STABILISASI BEKATUL TINJAUAN PUSTAKA

7 karbon rantai pendek yang terbentuk meliputi asam lemak, aldehid, dan keton. Senyawa-senyawa tersebut bertanggung jawab dalam pembentukan off flavor tengik minyak bekatul Charley, 1982. Oksidasi nonenzimatik terjadi karena adanya radikal bebas autooksidasi dan fotooksidasi. Jalur radikal bebas tergantung pada molekul lemak yang berinteraksi dengan oksigen. Sedangkan jalur fotooksidasi terjadi melalui molekul fotosintesis riboflavin, ion logam yang menyerap cahaya. Oksigen hasil fotosintesis dapat bereaksi dengan asam lemak membentuk hidroperoksida Champagne, 1994. Kerusakan minyak bekatul dapat dideteksi melalui peningkatan nilai peroksida, penurunan nilai iodin, dan peningkatan nilai asam thiobarbiturat Orthoefer, 2001. Nilai peroksida digunakan untuk mengetahui jumlah senyawa peroksida yang terbentuk, nilai iodin sebagai indikor seberapa banyak asam lemak tak jenuh yang telah terurai menjadi asam lemak bebas, dan asam thiobarbiturit sebagai indikator pembentukan aldehid hasil oksidasi lanjutan peroksida. Asam thiobarbiturat bereaksi dengan malonaldehid senyawa aldehid membentuk kromogen warna merah yang dapat ditentukan intensitas warnanya menggunakan spektrofotometer Charley, 1982.

C. STABILISASI BEKATUL

Tujuan stabilisasi bekatul adalah membunuh mikroba dan mendestruksi enzim lipase. Untuk mendapatkan bekatul food grade dengan mutu tinggi, seluruh komponen penyebab kerusakan harus dihambat dan komponen kandungan bioaktifnya harus tetap dijaga Champagne, 1994. Metode stabilisasi dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu melalui pemanasan kering, pemanasan basah, pendinginan, modifikasi pH, dan perlakuan kimiawi Orthoefer, 2001. Stabilisasi menggunakan panas kering dilakukan pada suhu 100-110 o C. Beberapa metode yang termasuk dalam pemanasan kering adalah penyangraian, stationary dryer, dan fluid bed dryer Sayre et al., 1982. Penyangraian merupakan metode yang sederhana, murah, dan mudah namun membutuhkan waktu yang lama 20-30 menit. Selain itu, pemanasan 8 pada penyangraian tidak merata, kemungkinan terjadi kerusakan bahan, mikroba tidak terbasmi semuanya, dan enzim lipase tidak inaktif secara total Juliano, 1985. Drum berputar dan ekstrusi termasuk juga dalam metode pemanasan kering. Air yang terdapat dalam bahan digunakan sebagai media penghantar panas. Dalam pemanasan drum berputar, bekatul dipanaskan pada suhu 110- 120 o C selama 5 menit dengan tekanan 0,3-0,5 kgcm. Pada proses ekstrusi, suhu pemasakan bekatul berkisar 130-140 o C, densitas bekatul meningkat 0,3 , dan kadar air menurun sebesar 5-8 Damardjati et al., 1990. Proses pemanasan basah lebih efektif dibandingkan pemanasan kering. Inaktivasi enzim lipase dapat dilakukan pada suhu 100 o C selama 3 menit. Pemanasan basah pada umumnya dilakukan dengan pengukusan selama 10-30 menit dilanjutkan dengan pengeringan bekatul hingga kadar air 3-12 Sayre et al., 1982. Pemanasan basah dapat juga dilakukan dengan autoklaf. Autoklaf merupakan alat yang digunakan sebagai sterilisasi bahan. Mekanismenya melalui inaktivasi enzim dan membunuh mikroba pada suhu 121 o C selama 15 menit. Pemanasan menggunakan autoklaf memberikan waktu pemanasan yang singkat dan lebih efektif membunuh mikroba dan menginaktivkan enzim, namun membutuhkan investasi yang mahal dan keterampilan yang tinggi Winarno, 1992. Metode stabilisasi yang lain adalah pendinginan, modifikasi pH, dan penambahan bahan kimia. Suhu rendah mampu mengurangi laju hidrolisis lipase. Modifikasi pH dilakukan pada nilai pH 4 yaitu dengan penambahan asam hidrokolik. Penggunakan bahan kimia dapat dilakukan dengan penambahan sodium metabisulfit. Ketiga metode ini jarang dilakukan dan tidak dikomersialkan Orthoefer, 2001. Stabilisasi bekatul dapat menginaktifkan enzim lipase dan lipoksigenase. Namun proses pemanasan dapat merusak antioksidan sehingga kemampuannya melindungi lemak terhadap serangan radikal bebas menurun Permasalahan tersebut dapat dihambat dengan menjaga kadar oksigen yang rendah melalui pengemasan selama peyimpanan produk Luh, 1991. 9

D. PENGERINGAN