Gambar 4 Prinsip pembangunan berkelanjutan Putri 2009.
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teoritis
Teori yang mendasari penelitian ini adalah teori tentang pembangunan berkelanjutan yang partisipatif participatory sustainable development, yang
didasarkan pada tiga prinsip pembangunan berkelanjutan Gambar 4 yang saling terkait dan merupakan satu kesatuan, yaitu:
Prinsip economically profitable, merupakan rancangan pembangunan yang harus memberikan jaminan kesejahteraan ekonomi bagi semua pihak.
Kesejahteraan ekonomi tersebut dapat dinikmati oleh semua lapisan dalam masyarakat, tanpa ada satu pihak pun yang terabaikan. Sedangkan prinsip
ecologically sound, menekankan pada pembangunan yang harus dijalankan tanpa memberikan resiko yang signifikan terhadap ketidakpastian kehidupan di
luar sistem sosial non human society, dan memberikan jaminan kepastian kehidupan yang baik bagi generasi human society dimasa mendatang.
Prinsip yang terakhir dalam pembangunan berkelanjutan adalah socio culturally acceptable and publicly accountable, dimana pembangunan harus
disusun, dijalankan, diterima dan dapat dipertanggungjawabkan oleh semua pihak dan tidak ada satu elemen masyarakat pun yang tidak terlibat dalam
pembangunan, dimana semua mendapatkan manfaat benefit dari pembangunan, dan semua pun bertanggung jawab terhadap keberlanjutan
pembangunan.
Economically Profitable
Ecologically Sound
Socially Acceptable
ch
t+1
x
t+1
p - h
t+1
ch
t
x
t
p - h
t
1 1+
δ α
h
t+1
ch
t+1
x
t+1
p - +
3.1.1 Overlaping
Generation Model OLG
Analisis keberlanjutan pengelolaan SDL untuk kegiatan perikanan tangkap di Gugus Pulau Kaledupa menggunakan model ekonomi antar
generasi, overlaping generation model OLG. Analisis ini didasarkan pada pemikiran bahwa keberlanjutan dapat dilihat dari sisi antar generasi dan motif
altruistik yang mendasarinya. Berikut ini dipaparkan model formal yang dimodifikasi dari model Conrad 1999 diacu dalam Fauzi 2006.
Dimisalkan seseorang pada generasi sekarang t ingin mewariskan konsumsi sumberdaya yang berkelanjutan pada anaknya pada periode
selanjutnya t + 1. Kesejahteraan generasi t ditentukan oleh manfaat ekonomi
usaha sumberdaya alam, dengan asumsi bahwa manfaat ekonomi yang diperoleh generasi t adalah:
π
1
= p - ch
t
x
t
h
t
3.1.1 dimana:
π
= manfaat ekonomi
p = harga per satuan output c = biaya ekstraksi per satuan input
x = biomassa sumberdaya alam h = tingkat pemanenan
Jika kemudian diasumsikan bahwa karena adanya motif altruistik sebagian dari pendapatan yang diperoleh tersebut 0 α 1 disisakan untuk
generasi mendatang, maka manfaat yang akan diperoleh generasi selanjutnya pada periode t +1 adalah:
π
t+1
= α Penentuan keberlanjutan dalam konteks overlaping generation OLG
ini kemudian dapat dilihat sebagai maksimisasi generasi kini yang harus menyisakan pendapatan untuk generasi mendatang dengan kendala
ketersediaan stok. Secara matematik, formulasi OLG tersebut adalah:
max
π
t
= dengan kendala:
x
t+1
= x
t
+ Fx
t
- h
t
3.1.2
3.1.3
3.1.4
∂
π
t+1
∂h
t+1
α 2ch
t+1
x
t+1
3.1.5
px
t+1
2c 3.1.6
p [4c 1+ δ
- α
p] x
t
8c 1+ δ
3.1.8 dimana:
Fx
t
= fungsi pertumbuhan sumberdaya alam 11+
δ = discount factor sebagai konsekuensi perbandingan manfaat
ekonomi antar generasi Persamaan 3.1.3 menyatakan bahwa maksimisasi manfaat
antargenerasi yang diukur dari generasi kini dengan manfaat ekonomi generasi mendatang diukur dalam nilai present value.
Pada periode t + 1, maksimisasi manfaat ekonomi untuk generasi yang akan datang dihasilkan dari maksimisasi persamaan 3.1.2, yaitu:
= α
p - = 0 sehingga diperoleh tingkat optimal panen untuk generasi yang akan datang
sebesar: h
t
+
1
= Jika panen optimal generasi t + 1 tersebut kita subtitusikan ke
persamaan 3.1.3, secara implisit kita sudah mempertimbangkan kepentingan generasi mendatang melalui ekstraksi sumberdaya alam oleh generasi
sekarang. Kemudian dengan mensubtitusikan persamaan 3.1.4 ke persamaan 3.1.3, dengan menghilangkan variabel x
t +
1
, kita akan memperoleh persamaan manfaat ekonomi generasi sekarang yang telah
mempertimbangkan konsumsi dan ketersediaan stok untuk generasi mendatang dalam bentuk:
π
t
=
Jika diasumsikan bahwa variabel sumberdaya alam bersifat given eksogen, maka persamaan 3.1.7 dapat dipecahkan untuk menentukan
tingkat panen generasi kini yang tidak akan mengurangi tingkat panen generasi mendatang. Dengan menurunkan persamaan 3.1.7 terhadap h
t
, akan diperoleh solusi optimal dari h
t
sebesar: h
t
+
1
= ch
t
x
t
p - x
t
1 1+
δ α
p
2
4c x
t
+ Fx
t
- h
t
3.1.7 +
Solusi optimal tersebut menggambarkan tingkat panen yang harus dilakukan oleh generasi t yang didasarkan pada harapan untuk mewariskan
panen yang positif pada generasi mendatang. Dengan mengetahui fungsi Fx yang eksplisit, kita dapat menentukan solusi biomas yang optimal untuk
generasi kini, yang kemudian dengan teknik subtitusi, akan kita ketahui nilai panen yang optimal untuk generasi mendatang.
3.1.2 Coastal Livelihood System Analysis
CLSA
Konsep Coastal Livelihood System Analysis CLSA dikembangkan dalam kerangka pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan, dimana aspek
sistem alam ekosistem dan sistem manusia tidak dapat dipisahkan Adrianto 2005. CLSA adalah sebuah pendekatan untuk strategi identifikasi mata
pencaharian alternatif bagi masyarakat pesisir terkait dengan tujuan umum pengelolaan wilayah pesisir dan laut yaitu keberlanjutan sistem sumberdaya itu
sendiri. Secara skematik, konsep CLSA ditampilkan pada Gambar 5 berikut ini.
Menurut Henninger 1998, mendefinisikan kerentanan sebagai kepekaan dari individu atau rumah tangga terhadap goncangan dan fluktuasi
eksternal. Beberapa resiko atau faktor yang berperan pada kerentanan individu adalah: resiko lingkungan seperti musim kering, hama dan banjir,
pasar misalnya fluktuasi harga dan pengangguran, resiko politik, resiko sosial
Capital Assets
Vurnerability Context:
External shocks External stresses
etc human
Livelihood Outcomes
Livelihood Strategies
Structure and
Process financial
social natural
Gambar 5 Konsep Coastal Livelihood System Analysis Adrianto 2005.
seperti pengurangan dukungan dan penghargaan masyarakat dan resiko kesehatan misalnya ekspos ke penyakit ADB 2006. Resiko seperti itu
diperlukan sebagai faktor pendorong dalam penganekaragaman dan adaptasi mata pencaharian. Rumah tangga atau individu yang tidak mampu untuk
menghadapi atau menganekaragamkan tekanan dari gangguan eksternal memiliki mata pencaharian yang rentan Ellis 1999; Scoones 1998.
3.1.3 A Minimal Model
Model minimal digunakan untuk mengukur keberlanjutan pengelolaan SDL untuk kegiatan wisata bahari di Gugus Pulau Kaledupa. Model ini
didasarkan pada tiga komponen sistem, yaitu: wisatawan, lingkungan alami, dan modal. Analisis yang digunakan berdasarkan kasus, dengan asumsi yang
bersifat umum mengenai ketiga komponen sistem tersebut. Asumsi ini digunakan untuk memprediksi dampak ekonomi dan lingkungan dari suatu
kebijakan. Pendekatan ini serupa dengan yang digunakan oleh Anderies 1998, 2000 diacu dalam Casagrandi dan Rinaldi 2002, yang menganalisis
dinamika agro-ekosistem. Model minimal yang digunakan sangat sederhana karena tidak dapat
mewakili sistem spesifik tertentu secara detil. Namun, model ini berisi fitur-fitur utama dari beberapa sistem. Model ini menunjukkan suatu lokasi generik dan
hanya memiliki tiga variabel yaitu: wisatawan,
Tt yang berada dalam suatu
area pada waktu
t
, kualitas lingkungan alam
Et
dan modal
Ct
yang ditujukan sebagai struktur untuk aktivitas wisatawan.
Ct
menunjukkan aset nyata berupa investasi dan tidak digabung dengan jasa pelayanan yang
disediakan bagi wisatawan. Meskipun pilihan ketiga komponen ini agak kurang jelas, definisinya menggunakan suatu variabel tunggal yang akan memiliki
beberapa masalah.
Faktanya, kita
mungkin menghindari
untuk mengagregatkan variabel wisatawan menjadikan wisatawan bersifat
homogen, dan menjadi variabel tunggal dari wisatawan, yang pada kenyataannya memiliki perbedaan pendapatan, gaya hidup, dan latar
belakang sosial budaya, atau infrastruktur seperti taman, fasilitas olah raga dan sistem transportasi. Hal yang sama berlaku untuk kualitas lingkungan,
yang merupakan gabungan beragam indikator seperti kualitas udara, air, keragaman hayati, dan kehidupan liar serta konservasi landscape. Tetapi
proses agregasi ini diperlukan karena kita harus menjaga jumlah variabel dan
parameter tetap sedikit agar permasalahannya dapat dibahas. Pengaruh musim tidak diperhitungkan dalam model karena yang diperhitungkan
hanyalah pada perilaku jangka panjang dari sistem. Interaksi antara tiga komponen dalam model minimal ini ditampilkan pada Gambar 6 berikut ini.
Gambar 6 Interaksi antara ketiga komponen dalam model minimal
Casagrandi dan Rinaldi 2002.
Dari gambar di atas, menunjukkan bahwa wisatawan T dan fasilitas bagi wisatawan C berdampak negatif terhadap kualitas lingkungan E, tetapi
kualitas lingkungan dan infrastruktur menarik bagi wisatawan. Panah positif dari T ke C menunjukkan investasi dari bagian keuntungan yang diperoleh dari
wisatawan digunakan untuk menambah fasilitas baru bagi pengunjung. Uraian dari masing-masing komponen dalam model minimal, dijabarkan dibawah ini
secara lebih mendetil.
1 Wisatawan
Misalkan wisatawan diminta untuk melaporkan daya tarik A
, dari lokasi yang pernah mereka kunjungi dan diasumsikan bahwa laporan tersebut
mempengaruhi keputusan pengunjung potensial baru informasi dari mulut ke mulut, Morley 1998 diacu dalam Casagrandi dan Rinaldi 2002. Dengan
mengukur
A
dalam unit yang sesuai, kita dapat menuliskan laju perubahan wisatawan pada lokasi tertentu sama dengan produk TA yaitu:
3.3.1
Tentu saja, A adalah daya tarik relatif, yaitu selisih antara daya tarik absolut , dari lokasi tertentu dimana informasi mengenai T, E, dan C tersedia dan
suatu nilai referensi , yang dapat dipandang sebagai daya tarik yang diharapkan dari suatu lokasi generik yaitu nilai rata-rata daya tarik dari semua
lokasi wisata potensial. Jadi : AT.E,C= T,E,C -
dimana dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk harga biaya dari lokasi alternatif. Dalam konteks sederhana adalah suatu ukuran kompetisi
yang dilakukan oleh lokasi wisata alternatif terhadap lokasi yang dikaji. Daya tarik yang diterima oleh wisatawan, tergantung pada budaya wisatawan
dan, khususnya pada kepekaannya terhadap kualitas lingkungan alam dan kemampuannya untuk mendeteksinya. Ini adalah jumlah aljabar dari tiga
notasi, karena wisatawan dapat peka terhadap kualitas lingkungan, ketersediaan fasilitas, dan kemacetan. Daya tarik lingkungan dapat
dimodelkan sebagai fungsi meningkat dan jenuh dari E. Ini ditunjukkan dengan fungsi Monod:
Dimana µ
E
adalah E →
∞ daya tarik yang berhubungan dengan kualitas
lingkungan yang tinggi, dan ϕ
E
adalah konstanta separuh titik jenuh half saturation constant, yaitu kualitas lingkungan dimana kepuasan wisatawan
adalah setengah dari nilai maksimum. Jadi, wisatawan akan memberikan nilai ϕ
E
rendah jika kualitas lingkungan rendah, karena mereka tidak dapat menikmati objek wisata jika kualitas lingkungannya buruk. Misalnya, seorang
wisatawan yang tidak dapat merasakan apakah sungai terpolusi atau tidak, akan berasosiasi dengan daya tarik konstan µ
E
dengan sungai tersebut bagaimanapun kualitas airnya karena:
Komponen kedua dari daya tarik, yaitu berhubungan dengan infrastruktur, juga dapat dimodelkan dengan fungsi Monod untuk estimasi
fasilitas yang tersedia per kapita : CT+1
3.3.2
3.3.3
3.3.4
3.3.5
yaitu :
Perhatikan bahwa daya tarik yang berhubungan dengan lingkungan alam adalah fungsi dari E dan bukan dari ET+1 seperti yang digambarkan dalam
teori barang publik dan penggunaan non-konsumtif Herfindahl dan Kneese 1974 diacu dalam Casagrandi dan Rinaldi 2002. Sebaliknya, fasilitas adalah
hal yang digunakan oleh wisatawan, dan oleh karenanya daya tarik yang berhubungan dengannya adalah fungsi dari persamaan 3.3.5 di atas.
Terakhir, jika kita mengasumsikan bahwa kemacetan congestion adalah proporsional terhadap T dan bahwa daya tarik menurun secara linier
dengan kemacetan, maka kita sampai pada formula untuk yaitu:
Dimana lima parameter
µ
E
, ϕ
E
,
µ
C
, ϕ
C
, α
mengidentifikasi budaya dari populasi wisatawan. Perlu diperhatikan bahwa daya tarik absolut , dari suatu lokasi
yang tidak dieksploitasi untuk kegiatan pariwisata C = T = 0 adalah positif dan dapat lebih besar dari daya tarik referensinya . Ini berarti bahwa daya
tarik relatif A, dapat positif bahkan jika C = T = 0. Ini menjelaskan fase awal fenomena yang oleh Butler 1980 diacu dalam Casagrandi dan Rinaldi 2002
disebut sebagai tourist-area cycle of evolution.
2 Lingkungan
Kualitas lingkungan Et,
jika tidak ada wisatawan dan modal, maka fungsi kualitas lingkungan ditunjukkan oleh persamaan logistik klasik yaitu:
Dimana laju peningkatan kualitas lingkungan net growth rate atau r
, dan daya dukung carrying capacity atau
K , dipengaruhi oleh semua aktivitas kecuali
yang berhubungan dengan industri pariwisata. Dengan kata lain, nilai K
adalah nilai yang berada dalam kondisi keseimbangan, dimana semua aktivitas
penduduk dan kegiatan industri kecuali pariwisata yang berada pada lokasi yang dikaji. Jika dimasukkan variabel wisatawan dan keberadaan fasilitas yang
3.3.6
3.3.7
3.3.8
memberi dampak negatif terhadap lingkungan, maka dinamika lengkap dari
Et adalah :
dan DTt,Ct,Et menunjukkan aliran kerusakan yang disebabkan oleh
kegiatan pariwisata. Secara umum, aliran ini berkorelasi positif dengan wisatawan dan modal. Kerusakannya akan lebih besar jika lingkungan tersebut
sebelumnya belum tereksploitasi. Bentuk fungsional paling sederhana adalah: D = EβC+
γ T
Kedua parameter β dan γ
adalah positif. Misalnya, pemanas hotel yang berdampak pada polusi udara merupakan komponen pertama yang pada
dasarnya merupakan variabel independen dari jumlah wisatawan ruang yang hangat, cafetaria, ruang istrahat dan sebagainya dan komponen kedua yang
proporsional terhadap jumlah pengunjung pemanas ruang tamu. Hal ini sangat konsisten dengan persamaan 3.3.10. Hal yang sama berlaku untuk
beberapa fasilitas wisatawan lainnya, seperti lift dan diskotik polusi suara, jasa bus polusi udara, fasilitas salju buatan polusi air bagian hilir, dan
sebagainya. Konsekuensi dari persamaan 3.3.10, adalah jika T dan C konstan, maka lingkungan masih dapat ditunjukkan dengan suatu persamaan
logistik:
dengan
dan
Dengan kata lain, jika β dan γ
bernilai positif, kegiatan pariwisata C dan T mereduksi daya dukung dan tingkat pertumbuhan bersih net growth rate dari
lingkungan dengan proporsi yang sama. 3.3.9
3.3.10
3.3.11
3.3.12
3.3.13
3 Modal
Komponen terakhir dalam model minimal adalah komponen modal. Tingkat perubahan modal merupakan selisih antara investasi I, dan nilai
penyusutan, yang proporsional terhadap C, yaitu:
Parameter δ
harus sangat kecil karena degradasi struktur wisatawan sangat lambat. Fakta bahwa konstanta waktu dari komponen sosial ekonomi adalah
lebih panjang dari komponen lingkungan telah ditekankan dalam Carpenter et al. 1999 diacu dalam Casagrandi dan Rinaldi 2002. Dalam simulasi,
δ adalah besaran ordo satu dan lebih kecil dari r, yang merupakan net growth
rate lingkungan. Fungsi I dapat dispesifikasikan dalam beberapa cara untuk menginterpretasikan beragam kebijakan investasi. Bahkan, kendala khusus
dapat diberlakukan pada fungsi tersebut untuk menghindari degenerasi dinamikanya, seperti yang dilakukan oleh Rinaldi et al. 1996 dalam studi
kontrol polusi. Alternatifnya, struktur dari fungsi I T ,E, C dapat diturunkan menggunakan argumen optimasi, seperti dalam Gatto et al. 1991; Shah
1995 atau Carpenter et al. 1999 diacu dalam Casagrandi dan Rinaldi 2002. Disini, diasumsikan bahwa investasi adalah suatu proporsi tetap dari
total penerimaan yang dihasilkan oleh kegiatan pariwisata dan bahwa penerimaan tersebut proporsional terhadap jumlah wisatawan:
I T, E, C = ε
T Jadi, parameter
ε , atau tingkat investasi, meningkat bersama-sama dengan
harga lokal. Sebagai kesimpulannya, model minimal menjadi:
Model ini adalah model baru karena tidak dapat diinterprestasikan sebagai consumer-resource model. Faktanya, wisatawan dan modal, yang dapat
3.3.14
3.3.15
3.3.16 3.3.17
3.3.18
dipandang sebagai predator, tidak meningkat sehubungan dengan kerusakan yang ditimbulkannya pada lingkungan.
3.1.4 Multi Criteria Decision Making
MCDM
Secara umum analisis multi criteria decision making MCDM sama dengan analisis hirarki proses AHP, dimana struktur AHP adalah bagian dari
MCDM, bobot suatu alternatif yang harus diambil didasarkan pada kriteria yang dipertimbangkan, kemudian disusun berdasarkan matrik Gibbon et al.
1996. Metode MCDM sudah banyak digunakan, dikembangkan dan diakomodasikan untuk menghadapi berbagai kriteria yang ada dalam
pengambilan keputusan tanpa melakukan konversi pada unit pengukuran dalam pengambilan keputusan dengan banyak kriteria.
Analisis multi kriteria memerlukan sejumlah pendekatan dengan terlebih dahulu menghitung banyak kriteria untuk membentuk struktur dan
proses pengambilan keputusan. Untuk mendukung analisis ini ada beberapa teknik yang dapat digunakan yaitu simple multi attribute rating technique
SMART, visual interactive sensitivity analysis VISA dan preference ratios in multiattribute evaluation PRIME.
Bidang analisis multi criteria memerlukan sejumlah pendekatan untuk menghitung kriteria yang banyak guna membentuk struktur pendukung proses
pengambilan keputusan. Penggunaan teknik MCDM pada beberapa bidang ditentukan oleh beberapa faktor, yakni: a teknik MCDM mempunyai
kemampuan dalam menangani jenis data yang bervariasi kuantitatif, kualitatif dan campuran dan pengukuran yang intangibel, b teknik MCDM dapat
mengakomodasi perbedaan yang diinginkan dalam penentuan kriteria, c skema bobot yang bervariasi untuk suatu prioritas atau pandangan
dari stakeholders yang berbeda, dapat diterapkan dalam MCDM, d tidak membutuhkan penentuan nilai ambang seperti pada operasi overlay, sehingga
kehilangan informasi yang dihasilkan tidak terjadi akibat penurunan skala dari variabel yang countinue
pada skala nominal, dan e prosedur analisis atau agregasi dalam teknik MCDM relatif sederhana Jankowski 1994; Carter
1991; Jasen dan Rieveld 1990 diacu dalam Subandar 2002. Teknik ini bertujuan mengakomodasi proses seleksi yang melibatkan
kriteria multi objective dalam mengkalkulasi pemrasaran diantara kriteria konflik yang terjadi. Bidang analisis ini memerlukan sejumlah pendekatan
dengan menghitung banyak kriteria untuk membentuk struktur yang mendukung proses pengambilan keputusan.
Menurut Jankowski 1995 diacu dalam Subandar 2002, secara umum pelaksanaan teknik MCDM dibagi menjadi tiga, yaitu: a penentuan
penetapan alternatif, b penentuan nilai skor masing-masing kriteria, dan c prioritas pembuatan keputusan decision making preferences.
Alternatif yang ditetapkan merupakan pilihan-pilihan yang relevan, seterusnya dari alternatif yang telah ditetapkan, disusun kriteria-kriteria yang
mempengaruhi alternatif pilihan. Masing-masing kriteria yang telah disusun diberi nilai. Nilai dapat berupa kuantitatif, kualitatif maupun campuran.
Proses normalisasi nilai dari masing-masing kriteria dapat dilakukan dengan menggunakan prosedur standar linier dan non-linier. Sedangkan prioritas
pembuatan keputusan dapat diformulasikan dari kriteria yang diambil, dengan membentuk nilai sendiri maksimum atau minimum atau sesuai
dengan tingkat keinginan. Proses pemberian nilai menggunakan fungsi agregasi tunggal atau ganda yang menghasilkan satu atau beberapa buah
solusi alternatif. Pengeloaan sumberdaya alam, merupakan masalah yang multi kriteria
dan multi objektif. Sehingga diperlukan suatu teknik evaluasi yang saling berhubungan untuk mendukung proses pembuatan keputusan dalam
pengelolaan sumberdaya alam. Teknik MCDM merupakan suatu teknik yang cukup baik diterapkan karena bertujuan untuk memberikan alternatif terbaik
dengan mengakomodasi proses seleksi yang melibatkan beragam kriteria multi criteria dalam pemilihan alternatif Gumbriech 1996.
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional
Kawasan pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang cukup besar karena didukung oleh adanya ekosistem dengan produktivitas hayati
tinggi seperti terumbu karang, padang lamun sea grass, rumput laut sea weeds dan hutan mangrove. Sumberdaya hayati laut pada kawasan ini
memiliki potensi keragaman dan nilai ekonomis yang tinggi seperti kerapu, napoleon, ikan hias, kuda laut, kerang mutiara, kima raksasa Tridacna gigas,
dan teripang. Selain itu, pulau-pulau kecil ini juga memberikan jasa-jasa lingkungan yang tinggi nilai ekonomisnya dan sekaligus sebagai kawasan
berlangsungnya kegiatan kepariwisataan.
Disamping potensi tersebut, PPK mempunyai permasalahan yang harus dipertimbangkan dalam pengelolaannya. Beberapa permasalahan dan
kendala yang terjadi antara lain: a Ukuran pulau yang kecil: akibat ukuran pulau yang kecil, maka
sumberdaya daratan sedikit dan untuk pengembangan ekonomi terbatas b PPK rentan terhadap pengaruh alam dan manusia: PPK mudah
terpengaruh akibat perubahan alam seperti kenaikan muka laut, bencana alam seperti topan dan tsunami. PPK juga rentan terhadap pengaruh
aktivitas manusia dalam pemanfaatan, seperti pengaruh limbah dan kerusakan lingkungan
c Keterbatasan sumber air tawar: PPK memiliki daerah tangkapan air yang sangat terbatas, bahkan rawan interusi air laut. Sehingga ketersediaan air
tawar sangat terbatas d Jauh dari pusat pertumbuhan: PPK biasanya letaknya jauh dari pusat
pertumbuhan dan terisolir, sehingga lamban dalam perkembangannnya e Konflik pemanfaatan: Akibat keterbatasan area pemanfaatan, dengan
penduduk yang padat, menimbulkan konflik dalam pemanfaatan. Sumberdaya pulau-pulau kecil tersebut yang didukung oleh ekosistem
dan lingkungan, berinteraksi dengan sistem manusia masyarakat. Masyarakat memanfaatkan dan mengelola sumberdaya alam untuk
kelangsungan hidup dan kesejahteraannya. Namun akibat motivasi ekonomi, kemiskinan, dan dorongan kebutuhan hidup, dalam memanfaatkan
sumberdaya alam, masyarakat sering tidak memperhatikan kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya yang ada disekitarnya. Sehingga dalam
memanfaatkan sumberdaya tersebut menggunakan cara-cara yang dapat merusak lingkungan, misal penggunaan bom, bius potasium, bubu dasar,
dan pengrusakan karang dengan menggunakan panah atau cungkil batu. Selain itu, terdapat fakta bahwa pulau-pulau kecil yang terpencil sering
dijadikan sebagai tempat penyelundupan, pembuangan limbah atau penambangan pasir secara liar.
Padahal semestinya masyarakat dalam kegiatan ekonomi yang memanfaatkan sumberdaya alam, haruslah berbasis ekosistem pulau-pulau
kecil. Dimana dalam pemanfaatan, laju pemanfaatan tidak melebihi kapasitas daya dukungnya. Pemanfaatan yang dilakukan tidak melampaui kemampuan
regenersi sumberdaya, atau limbah yang dihasilkan tidak melebihi kemampuan
asimilasi limbah oleh lingkungan. Dengan demikian, generasi mendatang tetap memiliki aset sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sama, atau
kalau dapat lebih baik daripada generasi yang hidup sekarang. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya khususnya pulau-pulau
kecil, harus memperhatikan karakteristik, potensi, keterbatasan dan permasalahan dari pulau-pulau kecil tersebut. Sehingga pemanfaatan
sumberdaya PPK, tidak hanya dinikmati oleh generasi kini, tapi tetap dapat diwariskan pada generasi mendatang. Pemanfaatan sumberdaya harus dapat
dikelola dengan baik, sehingga tidak hanya menjamin keberlanjutan sumberdaya, tetapi dapat pula menjamin keberlanjutan mata pencaharian
masyarakat setempat yang bergantung pada sumberdaya tersebut. Dengan mempertimbangkan potensi dan keterbatasan pulau, maka
keberlanjutan sistem yang terdapat di pulau tersebut dapat dipertahankan. Sehingga pembangunan ekonomi berkelanjutan dapat tercapai. Untuk
mencapai pembangunan ekonomi berkelanjutan, tidak hanya diupayakan oleh pemerintah, tetapi harus pula mendapat dukungan dan partisipasi dari
masyarakat. Masyarakat sebagai tujuan pembangunan, harus pula menjadi pelaku pembangunan. Orientasi masyarakat dalam pembangunan harus
menyeimbangkan antara fungsi ekonomi dan fungsi ekologi pulau-pulau kecil. Implikasi dari peran masyarakat dalam mengelola lingkungan dan
peran serta dalam pembangunan, akan kembali dinikmati oleh masyarakat tersebut dalam bentuk peningkatan kesejahteraannya. Bila masyarakat tidak
dapat mengelola lingkungan dengan arif dan menyeimbangkan fungsi ekonomi dan ekologi, maka yang akan terjadi deplesi sumberdaya dan kesejahteraan
masyarakat yang semakin berkurang. Oleh karena itu, dalam konteks pembangunan ekonomi berkelanjutan,
kita tidak dapat hanya melihat dari ukuran-ukuran tradisional yang selama ini digunakan, seperti tingginya pendapatan per kapita untuk mengukur
kesejahteraan suatu bangsa atau masyarakat. Namun, kita perlu memasukkan dimensi lain seperti lingkungan hidup dan sosial dalam mengukur kualitas
hidup suatu bangsa atau kelompok masyarakat. Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah diketahuinya status
keberlanjutan pengelolaan sumberdaya alam yang ada di Gugus Pulau Kaledupa,
melalui analisis
keberlanjutan. Apakah
pengelolaan sumberdaya alam yang dilakukan selama ini oleh masyarakat setempat
telah memenuhi
kriteria pembangunan
berkelanjutan? Dengan
memperhatikan potensi dan keterbatasan pulau-pulau kecil. Dalam pengelolaan sumberdaya, apakah masyarakat telah berpartisipasi dalam
mendukung pembangunan berkelanjutan, ataukah justru melakukan kegiatan merusak lingkungan. Dengan dasar pengetahuan tersebut, maka
dapat direkomendasikan
bentuk kebijakan
pembangunan dalam
mengelola sumberdaya pulau-pulau kecil, yang berkelanjutan dan berbasis partisipasi masyarakat. Secara umum kerangka pemikiran penelitian ini
dapat dilihat pada Gambar 7 berikut ini.
Gambar 7 Diagram Alir Kerangka Pemikiran.
Pulau-Pulau Kecil PPK
Economics of Intergeneration Model
Participatory of Local Community
Ekosistem dan Lingkungan
Analisis Keberlanjutan
Status Keberlanjutan
Coastal Lovelihood System Analysis
Sistem Manusia
Kegiatan Sosial, Ekonomi Budaya Berbasis Ekosistem PPK
Model Pengelolaan Sumberdaya PPK Berbasis Partisipasi Masyarakat
Permasalahan Pengelolaan PPK :
PPK rentan terhadap pengaruh alam manusia
Keterbatasan air tawar Jauh dari pusat pertumbuhan
Konflik pemanfaatan sumberdaya
Analisis MCDM A Minimal
Model
3.3
Hipotesis
Hipotesis penelitian ini disusun sebagai berikut: 1 Pengelolaan sumberdaya Gugus Pulau Kaledupa yang selama ini
dilakukan belum mendukung pembangunan berkelanjutan 2 Partisipasi masyarakat kurang berperan dalam mendukung pembangunan
berkelanjutan di Gugus Pulau Kaledupa.
Gambar 8 Lokasi penelitian.
IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian