bersama roti untuk sarapan pagi.
Produk selai lembaran yang baik adalah selai yang berbentuk lembaran sesuai permukaan roti, tidak cair atau terlalu lembek, namun juga tidak terlalu kaku sehingga diperlukan bahan tambahan berupa hidrokolid sebagai penguat tekstur, salah satunya adalah hidrokoloid turunan rumput laut merah yaitu agar-agar. Pemanfaatan agar-agar sebagai bahan tambahan selai diharapkan mampu mengubah teksur selai menjadi lembaran yang disukai. Selain itu diharapkan produk ini mampu menjadi salah satu alternatif diversifikasi pengolahan pangan semi basah yang telah ada.
Selai sebagai salah satu jenis pangan semi basah, memiliki beberapa titik kritis dalam proses dan paska pengolahannya, salah satunya adalah kemunduran mutu selai selama proses penyimpanan hingga produk tersebut dinyatakan kadaluwarsa. Penentuan aspek kadaluwarsa suatu produk pangan sangat penting untuk menjaga keamanan serta memastikan produk tersebut masih layak dikonsumsi. Pendugaan umur simpan selai lembaran mempertimbangkan banyak
(18)
faktor, sehingga perlu penetapan metode atau model yang tepat untuk dapat menentukan umur simpan selai lembaran secara cermat.
1.2. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk :
a. Menentukan formula penambahan asam sitrat, gula dan agar-agar tepung
terbaik pada proses pembuatan selai jambu biji lembaran.
b. Pendugaan umur simpan selai jambu biji lembaran dengan metode
(19)
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Agar-agar
Agar-agar merupakan komoditi yang sudah lama dikenal di Indonesia. Kata agar yang di Asia dikenal dengan nama agar-agar merupakan bahasa Melayu yang artinya rumput laut, khususnya rumput laut merah. Agar-agar diproduksi dari
rumput laut yang tergolong dalam kelas Rhodophyceae, namun sebaliknya tidak
semua ganggang merah dapat digunakan untuk memproduksi produk berupa agar-agar. Berdasarkan kemampuannya memproduksi agar-agar maka Tseng (1944)
dalam Imeson (2010) menggolongkan ganggang merah menjadi, dua kelompok, yaitu Agarophyte dan Agaroidophyte.
Agarophyte adalah kelompok rumput laut yang dapat digunakan sebagai
bahan baku pembuatan agar-agar. Sedangkan Agaroidophyte merupakan
kelompok ganggang merah yang mempunyai sifat seperti agar-agar, tetapi dengan gaya gelasi dan viskositas yang berbeda (Winarno 2008). Agar-agar adalah senyawa poligalaktosa yang diperoleh dari pengolahan rumput laut kelas
Agarophyte. Sedangkan Badan Standardisasi Nasional (1995) mendefinisikan aga-agar tepung sebagai produk berupa tepung yang diperoleh dari ekstraksi rumput
laut agarophyte, dengan atau tanpa bahan tambahan yang diizinkan, bersifat
koloid bila dilarutkan dalam air panas. Molekul agar-agar terdiri dari rantai linier galaktan yang merupakan polimer dari galaktosa. Jenis rumput laut yang banyak digunakan sebagai bahan baku untuk pengolahan agar-agar tepung adalah
Gelidium sp., Gracillaria sp., Hypnea sp., Plerodadia sp., Acanthopelus sp., dan
Ceramium sp.
Kelompok Agarophyte yang terkenal adalah spesies dari genus Gelidium,
Gracillaria, dan Pterocladia sp. Agar-agar adalah produk kering tak berbentuk (amorphous), mempunyai sifat seperti gelatin dan merupakan hasil ekstraksi
nonnitrogen dari ganggang Gelidium dan kelompok Agarophyte lainnya (Winarno
1996). Molekul agar-agar terdiri dari rantai linear galaktan yang merupakan polimer dari galaktosa (Imeson 2010). Struktur kedua jenis galaktan penyusun agar-agar dapat dilihat pada Gambar 1.
(20)
Keterangan :
(a) Agar-agarosa (netral) ; (1,3) D-galaktosa dan (1,4) Anhidro L-galaktosa (b) Agar-agarosa (metil) ; (1,3) 6-0 metil-D-galaktosa dan
(1,4) anhidro L-galaktosa
(c) Piruvat agarosa, (1,3) 4,6 0-1 karboksimetil D-galaktosa dan (1,4) anhidro L-galaktosa
(d) Sulfat galaktan, (1,3) D-Galaktan dan (1,4) L galaktosa-6-sulfat
Gambar 1 Struktur agar-agar (Luxtor 1977 dalam Winarno 2008).
Susunan senyawa agar-agar dapat berupa rantai linear galaktan yang netral ataupun sudah terekstraksi dengan metil atau asam sulfat. Galaktan yang sebagian monomer galaktosanya membentuk ester dengan metil disebut agarosa, sedangkan galaktan yang teresterkan dengan asam sulfat dikenal dengan agaropektin (Imeson 2010). Berdasarkan kandungan esternya, agar-agar dapat dibedakan dengan karagenan. Agar-agar memiliki kandungan ester sulfat lebih rendah (2-5%) sedangkan karagenan mempunyai kandungan ester sulfat 20-50% (Venugopal 2009).
(21)
2.1.1 Struktur dan sifat fisiko kimia agar-agar
Karakteristik fisik agar-agar dalam bentuk kering adalah berwarna putih hingga kuning pucat, berbau khas agar-agar. Karakteristik kimia dari agar-agar meliputi kandungan gizi, sifat kelarutan dan daya cerna. Agar-agar larut di dalam air panas tetapi tidak larut dalam air dingin. Agar-agar berbentuk padat pada suhu 32 ºC-39 ºC dan tidak dapat mencair pada suhu lebih rendah dari 85 ºC. Agar-agar kaya akan karbohidrat dan kalsium, namun sedikit mengandung lemak dan protein
(Takano et al. 1995). Walaupun begitu, karbohidrat dalam agar-agar tersusun dari
beberapa polisakarida dan turunannya yang sukar dicerna.
Struktur agar-agar terdiri atas dua komponen utama, yaitu agarosa dan agaropektin. Agarosa merupakan suatu polimer netral dan agaropektin merupakan suatu polimer sulfat. Agarosa adalah suatu polisakarida netral yang terdiri dari
rangkaian D-galaktosa dengan ikatan β-1,3 dan L-galaktosa dengan ikatan α-1,4.
Agaropektin bersifat lebih kompleks dan mengandung polimer sulfat. Rasio kedua polimer sangat bervariasi dan persentase agarosa dalam ekstrak agar-agar berkisar antara 50% sampai 80% (FAO 2003). Secara umum struktur agarosa dan agaropektin dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Struktur agarosa (1,4) -3,6 anhidro L-galaktosa dan (1,3) D-galaktosa dan agaropektin
(http://www.proagar-agar.cl/espanol/Agar-agar_English.html).
Faktor-faktor yang mempengaruhi sifat gel yaitu suhu, konsentrasi
agar-agar, pH, gula dan ester sulfat. Gel agar-agar bersifat reversible terhadap suhu,
peningkatan konsentrasi agar-agar akan meningkatkan kekuatan dan kekerasan gel. Kandungan gula juga besar pengaruhnya terhadap pembentukan gel dari agar-agar. Peningkatan kandungan gula menghasilkan gel yang lebih keras tetapi teksturnya kurang kohesif. Pengaruh pH pada kekuatan gel yaitu semakin turun pH hingga pH 2,5 akan menghasilkan kekuatan gel yang semakin lemah.
Agaropektin Agarosa
(22)
Pengaruh ester sulfat terhadap kekuatan gel bahwa semakin tinggi kandungan ester sulfat akan dapat menurunkan kekuatan gel agar-agar.
Faktor yang mempengaruhi kualitas agar-agar, antara lain teknik ekstraksi, jenis rumput laut, kondisi musim, letak atau wilayah asal rumput laut dan parameter lingkungan lainnya. Namun beberapa tahun terakhir mulai banyak penelitian untuk melihat aspek penyimpanan atau penanganan rumput laut paska panen, karena terbukti turut mempengaruhi kualitas dan kuantitas ekstrak agar-agar yang dihasilkan (Romero et al. 2008).
Jenis dan asal rumput laut menentukan kandungan agarosa dan agaropektin ganggang yang digunakan. Kekuatan gel agar-agar sangat tergantung pada perbandingan kandungan agarosa terhadap agaropektin (deMan 1997).
Perbandingan agarosa dan agaropektin pada genus Gracilaria sekitar 20:1, jauh
lebih besar daripada genus Gelidium yang mempunyai perbandingan 1:5. Oleh
karena itu umumnya gel agar-agar dari Gracilaria lebih kuat dan kokoh (Winarno
1996). Disamping daya gelasi dan viskositas, beberapa sifat agar-agar lainnya seperti setting point dan melting point, juga ditentukan oleh jenis ganggang dan karakteristik perairan serta habitat rumput laut itu tumbuh. Beberapa spesies dari
Gracilaria beserta komposisi kimia dan parameter gel dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Karakterisitk fisikokimia dari Gracilaria sp.
Spesies Kekuatan gel (g/cm2)
Suhu
pembentukan gel (0C)
Suhu melting (0C)
Histeresis (0C)
3,6 anhidro-L-galaktosa (%)
Sulfat (%)
G. asiatica 64
89 187 29,3 35,5 35,3 80,8 81,8 84,5 51,5 46,3 49,2 25,7 27,0 32,5 8,3 5,4 4,5 G. tenuistipitata 36
180 29,3 39,0 76,5 86,8 47,2 47,8 23,9 32,0 10,1 3,6 G. blodgettii 16
258 29,8 42,0 75,7 94,5 45,7 52,5 22,0 28,2 9,0 4,2 G. hainanensis 58
113 40,8 39,8 91,8 90,0 51,0 50,2 26,9 30,4 6,1 6,0 G. sjeostedtii 59
153 28,5 29,5 84,8 88,8 56,3 59,3 28,8 31,7 7,3 5,3
G. corda 15 29,4 76,2 46,8 21,9 7,1
G. eucheumoides 12 34,5 57,0 22,5 20,7 8,8
(23)
Agar-agar dengan kemurnian tinggi pada suhu 25oC tidak larut dalam air
dingin tetapi larut dalam air panas, etanol amida dan formida. Pada suhu 32-39oC
agar-agar berbentuk padatan yang tidak mencair lagi pada suhu lebih rendah dari
80oC. Agar-agar yang dilarutkan pada suhu 35-50oC sudah cukup untuk membuat
gel yang kuat dengan titik cair 80-100oC. Larutan 1 % dan 1,5 % agar-agar pada
suhu 45oC, serta keadaan kering bersifat sangat stabil (Imeson 2010).
Hal yang terpenting dari agar-agar adalah sifat gelling agentnya dan
aplikasinya dalam range suhu yang cukup luas. Agarosa memiliki kekuatan gel
lebih tinggi dibandingkan agaropektin. Agarose memiliki struktur double helix,
struktur tersebut beragregasi membentuk rangka tiga dimensi, yang berikatan
dengan molekul air sehingga menghasilkan gel yang thermoreversible (Venugopal
2009).
2.1.2 Rheologi
Rheologi adalah ilmu yang mempelajari perubahan atau deformasi dan aliran suatu bahan. Informasi sifat rheologi dari hidrokoloid menjadi hal penting dalam efisiensi serta optimasi proses panas dan formulasi dari bahan pangan. Pengukuran rheologi akan sangat membantu dalam memahami proses gelasi dari
agar (Labropoulus et al. 2002). Proses pembentukan gel agar-agar dapat dilihat
pada Gambar 3.
(24)
Labropoulus et al. (2002) menduga rangkaian kejadian pembentukan struktur heliks terjadi dalam tiga tahap, yaitu :
a. Dalam larutan atau fase sol, pada suhu di atas titik cair gel, rantai polimer
berada dalam formasi coil random. Dengan pendinginan, larutan akan
dikonversi menjadi gel apabila struktur heliks yang cukup telah dibentuk
sehingga agar-agar bisa saling bertautan (cross link) untuk membentuk
jaringan yang kontinyu.
b. Pada pendinginan selanjutnya, gel menjadi bertautan lebih erat dan pada saat
itulah menjadi rigid akibat bertambahnya struktur heliks yang kemudian
membentuk gabungan super junction.
c. Bila dibiarkan dalam waktu yang agak lama gel akan membentuk gabungan
yang kontinyu, dan jaringan gel mengecil dengan diikuti terbebasnya sejumlah air dari dalam jaringan.
Mikrostruktural, mekanikal dan sifat rheologi dari gel agar-agar dapat
dideskripsikan sebagai crosslinked network, dalam bentuk ini agar-agar cair yang
homogen berubah menjadi elastis dan berwarna keruh saat pendinginan. Perubahannya bersifat reversibel namun bergantung dari beberapa faktor antara lain adalah sifat histeresis dari agar (Labropoulus et al. 2002).
Peningkatan kekuatan gel agar-agar dapat dihubungkan dengan peningkatan kadar agarose atau penurunan kadar sulfat serta peningkatan kadar 3,6 anhidro galaktosa. Karakteristik pembentukan gel agar-agar disebabkan oleh tiga buah atom H pada residu 3,6 anhidro L-galaktosa yang kemudian memaksa molekul-molekul untuk membentuk struktur heliks. Interaksi antara struktur heliks menyebabkan terbentuknya gel. Pergantian senyawa 3,6 anhidro-L-galaktosa dengan senyawa L-anhidro-L-galaktosa sulfat menyebabkan kekacauan dalam struktur heliks dan dalam keadaan seperti ini gel yang terbentuk memiliki kekuatan gel yang rendah (Glicksman 1983).
Agar-agar tidak larut di dalam air dingin serta membentuk ikatan silang dan acak selama pemasakan, gelasinya bergantung dari formasi atom hidrogen,
dimana ikatan acak berasosiasi dengan helix tunggal dan double helix. Terdapat
(25)
yang berlubang (Labropoulus et al. 2002), dan grup hidroksil terluar mengalami agregasi gel menjadi bentuk kecil heliks yang sperikal (Boral et al. 2008).
Rheologi dari selai buah dipengaruhi oleh suhu pemasakan, proses pengolahan buah, komposisi dari selai buah dan jenis hidrokoloid yang digunakan, pH dan juga waktu pemasakan (Endan dan Javanmard 2010). Sifat gel agar-agar dipengaruhi oleh konsentrasi, suhu, pH dan kandungan gula. Larutan
agar-agar dengan konsentrasi 1,5% dapat membentuk gel pada suhu 32-39oC, dan
tidak meleleh dibawah suhu 85oC. Nilai pH mempengaruhi kekuatan gel
agar-agar. Penurunan pH menyebabkan kekuatan gel melemah. Kandungan gula yang semakin tinggi menyebabkan gel menjadi keras dengan kohesivitas tekstur yang rendah. Namun agar-agar masih dapat berinteraksi atau bersinergi dengan gula hingga 60% (Imeson 2010). Kandungan sulfat agar-agar yang rendah cukup kontras dengan karagenan yang memiliki kandungan sulfat sangat tinggi, biasanya agar-agar kurang dari 4,5% dan pada umumnya 1,5-2,5% (Phillips 2009).
2.1.3 Aplikasi Agar-agar
Secara umum agar-agar diaplikasikan pada berbagai bidang yaitu 91%
untuk kebutuhan pangan dan 9% untuk kebutuhan bacteriological dan
biotechnology. Agar-agar telah dinyatakan aman oleh FDA atau dikenal dengan
istilah Generaly Recognized As Safe (GRAS), dan Acceptable Daily Intake (ADI)
yaitu agar-agar dinyatakan not limited (tidak dibatasi) (WHO/FAO 1974, Imeson
2010). Oleh karenanya aplikasi penggunaan agar-agar dalam bidang pangan menjadi sangat luas.
Agar-agar merupakan koloid hidrofilik dimana di dunia perdagangan agar-agar komersil harus memiliki syarat mutu. Standar mutu agar-agar-agar-agar telah
ditetapkan oleh Food Chemical Codex (FCC) (Tabel 2). Indonesia juga telah
menetapkan standar mutu agar-agar yang dicantumkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) (Tabel 3).
(26)
Tabel 2 Standar mutu agar-agar menurut Food Chemical Codex
Sumber : Glicksman (1983) ; Venugopal (2009)
Tabel 3 Standar mutu agar-agar tepung menurut SNI 01-2802 1995
No Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 7.1 7.2 8. 8.1 8.2 8.3 8.4 8.5 9.
Organoleptik (kenampakan bau dan konsisten)
Air
Kelarutan (lolos ayakan 80 mesh)
Abu tidak larut asam Uji pati (kualitatif) Absorpsi air
Bahan Tambahan makanan : Pewarna tambahan
Bahan Tambahan lain Cemaran logam : Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Timah (Sn Raksa (Hg)
Cemaran Arsen (As)
% b/b % b/b % b/b
- - Sesuai SNI
01-0222-1987* mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
normal atau dengan
score minimal 7. Maks. 17
Maks. 80 Maks. 0,5 Negatif
Minimal 5 kali berat agar-agar 2,0 30,0 40,0 40,0 0,03 1,0 Sumber : BSN (1995) * atau revisinya
Agar-agar digunakan secara luas dalam berbagai industri, antara lain industri makanan, obat-obatan, tekstil, kertas, susu, mikrobiologi, dan kosmetika. Dalam bidang mikrobiologi, agar-agar digunakan sebagai media pertumbuhan bakteri, jamur, dan mikroorganisme lain yang berukuran mikroskopis, termasuk sel-sel tanaman dan hewan. Dalam industri makanan, agar-agar digunakan sebagai
Spesifikasi Persyaratan FCC
Kandungan arsen maks. 3 ppm (0,003%)
Kandungan abu total maks. 6,5 % berat kering
Kandungan abu tak larut asam maks. 0,5 % berat kering
Kandungan Gelatin Tidak ada
Kandungan Protein maks. 3%
(27)
bahan pengental, misalnya pada pembuatan permen. Selain itu, agar-agar juga berfungsi sebagai bahan penstabil dalam pembuatan makanan, serta sebagai bahan penjernih dalam pembuatan bir (Winarno 1996). Adapun syarat mutu agar-agar tepung ekspor Jepang dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Persyaratan mutu agar-agar ekspor Jepang (Japan Agar Control co.)
Spesifikasi Mutu I Mutu II Mutu III
Kandungan air (maks) 20% 20% 20%
Kadar protein (maks) 1,5% 2% 3%
Bahan tidak larut (maks) 2% 2% 4%
Sumber : (Winarno 1996) ; (Angka dan Suhartono 2000)
Sifat gel dari agar-agar menjadikannya sesuai dengan kebutuhan media bakteri, karena sifat melting dan membekunya yang baik, resisten terhadap enzim
dan mikroba, serta masih mampu membentuk larutan pada suhu 40oC, yang dapat
menjadikan distribusi mikroorganisme seragam selama pengkulturan (Venugopal
2009). Agar-agar masih tetap kuat pada suhu 37oC (suhu pada inkubator).
Agar-agar bersifat lebih baik daripada gelatin bila digunakan sebagai bahan media mikroba, karena bakteri tidak dapat mencairkan gel agar-agar. Persyaratan mutu internasional (standar) untuk agar-agar yang digunakan sebagai media pertumbuhan mikroba yaitu kadar abu maksimum 5%, kadar organik asing maksimal 1 %, dan kadar abu tak larut asam maksimum 1 % (Winarno 1996).
Agar-agar digunakan juga sebagai gel elektroforesis, kromatografi,
immunologi, dan immobilisasi enzim. Selain itu digunakan sebagai thickener,
gelling agent, stabilizier, lubricant, emulsifier, dan absorbant (Venugopal 2009). Agar-agar kaya akan karbohidrat, tetapi sedikit mengandung lemak dan protein, kandungan kalsium agar-agar paling tinggi dibanding mineral lainnya. Kandungan gizi dari agar-agar dapat dilihat pada Tabel 5.
Dalam industri kulit, agar-agar digunakan pada proses akhir untuk memantapkan permukaan yang halus dan kekuatan kulit. Dalam industri
polywood agar-agar diperlukan dalam pembuatan perekat tingkat tinggi. Sementara dalam industri obat-obatan dan farmasi, agar-agar telah lama digunakan dalam pembedahan atau operasi (Winarno 1996).
(28)
Tabel 5 Kandungan agar-agar tepung
Parameter Satuan Agar-agar
Kalori Kkal 55,0 Protein Gram 0,2 Lemak Gram 0,1
Total Karbohidrat Gram 15,0
Serat Gram 0,1
Abu Gram 0,4
Kalsium miligram 11,9
Pospor miligram 5
Besi miligram 2,9
Natrium miligram 10
Kalium miligram 20
Thiamin miligram 0,01 Riboflavin miligram 0,04
Niacin miligram 0,1
Sumber : Anonim (1972) dalam Yunizal (2000)
Selama ini bahan pengental yang banyak digunakan adalah gum arab, gelatin, pektin komersil, agar-agar dan karagenan. Semua bahan pengental ini berperan sebagai hidrokoloid yang masing-masing memiliki keunggulan dan juga kelemahan. Gum arab, memiliki kemampuan pembentukan gel yang optimum pada konsentrasi tinggi yaitu 40-50% sehingga kurang efisien untuk diaplikasikan (Fardiaz 1989). Gelatin dalam pembentukan gel sangat baik tetapi kekuatan gelnya menurun secara nyata pada pH kurang dari 4, dan sedikit menurun pada pH diatas 8 sedangkan pH selai pada umumnya adalah dibawah 4 sehingga jika gelatin digunakan akan kurang optimal. Pektin komersil walaupun kemampuan gelnya optimum pada konsentrasi 0,75-1,5% tetapi kurang stabil terhadap suhu tinggi dan bersifat labil setelah suhu diturunkan. Derajat keasaman untuk pektin
adalah 2-4 dan menurun drastis diluar pH optimumnya tersebut (Suryani et al.
2004).
Karagenan merupakan gum yang membentuk gel secara reversible
(Venugopal 2009). Pada konsentrasi rendah 0,01-0,05% karagenan sudah mampu membentuk gel yang sangat baik (FAO 2003). Karagenan merupakan salah satu
gum yang sangat optimum dalam proses pembentukan gel, dengan Acceptable
(29)
karagenan memiliki kandungan ester sulfat yang cukup tinggi yaitu 20-50% (Winarno 1996) yang akan mempengaruhi tingkat viskositasnya, serta bersifat sineresis dan mudah terdegradasi pada pH asam. Secara umum selai memiliki pH yang asam. Selain itu karegenan membentuk gel yang optimum jika terdapat ion monovalen yaitu K+, NH4+, Rb-, dan Cs-.
2.2 Jambu Biji (Psidium guajava L.)
Jambu biji (Psidium guajava L.) termasuk dalam Famili Myrtaceae
merupakan buah yang cukup dikenal masyarakat Indonesia, padahal sebenarnya tanaman ini berasal dari daerah Amerika Tengah terutama Meksiko dan Peru. Tanaman ini sekarang sudah menyebar ke seluruh dunia, terutama di daerah tropis. Tanaman jambu biji sangat toleran terhadap kondisi lingkungan yang buruk misalnya kekeringan, lahan batu dan pH rendah (Fachruddin 2008). Di
Indonesia, tanaman ini memiliki nama-nama daerah seperti gawaya (Ternate),
jambu klutuk (Jawa Tengah dan Jawa Timur), jambu batu (Jawa Barat), gliwa breuh (Aceh), dan sotong (Bali) (Rismunandar 1986).
Jambu biji merupakan salah satu produk hortikultura yang termasuk komoditas internasional. Lebih dari 150 negara telah membudidayakan jambu biji, di antaranya Jepang, India, Taiwan, Brazil, Australia, Filipina, Malaysia, dan Indonesia. Buah jambu biji unggulan Indonesia adalah jambu biji merah (FEDC 2007).
Jambu biji merah banyak mengandung kandungan gizi penting seperti vitamin C, A dan riboflavin. Protein, serat serta mineral juga banyak terkandung dalam buah tersebut. Jambu biji dapat dikonsumsi segar ataupun diolah menjadi jus, pulps, selai, jelly, atau manisan buah kering (Cabral et al. 2007). Daging buah jambu biji merah berwarna merah hingga merah muda dengan rasa yang lebih manis dan segar dibandingkan buah jambu biji putih. Kandungan vitamin C buah jambu biji merah dua kali lebih banyak daripada jeruk manis. Vitamin C sangat baik sebagai zat antioksidan. Kandungan vitamin C pada jambu biji yaitu 87,00 mg/100 g, Vitamin A sebesar 400 mg/100g, selain itu jambu biji juga merupakan buah yang memiliki kandungan serat yang tinggi, yaitu 5,60 mg/100 g (Wirakusumah 1998). Selain itu, jambu biji juga kaya serat, khususnya pektin (serat larut air) yang dapat digunakan untuk pembuatan gel atau jeli. Manfaat
(30)
pektin lainnya adalah dapat menurunkan kadar kolesterol dengan cara mengikat kolesterol dan asam empedu dalam tubuh serta membantu pengeluarannya.
Penelitian yang dilakukan Singh Medical Hospital & Research Centre Morabadv India menunjukkan bahwa jambu biji dapat menurunkan kadar kolesterol total dan trigliserida darah serta tekanan darah penderita hipertensi. Dalam buah jambu biji merah juga ditemukan likopen, zat karotenoid yang terdapat dalam darah serta memiliki aktivitas antioksidan yang berkhasiat mencegah berbagai penyakit kanker. Karena kandungan likopen yang tinggi ini, di Indonesia jus buah jambu biji merah sering kali dipergunakan untuk meningkatkan kadar trombosit penderita penyakit demam berdarah (FEDC 2007). Penampakan buah jambu biji dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Jambu biji (Psidium guajava L.).
Tanaman jambu biji dapat tumbuh pada dataran rendah sampai dataran tingi lebih dari 1000 m dpl dengan curah hujan antara 1000-2000 mm pertahun,
suhu optimum 23o-28o C dan pH tanah 4,5-7,5 sehingga orang Belanda
menyebutnya ongkruid vergaat niet yang berarti gulma tidak akan luluh
(Sunarjono 1987). Jambu biji memiliki batang yang cukup kokoh dengan ketinggian mencapai 5-10 meter. Batang pokok jambu biji ini tidak ada yang lurus, warnanya coklat muda sampai putih abu-abu dan mudah terkupas berganti kulit baru seirama dengan gejolak membesarnya batang. Permukaan batang cukup
(31)
licin dan bersih dengan sifat kayu yang halus, liat, dan tidak mudah patah (Rismunandar 1986).
2.2.1 Klasifikasi dan morfologi jambu biji (Psidium guajava L.)
Bentuk buah jambu biji dapat dibedakan menjadi dua, yaitu bulat dan lonjong. Diantara kedua bentuk itu ada pula yang bentuknya agak bulat dan bagian dekat tangkai buahnya agak meruncing. Ukuran buah ditentukan oleh banyak faktor, diantaranya sifat aslinya, umur pohon, keadaan kesuburan, dan kandungan air tanah pada waktu jambu biji berbuah (Rismunandar 1986). Sistematika tatanama (taksonomi) tanaman jambu biji (Rukmana 1996) sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Myrtales
Famili : Myrtaceae
Genus : Psidium
Spesies : Psidium guajava L.
Pada waktu masih muda, buah jambu biji sangat keras, tetapi setelah matang buah tersebut menjadi lunak dan menimbulkan aroma yang spesifik dengan rasa yang manis (Sunarjono 1987). Menurut Tohir (1981), jambu biji dibagi menjadi tiga jenis, yaitu jambu biji biasa dengan buah berwarna merah, berbiji banyak dan rasanya enak, jambu sukun dengan buah yang besar, rasanya hambar dan tidak berbiji, dan jambu susu yang bercirikan buah tidak berbiji banyak, tetapi rasa buahnya tidak seenak rasa jambu biji biasa.
2.2.2 Potensi dan manfaat jambu biji
Jambu biji dapat tumbuh di seluruh wilayah pelosok tanah air dan cukup dikenal masyarakat. Rukmana (1996) mengatakan bahwa jambu biji termasuk dalam tanaman obat penyembuh ajaib. Kandungan energi dan gizi dari jambu biji dapat dilihat pada Tabel 6.
(32)
Tabel 6 Kandungan energi, zat gizi dan serat dari jambu biji dalam 100 g
Jenis Zat Gizi Jumlah
Energi (kal) 49,00
Protein (gram) 0,90
Lemak (gram) 0,30
Karbohidrat (gram) 12,20
Vitamin A (Re) 4,00
Vitamin B1 (mg) Vitamin B2 (mg)
0,05 0,04
Vitamin C (mg) 87,00
Kalsium (mg) 14,00
Fosfor (mg) 28,00
Besi (mg) Serat (gram) Niacin (gram)
1,10 5,60 1,10 Sumber : Wirakusumah (1998)
Tanin termasuk salah satu senyawa nongizi yang dikandung dalam jambu biji. Senyawa ini menimbulkan rasa sepat dalam buah, tetapi mempunyai fungsi memperlancar sistem pencernaan. Sirkulasinya dalam darah berguna untuk menyerang virus (Wirakusumah 1998).
2.3 Selai Buah
Selai buah merupakan salah satu produk pangan semi basah yang cukup
dikenal dan disukai oleh masyarakat. Food and Drug Administration (FDA)
mendefinisikan selai sebagai produk olahan buah-buahan, baik berupa segar, buah beku, buah kaleng maupun campuran ketiganya dalam proporsi tertentu terhadap gula (sukrosa) dengan atau tanpa penambahan air. Proporsinya adalah 45 % bagian berat buah dan 55 % bagian berat gula. Namun, proporsi tersebut dapat disesuaikan dengan selera dan cita rasa yang diinginkan. Campuran yang dihasilkan kemudian dipekatkan sehingga hasil akhirnya mengandung total padatan terlarut minimum 65 % (Fachruddin 2008).
Selai memiliki konsistensi gel atau semigel yang diperoleh dari interaksi senyawa pektin yang berasal dari buah atau pektin yang ditambah dari luar, gula, sukrosa, dan asam. Dalam pembuatan selai ada beberapa faktor yang harus diperhatikan antara lain pengaruh panas dan gula selama pemasakan, serta keseimbangan proporsi gula, pektin dan asam.
(33)
Penambahan asam dalam pembuatan selai berguna untuk menurunkan pH bubur buah karena struktur gel dalam pembuatan selai hanya terbentuk pada pH rendah. Asam-asam yang dapat digunakan adalah asam sitrat, asam asetat, dan cairan asam dari perasan jeruk nipis. Penambahan asam yang berlebihan akan menyebabkan pH menjadi rendah, sehingga air keluar dari gel (sineresis),
sebaliknya jika pH tinggi, akan menyebabkan gel pecah (Buckle et al. 1987).
Water activity (aw) juga nantinya akan mempengaruhi karakteristik selai yang
dihasilkan. Secara umum selai konvensional memiliki nilai aw 0,75-0,80 (Labuza
et al. 2007).
2.3.1 Proses pembuatan selai
Proses pembuatan selai meliputi tiga tahap utama yaitu persiapan bahan,
pemasakan dan pengisian serta pasteurisasi (Suryani et al. 2004). Sortasi bahan
baku akan menentukan hasil akhir karena sortasi yang baik akan memperoleh bahan baku selai dengan kualitas yang diinginkan. Sortasi dilakukan berdasarkan penampakan fisik buah, ukuran buah, dan tingkat kematangan. Pengaruh panas dan penambahan bahan tambahan selama proses pemasakan akan mempengaruhi kualitas selai yang dihasilkan. Pemasakan diperlukan untuk mencampur rata hancuran buah dan bahan tambahan serta menguapkan sebagian air sehingga diperoleh struktur gel. Suhu pemasakan pada proses pembuatan selai biasanya
103-105 oC. Pemasakan yang terlalu lama akan menghasilkan selai yang keras dan
kental, sedangkan pemasakan yang kurang lama akan menghasilkan selai yang encer. Proses pengisian produk ke dalam kemasan merupakan faktor penting untuk menunjang keawetan produk. Pengisian hendaknya dilakukan dalam kondisi higienis. Hal ini dilakukan ntuk menghindari terjadinya kontaminasi produk yang dapat menyebabkan produk jadi mudah berjamur. Proses penutupan wadah yang benar juga bertujuan untuk menghindari kontaminasi produk (Suryani
et al. 2004).
Jumlah mikroorganisme dari selai dan produk serupa dipengaruhi oleh
sejumlah faktor (Buckel et al. 1987) yaitu kandungan gula yang tinggi biasanya
65-73%, keasaman yang tinggi (pH 3,1-3,5), nilai aw sekitar 0,75-0,83, suhu tinggi
saat pemanasan (105-106oC) dan tekanan gas oksigen yang rendah selama
(34)
tanda spesifik yaitu konsistensi, warna cemerlang, distribusi buah merata, tekstur lembut, flavor buah alami dan tidak mengalami sineresis serta kristalisasi selama penyimpanan.
Buah yang akan dijadikan selai dipilih yang bermutu baik. Buah yang terlalu muda akan terasa masam, sedangkan buah yang terlalu matang, maka warna, aroma, pektin dan rasa asam pada buah berkurang. Agar diperoleh selai dengan aroma yang harum dan konsistensi (kekentalan) sesuai standard sebaiknya digunakan campuran buah setengah matang dan buah yang matang penuh. Buah setengah matang akan memberi pektin dan asam yang cukup, sedangkan buah yang matang penuh akan memberikan aroma yang baik (Fachruddin 2008).
Selai buah adalah produk makanan semi basah yang dapat dioleskan yang dibuat dari pengolahan buah-buahan, gula dengan atau tanpa panambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan (BSN 2008). Syarat mutu selai buah menurut SNI 3746 : 2008 dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Syarat mutu selai buah menurut SNI 3746 : 2008
No Kriteria uji Satuan Persyaratan
1 Keadaan :
- Aroma
- Rasa
- Warna
- - -
Normal Normal Normal
2 Serat buah - Positif
3 Padatan terlarut % fraksi massa Min. 65
4 Cemaran logam :
Timah (Sn)*
mg/kg Maks. 250,0*
5 Cemaran Arsen (As) mg/kg Maks 1,0
6 Cemaran mikroba
- ALT
- Bakteri coliform
- Staphyloccoccus aureus
- Clostridium sp.
- Kapang/khamir.
koloni/g APM/g koloni/g koloni/g koloni/g
Maks 1,0 x 103 <3
Maks 2,0x101
<10
Maks. 5,0x101
*dikemas dalam kaleng Sumber : BSN (2008)
(35)
Menurut Buckle et al. (1987) kerusakan utama yang sering terjadi pada selai adalah :
1) Terbentuknya kristal-kristal karena banyaknya bahan terlarut, gula tidak
cukup melarut hingga terbentuk kristal.
2) Gel besar dan kaku, disebabkan oleh kadar gula yang rendah.
3) Gel yang kurang padat dan menyerupai sirup karena kadar gula yang
tinggi dan tidak seimbang dengan kandungan padatan
4) Pengeluaran air dari gel (sineresis) karena terlalu banyak asam
Keadaan buah yang digunakan sangat menentukan dalam pembuatan selai. Proses pembuatan selai secara umum dapat dilihat pada Gambar 5.
Cara II Cara I
Gambar 5 Skema pembuatan selai secara umum (Fachruddin 2008). Buah
Dikupas
Pemisahan
Biji Daging buah
Pengirisan (Penambahan air) Penghancuran
Pemasakan
Penambahan gula, asam dan gum
Botol
Cuci dengan sabun Rebus, 100 OC, 30 menit
ditiriskan (sterilisasi) Mendidih
Terbentuk Gel
Pengisian Selai dalam Botol Kukus, 82oC, 30 menit
(pasteurisasi) Bahan Pengawet
(36)
Selain faktor kematangan buah, hal lain yang perlu diperhatikan adalah jenis gula serta jumlah penambahan gula pada selai, karena turut mempengaruhi sifat gel dari produk. Selama ini gula yang digunakan dalam pembuatan selai adalah sukrosa. Gula merupakan senyawa kimia yang termasuk karbohidrat dengan rasa manis dan sering digunakan sebagai pemanis, tetapi dalam industri pangan biasanya digunakan untuk menyatakan sukrosa yang diperoleh dari bit atau gula tebu. Gula dipakai dalam pengawetan bahan pangan karena dengan daya larut yang tinggi akan mampu mengurangi keseimbangan kelembaban relatif dan berfungsi untuk mengikat air (Buckle et al. 1987).
Penambahan gula juga berpengaruh pada kekentalan gel yang terbentuk. Gula akan menurunkan kekentalan. Hal ini disebabkan gula akan memerangkap air. Kadar gula yang tinggi (minimum 40%) bila ditambahkan ke dalam bahan pangan menyebabkan air dalam bahan pangan akan terperangkap sehingga yang
tersedia untuk dipergunakan oleh mikroba atau aw menjadi rendah (Shin et al.
2002).
Gula terdapat dalam berbagai bentuk, yakni sukrosa, glukosa, fruktosa, dan dekstrosa. Dalam pembuatan selai, gula yang digunakan adalah sukrosa yang sehari-hari dikenal sebagai gula pasir. Tujuan penambahan gula dalam pembuatan selai adalah untuk memperoleh tekstur, penampakan, dan flavor yang ideal. Selain itu, gula dapat pula berfungsi sebagai pengawet. Pada konsistensi tinggi (minimal 40% padatan terlarut), larutan gula dapat mencegah pertumbuhan bakteri, ragi, dan kapang. Mekanismenya, gula menyebabkan dehidrasi sel mikroba sehingga sel mengalami plasmolisis dan terhambat siklus perkembangbiakannya. Dalam pembuatan selai, proses pengawetan yang terjadi merupakan kombinasi antara tingkat keasaman yang rendah, pasteurisasi, dan penambahan bahan kimia seperti asam benzoat (Fachruddin 2008).
Gula pasir atau sukrosa terdapat dalam jumlah besar di dalam banyak
tumbuhan dan secara niaga diperoleh dari tebu (Saccarum officinarum) atau bit
gula (Beta vulgaris). Sukrosa sangat mudah larut pada rentang suhu yang lebar,
sifat ini menjadikan sukrosa bahan yang sangat baik untuk sirup dan makanan lain yang mengandung gula (deMan 1997).
(37)
2.3.2 Bahan tambahan selai
Pada pembuatan selai diperlukan beberapa bahan tambahan. Bahan tambahan tersebut merupakan bahan-bahan yang digunakan untuk menyempurnakan proses dan meningkatkan daya awet. Komposisi bahan baku dan bahan tambahan dalam pengolahan selai harus tepat sehingga diperoleh produk akhir yang baik. Bahan tambahan yang digunakan untuk pengolahan selai adalah gum (pektin), air, asam sitrat, dan bahan pengawet (Suryani et al. 2004). (a) Gum
Gum diperlukan untuk membentuk gel (kekentalan) pada produk selai. Jumlah gum yang ideal untuk pembentukan gel berkisar antara 0,75-1,5 % (Imeson 2010). Kadar gula tidak lebih dari 65 % dan konsentrasi gum tidak lebih dari 1 % sudah dapat menghasilkan gel dengan kekerasan yang cukup baik. Beberapa jenis buah secara alami memiliki kandungan pektin yang cukup tinggi.
Buah-buahan yang akan matang (ripe) mengandung pektin cukup banyak. Makin
matang buah, kandungan pektin akan menurun karena adanya enzim yang memecah pektin menjadi asam pektat dan alkohol. Oleh karena itu, untuk memperoleh pektin yang cukup sebaiknya buah yang digunakan dikombinasikan antara yang setengah matang dan yang matang penuh (Fachruddin 2008). Untuk beberapa buah yang memiliki kandungan pektin rendah, tambahan gum atau hidrokoloid lain sangat diperlukan untuk membantu terbentuknya tekstur atau kekentalan selai yang diinginkan.
(b) Asam sitrat
Asam sitrat adalah asam organik yang mempunyai rumus kimia C6H8O7
dan merupakan asam trikarboksilat yang mempunyai rasa asam yang menyenangkan dan ditemukan dalam berbagai makanan yang berfungsi sebagai pemberi asam, mencegah kristalisasi gula, serta penjernih gel yang dihasilkan (Belitz et al. 2009).
Penambahan asam bertujuan mengatur pH dan menghindari pengkristalan gula, pH optimum yang dikehendaki dalam pembuatan selai berkisar 3,10-3,46. Asam yang biasa digunakan dalam pembuatan selai adalah asam sitrat, asam tartat, dan asam malat. Penggunaan asam tidak mutlak, tetapi penambahannya dilakukan untuk menambah cita rasa dari makanan. Apabila terlalu asam akan
(38)
terjadi sineresis yakni keluarnya air dari gel sehingga kekentalan selai akan berkurang bahkan dapat sama sekali tidak terbentuk gel (Fachrudin 2008).
Asam sitrat sering ditambahkan pada produk olahan dari buah dan sayur-sayuran guna menurunkan pH sampai di bawah 4,5 sehingga merupakan asidulan (zat pengasam) yang sering digunakan dalam makanan. Rasa asam timbul karena adanya ion H+ atau ion hidrogenium (H3O+) (Belitz et al. 2009).
Asam sitrat dalam industri pangan digunakan sebagai asidulan dan sebagai sekuestran (zat pengikat logam) (Winarno 1996). Asidulan tidak hanya berfungsi sebagai pemberi rasa asam tetapi juga penegas rasa dan warna, menyelubungi
after taste yang tidak disukai, mencegah ketengikan, dan proses pencoklatan. Sekuestran dapat mengikat logam dalam bentuk ikatan kompleks, sehingga dapat mengalahkan sifat dan pengaruh jelek logam tersebut dalam bahan. Dengan demikian senyawa ini dapat membantu menstabilkan warna, citarasa dan tekstur. Logam-logam yang diikat antara lain : Mg, Fe, Co, Cu, Zn, dan Mn.
Selain sebagai bahan pengawet asam juga digunakan untuk menambah rasa, mengurangi rasa manis, memperbaiki sifat koloidal dari makanan yang
mengandung pektin, memperbaiki tesktur jelly dan selai, mengatur ekstraksi
pektin dan pigmen dari buah-buahan dan sayur-sayuran, meningkatkan efektivitas
benzoate sebagai pengawet dalam makanan (Fardiaz et al. 1980).
(c) Air
Air digunakan sebagai bahan tambahan untuk mempermudah proses penghancuran buah. Semua bahan makanan mengandung air dalam jumlah yang berbeda-beda baik pada bahan pangan nabati maupun hewani. Di dalam tubuh air berperan sebagai pembawa makanan dan sisa-sisa metabolisme, sebagai media reaksi yang menstabilkan pembentukan polimer-polimer dalam tubuh. Kandungan air dalam makanan ikut menentukan penerimaan, kesegaran, dan daya tahan bahan itu. Selain merupakan bagian dari suatu makanan, air merupakan pencuci yang digunakan dalam pengolahan (Winarno 2008). Air yang biasa digunakan untuk mengencerkan setiap 1 liter buah jambu biji adalah 0,25:1 untuk selai oles, hingga 2:l atau 4:1 untuk sari buah (Satuhu 2004).
(39)
(e) Pengawet
Bahan pengawet yang banyak digunakan pada selai adalah asam sorbat (ADI 0-5 mg/kg BB), natrium benzoat (ADI 0-5 mg/kg BB) dan kalium bisulfit (ADI 0-0.7 mg/kg BB). Asam sorbat tidak berbau dan tidak berasa sehingga menjadi pengawet yang penting untuk produk makanan dan minuman. Batas
maksimum penggunaan kalium sorbat untuk jam (selai) adalah 1g/kg makanan
(ADI 0-5 mg/kg BB). Namun konsentrasi kalium sorbat 0,05%-0,3% sudah cukup efektif untuk menghambat pertumbuhan mikroba, khususnya khamir dan kapang (Satuhu 2004). Pendugaan umur simpan kelompok produk selai, jam atau jelly dapat ditentukan dengan beberapa parameter antara lain ; parameter mikrobiologi (total kapang), kemudian parameter rasa, bau, warna, konsistensi yang diuji secara sensori serta parameter ketengikan yang diuji berdasarkan metode Arhhenius (Rahayu dan Arpah 2003).
2.4 Pendugaan Umur Simpan
The Institute of Food Technologist mendefinisikan umur simpan produk pangan sebagai selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi dimana produk berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat-sifat penampakan, rasa,
aroma, tekstur, dan nilai gizi. National Food Processor Association
mendefinisikan umur simpan sebagai berikut : suatu produk dianggap berada pada kisaran umur simpannya bilamana kualitas produk secara umum dapat diterima untuk tujuan seperti yang diinginkan konsumen dan selama bahan pengemas masih memiliki integritas serta memproteksi isi kemasan (Arpah 2001)
Menurut Syarief et al. (1989), faktor-faktor yang mempengaruhi umur
simpan makanan yang dikemas adalah sebagai berikut :
1) Keadaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya
perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen, dan kemungkinan terjadinya perubahan kimia internal dan fisik
2) Ukuran kemasan dalam hubungannya dengan volume.
3) Kondisi atmosfer (terutama suhu dan kelembaban) dimana kemasan dapat
bertahan selama transit dan sebelum digunakan.
4) Ketahananan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air, gas
(40)
Penentuan umur simpan produk pangan dapat dilakukan dengan dua
metode yaitu metode Extended Storage Studies (ESS) dan Accelerated Storage
Studies (ASS). ESS atau yang biasa disebut metode konvensional adalah penentuan tanggal kadaluwarsa dengan jalan menyimpan suatu produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya hingga mencapai tingkat mutu kadaluwarsa. Metode ini akurat dan tepat, namun memerlukan waktu yang lama dan analisis parameter yang relatif banyak. Meotde ASS menggunakan suatu kondisi lingkungan yang dapat mempercepat reaksi penurunan mutu yang relatif singkat, namun tetap memiliki ketetapan dan akurasi yang tinggi. Metode akselerasi pada dasarnya adalah metode kinetik yang disesuaikan untuk produk-produk pangan tertentu. Model-model yang diterapkan pada penelitian akselerasi menggunakan dua cara pendekatan (Rahayu dan Arpah 2003) yaitu :
1) Pendekatan kadar air kritis dengan bantuan teori difusi, suatu cara
pendekatan yang diterapkan untuk produk kering dengan menggunakan kadar air atau aktifitas air sebagai kriteria kadaluwarsa.
2) Pendekatan semi empiris dengan bantuan persamaan Arhenius, yaitu suatu
cara pendekatan yang menggunakan teori kinetika yang pada umumnya mempunyai ordo reaksi nol atau satu untuk produk pangan.
Konsumen harus memperoleh informasi tentang umur simpan dari produk yang dikonsumsinya. Informasi tersebut dapat berupa tanggal pada saat produk
diproduksi (pack date), tanggal pada saat produk diletakkan di display date,
tanggal terakhir yang dianjurkan untuk konsumen membeli produk tersebut, sehingga masih mempunyai jangka waktu untuk mengkonsumsinya tanpa produk
tersebut mulai mengalami kerusakan (pull date sell by date), waktu maksimum
dimana produk masih memiliki kualitas tinggi (best if used by date), atau tanggal
pada saat produk sudah tidak dapat diterima lagi oleh konsumen (use by date atau
expired date) (Labuza 1982).
Regulasi pencantuman waktu kadaluarsa di Indonesia tercantum dalam Surat Keputusan Dirjen POM No. 02240/B/SK/VII/91, tanggal 2 Juli 1991. Peraturan yang lebih luas mulai dilakukan dengan berlakunya UU Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan khususnya pasal 21(e) tentang pangan tercemar. Pelabelan
(41)
waktu kadaluarsa pangan diatur dalam PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Di dalam pasal 27 disebutkan: (1) tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa wajib dicantumkan secara jelas pada label; (2) pencantuman tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa dilakukan setelah pencantuman tulisan “baik digunakan sebelum” sesuai dengan jenis dan daya tahan pangan yang bersangkutan; (3) dalam hal produk pangan yang kadaluarsanya lebih dari 3 bulan, diperbolehkan hanya untuk mencantumkan bulan dan tahun kadaluarsanya.
Beberapa asumsi dasar yang sering digunakan dalam perhitungan masa simpan produk adalah sebagai berikut (Ghanasekharan dan John 1993):
1) Mekanisme kerusakan yang terjadi sangat tergantung pada faktor
lingkungan (tekanan parsial oksigen, kelembaban relatif dan suhu) dan faktor komposisi (pH, konsentrasi, aktivitas air dan sebagainya).
2) Laju penurunan mutu dapat ditentukan dengan menghubungkan beberapa
hasil penilaian organoleptik dan toksikologi
3) Kemasan diasumsikan bebas dari kebocoran sehingga karateristik
penyerapan hanya tergantung pada bahan kemasan. 2.4.1 Model kadar air kritis
Pendugaan umur simpan dengan pendekatan model kadar air kritis umumnya digunakan untuk produk pangan yang relatif mudah rusak akibat penyerapan kadar air dari lingkungan. Dalam metode kadar air kritis, kerusakan produk didasarkan semata-mata akibat menyerap air dari luar hingga mencapai batas yang tidak dapat diterima secara organoleptik. Kadar air pada kondisi dimana produk tidak dapat diterima secara organoleptik disebut kadar air kritis. Waktu yang diperlukan oleh produk untuk mencapai kadar air kritis menyatakan umur simpan produk. Produk pangan yang umur simpannya dapat ditentukan dengan metode kadar air kritis antara lain biskuit, wafer, produk konfeksioneri
(permen), makanan ringan (snack dan chips), dan produk instan (powder)
(Labuza 1982).
Penentuan umur simpan dengan model kadar air kritis terdiri dari dua pendekatan yaitu:
(42)
A. Pendekatan kurva sorpsi isothermis
Bahan makanan bersifat higroskopis, yaitu dapat menyerap uap air dari udara di sekelilingnya (adsorpsi) dan juga melepas uap air yang dikandungnya ke udara (desorpsi). Karakteristik hidratasi bahan pangan dapat diartikan sebagai karateristik fisik yang meliputi interaksi antara bahan pangan dengan molekul air yang terkandung di dalamnya dan molekul udara di sekitarnya. Secara umum sifat-sifat hidratasi ini dapat digambarkan dalam sebuah kurva sorpsi isotermis, yaitu kurva yang menunjukkan hubungan antara kadar air bahan pangan dengan kelembaban relatif seimbang ruang tempat penyimpanan (RHs) atau aktivitas air
(aw) pada suhu tertentu (Syarief dan Halid 1993). Secara umum dapat dikatakan
bahwa kurva sorpsi isotermis khas untuk setiap bahan pangan.
Menurut Chirife dan Iglesias (1978), beberapa kendala yang dihadapi dalam menyusun suatu persamaan yang dapat menjelaskan kurva sorpsi
isothermis pada keseluruhan selang aw yang ada dan dapat diaplikasikan untuk
berbagai jenis bahan pangan adalah sebagai berikut:
1) Perubahan aw pada bahan pangan dipengaruhi oleh kombinasi berbagai
macam faktor yang masing-masing mendominasi dalam selang aw yang
berbeda
2) Sorpsi isothermis suatu bahan pangan menggambarkan kemampuan
higroskopis yang kompleks dan dipengaruhi oleh interaksi baik fisik maupun kimia antara komponen-komponen bahan pangan tersebut yang diinduksi oleh pemanasan atau perlakuan awal lainnya.
3) Pada saat bahan pangan menyerap air dari lingkungannya, bahan pangan
tersebut umumnya akan mengalami perubahan baik perubahan fisik, kimia dan lainnya.
Berikut contoh slope kurva dihitung dari garis lurus pada bagian lurus dari kurva isotherm yang diperoleh.
(43)
Gambar 6 Slope pada kurva sorpsi isothermis (Rahayu dan Arpah 2003). Kurva sorpsi isothermis yang dapat diasumsikan linear, kemudian dapat digunakan untuk mendapatkan persamaan kurva sorpsi isothermis. Selanjutnya
Labuza et al (1985) memformulasikan persamaan penentuan umur simpan dengan
model kadar air kritis sebagai berikut: ln
Keterangan:
t : Umur simpan produk (hari)
Me : Kadar air kesetimbangan produk (gH2O/g padatan)
Mi : Kadar air awal produk (gH2O/g padatan)
Mc : Kadar air kritis produk (gH2O/g padatan)
k/x : Konstanta permeabilitas uap air kemasan (g/m2. Hari. mmHg)
A : luas permukaan kemasan (m2)
Ws : Berat padatan dalam kemasan
Po : Tekanan uap air pada suhu tertentu jenuh (mmHg)
B : kemiringan kurva sorpsi isothermis (diasumsikan linear antara Mi
dan Mc).
B. Pendekatan kadar air kritis
Pendekatan kadar air kritis yang dimodifikasi digunakan untuk produk pangan yang memiliki kelarutan yang tinggi, seperti produk permen, yang
memiliki kandungan sukrosa yang tinggi (Labuza et al. 1985). Pada kondisi
(44)
semakin naiknya kadar air tanpa batas pada RH tertentu. Pada kondisi tersebut kurva sorpsi tidak dapat diasumsikan linear. Oleh karena itu, Labuza et al. (1985) memodifikasi persamaan Labuza menjadi sebagai berikut:
t
=
∆
Keterangan:
t = umur simpan produk (hari)
Mc = kadar air kritis produk (gH2O/g padatan)
Mi = kadar air awal produk (gH2O/g padatan)
= permeabilitas kemasan (gH2O/hari. m2 mmHg)
A = luas permukaan kemasan (m2)
Ws = berat kering produk dalam kemasan (g)
∆P = selisih antara tekanan di dalam dan di luar produk
2.4.2 Model Arrhenius
Suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perubahan makanan. Semakin tinggi suhu penyimpanan maka laju reaksi berbagai senyawa kimia akan semakin meningkat, karena itu dalam menduga kecepatan penurunan mutu bahan
pangan selama penyimpanan, faktor suhu harus selalu diperhatikan (Syarief dan Halid 1993).
Pengaruh suhu dalam suatu reaksi dapat dideskripsikan dengan menggunakan persamaan Arrhenius seperti berikut (Chen 2007):
k = k
0exp
Keterangan:K = konstanta kecepatan reaksi
k0 = konstanta pre-eksponensial
Ea = Energi aktivasi (kj/mol)
T = suhu
(45)
Dengan mengubah persamaan di atas menjadi :
ln k = ln k
0-
x
Persamaan yang digunakan dalam model Arrhenius ada dua jenis yaitu persamaan ordo nol dan persamaan ordo satu. Untuk memutuskan persamaan ordo mana yang lebih baik digunakan maka terlebih dahulu data hasil pengamatan diplot (Rahayu dan Arpah 2003).
1. Persamaan ordo nol
Tipe kerusakan bahan pangan yang mengikuti kinetika reaksi ordo nol meliputi reaksi kerusakan enzimatis, pencoklatan enzimatis dan oksidasi (Labuza 1982). Penurunan mutu ordo reaksi nol adalah penurunan mutu yang konstan. Kecepatan penurunan mutu tersebut berlangsung tetap pada suhu konstan dan dapat digambarkan dengan persamaan di bawah ini :
Teori singkat ordo nol:
At - A0 = -k t
At = A0- (k t)
Waktu kadaluarsa dapat dihitung dengan persamaan :
Reaksi yang termasuk pada ordo nol, laju reaksinya tidak tergantung pada konsentrasi pereaksinya, dengan kata lain reaksi berlangsung dengan laju yang tetap. Grafik hubungan waktu penyimpanan dengan perubahan mutu pada ordo nol adalah berupa garis lurus, dengan slope kemiringan k yang nilainya konstan. Bentuk umum grafik tersebut dapat dilihat pada Gambar 7.
(46)
A0
k = Slope, nilainya konstant
[A]
At t
Waktu reaksi
Gambar 7 Hubungan waktu dengan perubahan mutu ordo nol. 2. Persamaan ordo satu
Tipe kerusakan bahan pangan yang mengikuti kinetika reaksi ordo satu
meliputi : ketengikan, pertumbuhan mikroba, produksi off-flavour (penyimpangan
flavor) oleh mikroba pada daging, ikan, unggas, kerusakan vitamin, penurunan mutu protein dan sebagainya (Labuza 1982). Persamaan reaksi ordo satu adalah :
Teori singkat ordo satu: [A]
= -k ln ( At - A0) = -k t
Persamaan waktu kadaluarsa ordo satu adalah: ln (At) = ln (A0) – k t
Keterangan:
A0 = Konsentrasi mula-mula dari kriteria kadaluarsa
At = Konsentrasi akhir dari kriteria kadaluarsa
K = Kecepatan perubahan kriteria tersebut selama penyimpanan
t = Umur simpan dari produk
(47)
Grafik ordo satu berupa kurva (bukan garis lurus), namun akan membentuk garis lurus dalam persamaan logaritmanya, dengan slope kemiringan k yang nilainya tidak konstant dapat dilihat pada Gambar 8.
[A]
Slope = ln [A]
Slope = k
Waktu Waktu
Gambar 8 Hubungan waktu dengan perubahan mutu ordo satu (a) dan hubungan waktu dengan logaritma perubahan mutu ordo satu (b).
Faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi kimia ada tujuh antara lain jenis zat yang bereaksi, konsentrasi zat yang bereaksi, suhu, katalis dan otokatalis, tekanan, luas permukaan, sinar dan cahaya. Jenis zat yang bereaksi merupakan faktor terpenting dalam suatu reaksi. Selain itu laju reaksi akan semakin naik jika konsentrasi pereaksi semakin tinggi. Makin tinggi suhu campuran zat yang bereaksi, makin cepat reaksi berlangsung. Hal ini berdasarkan pada teori kinetik molekul, yang menyatakan bahwa semakin tinggi suhu suatu zat, semakin kuat gerakan-gerakan molekulnya (Irawadi 2005).
Selain faktor suhu, umur simpan juga ditentukan oleh jenis kemasan yang digunakan. Kemasan berfungsi sebagai : (1) wadah untuk menempatkan produk dan memberi bentuk sehingga memudahkan dalam penyimpanan, pengangkutan dan distribusi; (2) memberi perlindungan terhadap mutu produk dari kontaminasi luar dan kerusakan; (3) menambah daya tarik produk. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pengemasan bahan pangan adalah sifat bahan pangan tersebut, keadaan lingkungan dan sifat bahan kemasan. Gangguan yang paling umum terjadi pada bahan pangan adalah kehilangan atau perubahan kadar air, pengaruh gas dan cahaya. Sebagai akibat perubahan kadar air pada produk akan timbul
(48)
jamur dan bakteri, pengerasan pada produk bubuk, dan pelunakan pada produk kering (Syarief et al. 1989).
Bahan pangan mempunyai sifat yang berbeda-beda dalam kepekaannya terhadap penyerapan atau pengeluaran gas (udara dan uap air). Bahan kering harus dilindungi dari penyerapan air dan oksigen dengan cara menggunakan bahan
pengemas yang mempunyai daya tembus rendah terhadap gas tersebut
(Buckle et al. 1987). Tiap-tiap bahan pengemas memiliki sifat-sifat yang unik.
Nilai ketahanan dan permeabilitas beberapa jenis bahan pengemas dapat dilihat pada Tabel 8 dan Tabel 9.
Tabel 8 Ketahanan beberapa bahan pengemas terhadap air, gas dan bau
Bahan pengemas Ketahanan terhadap
Air Gas Bau
Polietilen 7 3 3
PVC 2 5 5
Kopolimer PVdC 9 8 8 -
Polyester 4 6 8
PET selulosa 0 6 6
Selulosa asetat 1 2 2
Kertas kraft 0 0 0
Sulfite paper 0 0 0
Galssine 0 3 3
Kertas dengan lapisan PE 7 3 3
Kertas dengan lapisan PVdC 8 8 8
Aluminium foil 10 10 10
Tabel 9 Permeabilitas beberapa bahan pengemas dan heat stability
Bahan pengemas
Permeabilitas Suhu (oF)
Hot Fill
O2 CO2 H2O
HDPE 130 580 0,3 190
PP 150 650 0,5 200
LDPE 430 1200 1,0 150
PVC 10 25 3,0 140
Acrylonitrile 1 2 5,0 150
OPP 130 320 0,3 200
Lamicron PP 0,2 0,8 0,5 200
Polysulfonate - - - 430
Polyarylsulfone - - - 410
Polysulfone - - - 320
(49)
3 METODOLOGI
3.1 Waktu danTempat
Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret 2010 hingga November 2010. Proses formulasi dan produksi selai jambu biji lembaran dilakukan di Laboratorium Preservasi dan Pengolahan Hasil Perairan, penggujian aspek biokimia dan mikrobiologi dilakukan di Laboratorium Biokimia Hasil Perairan dan Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, serta pengujian sensori dilakukan di Laboratorium Organoleptik Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Analisis fisik dan mikrobiologi dalam hal pendungaan umur simpan dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi dan Biologi Radiasi Pusat Antar Universitas (PAU) Pangan dan Gizi, Laboratorium Mikrobiologi Pangan, dan Laboratorium Pengolahan Pangan Depertemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
3.2 Alat dan bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jambu biji (Psidium
gujaza L) yang berasal dari perkebunan jambu biji budi agung jalan baru Bogor Jawa Barat, gula pasir, air, agar-agar tepung (CV Agar Sari Jaya Malang) dan asam sitrat (Lampiran 42). Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi wadah perendaman, blender, timbangan, pengaduk, sendok, kompor, panci, kantong plastik, penggiling, oven, pisau, blender, saringan, cetakan selai 8,5 x 8,5 cm, wadah porselin, hotplate, tanur, cawan, labu ukur. Alat untuk analisis antara
lain texture analyzer, viscometer, aw meter, thermometer, pH meter dan alat-alat
kaca lainnya.
3.3 Metode Penelitian
Penelitian ini terdiri dari penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Pada penelitian pendahuluan dilakukan karakterisasi fisikokimia agar-agar tepung. Setelah itu dilakukan formulasi bahan-bahan pembentuk selai antara lain gula (70 %, 80 %, 90 % dan 100%) dan asam sitrat (0,02%, 0,04%, 0,06%) dari total berat buah, dengan komposisi faktorial yang dapat dilihat pada Tabel 10.
(1)
Lampiran 38. Hasil organoleptik selama penyimpanan terhadap parameter
rasa
Sampel ke 1 Sampel ke 2 Sampel ke 3 Sampel ke 4 Sampel ke 5
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
7 7 8 7 7 6 6 6 6 5 4 4 4 4 3
8 8 8 7 8 8 7 8 5 5 4 4 4 4 4
8 8 8 8 8 6 8 6 6 6 4 6 4 4 3
8 8 8 7 8 8 7 8 5 7 6 5 4 6 5
8 8 8 8 8 8 6 6 5 6 6 5 6 3 5
8 7 7 8 6 7 8 6 7 6 6 7 6 6 3
8 8 8 8 8 6 6 6 5 6 6 5 6 3 5
8 8 8 7 8 8 7 8 5 7 5 5 4 5 5
8 7 8 6 7 8 6 7 8 5 5 4 5 5 4
8 8 8 8 8 8 6 8 5 6 4 5 4 4 5
7 8 8 7 8 8 7 8 8 6 5 8 6 5 3
8 7 7 8 7 7 8 7 7 8 5 7 4 3 3
7 8 8 7 8 8 7 8 8 7 5 4 4 5 4
8 8 8 8 6 8 8 5 8 6 5 4 6 3 4
8 8 8 8 7 6 8 7 6 8 5 6 4 5 6
8 8 8 7 8 8 7 4 5 7 5 5 4 5 5
8 8 6 8 6 6 6 6 6 6 5 6 6 3 5
8 8 7 8 7 7 8 7 7 6 5 3 4 5 3
8 8 7 8 8 7 6 8 7 6 5 7 6 3 3
8 8 8 8 8 8 8 6 5 5 5 5 5 5 5
8 8 8 7 8 8 6 5 5 6 5 4 4 5 4
8 8 6 7 7 6 7 7 6 7 7 6 4 3 6
8 8 8 8 6 8 6 6 8 6 5 4 6 5 4
8 8 8 7 8 8 7 6 8 7 6 4 4 6 4
8 7 7 8 7 6 8 7 6 5 7 6 5 3 5
8 8 7 7 8 7 7 8 7 7 5 4 4 5 4
8 8 7 8 6 6 8 5 6 5 5 6 5 3 6
8 7 8 7 7 8 7 7 5 7 5 4 4 5 3
8 8 8 7 8 8 7 7 8 7 6 4 3 3 3
8 7 8 8 6 6 6 6 6 6 6 4 6 6 3
7.90 7.77 7.63 7.50 7.33 7.23 6.97 6.63 6.30 6.23 5.23 5.03 4.70 4.33 4.17
Ket : 1 = suhu 20
0C
2 = suhu 25
0C
3 = suhu 30
0C
(2)
Lampiran 39. Hasil organoleptik selama penyimpanan terhadap parameter
tekstur
Sampel ke 1 Sampel ke 2 Sampel ke 3 Sampel ke 4 Sampel ke 5
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
8 7 8 8 7 6 7 6 4 4 6 4 3 6 4
9 7 8 7 7 8 7 7 8 4 7 4 4 3 4
9 9 8 7 6 6 6 6 6 4 6 6 4 6 6
9 8 7 7 6 7 7 6 7 7 6 4 7 6 4
8 7 8 8 7 8 6 7 4 6 4 4 6 4 4
8 8 8 7 6 6 7 5 6 7 5 6 3 5 6
8 7 8 8 7 8 8 7 8 8 7 4 8 3 4
8 9 7 8 6 7 6 6 7 6 6 7 6 6 3
8 6 6 8 6 6 8 6 6 4 4 6 4 4 6
8 8 8 8 6 8 8 6 4 8 6 4 3 6 4
8 7 7 7 7 7 6 7 7 6 7 4 6 4 4
8 8 8 8 6 6 8 6 6 4 6 6 4 6 6
7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7
7 7 8 7 7 6 7 5 6 7 5 6 7 5 6
9 8 8 7 6 8 6 6 8 6 6 8 6 6 3
8 8 7 8 6 7 8 6 7 8 6 7 3 4 3
7 7 8 7 7 8 7 7 4 7 7 4 7 7 2
8 9 8 8 7 6 6 7 6 6 7 6 6 7 6
8 9 8 8 7 6 8 7 6 4 4 6 4 4 6
8 9 8 7 9 8 7 5 8 7 5 4 7 5 4
8 8 8 8 8 8 8 8 8 4 4 4 4 4 4
8 9 8 8 8 6 8 6 6 8 6 6 3 6 6
8 8 7 7 8 7 6 8 7 6 8 7 6 8 3
7 9 6 7 8 6 7 5 6 7 5 6 7 5 6
7 9 8 7 9 6 6 9 6 6 4 6 6 3 6
7 9 8 7 8 6 7 6 4 7 6 4 7 6 4
7 9 8 7 9 6 7 6 6 4 4 4 4 4 4
8 6 6 8 6 6 6 5 6 6 4 6 6 4 6
8 7 7 7 8 7 7 8 4 7 8 3 3 3 3
7 8 8 7 8 6 7 8 4 7 4 4 7 4 3
7.87 7.90 7.57 7.43 7.10 6.76 6.97 6.47 6.06 6.07 5.67 5.23 5.27 5.03 4.57
Ket : 1 = suhu 20
0C
2 = suhu 25
0C
3 = suhu 30
0C
(3)
Lampiran 40. Uji Kruskal Walis terhadap parameter sensori selai selama
penyimpanan
Ranks 150 255.38 150 221.11 150 200.01 450 150 250.87 150 224.61 150 201.02 450 150 244.71 150 225.41 150 206.38 450 150 250.39 150 219.71 150 206.39 450 150 256.90 150 223.15 150 196.45 450 Kode 1.00 2.00 3.00 Total 1.00 2.00 3.00 Total 1.00 2.00 3.00 Total 1.00 2.00 3.00 Total 1.00 2.00 3.00 Total Penampakan Warna Aroma Rasa TeksturN Mean Rank
Test Statisticsa,b
14.581 11.635 6.764 9.526 17.144
2 2 2 2 2
.001 .003 .034 .009 .000
Chi-Square df
Asymp. Sig.
Penampakan Warna Aroma Rasa Tekstur
Kruskal Wallis Test a.
Grouping Variable: Kode b.
(4)
Lampiran 41. Perhitungan angka kecukupan gizi (AKG) selai jambu biji
lembaran
Proksimat
Sampel
Kadar Protein
Kadar Lemak Karbohidrat Serat
Pangan
Selai jambu
biji lembaran
2,84 %
0,28 %
64,44%
1.84 %
% per 100 gram
-
Kebutuhan kalori total 2000 kkal/hari
a.
Karbohidrat : 50-60%
Kebutuhan kalori karbohidrat = 50/100x2000kkal =1000 kkal
Kebutuhan karbohidrat perhari =1000 kkal/4 = 250 gram/hari
b.
Protein : 10-20 %
Kebutuhan kalori protein = 10/100 x 2000 kkal =200 kkal
Kebutuhan Protein Perhari = 200 kkal/4 = 50 gram/hari
c.
Lemak : kurang dari 30% dari total kalori
Kebutuhan Kalori lemak = 30/100 x 2000 kkal = 600 kkal
Kebutuhan lemak perhari = 600 kkal/9 =66.67 gram
d.
AKG serat makanan perhari 20 %
Kecukupan serat makanan = 10-14g/1000 kkal
Tingkat penyediaan 19-30 g/kap/hari
Berat selai 35 gram dari 100 gram total analisis proksimat sehingga nilai
proksimat diatas merupakan 2,85 bagian dari selai
Presentasi AKG untuk selai jambu biji lembaran berbasi agar-agar
-
% AKG Karbohidrat = 64,44/2,85/250 x 100% = 9,04 % = 9%
-
% AKG Protein = 2,84/2,85/50 x 100 % = 1,99 = 2 %
-
% AKG lemak = 0,28/2,85/66,67 x 100 % = 0,147 = 0%
-
% AKG serat = 1.84/2,85/25 x 100 % = 2,58 % = 3 %
(5)
Lampiran 42. Dokumentasi Penelitian
Asam Sitrat
Jambu biji (merah)
Agar-agar
tepung
Gula
Pasir
(6)
As
S
Timbangan Digital Texture Analyzer
aw meter pH meter