VI. KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA
Status keberlanjutan pengelolaan sumberdaya di wilayah GPK, dianalisis secara parsial pada masing-masing peruntukan kegiatan
pengelolaan, dengan menggunakan alat analisis yang berbeda-beda. Perbedaan alat analisis ini disesuaikan dengan karakteristik sumberdaya yang
dikelola, sehingga tujuan analisis yaitu diketahuinya status keberlanjutan pengelolaan sumberdaya di wilayah GPK dapat terwujud. Pada kegiatan
perikanan tangkap, analisis disesuaikan dengan karakteristik sumberdaya ikan yang menjadi objek pengelolaan. Sehingga alat analisis yang dipilih adalah
alat analisis yang fokus kepada dimensi ekologi, dalam hal ini pada nilai stok sumberdaya ikan. Sebab jika ternyata stok sumberdaya ikan biomass
berkurang, sehingga panen sumberdaya jumlahnya juga berkurang, maka kegiatan perikanan tangkap tidak akan berkelanjutan.
Analisis keberlanjutan pada kegiatan budi daya rumput laut, penekanannya pada dimensi ekonomi. Hal ini berdasarkan pemikiran bahwa
sebagai kegiatan usaha budi daya rumput laut, maka jaminan keberlanjutannya tergantung pada kesinambungan surplus usaha yang
diperoleh. Sehingga pendekatan yang dianggap mewakili dimensi ekonomi adalah menggunakan analisis keberlanjutan mata pencaharian mayarakat
pesisir yaitu coastal livelihood system analysis CLSA. Sedangkan keberlanjutan kegiatan wisata bahari dianalisis dengan
penekanan pada dimensi ekonomi – ekologis. Sebab keberlanjutan kegiatan wisata bahari adalah tergantung pada kelestarian sumberdaya alam yang
menjadi objek daya tarik wisata ODTW dan aspek ekonomi modal yang mendukung kegiatan wisata tersebut, sehingga dapat meningkatkan jumlah
kunjungan wisatawan. Model yang dianggap dapat menjawab tuntutan di atas adalah model minimal a minimal model wisata bahari yang dikemukakan oleh
Casagrandi dan Rinaldi 2002. Hasil perhitungan berdasarkan alat analisis yang dipilih, dijabarkan dalam penjelasan berikut ini.
6.1 Keberlanjutan Kegiatan Perikanan Tangkap
Di wilayah Gugus Pulau Kaledupa pada tahun 2007 terdapat sekitar 1.288 nelayan tradisional yang menangkap ikan di sepanjang 135 km
2
tubir terumbu karang datar. Sebagian besar pemenuhan protein oleh masyarakat
yaitu 20.000 gram pada tahun 2005, diperoleh dari hasil perikanan laut dangkal di daerah pesisir, serta beberapa jenis invetebrata lainnya, dan hanya
dalam jumlah kecil yang berasal dari perikanan laut dalam. Jumlah tangkapan yang diperoleh, sebagian besar untuk konsumsi masyarakat lokal, dan hanya
sebagian kecil yang dijual keluar daerah. Teknik penangkapan ikan di wilayah ini cukup kompleks, dan areal
menangkap ikan sangat tergantung pada musim. Terdapat sekitar 15 jenis alat tangkap yang biasa digunakan oleh nelayan setempat. Penggunaan alat
tangkap ini selain tergantung musim, tergantung pula pada keadaan pasang surut air laut. Jenis-jenis alat tangkap yang digunakan di wilayah GPK antara
lain: bubu lokal=polo, sero lokal=bala, gill net atau jaring insang lokal=rambisi, seine net lokal=jare lamba, gleaning lokal=henga-hengaro
atau surabi, pancing tangan line fishing, panah ikan spear gun, pancing tonda lokal=hekatonda dan beberapa bentuk penangkapan ikan komersil
yang masih dilakukan secara tradisional seperti: mancing gurita, ikan kerapu, lobster, teripang dan beberapa jenis invetebrata lainnya lokal=meti-meti.
Perhitungan keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pada kegiatan perikanan tangkap di Gugus Pulau Kaledupa dimulai dari analisis bioekonomi
Gordon Schaefer. Dalam analisis ini diperhitungkan parameter biologi dan parameter ekonomi dari kegiatan perikanan tangkap, berdasarkan data
produksi catch dan upaya effort selama enam tahun, dimulai pada tahun 2003 sampai 2008.
Perhitungan parameter biologi dimulai dengan standarisasi alat tangkap, dengan maksud agar terjadi penyeragaman kekuatan alat tangkap,
karena masing-masing alat tangkap memiliki kemampuan yang berbeda dalam menangkap ikan. Dengan melakukan standarisasi alat tangkap maka dapat
diketahui jumlah total input dari usaha perikanan tangkap yang dilakukan oleh nelayan. Jika standarisasi tidak dilakukan, maka jumlah total unit upaya
agregat total effort dari perikanan tidak dapat dianalisis. Alat tangkap yang distandarisasi adalah sero SR, jaring JR, pancing
PG, panah PN dan bubu BB. Pemilihan kelima jenis alat tangkap ini didasarkan pada jenis-jenis alat tangkap yang paling banyak digunakan oleh
nelayan tangkap di Gugus Pulau Kaledupa. Standarisasi effort dilakukan dengan cara membandingkan jumlah effort tertinggi terhadap effort terendah
dari alat tangkap yang digunakan.
Hasil tangkapan per unit upaya CPUE diperoleh dengan cara membagi total produksi catch dengan total upaya effort yang beroperasi.
Jumlah CPUE rata-rata sebesar 0,10 ton per unit, nilai CPUE tertinggi pada tahun 2008 sebesar 0,118 ton per unit dengan effort sebesar 5.284 unit, dan
produksi sebesar 624,99 ton. Sementara nilai CPUE terendah pada tahun 2003 sebesar 0,084 ton per unit dengan effort sebesar 5.715 unit dan produksi
sebesar 480,39 ton. Untuk hasil selengkapnya dari jumlah produksi catch, effort dan nilai CPUE pada kegiatan perikanan tangkap di Gugus Pulau
Kaledupa dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13 Standarisasi alat tangkap, total produksi, total effort dan total CPUE di Gugus Pulau Kaledupa Tahun 2003 – 2008
Tahun Standarisasi
Effort Total
Produksi ton
Total Effort
trip Total
CPUE PG
SR JG
PN BB
2003 2112
3094 65
262 183
480,39 5715
0,084 2004
2496 2082
66 251
167 491,59
5062 0,097
2005 2496
2728 131
245 168
538,65 5768
0,093 2006
2496 2431
175 277
213 557,30
5592 0,100
2007 2496
2519 158
281 204
578,73 5658
0,102 2008
2496 2098
217 253
220 624,99
5284 0,118
Jumlah 14592
14951 811
1570 1155
3271,65 33079 0,5948
Rata-rata 2432
2492 135
262 192
545,27 5513
0,10
Sumber: Data hasil penelitian dan data DKP Kab. Wakatobi berbagai tahun
Setelah melakukan standarisasi alat tangkap, kemudian dilanjutkan dengan analisis regresi sederhana dengan menggunakan metode OLS
Ordinary Least Square, yaitu dengan meregresikan antara Ln CPUE
t+1
sebagai variabel Y dan Ln CPUE
t
sebagai variabel X
1
serta E
t
+ E
t+1
sebagai variabel X
2
sehingga diperoleh koefisien regresi dengan nilai intersep a = -0,362143274, koefisien untuk variabel x
1
b = 0,690478303 dan koefisien untuk variabel x
2
c = -0,000027. Setelah diperoleh nilai koefisien regresi maka nilai parameter biologi seperti tingkat pertumbuhan intrinsik r,
koefisien daya tangkap q, dan daya dukung lingkungan perairan K dapat diduga. Gordon 1954 mengintroduksi parameter ekonomi yang digunakan
adalah biaya input c, harga ikan per ton p dan nilai discount faktor .
Parameter ekonomi tersebut adalah rata-rata harga ikan per ton dan rata-rata biaya per trip penangkapan. Pendugaan-pendugaan parameter tersebut
menggunakan model produksi surplus. Nilai-nilai parameter biologi dan ekonomi dijabarkan pada Tabel 14 berikut ini.
Tabel 14 Parameter biologi dan ekonomi perikanan tangkap di Gugus Pulau Kaledupa
No. Keterangan
Simbol Nilai
1. Tingkat pertumbuhan intrinstik
r 0,3662
2. Koefisien kemampuan tangkap
q 6,38811 x 10
5
3. Daya dukung lingkungan perairan ton
K 4.858,461034
4. Harga ikan Rpton
p 20.133.333
5. Biaya upaya penangkapan Rptrip
c 31.318
6. Discount factor
4,879016417 Sumber: Diolah dari data primer, 2009
Dari nilai parameter biologi dan ekonomi, maka dapat dihitung nilai biomassa x, jumlah tangkapan tangkapan h, dan upaya tangkap E. Dari
perhitungan, diperoleh nilai rata-rata harga ikan per ton sebesar Rp 20.133.333,-. Untuk melakukan kegiatan penangkapan memerlukan biaya
sebesar Rp 31.318,- per trip. Dari data parameter biologi dan ekonomi diatas, maka dapat dihitung
nilai keberlanjutan perikanan tangkap berdasarkan metode Overlaping Generation Model OLG, untuk mengetahui nilai biomassa generasi kini x
t
, nilai fungsi pertumbuhan sumberdaya ikan Fxt, dan nilai panen sumberdaya
ikan generasi kini h
t
. Berdasarkan nilai biomassa generasi kini x
t
dan nilai panen sumberdaya ikan generasi kini h
t
, maka dapat dihitung nilai biomassa generasi selanjutnya x
t+1
dan nilai panen sumberdaya ikan generasi selanjutnya h
t+1
. Penilaian keberlanjutan sumberdaya antar generasi dalam hal ini
pengelolaan sumberdaya perikanan dapat dikatakan berkelanjutan jika nilai biomassa generasi kini x
t
, nilai panen sumberdaya ikan generasi kini h
t
, nilai biomassa generasi selanjutnya x
t+1
dan nilai panen sumberdaya ikan generasi selanjutnya h
t+1
seluruhnya harus bernilai positif. Berdasarkan perhitungan keberlanjutan kegiatan perikanan tangkap
dengan menggunakan metode Overlaping Generation Model OLG, menggunakan data parameter bioekonomi Gordon Schaefer, maka diperoleh
hasil seperti disajikan pada Gambar 12.
-1,1E+22 -9E+21
-7E+21 -5E+21
-3E+21 -1E+21
1E+21 3E+21
5E+21
Generasi S
u m
b e
rd a
y a
I k
a n
-3E+33 -3E+33
-2E+33 -2E+33
-1E+33 -5E+32
5E+32
S u
m b
e rd
a y
a I
k a
n
Biomass Ton 2429,230517
-9,03624E+21 Panen Ton
9,03624E+21 -2,84888E+33
t t + 1
Gambar 12 Nilai biomass dan panen sumberdaya ikan pada generasi kini t dan generasi selanjutnya t+1 menggunakan metode OLG.
