Multikolinieritas ANALISIS BEBERAPA FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGHIMPUNAN DANA MASYARAKAT PADA BANK SYARIAH DI INDONESIA.

1,08 – 1,66 Sumber : Algifari, 2000. Analisis Regresi, Teori Kasus dan Solusi, Penerbit : BPFE UGM, Yogyakarta, Halaman 89. Tanpa kesimpulan 1,66 – 2,34 Tidak ada autokorelasi 2,34 – 2,92 Tanpa kesimpulan Lebih dari 2,92 Ada autokorelasi

2. Multikolinieritas

Multikolinieritas adalah adanya hubungan yang sempurna antara semuanya atau beberapa variabel eksplanatori dalam model regresi yang di kemukakan . Sudrajat, 1988 :167 Untuk mendeteksi adanya multikolinieritas dapat dilihat dengan ciri-ciri sebagai berikut : a. Koefisien determinasi berganda R 2 tinggi . b. Koefisien korelasinya sederhadanya tinggi . c. Nilai F hitung tinggi signifikan Sebagian besar atau bahkan seluruh koefisien regresi tidak signifikan . 3. Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas artinya variabel independen, adalah tidak konstan berbeda untuk setiap nilai tertentu variabel independen . Uji heteroskedastisitas dengan menggunakan uji Ran Spearman , yaitu dengan cara mengambil nilai mutlak dengan mengamsusikan bahwa koefisien rank korelasi Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. adalah nol . jika hasil regresi menunjukkan nilai signifikan nilai α , maka regresi linier tidak terdapat heteroskedastisitas. Dan nilai residual kuadrat adalah Y observasi –Y prediksi 2. Selain itu pada scatterplot akan menghasilkan gambar yang memancar atau menyebar dan tidak mengumpul pada satu titik ataupun membentuk suatu pola tertentu apabila persamaan regresi tidak terjadi heteroskedastisitas . Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 . Deskripsi Obyek Penelitian 4.1.1. Perkembangan Perbankan Syariah Di Indonesia Upaya intensif pendirian bank islam disebut oleh peraturan perundang- undangan Indonesia sebagai “Bank Syariah” di Indonesia dapat ditelusuri sejak tahun 1988, yaitu pada saat pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober Pakto yang mengatur deregulasi industri perbankan di Indonesia. Setelah adanya rekomendasi dari Lokakarya Ulama tentang Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua Bogor pada 19-12 Agustus 1990, yang kemudia diikuti dengan diundangkannya UU No. 7 1992 tentang perbankan di mana perbankan bagi-hasil mulai diakomodasi, maka berdirilah Bank Muamalat Indonesia BMI, yang merupakan bank umum islam pertama yang beroperasi di Indonesia. Perkembangan lembaga-lembaga keuangan Islam tersebut tergolong cepat, dan salah satu alasannya ialah karena adanya keyakinan kuat di kalangan masyarakat Muslim bahwa perbankan konvensional itu mengandung unsur riba yang dilarang oleh agama Islam. Dengan diundangkannya UU No. 10 1998 tentang perubahan UU No. 7 1992 tentang perbankan, maka secara tegas sistem Perbankan Syariah Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. ditempatkan sebagai bagian dari Sistem Perbankan Nasional. UU tersebut telah diikuti dengan ketentuan pelaksanaan dalam beberapa Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tanggal 12 Mei 1999, yaitu tentang Bank Umum, Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syarah, Bank Perkreditan Rakyat BPR, dan BPR Berdasarkan Prinsip Syariah. Kini jumlah bank umum Syariah di Indonesia telah bertambah dengan telah beroperasinya kantor cabang Syariah Bank IFI, Bank Syariah Mandiri, kantor-kantor cabang Syariah Bank BNI, kantor cabang Bank Jabar dan kantor cabang Bank Bukopin, disamping Bank Muamalat Indonesia dan 78 BPR Syariah yang telah ada. Untuk memfasilitasi perbankan Syariah ini dalam mengelola dananya, Bank Indonesia telah mengeluarkan beberapa ketentuan mengenai Pasar Uang Antar Bank Syariah, Instrumen Pasar Uang Syariah yang berupa Sertifikat Inventasi Mudharabah Antar-bank IMA dan Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia SWBI, ketentuan mengenai Giro Wajib Minimun bagi Bank Syariah dan Kliring antar Bank Syariah. Saat ini Bank Indonesia juga sedang mempersiapkan Pedoman Standar Akutansi Keuangan PSAK bagi Perbankan Syariah. Arifin, 2002 : 7 4.2.Deskripsi Hasil Penelitian Deskripsi hasil penelitian ini memberikan gambaran tentang data- data serta perkembangan Penghimpunan Dana Bank Syariah sehingga dapat mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi terhadap perkembangan Penghimpunan Dana Bank Syariah, Nisbah Bagi Hasil, Tingkat Jumlah Kantor Bank, Pendapatan perkapita dan Inflasi.

4.2.1. Perkembangan Penghimpunan Dana Bank Syariah

Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. Perkembangan Penghimpunan Dana Bank Syariah dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4 yang menjelaskan bahwa pada tahun 2001 sampai 2010, Perkembangan terbesar Penghimpunan Dana Bank Syariah pada tahun 2003 sebesar 107,28 hal ini dikarenakan sudah membaiknya makro perekonomian di Indonesia juga banyaknya jumlah kantor bank syariah dan terendah sebesar 25,11 terjadi pada tahun 2007, hal ini terjadi karena masih terpengaruhnya inflasi yang tinggi damapak pada tahun 2005 sehingga masyarakat masih menahan uangnya untuk keperluan sehari - hari. Penghimpunan Dana Bank Syariah terbesar pada tahun 2010 sebesar Rp.83184 Milyar dan Penghimpunan Dana Bank Syariah yang terendah yaitu pada tahun 2001 sebesar Rp. 2065 Milyar. Tabel.4. Perkembangan Penghimpunan Dana Bank Syariah Tahun 2001-2010 Tahun Penghimpunan Dana Bank Syariah Milyar Rp Perkembangan 2001 2065 - 2002 3228 56,31 2003 6691 107,28 2004 12914 93,00 2005 17296 33,93 2006 22337 29,14 2007 27948 25,11 2008 40591 45,23 2009 57762 42,30 2010 83184 44,01 Sumber : Statistik Bank Indonesia diolah

4.2.2. Perkembangan Nisbah Bagi Hasil

Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. Berdasarkan tabel dibawah dapat diketahui bahwa perkembangan Nisbah Bagi Hasil selama tahun 2001 – 2010 cenderung mengalami fluktuasi. Perkembangan tertinggi selama periode penelitian adalah tahun 2002 sebesar 3,50 dengan nilai Nisbah Bagi Hasil sebesar 11,47 dan terendah sebesar -2,56 tahun 2004, Nisbah Bagi Hasil terbesar tahun 2002 sebesar 11,47 hal ini disebabkan karena terjadi kenaikan pada sistem bunga sehingga berpengarug terhadap sistem bagi hasil pada bank syariah, sedangkan perkembangan Nisbah Bagi Hasil yang terendah yaitu pada tahun 2008 sebesar 6,83 . Hal ini disebabkan karena adanya penurunan suku bunga pada bank konvensional sehingga berpengaruh terhadap sistem bagi hasil pada bank syariah. Sedangkan pada tahun 2010 mengalami penurunan dikarenakan, tingkat suku bunga bank konvensional cenderung mengalami penurunan dan hal ini diikuti oleh tingkat bagi hasil yang juga menurun. Tabel.5. Perkembangan Nisbah Bagi Hasil Tahun 2001-2010 Tahun Nisbah Bagi Hasil Perkembangan 2001 7,97 - 2002 11,47 3,50 2003 10,50 - 0,97 2004 7,94 - 2,56 2005 7,20 - 0,74 2006 7,39 0,19 2007 6,98 - 0,41 2008 6,83 - 0,15 2009 8,54 1,71 2010 7,55 - 0,99 Sumber : Bank Indonesia diolah

4.2.3. Perkembangan Jumlah Kantor Bank

Berdasarkan tabel 6 dapat dijelaskan bahwa perkembangan Jumlah Kantor Bank setiap tahunnya mengalami peningkatan yang tidak tentu besarnya. Perkembangan Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. Jumlah Kantor Bank, yang tertinggi terjadi pada tahun 2003 sebesar 69,56 hal ini terjadi karena pada tahun 2003 semakin banyak masyarakat yang menginginkan menabung di bank syariah dan sekarang banyak cabang – cabang bank syariah. Terendah sebesar 11,59 terjadi pada tahun 2007 hal ini dikarenakan pada tahun 2005 masih ada dampak terjadi inflasi yang tinggi sehingga banyak masyarakat menahan uangnya untuk keperluan sehari - hari. Jumlah Kantor Bank terbesar pada tahun 2010 sebesar 1477 unit dan Jumlah Kantor Bank yang terendah yaitu pada tahun 2001 sebesar 96 unit. Tabel.6. Perkembangan Jumlah Kantor Bank Tahun 2001-2010 Tahun Tingkat Jumlah Kantor Bank Unit Perkembangan 2001 96 - 2002 138 43,75 2003 234 69,56 2004 337 44,01 2005 436 29,37 2006 509 16,74 2007 568 11,59 2008 790 39,08 2009 998 26,32 2010 1477 47,99 Sumber : Bank Indonesia Cabang Surabaya diolah

4.2.4. Perkembangan Pendapatan Perkapita

Berdasarkan tabel 7 dapat dijelaskan bahwa perkembangan Pendapatan Perkapita setiap tahunnya mengalami kenaikan yang tidak tentu besarnya. Perkembangan tertinggi Pendapatan Perkapita adalah pada tahun 2010 sebesar 6,29 dikarenakan banyak lapangan pekerjaan yang tercipta. Dan perkembangan terendah Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. adalah pada tahun 2009 sebesar 0,63 , dikarenakan pada tahun 2008 terjadi krisis ekonomi global yang memperlambat pertumbuhan ekonomi dunia menyebabkan volume perdagangan global pada tahun 2009 merosot tajam. Pendapatan Perkapita tertinggi terjadi pada tahun 2010 sebesar Rp. 8.504.000 dan Pendapatan Perkapita terendah pada tahun 2001 sebesar Rp. 6.128.196. Tabel.7. Perkembangan Pendapatan Perkapita Tahun 2001-2010 Tahun Pendapatan Perkapita Juta Rupiah Perkembangan 2001 6.128.196 - 2002 6.238.783 1,80 2003 6.332.861 1,50 2004 6.688.101 5,60 2005 6.950.254 3,91 2006 7.136.388 2,67 2007 7.522.416 5,40 2008 7.950.300 5,68 2009 8.000.700 0,63 2010 8.504.000 6,29 Sumber : Badan Pusat Statistik Indonesia diolah

4.2.5. Perkembangan Inflasi

Berdasarkan tabel 8 dapat dijelaskan bahwa perkembangan Inflasi setiap tahunnya mengalami fluktuatif yang tidak tentu besarnya. Perkembangan Inflasi, yang tertinggi terjadi pada tahun 2008 sebesar 10,30 ini dikarenakan adanya kenaikan harga barang – barang yang tidak dikendalikan Pemerintah. tetapi pada tahun 2002 terjadi perkembangan terendah sebesar - 68,79 . Hal ini bisa dilihat dari nilai Inflasi di tahun 2002 sebesar 77,63 menjadi 8,84 atau turun sebesar – 68,79 hal ini dikarenakan sudah membaiknya kondisi makro ekonomi di Indonesia. Tabel.8. Perkembangan Inflasi Tahun 2001-2010 Tahun Inflasi Perkembangan Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. 2001 77,63 - 2002 8,84 - 68,79 2003 9,40 0,56 2004 13,01 3,61 2005 14,08 1,07 2006 7,10 - 6,98 2007 6,80 - 0,30 2008 17,10 10,30 2009 7,00 - 10,10 2010 6,60 - 0,40 Sumber : Badan Pusat Statistik Indonesia diolah

4.3. Hasil Analisis Asumsi Regresi Klasik BLUE Best Linier Unbiased Estimator.

Agar dapat diperoleh hasil estimasi yang BLUE Best Linier Unbiased Estimator atau perkiraan linier tidak bias yang terbaik maka estimasi tersebut harus memenuhi beberapa asumsi yang berkaitan. Apabila salah satu asumsi tersebut dilanggar, maka persamaan regresi yang diperoleh tidak lagi bersifat BLUE, sehingga pengambilan keputusan melalui uji F dan uji t menjadi bias. Dalam hal ini harus dihindarkan terjadinya kasus-kasus sebagai berikut : 1. Autokorelasi Autokorelasi dapat didefinisikan sebagai “korelasi antara data observasi yang diurutkan berdasarkan urut waktu data time series atau data yang diambil pada waktu tertentu data cross-sectional” Gujarati, 1995:201. Untuk mengujji variabel-variabel yang diteliti apakah terjadi autokorelasi atau tidak dapat digunakan uji Durbin Watson, yaitu dengan cara membandingkan nilai Durbin Watson yang dihitung dengan nilai Durbin Watson dL dan du dalam tabel. Distribusi penetuan keputusan dimulai dari 0 nol sampai 4 empat. Kaidah keputusan dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Jika d lebih kecil daripada d L atau lebih besar daripada 4-d L , maka hipotesis nol ditolak yang berarti terdapat autokorelasi. Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. 2. Jika d teletak antara d U dan 4-d U , maka hipotesis nol diterima yang berarti tidak ada autokorelasi. 3. Jika nilai d terletak antara d L dan d U atau antara 4-d L dan 4-d U maka uji Durbin-Watson tidak menghasilkan kesimpulan yang pasti, untuk nilai-nilai ini tidak dapat disimpulkan ada tidaknya autokorelasi di antara faktor-faktor penganggu. Untuk mengetahui ada tidaknya gejala autokorelasi dalam model penelitian maka perlu dilihat nilai DW tabel. Diketahui jumlah variabel bebas adalah 4 k=4 dan banyaknya data adalah n=10 sehingga diperoleh nilai DW tabel adalah sebesar d L = 0,370 dan d U = 2,414. Gambar 7: Kurva Statistik Durbin Watson Daerah Daerah Daerah Daerah Kritis Ketidak- Terima Ho Ketidak- Kritis pastian pastian Tolak Tidak ada Tolak Ho autokorelasi Ho 0 d L = 0,370 d U = 2,414 4-d U = 1,586 4-d L = 3,630 d 3,429 Sumber : Lampiran 2 dan 7 Berdasarkan hasil analisis, maka dalam model regresi ini tidak terjadi gejala autokorelasi karena nilai DW tes yang diperoleh adalah sebesar 3,429 berada pada daerah antara dL dan dU yang berarti berada dalam daerah ketidakpastian.

2. Multikolinier