VII. PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA
7.1 Peran Negara dalam Mengelola Sumberdaya Laut di Gugus Pulau Kaledupa
Wilayah Kepulauan Wakatobi keseluruhan wilayahnya seluas 1.390.000 Ha merupakan Taman Nasional Laut Kepulauan Wakatobi
TNLKW. Penunjukkan Kepulauan Wakatobi sebagai taman nasional berdasarkan SK Menhut No. 393Kpts-VI1996, tanggal 30 Juli 1996, dan telah
ditetapkan berdasarkan SK Menhut No. 7651Kpts-II2002, tanggal 19 Agustus 2002, terdiri dari empat pulau besar yaitu Pulau Wangi-Wangi, Pulau
Kaledupa, Pulau Tomia dan Pulau Binongko. Taman Nasional Laut Kepulauan Wakatobi dikelola dengan sistem zonasi, yang ditetapkan berdasarkan
Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam No. 198KptsDJ-VI1997, tanggal 31 Desember 1997, terdiri atas: zona inti, zona
pelindung, zona rehabilitasi, zona pemanfaatan, dan zona pemanfaatan tradisional.
Seiring dengan pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, telah
mengantarkan wilayah Kepulauan Wakatobi menjadi kabupaten baru berdasarkan UU No. 29 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten
Bombana, Kabupaten Wakatobi, dan Kabupaten Kolaka Utara di Provinsi Sulawesi Tenggara. Uniknya, Kabupaten Wakatobi yang terbentuk sebagai
hasil pemekaran dari Kabupaten Buton memiliki letak dan luas wilayah sama persis dengan letak dan luas wilayah Taman Nasional Laut Kepulauan
Wakatobi yaitu 1.390.000 Ha. Dari uraian di atas, menunjukkan bahwa dalam pengelolaan
sumberdaya laut GPK yang merupakan bagian dari Kabupaten Wakatobi, terdapat dua kewenangan. Pertama kewenangan pemerintah pusat yang
diwakili oleh Balai TNLKW dan kewenangan kedua yaitu Pemerintah Daerah Kabupaten Wakatobi. Adanya dualisme kewenangan ini berimplikasi pada pola
pengelolaan sumberdaya laut di wilayah ini. Disatu sisi, sebagai taman nasional, orientasi pengelolaan adalah untuk konservasi dan pelestarian
lingkungan. Sementara sebagai kabupaten, orientasi pengelolaan adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan sumbangan
Pendapatan Asli Daerah PAD, yang tentu akan memanfaatkan sumberdaya secara optimal guna mencapai tujuan tersebut.
Perbedaan orientasi pengelolaan sumberdaya di wilayah ini telah coba dijembatani melalui revisi zonasi Taman Nasional Laut Kepulauan Wakatobi
pada Tahun 2007, untuk merevisi penetapan zonasi TNLKW pada Tahun 1997. Revisi zonasi dilakukan antara pihak Balai TNLKW, PEMDA Wakatobi,
dan masyarakat Wakatobi, yang dimediasi oleh TNC-WWF. Penyusunan revisi zonasi TNLKW disusun berdasarkan tahapan mulai dari pengumpulan dan
analisis data, pembahasan pengkajian di tingkat ahli BTNLKW dan TNC- WWF, kriteria zonasi taman nasional dalam Permenhut No. P.56Menhut-
II2006 serta intisari hasil konsultasi publik tahap I dan II di tingkat pulau kecamatan dan kabupaten Wakatobi Tahap I: tanggal 4-9 Desember 2006,
Tahap II: 22-27 April 2007. Sebagai bahan pemikiran dan pertimbangan dalam menetapkan zonasi
baru yang merupakan wujud representasi kondisi ekologi, sosial ekonomi dan budaya serta kepentingan pengelolaan sumberdaya di wilayah Kabupaten
Wakatobi. Sebagai bahan pertimbangan dan pembahasan lebih lanjut melalui proses penyamaan visi, misi, dan persepsi semua pihak terhadap pentingnya
pengelolaan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya yang akan diwujudkan bersama dengan penataan ruang wilayah Kabupaten Wakatobi.
Dari uraian di atas, menunjukkan peran masyarakat turut diperhitungkan dalam pengelolaan sumberdaya laut di wilayah GPK.
Masyarakat sebagai penerima manfaat pengelolaan maupun sebagai penerima akibat dari pengelolaan SDL, sehingga masyarakat perlu dilibatkan
dalam pengelolaan SDL dalam bentuk partisipasi positif mengelola sumberdaya secara lestari demi peningkatan kesejahteraannya.
Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya PPK di wilayah GPK dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, perolehan manfaat sampai
tahap evaluasi dan pengawasan. Partisipasi dapat dinyatakan melalui keikutsertaan untuk membicarakan rencana kegiatan yang akan dilaksanakan
oleh pemerintah bersama masyarakat desa. Selain itu, dalam pertemuan dapat pula membahas tentang pengaturan ruang pemanfaatan sumberdaya, tata
cara pemanfaatan, serta keikutsertaan masyarakat dalam pemantauan terhadap kegiatan yang mengancam keberlanjutan sumberdaya PPK.
Penentuan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya di Gugus Pulau Kaledupa, dimulai dari pembuatan tabulasi skor, frekuensi dan
persentase dari setiap jenis data jawaban, yang kemudian dimasukkan dalam tabel yang telah disiapkan. Pemberian skor terhadap setiap data item
berdasarkan pada skala Likert dengan interval skor dari angka 1 yang merupakan skor paling rendah, angka 2 merupakan skor sedang dan angka 3
merupakan skor paling tinggi. Selanjutnya rangkaian nilai yang ada dikelompokkan ke dalam tiga kriteria, yaitu: rendah, sedang dan tinggi.
Penentuan interval nilai untuk masing-masing kriteria dilakukan berdasarkan rumus Djarwanto 1993, sehingga diperoleh interval kelas dari masing-masing
kriteria. Pengelompokkan kelas kriteria terdiri atas: kelas rendah bernilai 1,
kelas sedang bernilai 2, dan kelas tinggi bernilai 3, dilakukan secara total untuk tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya di Gugus
Pulau Kaledupa. Pengelompokkan tersebut berdasarkan pada bentuk masing- masing pengelolaan yaitu perikanan tangkap, budi daya rumput laut dan
wisata bahari. Kisaran interval kelas pada masing-masing bentuk pengelolaan berbeda, menurut nilai tertinggi dan terendah untuk setiap bentuk pengelolaan
sumberdaya. Dari hasil tabulasi, diperoleh tingkat partisipasi masyarakat untuk setiap tahapan kegiatan dalam pengelolaan sumberdaya laut di wilayah Gugus
Pulau Kaledupa. Bentuk partisipasi dan tingkat partisipasi pada setiap tahapan dalam pengelolaan sumberdaya, dijelaskan terinci pada uraian di
bawah ini.
7.2 Perencanaan dalam Pengelolaan Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil
Pada tahap perencanaan, bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya berbeda-beda. Hal ini disesuaikan dengan kegiatan
pemanfaatan sumberdaya yang dilakukan, baik untuk kegiatan perikanan tangkap, budi daya rumput laut maupun untuk kegiatan wisata bahari.
Partisipasi masyarakat dalam perencanaan pengelolaan sumberdaya laut GPK untuk kegiatan perikanan tangkap terdiri atas: i penentuan lokasi
penangkapan ikan, ii pemilihan alat tangkap yang akan digunakan untuk menangkap ikan, mencakup: jenis alat tangkap, jumlah alat tangkap dan
ukuran alat tangkap, iii selain itu direncanakan pula seberapa banyak jumlah tangkapan yang ingin diperoleh, iv penentuan waktu yang tepat untuk melaut,
1 2
3
Perikanan Tangkap
Budidaya Rumput Laut Wisata Bahari
Tingkat Partisipasi
v penentuan lama melaut dan vi frekuensi melaut dalam sehari, seminggu atau sebulannya.
Partisipasi masyarakat dalam perencanaan pengelolaan sumberdaya laut GPK untuk kegiatan budi daya rumput laut mencakup: i penentuan lokasi
budi daya yang akan dikembangkan, ii luas lokasi yang akan diusahakan, iii perencanaan bibit yang akan dibudidayakan, yaitu menyangkut jumlah
bibit, jenis bibit dan sumber bibit, serta iv frekuensi budi daya rumput laut dalam setahunnya.
Partisipasi masyarakat dalam perencanaan pengelolaan sumberdaya laut GPK untuk kegiatan wisata bahari mencakup: i penentuan lokasi
pembangunan home stay, ii sumber modal investasi yang akan digunakan untuk membangun home stay beserta sarana penunjangnya, iii jumlah
bangunan yang akan dibangun, serta perencanaan jumlah kamar dan tempat tidur, iv luas bangunan yang akan dibangun, v perencanaan model
bangunan, serta vi perencanaan sarana penunjang yang akan melengkapi bangunan tersebut.
Dari hasil tabulasi, diperoleh tingkat partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dalam pengelolaan sumberdaya laut untuk kegiatan perikanan
tangkap, budi daya rumput laut dan wisata bahari, ditampilkan pada Gambar 19 berikut ini.
Gambar 19 Tingkat partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dalam pengelolaan SDL.
Dari grafik di atas terlihat bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan SDL di wilayah GPK pada tahap perencanaan, memiliki tingkat
partisipasi yang sama yaitu tergolong dalam kategori tinggi untuk semua jenis kegiatan pemanfaatan sumberdaya. Hal ini mengindikasikan bahwa seluruh
masyarakat berperan aktif dalam proses perencanaan. Masyarakat memiliki peran yang besar dalam merencanakan kegiatan pemanfaatan sumberdaya
laut yang ada di wilayah GPK. Tingginya tingkat partisipasi masyarakat pada kegiatan perikanan
tangkap di wilayah Gugus Pulau Kaledupa, disebabkan oleh tingginya tingkat ketergantungan masyarakat pada sumberdaya laut, khususnya sumberdaya
ikan. Kegiatan perikanan tangkap telah lama dijadikan sebagai sumber penghidupan mereka dan identik dengan matapencaharian utama
masyarakatnya. Sehingga dalam pengelolaan sumberdaya alam untuk kegiatan perikanan, proses perencanaan dijadikan tahapan yang penting dan
telah dilakukan oleh masyarakat. Dalam tahapan ini masyarakat memikirkan dan merencanakan bagaimana cara mereka akan mengelola sumberdaya laut
yang ada berdasarkan pengalaman mereka dan pengalaman generasi sebelumnya.
Akan tetapi tingkat partisipasi yang tinggi dalam kegiatan perikanan tangkap pada tahap perencanaan, belum tentu dapat menjamin keberlanjutan
sumberdaya ikan yang ada di Gugus Pulau Kaledupa pada masa yang akan datang. Jika dalam perencanaannya tidak diarahkan pada pengelolaan
sumberdaya yang ramah lingkungan. Hal ini terindikasi dari perencanaan jenis alat tangkap dan cara penangkapan yang akan dilakukan oleh nelayan. Jenis
alat tangkap yang dipilih oleh nelayan baik bentuk, jumlah maupun ukurannya didasarkan pada keinginan nelayan untuk memperoleh ikan dengan jumlah
sebanyak mungkin, tanpa memperhitungkan ukuran ikan yang akan ditangkap ataupun tingkat kedewasaan ikan. Demikian pula cara penangkapan yang
akan dilakukan oleh nelayan, pada umumnya berorientasi pada hasil semaksimal mungkin dan secepat mungkin, sehingga kadang mereka
merencanakan untuk menggunakan cara-cara yang bersifat destruktif. Untuk itu, dalam perencanaan kegiatan perikanan tangkap yang
dilakukan oleh nelayan perlu diingatkan untuk memperhatikan dan mempertimbangkan beberapa hal penting guna mendukung keberlanjutan
pengelolaan sumberdaya laut di Gugus Pulau Kaledupa. Hal tersebut adalah:
i Perencanaan lokasi penangkapan didasarkan pada lokasi yang memang peruntukannya sesuai sebagai daerah pemanfaatan, ii merencanakan alat
tangkap yang akan digunakan berupa alat tangkap yang efisien, yaitu alat tangkap yang dapat menyeleksi ukuran ikan yang akan ditangkap sehingga
memberi peluang bagi ikan untuk berkembang dan ketersediaan stok ikan dapat tetap terjaga, iii perencanaan mengenai cara penangkapan yang tidak
merusak lingkungan, yaitu menghindari pemanfaatan sumberdaya yang bersifat destruktif misal penggunaan bom dan racun sianida.
Tingginya tingkat partisipasi masyarakat dalam perencanaan kegiatan budi daya rumput laut, mengindikasikan bahwa kegiatan budi daya rumput laut
mendapat respon positif dari masyarakat setempat sejak kali pertama komoditas ini dibudidayakan di wilayah GPK. Hal ini terindikasi dari tingkat
partisipasi pada setiap item dalam perencanaan, seperti penentuan lokasi, luas lokasi, jenis bibit, jumlah bibit dan frekuensi budi daya yang keseluruhannya
memiliki tingkat partisipasi yang termasuk dalam kategori tinggi. Tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi pada tahap perencanaan
dalam kegiatan budi daya rumput laut dapat dijadikan sebagai modal pembangunan guna peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hanya saja yang
menjadi kendala dalam perencanaan budi daya rumput laut adalah perencanaan luas lokasi budi daya untuk setiap pembudidaya. Pembudidaya
dalam merencanakan luasan lokasinya, memiliki keterbatasan akibat kendala modal. Modal yang kecil dan diusahakan secara swadaya menjadikan
pembudidaya rumput laut di wilayah ini memiliki luasan areal budi daya yang terbatas.
Padahal hampir
seluruh pembudidaya
berencana ingin
mengembangkan usaha budidayanya, jika memiliki modal yang lebih besar. Sementara dilain pihak, pembudidaya yang memiliki modal yang besar, dapat
memiliki lahan budi daya yang luas. Tidak adanya pemerataan luas lokasi budi daya diperparah dengan tidak adanya aturan yang mengatur pembagian lokasi
budi daya bagi setiap pembudidaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam
mengelola sumberdaya untuk kegiatan wisata bahari, pada tahap perencanaan tergolong tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat setempat diberi
keleluasaan untuk merencanakan keterlibatan mereka dalam kegiatan wisata bahari. Dari beberapa item dalam perencanaan wisata bahari penentuan
lokasi, jumlah, luas dan model bangunan serta sarana penunjang,
perencanaan modal investasi nilai partisipasinya lebih rendah bila dibanding item lain dalam proses perencanaan. Hal ini terjadi karena modal merupakan
faktor pembatas bagi masyarakat untuk terlibat dan berperan aktif dalam kegiatan wisata bahari, khususnya untuk membangun home stay di Pulau
Hoga. Modal yang digunakan berasal dari modal swadaya masyarakat sendiri, dan sedikit bantuan dari lembaga keuangan seperti koperasi atau lembaga
keuangan lainnya. Hal ini menjadi penyebab keterlibatan masyarakat dalam kegiatan wisata bahari hanya terpusat pada beberapa desa kelurahan
tertentu saja, seperti dari Kelurahan Ambeua, Ambeua Raya, Desa Lewuto dan Desa Buranga. Sementara penduduk di Pulau Hoga yang menjadi lokasi
wisata, kurang berperan dalam kegiatan wisata bahari.
7.3 Pelaksanaan dalam Pengelolaan Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil
Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya PPK di wilayah GPK untuk kegiatan perikanan tangkap mencakup:
i pemilihan lokasi di mana nelayan melakukan penangkapan ikan, ii penggunaan alat tangkap untuk menangkap ikan yang mencakup jenis alat
tangkap, jumlah alat tangkap dan ukuran alat tangkap yang digunakan, iii jumlah tangkapan, iv pelaksanaan waktu melaut yang tepat, v berapa
lama nelayan tangkap melaut, vi frekuensi melaut dari nelayan tangkap dalam sehari, seminggu atau sebulannya, vii bagaimana nelayan mengolah
hasil tangkapannya dan viii di mana nelayan memasarkan ikan hasil tangkapan.
Partisipasi masyarakat dalam tahap pelaksanaan kegiatan budi daya rumput laut mencakup: i pengadaan bibit apakah diperoleh dari lahan sendiri
ataukah dibeli dari pembudidaya lain, ii persiapan budi daya mencakup persiapan tali, pelampung, kayu atau jangkar yang digunakan dan pengikatan
bibit rumput laut ke tali, iii penanaman, iv pemeliharaan, v pemanenan, vi pengolahan hasil berupa penjemuran, dan vii pemasaran rumput laut.
Partisipasi masyarakat pada tahap pelaksanaan dalam pengelolaan sumberdaya PPK untuk kegiatan wisata bahari mencakup: i pembuatan
bangunan home stay, ii pemeliharaan bangunan, iii distribusi wisatawan pada setiap home stay, dan iv penyediaan jasa pelayanan.
1 2
3
Perikanan Tangkap
Budidaya Rumput Laut Wisata Bahari
Tingkat Partisipasi
Dari hasil tabulasi, tingkat partisipasi masyarakat pada tahap pelaksanaan dalam pengelolaan sumberdaya laut di wilayah GPK untuk
kegiatan perikanan tangkap, budi daya rumput laut dan wisata bahari, disajikan pada gambar di bawah ini:
Gambar 20 Tingkat partisipasi masyarakat pada tahap pelaksanaan dalam pengelolaan SDL.
Dari grafik di atas terlihat bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan SDL di wilayah GPK pada tahap pelaksanaan, memiliki tingkat
partisipasi yang tinggi pada kegiatan budi daya rumput laut dan kegiatan perikanan tangkap, sedangkan pada kegiatan wisata bahari partisipasi
masyarakat tergolong dalam kategori sedang. Dari hasil tersebut, mengindikasikan bahwa dalam pelaksanaan budi
daya rumput laut, masyarakat turut berperan aktif. Hal ini memungkinkan pengembangan kegiatan budi daya rumput laut ke dalam skala yang lebih
besar dimasa yang akan datang. Tingginya tingkat partisipasi masyarakat pada tahap pelaksanaan dalam kegiatan budi daya dipengaruhi oleh tingginya
tingkat partisipasi pada beberapa proses dalam tahap pelaksanaan. Beberapa proses yang memberi kontribusi adalah pada proses penanaman,
pemeliharaan, pemanenan dan pemasaran rumput laut yang melibatkan sebagian besar masyarakat. Hal lain yang dinilai sebagai partisipasi
masyarakat adalah pelibatan seluruh anggota keluarga yang bekerja dalam tahap pelaksanaan pada kegiatan budi daya. Peran anggota keluarga yang
terbanyak adalah pada proses mengikat bibit, yang dilakukan oleh istri maupun anak-anak pembudidaya, atau menggunakan tenaga kerja upahan. Demikian
pula pada proses pengolahan hasil, yaitu kegiatan penjemuran rumput laut, biasanya dilakukan oleh anggota keluarga yang lain. Hal ini sejalan dengan
hasil penelitian Mansyur 2009, yang mencatat jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam kegiatan budi daya pada satu unit usaha, rata-rata sebanyak
sembilan orang. Dari hasil penelitian di wilayah GPK, menunjukkan bahwa tingkat
partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pada tahap pelaksanaan untuk kegiatan perikanan tangkap tergolong tinggi. Tingginya
tingkat partisipasi masyarakat pada kegiatan perikanan tangkap, disebabkan oleh tingginya tingkat partisipasi pada hampir semua proses yang dilakukan
dalam tahap pelaksanaan. Mulai dari pemilihan lokasi, penggunaan alat tangkap, jumlah tangkapan, waktu melaut, lama melaut, frekuensi melaut
sampai pada pemasaran hasil tangkapan, keseluruhannya menunjukkan tingkat partisipasi yang tinggi. Hanya pada proses pengolahan hasil saja
menunjukkan nilai partisipasi sedang. Hal ini terjadi karena pada umumnya ikan yang dijual dalam bentuk ikan segar. Pengolahan dilakukan jika ikan yang
diperoleh tidak laku terjual, itupun dilakukan dengan teknik yang sederhana. Pengolahan hanya dilakukan dalam bentuk ikan kering, tanpa ada diversifikasi
olahan. Kalaupun ada yang diolah menjadi abon ikan, biasanya tidak untuk dijual tetapi hanya diperuntukkan bagi konsumsi rumah tangga nelayan saja.
Tingkat partisipasi masyarakat pada tahap pelaksanaan dalam kegiatan wisata bahari termasuk dalam kategori sedang. Hal ini terjadi karena
pada setiap proses kegiatan dalam tahap pelaksanaan selalu menggunakan tenaga kerja upahan. Seperti untuk pembuatan bangunan, sebagian besar
masyarakat mengupah tukang untuk membangun home stay mereka. Hanya beberapa orang saja yang membangun sendiri pondokannya.
Rendahnya tingkat partisipasi masyarakat juga terjadi dalam proses pemeliharaan, yang berkontribusi pada kurangnya tingkat partisipasi
masyarakat pada tahap pelaksanaan kegiatan wisata bahari. Pengelola wisata kurang melakukan pemeliharaan pada bangunan mereka. Hal ini terjadi karena
kunjungan wisatawan di Gugus Pulau Kaledupa bersifat musiman, sehingga menyebabkan kegiatan pemeliharaan home stay dilakukan hanya jika musim
berkunjung tiba, yaitu pada bulan Maret, dan saat puncak kunjungan yang
terjadi pada bulan Mei – Agustus. Bila musim berkunjung telah berakhir, home stay tersebut dibiarkan saja tanpa diberi perlakuan atau perawatan khusus.
Proses distribusi wisatawan pada tahap pelaksanaan untuk setiap home stay dilakukan oleh penanggung jawab kegiatan wisata bahari di Pulau
Hoga, yaitu Operation Wallacea Ltd yang bekerjasama dengan Lembaga Alam Mitra Wakatobi. Pemilik home stay sama sekali tidak mempunyai kewenangan
untuk meminta wisatawan menginap di tempat mereka. Demikian pula sebaliknya, wisatawan tidak dapat memilih home stay mana yang akan mereka
tempati. Dalam pengaturan distribusi wisatawan, pihak penanggung jawab tidak melakukan pemerataan pembagian tamu pada seluruh home stay.
Ketidakadilan ini dikeluhkan oleh para pengelola wisata, sebab ada pihak pengelola wisata yang selalu mendapat tamu pada setiap musim kunjungan,
namun dipihak lain ada pengelola wisata yang sama sekali tidak mendapatkan tamu sepanjang tahun, bahkan dalam kurun waktu dua hingga tiga tahun
berturut-turut. Proses lain yang termasuk dalam tahap pelaksanaan adalah
penyediaan jasa pelayanan. Jasa pelayanan yang disediakan oleh pihak pengelola wisata mencakup penyediaan air bersih untuk keperluan wisatawan
dan pelayanan kebersihan tempat penginapan. Hampir seluruh pemilik home stay mempekerjakan tenaga kerja upahan untuk melayani para wisatawan.
Kurangnya keterlibatan masyarakat pada beberapa proses dalam tahap pelaksanaan perlu menjadi perhatian pihak-pihak terkait. Karena jika hal
ini dibiarkan terjadi, akan menjadi potensi konflik pada masa yang akan datang yang dapat mengancam keberlanjutan kegiatan wisata bahari. Keadilan dan
pemerataan harus dapat dirasakan oleh semua elemen yang terlibat dalam kegiatan wisata bahari. Sehingga kegiatan wisata bahari dapat memberi
jaminan ekonomi bagi semua pihak yang terlibat.
7.4 Perolehan Manfaat dalam Pengelolaan Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil
Partisipasi masyarakat pada tahap perolehan manfaat dari pengelolaan sumberdaya PPK untuk kegiatan perikanan tangkap, budidaya rumput laut dan
kegiatan wisata bahari mencakup peran serta masyarakat dalam perolehan manfaat dibidang: ekonomi, yaitu partisipasi dalam perolehan manfaat dari
pendapatan dan sumbangan PAD. Bidang sosial budaya, dilihat dari partisipasi masyarakat dalam perolehan manfaat dari penyerapan tenaga kerja dan
1 2
3
Perikanan Tangkap
Budidaya Rumput Laut
Wisata Bahari Tingkat Partisipasi
manfaat dari partisipasi mereka. Bidang kelembagaan, dilihat dari partisipasi masyarakat untuk memperoleh manfaat dari keberadaan lembaga lokal dan
adanya aturan yang mengatur pemanfaatan sumberdaya untuk kegiatan perikanan tangkap, budi daya rumput laut dan wisata bahari.
Dari hasil tabulasi, tingkat partisipasi masyarakat di wilayah GPK pada tahap perolehan manfaat dalam pengelolaan sumberdaya untuk kegiatan
perikanan tangkap, budi daya rumput laut dan wisata bahari, disajikan pada Gambar 21 berikut ini.
Gambar 21 Tingkat partisipasi masyarakat pada tahap perolehan manfaat dalam pengelolaan SDL.
Dari grafik di atas terlihat bahwa tingkat partisipasi masyarakat pada perolehan manfaat dalam pengelolaan SDL di wilayah GPK, memiliki tingkat
partisipasi yang berbeda-beda. Pada kegiatan perikanan tangkap dan kegiatan budi daya rumput laut, tingkat partisipasi mayarakat pada tahap perolehan
manfaat termasuk dalam kategori tinggi. Sedangkan pada kegiatan wisata bahari, tingkat partisipasi masyarakat termasuk dalam kategori sedang.
Dari hasil tersebut mengindikasikan bahwa secara umum dari kegiatan perikanan tangkap, manfaat dari berbagai aspek yaitu ekonomi, sosial budaya
dan kelembagaan telah dapat dirasakan oleh nelayan. Manfaat tersebut dapat dinikmati karena mereka turut berperan serta secara aktif dalam pengelolaan
sumberdaya laut untuk kegiatan perikanan tangkap. Akan tetapi dari beberapa
aspek kajian, tingkat partisipasi masyarakat pada aspek ekonomi yaitu pada sumbangan PAD, termasuk dalam kategori sedang.
Pada kegiatan budi daya rumput laut, tingkat partisipasi masyarakat termasuk dalam kategori tinggi. Ini terlihat pada seluruh aspek, mulai dari
ekonomi, sosial budaya dan kelembagaan, keseluruhannya termasuk dalam kategori tinggi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kegiatan budidaya rumput
laut dapat memberikan kontribusi positif dalam perolehan manfaat bagi masyarakat di wilayah Gugus Pulau Kaledupa, khususnya bagi pembudidaya
rumput laut. Berbeda dengan kedua kegiatan pemanfaatan, kegiatan wisata bahari
memiliki tingkat partisipasi sedang pada tahap perolehan manfaat. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa dari kegiatan wisata bahari, terutama dari
aspek ekonomi dan kelembagaan, manfaatnya kurang dapat dirasakan oleh pengelola wisata. Manfaat yang dapat dirasakan dan termasuk kategori tinggi
adalah manfaat sosial budaya yaitu pada partisipasi dan penyerapan tenaga kerja 44 dan 43. Hal ini dikarenakan, tenaga kerja yang digunakan
walaupun tenaga kerja upahan, tetap merupakan penduduk lokal setempat.
7.5 Evaluasi dan Pengawasan dalam Pengelolaan Sumberdaya Pulau- Pulau Kecil
Tahapan terakhir yang dikaji dalam penelitian ini adalah tingkat partisipasi masyarakat pada tahap evaluasi dan pengawasan dalam
pengelolaan sumberdaya di wilayah GPK. Partisipasi masyarakat pada tahap evaluasi dan pengawasan pemanfaatan sumberdaya PPK untuk kegiatan
perikanan tangkap, budi daya rumput laut dan kegiatan wisata bahari mencakup: i penetapan aturan mengenai sanksi yang akan diberlakukan bila
terjadi pelanggaran dalam pemanfaatan, ii kegiatan pemantauan dan iii partisipasi dalam pelaksanaan sanksi bagi yang melanggar aturan yang telah
ditetapkan. Dari hasil penelitian, tingkat partisipasi masyarakat pada tahap evaluasi
dan pengawasan dalam pengelolaan sumberdaya PPK untuk kegiatan perikanan tangkap, budi daya rumput laut dan wisata bahari, disajikan pada
gambar berikut:
0,5 1
1,5 2
Perikanan Tangkap
Budidaya Rumput Laut
Wisata Bahari Tingkat Partisipasi
Gambar 22 Tingkat partisipasi masyarakat pada tahap evaluasi dan pengawasan dalam pengelolaan SDL.
Dari grafik menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan SDL di wilayah GPK pada tahap evaluasi dan pengawasan,
memiliki tingkat partisipasi yang termasuk dalam kategori sedang bahkan rendah. Pada kegiatan budi daya rumput laut dan kegiatan wisata bahari,
tingkat partisipasi mayarakat pada tahap evaluasi dan pengawasan termasuk dalam kategori sedang. Sedangkan pada kegiatan perikanan tangkap, tingkat
partisipasi masyarakat termasuk dalam kategori rendah. Dari hasil tersebut terindikasi bahwa pada umumnya tingkat partisipasi
masyarakat pada tahap evaluasi dan pengawasan cenderung kurang, terutama pada proses penetapan sanksi. Hal ini terjadi disebabkan kurangnya
keyakinan masyarakat setempat bahwa aturan mengenai sanksi yang telah ditetapkan, pelaksanaannya dapat diterapkan dengan baik. Sehingga mereka
kurang tertarik untuk ikut terlibat dalam pembuatan aturan mengenai penetapan sanksi. Selain itu, ada kekecewaan dari masyarakat sebagai akibat
dari aspirasi yang mereka kemukakan tidak mendapat tanggapan positif, baik
dari pihak yang berkepentingan stakeholders maupun pemerintah sebagai regulator.
Dari hasil wawancara, ditemukan kasus yang menjadi keluhan masyarakat. Sebagai contoh pada pemanfaatan untuk kegiatan wisata bahari,
pengelola wisata mengeluhkan mengenai pemerataan distribusi wisatawan dan harga sewa per kamar yang dirasakan rendah. Akan tetapi keluhan
masyarakat tersebut tidak mendapat respon positif, walaupun hal tersebut telah disampaikan pada pihak terkait. Akibatnya, masyarakat mengalami
kekecewaan dan menyebabkan mereka bersikap masa bodoh pada berbagai pelanggaran yang terjadi. Padahal pada beberapa pertemuan antara pengelola
wisata dengan koordinator kegiatan wisata bahari, telah ditetapkan aturan mengenai distribusi wisatawan pada setiap home stay, akan tetapi peraturan
tersebut tidak dijalankan dengan baik. Pada kegiatan budi daya rumput laut, tingkat partisipasi masyarakat
tergolong dalam kategori sedang. Ada beberapa catatan yang menjadi penyebab kurangnya partisipasi masyarakat pada tahap evaluasi dan
pengawasan, antara lain: para pembudidaya rumput laut telah membuat kesepakatan mengenai aturan jalur pelayaran bagi pelayaran umum maupun
pelayaran dari dan ke lokasi budi daya. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar rumput laut yang dibudidayakan tidak mengalami kerusakan akibat dilalui oleh
perahu kapal. Akan tetapi, peraturan yang telah dibuat tersebut dirasakan kurang efektif, karena kerusakan rumput laut akibat dilalui oleh kapal perahu
tetap saja terjadi. Sementara dilain pihak, para pengguna lalulintas pelayaran mengeluhkan sering terjebak di antara tali-tali rumput laut yang dibudidayakan
karena ketidakjelasan rambu-rambu jalur pelayaran yang dapat dilalui oleh kapal perahu mereka.
Pada kegiatan perikanan tangkap, tingkat partisipasi masyarakat tergolong dalam kategori rendah. Hal ini terjadi disebabkan rendahnya
pengetahuan dan kesadaran masyarakat bahwa sumberdaya yang ada sekarang
dalam pemanfaatannya
harus berhati-hati
agar terjaga
kelestariannya. Meskipun ada juga masyarakat yang bertanggung jawab dan merasa perlu menjaga keberadaan sumberdaya ikan dan kelautan, tetapi
jumlahya sedikit sehingga pengaruhnya kurang signifikan. Hal lain yang menjadi penyebab kurangnya partisipasi masyarakat adalah adanya perasaan
kecewa yang terakumulasi dari pengalaman masa lalu. Kekecewaan ini timbul sebagai akibat dari kurang konsistennya proses evaluasi dan pengawasan
yang dilakukan di wilayah GPK. Sebagai contoh kasus, meskipun masyarakat dilibatkan dalam penetapan aturan pemanfaatan dan sanksi yang akan
dikenakan, tapi dalam proses pemantauan kurang diperhatikan. Sehingga, jika masyarakat menemukan pelanggaran, sulit bagi mereka untuk meneruskan
kasus ini kepihak yang berwenang agar pelanggar dapat diberi sanksi.
Disamping itu, ada sifat ketidakpedulian beberapa nelayan mengenai pentingnya penetapan sanksi, yang menyebabkan mereka kurang
berpartisipasi dalam pengawasan. Hal lain yang menjadi penyebab kurangnya partisipasi nelayan adalah adanya keyakinan bahwa meskipun telah ada
penetapan sanksi, akan tetapi sanksi itu tidak akan diterapkan. Namun pada saat dilakukan penelitian, peneliti mendapat informasi
tentang mulai diterapkannya aturan mengenai penomoran kapal. Aturan ini muncul dari hasil aspirasi masyarakat yang mulai menyadari perlunya menjaga
kelestarian sumberdaya laut yang menjadi sumber utama penghidupan mereka. Peraturan ini mulai diberlakukan sejak September 2008, dengan
terlebih dahulu melakukan registrasi dan pendataan perahu-perahu bermesin yang dimiliki penduduk di wilayah GPK. Kemudian dilakukan penomoran dan
pencatatan nama, kode desa dan domisili dari pemilik perahu. Hasil registrasi dari seluruh desa, selain menjadi data dari masing-masing desa, juga
dikumpulkan dan dijadikan arsip data oleh pihak taman nasional, kepolisian dan koramil serta pemerintahan ditingkat kecamatan dan kabupaten.
Manfaat yang diharapkan dari aturan mengenai penomoran kapal adalah agar para nelayan saling mengenal satu sama lain. Selain itu, disisi lain
pada saat mereka keluar daerah, mereka dapat diketahui berasal dari desa mana. Karena saat registrasi pada tiap desa dibuat perbedaan, dimana setiap
desa memiliki nomor kode tersendiri. Dari hasil penomoran tersebut, dapat diidentifikasi jika ada nelayan yang melakukan cara-cara penangkapan yang
bersifat destruktif, maka nelayan lain tinggal mencatat kode perahu pelaku. Sehingga dapat ditelusuri dari desa mana nelayan tersebut berasal dengan
cara menghubungi kepala desa dari nelayan pengrusak tersebut agar dapat diberi sanksi, atau diselesaikan secara kekeluargaan secara damai.
Registrasi dilakukan pada seluruh perahu bermesin baik perahu milik nelayan tangkap, maupun milik pembudidaya rumput laut, sedangkan untuk jenis
perahu tanpa mesin sampan tidak diberi penomoran. Ide penomoran tersebut, mendapat tanggapan positif dari pemerintah
daerah. Sehingga pihak pemerintah kabupaten menjadikan wilayah GPK menjadi pilot project percontohan kegiatan pengawasan pemanfaatan
sumberdaya bagi pulau-pulau lain di Kabupaten Wakatobi. Jumlah perahu bermesin yang telah diregistrasi sebanyak 1.117 perahu jenis TS dan
katinting. Perahu TS mesin diesel merupakan perahu yang terbuat dari kayu
yang menggunakan mesin diesel dengan kapasitas 1,5 ton dan kebanyakan digunakan oleh suku Bajo untuk penangkapan ikan tuna. Sedangkan katinting,
adalah sebuah sampan besar dengan menggunakan mesin berbahan bakar bensin dan kebanyakan digunakan oleh penduduk asli Gugus Pulau Kaledupa.
Penomoran tidak dilakukan pada perahu tanpa mesin sampan disebabkan daya jelajah perahu tersebut terbatas.
Pada perkembangan selanjutnya, dari hasil wawancara pada beberapa kurun waktu belakangan ini, kegiatan penangkapan ikan dengan cara-cara
destruktif mulai berkurang. Walaupun pada beberapa kasus masih terdapat nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan yang tidak ramah lingkungan.
Dari beberapa uraian mengenai penyebab kurangnya partisipasi masyarakat pada tahap evaluasi dan pengawasan dalam pengelolaan
sumberdaya di Gugus Pulau Kaledupa perlu mendapat perhatian dari pihak terkait dan segera mendapat penanganan. Mengingat untuk mencapai tujuan
pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan, evaluasi dan pengawasan mutlak dilakukan, terintegrasi dengan tahapan-tahapan kegiatan yang lainnya.
Selain itu, mulai ada upaya masyarakat untuk menjaga sumberdaya laut yang ada di wilayah GPK agar tetap lestari merupakan hal positif, dan diharapkan
hal tersebut dapat lebih meningkatkan tingkat partisipasi masyarakat lebih tinggi dalam mengelola sumberdaya laut di wilayah GPK secara berkelanjutan
dimasa mendatang.
7.6 Partisipasi Total dalam Pengelolaan Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil
Setelah menguraikan tingkat partisipasi masyarakat berdasarkan tahapan kegiatan dalam pengelolaan sumberdaya, maka penulis menganggap
perlu untuk menjelaskan tingkat partisipasi total dari masyarakat di wilayah Gugus Pulau Kaledupa dalam pemanfaatan sumberdaya. Partisipasi total
merupakan akumulasi tingkat partisipasi dari tiap tahapan kegiatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, perolehan manfaat sampai pada evaluasi dan
pengawasan, menjadi tingkat partisipasi masyarakat secara umum berdasarkan jenis pemanfaatan sumberdaya, baik untuk kegiatan perikanan
tangkap, budi daya rumput laut maupun kegiatan wisata bahari. Dari hasil penelitian, tingkat partisipasi masyarakat secara total dalam
pengelolaan sumberdaya untuk kegiatan perikanan tangkap, budi daya rumput laut dan wisata bahari, disajikan pada Gambar 23 berikut ini.
1 2
3
Perikanan Tangkap
Budidaya Rumput Laut
Wisata Bahari
Perencanaan Pelaksanaan
Perolehan Manfaat Evaluasi Pengawasan
Partisipasi Total
Gambar 23 Tingkat partisipasi masyarakat secara total berdasarkan bentuk pemanfaatan dalam pengelolaan SDL.
Dari grafik di atas terlihat bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan SDL di wilayah GPK secara total termasuk kategori tinggi untuk
kegiatan perikanan tangkap dan budi daya rumput laut. Sedangkan untuk kegiatan wisata bahari termasuk dalam kategori sedang.
Pada kegiatan perikanan tangkap, tingkat partisipasi masyarakat tinggi karena kegiatan ini telah lama menjadi sumber matapencaharian masyarakat
di Gugus Pulau Kaledupa, hasilnya untuk dijual maupun untuk konsumsi rumah tangga. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan perikanan tangkap,
didominasi oleh nelayan tangkap tradisional. Nelayan yang beroperasi di Gugus Pulau Kaledupa merupakan nelayan lokal dan nelayan dari pulau lain di
Kabupaten Wakatobi serta nelayan dari luar Wakatobi. Kegiatan perikanan tangkap merupakan kegiatan pemanfaatan
sumberdaya yang penting di Gugus Pulau Kaledupa. Ini disebabkan sumberdaya ikan dan sumberdaya laut lainnya merupakan sumber protein
hewani yang utama bagi masyarakat Kaledupa. Hasil tangkapan yang diperoleh selain untuk konsumsi rumah tangga, ada pula yang dikirim kesanak
keluarga di luar wilayah Kaledupa, dijual di wilayah GPK, dijual ke luar daerah atau diekspor ke luar negeri dalam bentuk hidup, segar maupun kering.
Dengan tingginya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya khususnya perikanan tangkap, disatu sisi akan dapat memberi
kontribusi pada peningkatan pendapatan masyarakat, yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Namun di sisi lain, keterlibatan
masyarakat dalam pemanfaatan yang terlalu eksploitatif, dan kegiatan penangkapan yang tidak ramah lingkungan akan mengancam keberlanjutan
dari sumberdaya itu sendiri. Cara pemanfaatan yang destruktif, tidak hanya mengancam keberlanjutan kegiatan perikanan tangkap, tetapi juga dapat
mengancam keberlanjutan kegiatan budi daya rumput laut dan kegiatan wisata bahari. Untuk itu, agar sumberdaya perikanan dan kelautan di Gugus Pulau
Kaledupa tidak mengalami degradasi, dan nelayan tangkap tetap dapat memperoleh pendapatan yang memadai bagi kesejahteraannya, perlu diatur
model pengelolaan sumberdaya, yaitu pengaturan cara penangkapan, penentuan jenis, ukuran serta jumlah alat tangkap yang digunakan dan
penentuan lokasi penangkapan. Pengaturan ini harus melibatkan nelayan dan para pemangku kepentingan lainnya, dan menjadi aturan yang disepakati
bersama, sehingga semua pihak merasa bertanggung jawab untuk melaksanakan aturan tersebut serta ada penetapan sanksi bagi yang
melanggar aturan yang telah ditetapkan. Kegiatan budi daya rumput laut walaupun baru dikembangkan pada
tahun 1990-an, namun mendapat respon yang positif dari masyarakat di Gugus Pulau Kaledupa. Hal ini terlihat dari hasil penelitian yang menunjukkan
tingkat partisipasi masyarakat secara total termasuk dalam kategori tinggi. Penduduk setempat banyak yang tertarik untuk membudidayakan rumput laut
mengingat teknik budi daya yang relatif mudah dilakukan, dan harga jual rumput laut yang kompetitif sehingga dapat meningkatkan pendapatan
masyarakat. Kegiatan budi daya rumput laut dilakukan oleh masyarakat sebagai matapencaharian utama atau sebagai matapencaharian sampingan
selain sebagai nelayan tangkap atau petani. Dari hasil penelitian, dapat ditarik kesimpulan bahwa kegiatan budi
daya rumput laut dari segi partisipasi akan dapat berkelanjutan. Bila dalam pengelolaan sumberdaya dapat dijaga keberlanjutan matapencaharian
masyarakat, khususnya dalam kegiatan budi daya rumput laut, yaitu dengan meningkatkan skala usaha agar terjadi peningkatan pendapatan. Dengan
demikian, kegiatan budi daya rumput laut akan dapat memberi pengaruh yang
signifikan pada kesejahteraan masyarakat di Gugus Pulau Kaledupa. Namun ada beberapa permasalahan yang perlu mendapat penanganan, karena dapat
mengancam keberlanjutan kegiatan budi daya rumput laut. Masalah tersebut antara lain: adanya potensi konflik pemanfaatan berupa penetapan luasan
area budi daya, penentuan lokasi budi daya, peningkatan kualitas rumput laut, pemasaran rumput laut dan modal usaha bagi pembudidaya rumput laut yang
perlu menjadi perhatian. Tingginya tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan budi daya
rumput laut dapat dimanfaatkan sebagai modal pembangunan bagi pengembangan budi daya rumput laut ketingkat usaha dalam skala besar
dimasa yang akan datang. Dengan demikian, peran Kabupaten Wakatobi sebagai salah satu sentra produksi rumput laut di Provinsi Sulawesi Tenggara
dapat lebih ditingkatkan. Tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi tersebut, dapat pula memudahkan dalam mengkoordinir para pembudidaya kedalam
bentuk kelompok-kelompok pembudidaya rumput laut. Dari kelompok tersebut dapat disalurkan modal investasi untuk pengembangan usaha budi daya
rumput laut. Selain itu, melalui kelompok pembudidaya dapat disampaikan informasi teknologi budi daya dan penanganan pasca panen yang dapat
meningkatkan kualitas rumput laut yang dibudidayakan. Peran serta masyarakat dalam kegiatan wisata bahari di Gugus Pulau
Kaledupa adalah sebagai pengelola wisata dengan menyediakan tempat penginapan bagi wisatawan. Tempat wisata yang paling banyak mendapat
kunjungan adalah obyek wisata yang terdapat di Pulau Hoga. Pulau Hoga terkenal akan kekayaan dan keunikan sumberdaya laut, dan mendapat
perhatian di tingkat nasional maupun internasional. Wilayah ini selain dijadikan sebagai daerah wisata, juga menjadi lokasi pusat penelitian terumbu karang
bagi peneliti internasional di bawah koordinasi Yayasan Operation Wallacea Opwal. Guna mendukung kegiatan tersebut, pengelola wisata yang
merupakan masyarakat setempat membuat home stay yang berlokasi di Pulau Hoga. Selain itu, masyarakat juga menyediakan kamar penginapan di rumah-
rumah penduduk yang terutama berlokasi di Kelurahan Ambeua ibukota Kecamatan Kaledupa.
Dari hasil penelitian, menunjukkan tingkat partisipasi masyarakat pada kegiatan wisata bahari secara total termasuk dalam kategori sedang. Hal ini
terjadi karena sektor wisata bahari merupakan sektor yang baru dikembangkan
1 2
3
Perencanaan
Pelaksanaan
Perolehan Manfaat Evaluasi Pengawasan
Partisipasi Total
Perikanan Tangkap Budidaya Rumput Laut
Wisata Bahari
di wilayah ini kedalam skala nasional dan internasional. Pada awalnya kegiatan wisata bahari merupakan kegiatan yang berskala lokal saja. Namun
sejak kegiatan penelitian yang dikembangkan oleh Operation Wallacea dilaksanakan di Gugus Pulau Kaledupa dan berpusat di Pulau Hoga, kegiatan
wisata bahari mulai berkembang sampai mancanegara. Sesungguhnya kegiatan wisata bahari masih dapat dikembangkan di
wilayah ini secara optimal dan menjadi sumber pendapatan tambahan bagi masyarakat, dengan
cara meningkatkan dukungan masyarakat dalam bentuk partisipasi aktif dalam kegiatan wisata bahari.
Agar masyarakat dapat lebih berpartisipasi dalam pengelolaan sumberdaya laut, hendaknya beberapa masalah yang masih terjadi di wilayah
Gugus Pulau Kaledupa perlu diselesaikan secara komprehensif. Dalam penyelesaian masalah-masalah tersebut agar berhasil dengan baik, perlu
dirunut kembali bagaimana tahapan-tahapan dalam proses pengelolaan sumberdaya di wilayah GPK berlangsung. Hal ini dilakukan agar dapat
dievaluasi pada tahapan mana tingkat partisipasi masyarakatnya rendah, sehingga dapat ditentukan cara mengatasinya.
Dari hasil penelitian, tingkat partisipasi masyarakat secara total dalam pengelolaan sumberdaya laut untuk kegiatan perikanan tangkap, budi daya
rumput laut dan wisata bahari, berdasarkan tahapan kegiatan disajikan pada gambar berikut:
Gambar 24 Tingkat partisipasi masyarakat secara total berdasarkan tahap kegiatan dalam pengelolaan SDL.
Dari grafik di atas terlihat bahwa tingkat partisipasi masyarakat berdasarkan tahapan kegiatan dalam pengelolaan SDL di wilayah GPK secara
total termasuk kategori tinggi untuk kegiatan perikanan tangkap dan budi daya rumput laut. Sedangkan untuk kegiatan wisata bahari termasuk dalam kategori
sedang. Tingginya tingkat partisipasi masyarakat pada kegiatan perikanan
tangkap disebabkan oleh tingginya tingkat partisipasi masyarakat pada hampir setiap tahapan kegiatan. Hanya saja yang perlu mendapat penanganan dalam
kegiatan perikanan tangkap adalah pada tahap pelaksanaan yang tingkat
partisipasi masyarakatnya sedang. Sedangkan tahapan yang perlu penanganan lebih serius adalah pada tahap evaluasi dan pengawasan yang
tingkat partisipasi masyarakatnya tergolong rendah. Hal yang sama juga terjadi pada kegiatan budi daya rumput laut, yang
tingkat partisipasi total masyarakat termasuk dalam kategori tinggi. Tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi dalam kegiatan budi daya rumput laut terjadi
pada hampir seluruh tahapan kegiatan. Hanya pada tahap evaluasi dan pengawasan termasuk dalam kategori sedang. Pada tahapan ini, perlu upaya
semua pihak untuk dapat meningkatkan partisipasi masyarakat mengingat evaluasi dan pengawasan merupakan bagian penting dalam proses
pembangunan. Pada kegiatan wisata bahari, tingkat partisipasi total masyarakat
termasuk dalam kategori sedang. Kurangnya partisipasi masyarakat pada kegiatan wisata bahari terjadi pada hampir seluruh tahapan kegiatan. Hanya
pada tahap perencanaan yang termasuk dalam kategori tinggi, sedangkan tahapan lainnya yaitu pelaksanaan, perolehan manfaat serta evaluasi dan
pengawasan termasuk dalam kategori sedang. Untuk itu perlu peran serta semua pihak untuk meningkatkan partisipasi masyarakat agar lebih aktif lagi.
Agar dapat lebih meningkatkan partisipasi masyarakat, maka dalam pengelolaan sumberdaya di wilayah GPK harus dapat memberi jaminan
kesejahteraan ekonomi bagi semua pihak yang terlibat. Dengan adanya jaminan tersebut, dapat menjadi stimulus bagi pelaku pembangunan,
khususnya pemanfaat sumberdaya seperti nelayan tangkap, pembudidaya rumput laut maupun pengelola wisata, sehingga mereka termotivasi untuk
lebih berperan dalam pembangunan. Dilain pihak pemanfaatan sumberdaya di wilayah GPK harus dijalankan tanpa memberikan resiko yang signifikan
terhadap ketidakpastian kehidupan di luar sistem sosial non human society. Selain itu, kegiatan pemanfaatan sumberdaya dapat pula memberikan jaminan
kepastian kehidupan yang baik bagi generasi human society dimasa mendatang. Pengelolaan sumberdaya yang ada sekarang, harus dijalankan
dan benar-benar diperhatikan berdasarkan prinsip-prinsip keberlanjutan. Pertimbangan tercapainya tujuan ekonomi dan ekologi dalam pengelolaan
sumberdaya mutlak diperhatikan. Sehingga pada masa mendatang generasi selanjutnya dapat menerima warisan sumberdaya yang lestari serta adanya
kepastian keberlanjutan matapencaharian masyarakat. Hal lain yang perlu pula diperhatikan adalah bahwa dalam kegiatan
pemanfaatan sumberdaya, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, penerimaan manfaat sampai pada evaluasi dan pengawasan, segala pihak yang terkait
apakah itu masyarakat, para pemangku kepentingan stakeholders, swasta maupun pemerintah dapat bertanggung jawab dan tidak ada satu elemenpun
dalam masyarakat yang tidak terlibat. Keterlibatan tersebut dilakukan mulai dari penyaluran aspirasi pengelola sumberdaya tentang model pengelolaan,
sampai pada manfaat yang diperoleh. Semua pihak mendapat manfaat benefit dari sumberdaya yang dikelola dan pelaku tersebut juga harus
bertanggung jawab terhadap kelangsungan sumberdaya yang mereka kelola. Dengan demikian pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan di wilayah
Gugus Pulau Kaledupa yang melibatkan masyarakat dapat tercapai. Bila dilihat dari partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya
laut di wilayah GPK, maka kegiatan budi daya rumput laut merupakan kegiatan yang partisipasi masyarakatnya dapat berkelanjutan. Keberlanjutan partisipasi
masyarakat pada kegiatan budi daya rumput laut didukung oleh partisipasi masyarakat pada tiap tahapan pengelolaan mulai dari perencanaan,
pelaksanaan sampai pada perolehan manfaat, dimana keseluruhan tahapan tersebut termasuk kategori tinggi, dan hanya pada tahap evaluasi dan
pengawasan yang tingkat partisipasinya termasuk kategori sedang. Dari hasil tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan budidaya rumput laut dapat
menjadi sumber mata pencaharian masyarakat yang dapat diandalkan.
VIII. MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA