BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Masalah nilai dan pengukuran sudah lama menjadi isu ekonomi khususnya akuntansi. Pengukuran ini perlu diketahui pihak yang berkepentingan untuk
mengetahui antara lain nilai perusahaan atau value of firm”. Sejak awalnya sampai
saat ini prinsip akuntansi dibangun dengan menggunakan metode penilaian nilai
histories atau historical cost” untuk mengukur transaksi ekonomis perusahaan. Kemudian prinsip akuntansi juga menetapkan unit moneter atau “monetary unit”
sebagai alat ukur dan stabilitas nilai atau “stable monetary unit” sebagai prinsip yang given AICPA, 1970. Dengan penerapan prinsip ini maka informasi akuntansi
memberikan informasi keuangan yang bersifat historis dan dikenal dengan istilah nilai buku atau “book value”. Namun karena situasi ekonomi memang tidak bisa lepas
dari inflasi maka lama kelamaan nilai buku tidak sama dengan nilai pasar dari perusahaan atau entitas yang dilaporkan sehingga untuk menilai perusahaan muncul
dua jenis penilaian yakni nilai buku dan nilai pasar. Dari nilai buku dapat diketahui harga saham suatu perusahaan dan juga nilai pasar dapat mempengaruhi harga
saham. Laporan akuntansi memberikan nilai buku yang belum tentu dijadikan investor sebagai ukuran yang disebabkan perubahan nilai uang akibat inflasi sehingga
orang beralih ke market value dari saham sebagai alat objective untuk menilai “value of firm” atau nilai perusahaan.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian ini mencoba melihat beberapa faktor yang mempengaruhi harga saham berdasarkan market value dari emiten perbankan di Indonesia, kemudian
melihat pengaruh beberapa aspek yang memungkinkan dapat mempengaruhi market value nilai pasar. Perusahaan yang dipilih adalah perusahaan yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia dan yang bergerak dalam bidang industri perbankan. Industri perbankan dipilih karena beberapa alasan antara lain karena industri ini sampai saat
ini masih belum stabil atau dengan kata lain sejak diterpa masalah pada tahun 1997 dan sampai saat ini industri perbankan masih bertopang pada BLBI dan alasan
lainnya karena adanya isu yang mengatakan bahwa perusahaan perbankan milik pemerintah BUMN akan melakukan merger pada waktu dekat ini sehingga
perusahaan perbankan pemerintah menjadi hanya dua. Likuidasi, pengambilalihan dan restrukturisasi perbankan mencerminkan betapa tidak sehat kondisi perbankan
nasional sebelum krisis. Bahkan Bank Indonesia sebagai bank sentral digambarkan sebagai sarang penyamun. Kondisi tidak sehat ini bisa juga dikatakan akibat pengaruh
dari rezim orde baru dimana pada saat itu ada kebijakan untuk mempermudah pendirian bank.
Jika dilihat dari overview kinerja perbankan maka beberapa tahun setelah terjadinya krisis ekonomi hingga akhir tahun 2004 kinerja sektor perbankan
menunjukkan trend yang terus membaik yang tercermin antara lain dari meningkatnya pertumbuhan dan kredit perbankan, meningkatnya Loan to Deposit
Ratio LDR, menurunnya Non Performing Loan NPL serta meningkatnya
profitabilitas. Perbaikan kinerja sektor perbankan pada waktu itu tidak lepas dari dukungan
Universitas Sumatera Utara
kondisi makro yang terus membaik yang dapat dilihat dari meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi, menurunnya laju inflasi dan tingkat bunga dalam negeri serta semakin stabilnya
tingkat rupiah, namun demikian
memasuki tahun 2005 khususnya pada pertengahan tahun 2005 tekanan yang terjadi pada stabilitas ekonomi makro telah membawa
pengaruh negative pada perkembangan kinerja sektor perbankan dan kemungkinan juga akan berlanjut di tahun 2006. Beberapa indikator kinerja perbankan mulai
menunjukkan perkembangan yang kurang menggembirakan yang tercermin antara lain dari meningkatnya kembali NPL, menurunnya NIM, menurunnya profitabilitas,
menurunnya CAR, serta meningkatnya rasio biaya terhadap pendapatan BOPO. Ditengah-tengah perkembangan yang kurang menggembirakan inilah
maka setiap perbankan berlomba-lomba untuk meningkatkan rasio profitabilitasnya dengan
berbagai cara misalnya dengan menarik nasabah
sebanyak mungkin dari pelayanan yang ditingkatkan dan meningkatkan kualitas dari produk perbankan, meningkatkan aktiva
produktifnya yakni dengan mengurangi aktiva bermasalah seperti kredit macet serta ditingkatkannya sifat
kehati-hatian dalam pemberian kredit terhadap nasabah tetapi tetap mendahulukan pelayanan mereka. Mencoba membuat beberapa kebijakan untuk penyesuaian
terhadap tingkat suku bunga SBI yang masih tinggi sehingga tidak menghambat kinerja perbankan untuk lebih maju dan lebih dapat meningkatkan LDRnya. Interest
rate yang merupakan aspek makro juga perlu diperhatikan karena selain ingin mendapatkan laba perusahaan dari rasio profitabilitas dan meningkatkan LDR maka
interest rate yang berlaku di Indonesia sangat berpengaruh terhadap harga saham pada perusahaan perbankan.
Universitas Sumatera Utara
Sepanjang 2009, pertumbuhan aset perbankan mencapai Rp 223 T atau bertumbuh hampir sebesar 10 yang didorong oleh pertumbuhan kredit yang juga
mencapai 10 atau sebesar Rp 130 T. Pertumbuhan kredit tersebut masih belum menunjukkan meningkatnya fungsi intermediasi perbankan yang optimal. Rendahnya
pertumbuhan kredit di satu sisi disebabkan persepsi perbankan terhadap tingginya risiko sektor riil yang masih terimbas krisis keuangan global. Sebaliknya di sisi lain
juga disebabkan aktivitas ekonomi yang melambat serta tingginya suku bunga. Loan to Deposit Ratio LDR yang merupakan salah satu indikator intermediasi perbankan,
pada 2009 menunjukkan peningkatan rasio yang melambat setelah pada tiga tahun sebelumnya menunjukkan peningkatan yang relatif baik. LDR sepanjang 2005-2008
terus mengalami peningkatan, namun pada 2009 LDR mengalami penurunan dari 74,6 pada 2008 menjadi 72,9 pada Desember 2009.
Dari sisi DPK, pertumbuhan dana masyarakat sepanjang 2009 juga kurang menunjukkan peningkatan yang tinggi jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Sepanjang tahun 2009, peningkatan DPK hanya sebesar Rp 220 triliun atau rata-rata meningkat sebesar Rp 18 triliun per bulan. Kondisi tersebut menurun jika
dibandingkan rata-rata peningkatan DPK per bulan di tahun 2008 sebesar Rp 20 triliun dan Rp 19 triliun di tahun 2007. Ke depan, dengan membaiknya kondisi pasar
finansial di luar perbankan, diperkirakan akan berat bagi perbankan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat agar tetap menyimpan dananya di bank.
Diperlukan strategi yang inovatif bagi perbankan dalam usahanya meningkatkan DPK khususnya dana yang memiliki biaya yang rendah dana tabungan dan giro.
Universitas Sumatera Utara
Dilihat dari komposisi DPK yang ada, dimana porsi deposito masih memiliki share yang cukup besar pada 2008 share deposito mencapai 47 dan pada 2009
sebesar 46 membuat kemampuan perbankan untuk menekan biaya dana menjadi terbatas, yang pada akhirnya akan berdampak pada penurunan suku bunga kredit
menjadi kurang optimal. Kondisi tersebut yang antara lain dapat melemahkan fungsi intermediasi perbankan terhadap sektor riil. Adapun perkembangan rasio perbankan
di Indonesia terdapat pada Tabel 1.1 berikut:
Tabel 1.1. Rasio Perbankan di Indonesia Tahun 2005-2009 Rasio
2005 2006
2007 2008
2009 Des 2009
BOPO 89.50
86.98 84.05
88.59 86.55
86.63 ROA
2.55 2.64
2.78 2.33
2.61 2.60
NIM 5.63
5.80 5.70
5.66 5.54
5.56 NPL
7.56 6.07
4.07 3.20
3.82 3.31
LDR 59.64
61.56 66.32
75.58 73.67
72.88 CAR
19.30 21.27
19.30 16.78
17.08 17.42
SBIKredit 7.80
22.60 20.35
12.73 14.27
14.75 Sumber: www.bi.go.id 2010
Pada 2010 perbankan Indonesia diharapkan dapat kembali meningkatkan perannya sebagai lembaga intermediasi secara optimal dengan momentum recovery
dari krisis finansial. Banyak kalangan, khususnya kalangan dunia usaha dan pemerintah mengharapkan kontribusi perbankan yang lebih besar dalam
menggerakkan perekonomian. Sepanjang tahun 2009, banyak kalangan menilai perbankan kurang optimal dalam menjalankan fungsi intermediasi, hal tersebut
berdasarkan penilaian dari berbagai pihak bahwa perbankan menerapkan strategi suku bunga yang tinggi untuk dapat mempertahankan tingkat keuntungan. Sebelum
Universitas Sumatera Utara
menaruh ekspektasi yang tinggi terhadap sektor perbankan, ada baiknya melihat kondisi perbankan di tahun 2009 dan ekspektasi perbaikan perekonomian di tahun
2010. Setiap investasi tentu memiliki risiko dan return yang berbeda-beda. Para
investor sendiri tentu selalu berharap dapat memaksimalkan return atas investasinya berdasarkan tingkat toleransinya terhadap risiko. Investor yang berani mengambil
risiko risk taker cenderung memilih saham-saham dengan tingkat risiko yang tinggi dengan pengharapan akan menuai return yang tinggi pada akhirnya. Sebaliknya,
investor yang kurang berani risk averse cenderung memilih saham-saham dengan return yang normal.
Tingkat keuntungan return merupakan motivasi investor dalam berinvestasi, karena itu, return seringkali dijadikan sebagai ukuran dalam membandingkan
berbagai alternatif investasi. Pengukuran return historis memberikan dua keuntungan bagi investor. Hal yang pertama, pengukuran return historis yaitu memungkinkan
investor mengetahui keberhasilan mereka dalam melakukan suatu investasi. Hal yang kedua, pengukuran return historis juga ikut berperan dalam memperkirakan return
masa depan. Salah satu tujuan investor dalam berinvestasi adalah memperoleh deviden.
Tujuan lain adalah memperoleh capital gain, yaitu selisih lebih antara harga investasi saat ini dengan harga investasi di masa lalu. Perilaku investor seperti itu
mengindikasikan bahwa mereka membeli saham pada saat harga saham turun dan menjualnya kembali pada saat harga saham meningkat. Indikasi ini menyimpulkan
Universitas Sumatera Utara
bahwa seorang calon investor yang ingin membeli saham di pasar sekunder harus senantiasa memperhatikan pergerakan harga saham tersebut. Kekuatan analisis
investor dalam menilai dan memperkirakan harga saham akan berpengaruh terhadap capital gain yang akan diterimanya. Hal tersebut dikarenakan kekuatan analisis ini
akan memberikan informasi kepada investor waktu yang tepat untuk membeli atau menjual saham yang dimilikinya.
Profitabilitas perusahaan perbankan menunjukkan pendapatan yang mampu dihasilkan oleh perusahaan perbankan dalam suatu periode tertentu. Profitabilitas
perbankan dalam penelitian ini digambarkan oleh Debt to Equity Ratio. Apabila suatu bank selalu mengalami kerugian setiap tahunnya, yang artinya rasio DER kecil, maka
tentunya akan berpotensi menurunnya harga saham. Solvabilitas perbankan menunjukkan kemampuan perusahaan untuk
membayar kewajibannya dalam jangka panjang ataupun ketika suatu entitas perbankan dilikuidasi. Solvabilitas dalam penelitian ini diproksikan oleh Capital
Adequacy Ratio CAR dan Non Performing Loan NPL. Apabila rasio CAR suatu bank kecil, artinya besar kemungkinan bank tersebut gagal menutup kerugiannya
didalam kegiatan perkreditan maupun perdagangan surat berharga dengan kemampuan modal yang dimiliki bank tersebut.
Loan to Deposite Ratio LDR merupakan merupakan penilaian atas tingkat likuiditas suatu bank. Semakin tinggi rasio ini semakin besar jumlah dana yang
diberikan ke masyarakat dan semakin besar opportunity mendapatkan hasil melalui aktiva produktif. Apabila terlalu tinggi juga menunjukkan bahwa bank yang
Universitas Sumatera Utara
bersangkutan dalam keadaan kurang likuid karena hanya berfokus pada aktivanya. Batas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia adalah 110 maka jika lebih dari standar
tersebut maka likuiditas bank sama dengan nol atau tidak baik sehingga dapat mengganggu going concern perusahaan. Semakin rendah rasio profitabilitas dan
akhirnya akan menurunkan market value bank tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Sianipar 2005 dengan judul Pengaruh Faktor
Fundamental terhadap harga saham Industri Perbankan di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara simultan CAR, ROA, ROE, NIM, LDR NPATEA dan
EPS mempunyai pengaruh terhadap harga saham, sedangkan secara parsial CAR, ROE, NIM, dan EPS berpengaruh terhadap harga saham, sedangkan ROA, LDR dan
NPATEA tidak berpengaruh signifikan terhadap harga saham. Penelitian yang dilakukan oleh Sari 2008 dengan judul Pengaruh Kinerja
Bank terhadap Harga Saham pada Bank yang Go Public periode 2000-2006.Pada penelitian tersebut digunakan CAR, KAP, BOPO dan LDR sebagai variabel
independen dan harga saham sebagai variabel dependen.Hasil penelitian menunjukkan secara simultan CAR, KAP, BOPO dan LDR tidak berpengaruh
signifikan terhadap harga saham, sedangkan secara parsial KAP berpengaruh signifikan terhadap harga saham, sedangkan CAR, BOPO, dan LDR tidak
berpengaruh signifikan Penelitian yang dilakukan oleh Alexandri 2000 dengan judul Hubungan
antara Kinerja Perusahaan dengan Harga Saham Emiten Manufaktur di Bursa Efek Jakarta dengan menggunakan variabel EVA, Debt to Equity Ratio DER, dan Return
Universitas Sumatera Utara
on Investment ROI sebagai independen dan harga saham sebagai dependen variabel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga variabel independen yaitu EVA, DER,
dan ROI memiliki hubungan dan pengaruh yang tinggi terhadap harga sahamnya. Besarnya pengaruh ketiganya ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasinya R
2
sebesar 49,5, yang berarti sekitar 49,5 dari perubahan harga saham dapat dijelaskan oleh ketiga variabel tersebut, sedangkan 50,5 dijelaskan oleh variabel
lain yang tidak tercakup dalam penelitian tersebut. Jeffrey 2001 melakukan riset dengan judul Pengaruh Leverage Keuangan
terhadap Return, Resiko dan Perubahan Harga Saham Emiten LQ 45 sebelum dan pada waktu krisis. Pada penelitian tersebut digunakan leverage sebagai independen
variabel dan harga saham sebagai dependen vafriabel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa leverage keuangan cukup berpengaruh terhadap return, resiko dan perubahan
harga saham baik sebelum maupun pada waktu krisis moneter terjadi. Sehubungan dengan penjelasan diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti
dengan judul: “Pengaruh Likuiditas, Profitabilitas dan Solvabilitas terhadap Market Value Saham Perbankan di Bursa Efek Indonesia”.
1.2. Rumusan Masalah