Dari hasil perhitungan, diperoleh nilai biomassa generasi kini x
t
positif dan nilai panen sumberdaya ikan generasi kini h
t
juga positif. Akan tetapi nilai biomassa generasi selanjutnya x
t+1
bernilai negatif dan nilai panen sumberdaya ikan generasi selanjutnya h
t+1
juga negatif. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap di
Gugus Pulau Kaledupa dengan model pengelolaan seperti sekarang ini, tidak berkelanjutan.
Kawasan Wakatobi telah menjadi wilayah tangkap nelayan setempat dan nelayan yang datang dari luar daerah. Masyarakat telah melakukan
aktivitas sosial ekonomi sejak lama, bahkan sebelum penetapan kawasan ini menjadi Taman Nasional Laut. Karena itu tidak mudah untuk merubah
kebiasaan masyarakat tersebut. Keadaan ini mempengaruhi pengelolaan sumberdaya di Gugus Pulau Kaledupa khususnya kegiatan perikanan tangkap.
Banyak hal yang menjadi penyebab ketidakberlanjutan pemanfaatan sumberdaya laut, khususnya untuk kegiatan perikanan tangkap. Dari hasil
observasi dan penelitian di lapangan, dapat dijelaskan sebagai berikut: penyebab pertama adalah adanya penggunaan alat yang tidak efisien: dimana
jumlah alat tangkap yang digunakan banyak, akan tetapi ikan hasil tangkapan nelayan jumlahnya sedikit dan berukuran kecil. Jika hal ini dibiarkan terus
terjadi, maka akan menurunkan jumlah populasi ikan stok yang ada di Gugus
Pulau Kaledupa karena ikan tersebut tidak berkembang sampai masa reproduksinya.
Kedua, adanya cara-cara penangkapan yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bom dan sianida serta merusak karang. Hal ini turut
memberi andil bagi kerusakan sumberdaya laut di Gugus Pulau Kaledupa. Namun setelah mendapat penyuluhan tentang kerusakan yang ditimbulkan
akibat kegiatan yang tidak ramah lingkungan, kegiatan ini mulai ditingggalkan oleh masyarakat setempat.
Penyebab ketiga adalah keterbatasan sarana penangkapan yang digunakan oleh nelayan. Sebagian besar nelayan di Gugus Pulau Kaledupa
adalah nelayan tradisional, yang menggunakan sarana penangkapan yang memiliki kemampuan terbatas, sehingga mereka lebih banyak terfokus untuk
menangkap ikan di wilayah pesisir dan laut dangkal. Sementara masih ada potensi perikanan di laut dalam yang sulit diakses oleh nelayan tradisional. Hal
ini akan menurunkan populasi ikan, khususnya di wilayah pesisir dan laut dangkal.
Keempat, faktor yang ikut memberi kontribusi terhadap pengelolaan sumberdaya laut untuk kegiatan perikanan tangkap di Gugus Pulau Kaledupa
adalah peningkatan jumlah nelayan yang semakin banyak, terutama nelayan dari luar wilayah Gugus Pulau Kaledupa yang ikut menangkap ikan di wilayah
ini. Keberadaan nelayan dari Mola, Lia, Kapota Wanci, dari Sinjai Sulawesi Selatan, Menui dan dari Kendari, turut memberi kontribusi terhadap
pengurangan stok ikan di wilayah ini. Dari beberapa penyebab menurunnya sumberdaya perikanan di Gugus
Pulau Kaledupa, perlu dicarikan solusi terbaik untuk mengatasi masalah pengelolaan sumberdaya perikanan. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat
yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya ini dapat terus memperoleh pendapatan, dan sumberdaya laut khususnya perikanan dapat
tetap diwariskan pada generasi mendatang. Beberapa alternatif penyelesaian yang dapat dilakukan agar kegiatan
perikanan tangkap dapat berkelanjutan adalah dengan menggunakan alat tangkap yang efisien. Alat tangkap yang digunakan dapat mengurangi biaya
produksi seminimal mungkin, namun dapat memperoleh hasil yang maksimal. Hal ini dapat dilakukan dengan pemilihan alat tangkap yang tepat,
penyeleksian alat tangkap dengan menggunakan alat tangkap yang dapat
menangkap ikan yang telah layak dikonsumsi atau dipasarkan tanpa turut menangkap ikan yang masih akan berkembang bereproduksi.
Hal lain yang dapat dilakukan adalah meninggalkan kebiasaan pemanfaatan sumberdaya dengan cara merusak lingkungan, dan pemberian
sanksi bagi pelaku yang merusak sumberdaya tersebut. Sehingga diperlukan peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya, tidak hanya dalam
tahap pelaksanaan, namun bersama penegak hukum ikut berperan dalam tahap pengawasan.
Wilayah pesisir yang selama ini telah mengalami eksploitasi berlebih, sebaiknya dikembangkan perikanan budi daya. Hal ini dimaksudkan agar
masyarakat setempat memperoleh pendapatan alternatif, pada lokasi yang mudah dijangkau dan akan mengurangi tingkat eksploitasi sumberdaya di
wilayah pesisir tersebut.
6.2 Keberlanjutan Kegiatan Budi Daya Rumput Laut
Kegiatan budi daya rumput laut di Gugus Pulau Kaledupa mulai dilakukan oleh masyarakat setempat sejak tahun 1991. Akan tetapi kegiatan ini
belum dikembangkan secara komersil, masyarakat masih membudidayakan rumput laut dari jenis lokal garangga kansee. Kemudian pada tahun 1993,
mulai diperkenalkan rumput laut jenis komersil yaitu Euchema cottonii, sehingga jumlah pembudidaya meningkat.
Pada periode selanjutnya, perkembangan areal budi daya dan jumlah pembudidaya bersifat fluktuatif, bahkan pada periode tahun 1997–1998,
perkembangan kegiatan budi daya lambat dan cenderung konstan. Selama kurun waktu tersebut jumlah pembudidaya tidak mengalami pertambahan yang
berarti, bahkan dapat dikatakan jumlahnya tetap. Kegiatan budi daya rumput laut kembali mulai mengalami perkembangan sejak tahun 1998 hingga
sekarang. Perkembangan budi daya rumput laut terindikasi dari pertambahan
areal budi daya, yang semula hanya 45 Ha pada tahun 1993 menjadi 3.139 Ha pada tahun 2008. Jumlah pembudidaya rumput laut mengalami peningkatan,
dari 37 pembudidaya pada tahun 1993, meningkat menjadi 1.409 pembudidaya pada tahun 2008. Jumlah produksi rumput laut juga mengalami
peningkatan dari 35,59 ton pada tahun 1993, meningkat menjadi 628,33 ton pada tahun 2008 Mansyur 2009.
Jenis rumput laut yang dibudidayakan di daerah ini didominasi jenis Euchema cottonii dan sedikit jenis Gracilaria spp. Dalam membudidayakan
rumput laut, pembudidaya rumput laut di Gugus Pulau Kaledupa pada umumnya menggunakan metode long line dan metode lepas dasar pada
musim teduh. Jenis rumput laut Euchema cottonii mempunyai ciri khusus yaitu
memiliki duri-duri benjolan-benjolan pada thallus yang runcing, memanjang dan agak jarang. Warna rumput laut ada yang berwarna merah, coklat
kemerahan, hijau kuning, hijau terang, hijau olive, dan bercabang tidak teratur, substansi thalli gelatinus dan atau kartilagenus Kadi dan Atmaja 1988;
Anggadiredja et al. 2008. Rumput laut jenis ini terutama dimanfaatkan dalam bentuk kappa-
carrageenan. Keraginan merupakan getah rumput laut yang terdapat dalam dinding sel rumput laut dan merupakan bagian penyusun yang terbesar dari
berat kering rumput laut dibandingkan komponen lain, dapat diekstraksi menggunakan air panas Hellebust dan Cragie 1978; Glicksman 1983 diacu
dalam Wilkinson dan Moore 1982. Dalam industri pangan keraginan dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki penampilan produk kopi, bir, sosis, salad, es
krim, susu kental manis, coklat, jeli, dll. Pada industri farmasi digunakan dalam pembuatan obat berupa sirup, tablet, dsb. Sedangkan dalam industri kosmetik
digunakan sebagai gelling agent atau binding agent dengan tujuan mempertahankan suspensi padatan yang stabil seperti pada pembuatan
shampo, pelembab, dll. Mengingat potensi manfaat rumput laut yang besar dan jumlah
pembudidaya yang terus meningkat, maka dalam perencanaan budi daya khususnya di wilayah GPK, harus didasarkan pada potensi lahan yang
disesuaikan dengan kapasitas lingkungan carrying capacity, dan kesesuaian pengaturan
pemanfaatan ruang
berdasarkan karakteristiknya,
agar pengelolaan kawasan budi daya rumput laut dapat berkelanjutan. Untuk
mencapai tujuan tersebut, digunakan metode Coastal Livelihood System Analysis CLSA yang dimodifikasi dari Campbell 1999 dan Adrianto 2005.
Berdasarkan analisis tersebut, diharapkan dapat direkomendasikan rencana pengelolaan kawasan budi daya rumput laut yang berkelanjutan. Dalam CLSA
dimulai dengan identifikasi keadaan pembudidaya, mencakup kerentanan dan kekuatan yang ada dimasyarakat dan bagaimana cara membangun kekuatan
tersebut yang kemudian dapat digunakan sebagai modal atau aset, yang diproses
untuk menghasilkan
strategi Lovelihood,
sehingga dapat
direkomendasikan rencana pengelolaan kegiatan budidaya rumput laut. Namun sebelum dilakukan kajian lebih mendalam menggunakan
metode CLSA tersebut, maka perlu dikaji terlebih dahulu kondisi riil pembudidaya rumput laut berdasarkan pendapatan yang diperoleh dari
kegiatan budi daya rumput laut, yang merupakan mata pencaharian utama responden yang diteliti. Pendapatan tersebut diproyeksikan terhadap upah
minimum regional UMR yang berlaku di Provinsi Sulawesi Tenggara dan luas lahan yang dimiliki oleh masing-masing pembudidaya Gambar 13. Kajian ini
dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar perbedaan pendapatan dari pembudidaya rumput laut dengan pendapatan masyarakat lain secara umum
berdasarkan UMR. Asumsi yang digunakan yaitu bila pendapatan pembudidaya rumput laut lebih besar dari UMR, maka ada keberlanjutan mata
pencaharian pembudidaya di masa mendatang.
500000 1000000
1500000 2000000
2500000
0,00 0,20
0,40 0,60
0,80 1,00
1,20
Luas Lahan Budidaya ha
P e
n d
a p
a ta
n R
p b
u la
n
Pendapatan Rpbln UMR Rpbln
Power Pendapatan Rpbln
Gambar 13 Sebaran pendapatan pembudidaya rumput laut di wilayah GPK terhadap luas lahan dan UMR Provinsi Sulawesi Tenggara.
Dari grafik di atas menunjukkan adanya tren pendapatan responden yang mempunyai pendapatan di atas UMR yang berlaku di Provinsi Sulawesi
Tenggara, tergantung pada luas lahan budi daya yang dimiliki oleh pembudidaya. Upah minimum regional yang ditetapkan berdasarkan PERDA
Provinsi Sulawesi Tenggara No. 730 Tahun 2008 tentang Penetapan Upah Minimum Provinsi dan Upah Minimum Sektoral Provinsi Sulawesi Tenggara,
ditetapkan sebesar Rp 700.000,- per bulan. UMR yang ditetapkan tersebut telah mengacu pada standar pemenuhan kebutuhan hidup layak KHL di
wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara. Bila dikaitkan dengan grafik di atas, maka dapat dikatakan tidak ada keberlanjutan matapencaharian pembudidaya di
wilayah GPK, bila luas lahan yang dimiliki di bawah 0,5 ha. Sehingga bila dibandingkan dengan UMR, agar pembudidaya mampu memenuhi kebutuhan
hidupnya secara layak dari kegiatan budi daya rumput laut yang diusahakannya, maka pembudidaya harus memiliki luas lahan budi daya di
atas 0,5 ha per pembudidaya. Dari fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa pada beberapa
pembudidaya, pendapatan yang diperoleh pembudidaya rumput laut masih kurang. Kurangnya pendapatan pembudidaya rumput laut akan mengancam
keberlanjutan matapencaharian mereka yang bersumber dari kegiatan budi daya rumput laut. Masalah ini perlu mendapat perhatian guna menjamin
kegiatan usaha pembudidaya dimasa mendatang. Bila dilihat dari sebaran lokasi budi daya, siklus tanam, maka dapat ditemukan beberapa penyebab
kurangnya pendapatan pembudidaya rumput laut. Sebab yang utama adalah kegiatan budi daya yang dilakukan pada lokasi-lokasi yang tidak
memungkinkan bagi mereka untuk dapat berproduksi pada setiap musim pada lokasi yang sesuai untuk budi daya. Sebagai contoh, pembudidaya
yang melakukan kegiatan pada wilayah bagian timur Pulau Kaledupa penduduk Desa Darawa, hanya dapat berproduksi dan menghasilkan rumput
laut pada musim timur dan musim pancaroba saja, sedangkan pada musim barat tidak berproduksi. Pembudidaya rumput laut tidak dapat melakukan
kegiatan budi daya dan menghasilkan produksi rumput laut pada semua musim, dari hasil penelitian Mansyur 2009 menunjukkan bahwa kegiatan budi
daya rumput laut akan memberikan hasil maksimal, berupa produksi yang tinggi dan dapat berproduksi sepanjang tahun pada tiga musim, jika lokasi
budi daya berada pada kawasan sangat sesuai untuk budi daya. Adanya indikasi ketidakberlanjutan matapencaharian yang dialami
pembudidaya rumput laut perlu dicarikan solusinya. Dimana salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah dengan menambah luas lahan yang dimiliki oleh
pembudidaya, sehingga biaya produksi yang harus dikeluarkan dapat tertutupi oleh penerimaan yang diperolehnya. Hal ini memungkinkan sebab dari segi
potensi dan peluang pasar masih sangat menjanjikan untuk dikembangkan.
-5000000 5000000
10000000 15000000
20000000 25000000
30000000
10 20
30 40
50
Pembudidaya Rumput Laut P
e n
d a
p a
ta n
B ia
y a
R p
Pendapatan Total Rp Biaya Total Rp
Poly. Pendapatan Total Rp Poly. Biaya Total Rp
Hal ini dilakukan dengan alasan bahwa dalam pembangunan yang berkelanjutan, harus ada jaminan kesejahteraan ekonomi bagi semua pihak,
terutama pelaku pembangunan pembudidaya rumput laut. Selain itu, hal menarik yang perlu dikaji dan mendapat perhatian dalam
pengelolaan sumberdaya di wilayah GPK untuk kegiatan budi daya rumput laut adalah mengenai pola pengeluaran pembudidaya rumput laut untuk kegiatan
usahanya Gambar 14. Kajian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah pendapatan yang diperoleh dari kegiatan budi daya rumput laut lebih besar
dari biaya yang harus dikeluarkan untuk kegiatan budi daya. Pola pendapatan dan pengeluaran serta perbandingan antara pendapatan dan pengeluaran
dapat diidentifikasi. Asumsi yang digunakan yaitu jika pendapatan pembudidaya lebih besar dari biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan budi
daya, maka kegiatan budi daya rumput laut layak dikembangkan, sebab secara ekonomi kegiatan ini dapat memberi keuntungan bagi pembudidaya.
Gambar 14 Sebaran pendapatan pembudidaya rumput laut terhadap pengeluaran usaha budi daya rumput laut di wilayah GPK.
Dari grafik di atas, menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan pembudidaya berada di atas biaya yang harus dikeluarkan untuk kegiatan budi
daya. Biaya yang diperhitungkan dalam penelitian ini mencakup biaya tetap dan biaya variabel, yaitu biaya sarana produksi seperti bibit, tali, biaya tenaga
kerja dan biaya operasional. Dari hasil tersebut mengindikasikan bahwa
kegiatan budi daya rumput laut secara ekonomi layak dikembangkan, sebab masih memberikan keuntungan pada pembudidaya rumput laut. Namun bila
dikaitkan dengan Gambar 12, ternyata pendapatan yang diperoleh pembudidaya masih lebih rendah dari UMR yang berlaku di wilayah Provinsi
Sulawesi Tenggara. Berdasarkan kondisi tersebut, diperlukan upaya untuk meningkatkan
pendapatan pembudidaya dimasa mendatang. Peningkatan pendapatan pembudidaya dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain:
a pembudidaya melakukan kegiatan budi daya hanya pada lokasi-lokasi sangat sesuai untuk kegiatan budi daya, agar produksi rumput laut dapat
dihasilkan pada semua musim musim barat, musim timur dan musim pancaroba; b luas lahan yang diusahakan oleh pembudidaya, agar
mencapai skala ekonomi dan menguntungkan pembudidaya, maka setiap pembudidaya harus memiliki lahan minimal seluas 0,5 hektar; c untuk
mengurangi biaya produksi, khususnya biaya untuk pembelian bibit, maka pembudidaya sebaiknya bekerjasama dengan pembudidaya di lokasi lain
untuk melakukan barter bibit. Mekanisme yang dilakukan adalah pada musim timur, lokasi budi daya yang berada di wilayah barat menjadi penyedia bibit
bagi pembudidaya di wilayah timur, sebaliknya pada musim barat, lokasi budi daya yang berada pada wilayah timur menjadi penyedia bibit bagi
pembudidaya di wilayah barat. Kegiatan barter yang dilakukan tersebut dapat mengurangi biaya yang dialokasikan untuk pembelian bibit. Mekanisme ini
dapat dilaksanakan sebab pada musim barat, lokasi budidaya yang terletak di wilayah timur, rumput laut yang dibudidayaakan tidak dapat bertahan sampai
tahap produksi hanya dapat digunakan sebagai bibit, demikian pula sebaliknya pada musim timur, lokasi budidaya yang terletak di wilayah barat
hanya dapat menghasilkan bibit, sebab bila dipertahankan sampai masa produksi, rumput laut yang dibudidayakan terserang penyakit, dan banyak
yang mati. Berdasarkan kondisi riil pembudidaya yang ada di wilayah GPK, dapat
disusun rencana kegiatan pengelolaan budi daya rumput laut yang akan dilakukan di wilayah GPK. Penyusunan rencana kegiatan dilakukan dengan
menggunakan metode Coastal Livelihood System Analysis CLSA. Penggunaan CLSA dimulai dengan mengidentifikasi kerentanan yang ada di
wilayah GPK. Kemudian mengidentifikasi aset livelihood yang dapat digunakan
oleh pembudidaya untuk memperoleh dan meningkatkan pendapatannya. Selanjutnya, dari kondisi kerentanan yang menjadi faktor pembatas kendala
dan aset livelihood yang menjadi modal, diproses dan disusun strategi livelihood, sehingga diperoleh hasil livelihood berupa rencana pengelolaan
kegiatan budi daya rumput laut yang dapat dikembangkan di wilayah GPK. Tahapan pertama dalam metode CLSA adalah melakukan identifikasi
kondisi rentan yang terdapat di lingkungan masyarakat beserta faktor-faktor yang memberikan kontribusi pada kerentanan. Hal ini penting karena akan
berdampak pada kelangsungan matapencaharian dan kehidupan masyarakat. Berdasarkan hasil identifikasi, maka dapat diuraikan kondisi rentan yang ada di
wilayah GPK beserta faktor-faktor yang memberikan kontribusi pada kerentanan tersebut Tabel 15. Kondisi rentan yang mempengaruhi kegiatan
budi daya rumput laut berasal dari luar, dapat berupa tekanan dan goncangan dan musim yang menjadi faktor pembatas bagi pembudidaya dalam
mengembangkan usahanya.
Tabel 15 Faktor-faktor yang memberikan kontribusi pada kondisi kerentanan di wilayah GPK
Tekanan Goncangan
Musim
- Meningkatnya jumlah penduduk yang
menimbulkan tekanan pada sumberdaya PPK
- Berkurangnya stok sumberdaya laut
- Meningkatnya angka kemiskinan
- Menurunnya permintaan pasar
- Meningkatnya degradasi lingkungan hilangnya
ekosistem mangrove, terumbu karang,
hilangnya keanekaragaman hayati,
hancurnya habitat - Adanya konflik
pemanfaatan sumberdaya
- Pemanfaatan sumberdaya laut
menggunakan cara-cara destruktif
- Dampak dari krisis global - Adanya bencana alam
berupa angin topan yang menyebabkan kerusakan
pada rumput laut yang dibudidayakan
- Adanya perubahan musim yang
mempengaruhi kualitas dan kuantitas
sumberdaya laut sehingga pembudidaya
tidak dapat berproduksi sepanjang tahun
- Adanya musim penyakit yang
menyerang komoditas rumput laut yang
dibudidayakan
- Adanya musim permintaan jenis
rumput laut tertentu - Adanya musim dimana
banyak tenaga kerja upahan
Sumber: Modifikasi dari Campbell, 1999
Sumberdaya pesisir dan PPK yang relatif kaya sering menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dan populasi penduduknya padat. Namun, sebagian
besar penduduknya relatif miskin dan kemiskinan tersebut memicu tekanan terhadap sumberdaya pesisir dan PPK yang menjadi sumber penghidupannya.
Apabila diabaikan, hal itu akan berimplikasi pada meningkatnya kerusakan ekosistem pesisir dan PPK. Selain itu masih terdapat kecenderungan bahwa
industrialisasi dan pembangunan ekonomi di wilayah pesisir dan PPK sering kali memarginalkan penduduk setempat, sehingga menyebabkan kemiskinan
menjadi semakin akut. Oleh sebab itu diperlukan norma-norma pemberdayaan masyarakat guna meningkatkan taraf hidup masyarakat, sehingga tekanan
terhadap sumberdaya laut dapat diminimalisir. Wilayah pesisir dan PPK yang rentan terhadap perubahan perlu
dilindungi melalui pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan agar dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan penghidupan
masyarakat. Oleh sebab itu, diperlukan kebijakan dalam pengelolaannya sehingga dapat menyeimbangkan tingkat pemanfaatan sumberdaya pesisir
dan PPK untuk kepentingan ekonomi tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang melalui pengembangan kawasan konservasi dan
sempadan pantai. Dari faktor-faktor yang menyebabkan kerentanan di lingkungan
masyarakat, pemerintah dapat mengontrol melalui kebijakan yang dapat dijadikan aturan pedoman dalam pengelolaan sumberdaya laut, sehingga
akan mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh kondisi kerentanan tersebut. Selain itu, pelibatan masyarakat dan swasta secara positif adalah mutlak
dilakukan untuk menjamin keberlanjutan pengelolaan sumberdaya alam yang ada di wilayah GPK.
Setelah mengidentifikasi kerentanan, maka CLSA harus pula memahami apa yang menjadi kekuatan yang dimiliki oleh masyarakat
setempat, serta bagaimana cara membangun dan meningkatkan kekuatan tersebut. Kemudian CLSA merujuk pada kekuatan itu untuk digunakan sebagai
modal aset dalam pengelolaan sumberdaya alam. Terdapat lima tipe modal yang menjadi aset dalam pengelolaan sumberdaya laut yaitu: modal manusia,
sosial budaya, sumberdaya, fisik dan finansial. Adapun konsep CLSA yang dimodifikasi dari Campbell 1999 dan Adrianto 2005 dapat dilihat pada Tabel
16 berikut ini.
Tabel 16 Metode Coastal Livelihood System Analysis CLSA
Aset Livelihood
Livelihood Strategi
Modal Sumberdaya:
- Kualitas perairan fisik, kimia dan biologi
- Sumberdaya perikanan dan kelautan - Ekosistem pesisir terumbu karang,
mangrove dan lamun - Potensi sumberdaya alam lainnya
seperti lahan pertanian, kebun dan hutan
Sumberdaya:
- Mempertahankan dan meningkatkan kualitas perairan
- Mengoptimalkan hasil budi daya - Menjaga
kelestarian dan
rehabilitasi ekosistem pesisir
- Sebagai sumber mata pencaharian alternatif dan untuk pemenuhan kebutuhan hidup
Modal Sosial Budaya:
- Kelompok masyarakat - Hubungan
antar masyarakat
dan kelompok
- Kekeluargaan
Sosial Budaya:
- Menjaga hubungan yang baik antar kelompok masyarakat
- Memperluas jaringan perdagangan - Menciptakan hubungan yang didasarkan
pada kekeluargaan
Modal Fisik:
- Pelabuhan dan transportasi - Pasar
- Energi - Pengolahan penanganan pasca panen
- Teknologi budi daya sistem dan
manajemen budi daya
Fisik:
- Peningkatan fasilitas dan infrastruktur penunjang sektor perikanan dan kelautan
- Investasi dibidang pengolahan sumberdaya perikanan dan kelautan
- Akses terhadap pasar dan informasi
teknologi budi daya
Modal Manusia:
- Keahlian dan keterampilan - Pendidikan dan kesehatan
Manusia:
- Peningkatan keahlian dan keterampilan melalui pelatihan dalam hal kemampuan
teknik budi
daya, pengolahan
dan manajemen kredit
- Pemerintah memberi
kebijakan untuk
peningkatan pendidikan dan kesehatan
Modal Finansial:
- Ketersediaan kredit - Tabungan dan asuransi
Finansial:
- Penguatan modal usaha oleh pemerintah dan dunia perbankan
Sumber: Modifikasi dari Campbell 1999 dan Adrianto 2005
Berdasarkan konsep CLSA, kemudian disesuaikan dengan kondisi yang ada di wilayah GPK, sehingga dapat dijabarkan suatu formula
pengelolaan sumberdaya alam untuk kegiatan budi daya rumput laut bagi keberlanjutan mata pencaharian masyarakat di Gugus Pulau Kaledupa, seperti
diuraikan dalam Tabel 17. Kegiatan budi daya rumput laut yang ada di Gugus Pulau Kaledupa,
pengelolaanya harus memperhitungkan seluruh aspek yang terkait sehingga keberlanjutan sumberdaya dan ekosistem yang melingkupinya dapat tetap
terjaga. Aspek tersebut antara lain aspek ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan sumberdaya manusia.
Tabel 17 Rencana pengelolaan kawasan budi daya rumput laut di wilayah GPK
Aset Rencana Pengelolaan
Pelaksana
Modal Sumberdaya Penataan kawasan budi daya laut
Menjaga keberlanjutan
sumberdaya pesisir
Peningkatan kualitas rumput laut Pemerintah,
swasta dan masyarakat
Modal Sosial Memperkuat kelembagaan sosial dan
ekonomi seperti koperasi pembudidaya dan kelompok pembudidaya
Membuat aturan yang dapat ditaati bersama
Pemerintah, swasta dan
masyarakat
Modal Fisik Pembangunan infrastruktur
Akses pasar Pemerintah
dan swasta Modal Finansial
Penguatan modal
usaha melalui
pemberian kredit Membentuk lembaga keuangan mikro dan
lembaga penjamin kredit Pemerintah,
swasta dan masyarakat
Sumber: Diolah dari data primer, 2009
Dari matriks rencana pengelolaan kawasan budidaya rumput laut yang telah dikemukakan di atas berdasarkan pada aset yang dimiliki oleh
masyarakat, maka dapat diuraikan bentuk-bentuk kegiatan yang dapat dilakukan di Gugus Pulau Kaledupa, yaitu:
1 Penataan Kawasan Budi Daya Laut
Pemanfaatan lahan di wilayah pesisir digunakan untuk berbagai aktivitas seperti perikanan tangkap, perikanan budi daya, daerah perlindungan,
pemukiman, pariwisata, pelabuhan dan industri. Setiap aktivitas tersebut membutuhkan ruang, sehingga diperlukan kebijakan penataan ruang agar
tidak terjadi konflik dalam pemanfaatan ruang untuk berbagai aktivitas tersebut. Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah yaitu dengan
penentuan zona dari masing-masing kegiatan. Wilayah pesisir di Gugus Pulau Kaledupa memiliki garis pantai
sepanjang 109,6 km, dan terdapat berbagai aktivitas masyarakat dalam memanfaatkan kawasan ini. Berbagai aktivitas seperti perikanan tangkap, budi
daya rumput laut, pariwisata, pemukiman penduduk, lalu lintas pelayaran dan pelabuhan. Berbagai kegiatan tersebut perlu menjadi perhatian terutama
dalam hal penataan ruangnya. Untuk mewujudkan suatu rencana tata ruang yang dapat diterapkan
maka diperlukan
pelibatan masyarakat
dan stakeholders
dalam penyusunannya. Hal ini dilakukan agar dalam pelaksanaannya tidak ada ada
pihak yang merasa dirugikan, sehingga setiap kegiatan dapat berjalan dengan baik, dan konflik pemanfaatan dapat dihindari.
Kegiatan budi daya laut merupakan salah satu kegiatan yang memanfaatkan kawasan pesisir khususnya perairan pantai. Tidak semua
perairan pantai yang ada di wilayah pesisir dapat dimanfaatkan sebagai kawasan budi daya laut. Untuk budi daya rumput laut perlu diperhatikan
beberapa persyaratan berikut: a tipe substrat yang paling baik bagi pertumbuhan rumput laut adalah campuran pasir, karang dan potongan atau
pecahan karang, yang menunjukkan bahwa perairan dilalui oleh arus yang sesuai bagi pertumbuhan rumput laut, sedangkan yang berpengaruh terhadap
penyebarannya adalah sifat fisika substrat, yaitu tingkat kekerasan dan kehalusannya, b gerakan air ombak dan arus, merupakan salah satu
kebutuhan untuk penyebaran stadia reproduksi dari persporaan rumput laut, pelekatan dan pertumbuhannya, c salinitas atau kadar garam air laut sangat
menentukan penyebaran dan keberadaan rumput laut Soerjodinoto 1969 diacu dalam Sulistijo 1996, d temperatur atau suhu air merupakan faktor
sekunder bagi kehidupan rumput laut dan fluktuasi yang tinggi dapat terhindar karena adanya water mixing, e cahaya, baik mutu maupun kuantitasnya
berpengaruh terhadap produksi spora dan pertumbuhannya. Pembentukan spora dan pembelahan sel dirangsang oleh cahaya merah berintensitas tinggi,
dan pada perairan yang jernih, rumput laut dapat tumbuh hingga kedalaman 10–30 meter, f bintang laut tertentu seperti moluska limpet dan Litorina dan
ikan dapat memakan spora dan menghambat pertumbuhan rumput laut muda Soerjodinoto 1969; Mubarak 1981 diacu dalam Sulistijo 1996. Selain
persyaratan khusus di atas, diperlukan persyaratan umum lahan yang akan diusahakan untuk kegiatan budi daya laut seperti lokasi harus terlindung dari
hempasan ombak dan angin yang kuat, mudah dijangkau, dan jauh dari pengaruh pencemaran perairan.
Kebutuhan ruang untuk budi daya laut mengacu pada Aji dan Murdjani 1986; Indriani dan Sumiarsih 1999; dan Anggadiredja dan Zathika 2006,
bahwa luasan satu unit budidaya rumput laut dengan metode dekat dasar sebesar 100 m
2
, metode rakit sebesar 12,5 m
2
, dan metode long line sebesar 150 m
2
.
Berdasarkan data analisis spasial hasil penelitian Manafi 2009 dengan menggunakan pemetaan citra landsat diperoleh luas perairan di
Gugus Pulau Kaledupa sebesar 12.153,27 ha atau 121.532.750 m
2
. Dari hasil pengolahan data dan hasil analisis kesesuaian diperoleh luas wilayah yang
sesuai untuk budi daya laut sebesar 7.686,75 ha atau 63,25 atau 76.867.540 m
2
, sesuai bersyarat seluas 3.355,21 ha atau 27,61, dan tidak sesuai seluas 1.111,31 ha atau 9,14.
Selain luasan areal budi daya yang diperhitungkan berdasarkan kesesuaian dan daya dukung lingkungan, beberapa hal penting lainnya yang
perlu pula menjadi perhatian dalam penataan kawasan budi daya laut, adalah:
a. Pengaturan jalur pelayaran nelayan tangkap tradisional
Lokasi budi daya rumput laut membutuhkan kondisi lingkungan perairan yang sesuai dan aksesibilitasnya mudah terjangkau. Namun lokasi
tersebut dapat pula merupakan daerah lalulintas pelayaran nelayan tangkap, khususnya nelayan tangkap tradisional yang banyak terdapat di Gugus Pulau
Kaledupa. Pengaturan
dilakukan untuk
menghindari terjadinya
konflik pemanfaatan antara pembudidaya rumput laut dengan nelayan tangkap
khususnya nelayan tangkap tradisional yang beroperasi di Gugus Pulau Kaledupa. Beberapa kasus yang terjadi seperti: a kerusakan rumput laut
yang dibudidayakan atau kerusakan tali-tali pengikat rumput laut sebagai akibat wilayah budidayanya dilewati oleh kapal-kapal nelayan tangkap, dan
b pencemaran akibat limbah bahan bakar yang digunakan oleh kapal nelayan. Dengan adanya pengaturan jalur pelayaran, kasus seperti di atas
tidak akan terjadi lagi. Mengingat hal tersebut, selain penentuan lokasi budi daya yang sesuai,
diperlukan pula pengaturan jalur pelayaran bagi nelayan tangkap agar kedua kepentingan tersebut dapat terlaksana dengan baik. Pengaturan ini terutama
dilakukan pada wilayah yang sesuai untuk budi daya rumput laut dan telah dimanfaatkan sebagai lokasi budi daya. Pengaturan tersebut, tidak hanya
dilakukan oleh pemerintah, tapi juga melibatkan masyarakat dan investor agar dalam pelaksanaan tidak terjadi konflik dan kebijakan yang dibuat dapat
segera tersosialisasikan.
b. Kawasan budi daya rumput laut terhindar dari aktivitas pelabuhan, pariwisata, dan pemukiman
Dalam perencanaan suatu kawasan budi daya laut, khususnya budi daya rumput laut harus memperhatikan pula aktivitas yang terdapat di
sekitarnya yaitu aktivitas pelabuhan, pariwisata dan aktivitas di wilayah pemukiman penduduk. Aktivitas di pelabuhan, baik kegiatan lalu lintas
pelayaran maupun kegiatan bongkar muat di pelabuhan perlu menjadi pertimbangan dalam perencanaan kawasan budi daya. Selain itu, wilayah
perairan yang digunakan sebagai lokasi budi daya oleh masyarakat setempat, juga merupakan lokasi untuk pariwisata, dan tempat penangkapan ikan serta
merupakan areal rehabilitasi karang dan lokasi penelitian laut yang dilakukan oleh Operation Wallacea Opwall. Demikian pula aktivitas di wilayah
pemukiman nelayan khususnya pemukiman yang terletak di wilayah pesisir atau pemukiman yang dibangun di daerah perairan dangkal seperti di Desa
Samabahari, Desa Lahoa dan Desa Mantigola perlu pula menjadi perhatian. Adanya berbagai aktivitas di wilayah perairan, menimbulkan dua konsekuensi
yang berbeda, yaitu: a tidak ada konflik di wilayah tersebut karena pemanfaatan yang ada saling mendukung atau b terjadi konflik di wilayah
tersebut karena pemanfaatannya saling bertentangan. Untuk menghindari konflik pemanfaatan di wilayah perairan, maka dalam penetapan kawasan budi
daya rumput laut, berbagai aktivitas tersebut perlu menjadi pertimbangan agar lokasi yang ditetapkan nantinya tidak mendapat pengaruh negatif dan tidak
saling bertentangan dengan aktivitas lain di sekitarnya. Dari hasil analisis potensi lahan perairan bagi kegiatan budi daya laut,
dan penentuan luas lokasi yang cocok untuk kegiatan budi daya, diharapkan dapat menjadi masukan dalam penetapan kawasan budi daya rumput laut
sebagai salah satu bagian dalam penataan wilayah pesisir, dan bahkan dimasukkan ke dalam rencana tata ruang wilayah Kabupaten Wakatobi.
Dengan adanya penataan kawasan wilayah pesisir yang didalamnya termasuk penetapan kawasan budi daya rumput laut, diharapkan tidak terjadi tumpang
tindih pemanfaatan kawasan di wilayah pesisir Gugus Pulau Kaledupa.
2 Menjaga Keberlanjutan Sumberdaya Pesisir
Sumberdaya alam merupakan salah satu modal dalam pembangunan yang mempunyai peran yang sangat penting. Pemanfaatan sumberdaya yang
tidak ramah lingkungan akan menimbulkan degradasi, untuk itu lingkungan
harus dijaga kelestariannya agar dapat mendukung kegiatan pemanfaatan. Dalam pengelolaan sumberdaya untuk kegiatan budi daya rumput laut, kualitas
perairan merupakan syarat penting yang perlu mendapat perhatian. Kegiatan manusia baik di darat maupun di laut, mempengaruhi kualitas lingkungan
terutama kualitas perairan. Aktivitas manusia menghasilkan sampah domestik dan limbah yang masuk ke wilayah perairan.
Mengacu pada Kepmen Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut, secara umum kualitas perairan di Gugus Pulau Kaledupa,
dari data penelitian Manafi yang dilakukan pada bulan Mei 2007 pada limabelas stasiun pengamatan, secara umum nilai kualitas perairan di Gugus
Pulau Kaledupa masih baik dan cocok sesuai untuk kegiatan budi daya laut maupun untuk kegiatan wisata pantai dan wisata bahari. Rataan hasil
pengukuran yang diperoleh meliputi DO sebesar 6,24 mgl, salinitas 34,9‰, Nitrat 0,00344 mgi, Fosfat 0,00506 mgl, BOD5 2,46 mgl, dan suhu 27,05 °C.
Walaupun secara umum, kualitas perairan masih mendukung untuk kegiatan budi daya rumput laut, tetapi untuk menjaga keberlanjutan usaha budi
daya rumput laut, perlu upaya untuk meningkatkan kualitas perairan menjadi lebih baik dimasa yang akan datang, dengan memperhatikan prinsip-prinsip
pengelolaan wilayah pesisir dan PPK, seperti yang tertuang dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Pengelolaan wilayah pesisir dan PPK harus berasaskan pada: keberlanjutan, konsistensi, keterpaduan, kepastian hukum, kemitraan,
pemerataan, peran
serta masyarakat,
keterbukaan, desentralisasi,
akuntabilitas dan
keadilan. Asas
keberlanjutan diterapkan
agar: a pemanfaatan sumberdaya tidak melebihi kemampuan regenerasi
sumberdaya hayati atau laju inovasi subtitusi sumberdaya nonhayati pesisir, b pemanfaatan sumberdaya saat ini tidak boleh mengorbankan kualitas dan
kuantitas kebutuhan generasi yang akan datang atas sumberdaya pesisir, dan c pemanfaatan sumberdaya yang belum diketahui dampaknya harus
dilakukan secara hati-hati dan didukung oleh penelitian ilmiah yang memadai. Asas konsistensi merupakan konsistensi dari berbagai instansi dan lapisan
pemerintahan, dari proses perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan untuk melaksanakan program pengelolaan wilayah pesisir dan
PPK yang telah diakreditasi.
Asas keterpaduan dikembangkan dengan: a mengintegrasikan kebijakan dengan perencanaan berbagai sektor pemerintahan secara
horizontal dan secara vertikal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dan
b mengintegrasikan
ekosistem laut
berdasarkan masukan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk membantu proses pengambilan putusan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan PPK. Asas
kepastian hukum diperlukan untuk menjamin kepastian hukum yang mengatur pengelolaan sumberdaya pesisir dan PPK secara jelas dan dapat dimengerti
dan ditaati oleh semua pemangku kepentingan, serta keputusan yang dibuat berdasarkan mekanisme atau cara yang dapat dipertanggungjawabkan dan
tidak memarjinalkan masyarakat pesisir dan PPK. Asas kemitraan merupakan kerja sama antar pihak yang berkepentingan berkaitan dengan pengelolaan
wilayah pesisir dan PPK. Selanjutnya asas pemerataan ditujukan pada manfaat ekonomi
sumberdaya pesisir dan PPK yang dapat dinikmati oleh sebagian besar anggota masyarakat. Asas peran serta masyarakat dimaksudkan: a agar
masyarakat pesisir dan PPK mempunyai peran dalam perencanaan, pelaksanaan, sampai tahap pengawasan dan pengendalian, b memiliki
informasi yang terbuka untuk mengetahui kebijaksanaan pemerintah dan mempunyai akses yang cukup untuk memanfaatkan sumberdaya pesisir dan
PPK, c menjamin adanya representasi suara masyarakat dalam keputusan tersebut, d memanfaatkan sumberdaya tersebut secara adil.
Asas keterbukaan dimaksudkan adanya keterbukaan bagi masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
pengelolaan wilayah pesisir dan PPK, dari tahap perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, sampai tahap pengawasan dengan tetap memperhatikan
perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara. Asas desentralisasi merupakan penyerahan wewenang pemerintahan,
dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dibidang pengelolaan wilayah pesisir dan
PPK. Asas akuntabilitas dimaksudkan bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan PPK dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Asas
keadilan merupakan asas yang berpegang pada kebenaran, tidak berat sebelah, tidak memihak, dan tidak sewenang-wenang dalam pemanfaatan
sumberdaya pesisir dan PPK.
Pengelolaan wilayah pesisir dan PPK dilaksanakan sesuai dengan asas-asas
dalam pengelolaan
sumberdaya dengan
tujuan untuk:
a melindungi,
mengonservasi, merehabilitasi,
memanfaatkan, dan
memperkaya sumberdaya pesisir dan PPK serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan, b menciptakan keharmonisan dan sinergi antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan PPK, c memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta
mendorong inisiatif masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan PPK agar tercapai keadilan, keseimbangan dan keberlanjutan, dan
d meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat melalui peran serta masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan PPK.
Adapun cara-cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas perairan sumberdaya pesisir dan PPK bagi kegiatan budi daya rumput laut
antara lain:
a. Memperhatikan daya dukung lingkungan perairan untuk kegiatan budidaya rumput laut
Pengembangan kegiatan budi daya rumput laut secara berkelanjutan harus disesuaikan dengan kapasitas daya dukung lingkungannya. Daya
dukung lingkungan berdasarkan kebutuhan ruang yang sesuai untuk budi daya laut diketahui sebesar 7.686,75 ha, dari wilayah perairan sebesar 12.153.275
ha atau 121,53 km
2
. Jika dari seluruh wilayah yang sesuai untuk budi daya laut tersebut digunakan untuk budi daya rumput laut, maka jumlah unit maksimal
yang dapat didukung adalah sebesar: a 768.675 unit untuk metode dekat dasar, b 6.149.403 unit untuk metode rakit dan c 512.450 unit untuk
metode long line. Akan tetapi, melihat banyaknya kepentingan dalam pemanfaatan kawasan pesisir selain kegiatan budi daya rumput laut, maka
lokasi yang dapat difungsikan untuk usaha budi daya laut maksimal 80 Soselisa 2006 dari luasan perairan yang sesuai atau berkisar sebesar
6.149,4 ha. Apabila seluruh wilayah tersebut digunakan untuk kegiatan budi daya rumput laut dengan metode tali panjang long line dengan luasan per
unit sebesar 150 m
2
, maka total jumlah unit yang dapat ditampung sebanyak 409.960 unit 80.
b. Melakukan kegiatan pemantauan kualitas perairan
Kegiatan budi daya laut dan berbagai aktivitas di daerah pesisir, akan menyebabkan penurunan kualitas perairan. Limbah yang dihasilkan baik dari
sampah domestik yang berasal dari pemukiman penduduk di sekitar wilayah pesisir maupun limbah yang berasal dari kapal-kapal yang melintas, akan
mencemari wilayah perairan. Agar kualitas perairan tetap terjaga dan dapat terus dimanfaatkan, diperlukan kegiatan pemantauan kualitas perairan.
Kegiatan ini merupakan wewenang dan tanggung jawab pemerintah setempat melalui Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Wakatobi dan Balai Taman
Nasional Laut Kepulauan Wakatobi. Agar kegiatan lebih efektif, pelibatan masyarakat setempat tetap diperlukan, terutama dalam hal kesadaran
masyarakat untuk tidak mencemari wilayah perairan dengan membuang sampah domestik ke laut.
Pemantauan kualitas perairan hendaknya dilakukan secara teratur minimal dua kali setahun yaitu pada musim kemarau dan musim hujan. Hal ini
diperlukan agar fluktuasi kualitas perairan dapat diketahui. Penentuan titik lokasi pengambilan sampel didasarkan pada kemungkinan sumber limbah,
lokasi budi daya dan keterwakilan ekosistem. Parameter kualitas air dan oseanografi yang akan diukur, berbeda-beda sesuai dengan kepentingan budi
daya. Namun secara umum, beberapa parameter kualitas air yang diukur adalah: salinitas, DO, kadar amoniak, nitrat, pH, suhu, kandungan amoniak
pada sedimen dan lumpur. Parameter oseanografi yang diukur adalah bagimana pola arus terutama kecepatan arus dan arah arus.
c. Mengelola dan mempertahankan kualitas ekosistem
Keberadaan ekosistem pesisir penting bagi keberadaan sumberdaya perikanan tangkap bagi nelayan. Diharapkan dengan adanya kegiatan budi
daya laut, tidak berdampak negatif bagi keberadaan ekosistem ini, baik berupa penurunan kuantitas maupun kualitas sumberdaya tersebut. Untuk itu dapat
dilakukan beberapa langkah pencegahan antara lain tidak melakukan kegiatan budi daya di atas hamparan ekosistem yang sehat, agar tidak terjadi
penurunan kualitas ekosistem dan berupaya meminimalisir limbah yang dihasilkan dari aktivitas budi daya.
Di daerah pesisir Gugus Pulau Kaledupa ditemukan beberapa tipe ekosistem seperti ekosistem mangrove, padang lamun dan terumbu karang.
Masyarakat dan stakeholders harus berperan aktif dalam menjaga ketiga ekosistem tersebut agar tetap dapat menjalankan fungsinya dengan baik.
Peran serta tersebut dilakukan baik dalam hal mejaga kelestarian ekosistem, maupun merehabilitasi ekosistem yang telah rusak.
d. Melakukan pengaturan areal pemukiman dan sistem sanitasinya
Pemukiman penduduk yang dibangun dekat wilayah pesisir atau di wilayah perairan, umumnya tidak memperhitungkan dampak negatif yang
ditimbulkan. Kondisi tersebut terjadi karena umumnya nelayan membangun pemukiman yang memudahkan mereka dalam hal aksesibilitas dan mobilitas
mereka ke wilayah perairan. Untuk mengurangi dampak negatif dapat dilakukan beberapa cara
yaitu: a mengembangkan pembangunan pemukiman kearah daratan, b pemukiman yang letaknya dekat pantai, depan rumah menghadap ke
pantai, c membuat dan mempertahankan jalur hijau, yaitu mempertahankan hutan mangrove di wilayah pesisir dengan ketebalan 250–300 meter untuk
mencegah terjadinya abrasi pantai dan melindungi pemukiman dari ancaman badai dan air pasang yang tinggi, d pemerintah mensosialisasikan mengenai
bentuk bangunan rumah yang sehat dengan sanitasi yang memadai, dan e mengembangkan sistem septik tank pada setiap rumah penduduk, agar
tidak menjadikan laut sebagai tempat pembuangan limbah, dan jarak septik tank tersebut sekitar 5–10 meter dari sumur.
3 Meningkatkan kualitas rumput laut
Hasil panen budi daya rumput laut baik kualitas maupun kuantitasnya sangat ditentukan dari bibit yang digunakan. Oleh karena itu, penyediaan bibit
dari alam maupun dari hasil budi daya sangat penting dan perlu direncanakan dengan baik, menyangkut sumber perolehan, cara penyimpanan, dan
pengangkutan bibit yang ditujukan untuk memperoleh bibit yang bermutu baik dan pasokannya dalam jumlah mencukupi kebutuhan pembudidaya. Sebab
jika menggunakan bibit yang kualitasnya buruk, maka produksi rumput laut tidak maksimal dan harga jual rumput laut kualitas rendah, akan murah. Hal ini
berimplikasi pada rendahnya pendapatan pembudidaya.
Bibit yang diperoleh berdasarkan sifat reproduksi vegetatif atau yang dipilih adalah bagian ujung tanaman jaringan muda, pada umumnya
akan memberikan hasil pertumbuhan yang lebih baik dan hasil panenan dengan kandungan keraginan yang lebih tinggi, dibandingkan dengan bibit dari
sisa hasil panen atau tanaman tua yang ditinggalkan di tempat budidayanya Indriani dan Sumiarsih 1999.
Sebagai bahan baku pengolahan, rumput laut harus dipanen pada umur yang tepat. Euchema cottonii dipanen setelah berumur 1,5 bulan 45
hari atau lebih Yunizal et.al. 2000. Menurut Mukti 1987 pemanenan dapat dilakukan setelah 6 minggu yaitu saat tanaman dianggap cukup matang
dengan kandungan polisakarida maksimum. Sedangkan menurut Deptan 1995 tingkat pertumbuhan rumput laut mencapai puncak pada saat beratnya
mencapai ± 600 grumpun. Kandungan keraginannya mencapai puncak tertinggi pada umur 6–8 minggu dan dipanen dengan cara memotong bagian
ujung tanaman yang sedang tumbuh. Berdasarkan hasil penelitian Iksan 2005, semakin tinggi pertumbuhan bobot basah maka semakin tinggi kadar
keraginan sampai batas tertentu atau minggu keempat, kemudian menurun seiiring dengan kenaikan bobot basah. Sedangkan menurut penelitian
Mansyur 2008, umur panen yang memiliki bobot tertinggi di wilayah GPK adalah 49 hari, sedangkan tingkat keraginan tertinggi berumur 42 hari. Agar
diperoleh rumput laut yang berkualitas, dengan kandungan keraginan tertinggi maka umur panen mutlak diperhatikan oleh pembudidaya.
4 Memperkuat kelembagaan sosial dan ekonomi masyarakat
Kelembagaan sosial dan ekonomi masyarakat seperti kelompok pembudidaya dan koperasi pembudidaya yang telah ada dipertahankan dan
diperkuat kedudukannya. Pada wilayah-wilayah yang belum ada, dibentuk kelompok pembudidaya dan koperasi pembudidaya. Keberadaan kelompok-
kelompok tersebut dapat meningkatkan posisi tawar mereka terhadap pemerintah dan swasta, serta memudahkan dalam akses terhadap modal.
Penguatan kelembagaan setempat dilakukan dengan cara memberikan status hukum, yaitu penguatan kelompok pembudidaya menjadi koperasi
pembudidaya. Dengan perubahan status tersebut diharapkan pembudidaya dapat mengakses modal dari perbankan dan lembaga permodalan lainnya
guna menambah modal bagi peningkatan dan keberlanjutan usaha para anggotanya.
5 Membuat aturan yang dapat ditaati bersama
Selama ini di Gugus Pulau Kaledupa, belum ada aturan yang bersifat komprehensif yang mengatur mengenai kegiatan budi daya rumput laut.
Padahal dalam suatu kegiatan pemanfaatan, agar tidak terjadi konflik, seharusnya ada aturan yang dibuat dan ditaati bersama. Aturan itu sebaiknya
mencakup lokasi budi daya, luasan budi daya, jumlah pembudidaya, pengaturan alur pelayaran, serta peraturan lain yang dianggap perlu.
Pembuatan aturan melibatkan masyarakat setempat, terutama kelompok pembudidaya rumput laut, agar aspirasi mereka dapat ditampung dan
keputusan yang dihasilkan diketahui dan dapat ditaati bersama. Selain penetapan aturan, perlu disertai penetapan sanksi bagi yang melanggar
aturan, agar masyarakat dapat disiplin dalam menjalankan aturan yang telah ditetapkan bersama.
Aturan yang ada di Gugus Pulau Kaledupa baru berupa aturan mengenai penetapan jalur pelayaran, baik jalur pelayaran umum, jalur
pelayaran oleh nelayan tangkap, maupun jalur pembudidaya dari lokasi dan ke lokasi budidayanya.
Pengaturan mengenai lokasi budi daya rumput laut, belum ada ketetapannya. Pemilihan lokasi budi daya yang selama ini dilaksanakan,
berdasarkan keinginan dan pengalaman masyarakat setempat. Lokasi dipilih untuk kegiatan budi daya rumput laut sesuai keinginan pembudidaya itu
sendiri. Padahal seharusnya terlebih dahulu ditetapkan lokasi budi daya yang sesuai untuk kegiatan budi daya rumput laut, kemudian pembudidaya dapat
melakukan kegiatan budi daya di lokasi tersebut. Penentuan luas lokasi budi daya yang diusahakan oleh pembudidaya,
ditentukan berdasarkan modal yang dimilikinya. Pembudidaya yang memiliki modal besar, mempunyai lokasi yang luas, sedangkan yang modalnya sedikit,
lokasi budidayanya juga sempit. Sementara lokasi budi daya yang sesuai bagi budi daya rumput laut hanya seluas 7.686,75 ha, terlebih lagi bila dari luasan
tersebut yang optimum dapat dimanfaatkan hanya 80 atau seluas 6.149,4 ha. Apabila pembudidaya terus bertambah, maka perlu aturan mengenai
luasan lokasi budi daya untuk setiap pembudidaya, agar konflik perebutan
lokasi dapat dihindari. Di Gugus Pulau Kaledupa, pembudidaya memiliki 50–250 unit per orang, atau rata-rata sebanyak 150 unit. Berdasarkan luas
satu unit metode long line sebesar 150 m
2
, jika diasumsikan setiap pembudidaya mengusahakan 150 unit, maka luasan maksimum setiap
pembudidaya sebesar 22.500 m
2
. Hal lain yang perlu pula ditetapkan adalah jumlah pembudidaya.
Mengingat luasan lokasi budi daya yang terbatas, tentu daya tampung jumlah pembudidaya juga terbatas. Sehingga perlu ditetapkan jumlah maksimum
pembudidaya rumput laut di Gugus Pulau Kaledupa. Jika setiap pembudidaya mengusahakan sebanyak 150 unit, dengan luasan maksimum 22.500 m
2
pembudidaya, maka jumlah maksimum pembudidaya yang dapat di tampung di Gugus Pulau Kaledupa sebanyak 2.733 pembudidaya.
6 Pembangunan infrastruktur
Infrastruktur merupakan modal yang diperlukan untuk mendukung kegiatan usaha budi daya, khususnya budi daya rumput laut. Keberadaan
infrastruktur diperlukan terutama terkait masalah penyediaan sarana produksi. Kebutuhan sarana produksi tersebut akan meningkat seiring dengan
pengembangan kawasan budi daya. Selama ini sarana produksi dibeli dari Kota Bau-Bau atau Kota Kendari,
yang letaknya jauh dari Gugus Pulau Kaledupa. Jarak yang jauh dari sarana produksi dan ketersediaan sarana produksi yang terbatas akan meningkatkan
biaya produksi. Akibat peningkatan biaya produksi, maka pendapatan pembudidaya
berkurang. Hal ini menyebabkan penyisihan sebagian keuntungan untuk modal investasi dimasa yang akan datang berkurang. Hal ini yang menjadi penyebab
lambannya pertumbuhan kegiatan budi daya rumput laut di Gugus Pulau Kaledupa sejak tahun 2000.
7 Akses pasar
Pemilihan komoditas yang akan dibudidayakan, perlu didasarkan pada target pasar dimana komoditas tersebut akan dipasarkan. Pemilihan budi daya
rumput laut sebagai komoditi unggulan merupakan langkah yang tepat. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa permintaan akan rumput laut terus
meningkat. Rumput laut sebagai bahan baku industri makanan, farmasi dan
kosmetik, tetap diminati. Selain itu, harga jual rumput laut kering walaupun bersifat fluktuatif, tetap menunjukkan tren meningkat.
Namun yang menjadi kendala di lokasi penelitian adalah keberadaan tengkulak dan pedagang pengumpul lokal, yang membeli rumput laut
pembudidaya di wilayah setempat dengan harga lebih murah. Padahal jika pembudidya langsung menjual kepedagang pengumpul di Kota Bau-Bau
ibukota Kabupaten Buton atau ke Kota Kendari ibukota provinsi Sulawesi Tenggara akan dapat menjual dengan harga yang lebih mahal. Rumput laut
yang diproduksi di Gugus Pulau Kaledupa wilayah penjualannya selain ke Kota Bau-Bau dan Kendari, telah menjangkau hingga ke Makassar dan Surabaya.
8 Penguatan modal usaha melalui pemberian kredit
Masyarakat nelayan dan pembudidaya dikenal sebagai masyarakat yang memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah. Hal ini tidak akan terjadi bila
nelayan dan pembudidaya diberi akses terhadap modal usaha untuk pemanfaatan sumberdaya pesisir dan kelautan. Modal diperlukan untuk
pembelian sarana produksi dan perluasan usahanya. Untuk kegiatan budi daya rumput laut sistem tali panjang long line,
dalam satu siklus panen diperlukan modal investasi awal sebesar Rp 13.000.000,- dan biaya produksi sebesar Rp 2.886.201,- pada satu siklus
panen untuk menghasilkan produksi rata-rata 11.917,862 kg rumput laut, dengan keuntungan rata-rata mencapai Rp 3.575.710,- per musim panen.
Keuntungan yang diperoleh bersifat fluktuatif dan harga yang ditetapkan di lokasi penelitian selalu lebih rendah dari harga rumput laut yang
berlaku tahun itu di daerah tujuan pemasaran. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab belum optimalnya pemanfaatan sumberdaya pesisir dan
kelautan di Gugus Pulau Kaledupa untuk kegiatan budi daya rumput laut. Selain itu, masalah lain yang dihadapi adalah kurangnya akses pembudidaya
terhadap modal. Selama ini masyarakat hanya mengandalkan modal dari rentenir dan sebagian kecil dari modal swadaya. Padahal pembudidaya
memiliki keinginan kuat untuk memperluas skala usahanya, mengingat mereka telah menemukan teknik budi daya yang tepat dan disesuaikan dengan kondisi
perairan setempat, serta pembudidaya juga telah mampu menyiasati perubahan musim yang berpengaruh pada siklus budi daya mereka.
Agar masyarakat dapat turut serta dalam kegiatan budi daya rumput laut, beberapa langkah yang dapat dilakukan selain modal perbankan, adalah
menciptakan iklim investasi yang baik bagi para investor, khususnya investor di daerah. Salah satu contoh pelibatan masyarakat lokal adalah dengan sistem
usaha budi daya laut yang sifatnya plasma, sehingga dimasa akan datang memungkinkan masyarakat mandiri dalam kegiatan usahanya.
9 Membentuk Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Penjamin Kredit
Aksesibilitas nelayan dan pembudidaya terhadap lembaga keuangan seperti perbankan masih sangat terbatas. Sehingga ketergantungan mereka
terhadap rentenir sangat tinggi. Untuk itu diperlukan peran pemerintah dalam membentuk lembaga keuangan mikro di pedesaan seperti Bank Perkreditan
Rakyat BPR, yang dapat memberi pinjaman kredit dan menjadi penjamin kredit bagi nelayan dan pembudidaya.
Peran pemerintah, baik pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara dan khususnya pemerintah daerah Kabupaten Wakatobi, sangat diperlukan
dengan membentuk Lembaga Penjamin Kredit serta mengoptimalkan dan mengkoordinir dana-dana revolving Revolving Fund, baik yang berasal dari
Anggaran Pembangunan
dan Belanja
Negara APBN,
Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah APBD provinsi atau kabupaten, juga
Dana Pengembangan Masyarakat Community Development Fund yang ada pada BUMN dan swasta besar. Jika dana-dana tersebut dapat dikumpulkan
dalam suatu lembaga dan dikelola serta dikoordinir oleh orang yang profesional, maka dapat membuka akses bagi nelayan dan pembudidaya yang
sulit mengakses Lembaga Keuangan dan Perbankan pada umumnya. Sehingga manfaat dana tersebut, dapat dirasakan oleh masyarakat.
Peran pemerintah sebagai fasilitator dari kelima aset sangat diperlukan dalam pengembangan masyarakat, khususnya pembudidaya rumput laut.
Sehingga hasil yang diharapkan melalui metode Coastal Livelihood System Analysis yaitu terciptanya matapencaharian yang berkelanjutan bagi
masyarakat di Gugus Pulau Kaledupa dapat terwujud, dengan didukung oleh faktor-faktor: a tata ruang wilayah pesisir dan laut yang sesuai, b kuatnya
kelembagaan masyarakat, c infrastruktur yang memadai, d peningkatan kualitas sumberdaya manusia, dan e penguatan modal masyarakat.
6.3 Keberlanjutan Kegiatan Wisata Bahari
Pengembangan wisata bahari mendapat perhatian yang serius dari Pemda Kabupaten Wakatobi, sektor ini telah ditetapkan sebagai sektor
unggulan bersama dengan perikanan laut. Pemda Wakatobi menunjukkan keseriusannya dengan menetapkan visi daerah yaitu: “terwujudnya surga
nyata bawah laut di jantung segitiga karang dunia”. Guna mendukung kegiatan wisata bahari dan menambah kunjungan wisatawan ke daerah ini, PEMDA
Wakatobi melakukan kegiatan promosi pariwisata, baik ditingkat nasional maupun internasional. Pariwisata di Kabupaten Wakatobi difokuskan pada
wisata bahari, wisata pantai dan wisata budaya. Kegiatan wisata bahari di Kabupaten Wakatobi melibatkan pihak
swasta dan masyarakat. Keterlibatan masyarakat di Gugus Pulau Kaledupa dalam kegiatan wisata bahari hanya terbatas pada beberapa pulau tertentu
saja. Lokasi utama yang dijadikan tempat wisata bahari dan wisata pantai terletak di Pulau Hoga, dan beberapa wilayah pesisir di pulau lain seperti
Pantai Peropa dan Pantai Sombano di Pulau Kaledupa serta Pantai Onembiha di Pulau Darawa. Kegiatan wisata bahari yang melibatkan masyarakat lokal
yaitu dalam hal penyediaan home stay ‘pondok-pondok’ bagi para wisatawan dan peneliti di Pulau Hoga, dan penyediaan kamar sebagai tempat penginapan
di Pulau Kaledupa. Home stay yang dibangun menggunakan bahan baku lokal dan menggunakan arsitektur tradisional, dengan penyediaan sarana
penunjang yang sangat sederhana yaitu tanpa listrik menggunakan lampu teplok, sehingga mencerminkan keasrian pulau tersebut.
Kunjungan wisatawan di Gugus Pulau Kaledupa bersifat fluktuatif, dan tidak berlangsung merata sepanjang tahun. Pada musim-musim tertentu yaitu
bulan Maret wisatawan dan peneliti banyak berkunjung. Jumlah kunjungan wisatawan dan peneliti mencapai puncaknya pada bulan Mei hingga Agustus
pada setiap tahunnya. Kegiatan wisata bahari yang ditetapkan sebagai sektor unggulan
Kabupaten Wakatobi, diharapkan dapat memberi dampak positif bagi pembangunan di daerah ini. Dampak positif yang diharapkan adalah
peningkatan sumbangan pendapatan asli daerah PAD dan peningkatan pendapatan masyarakat dari sektor pariwisata. Selain peningkatan
pendapatan dan sumbangan PAD, adanya kesinambungan dari kegiatan ini merupakan hal yang perlu pula mendapat perhatian. Pada batasan inilah
Wisatawan Ting kat perubahan
jumlah wisatawan
kualitas maksimum kawasan separuh dari nilai titik
jenuh kualitas kawasan Faktor ling kung an
Faktor modal
modal maksimum Modal Investasi
separuh dari nilai titik jenuh modal
Faktor wisatawan peng aruh jumlah wisatawan
daya tarik lokasi Lingkung an
Sub Model Wisatawan
penelitian ini dilakukan, dengan tujuan untuk mengetahui status keberlanjutan kegiatan wisata bahari di wilayah Gugus Pulau Kaledupa.
Keberlanjutan kegiatan wisata bahari di wilayah GPK dikaji dari dimensi ekonomi dan ekologi. Alat analisis yang digunakan adalah model minimal
wisata bahari yang diadaptasi dari a minimal model menurut Casagrandi dan Rinaldi 2002. Model ini dibangun dari tiga aspek utama yaitu wisatawan,
lingkungan dan modal. Analisis dimulai dari membangun model dinamis keberlanjutan wisata bahari. Untuk memudahkan dalam menganalisis, model
keberlanjutan wisata bahari dibagi ke dalam tiga sub model yaitu: sub model wisatawan tourism, sub model lingkungan environment, dan sub model
modal investasi capital. Berikut disajikan gambar sub model wisatawan di wilayah GPK.
Gambar 15 Sub model dinamis wisatawan pada analisis keberlanjutan wisata bahari di wilayah GPK.
Berdasarkan Gambar 15, terlihat bahwa jumlah wisatawan yang mengunjungi Gugus Pulau Kaledupa dipengaruhi oleh tingkat perubahan
jumlah wisatawan. Tingkat perubahan jumlah wisatawan dipengaruhi secara positif oleh: faktor lingkungan dan faktor modal. Sedangkan faktor wisatawan
itu sendiri dan nilai daya tarik lokasi lain selain di wilayah GPK yang menjadi alternatif untuk dikunjungi, memberikan pengaruh negatif terhadap tingkat
perubahan jumlah wisatawan. Pengaruh positif dan negatif inilah yang akan menentukan jumlah wisatawan yang berkunjung ke wilayah GPK pada tahun
Lingkungan
Peningkatan Kualitas Lingkungan
Fungsi Pertumbuhan Penurunan Kualitas Lingkungan
Laju Pertumbuhan
Daya Dukung Faktor Modal pada Lingkungan
Pengaruh Modal Faktor Turis pada Lingkungan
Pengaruh Turis Modal Investasi
Wisatawan Sub Model Lingkungan
selanjutnya. Faktor wisatawan dipengaruhi oleh jumlah wisatawan pada waktu sebelumnya Tahun 2007, yang juga akan memberi dampak negatif bagi
jumlah wisatawan yang mengunjungi wilayah GPK pada tahun berikutnya 2008. Faktor lingkungan dipengaruhi oleh luasan kawasan yang dapat
dinikmati oleh wisatawan. Lingkungan pada wilayah GPK ditandai dengan luasan terumbu karang yang berada dalam kondisi baik yang dapat dinikmati
keindahannya, juga dipengaruhi oleh kualitas maksimum kawasan lingkungan, dan daya tarik konstan dari lingkungan tersebut. Sedangkan
faktor modal dipengaruhi oleh jumlah modal yang diinvestasikan bagi kegiatan wisata bahari, juga dipengaruhi oleh jumlah modal maksimum yang digunakan
dan separuh dari nilai titik jenuh modal. Sub model berikutnya yang menyusun model keberlanjutan wisata
bahari di wilayah GPK adalah sub model lingkungan environment. Sub model lingkungan di wilayah GPK dijelaskan pada gambar berikut:
Gambar 16 Sub model
dinamis lingkungan
pada analisis
keberlanjutan wisata bahari di wilayah GPK.
Berdasarkan Gambar 16, terlihat bahwa lingkungan yang menjadi objek daya tarik wisata ODTW, dipengaruhi oleh tingkat perubahan kualitas
lingkungan. Fungsi pertumbuhan akan meningkatkan kualitas lingkungan, sedangkan faktor modal pada lingkungan dan faktor wisatawan pada
lingkungan, akan menurunkan kualitas lingkungan. Fungsi pertumbuhan
Modal Investasi Tingkat perubahan modal
Nilai investasi untuk setiap wisatawan
Wisatawan Nilai Penyusutan
Sub Model Modal Investasi
dipengaruhi oleh laju pertumbuhan pertumbuhan instrinsik, yang diwakili oleh laju pertumbuhan karang dan daya dukung lingkungan. Faktor modal yang
diinvestasikan untuk lingkungan, dipengaruhi oleh jumlah modal yang diinvestasikan untuk kegiatan wisata bahari dan nilai koefisien dari modal yang
diinvestasikan. Faktor wisatawan pada lingkungan dipengaruhi oleh jumlah wisatawan yang berkunjung ke wilayah GPK dan koefisien pengaruh
wisatawan. Sub model berikutnya yang menyusun model keberlanjutan wisata
bahari di wilayah GPK adalah sub model modal investasi capital. Sub model modal investasi di wilayah GPK di jelaskan pada Gambar 17.
Gambar 17 Sub model dinamis modal investasi pada analisis keberlanjutan wisata bahari di wilayah GPK.
Berdasarkan Gambar 17 di atas, terlihat bahwa modal dipengaruhi oleh tingkat perubahan jumlah modal yang diinvestasikan. Tingkat perubahan
modal dipengaruhi oleh: a jumlah wisatawan, b nilai investasi untuk setiap wisatawan, c jumlah modal yang diinvestasikan, dan d nilai penyusutan.
Setiap faktor-faktor yang mempengaruhi modal, yaitu jumlah wisatawan, nilai investasi untuk setiap wisatawan dan jumlah modal yang diinvestasikan,
memberikan pengaruh positif, sedangkan nilai penyusutan memberikan pengaruh negatif.
Setelah membangun sub model dinamis pada masing-masing penyusun parameter keberlanjutan wisata bahari, selanjutnya model tersebut
dianalisis menggunakan program Stella Version 8, sehingga diperoleh hasil analisis keberlanjutan wisata bahari di wilayah GPK Gambar 18. Parameter
23:45 22 Jul 2009 Keberlanjutan Wisata Bahari
Page 1 0.00
3.00 6.00
9.00 12.00
Time 1:
1: 1:
2: 2:
2:
3: 3:
3:
10 20
10 20
1: Wisatawan 2: Lingkungan
3: Modal Inv estasi
1 1
1 1
2 2
2 2
3 3
3 3
yang ditampilkan adalah jumlah wisatawan, kualitas lingkungan terumbu karang dan modal yang diinvestasikan untuk kegiatan wisata bahari, yang
diproyeksikan selama 12 tahun mulai Tahun 2007 sebagai tahun pertama, sampai dengan Tahun 2018.
Gambar 18 Hasil analisis keberlanjutan wisata bahari di wilayah GPK.
Berdasarkan hasil analisis, terlihat bahwa jumlah wisatawan mengalami tren peningkatan dari awal tahun kajian 2007 sampai dengan tahun ke dua
belas 2018. Hal yang sama juga terjadi pada modal yang diinvestasikan, trennya juga mengalami peningkatan. Sedangkan kualitas lingkungan,
mengalami penurunan. Peningkatan jumlah wisatawan disebabkan keadaan kualitas
lingkungan yang baik, yang menjadi ujung tombak dalam kegiatan wisata bahari. Wilayah dengan kondisi lingkungan yang baik berkualitas akan
meningkatkan jumlah wisatawan yang berkunjung ke wilayah tersebut. Selain faktor lingkungan, jumlah kunjungan wisatawan juga dipengaruhi oleh modal
yang diinvestasikan. Peningkatan sarana prasarana pendukung kegiatan wisata, akan menarik wisatawan untuk berkunjung, sehingga jumlah
wisatawan tentu akan mengalami peningkatan. Peningkatan jumlah wisatawan selanjutnya menyebabkan peningkatan jumlah modal yang diinvestasikan
untuk kegiatan wisata bahari. Investasi pada kegiatan wisata bahari dilakukan
dengan membangun dan menambah infrastruktur pendukung kegiatan wisata bahari. Pembangunan dilakukan selain untuk dapat menampung wisatawan
yang jumlahnya mengalami peningkatan, juga disebabkan adanya akumulasi modal
dari keuntungan
peningkatan jumlah
wisatawan, kemudian
diinvestasikan kembali untuk menambah infrastruktur bagi keperluan wisatawan. Penyediaan infrastruktur bagi kegiatan wisata bahari di wilayah
GPK juga mendapat dukungan dari pemerintah. Hal ini dibuktikan dengan pembangunan bandar udara Matahora di Pulau Wangi-Wangi pada Tahun
Anggaran 2008 dan direncanakan selesai pembangunannya pada Tahun 2010. Adanya penyediaan transportasi udara tersebut, diharapkan dapat
membuka keterisolasian wilayah Wakatobi, dan dapat memudahkan aksesibilitas wisatawan ke daerah ini, sehingga dapat meningkatkan jumlah
kunjungan wisata pada tahun-tahun selanjutnya. Namun peningkatan jumlah wisatawan akan menurunkan kualitas
lingkungan, sebagai akibat dari aktivitas wisatawan perilaku wisatawan. Penurunan kualitas lingkungan terjadi pada terumbu karang yang disebabkan
oleh aktivitas wisatawan ketika melakukan diving atau snorkling. Demikian pula, peningkatan modal yang diinvestasikan, juga akan menurunkan kualitas
lingkungan. Peningkatan modal akan memicu penambahan fasilitas bagi wisatawan, sehingga untuk keperluan pembangunan sarana seperti
pelabuhan, akan menurunkan kualitas lingkungan atau mengurangi luasan wilayah terumbu karang. Hubungan antara sub sistem lingkungan, kapital dan
wisatawan menurut Adrianto 2006 merupakan hubungan yang bersifat siklik cyclical relationship dimana efek antar sub sistem berlainan satu sama lain
terhadap sistem pariwisata pesisir dan laut wisata bahari. Dari kondisi di atas, menggambarkan bahwa kegiatan wisata bahari di
wilayah GPK tidak dapat berkelanjutan, jika kualitas lingkungan terus menurun. Keberlanjutan kegiatan wisata bahari tersebut dapat dipertahankan dengan
syarat harus memperhatikan kualitas lingkungan, dalam hal ini adalah kualitas dan keindahan terumbu karang yang menjadi objek dan daya tarik wisata
ODTW. Keindahan terumbu karang yang menjadi daya tarik utama bagi kegiatan wisata bahari mesti dijaga kelestariannya, juga dibarengi dengan
peningkatan infrastruktur yang mendukung kegiatan wisata bahari. Namun yang menjadi catatan dan perlu mendapat perhatian bagi semua pihak adalah:
pembangunan infrastruktur harus direncanakan dengan baik dan diusahakan
dapat ditekan seminimal mungkin kerusakan yang ditimbulkannya terhadap lingkungan sekitar. Demikian pula, jumlah wisatawan yang terus mengalami
peningkatan, beserta aktivitas yang dilakukannya perlu diperhatikan agar tidak sampai menurunkan kualitas lingkungan yang telah ada. Sebab jika kualitas
lingkungan memburuk, maka ODTW tidak dapat dinikmati lagi keindahannya. Jika tidak ada lingkungan yang dapat dinikmati, maka tidak akan ada lagi
wisatawan yang berkunjung ke wilayah tersebut, sehingga kegiatan wisata bahari di wilayah GPK tidak dapat dilaksanakan lagi.
Perkembangan kegiatan pariwisata pesisir dan laut dimulai dari eksplorasi, kemudian diikuti dengan pengembangan kawasan development.
Ada tiga pola keberlanjutan pariwisata pesisir dan laut, yaitu: a stagnasi pada level maksimumnya, b terus turun hingga level tertentu yang kemudian
stagnan pada level tersebut, dan c terus turun hingga mencapai level terendah Adrianto 2006.
Sebuah destinasi atau tempat tujuan wisata dapat menurun kualitasnya karena turunnya mutu lingkungan. Untuk itu, menjaga keberlangsungan
daerah tujuan wisata agar tetap menjadi tujuan wisatawan yang berkesinambungan memerlukan serangkaian strategi tindakan. Dari banyak
literatur, menyatakan bahwa konsep-konsep keberlanjutan destinasi wisata sustainable tourism destination merupakan bagian integral dari konsep
pembangunan berkelanjutan sustainable development. Secara teoritis, keberlanjutan adalah sebuah sikap dan tindakan yang
mempunyai dua implementasi hukum-hukum terkait dengan output dan input dalam lingkungan, yaitu: a segi output menyatakan bahwa emisi atau bahan-
bahan pencemar dari sebuah proyek dalam hal ini pembangunan destinasi wisata harus dipertimbangkan. Apakah ekosistem mampu mengolahnya
dalam daur materi dan energi pada lingkungan lokal tersebut, tanpa harus menunda dan membebankan proses daur ulang pada masa yang akan datang,
b segi input tergantung kepada sumberdaya yang dinilai. Bagi sumberdaya yang dapat diperbaharui, penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya harus
dijaga apakah sumberdaya dan ekosistem tersebut mampu melakukan proses regeneratif. Bagi sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui, harus ada
sebuah kebijakan yang mengatur penggunaan sumberdaya tersebut agar tidak melebihi proses-proses pembentukannya Pimentel et al. 2000 diacu dalam
Hakim 2004.
Sebagaimana diuraikan oleh Whitten et al. 1995, pembangunan berkelanjutan memerlukan kebijakan dan peraturan yang harmonis dan tidak
saling bertentangan untuk: a meningkatkan dan memelihara integritas ekosistem, b meminimalkan kemerosotan mutu lingkungan dan sumberdaya,
c meminimalkan limbah yang dihasilkan dan sebaliknya, meningkatkan proses-proses daur ulang, d menetapkan akses terhadap sumberdaya yang
adil serta alokasi peraturan yang pantas, e memecahkan kesulitan dalam perbaikan ekosistem terpadu dan pembangunan sosial ekonomi, dan
f menghargai keanekaragaman hayati dan manusia Hakim 2004. Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan dalam kegiatan wisata
bahari di wilayah GPK harus mencerminkan hal-hal seperti: a melibatkan semua pihak, b harmonis dengan lingkungan, c ditujukan untuk
memecahkan masalah dengan sebaik mungkin terhadap masalah yang sedang dihadapi dan yang akan datang, d dapat diterima tidak hanya secara
ekonomi, tetapi juga dari segi kesinambungan dan keterlibatan masyarakat, dan e dapat dievaluasi dan dipantau.
VII. PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA