II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Berkelanjutan
Pemahaman tentang pembangunan berkelanjutan menjadi penting karena selama beberapa tahun terakhir ini konsep pembangunan kurang
memperhatikan unsur keberlanjutan atau kesinambungan sustainability. World Commision on Environment and Development, WCED 1987 diacu
dalam Adrianto 2005, mengemukakan konsep pembangunan berkelanjutan versi dokumen Burtland, Our Common Future yaitu pembangunan yang dapat
memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan kepentingan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya.
Dari pengertian diatas, prinsip dasar dari pembangunan berkelanjutan adalah merupakan kolaborasi antara pengelolaan sumberdaya dan waktu
masa kini dan masa mendatang. Hal ini sejalan dengan pendapat Heal 1998 diacu dalam Fauzi 2006, yang mengemukakan konsep keberlanjutan
paling tidak mengandung dua dimensi yaitu: a Dimensi waktu, karena keberlanjutan tidak lain menyangkut apa yang akan terjadi dimasa mendatang,
dan b dimensi interaksi antara sistem ekonomi dan sistem sumberdaya alam dan lingkungan.
Selain definisi secara operasional, Departement for International Development 1999 melihat bahwa konsep keberlanjutan dapat diperinci
menjadi empat aspek pemahaman yaitu: a Keberlanjutan lingkungan, artinya sistem yang berkelanjutan secara lingkungan harus mampu menopang
kehidupan sekarang dan juga harus memperhatikan kebutuhan untuk generasi yang akan datang, b Keberlanjutan ekonomi, artinya bahwa pembangunan
harus mampu menghasilkan barang dan jasa secara berkesinambungan, c Keberlanjutan sosial, artinya sebagai sistem yang mampu mencapai
pemerataan yang maksimal dan meminimalkan hal yang bersifat menguntungkan diri sendiri, d Keberlanjutan lembaga institutional, artinya
bahwa struktur dan proses dari suatu lembaga harus berkelanjutan dengan memperhatikan fungsi mereka untuk jangka waktu yang panjang.
Karena adanya berbagai interpretasi yang berbeda tentang keberlanjutan, maka untuk penelitian ini menggunakan konsep yang diadopsi
dari Komisi Burtland. Ada dua hal yang secara implisit menjadi perhatian dalam konsep Burtland tersebut, yaitu: a menyangkut pentingnya
memperhatikan kendala sumberdaya alam dan lingkungan terhadap pola pembangunan dan konsumsi, b menyangkut perhatian pada kesejahteraan
generasi mendatang. Hall 1998 diacu dalam Fauzi 2006, menyatakan bahwa asumsi
keberlanjutan paling tidak terletak pada tiga hal yaitu: a Perlakuan masa kini dan masa mendatang yang menempatkan nilai positif dalam jangka panjang,
b Menyadari bahwa aset lingkungan memberikan kontribusi terhadap economic well-being, dan c Mengetahui kendala akibat implikasi yang timbul
pada aset lingkungan. Selain definisi operasional diatas, Haris 2000 diacu dalam Fauzi
2006 merinci konsep keberlanjutan menjadi tiga aspek pemahaman yaitu: a keberlanjutan ekonomi, yang diartikan sebagai pembangunan yang mampu
menghasilkan barang dan jasa secara kontinu untuk memelihara keberlanjutan pemerintahan dan menghindari terjadinya ketidakseimbangan sektoral yang
dapat merusak produksi pertanian dan industri, b keberlanjutan lingkungan, sistem ini harus mampu memelihara sumberdaya yang stabil, menghindari
eksploitasi sumberdaya alam dan fungsi penyerapan lingkungan. Konsep ini juga menyangkut pemeliharaan keanekaragaman hayati, stabilitas ruang
udara, dan fungsi ekosistem lainnya yang tidak termasuk kategori sumber- sumber ekonomi, c keberlanjutan sosial, keberlanjutan ini diartikan sebagai
sistem yang mampu mencapai kesetaraan, menyediakan layanan sosial termasuk kesehatan, pendidikan, gender, dan akuntabilitas politik.
Konsep pembangunan berkelanjutan terus mendapat sambutan yang luas dari para pemerhati pembangunan dan lingkungan hidup. Lebih lanjut,
keberlanjutan pembangunan dilihat dalam tiga dimensi keberlanjutan seperti yang dikemukakan oleh Serageldin 1994 sebagai triangular framework, yakni
keberlanjutan secara ekonomi, sosial, dan ekologi. Kemudian Spangenber menambahkan dimensi kelembagaan institution sebagi dimensi keempat
keberlanjutan, sehingga keempat dimensi tersebut membentuk suatu prisma keberlanjutan.
Dalam proses pembangunan, harus memenuhi prinsip-prinsip dasar yang dapat menopang kegiatan pembangunan dan saling memperkuat guna
mencapai pembangunan berkelanjutan, yang didasarkan pada tiga fokus pembangunan berkelanjutan, yaitu: lingkungan, pertumbuhan dan keadilan.
Prinsip-prinsip dasar dalam pembangunan berkelanjutan menurut Putri 2009
adalah: a ketahanan ekonomi, yang didalamnya mencakup masyarakat dan ketahanan ekologi yang lebih baik dalam jangka panjang capacity to endure,
b kelenturan atau ketahanan resiliency dalam menghadapi beragam tantangan dan perubahan, c kemandirian ekonomi econimc self-reliance,
d kontinuitas continuity principle baik dalam aktivitas produksi untuk mendukung kehidupan maupun kelangsungan alam sebagai habitat manusia,
e kapasitas menyangga carryng capacity yang lebih baik dalam memberikan kehidupan layak bagi komponen ekosistem biosfir, f kekuatan
less vulnerable dalam menghadapi segala perubahan lingkungan, dan g kearifan terhadap eksistensi alam, keberadaan budaya masyarakat lokal dan
penghargaan kepada eksistensi pengetahuan asli masyarakat setempat indigenous knowledge.
Sedangkan menurut Emil Salim diacu dalam Handoyo 2001 mengartikan pembangunan berkelanjutan sebagai suatu proses pembangunan
yang mengoptimalkan manfaat sumberdaya alam dengan manusia dalam pembangunan. Ide-ide pokok yang mendasari konsep itu adalah: a proses
pembangunan mesti berlanjut, terus menerus, ditopang oleh sumberdaya alam, kualitas lingkungan dan manusia berkembang secara berlanjut, b
sumber alam memiliki ambang batas, dimana penggunaannya akan menciutkan kualitas dan kuantitasnya, c kualitas lingkungan berkorelasi
dengan kualitas hidup, d pola pembangunan sumberdaya alam kini seharusnya menutup kemungkinan pilihan lain dimasa depan dan e
pembangunan berkelanjutan mengandalkan solidaritas antargenerasi, dimana pembangunan itu memungkinkan generasi sekarang untuk meningkatkan
kesejahteraan tanpa mengurangi kemungkinan bagi generasi yang akan datang untuk meningkatkan kesejahteraannya.
2.2 Pembangunan dan Partisipasi Masyarakat
Pembangunan development menurut Todaro 2004 secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah perekonomian nasional—
yang kondisi ekonomi awalnya kurang lebih bersifat statis dalam kurun waktu yang cukup lama—untuk menciptakan dan mempertahankan kenaikan
pendapatan nasional bruto atau Gross National Product GNP. Secara filosofis, suatu proses pembangunan dapat diartikan sebagai
upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan suatu
keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Pengertian dari
alternatif yang sah dalam definisi pembangunan di atas diartikan bahwasanya upaya pencapaian aspirasi tersebut dilaksanakan sesuai dengan hukum
yang berlaku atau dalam tatanan kelembagaan atau budaya yang dapat diterima Rustiadi 2007.
Pembangunan dan khususnya pembangunan manusia didefinisikan oleh UNDP sebagai suatu proses untuk memperluas pilihan-pilihan bagi
penduduk. Dengan demikian, pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas
struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan
pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Jadi pada hakekatnya pembangunan itu harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau
penyesuaian suatu sistem sosial secara keseluruhan tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individu maupun kelompok sosial
untuk bergerak maju ke kehidupan yang serba lebih baik. Apapun komponen spesifik atas ‘kehidupan yang serba lebih baik’
bertolak dari tiga tujuan inti dari pembangunan, yaitu kecukupan sustenance memenuhi kebutuhan pokok, meningkatkan rasa harga diri atau jati diri self-
esteem, serta kebebasan freedom untuk memilih Todaro 2004. Pembangunan
sebagai cerminan
perubahan masyarakat,
mengindikasikan bahwa masyarakat bukan sekedar sebagai objek pembangunan, tetapi juga merupakan pelaku pembangunan. Untuk itulah
partisipasi masyarakat dalam pembangunan guna mencapai tujuan pembangunan mutlak diperlukan.
Partisipasi berasal dari bahasa Inggris ”participation” yang berarti ambil bagian atau melakukan kegiatan bersama-sama dengan orang lain.
Berdasarkan kamus Webster 1976 diacu dalam Hikmah 2002, partisipasi mengandung arti: 1 partisipasi adalah kegiatan atau pernyataan untuk ikut
mengambil bagian dalam suatu kegiatan, 2 partisipasi adalah kerjasama dalam suatu hubungan yang saling menguntungkan. Partisipasi dapat
didefinisikan secara luas sebagai bentuk keterlibatan dan keikutsertaan masyarakat secara aktif dan sukarela, baik karena alasan-alasan dari dalam
dirinya maupun dari luar dirinya dalam keseluruhan proses kegiatan yang bersangkutan Moeliono 2004.
Ada bermacam-macam faktor yang mendorong kerelaan untuk terlibat, bisa karena kepentingan, bisa karena solidaritas, bisa karena memang
mempunyai tujuan yang sama, bisa juga karena ingin melakukan langkah bersama walaupun tujuannya berbeda Hetifah 2009. Apa pun faktor yang
mendorong partisipasi, akhirnya harus membuahkan kesepakatan tentang tujuan yang hendak dicapai dan tindakan yang akan dilakukan bersama.
Artinya, apa yang semula bersifat individual harus secara sukarela diubah dan diolah menjadi tujuan dan kepentingan kolektif.
Beberapa uraian tentang partisipasi di atas, sejalan dengan pendapat Pretty et al. 1995 diacu dalam Daniel et al. 2008 yang mengemukakan
pengertian partisipasi sebagai proses pemberdayaan masyarakat sehingga mampu menyelesaikan masalah yang dihadapinya.
Dengan demikian, pengertian partisipasi adalah pengambilan bagian pengikutsertaan atau masyarakat terlibat langsung dalam setiap tahapan
proses pembangunan mulai dari perencanaan planning, pengorganisasian organizing, pelaksanaan actuating sampai pada pengawasan monitoring
dan evaluasi controlling. Jika kita melihat partisipasi berdasarkan tahapannya, maka partisipasi
masyarakat dapat dibagi dalam beberapa tahapan. Cohen dan Uphoff 1977 diacu dalam Yuanike 2003 membedakan partisipasi berdasarkan empat
tahapan, yaitu: 1 partisipasi dalam pembuatan keputusan, partisipasi yang memberikan arahan kepada masyarakat untuk mengemukakan pendapat dan
aspirasinya dalam menilai suatu rencana kegiatan. Masyarakat juga diberi kesempatan untuk menimbang suatu keputusan yang akan diambil,
2 partisipasi dalam pelaksanaan, partisipasi dengan mengikutsertakan masyarakat dalam kegiatan operasional berdasarkan rencana yang telah
disepakati bersama, 3 partisipasi dalam manfaat, partisipasi masyarakat dalam menggunakan dan menikmati hasil pembangunan yang telah
dilaksanakan, baik pemerataan kesejahteraan dan fasilitas yang ada di masyarakat, 4 partisipasi dalam evaluasi, partisipasi mayarakat dalam
keikutsertaannya menilai serta mengawasi kebiasaan pembangunan dan memelihara hasil pembangunan yang dicapai.
Dari beberapa uraian tentang partisipasi masyarakat yang telah dikemukakan, jelas bahwa peran serta masyarakat menjadi demikian penting
dalam setiap bentuk kegiatan pembangunan, sebab dengan dukungan masyarakat yang saling berinteraksi dengan baik akan memberikan harapan
kearah berhasilnya suatu kegiatan pembangunan. Adapun pengertian masyarakat dijelaskan oleh Korten 1986 diacu
dalam Muluk 2007 yang secara populer merujuk pada sekelompok orang yang memiliki kepentingan bersama. Namun kemudian, Korten lebih memilih
pengertian yang berasal dari dunia ekologi dengan menerjemahkan masyarakat sebagai “an interacting population of organisms individuals living
in a common location”. Pengertian yang dikemukakan oleh Korten tersebut telah menyentuh aspek spasial dalam kehidupan sekelompok orang.
Pendapat lain yang lebih sederhana untuk menjelaskan pengertian masyarakat sebagai mana dikutip dari Devas 1997 diacu dalam Muluk
2007, bahwa masyarakat dapat berupa masyarakat berbasis geografi geographical cummunities dan masyarakat berbasis kepentingan interest
cummunities. Jenis pertama dapat berupa rukun warga, desa, kabupaten, dan sebagainya. Jenis kedua dapat meliputi kelompok wali murid, pengguna air
minum, dan sebagainya. Partisipasi bukanlah proses alami, tetapi melalui proses pembelajaran
dan sosialisasi. Ada beberapa bentuk partisipasi, antara lain: a Inisiatif spontan, yaitu masyarakat secara spontan melakukan aksi
bersama. Ini adalah bentuk partisipasi paling alami. Bentuk partisipasi spontan ini sering terjadi karena termotivasi oleh suatu keadaan yang tiba-
tiba, seperti bencana atau krisis b Fasilitasi, yaitu suatu partisipasi masyarakat disengaja, yang dirancang
dan didorong sebagai proses belajar dan berbuat oleh masyarakat untuk membantu menyelesaikan masalah bersama
c Induksi, yaitu masyarakat dibujuk berpartisipasi melalui propaganda atau mempengaruhi melalui emosi dan patriotisme
d Koptasi, yaitu masyarakat dimotivasi agar berpartisipasi untuk keuntungan- keuntungan materi dan pribadi yang telah disediakan bagi mereka
e Dipaksa, yaitu masyarakat berpartisipasi di bawah tekanan atau sanksi- sanksi yang diberikan penguasa.
Dari beberapa bentuk partisipasi di atas, bentuk partisipasi yang diharapkan adalah inisiatif spontanitas, namun sering tidak terjadi, sehingga
diperlukan upaya dari luar. Memilih proses c, d dan e hasilnya akan relatif bersifat sementara, dan partisipasi tidak akan banyak bermanfaat bagi
masyarakat. Partisipasi yang paling baik adalah melalui fasilitasi. Fasilitasi, masyarakat diposisikan sebagai dirinya, sehingga dia termotivasi untuk
berpartisipasi dan berbuat sebaiknya untuk keuntungan dirinya Daniel et al. 2008.
Partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan tidak dapat dipisahkan dengan lingkungan sekitarnya dan tidak terlepas dari aktivitas
pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya.
Sedangkan partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya akan merupakan bentuk tanggung jawab mereka terhadap masa depan sumberdaya tersebut. Artinya,
mereka tidak hanya akan berhenti pada upaya merencanakan dan melaksanakan prinsip pengelolaan sumberdaya secara lestari seiring dengan
nilai-nilai tradisional yang mereka miliki, tetapi tanggung jawab itu juga akan muncul dalam bentuk pengawasan dan pengendalian.
Partisipasi penting dalam pengelolaan sumberdaya alam, hal ini disebabkan oleh: a keputusan optimal dari suatu pihak ditentukan oleh
kekuatan dan kepentingan oleh pihak lain, sehingga penting untuk selalu mempertimbangkan kehadiran pihak lain dalam pengelolaan sumberdaya
alam, b perbedaan-perbedaan kepentingan interest yang dipegang oleh masing-masing pihak bila tidak diberikan solusi ”jalan tengah”, maka akan
terjadi konflik sumberdaya alam yang terus berlanjut, dan c sejak dini menghindari potensi konflik masa depan, sehingga biaya sosial dan korbanan
ekonomi yang dikeluarkan akan lebih kecil. Partisipasi merupakan keterlibatan masyarakat dalam proses
pengambilan keputusan, dalam implementasi program yang dirumuskan secara bersama-sama, dan menikmati secara bersama-sama pula setiap
manfaat benefit yang diterima dari keberhasilan program, dimana mereka juga terlibat dalam proses evaluasi termasuk proses pengawasan Cohen dan
Uphoff 1999 diacu dalam Putri 2009. Sementara itu OECD diacu dalam Putri 2009, memberikan penjelasan
tentang pembangunan yang partisipatif sebagai sebuah proses kemitraan, dengan memberikan batasan bahwa: kemitraan patnership yang dibangun
atas dasar dialog diantara beragam aktor pada saat mereka menyusun agenda kerja, dimana pandangan lokal dan pengetahuan asli dicari dan dihargai. Hal
ini berimplikasi pada berlangsungnya proses negosiasi daripada sekedar dominasi keputusan dari luar sistem sosial masyarakat atau externally set
project agenda, dimana masyarakat berperan sebagai aktor penentu dan bukan sekedar penerima sebuah program.
Keragaan sebuah skema pembangunan lingkungan yang partisipatif participatory environmental development, dapat dilihat dari: a derajat
kedalaman keterlibatan individu dalam pengelolaan suatu program pembangunan, b derajat keberagaman latar belakang sosio-ekonomi-politik-
budaya dari pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan program, c proses dialog atau proses komunikasi dalam pengelolaan program, yang ditandai oleh
bentuk pertukaran gagasan informasi yang saling menguntungkan semua pihak atau menguntungkan sebelah pihak, d intensitas kerjasama
institusional yang merupakan kolaborasi antar pihak di ruang-ruang kekuasaan yang berbeda dalam pengelolaan suatu program, dan e kepercayaan trust
sebagai basis keterlibatan partisipasi setiap pihak yang ditandai oleh pengembangan dan pemeliharaan sikap saling percaya diantara pihak-pihak
yang terlibat dalam pengelolaan suatu program. Adapun tipe-tipe partisipasi dalam pengelolaan sumberdaya alam,
berdasarkan derajat kedalamannya adalah sebagai berikut: 1 Partisipasi manipulatif, dimana stakeholders diindoktrinasi lalu diklaim
telah ikut menentukan suatu keputusan. Bentuk partisipasi ini merupakan bentuk partisipasi yang paling lemah, dan cenderung membentuk pola
otoriter atau non partisipasi 2 Partisipasi informatif, merupakan bentuk awal partisipasi aktif. Dalam
partisipasi ini, stakeholders didengarkan hak dan kewajibannya, diperhitungkan suaranya dalam menentukan pilihan-pilihan dalam
pengelolaan sumberdaya alam 3 Partisipasi konsultatif, dalam partisipasi tipe ini stakeholders mulai
mengembangkan komunikasi dua arah two-way communication, dimana saran dan gagasan saling dibuka dan dipertukarkan kemungkinannya
untuk dipertimbangkan
4 Consensus building participation, dimana setiap stakeholders membangun saling pengertian dalam negotiated positions untuk menentukan suatu
keputusan 5 Decision making participation, merupakan sebuah langkah aksi dan
operasional yang diambil setelah konsensus diterima oleh semua pihak yang terlibat
6 Risk sharing participation, dimana semua stakeholders sadar akan resiko yang timbul akibat keputusan yang diambil mereka dan ikut bertanggung
jawab atas akibat dan hasil yang ada 7 Patnership participation, merupakan kemitraan yang memberikan ruang
tanggung jawab yang seimbang dan adil antar stakeholders 8 Self management participation, merupakan partisipasi yang menuju
otonomisasi pengelolaan sumberdaya alam secara mandiri dan bertanggung jawab.
Dalam pembangunan lingkungan yang partisipatif, selayaknya mencari titik temu dari beragam pihak kelompok yang berbeda pandangan untuk
mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Kelompok tersebut terdiri atas: a kelompok immaterialist moralist, merupakan kelompok yang
menyatakan bahwa pertumbuhan growth dalam pembangunan ekonomi merupakan hal yang tidak diinginkan bukan tujuan utama karena hanya akan
membuat kerusakan alam makin parah, b kelompok pessimist, meyakini bahwa pertumbuhan growth dalam pembangunan ekonomi tidak mungkin
dapat berlangsung dalam jangka panjang, karena pembangunan akan menyebabkan destruksi dari lingkungan alam dan kerusakan yang
ditimbulkannya sukar diperbaharui kembali, c kelompok teknokrat, meyakini bahwa pertumbuhan dan kualitas lingkungan merupakan ‘pasangan’, dan tidak
ada kaitannya antara ekspansi produksi atau konsumsi dengan daya dukung lingkungan, d kelompok opportunist, menyatakan bahwa pertumbuhan dan
degradasi lingkungan adalah merupakan hal yang tidak dapat dihindari, pernyataan kelompok ini adalah: “sekiranya pun perkembangan teknologi bisa
menjembatani konflik antara pertumbuhan dan kerusakan lingkungan, apakah pembangunan berkelanjutan akan tetap bisa dicapai di dunia ini?” sebab
menurut mereka, doomsday scenario sebagai sebuah ketetapan pasti akan tetap terjadi, dan kelompok terakhir adalah kelompok optimist, yang
menyatakan bahwa pertumbuhan itu penting untuk kegiatan konservasi
lingkungan, karena pertumbuhan ekonomi justru diperlukan bagi masyarakat agar mereka dapat mendanai kegiatan preservasi lingkungan.
Salah satu permasalahan yang cukup penting dalam pengelolaan sumberdaya alam khususnya sumberdaya laut termasuk sumberdaya
perikanan adalah keterbatasan hak atas sumberdaya property right. Hal ini tidak terlepas dari karakter sumberdaya ikan yang bersifat common properties
dan open access. Karakter sumberdaya yang seperti ini juga diperburuk oleh adanya ketidakpastian uncertainties yang tinggi
baik sumberdaya ikan, lingkungan, pasar, maupun kebijakan pemerintah, yang kemudian mendorong
sumberdaya laut ke dalam berbagai bentuk kompetisi yang tidak sehat dan konflik Widodo dan Suadi 2006.
Sehingga untuk menghindari konflik dalam pemanfaatan sumberdaya, diperlukan kerjasama semua pihak, baik pemerintah maupun kelompok
pengguna sumberdaya user groups. Dimana setiap pengguna diberi tugas dan tanggung jawab yang sama. Salah satu pendekatan pengelolaan yang
memberikan ruang bagi adanya pembagian tugas dan tanggung jawab antara pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya disebut ko-manajemen.
Pengelolaan ini juga dapat didefinisikan sebagai pendesentralisasian pembuat keputusan yang melibatkan kelompok pengguna pemangku kepentingan dan
pemerintah Hanna 1998 diacu dalam Widodo dan Suadi 2006. Kelompok pengguna dalam hal ini meliputi nelayan, pembudidaya, pengolah, pedagang,
perantara middleman, industri alat tangkap, pemasok alat tangkap, konsumen, peneliti, pegawai pemerintah, penegak hukum, pemerhati
lingkungan dan konservasi, LSM, dll. Dalam konteks perikanan fisheries co- management itu sendiri didefinisikan sebagai pola pengelolaan dimana
pemerintah dan pelaku pemanfaatan sumberdaya user groups berbagi tanggung jawab sharing the responsibility dalam pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya
perikanan dengan
tujuan mewujudkan
keseimbangan tujuan ekonomi dan sosial dalam kerangka kelestarian ekosistem dan sumberdaya perikanan Nielsen 1996 diacu dalam Adrianto
2007. Ko-manajemen diperlukan atas dasar kesadaran bahwa di bawah
pendekatan pengelolaan yang lain, proses yang efektif untuk menjamin hubungan antara sektor publik, swasta dan masyarakat selalu gagal untuk
dikembangkan. Code of Conduct for Responsible Fisheries CCRF baik dalam
Artikel 6 maupun 7 juga menyarankan pentingnya partisipasi dari para pemangku kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya laut secara efektif.
Bagi kegiatan perikanan skala kecil, ko-manajemen sangat penting sekurangnya karena beberapa alasan berikut: 1 kondisi lokal dan sejarah
usaha kenelayanan memiliki arti penting sebagai pra kondisi pengembangan ko-manajemen, 2 kedekatan dengan pantai yang bersifat fragile menuntut
manajemen yang efektif, 3 alat dan proses pengelolaan yang secara tradisional berkembang terbukti tidak cukup mampu menanggulangi laju
peningkatan entry, capitalization, dan exploitation, 4 masyarakat memiliki tanggung jawab bagi pemberdayaan berbagai aturan dan resolusi konflik, dan
5 perikanan skala kecil memiliki kepentingan lokal dan regional yang sering tidak proporsional dengan ukuran sumberdaya ikan. Dengan demikian upaya
ko-manajemen dengan menghubungkan secara efektif antara berbagai pemangku kepentingan merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan
masalah proses pengelolaan sumberdaya Widodo dan Suadi 2006. Pembagian distribusi tanggung jawab antara pemerintah dan pelaku
perikanan sangat bervariasi mulai dari tipe instruktif hingga tipe informatif. Menurut Pomeroy dan Rivera-Guleb 2006 diacu dalam Adrianto 2007,
terdapat lima tipe besar ko-manajemen menurut peran dari pemerintah dan pelaku perikanan, seperti disajikan pada Gambar 2 berikut ini.
Gambar 2 Variasi ko-manajemen perikanan menurut peran pemerintah dan pelaku perikanan Adrianto 2007.
p e
ra n
m a
sy a
ra ka
t
maksimum
minimum
Pengelolaan oleh masyarakat Kebijakan sepenuhnya disusun oleh masyarakat; legislasi peran masyarakat
Informatif Masyarakat diberi hak penuh untuk turut merencanakan dan mengambil keputusan
Advisory Keterlibatan masyarakat dalam hal-hal tertentu dalam proses kebijakan; pengambilan
keputusan bersama dimulai
Kooperatif Pertukaran informasi awal, pandangan masyarakat mulai masuk dalam agenda
dan isu
Konsultatif Pandangan lokal mulai dipertimbangkan sebelum membuat keputusan
Instruktif Keputusan dibuat oleh pemerintah dan dinistruksikan kepada masyarakat
sebelum dilaksanakan
P e
ra n
p e
m e
ri n
ta h
minimum
maksimum
Berdasarkan Gambar 2, dapat dijabarkan tipe-tipe dalam ko- manajemen yaitu: 1 instruktif, tipe ini terjadi ketika terdapat komunikasi dan
tukar informasi yang minimal antara pemerintah dan pelaku perikanan. Tipe ini berbeda dengan rejim sentralisasi dalam hal dimana terdapat mekanisme
dialog antara pemerintah dan pelaku perikanan namun tetap dalam konteks instruksi informasi dari apa yang telah diputuskan oleh pemerintah,
2 konsultatif, terdapat mekanisme dialog antara pemerintah dan pelaku perikanan tetapi pengambilan keputusan masih dilakukan oleh pemerintah,
3 kooperatif, dalam level ini pemerintah dan pelaku perikanan bekerja sama dalam mengambil keputusan sebagai partner yang memiliki posisi tawar yang
sama equal partner, 4 advisori, dalam kerangka ini pelaku perikanan memberikan input bagi pengambilan keputusan tentang perikanan kemudian
pemerintah menetapkan keputusan tersebut, dan 5 informatif, pemerintah mendelegasikan pengambilan keputusan kepada pelaku perikanan untuk
kemudian diinformasikan kembali kepada pemerintah. Karena banyaknya kepentingan yang terlibat, pendekatan pengelolaan
perikanan dengan ko-manajemen memerlukan energi, waktu, dan biaya yang tidak sedikit. Sehingga, ko-manajemen tidak dapat dipandang sebagai strategi
satu-satunya untuk memecahkan masalah pengelolaan perikanan. Pomeroy dan William 1994 diacu dalam Widodo dan Suadi 2006, menjelaskan bahwa
ko-manajemen haruslah dipandang sebagai salah satu strategi alternatif pengelolaan yang mungkin sesuai dengan wilayah dan lokasi tertentu.
Dengan adanya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup, apabila berjalan sesuai dengan peraturan yang ada dan setiap
masyarakat menjalankannya secara objektif, dan tidak hanya mengutamakan kepentingan dirinya atau kelompoknya saja, maka kerugian yang akan timbul
tidak akan berarti dibandingkan manfaatnya. Partisipasi lokal digambarkan telah memberi banyak peluang kepada
orang untuk berpartisipasi secara efektif dalam kegiatan pembangunan. Hal ini berarti memberi wewenang atau kekuasaan pada orang untuk memobilisasi
kemampuan mereka sendiri, menjadi pemeran sosial dan bukan subjek pasif, mengelola sumberdaya, membuat keputusan dan melakukan kontrol terhadap
kegiatan-kegiatan yang mempengaruhi kehidupannya. Pendekatan partisipatif melibatkan orang didalam proses pengembangan dirinya. Proses partisipatif
membantu orang untuk memiliki pengawasan cukup terhadap kehidupan mereka sendiri Budiyatno 2002.
Dengan mengacu pada berbagai referensi yang dikemukakan oleh Anon 2000; Blumenthal 2000; Dovers 2000; Kapoor 2001; UNDP 2000;
dan Thomsen 2003 diacu dalam Anonim 2009, yang memaparkan keuntungan dan kerugian dari partisipasi masyarakat. Keuntungan partisipasi
yaitu: a Partisipasi memperluas basis pengetahuan dan representasi. Dengan
mengajak masyarakat dengan spektrum yang lebih luas dalam proses pembuatan keputusan, maka partisipasi dapat: i meningkatkan
representasi dari kelompok-kelompok komunitas, khususnya kelompok yang selama ini termarjinalisasikan, ii membangun perspektif beragam
yang berasal dari beragam stakeholders, iii mengakomodir pengetahuan lokal, pengalaman, dan kreatifitas, sehingga memperluas kisaran
ketersediaan pilihan alternatif b Partisipasi membantu terbangunnya transparansi komunikasi dan
hubungan-hubungan kekuasaan diantara para stakeholders. Dengan melibatkan stakeholders dan berdiskusi dengan pihak-pihak yang akan
menerima atau berpotensi menerima akibat dari suatu kegiatan proyek, hal itu dapat menghindari ketidakpastian dan kesalahan interpretasi
tentang suatu isu masalah c Partisipasi dapat meningkatkan pendekatan interaktif dan siklikal dan
menjamin bahwa solusi didasarkan pada pemahaman dan pengetahuan lokal. Dengan membuka kesempatan dalam proses pengambilan
keputusan, maka para pembuat keputusan dapat memperluas pengalaman masyarakat dan akan memperoleh umpan balik dari kalangan
yang lebih luas. Dengan demikian, kegiatan yang dilakukan akan lebih relevan dengan kepentingan masyarakat lokal dan akan lebih efektif
d Partisipasi akan mendorong kepemilikan lokal, komitmen dan akuntabilitas. Pelibatan masyarakat lokal dapat membantu terciptanya hasil outcomes
yang berkelanjutan dengan memfasilitasi kepemilikan masyarakat terhadap proyek dan menjamin bahwa aktivitas-aktivitas yang mengarah
pada keberlanjutan akan terus berlangsung. Hasil yang diperoleh dari usaha-usaha kolaboratif lebih mungkin untuk diterima oleh seluruh
stakeholders
e Partisipasi dapat membangun kapasitas masyarakat dan modal sosial. Pendekatan partisipatif akan meningkatkan pengetahuan dari tiap
stakeholders tentang kegiatan aksi yang dilakukan oleh stakeholders lain. Pengetahuan ini dan ditambah dengan peningkatan interaksi antar
sesama stakeholders akan meningkatkan kepercayaan diantara para stakeholders dan memberikan kontribusi yang positif bagi peningkatan
modal sosial. Sedangkan kerugian yang mungkin muncul dari pendekatan partisipatif
adalah: a Proses partisipasi dapat digunakan untuk memanipulasi sejumlah besar
warga masyarakat. Partisipasi secara sadar atau tidak sadar dapat merugikan mereka yang terlibat jika: i para ahli yang melakukan proses
ini memanipulasi partisipasi publik untuk kepentingannya dan ii jika tidak direncanakan secara hati-hati, partisipasi dapat menambah biaya dan
waktu dari sebuah proyek tanpa ada jaminan bahwa partisipasi itu akan memberikan hasil yang nyata
b Partisipasi dapat menyebabkan konflik. Proses partisipasi seringkali menyebabkan ketidakstabilan hubungan sosial politik yang ada dan
menyebabkan konflik yang dapat mengancam terlaksananya proyek c Partisipasi dapat menjadi mahal dalam pengertian bahwa waktu dan biaya
yang dikeluarkan dipersepsikan sebagai sesuatu yang mahal bagi masyarakat lokal. Pada wilayah-wilayah dimana di dalamnya terdapat
ketidakadilan sosial, proses partisipasi akan dilihat sebagai sesuatu yang mewah dan pengeluaran-pengeluaran untuk proses itu tidak dapat
dibenarkan ketika berhadapan dengan kemiskinan yang akut d Partisipasi dapat memperlemah disempower masyarakat. Jika proses
partisipasi dimanipulasi, tidak dikembangkan dalam kerangka kerja institusional yang mendukung atau terjadi kekurangan sumberdaya untuk
penyelesaian atau keberlanjutan suatu proyek, maka partisipan dapat meninggalkan proses tersebut, kecewa karena hanya sedikit hasil yang
diraih, padahal usaha yang dilakukan oleh masyarakat telah cukup besar. Menurut Hikmat 2001, pemberdayaan dan partisipasi merupakan
strategi yang sangat potensial dalam rangka peningkatan ekonomi, sosial dan transformasi budaya, proses ini pada akhirnya dapat menciptakan
pembangunan yang lebih berpusat pada rakyat. Secara sederhana partisipasi
mengandung makna peran serta seseorang atau sekelompok orang atau sesuatu pihak dalam suatu kegiatan atau upaya mencapai sesuatu secara
sadar dan diinginkan oleh pihak yang berperan serta tersebut. Partisipasi, komitmen, spirit, dan tingkah laku masyarakat sangat
menentukan keberhasilan pembangunan. Oleh karena itu, adanya pengelolaan yang berbasis pada masyarakat lokal harus dapat dipertahankan Bengen dan
Rizal 2002. Bila menyangkut partisipasi dalam pembangunan masyarakat, maka menyangkut keterlibatan secara aktif dalam pengambilan keputusan,
pelaksanaan, evaluasi dan menikmati hasilnya atas suatu usaha perubahan masyarakat yang direncanakan untuk mencapai tujuan-tujuan masyarakat
Sumardjo dan Saharuddin 2003. Model pengawasan yang melibatkan masyarakat, hasilnya akan lebih
efektif dan efisien. Adanya model pengelolaan sumberdaya yang berbasis partisipasi masyarakat tersebut akan efektif dan sekaligus penting untuk
mengantisipasi berbagai tuntutan bahkan ancaman dari masyarakat internasional. Dengan demikian maka seluruh praktek pemanfaatan
sumberdaya mesti
memperhatikan prinsip-prinsip
keberlanjutan sustainability.
2.3 Konsep dan Definisi Pulau-Pulau Kecil PPK
Sebuah pulau adalah bidang tanah yang lebih kecil dari benua dan
lebih besar dari karang, yang dikelilingi air. Gugusan pulau dinamakan kepulauan archipelago. Definisi pulau sesuai dengan konvensi PBB tentang
Hukum Laut International tahun 1982 UNCLOS ’82, pasal 121 menyatakan pulau adalah: daratan yang dibentuk secara alami dan dikelilingi oleh air, dan
selalu di atas muka air tinggi. Dengan kata lain, sebuah pulau tidak boleh tenggelam pada saat air pasang.
Hess 1990; Dahuri 1998, dan Bengen 2001 mendefinisikan pulau kecil adalah pulau yang berukuran kecil, yang secara ekologis terpisah dari
pulau induknya dan memiliki batas yang pasti, terisolasi dari habitat lain, sehingga mempunyai sifat insular. Daratan yang pada saat pasang tertinggi
permukaannya ditutupi air tidak termasuk kategori pulau kecil. Selain itu terdapat pula batasan yang menyebutkan pulau kecil adalah pulau dengan
luas 10.000 km
2
atau kurang Bell et al. 1990 diacu dalam Dahuri 1998; Hess 1990. Batasan lain adalah yang dikemukakan oleh Falkland 1995 dan
Ongkosongo 1998, yang menyatakan pulau kecil mempunyai luas 5.000 km
2
atau dengan luas 2.000 km
2
. Mengacu pada UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan dijabarkan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. 20 Tahun 2008 tentang Pemanfaatan Pulau-
Pulau Kecil dan Perairan di Sekitarnya mendefinisikan batasan Pulau Kecil
yaitu pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km
2
dua ribu kilometer persegi beserta kesatuan ekosistemnya. Ukuran pulau sangat
kecil mempunyai luas maksimum 1000 km
2
dengan lebar kurang dari 3 km Hehanusa 1995; Falkland 1995. Unesco 1991 diacu dalam Bengen dan
Retraubun 2006 menyatakan pulau sangat kecil luasnya tidak lebih besar dari 100 km
2
atau lebarnya tidak lebih besar dari 3 km. Terdapat tiga kriteria dalam membuat batasan pulau kecil, diantaranya
batasan fisik luas pulau, batasan ekologis proporsi spesies endemik dan terisolasi, dan keunikan budaya, serta dapat pula ditambahkan kemandirian
penduduk dalam memenuhi kebutuhan pokok. Apabila penduduk setempat memiliki ketergantungan yang tinggi pada pulau induknya dalam memenuhi
kebutuhan pokok, dan memiliki tiga kriteria lainnya, maka pulau tersebut dapat digolongkan pulau kecil Dahuri 1998.
Dari uraian di atas untuk membuat batasan pengertian pulau kecil, digunakan tiga kriteria yaitu: a batasan fisik pulau menyangkut ukuran luas
pulau, b batasan penduduk pulau menyangkut jumlah penduduk, dan c batasan ekologis menyangkut keterisolasian wilayah dengan spesies
endemiknya. Dalam penelitian ini digunakan batasan pengertian yaitu pulau kecil merupakan pulau dengan luas maksimum 2.000 km
2
dengan tanpa batasan jumlah penduduk. Sedangkan pulau sangat kecil merupakan pulau
dengan luas maksimum 100 km
2
dengan lebar tidak lebih besar dari 3 km.
2.4 Karakteristik dan Permasalahan Pulau-Pulau Kecil
Setelah mendefinisikan pulau-pulau kecil, maka dalam pengelolaan sumberdaya PPK, perlu memperhatikan karakteristik PPK. Karakteristik PPK
yang dikemukakan DKP 2007 terbagi atas karakteristik PPK secara fisik, secara ekologis serta secara sosial budaya dan ekonomi. Karakteristik PPK
secara fisik terdiri atas: a terpisah dari pulau besar, b dapat membentuk satu gugus pulau atau berdiri sendiri, c lebih banyak dipengaruhi oleh hidro-
klimat laut, d rentan terhadap perubahan alam atau karena ulah manusia, e substrat pulau kecil bergantung pada kondisi dan proses geologi dan
morfologi pulau itu sendiri. Sementara substrat pada wilayah pesisir juga dipengaruhi oleh jenis biota yang ada disekitar pulau terumbu karang,
moluska, ekinodermata, dll, f kedalaman laut rata-rata antar pulau sangat ditentukan oleh kondisi geografis dan letak pulau, dan g dinamika
oseanografi arus, pasang-surut yang unik pada setiap pulau. Karakteristik PPK secara ekologis yaitu: a memiliki spesies flora dan fauna yang spesifik,
b memiliki resiko perubahan lingkungan yang tinggi, c memiliki daya dukung yang spesifik, dan d biasanya memiliki biodiversitas ekosistem laut cukup
melimpah. Sedangkan karakteristik PPK secara sosial budaya dan ekonomi adalah: a ada pulau yang berpenghuni dan tidak berpenghuni, b memiliki
budaya, adat dan kebiasaan yang unik, c memiliki kondisi sosial ekonomi yang khas, d biasanya memiliki kepadatan penduduk terbatas rendah,
e ketergantungan ekonomi pada perkembangan ekonomi luar pulau pulau induk atau kontinen, f keterbatasan kualitas sumberdaya manusia, dan
g aksesibilitas rendah. Karakteristik lain adalah bahwa PPK sangat rentan terhadap bencana
alam natural disasters seperti angin topan, gempa bumi dan banjir Briguglio 1995; Adrianto dan Matsuda 2002. Dampak bencana alam terhadap ekonomi
PPK tidak jarang sangat besar sehingga menyebabkan tingkat resiko di PPK menjadi tinggi pula Adrianto dan Matsuda 2002.
Dahuri 1998; Sugandhy 1999; Yudhohusodo 1998; Sriwidjoko 1998; DKP 2007; Solomon dan Forbes 1999 mengemukakan beberapa
masalah yang menonjol pada PPK di Indonesia sebagai akibat kondisi biogeofisik pulau-pulau tersebut yaitu:
Pulau-pulau kecil diketahui memiliki sejumlah besar spesies endemik dan keanekaragaman hayati tipikal yang bernilai tinggi. Apabila terjadi
perubahan lingkungan pada daerah tersebut, maka akan sangat mengancam keberadaan spesies-spesies tadi
Secara ekologis, PPK amat rentan terhadap pemanasan global, angin topan, arus, hujan dan gelombang tsunami. Erosi pesisir disebabkan
kombinasi faktor-faktor tersebut terbukti dapat merubah garis pantai pulau kecil. Degradasi garis pantai selain akibat dari proses alami, juga
disebabkan oleh aktivitas manusia. Kegiatan manusia yang mengakibatkan
degradasi garis pantai, antara lain: pembukaan hutan pesisir untuk pemukiman, tambak, infrastruktur dan lainnya yang mengurangi fungsi
perlindungan terhadap pantai. Akibatnya terjadi penurunan jumlah makhluk hidup, baik hewan, tumbuhan maupun penduduk yang mendiami pulau
tersebut Pulau kecil yang letaknya jauh dari pusat pertumbuhan, pembangunannya
tersendat akibat kesulitan transportasi dan sumberdaya manusia. Pulau ini akan tetap dapat dikembangkan tetapi memerlukan biaya yang lebih besar
Pulau-pulau kecil memiliki daerah tangkapan air catchment area yang sangat terbatas, sehingga ketersediaan air tawar merupakan hal yang
memprihatinkan. Untuk kegiatan pengembangan, seperti pariwisata, industri dan listrik tenaga air, sulit dikembangkan karena dibatasi oleh
ketersediaan air tawar Sampai saat ini belum ada klasifikasi menyangkut keadaan biofisik, sosial
ekonomi terhadap PPK, yang dapat digunakan sebagai bahan acuan dalam pengelolaan dan alokasi sumberdaya alam agar lebih efektif dan
efisien Pengelolaan PPK belum terintegrasi dengan baik dengan pengelolaan
daerah pesisir dan daratan. Hal lain yang sering menjadi masalah adalah keterbatasan pemerintah daerah dan minimnya alokasi dana untuk
pengembangan PPK Lemahnya pengawasan dan pengamanan di pulau-pulau kecil terhadap
berbagai kegiatan Sedimentasi dan pencemaran, sebagai akibat kegiatan manusia di lahan
atas up land, seperti: penebangan hutan, penambangan di daerah aliran sungai DAS, pembukaan lahan untuk pertanian atau pemukiman,
pembuangan sampah dan limbah rumah tangga serta industri Degradasi terumbu karang, biasanya diakibatkan oleh aktivitas manusia
seperti: sebagai sumber pangan penangkapan melalui peledakan, peracunan, tangkap lebih, sebagai sumber bahan bangunan penggalian
karang, pertambangan, komoditas perdagangan eksploitasi ikan hias melebihi potensi lestari, dan kegiatan wisata yang intensif perilaku
wisatawan
Degradasi dan konversi hutan mangrove, sebagai akibat pertumbuhan wilayah dan kebutuhan lahan untuk pemukiman, industri, pertambakan,
bahan baku kertas, kayu bakar, dan lainnya Menurunnya keanekaragaman hayati, sebagai dampak dari pembangunan
infrastruktur dan merubah struktur ekologi komunitas biota laut yang mengakibatkan menurunnya keanekaragaman hayati.
Selain itu pembangunan pulau kecil juga menghadapi kendala ekologis berupa kerentanan ekologis akibat gangguan pembangunan Hein 1990.
Menurut Fauzi 2002 terdapat empat kendala khas pulau-pulau kecil yang harus dipertimbangkan didalam penilaian ekonomi sumberdaya pulau-pulau
kecil, yaitu ukuran luasnya yang kecil smallness, isolasi, ketergantungan dependence, dan kerentanannya vulnerability.
Lemahnya kebijakan pemerintah mempengaruhi perilaku dunia usaha yang memanfaatkan sumberdaya alam di pulau-pulau kecil. Kinerja yang
rendah ini diindikasikan dalam bentuk eksploitasi berlebihan atas sumberdaya alam, bermasalahnya upaya konservasi, terampasnya sumber genetika,
terjadinya konflik
dalam pemanfaatan
sumberdaya, berlangsungnya
marjinalisasi masyarakat lokal di sekitar pulau-pulau kecil tersebut. Permasalahan ini dipertajam dengan lemahnya posisi negara terhadap
tekanan pihak asing dan adanya determinasi global. Permasalahan spesifik pulau kecil dalam pembangunan adalah
mencapai pembangunan yang lestari sustainable development, karena ukuran yang kecil tersebut merupakan suatu kelemahan. Dalam pembangunan
selalu dibutuhkan energi dan sumberdaya serta perubahan dalam pulau sendiri, oleh karenanya dalam pembangunan pulau-pulau kecil perlu
dipertimbangkan beberapa hal penting, seperti: a konservasi lingkungan, b keuntungan ekonomi, dan c keseimbangan antara keduanya ekonomi
dan lingkungan. Keseimbangan antara ekonomi dan lingkungan merupakan fokus yang
sangat penting dan integral dalam konsep pembangunan pulau kecil yang lestari, karena kemampuan untuk mencapai pembangunan yang lestari
tergantung pada partisipasi masyarakat dalam memelihara kondisi sebagai berikut: a energi, air dan sumberdaya lain yang tersedia untuk memenuhi
kebutuhan aktivitas pulau kecil, b sistem alam yang mampu melayani jasa yang mendukung kehidupan seperti air dan udara bersih, c teknologi tepat
guna yang mampu mendukung semua sistem pendukung, d penghuni pulau kecil mampu dan fleksibel untuk mengatasi lingkungan baru sebagai efek
samping pembangunan, dan e pemerintah dan masyarakat dapat mengambil tindakan yang diperlukan untuk mencegah kerusakan lingkungan di darat, laut
maupun pesisir atau pantai di pulau kecil Budiyatno 2002. Beberapa kendala yang dihadapi dalam penyelesaian masalah pulau-
pulau kecil menurut Simatupang 1999 adalah: a Ukuran kecil dan lokasinya yang terpencil atau terisolir, menyebabkan
penyediaan sarana menjadi sangat mahal dan tidak efisien. Sehingga interaksi atau komunikasi dengan dunia luar menjadi terbatas
b Akibat kendala tersebut, PPK banyak yang belum berpenduduk , kalaupun ada relatif terbelakang, rendah pendidikan serta sulit mendapatkan tenaga
kerja yang memadai keahlian dan keterampilannya c Ketidakmampuan untuk mencapai skala ekonomis yang optimal dan
menguntungkan dalam hal administrasi, usaha produksi dan transportasi, turut menghambat pembangunan. Sehingga secara ekonomi kurang
memiliki akses ke pasar serta sistem transportasi menjadi sangat lemah d Adanya keterbatasan material yang tidak dimiliki PPK, sehingga
memerlukan pasokan dari luar, bahkan air tawar pun seringkali harus didatangkan dari luar pulau
e Budaya lokal kepulauan kadangkala bertentangan dengan kegiatan pembangunan.
2.5 Pembangunan Berkelanjutan Pulau-Pulau Kecil
Pengelolaan dan pembangunan pulau-pulau kecil tidak dapat dilakukan dengan pendekatan yang sama dengan yang umum dilakukan pada wilayah
daratan induk mainland. Karena pulau-pulau kecil memiliki karakteristik khusus yang berbeda dengan mainland. Pembangunan pulau-pulau kecil
harus didasarkan pada karakteristik dan potensi lokal yang secara ekonomis sangat potensial untuk dikembangkan bagi kesejahteraan masyarakat.
Pulau-pulau kecil dikenal sebagai wilayah yang memiliki karakteristik khas seperti luas daratannya yang kecil, relatif jauh dari daratan induk
mainland, relatif peka dalam konteks ekonomi maupun lingkungan Srinivas 1998 diacu dalam Adrianto 2006. Dalam konteks faktor lingkungan, Hall
1999 membagi persoalan lingkungan PPK menjadi dua, yaitu: a persoalan
lingkungan secara umum, dan b persoalan lingkungan lokal. Sehingga pengaturan penggunaan lahan secara komprehensif dan tepat sesuai dengan
peruntukannya merupakan prasyarat utama bagi pengelolaan lahan PPK secara berkelanjutan.
Dilihat dari karakteristik pulau kecil, maka diperlukan strategi khusus dalam mengembangkan potensi sumberdaya alam PPK, yang diarahkan
mampu menghasilkan nilai ekonomi yang signifikan, namun tetap menjaga kelestarian lingkungan, dan sebagai modal utama yang dimiliki oleh PPK
tersebut. Di tingkat nasional, pengembangan PPK dilakukan berdasarkan isu
nasional yang berkembang, sedangkan di tingkat daerah, pengembangan PPK lebih bersifat ekstraktif yang mendatangkan keuntungan ekonomi dengan
mengesampingkan perlindungan terhadap ekosistem lingkungan dan proses- proses ekologi di dalamnya. Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip
pembangunan secara berkelanjutan DKP 2007. Namun perlu dipahami bahwa kondisi ideal sulit dicapai dimana
pembangunan dapat menghasilkan nilai ekonomi tinggi, sekaligus tanpa mengganggu kondisi lingkungan alam sekitarnya. Sehingga yang penting
diperhatikan adalah seberapa jauh pembangunan ataupun aktivitas kegiatan dapat menimbulkan perubahan lingkungan hingga taraf yang dapat diterima,
dalam arti lingkungan tetap mempunyai kesempatan untuk kembali ke kondisi awalnya. Oleh karena itu penting untuk memberikan batasan terhadap besaran
kegiatan di pulau-pulau kecil, atau yang kita istilahkan sebagai daya dukung PPK.
Pembangunan pulau-pulau kecil belum sepenuhnya mendapat perhatian yang memadai mengingat paradigma pembangunan yang masih
berorientasi ke daratan land based oriented. Retraubun 2006 menyatakan beberapa alasan rendahnya sentuhan pembangunan pada pulau-pulau kecil
yaitu: a kebanyakan PPK tidak berpenghuni karena ukurannya yang relatif sangat kecil, b kalaupun berpenghuni, jumlah penduduknya sangat sedikit
sehingga tidak menjadi prioritas utama, dan c kawasan ini cenderung terisolasi dan jauh dari ibukota provinsi sehingga diperlukan investasi yang
besar untuk mengembangkannya.
Potensi PPK cukup besar untuk diharapkan mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat. Dapat menjadi modal dasar dalam roda perekonomian
bangsa, dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa lingkungan PPK. Sumberdaya alam yang dimaksud adalah sumberdaya dapat
pulih renewable resources dan sumberdaya tidak dapat pulih non renewable resources. Sumberdaya dapat pulih seperti sumberdaya perikanan,
mangrove, padang lamun, rumput laut dan terumbu karang, sedangkan sumberdaya tidak dapat pulih seperti sumberdaya mineral dan energi. Jasa
lingkungan environmental services seperti pariwisata, transportasi, pendidikan dan penelitian, pertahanan dan keamanan dan konservasi alam.
Selain berbagai potensi tersebut, ekosistem PPK juga memiliki peran dan fungsi yang sangat menentukan, bukan saja bagi kesinambungan
ekonomi tetapi juga bagi kelangsungan hidup umat manusia. Faktor paling utama adalah fungsi dan peran ekosistem pesisir dan lautan PPK sebagai
pengatur iklim global termasuk dinamika La-Nina, siklus hidrologi dan biogeokimia, penyerap limbah, sumber plasma nutfah dan sistem penunjang
kehidupan lainnya di daratan Dahuri 1998. Oleh karena itu pemanfaatan sumberdaya PPK harus dibarengi dengan konservasi lingkungan dalam bentuk
pengelolaan sumberdaya PPK yang berkelanjutan. Daly 1990 diacu dalam Adrianto 2006, memberikan tiga kriteria
dasar bagi keberlanjutan modal alam natural capital dan keberlanjutan ekologi ecological sustainability yaitu: a untuk sumberdaya alam terbarukan
renewable resources, laju pemanfaatannya tidak boleh melebihi laju regenerasinya sustainable yield; b laju produksi limbah dari kegiatan
pembangunan tidak boleh melebihi kemampuan asimilasi dari lingkungan sustainable waste disposal; dan c untuk sumberdaya tidak terbarukan
non-renewable resource,
laju deplesi
sumberdaya harus
mempertimbangkan pengembangan
sumberdaya substitusi
bagi sumberdaya tersebut. Ketiga kriteria ini perlu pula diperhatikan dalam
konteks pembangunan berkelanjutan di wilayah PPK Suatu kawasan pembangunan termasuk PPK yang wilayahnya
sebagian besar atau keseluruhan berupa pesisir dan laut, menurut Dahuri 2003 dianggap berkelanjutan jika:
a Secara ekonomis, apabila di dalam kawasan tersebut mampu menghasilkan barang dan jasa secara berkesinambungan
b Secara ekologis, apabila sumberdaya alamnya dapat dipelihara secara stabil, tidak terjadi eksploitasi secara berlebih terhadap sumberdaya alam
yang dapat diperbaharui, tidak terjadi pembuangan limbah yang melampaui kapasitas asimilasi lingkungan yang menimbulkan pencemaran
c Secara sosial, apabila seluruh kebutuhan dasar bagi semua penduduk terpenuhi, terjadi distribusi pendapatan, terbukanya kesempatan berusaha
secara adil, kesetaraan gender dan terdapat akuntabilitas serta partisipasi politik
d Secara hukum dan kelembagaan, apabila setiap stakeholders dapat mengendalikan diri untuk tidak merusak lingkungan dan penegakan hukum
yang berwibawa serta konsisten. Lebih lanjut dijabarkan bahwa pembangunan berkelanjutan suatu
wilayah pesisir dan lautan secara ekologis terdapat lima persyaratan, yaitu: a Perlu adanya keharmonisan ruang antara ruang untuk kehidupan manusia
dan kegiatan pembangunan dengan ruang untuk kepentingan pelestarian lingkungan yang dituangkan dalam peta tata ruang. Suatu wilayah pesisir
dan lautan hendaknya tidak semua dimanfaatkan untuk kegiatan pembangunan, tetapi harus ada sebagian wilayah yang dialokasikan untuk
zona preservasi dan zona konservasi b Laju pemanfaatan sumberdaya dapat pulih tidak boleh melebihi
kemampuan pulih dari sumberdaya tersebut dalam kurun waktu tertentu c Pada saat mengeksploitasi sumberdaya tak dapat pulih harus
melaksanakan cara-cara yang tidak merusak lingkungan, sehingga tidak mematikan kelayakan usaha sektor lainnya
d Limbah yang dibuang ke wilayah pesisir dan lautan bukan yang bersifat Bahan Berbahaya Beracun B3 seperti logam berat dan pestisida, tetapi
jenis limbah organik dan unsur hara. Akan tetapi laju pembuangan limbah yang dapat terurai tersebut tidak melebihi kapasitas asimilasi lingkungan
pesisir dan lautan e Dalam memodifikasi bentang alam pesisir dan lautan untuk membangun
pelabuhan, pemecah gelombang, home stay dan bangunan lainnya harus menyesuaikan dengan karakteristik dan dinamika alamiah lingkungan
pesisir dan lautan seperti pola arus, pasang surut, sifat geologi dan geomorfologi serta sifat biologis dan kimiawi sehingga tidak mengganggu
tatanan dan fungsi ekosistem yang mendukungnya.
Pembangunan berkelanjutan dari dimensi ekologis tersebut pada dasarnya memperhatikan daya dukung lingkungan suatu wilayah pesisir dan
lautan dalam menyediakan alam dan jasa lingkungan bagi kehidupan manusia beserta segenap kiprahnya dalam pembangunan.
Secara ekonomis
dan sosial,
pembangunan berkelanjutan
mempresentasikan permintaan manusia terhadap sumberdaya alam dan jasa lingkungan di suatu wilayah. Permintaan tersebut tidak hanya berasal dari
penduduk yang bermukim di wilayah atau pulau tersebut saja, tetapi dapat pula berasal dari penduduk luar.
Sebagai salah satu konsep dalam penyempurnaan konsep ekonomi konvensional, pembangunan berkelanjutan juga diartikan sebagai keadilan
antar generasi yang menjamin bahwa generasi mendatang memiliki warisan barang modal buatan, sumberdaya alam, human capital, dan social capital,
yang kondisinya lebih baik atau paling tidak sama dengan yang dimiliki oleh generasi sekarang.
Pembangunan berkelanjutan secara sosial tercermin dari: a Investasi yang signifikan pada bidang pendidikan, kesehatan dan pelatihan
sumberdaya manusia b Mendorong terjadinya keadilan dalam distribusi pendapatan masyarakat
c Adanya kebijakan dan program yang menciptakan kesetaraan gender d Berkembangnya partisipasi masyarakat dan akuntabilitas publik.
Wujud pembangunan berkelanjutan di suatu wilayah, secara sosial dicirikan oleh terjadinya keadilan dalam distribusi pendapatan dan kesempatan
berusaha seluruh anggota masyarakat sehingga dapat memenuhi kebutuhan dasarnya seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan, serta
dapat meningkatkan kesejahteraannya. Sumberdaya alam PPK, merupakan suatu potensi alam yang dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya. Dalam suatu kawasan, pemanfaatan sumberdaya alam ini sangat beragam
tergantung jenis dan kepentingan yang memanfaatkan potensi tersebut. Diantara berbagai kepentingan yang memanfaatkan suatu kawasan, seringkali
terjadi konflik baik antara sumberdaya alam dengan manusia, maupun diantara manusia yang memanfaatkan sumberdaya alam tersebut. Kondisi ini sering
mengakibatkan pengelolaan yang tidak terkendali sehingga pada akhirnya
dapat mengakibatkan kerusakan sumberdaya alam dimaksud Dahuri et al. 2008.
Pengelolaan sumberdaya alam PPK secara berkelanjutan harus dilakukan dengan memperhatikan karakteristik PPK itu sendiri baik
karakteristik ekosistem maupun sosial ekonomi yang berbeda dengan wilayah- wilayah lain. Pengelolaan sumberdaya PPK memerlukan pendekatan yang
terpadu mengingat seluruh komponen dalam sistem PPK tidak dapat terpisahkan satu sama lain inextricably linked. Dengan pendekatan yang
holistik dan adaptif maka keberlanjutan PPK dapat dicapai Adrianto 2004. Namun perlu diperhatikan bahwa permasalahan spesifik pulau kecil
dalam pembangunan adalah mencapai pembangunan yang lestari sustainable development, karena ukuran yang kecil tersebut merupakan suatu
kelemahan. Dalam pembangunan selalu dibutuhkan energi dan sumberdaya serta perubahan dalam pulau sendiri, oleh karenanya dalam pembangunan
pulau-pulau kecil perlu dipertimbangkan beberapa hal penting, seperti: a konservasi lingkungan, b keuntungan ekonomi, dan c keseimbangan antara
keduanya ekonomi dan lingkungan. Keseimbangan antara ekonomi dan lingkungan merupakan fokus yang
sangat penting dan integral dalam konsep pembangunan pulau kecil yang lestari karena kemampuan untuk mencapai pembangunan yang lestari
menurut Budiyatno 2002 tergantung pada partisipasi masyarakat dalam memelihara kondisi sebagai berikut:
a Energi, air dan sumberdaya lain yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan aktivitas pulau kecil
b Sistem alam yang mampu melayani jasa yang mendukung kehidupan seperti air dan udara bersih
c Teknologi tepat guna yang mampu mendukung semua sistem pendukung d Penghuni pulau kecil mampu dan fleksibel untuk mengatasi lingkungan
baru sebagai efek samping pembangunan e Pemerintah dan masyarakat dapat mengambil tindakan yang diperlukan
untuk mencegah kerusakan lingkungan di darat, laut maupun pesisir atau pantai di pulau kecil.
Wilayah PPK didominasi oleh laut, sehingga ketergantungan masyarakat pada sumberdaya laut sangat tinggi. Mata pencaharian
masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan PPK sebagian besar adalah
nelayan. Potensi sumberdaya laut yang terdapat di wilayah PPK dimanfaatkan oleh masyarakat antara lain untuk kegiatan perikanan, baik perikanan tangkap
maupun perikanan budi daya, kegiatan budi daya rumput laut maupun untuk kegiatan wisata pantai dan wisata bahari.
2.6 Perikanan Tangkap
Perikanan tangkap menurut Direktorat Jenderal Perikanan adalah kegiatan ekonomi dalam bidang penangkapan atau pengumpulan hewan atau
tanaman air yang hidup di laut atau perairan umum secara bebas. Definisi tersebut secara jelas menunjukan bahwa kegiatan penangkapan ikan yang
dimaksud adalah bertujuan untuk mendapatkan keuntungan baik secara finansial, maupun untuk memperoleh nilai tambah lainnya, seperti penyerapan
tenaga kerja, pemenuhan kebutuhan terhadap protein hewani, devisa serta jenis pendapatan negara lainnya Monintja 1994.
Menurut Fauzi 2000b, pada mulanya pengelolaan sumberdaya ini banyak didasarkan pada faktor-faktor biologi semata dengan pendekatan yang
disebut Maximum Sustainable Yield tangkapan maksimum lestari atau disingkat MSY. Inti pendekatan ini bahwa setiap spesies memiliki kemampuan
untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksi surplus, sehingga apabila surplus ini dipanen tidak lebih dan tidak kurang, maka stok ikan
mampu bertahan secara berkesinambungan sustainable. Kelemahan MSY tidak mempertimbangkan aspek sosial ekonomi pengelolaan sumberdaya
alam. Sumberdaya perikanan merupakan salah satu sektor ekonomi yang
memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan suatu bangsa. Sebagai salah satu sumberdaya alam yang bersifat dapat diperbaharui renewable,
pengelolaan sumberdaya ini memerlukan pendekatan yang bersifat menyeluruh dan hati-hati. Mengingat sifat dari sumberdaya perikanan yang
dikenal dengan open access yang memberikan anggapan bahwa setiap orang atau individu merasa memiliki sumberdaya tersebut secara bersama common
property. Menurut Kula 1992, terdapat banyak kasus yang terjadi pada sumberdaya milik bersama dimana terjadi deplesi stok, lebih disebabkan
karena masing-masing individu beranggapan bahwa “ekstraklah secepat dan sebanyak kamu bisa, jika kamu tidak bisa maka orang lain akan
melakukannya”, sehingga konsekuensinya akan mengalami depletion secara
cepat. Hal ini sesuai dengan pendapat Anwar 2002, bahwa keadaan sumberdaya yang bersifat “open access resource” akan terjadi pengurasan
sumberdaya yang pada akhirnya akan terjadi kerusakan sumberdaya. Hal ini terjadi karena semua individu baik nelayan maupun pengusaha perikanan laut
akan merasa mempunyai hak untuk mengeksploitasi sumberdaya laut dan memperlakukannya
sesuka hati
dalam rangka
masing-masing memaksimumkan bagian share keuntungan, tetapi tidak seorangpun mau
memelihara kelestariannya. Oleh karena itu, sifat “open access resource” tersebut dapat dikatakan tidak ada yang punya atau sama saja dengan tidak
ada hak yang jelas atas sumberdaya yang bersangkutan res commune is res nullius.
Dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan yang bersifat milik bersama common property, keseimbangan jangka panjang dalam usaha
perikanan tidak dapat dipertahankan karena adanya peluang untuk meningkatkan keuntungan excess profit bagi usaha penangkapan ikan
sehingga terjadi ekstensifikasi usaha secara besar-besaran dibarengi masuknya pengusaha baru yang tergiur dengan nilai rent yang cukup besar
tersebut. Padahal, pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut harus memperhatikan aspek sustainability agar dapat memberikan manfaat yang
sama dimasa yang akan datang, yang tidak hanya terfokus pada masalah ekonomi tetapi juga masalah lain seperti teknis, sosial, dan budaya Dahuri et
al. 2001. Pada saat ini, armada perikanan tangkap di Indonesia didominasi oleh
armada tradisional, mencakup: perahu tanpa motor 50,1, motor tempel 26,2 dan kapal motor kurang dari lima Gross Ton GT sebanyak 16,4,
jadi totalnya 92,7. Jumlah armada tersebut tidak otomatis menggambarkan jumlah nelayan, karena setiap kategori armada terdiri dari jumlah nelayan yang
berbeda. Diperkirakan jumlah nelayan di bawah lima GT sebanyak 1,3 juta jiwa atau 66,8 Satria 2009a.
Secara geografis, masyarakat nelayan adalah masyarakat yang hidup, tumbuh, dan berkembang di kawasan pesisir, yakni suatu kawasan transisi
antara wilayah darat dan laut. Sebagai suatu sistem, masyarakat nelayan terdiri atas kategori-kategori sosial yang membentuk kesatuan sosial. Mereka
juga memiliki sistem nilai dan simbol-simbol kebudayaan sebagai referensi perilaku mereka sehari-hari. Faktor kebudayaan ini menjadi pembeda
masyarakat nelayan dari kelompok sosial lainnya. Sebagian besar masyarakat pesisir, baik langsung maupun tidak langsung, menggantungkan kelangsungan
hidupnya dari mengelola potensi sumberdaya perikanan. Mereka menjadi komponen utama kontruksi masyarakat maritim Indonesia Kusnadi 2009.
Sedangkan menurut Imron 2003 nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik
dengan cara melakukan penangkapan ataupun budi daya. Mereka pada umumnya tinggal di pinggir pantai, sebuah lingkungan pemukiman yang dekat
dengan lokasi kegiatannya. Selanjutnya Kusnadi 2009, menyatakan bahwa seperti juga
masyarakat yang lain, masyarakat nelayan menghadapi sejumlah masalah politik, sosial, dan ekonomi yang kompleks. Masalah-masalah tersebut
diantaranya adalah sebagai berikut: a kemiskinan, kesenjangan sosial, dan tekanan-tekanan ekonomi yang datang setiap saat, b keterbatasan akses
modal, teknologi, dan pasar, sehingga mempengaruhi dinamika usaha, c kelemahan fungsi kelembagaan sosial ekonomi yang ada, d kualitas
sumberdaya manusia yang rendah sebagai akibat keterbatasan akses pendidikan, kesehatan, dan pelayanan publik, e degradasi sumberdaya
lingkungan, baik di kawasan pesisir, laut, maupun pulau-pulau kecil, dan f belum kuatnya kebijakan yang berorientasi pada kemaritiman sebagai pilar
utama pembangunan nasional. Kusumastanto 1997 diacu dalam Budiartha 1999, menyatakan
bahwa masyarakat nelayan memiliki karakteristik sosial ekonomi yang berbeda dengan kelompok masyarakat industri atau beberapa kelompok masyarakat
pesisir lainnya. Perbedaan ini disebabkan oleh keterkaitan yang sangat erat terhadap karakteristik ekonominnya pola mata pencaharian, ketersedian
sarana prasarana maupun latar belakang budaya. Selain itu kehidupan masyarakat pesisir nelayan sangat tergantung pada kondisi lingkungan dan
sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan. Hal ini dapat mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi masyarakatnya.
Nelayan sangat
tergantung terhadap
musim, pada
musim penangkapan nelayan sangat sibuk melaut dan sebaliknya pada musim
paceklik banyak yang menganggur dan yang sering terjadi adalah ketika mereka pulang melaut, mereka dapat membeli barang-barang mahal dan
ketika paceklik, kehidupan mereka sangat buruk. Dengan kondisi yang
demikian, maka keterpurukan masyarakat pesisir nelayan dalam jurang kemiskinan tidak dapat dihindari. Berkaitan dengan hal tersebut maka perlu
adanya usaha pemanfaatan sumberdaya alam kearah yang lebih optimal, swadaya serta produktivitas masyarakat, guna menciptakan kehidupan sosial
ekonomi yang berdampak pada penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan dan taraf hidup Nurfiarini 2003.
Sesungguhnya, nelayan bukanlah suatu entitas tunggal, mereka terdiri dari beberapa kelompok. Dilihat dari segi pemilikan alat tangkap, nelayan
dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu nelayan buruh, nelayan juragan, dan nelayan perorangan. Nelayan buruh adalah nelayan yang bekerja dengan
alat tangkap orang lain. Sebaliknya, nelayan juragan adalah nelayan yang memiliki alat tangkap yang dioperasikan oleh orang lain. Adapun nelayan
perorangan adalah nelayan yang memiliki peralatan tangkap sendiri, dan dalam pengoperasiannya tidak melibatkan orang lain Subri 2007.
Produktivitas nelayan pada umumnya masih rendah diakibatkan oleh rendahnya
keterampilan dan
pengetahuan serta
penggunaan alat
penangkapan maupun perahu yang sederhana, sehingga aktivitas dan efisiensi alat tangkap maupun perahu belum optimal. Keadaan ini berpengaruh
terhadap pendapatan yang diterima nelayan relatif rendah, keadaan ekonomi dan kesejahteraan nelayan pada umumnya masih tertinggal bila dibandingkan
dengan masyarakat petani atau masyarakat lainnya Barus et al. 1991. Kompleksitas masalah yang dihadapi oleh nelayan diperparah dengan
persoalan mengenai belum diakuinya hak-hak masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Di era Orde Baru, terjadi sentralisasi pengelolaan
sumberdaya perikanan. Praktis hak ulayat melemah seiring dengan lahirnya UU Pemerintahan Desa pada tahun 1979 yang menyeragamkan struktur desa.
Padahal sebelum itu desa-desa di Indonesia sangatlah beragam strukturnya dan mengakomodasi kepentingan adat. Juga UU Perikanan tahun 1985 tidak
menyebutkan soal eksistensi Hak Perikanan Tradisional HPT. Padahal bagi nelayan, HPT merupakan hak dasar mereka, dan mestinya dalam
pembangunan perikanan bisa dimasukkan sebagai syarat perlu necessary condition. Jadi, pengakuan HPT merupakan salah satu dimensi
pemberdayaan nelayan, yang selama ini sering dikonotasikan hanya dengan bantuan modal usaha. Dimensi baru pemberdayaan ini perlu memperoleh
kekuatan hukum Satria 2009a.
Di laut nelayan terpinggir karena tidak memiliki HPT dan terus terdesak oleh arus modernisasi perikanan dan kelautan, sementara di darat juga tidak
bisa melepaskan diri dari ikatan dengan para toke rentenir. Karena itulah, pemberdayaan masyarakat pesisir menjadi sangat penting artinya sebagai titik
awal pembangunan desa pesisir dan dunia perikanan. Pemberdayaan dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi empowerment yang berasal dari kata to
empower yang berarti memberi kekuatan power. Karena itu, umumnya pemberdayaan dilakukan kepada sekelompok orang yang dianggap belum
memiliki kekuatan yang diperlukan untuk kemajuan mereka. Dimensi pemberdayaan masyarakat pesisir bisa mengacu pada konsep keberlanjutan
Charles 2001 diacu dalam Satria 2009a yang terdiri dari: a keberlanjutan ekologis, b keberlanjutan sosial ekonomi, c keberlanjutan komunitas dan
d keberlanjutan institusi. Perikanan merupakan salah satu aktivitas ekonomi manusia yang
sangat kompleks. Tantangan untuk memelihara sumberdaya yang ”sehat” menjadi isu yang cukup kompleks dalam pembangunan perikanan. Meskipun
sumberdaya perikanan dikategorikan sebagai sumberdaya yang dapat pulih, pertanyaan yang sering muncul adalah seberapa besar ikan dapat dipanen
tanpa harus menimbulkan dampak negatif untuk masa mendatang. Inilah pertanyaan keberlanjutan yang sering muncul dalam pengelolaan sumberdaya
perikanan Fauzi 2005. Terminologi
perikanan berkelanjutan
diambil dari
terminologi pembangunan berkelanjutan yang sejak tahun 1987 masuk dalam agenda
pertemuan internasional dalam forum World Commission on Environment WCED. Dalam laporan yang dikenal sebagai pembangunan yang menuntut
pemenuhan kebutuhan generasi saat ini tanpa mengesampingkan atau merusak kemampuan generasi dimasa mendatang untuk mencukupi
kebutuhan mereka sendiri. Esensi pembangunan ini adalah keseimbangan hubungan antara aktivitas manusia dengan kemampuan atau daya dukung
lingkungan saat ini tanpa merusak prospek bagi generasi mendatang untuk menikmati kualitas hidup yang sekurang-kurangnya sama dengan yang
dinikmati oleh generasi sekarang Widodo et al. 2006. Selanjutnya menurut Fauzi 2005, keberlanjutan merupakan kata kunci
dalam pembangunan perikanan yang diharapkan dapat memperbaiki kondisi sumberdaya dan masyarakat perikanan itu sendiri. Walaupun konsep
keberlanjutan dalam perikanan itu sudah mulai dapat dipahami, sampai sekarang masih menghadapi kesulitan dalam menganalisis mengevaluasi
keberlanjutan pembangunan perikanan itu sendiri, khususnya ketika dihadapkan pada permasalahan mengintegrasikan informasi data dari
keseluruhan komponen secara holistik, baik aspek ekologi, sosial, ekonomi, maupun etik.
Pola pembangunan berkelanjutan tidak dipahami sebagai kembali ke pola tradisional atau ke era sebelum industrialisasi, tetapi pola ini tetap
berbasis pada keberlanjutan pertumbuhan ekonomi dengan dasar bahwa pertumbuhan dan berbagai aktivitas ekonomi memiliki lingkungan yang
kemampuan daya dukungnya terbatas. Dengan dasar seperti ini pembangunan berkelanjutan akan memiliki implikasi ganda yaitu: a
pentingnya pembangunan ekonomi dengan pertumbuhan yang sehat untuk kesejahteraan dan b secara bersamaan juga harus melindungi kualitas
lingkungan Widodo et al. 2006. Pada pertemuan Rio de Janeiro yang dikenal sebagai Rio Summit di
tahun 1992 dihasilkan suatu deklarasi yang dikenal sebagai Agenda 21. Dalam pertemuan ini mulai diperkenalkan konsep Code of Conduct kode etik bagi
pembangunan perikanan berkelanjutan. Di dalam pertemuan tersebut diintroduksi prinsip-prinsip dan standar internasional tentang perilaku yang
bertanggung jawab dalam pengembangan praktek perikanan responsible fisheries.
Respon terhadap Agenda 21 baru nampak setahun kemudian, yaitu dengan adanya kesepakatan internasional tentang konservasi dan
pengelolaan sumberdaya ikan melalui pengaturan kapal ikan di laut lepas Compliance Agreement. Kesepakatan ini tentu sejalan dengan kesepakatan
PBB tentang Hukum Laut bahwa setiap negara harus mengontrol kapal ikan mereka di laut lepas.
Fauzi 2005, menyatakan bahwa paradigma pembangunan perikanan pada dasarnya mengalami evolusi dari paradigma konservasi biologi ke
paradigma rasionalisasi ekonomi, kemudian ke paradigma sosial komunitas. Namun, menurut Charles 1994 ketiga paradigma tersebut masih
tetap relevan dalam kaitan dengan pembangunan perikanan yang berkelanjutan. Menurut Charles 1994, pandangan pembangunan perikanan
yang berkelanjutan haruslah mengakomodasikan ketiga aspek tersebut di
atas. Oleh karena itu, konsep pembangunan perikanan yang berkelanjutan sendiri mengandung aspek:
• Ecological sustainability keberlanjutan ekologi. Dalam pandangan ini
memelihara keberlanjutan stok biomas sehingga tidak melewati daya dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas dari ekosistem
menjadi perhatian utama •
Socioeconomic sustainability keberlanjutan sosio-ekonomi. Konsep ini mengandung
makna bahwa
pembangunan perikanan
harus memperhatikan keberlanjutan dari kesejahteraan masyarakat yang lebih
tinggi, hal ini merupakan perhatian kerangka keberlanjutan ini •
Community sustainability, mengandung makna bahwa keberlanjutan kesejahteraan dari sisi komunitas atau masyarakat haruslah menjadi
perhatian pembangunan perikanan yang berkelanjutan •
Institutional sustainability keberlanjutan kelembagaan. Dalam kerangka ini, keberlanjutan dari sisi kelembagaan yang menyangkut pemeliharaan
aspek finansial dan administrasi yang sehat merupakan prasyarat ketiga pembangunan berkelanjutan di atas.
Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan di Indonesia dari sudut pandang keberlanjutan, dihadapkan pada kondisi yang bersifat mendua
atau berada dipersimpangan jalan Dahuri et al. 2008. Disatu pihak, ada beberapa kawasan yang telah dimanfaatkan dikembangkan dengan intensif.
Akibatnya, indikasi telah terlampauinya daya dukung atau kapasitas berkelanjutan potensi lestari dari ekosistem pesisir dan lautan, seperti
pencemaran, tangkap lebih over fishing, degradasi fisik habitat pesisir, dan abrasi pantai, telah muncul di kawasan-kawasan pesisir yang padat
penduduknya dan tingkat pembangunannya, seperti yang terjadi di wilayah pantai utara Pulau Jawa Subri 2007. Namun disisi lain ada daerah-daerah
yang masih kurang tingkat pemanfaatannya, sehingga masih dapat ditingkatkan lagi ke pemanfaatan yang lebih optimal dimasa mendatang.
Ada tiga dimensi penting dalam konsep perikanan berkelanjutan, yaitu dimensi ekologi, dimensi sosial, dan dimensi ekonomi. Keberlanjutan ketiga
dimensi tersebut merupakan tipe ideal. Artinya, suatu tipe yang hanya berfungsi sebagai acuan padahal secara emperis sulit ditemukan. Artinya,
secara empiris ada proses tarik ulur antara ketiga kepentingan tersebut, dan ekonomi juga ikut menonjol sehingga fungsi kebijakan policy diperlukan untuk
mengatur proses tarik ulur tersebut guna mencari kondisi yang seimbang. Akhirnya, bentuk kebijakan itu beragam, dan tergantung pada hirarki perikanan
yang menjadi dasar dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Hirarki perikanan tersebut adalah: coastal fisheries perikanan pesisir, off shore
fisheries perikanan laut lepas, atau distan fisheries perikanan laut internasional. Tiga hirarki perikanan tersebut merupakan simplifikasi dari
kondisi riil yang sebenarnya jauh lebih kompleks. Tetapi, setidaknya simplifikasi itu bisa membantu memahami dimana letak dan efektifitas dari
suatu sumber proses politik dalam pengelolaan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan Satria 2009b.
2.7 Budi Daya Rumput Laut
Rumput laut tergolong tanaman berderajat rendah, umumnya tumbuh melekat pada substrat tertentu, tidak mempunyai akar, batang maupun daun
sejati; tetapi hanya menyerupai batang yang disebut thallus. Rumput laut tumbuh di alam dengan melekatkan dirinya pada karang, lumpur, pasir, batu,
dan benda keras lainnya. Selain benda mati, rumput laut pun dapat melekat pada tumbuhan lain secara epifitik Anggadiredja 2008.
Sebutan rumput laut terhadap alga makro di Indonesia telah memasyarakat walaupun secara ilmiah sebenarnya tidak tepat. Rumput laut
seaweed adalah alga makro yang bersifat bentik dan termasuk tumbuhan tingkat rendah thallophyta yang tidak berbunga dan hidupnya berasosiasi
dengan hewan karang, karena itu rumput laut senantiasa hidup pada hewan karang Dahuri 1998 diacu dalam Hikmah 2002.
Rumput laut seaweed merupakan nama dalam perdagangan nasional untuk jenis alga yang dipanen dari laut. Cara hidup alga bersifat fitoplankton
maupun fitobentos. Sepintas banyak alga yang nampak mempunyai akar, batang, daun, bahkan bunga atau buah padahal hanya merupakan bentuk
semu. Pada dasarnya bagian tersebut adalah batang atau thallus Aslan 1991 diacu dalam Hikmah 2002.
Pertumbuhan dan penyebaran rumput laut sangat tergantung dari faktor-faktor oseanografi fisika, kimia, dan pergerakan atau dinamika air laut
serta jenis substrat dasarnya. Untuk pertumbuhannya, rumput laut mengambil nutrisi
dari sekitarnya
secara difusi
melalui dinding
thallusnya. Perkembangbiakan dilakukan dengan dua cara, yaitu secara kawin antara
gamet jantan dan gamet betina generatif serta secara tidak kawin dengan melalui vegetatif dan konjugatif Anggadiredja 2008.
Pertumbuhan dan penyebaran rumput laut seperti halnya biota perairan lainnya, sangat dipengaruhi oleh toleransi fisiologi dari biota tersebut untuk
beradaptasi dengan faktor-faktor lingkungan seperti substrat, salinitas, temperatur, intensitas cahaya, tekanan, dan nutrisi. Secara umum, rumput laut
dijumpai tumbuh di daerah perairan yang dangkal intertida dan sublitorral dengan kondisi dasar perairan berpasir, sedikit lumpur, atau campuran
keduanya. Rumput laut memiliki sifat benthic melekat dan disebut juga benthic algae. Di samping itu, rumput laut juga hidup sebagai fitobentos
dengan cara melekatkan thallus pada substrat pasir, lumpur berpasir, karang, fragmen karang mati, kulit kerang, batu atau kayu Anggadiredja 2008.
Budi daya rumput laut di Indonesia telah dirintis sejak tahun 1980-an dalam upaya merubah kebiasaan penduduk pesisir dari pengambilan
sumberdaya alam ke proses budi daya rumput laut yang ramah lingkungan, dapat meningkatkan pendapatan pembudidaya dan juga dapat digunakan
untuk mempertahankan kelestarian lingkungan perairan pantai Sukardi et al. diacu dalam Amarullah 2007.
Pengembangan budi daya rumput laut merupakan suatu alternatif pemberdayaan masyarakat pesisir yang mempunyai keunggulan dalam hal:
1 produk yang dihasilkan mempunyai kegunaan yang beragam, 2 tersedianya lahan perairan untuk budi daya yang cukup luas dan
3 mudahnya teknologi budi daya yang diperluas DKP 2001 diacu dalam Amarullah 2007.
Bibit rumput laut yang baik untuk dibudidayakan adalah mono species, muda, bersih, dan segar. Selanjutnya pengumpulan, pengangkutan dan
penyimpanan bibit harus selalu dilakukan dalam keadaan lembab serta terhindar dari panas, minyak, air tawar dan bahan kimia lainnya. Kualitas dan
kuantitas produksi rumput laut sangat ditentukan oleh bibit rumput lautnya, maka kegiatan penyediaan bibit harus direncanakan Kadi dan Atmadja 1988
diacu dalam Sirajuddin 2008. Keberhasilan budi daya rumput laut bergantung antara lain kepada
pemilihan lokasi yang tepat, pemilihan lokasi merupakan salah satu faktor penentu. Gambaran tentang biofisik air laut yang diperlukan untuk budi daya
rumput laut penting diketahui agar tidak timbul masalah yang dapat
menghambat usaha itu sendiri dan mempengaruhi mutu hasil yang dikehendaki Amarullah 2007.
Rumput laut hidup dengan cara menyerap zat makanan dari perairan dan melakukan fotosintesis. Jadi pertumbuhannya membutuhkan faktor-faktor
fisika dan kimia perairan seperti gerakan air, suhu, kadar garam, nitrat, dan fosfat serta pencahayaan matahari Atmadja et al. 1996 diacu dalam Hikmah
2002. Lokasi dan lahan budi daya untuk pertumbuhan rumput laut jenis
Eucheuma di wilayah pesisir dipengaruhi berbagai faktor ekologi oseonagrafis yang meliputi parameter lingkungan fisik, biologi dan kimiawi perairan
Puslitbangkan 1991 diacu dalam Amarullah 2007. Parameter-parameter tersebut, diuraikan sebagai berikut:
1 Kondisi Lingkungan Fisika •
Suhu lingkungan berperan penting dalam proses fotosintesa, dimana semakin tinggi intensitas matahari dan semakin optimum kondisi
temperatur, maka akan semakin nyata hasil fotosintesanya Lee et al. 1999 diacu dalam Sirajuddin 2008. Kecukupan sinar matahari sangat
menentukan kecepatan rumput laut untuk memenuhi kebutuhan nutrient seperti karbon C, nitrogen N dan fosfor P untuk pertumbuhan dan
pembelahan selnya. Rumput laut memiliki toleransi terhadap kisaran suhu yang spesifik karena adanya enzim, dan akan tumbuh subur pada daerah
yang sesuai dengan suhu di laut yaitu pada kisaran suhu 20–30 C Luning
1990 diacu dalam Sirajuddin 2008. •
Dalam pertumbuhannya, Eucheuma membutuhkan suhu sekitar 27–30 C
dan Gracilaria 20–28 C. Menurut Hutagalung 1988, batas ambang suhu
untuk pertumbuhan alga hijau, coklat dan merah adalah 34,5 C dan untuk
alga biru hijau 37 C. Suhu mempunyai peran yang sangat penting bagi
kehidupan dan pertumbuhan rumput laut. Suhu air dapat berpengaruh terhadap beberapa fungsi fisiologis rumput laut seperti fotosintesa,
respirasi, metabolisme, pertumbuhan dan reproduksi Dawes 1981 diacu dalam Sirajuddin 2008.
• Menurut Rorrer et al. 2004 diacu dalam Sirajuddin 2008, bahwa alga
coklat L. cacharina dapat tumbuh dengan intensitas cahaya dp 1 mm, alga hijau A. coalita dp 3 mm dan alga merah A. subulata, O.
secundiramea dp = 1,6 – 8 mm. Selanjutnya rumput laut jenis A. coalita intensitas cahaya 10–80 mm dapat tumbuh 15 hari.
• Dasar perairan yang paling baik untuk pertumbuhan Eucheuma cottonii
adalah yang stabil terdiri dari potongan karang mati pecahan karang dan pasir kasar serta bebas dari lumpur. Mempunyai gerakan air arus yang
cukup 20–40 cmdetik Sukardi et al. 2004 diacu dalam Amarullah 2007. Hal ini dapat diindikasikan adanya sea grass yang merupakan petunjuk
adanya gerakan air yang baik. •
Tingkat kecerahan yang tinggi diperlukan dalam budi daya rumput laut. Hal ini dimaksudkan agar cahaya penetrasi matahari dapat masuk ke dalam
air. Intensitas sinar yang diterima secara sempurna oleh thallus merupakan faktor utama dalam proses fotosintesis. Kondisi air yang jernih dengan
tingkat transpirasi tidak kurang dari 5 meter cukup baik bagi pertumbuhan rumput laut Puslitbangkan 1991 diacu dalam Sirajuddin 2008.
• Untuk menghindari kerusakan fisik sarana budi daya dan rumput laut dari
pengaruh angin topan dan pergerakan air seperti ombak yang kuat, maka diperlukan lokasi yang terlindung dari hempasan ombak sehingga di
perairan teluk atau terbuka tetapi terlindung oleh karang penghalang atau pulau di depannya baik untuk lokasi budi daya rumput laut Puslitbangkan
1991 diacu dalam Amarullah 2007. 2 Kondisi Lingkungan Kimia
• Rumput laut tumbuh pada salinitas yang tinggi. Penurunan salinitas akibat
air tawar yang masuk akan menyebabkan pertumbuhan rumput laut menjadi tidak normal. Oleh karena itu budi daya rumput laut sebaiknya jauh
dari mulut muara sungai. Salinitas yang dianjurkan untuk budi daya rumput laut Eucheuma cottonii adalah 28–35 ppt Sukardi et al. 2004 diacu dalam
Amarullah 2007. •
Mengandung cukup unsur hara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan, berupa makro nutrien yang dibutuhkan dalam jumlah yang banyak seperti
C, H, N, P, Mg, dan Ca, sedangkan mikro nutrien yang dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit seperti Fe, Mn, Cu, Si, Zn, Na, Mo, dan Cl. Zat hara
anorganik yang diperlukan untuk pertumbuhan rumput laut adalah nitrogen dalam bentuk nitrat NO
3
dan fosfor dalam bentuk orthofosfat PO
4
. Menurut Joshimura dalam Wardoy 1978 diacu dalam Amarullah 2007,
kandungan nitrat dalam kondisi berkecukupan biasanya berada pada kisaran antara 0,01–0,7 mgl, untuk orthofosfat pada perairan alami
berkisar antara 0,005–0,02 mgl. Dengan demikian dapat dikatakan perairan tersebut mempunyai tingkat kesuburan yang baik dan dapat
digunakan untuk kegiatan budi daya laut. 3 Kondisi Lingkungan Biologi
• Secara taksonomi, rumput laut dikelompokkan ke dalam Divisio
Thallophyta. Berdasarkan
kandungan pigmennya,
rumput laut
dikelompokan menjadi empat kelas Othmer 1968; Anonim 1977 diacu dalam Anggadiredja 2008, yaitu sebagai berikut :
1. Rhodophyceae ganggang merah 2. Phaeophyceae ganggang cokelat
3. Clorophyceae ganggang hijau 4. Cyanophyceae ganggang biru–hijau
• Beberapa jenis rumput laut Indonesia yang bernilai ekonomis dan sejak
dulu sudah diperdagangkan yaitu Eucheuma sp, Hypnea sp, Gracilaria sp, dan Gelidium sp. dari kelas Rhodophyceae serta Sargassum sp dari kelas
Phaeophycea. •
Menurut Anggadiredja 2008, Eucheuma sp dan Hypnea sp menghasilkan metabolit
primer senyawa
hidrokoloid yang
disebut keraginan
carrageenan, Glacilaria sp dan Gelidium sp menghasilkan metabolit primer senyawa hidrokoloid yang disebut agar. Sementara, Sargassum sp
menghasilkan metabolit primer senyawa hidrokoloid yang disebut alginate. Rumput laut yang menghasilkan keraginan disebut pula agarophyte
agrofit, dan penghasil alginate disebut alginophyte alginofit. •
Sebaiknya untuk perairan budi daya Eucheuma dipilih perairan yang secara alami ditumbuhi oleh komunitas dari berbagai makro algae seperti
Ulva sp, Caulerpa sp, Padina sp, Hypnea sp, dan lain-lain, dimana hal ini merupakan salah satu indikator bahwa perairan tersebut cocok untuk budi
daya Eucheuma. Kemudian sebaiknya bebas dari hewan air lainnya yang bersifat herbivora terutama ikan baronang atau lingkis Sigarus sp, penyu
laut Chelonia midas dan bulu babi yang dapat memakan tanaman budi daya Puslitbangkan 1991 diacu dalam Amarullah 2007.
• Faktor biologi utama yang menjadi pembatas produktivitas rumput laut
yaitu faktor persaingan dan pemangsa dari hewan herbivora. Selain itu, dapat pula dihambat oleh faktor morbiditas dan mortalitas rumput laut itu
sendiri. Morbiditas dapat disebabkan oleh penyakit akibat dari infeksi mikroorganisme, tekanan lingkungan perairan fisika dan kimia perairan
yang buruk, serta tumbuhnya tanaman penempel parasit. Sementara, mortalitas dapat disebabkan oleh pemangsaan hewan-hewan herbivora.
Perkembangbiakan rumput laut dapat terjadi melalui dua cara, yaitu secara vegetatif dengan thallus dan secara generatif dengan thallus diploid
yang menghasilkan spora. Perbanyakan secara vegetatif dikembangkan dengan cara stek, yaitu potongan thallus yang kemudian tumbuh menjadi
tanaman baru. Sementara, perbanyakan secara generatif dikembangkan melalui spora, baik alamiah maupun melalui budi daya. Pertemuan gamet
membentuk zygote yang selanjutnya berkembang menjadi sporofit. Individu baru inilah yang mengeluarkan spora dan berkembang melalui pembelahan
dalam sporogenesis menjadi gametofit Anggadiredja 2008. Daerah sebaran beberapa jenis rumput laut di Indonesia sangat luas,
baik yang tumbuh secara alami maupun yang dibudidayakan. Wilayah sebaran rumput laut yang tumbuh alami wild stock terdapat dihampir seluruh perairan
dangkal laut Indonesia yang mempunyai rataan terumbu karang. Selain tumbuh secara alami, rumput laut di Indonesia umumnya
dibudidayakan. Lokasi budi daya Eucheuma tersebar di perairan pantai di beberapa pulau di Kepulauan Riau, Bangka-Belitung, Lampung Selatan, Pulau
Panjang Banten, Pulau Seribu, Karimun Jawa Jawa Tengah, Selatan Madura, Nusa Dua, Nusa Lemongan dan Nusa Penida Bali, Lombok Barat,
Lombok Tengah Teluk Ekas, Sumbawa, Larantuka, Teluk Maumere, Sumba, Alor, Kupang, Pulau Rote, Sulawesi Utara, Gorontalo, Bualemo, Bone
Bolango, Samaringa Sulawesi Tengah, Wakatobi Sulawesi Tenggara, Jeneponto, Takalar, Selayar, Sinjai, dan Pangkep Sulawesi Selatan, Seram,
Ambon, Kei, Aru, Tanimbar, Buru Maluku, Biak, serta Sorong Papua. Sementara budi daya Gracilaria dalam tambak tersebar luas di daerah-daerah
Serang Banten, Pantai Utara Jawa Bekasi, Karawang, Subang, Cirebon, Indramayu, Pemalang, Brebes, dan Tegal, sebagian Pantai Jawa Timur
Lamongan dan Sidoardjo, hampir disemua perairan tambak Sulawesi Selatan, Lombok Barat, serta Sumbawa.
Rumput laut telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan makanan dan obat. Sebagai bahan makanan, rumput laut dikonsumsi dalam
bentuk lalapan dimakan mentah, dibuat acar dengan bumbu cuka, dimasak sebagai sayur, baik dengan air santan maupun tidak, dibuat urap dengan
bumbu kelapa parut, atau ditumis. Di samping itu, rumput laut juga bisa diolah menjadi manisan dicampur dengan gula dan santan kelapa, acar atau asinan
pickled seaweed, salad, dan dibuat sop Anggadiredja 2008.
2.8 Wisata Bahari
Kata wisata tourism pertama kali muncul dalam Oxford English Dictionary tahun 1811, yang mendeskripsikan atau menerangkan tentang
perjalanan untuk mengisi waktu luang. Namun, konsepnya yang mungkin dapat dilacak balik dari budaya nenek moyang Yunani dan Romawi yang
sering melakukan perjalanan menuju negeri-negeri tertentu untuk mencari tempat-tempat indah di Eropa atau Mediterania Hakim 2004.
Menurut Damanik dan Weber 2006, dalam arti luas pariwisata adalah kegiatan rekreasi di luar domisili untuk melepaskan diri dari pekerjaan rutin
atau mencari suasana lain. Sebagai suatu aktivitas, pariwisata telah menjadi bagian penting dari kebutuhan dasar masyarakat maju dan sebagian kecil
masyarakat negara berkembang. Pariwisata semakin berkembang sejalan perubahan-perubahan sosial, budaya, ekonomi, teknologi, dan politik.
Runtuhnya sistem kelas dan kasta, semakin meratanya distribusi sumberdaya ekonomi, ditemukannya teknologi transportasi, dan peningkatan waktu luang
yang didorong oleh negara, dan benua, khususnya dalam hal pariwisata. Krippendorf 1984 diacu dalam Damanik dan Weber 2006 menggambarkan
bahwa perkembangan tersebut mengakibatkan semakin kompleksnya tatanan hidup masyarakat zunehmende reglementierung des gesellschaftlichen
lebens. Konsekuensi lebih lanjut adalah munculnya tekanan fisik dan psikis, misalnya lewat pekerjaan dan monotoni kehidupan. Hidup seolah-olah
didesain untuk produksi dan pekerjaan, sehingga tidak jarang mengakibatkan orang stres. Pariwisata kemudian menjadi kanal yang tepat untuk
membebaskan masyarakat dari tekanan tersebut. Selanjutnya Damanik dan Weber 2006, menyatakan bahwa sebagai
suatu aktivitas manusia, pariwisata adalah fenomena pergerakan manusia, barang dan jasa yang sangat kompleks. Pariwisata terkait erat dengan
organisasi, hubungan-hubungan kelembagaan dan individu, kebutuhan layanan, penyediaan kebutuhan layanan, dan sebagainya. Ketika orang
berwisata, ia membutuhkan layanan akomodasi yang seringkali harus diberikan oleh pihak lain. Demikian pula apabila pihak biro perjalanan ingin
menjual produk kepada wisatawan, maka mereka harus membangun hubungan kerja, minimal dengan pihak hotel. Semua ini merupakan rangkain
elemen yang saling mempengaruhi atau menjalankan fungsi-fungsi tertentu sehingga pariwisata tersebut dapat berjalan semestinya. Kaitan antar elemen
secara kuat tadi kemudian membentuk suatu sistem yang disebut sebagai sistem pariwisata.
Damanik dan Weber 2006, menyatakan bahwa di dalam pasar wisata banyak pelaku yang terlibat. Meskipun peran mereka berbeda-beda, tetapi
mutlak harus diperhitungkan dalam perencanaan pariwisata. Pelaku-pelaku tersebut antara lain :
1 Wisatawan
Wisatawan memiliki beragam motif, minat, ekspektasi, karakteristik sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya untuk mengunjungi suatu tempat
wisata Steck et.al. 1999; Hener 2003 diacu dalam Damanik dan Weber 2006. Dengan motif dan latar belakang yang berbeda-beda itu mereka
menjadi pihak yang menciptakan permintaan produk dan jasa wisata. Peran ini sangat menentukan dan sering diposisikan sebagai jantung kegiatan
pariwisata itu sendiri. Oleh sebab itu banyak pelaku lainnya yang tergantung dan –dalam beberapa hal bahkan– tunduk padanya.
Wisatawan adalah konsumen atau pengguna produk dan layanan wisata. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan mereka
berdampak langsung pada kebutuhan wisata, yang dalam hal ini permintaan wisata. Gaji yang tidak bertambah, syarat-syarat kerja yang
memburuk, waktu luang yang semakin terbatas, tingkat kesehatan yang semakin menurun, atau rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat akan
berpengaruh pada konstilasi permintaan produk wisata. Dalam hal ini bisa dimaklumi mengapa suatu daerah atau negara bisa menjadi sumber
wisatawan atau negara yang intensitas wisatanya tinggi, sebaliknya daerah atau negara lain hanya menempati posisi sebagai penerima wisatawan atau
sebagai penyedia jasa wisata semata.
2 Industri Pariwisata
Pelaku berikutnya adalah penyedia jasa atau sering disebut industri pariwisata. Industri pariwisata artinya semua usaha yang menghasilkan barang
dan jasa bagi pariwisata Freyer 1993 diacu dalam Damanik dan Weber 2006. Mereka dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan utama berikut ini.
a. Pelaku langsung, yaitu usaha-usaha wisata yang menawarkan jasa secara langsung kepada wisatawan atau yang jasanya langsung dibutuhkan oleh
wisatawan. Termasuk dalam kategori ini adalah hotel, restoran, biro perjalanan, pusat informasi wisata, atraksi hiburan, dll. Secara faktual
wisatawan, kemudian diikuti oleh biro perjalanan b. Pelaku tidak langsung, yakni usaha yang mengkhususkan diri pada
produk-produk yang secara tidak langsung mendukung kegiatan pariwisata, misalnya usaha kerajinan tangan, penerbit buku atau lembar
panduan wisata, penjual roti, dsb. Sesungguhnya pelaku terdepan dalam kedua kelompok ini adalah
tenaga kerja, karena mereka yang akan menjadi penanggung jawab kualitas layanan di hotel, di biro perjalanan, di restoran, maupun pada industri kerajinan
cenderamata. Oleh sebab itu optimalisasi fungsi dan kompetensi mereka merupakan suatu keharusan dan menjadi titik perhatian dalam perencanaan
kegiatan pariwisata.
3 Pendukung Jasa Wisata
Di samping itu masih ada lagi pelaku lain yang disebut pendukung jasa wisata. Kelompok ini adalah usaha yang tidak secara khusus menawarkan
produk dan jasa wisata tetapi seringkali bergantung pada wisatawan sebagai pengguna jasa dan produk itu. Termasuk di dalamnya adalah penyedia jasa
fotografi, jasa kecantikan, olahraga, usaha bahan pangan, penjualan BBM, dan sebagainya.
4 Pemerintah
Pelaku yang tidak kalah penting adalah pemerintah. Pemerintah mempunyai otoritas dalam pengaturan, penyediaan, dan peruntukan berbagai
infrastruktur yang terkait dengan kebutuhan pariwisata. Tidak hanya itu, pemerintah bertanggung jawab dalam menentukan arah yang dituju perjalanan
pariwisata. Kebijakan makro yang ditempuh pemerintah merupakan panduan
bagi stakeholder yang lain didalam memainkan peran masing-masing guna mendukung keberhasilan kegiatan pariwisata.
Namun demikian seringkali peran pemerintah kurang dipahami atau kurang diperlihatkan oleh pemerintah sendiri maupun oleh pelaku lainnya
dalam perencanaan dan implementasi program dalam kegiatan pariwisata. Jalinan kerjasama lintas-sektoral antar instansi pemerintah yang terkait dan
bertujuan untuk memacu kemajuan kegiatan pariwisata masih lemah. Akibatnya, kinerja industri pariwisata secara keseluruhan menjadi rendah dan
jauh dari tujuan yang diharapkan. Beberapa peran yang mutlak menjadi tanggung jawab pemerintah
adalah sebagai berikut : a. Penegasan dan konsistensi tentang tata guna lahan untuk pengembangan
kawasan wisata, termasuk kepastian hak kepemilikan, sistem persewaan, dan sebagainya
b. Perlindungan lingkungan alam dan cagar budaya untuk mempertahankan daya tarik obyek wisata, termasuk aturan pemanfaatan sumberdaya
lingkungan tersebut c. Penyediaan infrastruktur jalan, pelabuhan, bandara, dan angkutan
pariwisata d. Fasilitas fiskal, pajak, kredit dan izin usaha yang tidak rumit agar
masyarakat lebih terdorong untuk melakukan wisata dan usaha-usaha pariwisata semakin cepat berkembang
e. Keamanan dan kenyamanan berwisata melalui penugasan polisi khusus pariwisata di kawasan-kawasan wisata dan uji kelayakan fasilitas wisata
kendaraan, jembatan, dll f. Jaminan kesehatan di daerah tujuan wisata melalui sertifikasi kualitas
lingkungan dan mutu barang yang digunakan wisatawan g. Penguatan kelembagaan pariwisata dengan cara memfasilitasi dan
memperluas jaringan kelompok dan organisasi kepariwisataan h. Pendampingan dalam promosi wisata, yakni perluasan dan intensifikasi
jejaring kegiatan promosi di dalam dan di luar negeri i. Regulasi persaingan usaha yang memungkinkan kesempatan yang sama
bagi semua orang untuk berusaha di sektor pariwisata, melindungi UKM wisata, mencegah perang tarif, dan sebagainya
j. Pengembangan sumberdaya manusia dengan menerapkan sistem sertifikasi kompetensi tenaga kerja pariwisata dan akreditasi lembaga
pendidikan pariwisata. Untuk menjalankan peran yang sangat strategis ini pemerintah perlu
menyusun rencana yang jelas. Misalnya, tata guna lahan untuk wisata harus dituangkan dalam bentuk rencana yang sangat jelas yaitu bagaimana daya
dukung lingkungan, berapa rerata kapasitas atau daya tampung lokasi untuk wisatawan, dimana lokasi akomodasi, tempat parkir, taman, tempat atraksi,
bagaimana rute jalan ke dan di dalam kawasan wisata dan sebagainya. Setelah rencana tersusun maka perlu implementasi. Tidak kalah penting
adalah konsistensi antara rencana dan implementasi. Karena itu pengawasan dan evaluasi harus terus dilakukan.
5 Masyarakat Lokal
Masyarakat lokal, terutama penduduk asli yang bermukim di kawasan wisata, menjadi salah satu pemain kunci dalam pariwisata, karena
sesungguhnya merekalah yang akan menyediakan sebagian besar atraksi sekaligus menentukan kualitas produk wisata. Pengelolaan lahan pertanian
secara tradisional seperti di Bali, upacara adat, kerajinan tangan dan kebersihan merupakan beberapa contoh peran yang memberikan daya tarik
bagi pariwisata. Selain itu masyarakat lokal merupakan ”pemilik” langsung atraksi
wisata yang dikunjungi sekaligus dikonsumsi wisatawan. Air, tanah, hutan dan lanskap yang merupakan sumberdaya pariwisata yang dikonsumsi oleh
wisatawan dan pelaku wisata lainnya berada ditangan mereka. Kesenian yang menjadi salah satu daya tarik wisata juga hampir sepenuhnya milik mereka.
Oleh sebab itu perubahan-perubahan yang terjadi di kawasan wisata akan bersentuhan langsung dengan kepentingan mereka.
Tidak jarang masyarakat lokal ini sudah lebih dulu terlibat didalam pengelolaan aktivitas pariwisata sebelum ada kegiatan perencanaan dan
pengembangan. Oleh sebab itu, peran mereka terutama tampak dalam bentuk penyediaan akomodasi dan jasa pemandu dan penyedian tenaga kerja. Selain
itu masyarakat lokal biasanya juga mempunyai tradisi dan kearifan lokal dalam pemeliharaan sumberdaya pariwisata yang tidak dimiliki oleh pelaku pariwisata
lainnya. Pasar-pasar tradisional, seperti pasar terapung, pasar nelayan, pasar
burung, dan lain-lain, hampir sepenuhnya dikelola oleh masyarakat. Semua ini sangat esensial dalam perencanaan pariwisata.
6 Lembaga Swadaya Masyarakat
Banyak lembaga swadaya masyarakat LSM, baik lokal, regional, maupun internasional yang melakukan kegiatan di kawasan wisata. Bahkan
jauh sebelum pariwisata berkembang, organisasi non pemerintah ini sudah melakukan aktivitasnya baik secara partikuler maupun bekerjasama dengan
masyarakat. Kadang-kadang fokus kegiatan mereka dapat menjadi salah satu daya tarik wisata, seperti proyek WWF untuk perlindungan Orang Utan di
Kawasan Bahorok, Sumatera Utara atau di Tanjung Puting, Kalimantan Selatan. Kelompok pencinta lingkungan seperti Wahana Lingkungan Hidup
WALHI, asosiasi-asosiasi kekerabatan yang masih hidup di dalam kumunitas lokal juga merupakan pelaku tidak langsung dalam pengembangan pariwisata.
Mereka ini melakukan berbagai kegiatan yang terkait dengan konservasi dan regulasi kepemilikan dan pengusahaan sumberdaya alam setempat.
Konsep memanfaatkan sektor wisata untuk menunjang konservasi saat ini sedang ramai didiskusikan. Sejauh mana wisata dapat mendorong
tindakan-tindakan konservasi yang dilakukan? Bagaimana strategi yang dapat diterapkan sehingga tujuan konservasi tetap tercapai dalam industri wisata
yang terus berkembang? Siapa dan di mana harus memulai dan dimulai? Pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul sebagai respon dari dampak buruk
wisata terhadap keanekaragaman hayati. Sementara perdebatan berlangsung, banyak kajian antara lain oleh
Dixon dan Sherman 1990; Gossling 1999; Honey 1999; Wunder 2000; Dharmarante et al. 2000 diacu dalam Damanik dan Weber 2006, yang
menyatakan bahwa jika sektor wisata diatur secara khusus dapat membantu pembiayaan
konservasi lingkungan
hidup. Terutama
konservasi keanekaragaman hayati yang keadaannya semakin tertekan. Kajian yang
dilakukan oleh Burger 2000 dan Weller 2001 diacu dalam Damanik dan Weber 2006 menunjukan bahwa hubungan yang harmonis antara wisata,
keanekaragaman, bentang alam, dan konservasinya, dapat terjadi dalam kehidupan manusia. Lebih lanjut, dampaknya secara teoritis dapat ditafsirkan
mempunyai pengaruh positif bagi perekonomian lokal dan pendidikan konservasi bagi pengunjung, yang seringkali datang dari daerah perkotaan
yang miskin dengan kekayaan hayati. Aktivitas wisata tersebut kemudian lebih dikenal sebagai ekoturisme ecotourism atau ekowisata Hakim 2004.
Banyak definisi yang menjelaskan arti ekowisata. Namun, semua sepakat bahwa ekowisata berbeda dengan wisata lainnya, karena sifatnya
yang dikondisikan untuk mendukung kegiatan konservasi. Definisinya selalu memfokuskan pada ”wisata yang bertanggungjawab terhadap lingkungan”.
Selanjutnya, banyak masukan para ahli untuk memperbaiki definisi tersebut. Antara lain ”memberikan dampak langsung terhadap konservasi kawasan”,
”berperan dalam usaha-usaha pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal”, ”mendorong konservasi dan pembangunan berkelanjutan”, dan sebagainya
Wunder 2000 diacu dalam Hakim 2004. Hector Ceballos-Lascurain, seorang
arsitek dan environmentalis Meksiko menjelaskan bahwa ekowisata adalah perjalanan wisatawan menuju daerah alamiah yang relatif belum terganggu
atau terkontaminasi. Tujuan utamanya yakni mempelajari, mengagumi, menikmati pemandangan alam lanskap dan kekayaan hayati yang
dikandungnya, seperti hewan dan tumbuhan, serta budaya lokal yang ada di sekitar kawasan Honey 1999 diacu dalam Hakim 2004.
Hakim 2004, menyatakan bahwa definisi dan operasional wisata alam nature tourism tidak dapat diartikan secara langsung sebagai ekowisata,
meskipun wisata alam mempunyai sisi strategis sebagai entry point untuk memahami ekowisata. Wearing dan Neil 1999 diacu dalam Hakim 2004,
menyatakan bahwa ide-ide ekowisata berkaitan dengan wisata yang diharapkan dapat mendukung konservasi lingkungan hidup. Karena tujuannya
adalah menciptakan sebuah kegiatan industri wisata yang mampu memberikan peran dalam konservasi lingkungan hidup, seringkali ekowisata dirancang
sebagai wisata yang berdampak rendah low impact tourism. Untuk menjawab maksud tersebut, ekowisata dikarakteristikan dengan adanya beberapa hal
berikut: Adanya manajemen lokal dalam pengelolaan
Adanya produk perjalanan dan wisata yang berkualitas Adanya penghargaan terhadap budaya
Pentingnya pelatihan-pelatihan Bergantung dan berhubungan dengan sumberdaya alam dan budaya
Adanya integrasi pembangunan dan konservasi.
Berbeda dengan wisata konvensional, ekowisata merupakan kegiatan wisata yang menaruh perhatian besar terhadap kelestarian sumberdaya
pariwisata. Masyarakat ekowisata internasional mengartikannya sebagai perjalanan wisata alam yang bertanggung jawab dengan cara mengkonservasi
lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal responsible travel to natural areas that conserves the enviromental and improves the well-
being of local people TIES 2000 diacu dalam Hakim 2004. Sedangkan definisi ekowisata yang pertama diperkenalkan oleh organisasi Ecotourism
Society 1990 adalah: ekowisata merupakan suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan
melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat. Semula ekowisata dilakukan oleh wisatawan pecinta alam yang menginginkan di
daerah tujuan wisata tetap utuh dan lestari, disamping budaya dan kesejahteraan masyarakatnya tetap terjaga.
Berdasarkan definisi diatas, ekowisata dapat dilihat dari tiga perspektif, yakni: pertama, ekowisata sebagai produk; kedua, ekowisata sebagai pasar;
ketiga, ekowisata sebagai pendekatan pengembangan. Sebagai produk, ekowisata merupakan semua atraksi yang berbasis pada sumberdaya alam.
Sebagai pasar, ekowisata merupakan perjalanan yang diarahkan pada upaya- upaya pelestarian lingkungan. Akhirnya sebagai pendekatan pengembangan,
ekowisata merupakan metode pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pariwisata secara ramah lingkungan. Disini kegiatan wisata yang bertanggung
jawab terhadap kesejahteraan masyarakat lokal dan pelestarian lingkungan sangat ditekankan dan merupakan ciri khas ekowisata. Pihak yang berperan
penting dalam ekowisata bukan hanya wisatawan tetapi juga pelaku wisata lain tour operator yang memfasilitasi wisatawan untuk menunjukan tanggung
jawab tersebut Damanik dan Weber 2006. Salah satu karakteristik ekowisata adalah kegiatan wisata berbasis
alam. Obyek dan daya tarik wisata ODTW yang menjadi basis kegiatan wisata adalah alam dan lingkungan yang hijau kawasan pegunungan, hutan
raya dan taman nasional, perkebunan dan biru laut yang bersih dan bening. Bagi wisatawan atraksi alam yang masih asli ini memiliki nilai tertinggi dalam
kepuasan berwisata.
Coastal and Ocean tourism
Water-based activities
Shore-based activities
Land-based whale watching Beach tourism
Reef walking etc
Diving Yachting
Snorkling etc
Daya tarik wilayah pesisir untuk wisatawan adalah keindahan dan keaslian lingkungan, seperti kehidupan di bawah air, bentuk pantai gua-gua,
air terjun, pasir dan sebagainya, dan hutan-hutan pantai dengan kekayaan jenis tumbuh-tumbuhan, burung dan hewan-hewan lain. Keindahan dan
keaslian lingkungan ini menjadikan perlindungan dan pengelolaan merupakan bagian integral dari rencana pengembangan pariwisata, terutama bila
didekatnya dibangun penginapan hotel, toko, pemukiman dan sebagainya yang membahayakan atau mengganggu keutuhan dan keaslian lingkungan
pesisir tersebut. Oleh karena itu inventarisasi dan persiapan daerah, rencana pengelolaan harus mendahului pengembangan dan pembangunan agar
kelestarian lingkungan pesisir yang asli dapat terjamin Dahuri et al. 2008. Laut merupakan salah satu kekayaan alam yang layak untuk
dikembangkan sebagai salah satu obyek wisata, yaitu wisata bahari. Wisata bahari bisa diwujudkan dalam berbagai aktivitas, seperti perikanan rekreasi
recreational fishing, penyelaman diving, atraksi paus dan lumba-lumba whale watching, taman hiburan pantai ocean park, penginapan resort and
home stay, berjalan di dasar laut sea-walking, dan melihat keindahan terumbu karang dengan glass bottom boat Satria 2009a.
Hall 2001 diacu dalam Adrianto 2006 menyebutkan bahwa konsep pariwisata pesisir coastal tourism atau pariwisata bahari marine tourism
meliputi hal-hal yang terkait dengan kegiatan wisata, leisure dan rekreasi yang dilakukan di wilayah pesisir dan perairan laut pariwisata pesisir dan laut–PPL.
Sementara Orams 1999 diacu dalam Adrianto 2006 memberikan definisi marine tourism sebagai: those recreational activities that involve travel way
from one’s place of residence and which have as their host or focus the marine environment. Dengan menggunakan definisi ini maka kerangka coastal and
marine tourism dapat digambarkan secara diagram sebagaimana disajikan pada Gambar 3 berikut ini.
Gambar 3 Kerangka Coastal and Marine Tourism diadopsi dari Hall 2001 dan Orams 1999 diacu dalam Adrianto 2006.
Dari Gambar 3, terlihat bahwa pariwisata pesisir dan laut secara umum dapat dikategorikan ke dalam dua kegiatan utama berdasarkan lokasi kegiatan
yaitu: a shore-based activities seperti land-based whale watching, beach tourism, dan reef walking, b water-based activities seperti diving, yachting,
dan snorkling Adrianto 2006. Hakim 2004, menyatakan bahwa pantai sering mendapat tekanan
hebat dari dampak pembangunan destinasi wisata pesisir. Pada dasarnya, istilah pantai digunakan untuk menggambarkan tempat pertemuan antara
daratan dan lautan. Secara ekologis, pantai adalah bentang alam yang dipengaruhi oleh gerakan pasang dan surut air laut.
Selanjutnya menurut Satria 2009a, bahwa meskipun wisata bahari potensial dikembangkan, ternyata terdapat beberapa masalah dan tantangan
yang harus dipecahkan. Pertama, masalah konflik dengan nelayan. Umumnya, wisata bahari berkembang di kawasan konservasi. Nelayan menganggap
berkembangnya wisata bahari makin menutup akses nelayan dalam penangkapan ikan. Hal ini terlihat dari beberapa resort yang mengklaim
wilayah pantai di sekitarnya merupakan bagian dari wilayah usahanya. Selain itu, banyak pengusaha yang menutup akses nelayan karena daerah tersebut
digunakan untuk wilayah selam. Kedua, umumnya wisata bahari juga memiliki daya serap yang rendah terhadap tenaga kerja lokal. Hal ini karena usaha
tersebut membutuhkan tenaga kerja berpendidikan menengah ke atas. Akses nelayan untuk menjadi bagian dari wisata bahari relatif kecil. Ketiga, usaha
wisata bahari masih banyak diusahakan oleh orang-orang asing yang seringkali susah memahami dan bertoleransi dengan orang lokal, khususnya
nelayan. Dominasi asing dalam wisata bahari sekaligus menggambarkan bahwa kemampuan sumberdaya manusia dan visi pengusaha nasional belum
cukup untuk mengembangkan wisata bahari Satria 2009a.
2.9 Penelitian Terdahulu
Beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini, baik yang dilakukan di lokasi penelitian maupun pada kasus yang terjadi di lokasi lain, disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 1 Penelitian Terdahulu
Peneliti dan Tahun
Sumber Laporan
Judul Alat Analisis
Hasil yang Diperoleh
1 2
3 4
Ismiranti 2005
Analisa pengelolaan sumber daya
wilayah Kabupaten
Administrasi Kepulauan
Seribu dalam
perspektif desentralisasi wilayah
- Analisis data spasial
- Analisis data atribut
- Simulasi
model ekosistem
dengan menggunakan
perangkat lunak
Ventana Simulation
Vensim 5.1b -
Adanya kecenderungan penurunan potensi sumberdaya alam berupa luas lahan, ikan dan non ikan yang diakibatkan oleh
pertambahan jumlah penduduk 1,47 per tahun -
Sulitnya mengembangkan ekonomi alternatif karena infrastruktur yang minim, sehingga penduduk akan terus menggantungkan
ekonominya pada alam -
Peningkatan kapasitas
kelembagaan pemerintah
belum bersentuhan dengan pengelolaan sumberdaya alam
- Mulai timbul prakarsa dari masyarakat sendiri untuk membentuk
kelembagaan pengelolaan sumberdaya alam, yang disebabkan oleh meningkatnya konflik horizontal akibat adanya ketimpangan
dalam pengelolaan bantuan pemerintah Muhajar
2005 Kendala
pengelolaan sumberdaya perikanan pulau-
pulau kecil oleh nelayan -
Analisis regresi dan korelasi
- Metode Instability
- Kendala karakteristik vulnerable adalah musim, karakteristik
smallness berupa keterbatasan kemampuan nelayan untuk melakukan aktivitas penangkapan yaitu frekuensi melaut per
pancing ulur di Kepulauan Wangi-Wangi
Kabupaten Wakatobi
Supply -
Analisis Rugi dan Laba -
Analisis TOPSIS -
Metode deskriptif -
Metode Game Theory bulan dan lama waktu melaut per trip
- Alternatif terbaik bagi pemasaran hasil tangkapan nelayan
pancing ulur setempat adalah memasarkan langsung ke perusahaan pengolah di Kendari
- Solusi terbaik bagi nelayan adalah: a pengadaan sistem
informasi pasar; b kemitraan dalam hal permodalan; c pengadaan fasilitas pengawetan ikan; d penerapan teknologi
tepat guna dalam hal budi daya ikan demersal; e pembinaan institusi nelayan guna menciptakan dan meningkatkan posisi
tawar nelayan lokal; f pengadaan pelatihan bagi para nelayan lokal tentang penerapan teknologi budi daya, pengawetan dan
kewirausahaan -
merekomendasikan kebijakan
pengelolaan sumberdaya
perikanan di Kepulauan Wangi-Wangi yang lebih menjamin keberlanjutan adalah hak pemungutan hasil yang dilimpahkan
kepada masyarakat komunal lokal dan peran pokok pemerintah adalah dalam hal pemasaran hasil tangkapan, pengawasan ilegal
fishing.
Lanjutan
La Ola 2004
Model pengelolaan pulau- pulau kecil dalam rangka
pengembangan wilayah
Kepulauan Wakatobi -
Analisis ekologi analisis penurunan
biomassa pada lingkungan mangrove,
- lamun terumbu
karang -
Analisis Sosial Budaya analisis kerusakan
terumbu karang, penurunan biomassa
pada lingkungan terumbu karang,
analisis uji tanda -
Analisis ekonomi analisis I-O
- pemanfaatan mangrove untuk pemukiman penduduk seluas 1 ha,
berdampak pada penurunan biomassa kepiting di lingkungan mangrove sebesar 23,75 kgtahun, penurunan biomassa ikan
balanak di lingkungan lamun sebesar 87,50 kgtahun -
dan penurunan biomassa ikan kerapu pada lingkungan terumbu karang sebesar 62,45 kgtahun.
- pemanfaatan sumberdaya terumbu karang untuk pondasi rumah
di laut pada Kampung Wakalingkuma, Waduri dan Kokaulea, merusak terumbu karang sebesar 355,33 m
3
tahun dan penurunan biomassa ikan kerapu pada wilayah pesisir Kepulauan
Wakatobi sebesar 19 tontahun.
Manafi 2003
Pendekatan penataan ruang dalam pengelolaan pulau kecil
studi kasus: Pulau Kaledupa Taman
Nasional Laut
Kepulauan Wakatobi -
Analisis data spasial -
Analisis data atribut -
Analitical Hierarchy Process AHP
Merekomendasikan peta kesesuaian lahan yang dibatasi oleh tiga kelompok kegiatan yaitu:
- kelompok pariwisata bahari dan pariwisata pantai;
- kelompok budi daya rumput laut dan budi daya laut lainnya;
- kelompok permukiman dan budi daya tanaman up land.
Saardi 2000
Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove
studi kasus di Kelurahan -
Uji T
2
Hotelling melalui pendekatan analisis
Faktorial Diskriminan -
Partisipasi masyarakat di Kelurahan Samataring tinggi karena masyarakat terlibat secara penuh sejak awal kegiatan mulai
perencanaan, pelaksanaan, penerimaan manfaat hingga evaluasi
Lanjutan
Benteng Kecamatan
Pitumpanua Kabupaten Wajo dan Kelurahan Samataring
Kecamatan Sinjai
Timur Kabupaten
Sinjai Provinsi
Sulawesi Selatan -
Analisis komponen utama Principal
Component Analysis dan pengawasan kegiatan
- Partisipasi masyarakat di Kelurahan Benteng rendah karena
masyarakat hanya terlibat dalam kegiatan pelaksanaan saja -
menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang paling mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan hutan mangrove
adalah persepsi dan lama tinggal masyarakat. Yamiati
1997 Dampak
pengembangan pariwisata pesisir dan lautan
terhadap perekonomian
wilayah, kesejahteraan dan kelembagaan
masyarakat sekitarnya di Pulau Nusa
Penida Bali -
uji t statistik -
penilaian ekonomi kawasan wisata
pesisisr dan lautan dengan konsep
willingness to pay dan consumer surplus
- analisis choice dengan
model logit -
analisis Input Output -
pendapatan masyarakat kelompok pariwisata mengalami peningkatan, sedangkan rata-rata pendapatan kelompok petani
rumput laut mengalami penurunan -
ada kepedulian masyarakat terhadap pentingnya manfaat lingkungan, yang tercermin dengan kesediaan untuk membayar
willingness to pay agar kawasan wisata pesisir dan lautan terjaga kelestariannya dimana kelompok pariwisata mempunyai
rata-rata kesediaan membayar yang paling tinggi -
faktor-faktor paling dominan yang mempengaruhi masyarakat untuk memilih bekerja di sektor pariwisata adalah: a pendidikan;
b pendapatan; c umur, dan d kelompok kerja -
kontribusi sektor pariwisata pesisir dan lautan terhadap PDRB Kab. Klungkung dan pendapatan masyarakat relatif kecil. Sektor
pariwisata berperan penting dalam penyerapan output sektor lain seperti
perhubungan, jasa
keuangan, perikanan
dan perdagangan. Output sektor pariwisata cukup berperan dalam
penyediaan input sektor lain seperti perhotelan, restoran dan industri perumahan. Tingkat kebocoran wilayah relatif cukup
besar dan koefisien pengganda tenaga kerja relatif kecil.
Lanjutan
Lanjutan
Marsaoli 2001
Model pemanfaatan
sumberdaya perikanan
karang berkelanjutan
di Kawasan pulau-pulau kecil di
kawasan terumbu karang Kepulauan Guraici, Maluku
Utara -
kondisi karang
plankton -
parameter lingkungan -
hubungan panjang-
bobot -
Model stok
berkelanjutan, model pertumbuhan
berkelanjutan, model surplus produksi
- Model bioekonomik
- kerusakan terumbu karang di Kepulauan Guraici dapat
menurunkan ketersediaan stok ikan lencam sekitar 78 dan penurunan pertumbuhan maksimum berkelanjutan sekitar 58.
Intensitas pemanfaatan optimum upaya optimum menurun sekitar 27 dari kondisi karang baik 168 tripkm
2
ke kondisi karang rusak 123 tripkm
2
, dan hasil maksimum lestari MSY menurun sekitar 58. Keuntungan berkelanjutan pada hasil
maksimum ekonomi MEY untuk kondisi karang baik adalah Rp 22.044.750,- lebih tinggi dibanding kondisi karang rusak Rp
5.978.700,-. Nilai keuntungan berkelanjutaan berkurang sekitar 73 pada kondisi karang rusak. Dengan demikian, perubahan
kondisi terumbu karang dari status kondisi karang baik ke kondisi karang rusak dapat mempengaruhi perikanan karang, khususnya
perikanan lencam di kawasan pulau-pulau kecil. Susilo
2003 Keberlanjutan pembangunan
pulau-pulau kecil di Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau
Pari Kepulauan Seribu, DKI Jakarta
- metode Rapsmile dan
analisis Monte Carlo -
analisis sensitivitas -
analisis model
ekonomi - ekologis -
metode Rapsmile
Rapid Appraisal
of Small
Islands Development dapat digunakan sebagai metode penilaian status
keberlanjutan pembangunan PPK. Analisis ketidakpastian ”Monte Carlo” yang dilakukan terhadap metode Rapsmile ini
membuktikan bahwa indeks hasil analisis Rapsmile sangat stabil dengan selang kepercayaan yang sangat sempit. IBPK
Kelurahan Pulau Panggang lebih tinggi dari IBPK Kelurahan Pulau Pari walaupun keduanya masih termasuk ke dalam status
keberlanjutan pembangunan yang sama, yaitu ”cukup”. Analisis Rapsmile yang mencakup 61 atribut variabel pada 5 dimensi
pembangunan ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, hukum dan
kelembagaan memperlihatkan
bahwa dimensi
ekonomi merupakan dimensi yang paling rendah IBPK-nya masih dalam
status kurang di dua kelurahan tersebut. Oleh karena itu secara umum pembangunan PPK di dua kelurahan tersebut belum
berkelanjutan dan perlu dilakukan perbaikan-perbaikan dimensi ekonomi di daerah studi agar status keberlanjutan pembangunan
didua kelurahan tersebut dapat meningkat. Analisis ”laverage” yang mirip dengan analisis ”jack-knife” terhadap 61 atribut
tersebut memperlihatkan adanya dua atribut yang tidak sensitif terhadap IBPK. Analisis model ekonomi-ekologis menyimpulkan
bahwa jumlah tenaga kerja nelayan di Kepulauan Seribu dalam satuan orang-hari harus diturunkan agar dapat menuju ke arah
keseimbangan ekonomi-ekologis keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya alam. Sementara itu penurunan rasio biaya tenaga
kerja c terhadap harga jual p ikan rasio cp juga harus dilakukan agar terjadi perbaikan ekonomi masyarakat nelayan di
Kepulauan Seribu. Oleh karena itu, secara umum disimpulkan bahwa pembangunan pulau-pulau kecil di Kelurahan Pulau
Panggang dan Kelurahan Pulau Pari belum berkelanjutan. Sulistyowati
2003 Analisis kebijakan
pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan
sumberdaya alam gugus kepulauan
- analisis potensi Bio-
Geofisik -
analisis hidrooseanografi
- analisis partisipasi
menggunakan -
agar dalam
pemanfaatan sumberdaya
alam terjadi
keseimbangaan lestari
maka diperlukan
kebijakan pemberdayaan
masyarakat dan
dalam pelaksanaannya
diperlukan strategi untuk melaksanakan program-program pemberdayaan yang melibatkan masyarakat mulai dari
perencanaan sampai evaluasi dan monitoring dalam kegiatan
Lanjutan
Principal Component Analysis PCA
- Analisis strategi pem-
berdayaan mengguna- kan Analisis SWOT
dan AHP A’WOT program pemberdayaan.
- Prioritas utama kebijakan pemberdayaan masyarakat adalah
peningkatan kapasitas kelembagaan untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan dengan program utama
pemberdayaan keramba jaring apung dan wisata bahari dengan penguatan kelembagaan yang ada dimasyarakat.
Abubakar 2004
Analisis kebijakan pemanfaatan pulau-pulau
kecil perbatasan kasus Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan,
Provinsi Kalimantan Timur -
Analisis A’WOT -
Analisis LGP Linear Goal Programming
Urutan prioritas kebijakan pemanfaatan PPK perbatasan adalah: -
Pemanfaatan sumberdaya alam secara optimal dan lestari -
Penataan hukum dan kelembagaan -
Peningkatan kapasitas kelembagaan masyarakat dan pemerintah -
Peningkatan aksesibilitas terhadap PPK perbatasan -
Pengembangan sistem pertahanan keamanan di pulau-pulau kecil perbatasan
- Pengembangan
aspek sosial
budaya masyarakat
PPK perbatasan
- Pengisian dan pendistribusian penduduk pada PPK perbatasan
Lanjutan
Soselisa 2006
Kajian pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut
Gugusan Pulau-Pulau Padaido, Kabupaten Biak
Numfor - wilayah pesisir dan lautan GPP Padaido, menggunakan kriteria
ekologi , sosial, ekonomi dan kelembagaan, terbagi atas: zona pemanfaatan khusus ZPK, zona pemanfaatan terbatas ZPT,
dan zona konservasi ZK. Urutan prioritas alternatif kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut adalah pengelolaan
berbasis masyarakat, pengelolaan pariwisata pesisir dan laut, konservasi sumberdaya alam pesisir dan laut, pengelolaan
perikanan pesisir dan laut, peningkatan kapasitas kelembagaan, peningkatan sarana dan prasarana pendukung, pengelolaan
perkebunan kelapa, dan mitigasi bencana alam gempa dan tsunami.
Lanjutan
Dari beberapa rangkuman hasil penelitian terdahulu yang ditampilkan, khususnya yang berlokasi di Kabupaten Wakatobi maupun Gugus Pulau
Kaledupa, maka dapat diperbandingkan pada ranah mana penelitian ini berada. Dari penelitian Manafi 2003 yang merekomendasikan peta
kesesuaian lahan untuk tiga kegiatan pemanfaatan yaitu pariwisata, budi daya laut dan pemukiman serta budi daya tanaman up land, menjadi dasar bagi
penulis untuk melihat bagaimana pemanfaatan sumberdaya laut di wilayah GPK berdasarkan tiga kegiatan pemanfaatan yaitu kegiatan perikanan
tangkap, budi daya rumput laut dan wisata bahari. Namun dalam pemanfaatan SDL yang dilakukan oleh masyarakat
setempat seperti pemanfaatan hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang telah menyebabkan penurunan biomassa ikan yang hidup pada
ekosistem tersebut La Ola 2004. Dari informasi di atas, teridentifikasi adanya pemanfaatan sumberdaya
laut yang dilakukan oleh masyarakat di wilayah GPK, yang diperuntukan bagi tiga jenis kegiatan yaitu perikanan tangkap, budidaya rumput laut dan wisata
bahari, dengan memanfaatkan sumberdaya laut seperti mangrove, terumbu karang dan padang lamun.
Berdasarkan informasi tersebut, penelitian ini mencoba masuk untuk melihat bagaimana partisipasi masyarakat dalam mengelola sumberdaya di
wilayah GPK, apakah partisipasi tersebut telah mendukung pembangunan berkelanjutan ataukah yang terjadi justru aktivitas pengurasan sumberdaya.
Sehingga dari data-data yang diperoleh, dapat dibuat arahan bentuk pengelolaan sumberdaya laut GPK yang berkelanjutan dan berbasis partisipasi
masyarakat.
Gambar 4 Prinsip pembangunan berkelanjutan Putri 2009.
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teoritis