Penentuan Profil Farmakokinetika Diklofenak Pada Kelinci Jantan

(1)

PENENTUAN PROFIL FARMAKOKINETIKA

DIKLOFENAK PADA KELINCI JANTAN

Skripsi

Oleh : Sofia Rahmi Nim : 050804084

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PENENTUAN PROFIL FARMAKOKINETIKA

DIKLOFENAK PADA KELINCI JANTAN

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

Oleh : Sofia Rahmi Nim : 050804084

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

PENENTUAN PROFIL FARMAKOKINETIKA DIKLOFENAK PADA KELINCI JANTAN

Oleh :

SOFIA RAHMI NIM 050804084

Dipertahankan dihadapan Panitia Penguji Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Pada tanggal : 05 Juni 2010

Pembimbing I, Panitia Penguji,

Dr.Edy Suwarso,S.U.,Apt. Dr.Karsono,Apt

NIP 130935857 NIP 131415891

Pembimbing II,

Prof.Dr.rer.nat.Effendi De Lux Putra,S.U.Apt Dr.Edy Suwarso, S.U.,Apt.

NIP 195206191983031001 NIP130935857

Drs.Muchlisyam,Msi., Apt.

NIP 195006221980021001

Drs.Saiful Bahri, M.S.,Apt.

NIP 131285999

Medan, Juni 2010 Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Dekan,

Prof.Sumadio Hadisahputra, Apt. NIP 195311281983031002


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, karunia, dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Penentuan Profil Farmakokinetika Diklofenak pada Kelinci Jantan”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui profil farmakokinetika baku dari Natrium Diklofenak (senyawa kimia yang larut dalam air) sebagai dasar dalam penelitian selanjutnya untuk obat jadi (sediaan) Natrium Diklofenak.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada bapak Dr.Edy Suwarso,S.U.,Apt. dan bapak Prof.Dr.rer.nat.Effendi De Lux Putra, S.U.,Apt. yang telah membimbing dengan penuh kesabaran, tulus dan ikhlas selama penelitian dan penulisan skripsi ini berlangsung. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Prof.Dr.Sumadio Hadisahputra, Apt. yang telah memberikan bantuan dan fasilitas selama masa pendidikan. Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada kedua orang tua Drs.Azhary Tambusai, M.A. dan Dra.Khairina Nasution, M.S. atas dorongan dan pengorbanan baik moril maupun materil dalam penyelesaian skripsi ini. Serta ucapan terima kasih kepada teman-teman yang telah membantu dalam penelitian dan penyelesaian skripsi ini.

Medan, 2010 Penulis,


(5)

PENENTUAN PROFIL FARMAKOKINETIKA

DIKLOFENAK PADA KELINCI JANTAN

Abstrak

Fase

farmakokinetik

berkaitan dengan masuknya zat aktif ke dalam

tubuh. Pemasukan

in vivo

tersebut secara keseluruhan merupakan fenomena

fisiko-kimia yang terpadu di dalam organ penerima obat. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui bagaimana profil farmakokinetika dari Natrium

diklofenak.

Untuk mendapatkan keadaan yang optimal, penelitian ini dilakukan

dengan cara memberikan larutan Natrium diklofenak baku kepada 6 ekor

hewan kelinci jantan yang beratnya sekitar 1,5-2 kg dengan pemberian

secara oral. Dan untuk mendapatkan kadar obat dalam darah pada

masing-masing kelinci jantan maka darah diambil dengan selang waktu 0,25 jam;

0,5 jam; 0,75 jam; 1,25 jam; 1,5 jam; 2,5 jam; 3,5 jam; 4,5 jam; 5,5 jam.

Lalu divortex dengan menggunakan TCA dan disentrifuge. Pengukuran

kadar obat Natrium diklofenak dalam plasma kelinci jantan dilakukan

dengan menggunakan KCKT (Kromatografi Cair Kinerja Tinggi). Fase

gerak yang digunakan untuk mengukur kadar Natrium diklofenak dalam

plasma kelinci jantan adalah MeOH : buffer asetat (Na asetat 6,8 g / l

sesuaikan sampai pH 4,2 dengan HCl

(p)

) dengan perbandingan (90 : 10) dan

laju alir 1,4 ml / menit.

Dari hasil penentuan parameter farmakokinetika Natrium diklofenak

diketahui nilai rata-rata ± SD dari K

a

0,963 ± 0,422 jam

-1

; AUC

0-∞

2,831 ±

0,710 mcg / L jam; C

maks

0,073 ± 3,157x10

-3

mcg / L; T

maks

2,445 ± 0,343

jam; Vd 24,027 ± 4,197 L; K

el

0,030 ± 6,06x10

-3

jam

-1

; t

1/2

24,323 ± 6,298

jam; Klirens 0,703 ± 0,201 L / jam.

Dari hasil di atas dapat disimpulkan bahwa laju absorpsi Natrium

Diklofenak adalah 0,963 ± 0,422 jam

-1

, dan laju eliminasinya adalah 0,030

± 6,06x10

-3

jam

-1

.


(6)

THE DETERMINATION OF THE PHARMACOKINETIC

PARAMETER OF DICLOFENAC IN MALE RABBIT

Abstract

Pharmacokinetic phase refers to the entrance of active substance to the

body. The in

vivo

influx, overall, is a harmonious physico-chemical

phenomenon in the drug receiving organ. This research objective is to know

and assess the pharmacokinetic form of diclofenac in combination with its

sodium salt.

To obtain optimal condition, this research was done by giving

standard diclofenac sodium solution to six male rabbits, weight about 1,5-2

kg orally. And to get the value of drug blood level in each rabbit, then the

blood was extracted in fixed time range 0,25 hour; 0,5 hour; 0,75 hor; 1,25

hour; 1,5 hour; 2,5 hour; 3,5 hour; 4,5 hour; 5,5 hour. Then put in a vortex

by using TCA and centrifuged. The determination of the Diclofenac sodium

in male rabbit’s plasma was done using HPLC. The mobile phase used in

measuring the level of diclofenac sodium in male rabbit plasma was MeOH :

acetate buffer (Sodium acetate 6,8 g / l fixed until pH 4,2 with concentrated

HCl

(p)

ratio (90:10) and flow rate 1,4 ml / minute.

From the result of the determination of the pharmacokinetic parameter of

Diclofenac Sodium mean is known ± deviation Standard (SD) from K

a

0,963

± 0,422 hour

-1

; AUC

0-∞

2,831 ± 0,710 mcg / L hour; C

maks

0,073 ± 3,157x10

-3

mcg / L; T

maks

2,445 ± 0,343 hour; Vd 24,027 ± 4,197 L; K

el

0,030 ±

6,06x10

-3

hour

-1

; t

1/2

24,323 ± 6,298 hour; Klirens 0,703 ± 0,201 L / hour.

From the result can be conclude that the rate absorption is 0,963 ±

0,422 jam

-1

, and the rate elimination is 0,030 ± 6,06x10

-3

jam

-1

.

Keywords :

Diclofenac, KCKT, The mobile phase, The determination of the

pharmacokinetic


(7)

DAFTAR ISI

Halaman JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN KATA PENGANTAR

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

DAFTAR ISI... iii

DAFTAR GAMBAR... iv

DAFTAR TABEL... v

DAFTAR LAMPIRAN... vi

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 2

1.3 Hipotesis ... 3

1.4 Tujuan Penelitian ... 3

1.5 Manfaat Penelitian ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 4

2.1 Diklofenak... 4

2.1.1 Rumus Bangun... 4

2.1.2 Sifat Fisiko Kimia ... 4

BAB III METODOLOGI PERCOBAAN... 18

3.1 Alat... 18

3.2 Bahan ... 18

3.3 Pembuatan Suspensi CMC 1% ... 18

3.4 Pembuatan Suspensi Natrium Diklofenak 0,5%... 18

3.5 Pembuatan larutan Induk Baku Natrium Diklofenak... 19

3.6 Pembuatan Buffer Asetat ... 19

3.7 Pembuatan Fase Gerak... 19

3.8 Penyiapan Alat Kromatografi Cair Kinerja Tinggi... 19

3.9 Hewan Percobaan... 20

3.10 Pengambilan Sampel Darah Untuk Kurva Baku ... 20

3.11 Penentuan Profil Farmakokinetika dari Natrium diklofenak ... 20

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 22

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 29

5.1 Kesimpulan ... 29

5.2 Saran ... 29


(8)

DAFTAR GAMBAR

GAMBAR HALAMAN

1. Struktur Kimia Diklofenak Natrium ... 4 4.1 Kromatogram hasil penyuntikan larutan Natrium Diklofenak

BPFI dengan konsentrasi 500 mcg / ml fase gerak

MeOH : buffer asetat (90:10) waktu tambat 2,6 menit ... 22 4.2 Kurva baku Natrium Diklofenak ... 23 4.3 Konsentrasi Rata-Rata (log c) vs Waktu (t) Natrium Diklofenak


(9)

DAFTAR TABEL

TABEL HALAMAN

4.1 Nilai Konsentrasi dan Luas Area Natrium Diklofenak

Dalam Plasma ... 23 4.2 Nilai Konsentrasi Rata-Rata ± SD (Standard Deviasi)

Seluruh Hewan Percobaan Terhadap Waktu (t)... 25 4.3 Nilai Rata-Rata dan Satuan Parameter Farmakokinetika

Natrium Diklofenak Dalam Plasma dengan menggunakan


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN HALAMAN

1. Sertifikat Pengujian Natrium Diklofenak BPFI ... 33

2. Hasil Orientasi Gambar dengan Menggunakan Alat KCKT ... 34

2.1 Kromatogram hasil penyuntikan larutan Natrium Diklofenak BPFI dengan konsentrasi 500 mcg / ml, fase gerak MeOH : buffer asetat (68 :32) waktu tambat 6,3 menit... 34

2.2 Kromatogram hasil penyuntikan larutan Natrium Diklofenak BPFI dengan konsentrasi 500 mcg / ml, fase gerak MeOH : buffer asetat (70 :30), waktu tambat 2,3 menit... 34

2.3 Kromatogram hasil penyuntikan larutan Natrium Diklofenak BPFI dengan konsentrasi 500 mcg / ml, fase gerak MeOH : buffer asetat (80 : 20), waktu tambat 3,1 menit... 35

3. Natrium Diklofenak Dalam Plasma ... 36

3.1 Natrium Diklofenak dalam Plasma 0,25 jam... 36

3.2 Natrium Diklofenak dalam Plasma 0,5 jam... 36

3.3 Natrium Diklofenak dalam Plasma 0,75 jam... 36

3.4 Natrium Diklofenak dalam Plasma 1,25 jam... 36

3.5 Natrium Diklofenak dalam Plasma 1,5 jam... 37

3.6 Natrium Diklofenak dalam Plasma 2,5 jam... 37

3.7 Natrium Diklofenak dalam Plasma 3,5 jam... 37

3.8 Natrium Diklofenak dalam Plasma 4,5 jam... 37

3.9 Natrium Diklofenak dalam Plasma 5,5 jam... 38

4. Perhitungan Persamaan Regresi dari Kurva Kalibrasi Natrium Diklofenak BPFI yang Diperoleh Secara KCKT... 39

5. Koversi Perhitungan Dosis Antar Jenis Hewan ... 41

6. Perhitungan Dosis yang Diberikan Kepada Masing-Masing Hewan Percobaan... 22

7.1 Konsentrasi Obat Pada Masing-Masing Hewan Percobaan... 46

7.2 Grafik Konsentrasi (log c) vs Waktu (t) Natrium Diklofenak Dalam Plasma ... 47


(11)

8. Contoh Perhitungan Parameter Farmakokinetika Metode

Stripe Secara Komputerisasi ... 48

9. Contoh Perhitungan Parameter Farmakokinetika Secara Manual ... 50

10. Alat Ultrasonic Cleaner dan Penyaring... 56

10.1 Alat Ultrasonic Cleaner... 56

10.2 Penyaring ... 56

11. Alat KCKT dan Syringe 100µl ... 57

11.1 Alat KCKT (shimadzu)... 57

11.2 Syringe 100 µl (SCE)... 57

12. Kelinci, Alat Vorteks dan Sentrifuge... 58

12.1 Kelinci... 58

12.2 Alat Vorteks ... 58


(12)

PENENTUAN PROFIL FARMAKOKINETIKA

DIKLOFENAK PADA KELINCI JANTAN

Abstrak

Fase

farmakokinetik

berkaitan dengan masuknya zat aktif ke dalam

tubuh. Pemasukan

in vivo

tersebut secara keseluruhan merupakan fenomena

fisiko-kimia yang terpadu di dalam organ penerima obat. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui bagaimana profil farmakokinetika dari Natrium

diklofenak.

Untuk mendapatkan keadaan yang optimal, penelitian ini dilakukan

dengan cara memberikan larutan Natrium diklofenak baku kepada 6 ekor

hewan kelinci jantan yang beratnya sekitar 1,5-2 kg dengan pemberian

secara oral. Dan untuk mendapatkan kadar obat dalam darah pada

masing-masing kelinci jantan maka darah diambil dengan selang waktu 0,25 jam;

0,5 jam; 0,75 jam; 1,25 jam; 1,5 jam; 2,5 jam; 3,5 jam; 4,5 jam; 5,5 jam.

Lalu divortex dengan menggunakan TCA dan disentrifuge. Pengukuran

kadar obat Natrium diklofenak dalam plasma kelinci jantan dilakukan

dengan menggunakan KCKT (Kromatografi Cair Kinerja Tinggi). Fase

gerak yang digunakan untuk mengukur kadar Natrium diklofenak dalam

plasma kelinci jantan adalah MeOH : buffer asetat (Na asetat 6,8 g / l

sesuaikan sampai pH 4,2 dengan HCl

(p)

) dengan perbandingan (90 : 10) dan

laju alir 1,4 ml / menit.

Dari hasil penentuan parameter farmakokinetika Natrium diklofenak

diketahui nilai rata-rata ± SD dari K

a

0,963 ± 0,422 jam

-1

; AUC

0-∞

2,831 ±

0,710 mcg / L jam; C

maks

0,073 ± 3,157x10

-3

mcg / L; T

maks

2,445 ± 0,343

jam; Vd 24,027 ± 4,197 L; K

el

0,030 ± 6,06x10

-3

jam

-1

; t

1/2

24,323 ± 6,298

jam; Klirens 0,703 ± 0,201 L / jam.

Dari hasil di atas dapat disimpulkan bahwa laju absorpsi Natrium

Diklofenak adalah 0,963 ± 0,422 jam

-1

, dan laju eliminasinya adalah 0,030

± 6,06x10

-3

jam

-1

.


(13)

THE DETERMINATION OF THE PHARMACOKINETIC

PARAMETER OF DICLOFENAC IN MALE RABBIT

Abstract

Pharmacokinetic phase refers to the entrance of active substance to the

body. The in

vivo

influx, overall, is a harmonious physico-chemical

phenomenon in the drug receiving organ. This research objective is to know

and assess the pharmacokinetic form of diclofenac in combination with its

sodium salt.

To obtain optimal condition, this research was done by giving

standard diclofenac sodium solution to six male rabbits, weight about 1,5-2

kg orally. And to get the value of drug blood level in each rabbit, then the

blood was extracted in fixed time range 0,25 hour; 0,5 hour; 0,75 hor; 1,25

hour; 1,5 hour; 2,5 hour; 3,5 hour; 4,5 hour; 5,5 hour. Then put in a vortex

by using TCA and centrifuged. The determination of the Diclofenac sodium

in male rabbit’s plasma was done using HPLC. The mobile phase used in

measuring the level of diclofenac sodium in male rabbit plasma was MeOH :

acetate buffer (Sodium acetate 6,8 g / l fixed until pH 4,2 with concentrated

HCl

(p)

ratio (90:10) and flow rate 1,4 ml / minute.

From the result of the determination of the pharmacokinetic parameter of

Diclofenac Sodium mean is known ± deviation Standard (SD) from K

a

0,963

± 0,422 hour

-1

; AUC

0-∞

2,831 ± 0,710 mcg / L hour; C

maks

0,073 ± 3,157x10

-3

mcg / L; T

maks

2,445 ± 0,343 hour; Vd 24,027 ± 4,197 L; K

el

0,030 ±

6,06x10

-3

hour

-1

; t

1/2

24,323 ± 6,298 hour; Klirens 0,703 ± 0,201 L / hour.

From the result can be conclude that the rate absorption is 0,963 ±

0,422 jam

-1

, and the rate elimination is 0,030 ± 6,06x10

-3

jam

-1

.

Keywords :

Diclofenac, KCKT, The mobile phase, The determination of the

pharmacokinetic


(14)

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Fase farmakokinetik berkaitan dengan masuknya zat aktif ke dalam tubuh. Pemakaian in vivo tersebut secara keseluruhan merupakan fenomena fisiko-kimia yang terpadu di dalam organ penerima obat. Fase farmakokinetik ini merupakan salah satu unsur penting yang menentukan profil keberadaan zat aktif pada tingkat biofase dan selanjutnya menentukan aktivitas terapetik obat (Aiache, 1993).

Secara umum dan kualitatif kejadian in vivo untuk setiap zat aktif tertentu dan untuk setiap jenis reseptor tertentu selalu tetap; namun secara kuantitatif keadaan ini beragam tergantung pada sifat fisiko-kimia, zat aktif, keadaan fisiologi subjek penerima serta keadaan fisio-patologis subjek yang sama. Penelitian farmakokinetik suatu zat aktif merupakan penelitian identifikasi dan kuantifikasi perjalanan obat dalam tubuh (Aiache, 1993).

Aktivitas serta toksisitas suatu obat tergantung pada lama keberadaan dan perubahan zat aktif di dalam tubuh. Penelitian tentang nasib obat dalam tubuh merupakan rangkaian penyidikan yang harus dilakukan untuk memahami suatu obat serta untuk memilih bentuk sediaan yang sesuai agar diperoleh efek terapi yang dikehendaki (Aiache, 1993).

Dalam praktek terapetik, suatu obat harus mencapai tempat kerja yang diinginkan setelah masuk ke dalam tubuh dengan jalur yang terbaik. Obat harus diabsorpsi ke dalam darah dari tempat pemberiannya dan didistribusikan ketempatnya kerja, sesudah


(15)

memberikan efek harus dikeluarkan dengan kecepatan tertentu melalui inaktifasi metabolik, melalui ekskresi dari tubuh atau gabungan kedua proses ini (Katzung, 1998).

Keefektifan suatu obat diperoleh apabila suatu obat dapat diabsorpsi dan mencapai konsentrasi yang efektif di dalam darah, jaringan dan tempat kerjanya. Pemberian informasi tentang perjalanan obat dalam tubuh dipengaruhi oleh efek terapetik maupun efek toksik (Nawaz, 2004).

Natrium diklofenak merupakan derivat sederhana fenil asetat yang termasuk Non-Steroidal Anti-Inflammatory Drug (NSAID) yang terkuat anti radangnya, tetapi mempunyai efek samping pada pemakaian sediaan obat dalam jangka waktu yang lama, yaitu dapat menyebabkan pendarahan pada saluran cerna (Goodman and Gilman, 1996). Natrium diklofenak mempunyai aktivitas anti- rematik, anti-radang dan analgetik-antipiretik. Digunakan terutama untuk mengurangi rasa nyeri akibat peradangan pada berbagai keadaan rematik dan kelainan degeneratif pada sistem otot rangka. Diklofenak diserap secara cepat dan sempurna di dalam lambung, kadar plasma tertinggi dicapai 2 jam setelah pemberian oral, dengan waktu paruh antara 1-3 jam (Anonim, 2007).

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, muncul perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :


(16)

1.3Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah :

Profil farmakokinetika Natrium diklofenak mengikuti orde satu dan model satu kompartemen terbuka.

1.4Tujuan Penelitian

Berdasarkan hipotesis di atas, maka tujuan penelitian ini adalah : Untuk mengetahui profil farmakokinetika dari Natrium diklofenak.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian di atas adalah dengan diketahuinya profil farmakokinetika baku Natrium Diklofenak (senyawa kimia yang larut dalam air) tersebut dapat sebagai dasar dalam penelitian selanjutnya untuk obat jadi (sediaan) Natrium Diklofenak.


(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diklofenak

2.1.1 Rumus Bangun

Gambar 1. Struktur kimia Diklofenak Natrium

2.1.2 Sifat Fisikokimia

Rumus Molekul : C14H10Cl2NO2Na

Berat Molekul : 318,3

Nama Kimia : Natrium{0-[2,6 dikofenil aminofenil} asetat

Pemerian : Serbuk kristal, putih atau agak kekuningan, agak hi groskopis (USP Pharmacopiea, 2007).

Diklofenak merupakan derivat fenil asetat dan termasuk NSAID yang terkuat daya anti-radangnya dengan efek samping yang lebih kecil dibandingkan dengan obat lainnya. Obat ini sering digunakan untuk segala macam nyeri, juga pada migrain dan encok. Lagi pula secara parenteral sangat efektif untuk menanggulangi rasa nyeri hebat (Tjay, 2002).


(18)

Diklofenak adalah turunan asam fenilasetat sederhana yang merupakan penghambat COX yang kuat dengan efek anti-inflamasi, analgesik, dan antipiretik. Obat ini cepat diabsorpsi setelah pemberian oral dan mempunyai waktu paruh yang pendek. Obat ini dianjurkan untuk kondisi peradangan kronis seperti artritis rematoid dan osteoartritis serta untuk pengobatan nyeri otot rangka akut. Efek samping terjadi kira-kira 20% penderita dan meliputi distres saluran cerna, perdarahan saluran cerna dan tukak lambung (Payan,1998). Inhibisi sintesis prostaglandin dalam mukosa saluran cerna sering menyebabkan kerusakan gastrointestinal (dispepsia, mual dan gastritis). Efek samping yang paling serius adalah perdarahan gastrointestinal dan perforasi (Neal, 2006).

Diklofenak resorpsinya dari usus cepat dan lengkap, tetapi ketersediaan hayatinya rata-rata 55% akibat FPE.. Efek analgetiknya dimulai setelah 1 jam, secara rektal dan intramuskuler lebih cepat, masing-masing setelah 30 dan 15 menit. Penyerapan garam K (Cataflam) lebih pesat dari pada garam Na. Ikatan obat dengan protein plsma di atas 99%, waktu paruhnya 1 jam. Ekskresi melalui kemih berlangsung 60% sebagai metabolit dan 20% dalam empedu dan tinja, sisanya dalam bentuk tidak berubah (Tjay, 2002).

Profil keberadaan bahan obat dalam darah sebagai fungsi dari waktu menggambarkan interaksi antara fase ketersediaan zat aktif dan fase disposisinya. Selain itu profil tersebut juga mengungkapkan nasib obat di dalam tubuh. Oleh karena fenomena penyerapan zat aktif dari darah menuju jaringan dapat terjadi secara bolak-balik (reversible), maka selalu terjadi hubungan dinamik antara konsentrasi zat aktif dalam jaringan dan konsentrasi zat aktif dalam darah (Aiache, 1993).

Absorpsi sistemik suatu obat dari saluran cerna atau tempat ekstravaskuler yang lain bergantung pada bentuk sediaan, anatomi dan fisiologi tempat absorpsi. Faktor-faktor


(19)

seperti luas permukaan dinding usus, kecepatan pengosongan lambung, pergerakan saluran cerna dan aliran darah ke tempat absorpsi, semuanya mempengaruhi laju dan jumlah absorpsi obat (Shargel, 2005).

Absorpsi merupakan suatu fenomena yang memungkinkan zat aktif melewati jalur pemberian obat menuju sistem peredaran darah, dan penyerapan obat terjadi secara langsung dengan mekanisme perlintasan membran. Tanpa mengabaikan masalah ketersediaan hayati, maka harus dibahas pentingnya bentuk sediaan, perlunya zat aktif berada dalam bentuk yang sesuai agar dapat menembus membran dan pentingnya kelarutan atau keterlarutan zat aktif padat (Aiache, 1993).

Diklofenak adalah golongan obat non steroid dengan aktivitas anti inflamasi, analgetik-antipiretik. Aktivitas diklofenak dengan jalan menghambat enzim siklo-oksigenase sehingga pembentukan prostaglandin terhambat (Altaher, 2005).

NSAID berkhasiat analgetis, antipiretik serta anti radang, dan sering sekali digunakan untuk menghalau gejala penyakit rematik, seperti artrosis dan spondylosis. Obat ini efektif unruk peradangan lain akibat trauma (pukulan, benturan, kecelakaan), juga misalnya setelah pembedahan, atau pada memar akibat olahraga. Obat ini dipakai pula untuk mencegah pembengkakan bila diminum sedini mungkin dalam dosis yang cukup tinggi (Tjay, 2002).

Cara kerja NSAID untuk sebagian besar berdasarkan hambatan sintesis prostaglandin, dimana kedua jenis cyclo-oxygenase (COX) di blokir. NSAID ideal hendaknya hanya menghambat COX-2 (peradangan) dan tidak COX-1 (perlindungan mukosa lambung), lagi pula menghambat lipo-oxygenase (pembentukan leukotrien) (Tjay, 2002). Diklofenak adalah inhibitor COX yang memiliki afinitas lebih besar untuk


(20)

COX-2 dibanding COX-1. Diklofenak menghambat biosintesa prostaglandin, dan juga mengurangi pembentukan leukotrien, yang dapat memberikan kontribusi kepada aktivitas anti-inflamasi. Obat ini waktu paruhnya pendek pada sebagian besar spesies, termasuk manusia, tetapi terakumulasi di situs peradangan, dimana mencapai konsentrasi yang lebih tinggi di non-peradangan jaringan, dan sama dengan yang dicapai dalam plasma (Veterinaria, 2006).

Absorpsi obat ini melalui saluran cerna berlangsung cepat dan lengkap. Obat ini terikat 99% pada protein plasma dan mengalami efek metabolisme lintas pertama (first pass effect = FPE). Walaupun waktu paruhnya singkat yakni sekitar 1-3 jam, Na diklofenak diakumulasi di cairan sinovial yang menjelaskan efek terapi di sendi jauh lebih panjang dari waktu paruh obat tersebut (Altaher, 2005).

Informasi tentang kecepatan dan tingkat absorpsi obat jarang mempunyai kepentingan klinis. Namun, absorpsi biasanya terjadi selama dua jam pertama setelah dosis obat dan bervariasi menurut asupan makanan, posisi tubuh dan aktivitas. Oleh karena itu tidak boleh mengambil darah sebelum absorpsi lengkap (kira-kira 2 jam setelah dosis oral) (Holford, 1998).

Proses-proses absorpsi, distribusi dan eliminasi (metabolisme dan ekskresi) yang dialami oleh hampir semua obat pada dosis terapi mengikuti kinetika orde pertama (first order), artinya kecepatan proses-proses tersebut sebanding dengan jumlah obat yang ada (yang tinggal). Jadi jumlah obat yang dibasorpsi, distribusi dan dieliminasi persatuan waktu makin lama makin sedikit, sebanding dengan jumlah obat yang masih belum mengalami proses tersebut (Setiawati, 2005).


(21)

Absorpsi obat adalah perpindahan obat dari tempat pemberian menuju ke darah dan target aksinya. Untuk memasuki aliran sistemik (darah), obat harus dapat melintasi membran (barier) yang merupakan faktor terpenting bagi obat untuk mencpai tempat aksinya (misalnya otak, jantung, dan anggota badan yang lain). Obat harus dapat melewati berbagai membran sel (misalnya sel usus halus, pembuluh darah, sel gilia di otak, dan sel saraf) (Shargel, 2005).

Penyebaran zat aktif tergantung pada berbagai parameter, terutama sifat fisiko-kimia molekul obat. Dengan demikian proses penyerapan zat aktif terjadi apabila sebelumnya sudah dibebaskan dari sediaan dan sudah melarut dalam cairan biologi setempat. Tahap pelepasan dan pelarutan zat aktif merupakan tahap penentu pada proses penyerapan zat aktif, baik dalam hal jumlah yang diserap maupun laju penyerapannya (Aiache, 1993).

Jumlah obat yang masuk ke tubuh tergantung kepada kecepatan dan tingkat transfer obat dari tempat pemberian ke dalam darah. Kelebihan dosis atau kekurangan dosis yang relatif terhadap dosis yang diresepkan sering dapat diketahui dengan pengukuran konsentrasi. Variasi-variasi tingkat ketersediaan hayati lebih sering disebabkan oleh adanya metabolisme selama absorpsi, walaupun kadang-kadang dapat pula disebabkan oleh kesalahan pembuatan formulasi obat tertentu (Holford, 1998).

Pada distribusi khususnya melalui peredaran darah, obat yang telah melalui hati bersamaan dengan metabolitnya disebarkan secara merata ke seluruh jaringan tubuh. Melalui kapiler dan cairan ekstra sel (yang mengelilingi jaringan) obat diangkut ke tempat kerjanya di dalam sel (cairan intra-sel), yaitu organ atau otot yang sakit. Tempat kerja ini hendaknya memiliki penyaluran darah yang baik karena obat hanya dapat


(22)

melakukan aktivitasnya bila konsentrasi setempatnya cukup tinggi selama waktu yang cukup lama. Seringkali distribusi obat tidak merata akibat beberapa gangguan, yaitu adanya rintangan, misalnya rintangan darah-otak, terikatnya obat pada protein darah atau jaringan dan lemak (Tjay, 2002).

Pada tahap distribusi ini penyebarannya sangat peka terhadap berbagai pengaruh yang terkait dengan tahap penyerapan dan tahap yang terjadi sesudahnya yaitu peniadaan, serta terkait pula dengan komposisi biokimia serta keadaan fisiopatologi subyeknya, disamping itu perlu diingat kemungkinan adanya interaksi dengan molekul lainnya. Pada tahap ini merupakan fenomena dinamik, yang selalu terdiri dari fase peningkatan dan penurunan kadar zat aktif. Pengertian akumulasi dan penimbunan terutama penimbunan bahan toksik, harus dijajaki dari sudut pandang dinamik, maksudnya melihat perbedaan antara kecepatan masuk dan kecepatan keluar. Sebenarnay penimbunan bahan toksik merupakan efek racun atau hasil fatal sebagai akibat lambat atau sangat lambatnya laju pengeluaran dibandingkan laju penyerapan. Pengertian tentang waktu paruh biologik suatu zat aktif, seringkali diartikan dengan waktu setengah peniadaan dan bertumpu pada kinetik, maka pengurangan laju peniadaan obat yang terbaca merupakan penjumlahan aljabar dari laju peniadaan murni dan laju kembalinya zat aktif dari jaringan menuju darah (distribusi inversi) (Aiache, 1993).

Bila obat diberikan per oral, maka availabilitas sistemiknya kurang dari 1 dan besarnya bergantung pada jumlah obat yang dapat menembus dinding saluran cerna (jumlah obat yang dibasorpsi) dan jumlah obat yang mengalami eliminasi presistemik (metabolisme lintasan pertama) di mukosa usus dan dalam hepar (Setiawati, 2005).


(23)

Obat yang digunakan secara oral akan melalui lever (hepar) sebelum masuk ke dalam darah menuju ke daerah lain dari tubuh (misalnya otak, jantung, paru-paru dan jaringan lainnya). Di dalam lever terdapat enzim khusus (yaitu sitokrom P-450) yang akan mengubah obat menjadi bentuk metabolitnya. Metabolit umumnya menjadi lebih larut dalam air (polar) dan akan dengan cepat diekskresi ke luar tubuh melalui urin, feses, keringat, dan lain-lain. Hal ini akan secara dramatik mempengaruhi kadar obat dalam plasma dimana obat yang mengalami first pass metabolism akan kurang bioavailabilitasnya sehingga efek yang dihasilkan juga berkurang (Hinz, 2005).

Efektivitas suatu senyawa obat pada pemakaian klinik berhubungan dengan farmakokinetikanya. Efek obat terhadap tubuh pada dasarnya merupakan akibat interaksi obat dengan reseptornya; maka secara teoretis intensitas efek obat baik efek terapi maupun efek toksik tergantung dari kadar obat di tempat reseptor atau tempat kerjanya. Oleh karena kadar obat di tempat kerja belum dapat diukur, maka sebagai gantinya diambil kadar obat dalam plasma / serum yang umum dalam keseimbangan dengan kadarnya di tempat kerja (Setiawati, 2005).

Farmakokinetika menggunakan model matematik untuk menguraikan proses-proses absorpsi, distribusi, biotranformasi dan ekskresi. Dengan memperkirakan besarnya kadar obat dalam plasma sebagai fungsi dari besarnya dosis terhadap waktu pengambilan sampel darah dalam penetapan kadar obat dalam darah tersebut (Setiawati, 2005).

Aktivitas serta toksisitas obat tergantung pada lama keberadaan dan perubahan zat aktif di dalam tubuh. Penelitian tentang nasib obat dalam tubuh merupakan rangkaian penyidikan yang harus dilakukan untuk mengethui kapan obat tersebut menunjukkan aktivitasnya atau efek toksiknya, sehingga dapat diketahui bahwa obat dengan dosis yang


(24)

diberikan akan memberikan efek terapi atau efek toksik dengan melihat nilai ambang terapi dari obat tersebut. (Aiache, 1993).

Pada umumnya zat aktif suatu obat akan menunjukkan efek farmakologik pada titik-tangkap jaringan bila bahan tersebut telah mencapai tempat tersebut dengan perantaraan darah. Peredaran darah bagaikan “lempeng berputar” dari perjalanan obat. Fenomena penyerapan sebagai tahap awal farmakokinetika, ditentukan oleh penembusan zat aktif ke dalam darah yang selanjutnya oleh darah dihantarkan menuju sasaran kerja farmakologik, mengalami perubahan hayati dan selanjutnya ditiadakan (Aiache, 1993).

Efek samping yang lazim ialah mual, gastritis, eritema kulit dan sakit kepala sama seperti semua obat NSAID. Pemakaian obat ini harus berhati-hati pada penderita tukak lambung. Peningkatan enzim transaminasi dapat terjadi pada 15% pasien dan umumnya kembali ke normal. Pemakaian selama kehamilan tidak dianjurkan (Wilmana, 2005).

Diklofenak merupakan non-steroid anti-inflamasi (NSAID) yang telah digunakan dalam farmakoterapi selama bertahun-tahun. Diklofenak diindikasikan untuk pengobatan berbagai peradangan dan pasca trauma gangguan degeneratif, serta perawatan pra-operasi untuk katarak-ekstraksi (Veterinaria, 2006).

Diklofenak mempunyai durasi kerja singkat.. Obat ini bisa memberikan analgesia pasca operasi yang cukup dan tidak menyebabkan depresi napas. Efek analgesik NSAID yang terdapat pada diklofenak digunakan baik di perifer maupun di sentral, tetapi efek perifernya lebih banyak. Efek analgesik biasanya berhubungan dengan efek antiinflamasi dan diakibatkan oleh inhibisi sistesis prostaglandin dalam jaringan yang meradang. Prostaglandin mempotensiasi nyeri yang disebabkan mediator inflamasi lain. Pada inflamasi prostaglandin berperan dalam vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas


(25)

vaskuler. Akan tetapi, inhibisi sistesis prostaglandin oleh NSAID mengurangi inflamasi daripada menghilangkannya karena obat ini tidak menghambat mediator inflamasi lainnya. Meskipun demikian, pada sebagian besar pasien dengan artritis reumatoid, efek anti-inflamasi relatif ringan untuk mengurangi nyeri, kekakuan dan pembengkakan. Namun, tidak mengubah perjalanan penyakit (Neal, 2006).

Tipe metabolisme dibedakan menjadi dua bagian yaitu Nonsynthetic Reactions (Reaksi Fase I) dan Synthetic Reactions (Reaksi fase II). Reaksi fase I terdiri dari oksidasi, reduksi, hidrolisa, alkali, dan dealkilasi. Metabolitnya bisa lebih aktif dari senyawa asalnya. Umumnya tidak dieliminasi dari tubuh kecuali dengan adanya metabolisme lebih lanjut. Reaksi fase II berupa konjugasi (glukoronidasi dan sulfatasi) yaitu penggabungan suatu obat dengan suatu molekul lain. Metabolitnya umumnya lebih larut dalam air dan mudah diekskresikan (Hinz, 2005).

Faktor yang mempengaruhi metabolisme obat yaitu induksi enzim yang dapat meningkatkan kecepatan biotransformasi dirinya sendiri, atau obat lain yang dimetabolisme oleh enzim yang sama yang dapat menyebabkan toleransi. Selain itu inhibisi enzim yang merupakan kebalikan dari induksi enzim, biotransformasi obat diperlambat, menyebabkan bioavailabilitasnya meningkat, menimbulkan efek menjadi lebih besar dan lebih lama. Kompetisi (interaksi obat) juga berpengaruh terhadap metabolisme dimana terjadi oleh obat yang dimetabolisir oleh sistem enzim yang sama (contoh alkohol dan barbiturat). Perbedaan individu juga berpengaruh terhadap metabolisme karena adanya genetic polymorphism, dimana seseorang mungkin memiliki kecepatan metabolisme berbeda untuk obat yang sama (Hinz, 2005).


(26)

Metabolit umumnya merupakan suatu bentuk yang lebih larut dalam air dibandingkan molekul awal. Perubahan sifat fisiko-kimia ini paling sering dikaitkan dengan penyebaran kuantitatif metabolit yang dapat sangat berbeda dari zat aktifnya dengan segala akibatnya. Jika metabolit ini merupakan mediator farmakologik, maka akan terjadi perubahan, baik berupa peningkatan maupun penurunan efeknya (Aiache, 1993).

Obat akan dieliminasi dari dalam tubuh dalam bentuk metabolitnya. Organ ekskresi utama adalah ginjal yang menghasilkan urin. Namun bisa juga melalui paru-paru, keringat, air liur, feses dan asi (Hinz, 2005).

Obat dan metabolitnya yang terlarut dalam plasma melintasi dinding glomeruli secara pasif dengan ultrafiltrat. Ekskresi dapat diperlancar dengan memperkuat disosiasi obat yang kebanyakan bersifat asam atau basa lemah dengan derajat ionisasi yang agak ringan (Tjay, 2002).

Untuk dapat menilai suatu obat secara klinis, menetapkan dosis dan skema penakarannya yang tepat, perlu adanya sejumlah keterangan farmakokinetik. Khususnya mengenai kadar obat di tempat tujuan kerja (target site) dan dalam darah, serta perubahan kadar ini dalam waktu tertentu. Pada umumnya besarnya efek obat tergantung pada konsentrasinya di target site dan ini berhubungan erat dengan konsentrasi plasma (Waldon, 2008).

Turunnya kadar plasma obat dan lama efeknya tergantung pada kecepatan metabolisme dan ekskresi. Kedua faktor ini menentukan kecepatan eliminasi obat yang dinyatakan dengan pengertian plasma half-life eliminasi (waktu paruh, t1/2) yaitu rentang waktu dimana kadar obat dalam plasma pada fase eliminasi menurun smapai separuhnya.


(27)

Kecepatan eliminasi obat dan plasma t1/2-nya tergantung dari kecepatan biotransformasi dan ekskresi. Obat dengan metabolisme cepat half life-nya juga pendek. Sebaliknya zat yang tidak mengalami biotrasformasi atau yang diresorpsi kembali oleh tubuli ginjal, dengan sendirinya t1/2-nya panjang (Waldon, 2008).

AUC (Area Under Curve) adalah permukaan di bawah kurva (grafik) yang menggambarkan naik turunnya kadar plasma sebagai fungsi dari waktu. AUC dapat dihitung secara matematis dan merupakan ukuran untuk bioavailabilitas suatu obat. AUC dapat digunakan untuk membandingkan kadar masing-masing plasma obat bila penentuan kecepatan eliminasinya tidak mengalami perubahan. Selain itu antara kadar plasma puncak dan bioavailabilitas terdapat hubungan langsung (Waldon, 2008).

Plasma half-life merupakan ukuran untuk lamanya efek obat, maka t1/2 bersama grafik kadar-waktu penting sekali sebagai dasar untuk menentukan dosis dan frekuensi pemberian obat yang rasional, dengan kata lain berapa kali sehari sekianmg. Dosis yang terlalu tinggi atau terlalu frekuen dapat menimbulkan efek toksis, sedangkan dosis terlampau rendah atau terlalu jarang tidak menghasilkan efek, bahkan pada kemoterapeutika dapat menimbulkan resistensi kuman (Waldon, 2008).

Obat dengan half-life panjang, lebih dari 24 jam pada umumnya cukup diberikan dosis satu kali sehari dan tidak perlu sampai 2 atau 3 kali. Kecuali bila obat sangat terikat pada protein, sedangkan kadar plasma tinggi diperlukan untuk efek terapeutiknya. Sebaliknya, obat yang dimetabolisasi cepat dan t1/2-nya pendek, perlu diberikan sampai 3-6 kali sehari agar kadar plasmanya tetap tinggi (Waldon, 2008).

Waktu konsentrasi plasma mencapai puncak dapat disamakan dengan waktu yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi obat maksimum setelah pemberian obat. Pada


(28)

tmaks absorpsi obat adalah terbesar, dan laju absorpsi obat sama dengan laju eliminasi obat. Absorpsi masih berjalan setelah tmaks tercapai, tetapi pada laju yang lebih lambat. Harga tmaks menjadi lebih kecil (berarti sedikit waktu yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi plasma puncak) bila laju absorpsi obat menjadi lebih cepat (Shargel, 2005).

Konsentrasi plasma puncak menunjukkan konsentrasi obat maksimum dalam plasma setelah pemberian secara oral. Untuk beberapa obat diperoleh suatu hubungan antara efek farmakologi suatu obat dan konsentrasi obat dalam plasma. Konsentrasi plasma puncak memberi suatu petunjuk bahwa obat cukup diabsorpsi secara sistemik untuk memberi suatu respons terapetik. Selain itu konsentrasi plasma puncak juga memberi petunjuk dari kemungkinan adanya kadar toksik obat (Shargel, 2005).

Volume distribusi (vd) menunjukkan volume penyebaran obat dalam tubh dengan kadar plasma atau serum. Vd tidak perlu menunjukkan volume penyebaran obat yang sesungguhnya ataupun volume secara anatomik, tetapi hanya volume imajinasi dimana tubuh dianggap sebagi 1 kompartemen yang terdiri dari plasma atau serum, dan Vd menghubungkan jumlah obat dalam tubuh dengan kadarnya dalam plasma atau serum (Setiawati, 2005).

Besarnya Vd ditentukan oleh ukuran dan komposisi tubuh, fungsi kardiovaskular, kemampuan molekul obat memasuki berbagai kompartemen tubuh, dan derajat ikatan obat dengan protein plasma dan dengan berbagai jaringan. Obat yang tertimbun dalam jaringan sehingga kadar dalam plasma rendah sekali, sedangkan obat yang terikat dengan kuat pada protein plasma sehingga kadar dalam plasma cukup tinggi mempunyai vd yang kecil (Setiawati, 2005).


(29)

Volume distribusi yang diperoleh mencerminkan suatu keseimbangan antara ikatan pada jaringan, yang mengurangi konsentrasi plasma dan membuat nilai distribusi lebih besar, dengan ikatan pada protein plasma, yang meningkatkan konsentrasi plasma dan membuat volume distribusi menjadi lebih kecil. Perubahan-perubahan dalam ikatan dengan jaringan ataupun dengan plasma dapat mengubah volume distribusi yang ditentukan dari pengukuran-pengukuran konsentrasi plasma (Holford, 1998).

Klirens obat adalah suatu ukuran eliminasi obat dari tubuh tanpa mempermasalahkan mekanisme prosesnya. Umumnya, jaringan tubuh atau organ dianggap sebagai suatu kompartemen cairan dengan volume terbatas (volume distribusi) dimana obat terlarut di dalamnya (Shargel, 2005).

Untuk beberapa obat rute pemakaian mempengaruhi kecepatan metabolismenya. Obat-obat yang diberikan secara oral diabsorpsi secara normal dalam duodenal dari usus halus dan ditanspor melalui pembuluh mesenterika menuju vena porta hepatik dan kemudian ke hati sebelum ke sirkulasi sistemik. Obat-obat yang dimetabolisme dalam jumlah besar oleh hati atau oleh sel-sel mukosa usus halus menunjukkan availabilitas sistemik yang jelek jika diberikan secara oral. Metabolisme secara oral sebelum mencapai sirtkulasi umum disebut first pass effects atau eliminasi presistemik (Shargel, 2005).


(30)

BAB III

METODOLOGI PERCOBAAN 3.1 Alat

Alat-alat yang digunakan adalah politube, beaker glass, vortex, waterbath,

sentrifuge, labu tentukur, pH meter, gelas ukur, neraca analitik (Baeco Germany), pipet volume, sarung tangan, animal box, spuit, pisau cukur, perangkat KCKT( Shimadzu), dan alat lain yang dibutuhkan.

3.2Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah BPFI Na-diklofenak, TCA, heparin (PT. Pratapa Nirmala), akuabides (PT.Ikapharmindo Putramas).

3.3 Pembuatan Suspensi CMC 1%

Air suling dipanaskan hingga mendidih. Sebanyak 1000 mg CMC ditimbang. Setelah mendidih dimasukkan air suling ke dalam cawan porselen sebanyak 1/3 dari bagian air. Ditaburkan CMC ke dalam porselen secara perlahan dan diamkan 30 menit. Diaduk hingga membentuk massa yang transparan. Kemudian ditambahkan air suling yang masih panas sampai 1000 ml dan dihomogenkan kemudian dimasukkan ke dalam wadah.


(31)

3.4 Pembuatan Suspensi Natrium Diklofenak 0,5 %

Ditimbang 50 mg Natrium Diklofenak, digerus dan dilarutkan dalam suspensi 1%. Digerus kembali hingga homogen dan dimasukkan ke dalam labu 100 ml. Dibilas dan ad kan sampai garis tanda.

3. 5 Pembuatan Larutan Induk Baku Natrium Diklofenak

Timbang seksama sejumlah 25,0 mg diklofenak BPFI, dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml. dicukupkan dengan fase gerak hingga garis tanda. Dikocok sampai homogen sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 500 mcg / ml.

3.6 Pembuatan Buffer Asetat

Sebanyak 6,8 g Na asetat ditimbang pada neraca analitik, dimasukkan ke dalam labu 1000 ml lalu ditambahkan sedikit demi sedikit akuabides sampai Na asetat terlalut sempurna. Lalu dimasukkan ke dalamnya HCl (p) dan disesuaikan pHnya sampai pH 4,2 dengan menggunakan alat pH meter. Lalu dicukupkan dengan akuabides sampai garis tanda.

3.7 Pembuatan Fase Gerak

Fase gerak yang digunakan adalah campuran antara MeOH dan buffer asetat dengan perbandingan 90:10, disaring dengan menggunakan membran filter PTFE 0,5 µm dan diawaudarakan selama 20 menit. (Zhao,1995).


(32)

3.8 Penyiapan Alat Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

Alat kromatografi dihidupkan, pengukuran dilakukan dengan menggunakan kolom Agilent tipe TC-C18, laju alir 1,4 ml / menit, detektor UV pada panjang gelombang 273 nm. Pompa yang digunakan mode aliran tetap dengan sistem elusi isokratik.

3.9 Hewan Percobaan

Hewan yang digunakan adalah kelinci jantan dengan berat 1,5-2 kg, yang telah dikondisikan selama 1 minggu dan diberi makanan kangkung segar selama penelitian berlangsung.

3.10 Pengambilan Sampel Darah Untuk Kurva Baku

Ambil darah kelinci jantan kira-kira 5 ml, dimasukkan ke dalam tabung yang sudah berisi 2 tetes heparin. Siapkan 4 buah tabung dan masing-masing tabung masukkan Larutan Induk Baku Natrium diklofenak dengan konsentrasi 80 mcg / ml; 90 mcg / ml; 105,6 mcg / ml; 120 mcg / ml kemudian di ad kan dengan darah masing-masing ad 1 ml, kemudian ditambahkan TCA sebanyak 1 ml lalu divorteks dan disentrifuge untuk diambil plasmanya, dan diukur kadarnya dengan menggunakan alat KCKT (Kromatografi Cair Kinerja Tinggi) dengan menyuntikannya sebanyak 20 µl (3 kali).

3.11 Penentuan Profil Farmakokinetika Dari Natrium Diklofenak

Enam ekor kelinci jantan diambil darahnya masing-masing 1 ml (untuk blanko) dan dimasukkan ke dalam tabung yang sudah berisi 2 tetes heparin. Kemudian ke 6 ekor


(33)

kelinci tersebut diberikan suspensi Natrium Diklofenak dengan dosis yang telah dikonversikan (dosis manuasia ke dosis kelinci) terhadap dosis lazim 25 mg. Lalu diambil darahnya kira-kira 1 ml dengan rentang waktu yang telah ditetapkan. Rentang waktunya berkisar : 0,25 jam; 0,5 jam; 0.75 jam; 1,25 jam; 1,5 jam; 2,5 jam; 3,5 jam; 4,5 jam; 5,5 jam. Dan kemudian ditambahkan TCA sebanyak 1 ml lalu divorteks dan disentrifuge untuk diambil plasmanya. Setelah itu diukur kadarnya dengan menggunakan alat KCKT (Kromatografi Cair Kinerja Tinggi).


(34)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebelum dilakukan penetapan kadar Natrium diklofenak terlebih dahulu ditentukan perbandingan fase gerak dengan menggunakan metode KCKT melalui orientasi fase geraknya berupa MeOH : buffer asetat dengan panjang gelombang 273 nm. Orientasi digunakan untuk mengetahui perbandingan fase gerak, laju alir, waktu tambat dan tekanan kolom yang optimal dengan cara menyuntikkan larutan Natrium diklofenak pada konsentrasi 500 mcg / ml sebanyak 20µl ke dalam sistem KCKT dengan perbandingan fase gerak MeOH : buffer asetat (90:10) dan laju alir yang tetap yaitu 1,4 ml / menit diperoleh waktu tambat yaitu 2,6 menit, seperti yang tertera pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1 Kromatogram hasil penyuntikan larutan Natrium Diklofenak BPFI dengan konsentrasi 500 mcg / ml, fase gerak MeOH : buffer asetat (90:10)

Dari Gambar 4.1 lebih lanjut dapat diketahui nilai konsentrasi dan luas area Natrium diklofenak dalam plasma seperti yang terlihat pada Tabel 3.1 berikut.


(35)

Tabel 4.1 Nilai Konsentrasi dan Luas Area Natrium Diklofenak dalam Plasma

Konsentrasi Luas Area

80 12124061 90 15696775 105,6 21238100

120 37170508

Dari Tabel 4.1 lebih lanjut digambarkan kurva baku Natrium Diklifenak seperti yang tertera pada Gambar 4.2.

Gambar 4.2 Kurva Baku Natrium Diklofenak

Kadar sampel dapat dihitung menggunakan persamaan rumus berikut Y = 601980,46X-37978506,5 yaitu mensubstitusikan Y dengan luas puncak sampel. Hasil perhitungan diketahui harga X (kadar sampel) dapat dilihat pada lampiran 4.


(36)

Berdasarkan kromatogram dan kurva kalibrasi hasil penyuntikan Natrium diklofenak BPFI di atas, selanjutnya dilakukan penyuntikan dari plasma 6 ekor kelinci jantan yang mengandung Natrium diklofenak untuk penentuan nilai parameter farmakokinetiknya.

Dari data yang diperoleh pada lampiran 4, makadapat diketahui nilai konsentrasi rata rata ± SD (standard deviasi) seperti yang terlihat pada Tabel 4.2.


(37)

Tabel 4.2 Nilai Konsentrasi Rata-Rata ± SD (Standard Deviasi) Seluruh Hewan Percobaan Terhadap Waktu

Waktu (t) (jam)

Rata-Rata ± SD (mcg/ml)

0,25 66,187 ± 0,538 0,5 66,553 ± 0,420 0,75 66,86 ± 0,415 1,25 69,237 ± 3,428

1,5 68,86 ± 4,332 2,5 76,087 ± 2,729 3,5 73,98 ± 2,463 4,5 71,777 ± 3,643 5,5 69,607 ± 2,449

Dari Tabel 4.2 di atas dapat digambarkan konsentrasi rata-rata (log c) VS waktu (t) natrium diklofenak dalam plasma seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini.


(38)

Konsentrasi Rata-Rata (log c) Vs Waktu (t) Natrium Diklofenak dalam

Plasma

1,74 1,76 1,78 1,8 1,82 1,84 1,86 1,88 1,9 1,92

0,25 0,5 0,75 1,25 1,5 2,5 3,5 4,5 5,5 Waktu (t)

K

o

n

s

e

n

tr

a

s

i R

a

ta

-R

a

ta

(l

o

g

c)

Gambar 4.3 Konsentrasi Rata-Rata (log c) VS Waktu (t) Natrium Diklofenak dalam Plasma

Dari Tabel 4.2 juga dapat diketahui nilai parameter farmakokinetika natrium diklofenak dalam plasma pada hasil penelitian dengan menggunakan metode stripe secara komputerisasi.


(39)

Tabel 4.3 Nilai Rata-Rata dan Satuan Parameter Farmakokinetika Natrium Diklofenak dalam Plasma dengan Menggunakan Metode Stripe Secara Komputerisasi

Parameter Nilai Penelitian Satuan

Ka 0,963± 0,422 jam-1

T maks 2,445 ± 0,343 jam

C maks 0,0734 ± 3,157x10-3 mcg / L

AUC0-∞ 2,831 ±0,710 mcg/ L jam

AUMC0-∞ 106,022 ± 58,53 mcg / Ljam2

MRT 35,57 ± 9,021 jam

Vd 24,027± 4,197 L

Kel 0,030± 6,06x10-3 jam-1

t1/2 24,323 ± 6,298 jam

CL 0,7030 ± 0,201 L / jam

Dari data di atas diperoleh nilai Ka 0,963 ± 0,422 jam-1disebabkan karena hewan percobaan berupa 6 ekor kelinci jantan yang diberikan Na-diklofenak secara per oral harus melewati sistem ELP (Efek Lintas Pertama) dimana obat akan mengalami metabolisme pada membran usus sebelum mencapai sirkulasi sistemik sehingga jumlah obat yang dihasilkan lebih sedikit dan obat yang diabsorpsi juga sedikit. Nilai Tmaks yang diperoleh 2,445 ± 0,343 jam dan nilai Cmaks yang diperoleh 0,0734 ± 3,157x10-3 mcg / L


(40)

serta nilai AUC0-∞2,831 ±0,710 mcg/ L jam dan nilai MRT 35,57 ± 9,021 jam karena untuk mencapai waktu maksimum dibutuhkan waktu yang lama, disebabkan oleh obat harus mengalami proses metabolisme pada membran usus sebelum mencapai sirkulasi sistemik sehingga waktu yang dibutuhkan obat di dalam tubuh (MRT) lebih lama serta keberadaan obat dalam tubuh (AUC0-∞)semakinsedikit dan konsentrasi maksimum yang diperoleh juga kecil.

Nilai Vd (volume distribusi yang diperoleh 24,027± 4,197 L dan nilai Kel 0,030± 6,06x10-3 jam-1 disebabkan karena faktor kondisi tubuh hewan percobaan yang tidak memiliki banyak lemak sehingga volume cairan tubuh yang membawa obat di dalam tubuh menuju ke sirkulasi sistemik lebih banyak dan menyebabkan proses eliminasi yang dihasilkan juga semakin cepat. Nilai t1/2 24,323 ± 6,298 jam dan nilai CL (klirens) 0,7030 ± 0,201 L / jam disebabkan karena semakin kecil laju eliminasi maka separuh jumlah obat dalam tubuh akan semakin besar dan keberadan obat dalam tubuh akan semakin kecil sehingga proses pembuangan (nilai klirens) akan semakin bertambah besar. Ini disebabkan kondisi fisiologi hewan percobaan yang tidak memiliki banyak lemak.


(41)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

1. Waktu retensi kromatogram Natrium diklofenak muncul pada penggunaan KCKT menggunakan kolom Agilent tipe TC-C18, laju alir 1,4 ml / menit, fase gerak MeOH : buffer asetat (90 : 10) dengan waktu tambat 2,6 menit.

2. Profil farmakokinetika Natrium diklofenak yang diperoleh memiliki laju absorpsi yaitu (0,963 ± 0,422 jam-1). Tmaks yang diperoleh menunjukkan waktu yang relatif lama (2,445 ± 0,343 jam), konsentrasi maksimum (Cmaks) yang diperoleh (0,073 ± 3,157x10-3 mcg / L). Selain itu AUC0-∞ (2,831 ± 0,710 mcg / L jam). Volume distribusi yang diperoleh (24,027 ± 4,197 L), serta laju eliminasi yang diperoleh (0,030 ± 6,06x10-3 jam-1). Waktu paruhnya (24,323 ± 6,298 jam), serta pembuangan (Klirens) (0,7030 ± 0,201 L / jam).

5.2 Saran

1. Disarankan agar melanjutkan penelitian dengan melakukan pemberian perjalanan oba yang berbeda.

2. Disarankan melakukan penelitian dengan senyawa lain yang berinteraksi dengan Natrium diklofenak.


(42)

DAFTAR PUSTAKA

Aiache, J.M. (1993).Farmasetika 2-Biofarmasi. Edisi Kedua. Surabaya : Penerbit Airlangga University Press. Hal. 7-11, 39.

Altaher, A.Y. (2005). Pharmacokinetics Of Diclofenac In Sheep Following Intra Venous and Intramuscular Administration.Vol 13, No.2-3.Saudi Pharmaceutical Journal. Pages 107-108.

Anonim. (2007). Diklofenak. ( http://library@lib.unair.ac.id)

Goodman, Gilman, A., Hardman J. G., Limbird L. E. (1996). Goodman and Gilman’s Pharmacologycal Basis of Therapeutics. Ninth Edision. C. Graw Hill Company: Page. 617- 635.

Hinz, B. (2005). Bioavailability of Diclofenac Pottassium at Low Doses. Germany : Department of Experimental and Clinical Pharmacology and Toxicology, Friedrich Alexander University Erlangen-Nurnberg, Fahrstrasse 17, D-91054 Erlangen. Pages 80-81.

Holford, N.H. (1998). Farmakokinetik dan farmakodinamik : Pemilihan Dosis yang Rasional dan waktu Kerja Obat. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi VI. Jakarta. Hal. 36-38.

Katzung, B. (1998). Farmakologi dasar dan klinik. Edisi VI. Jakarta. Hal. 36.

Nawaz, R. (2004). Kinetics Of Diclofenac Sodium.Singel Oral Dose Disposition in Male Volunteers.Faisalabad : Department of Chemistry University of Agriculture. Page 2.

Neal, M .J.(2006). Farmakologi Medis. Edisi Kelima. Jakarta : Penerbit Erlangga Hal. 70-71.


(43)

Rizki, M.A.R. (2008). Optimasi Fase Gerak Metanol-Air Untuk Analisa Kuantitatif Campuran Teofilin dan Efedrin dalam sample Tablet Dengan Metode KCKT. Skripsi. Fakultas Farmasi Unair.

Rohman, A. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta : Penerbit Pustaka Pelajar. Hal. 378- 415.

Setiawati, A. (2005). Farmakokinetik Klinik. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta : Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal. 811-815. Shargel, L. (2005). Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan.Edisi Kedua.

Surabaya : Airlangga University Press. Hal. 137, 167, 201.

Soewandhi, S. N. Reni, I. et.all. (2007). Polimorfisme Diklofenak Natrium. Bandung : Kelompok Keilmuan Farmasetika. Sekolah Farmasi ITB. Hal. 1-8.

Sumitrapura, Y.C. Herwanto. S. (1997). Profil Farmakokinetik dan Ketersediaan Hayati Tiga Sediaan tablet Natrium Diklofenak salut Enterik. Vol. 2. No. 2. Bandung : Jurusan Farmasi Fakultas MIPA ITB, Bagian Penelitian dan Pengembangan PT. Sanbe Farma. Hal. 47- 49.

Tjay T.H. & Kirana R. (2002). Obat-Obat Penting. Edisi Kelima. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo. Hal. 296, 309, 313.

USP Pharmacopiea. (2007). The National Formulary. Edition 30. The United States Pharmacopeial Convention. Pages : 541, 1765-1766.


(44)

Veterinaria, A. Zorica et.all. (2006).Farmakikinetika Diklofenak Pada Babi Setelah Pemberian Intramuskular Dosis Tunggal. Vol 56. N0.4. Beograd. Hal. 323-325. Waldon, D.J. (2008). Pharmacokinetics and Drug Metabolism. Cambridge : Amgen,

Inc., One Kendall Square, Building 1000, USA.

Wilmana, P.F. (2005). Analgesik-Antipiretik Anti Inflamasi Non steroid.Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta : Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal. 218.


(45)

(46)

Lampiran 2. Hasil Orientasi dengan Menggunakan Alat KCKT

2.1 Kromatogram hasil penyuntikan larutan Natrium Diklofenak BPFI dengan konsentrasi 500 mcg / ml, fase gerak MeOH : buffer asetat (68:32), waktu tambat 6,3 menit

2.2 Kromatogram hasil penyuntikan larutan Natrium Diklofenak BPFI dengan konsentrasi 500 mcg / ml, fase gerak MeOH : buffer asetat (70:30), waktu tambat 2,3 menit


(47)

2.3 Kromatogram hasil penyuntikan larutan Natrium Diklofenak BPFI dengan konsentrasi 500 mcg / ml, fase gerak MeOH : buffer asetat (80:20), waktu tambat 3,1 menit


(48)

Lampiran 3. Natrium Diklofenak Dalam Plasma

Gambar 3.1 Natrium diklofenak dalam plasma 0,25 jam

Gambar 3.2 Natrium diklofenak dalam plasma 0,5 jam


(49)

Gambar 3.4 Natrium diklofenak dalam plasma 1,25 jam

Gambar 3.5 Natrium diklofenak dalam plasma 1,5 jam

Gambar 3.6 Natrium diklofenak dalam plasma 2,5 jam


(50)

Gambar 3.8 Natrium diklofenak dalam plasma 4,5 jam


(51)

Lampiran 4. Perhitungan Persamaan Regresi Dari Kurva Kalibrasi Natrium Diklofenak BPFI yang Diperoleh Secara KCKT

No Konsentrasi (mcg/ ml)

X

Luas Puncak

Y XY X

2

Y2

1. 80 12124061 969924880 6400 1,5x1014

2. 90 15696775 1412709750 8100 2,5x1014

3. 105,6 21238100 2242743360 11151,36 4,5x1014

4. 120 37170508 4460460960 14400 1,4x1015

Σ 395,6 86229444 9085838950 40051,36 2,25x1015

Rata-Rata

98,9 21557361 227145974 10012,84 5,6x1014

Y = aX + b

a = n(Σxy)- (Σx)( Σy) n(Σx2)-(Σx)2


(52)

a = 4(9085838950)-(395,6)(86229444) 4(40051,36)-(395,6)2

a = 601980,46

b = Y - aX

b = 21557361- 601980,46 (98,9)

b = -37978506,5

Y = aX + b

Sehingga diperoleh persamaan regresi Y = 601980,46X-37978506,5

Untuk mencari hubungan kadar (X) dengan luas puncak (Y) digunakan pengujian koefisien korelasi (r)

r = nxy)-(Σx)(Σy)

[n(x2)(x)2][n(y2)(y)2]

r = 4(9085838950)-(395.6)(86229444)

] ) 86229444 (

) 10 25 , 2 ( 4 ][ ) 6 , 395 ( ) 36 , 40051 ( 4

[  2 x 15  2


(53)

Lampiran 5. Konversi Perhitungan Dosis Antar Jenis Hewan

Perlakuan Mencit 20g

Tikus 200g

Marmot 400g

Kelinci 1,5kg

Kera 4kg

Anjing 12kg

Manusia 70kg Mencit

20g 1,0 7,0 12,25 27,8 64,1 124,2 387,9

Tikus

200g 0,14 1,0 1,74 3,9 9,2 17,8 56,0

Marmot

400g 0,08 0,57 1,0 2,25 5,2 10,2 31,5

Kelinci

1,5kg 0,04 0,25 0,44 1,0 2,4 4,5 14,2

Kera 4kg

0,016 0,11 0,19 0,42 1,0 1,9 6,1

Anjing

12kg 0,008 0,06 0,10 0,22 0,52 1,0 3,1

Manusia


(54)

Lampiran 6. Perhitungan Dosis yang Diberikan Kepada Masing-Masing Hewan Percobaan

1. Hewan I

Suspensi Natrium Diklofenak 0,5% Dosis lazim = 25 mg

Berat hewan = 1,94 kg

Konversi pada hewan kelinci = 0,07 Dosis konversi = 25 x 0,07 = 1,75 mg

Dosis dari perkiraan berat per kg BB = 1000 g x 1,75 mg = 1,17 mg / kg BB 1500 g

Dosis = 1940 g x 1,17 mg = 2,3 mg 1000 g


(55)

2. Hewan II

Suspensi Natrium Diklofenak 0,5% Dosis lazim = 25 mg

Berat hewan = 1,64 kg

Konversi pada hewan kelinci = 0,07 Dosis konversi = 25 x 0,07 = 1,75 mg

Dosis dari perkiraan berat per kg BB = 1000 g x 1,75 mg = 1,17 mg / kg BB 1500 g

Dosis = 1640 g x 1,17 mg = 1,9 mg

1000 g

Volume dosis yang diberikan =

mg mg

5 , 0

9 , 1

x 1 ml = 3,8 ml

3. Hewan III

Suspensi Natrium Diklofenak 0,5% Dosis lazim = 25 mg

Berat hewan = 1,19 kg

Konversi pada hewan kelinci = 0,07 Dosis konversi = 25 x 0,07 = 1,75 mg

Dosis dari perkiraan berat per kg BB = 1000 g x 1,75 mg = 1,17 mg / kg BB 1500 g

Dosis = 1190 g x 1,17 mg = 1,4 mg 1000 g

Volume dosis yang diberikan =

mg mg

5 , 0

4 , 1


(56)

4. Hewan IV

Suspensi Natrium Diklofenak 0,5% Dosis lazim = 25 mg

Berat hewan = 1,54 kg

Konversi pada hewan kelinci = 0,07 Dosis konversi = 25 x 0,07 = 1,75 mg

Dosis dari perkiraan berat per kg BB = 1000 g x 1,75 mg = 1,17 mg / kg BB 1500 g

Dosis = 1540 g x 1,17 mg = 1,8 mg 1000 g

Volume dosis yang diberikan =

mg mg

5 , 0

8 , 1

x 1 ml = 3,6 ml

5. Hewan V

Suspensi Natrium Diklofenak 0,5% Dosis lazim = 25 mg

Berat hewan = 1,84 kg

Konversi pada hewan kelinci = 0,07 Dosis konversi = 25 x 0,07 = 1,75 mg

Dosis dari perkiraan berat per kg BB = 1000 g x 1,75 mg = 1,17 mg / kg BB 1500 g

Dosis = 1840 g x 1,17 mg = 2,15 mg 1000 g

Volume dosis yang diberikan =

mg mg

5 , 0

15 , 2


(57)

6. HewanVI

Suspensi Natrium Diklofenak 0,5% Dosis lazim = 25 mg

Berat hewan = 1,64 kg

Konversi pada hewan kelinci = 0,07 Dosis konversi = 25 x 0,07 = 1,75 mg

Dosis dari perkiraan berat per kg BB = 1000 g x 1,75 mg = 1,17 mg / kg BB 1500 g

Dosis = 1640 g x 1,17 mg = 1,9 mg 1000 g

Volume dosis yang diberikan =

mg mg

5 , 0

9 , 1


(58)

Lampiran 7.

7.1 Konsentrasi Obat Pada Masing-Masing Hewan Percobaan Waktu

(t)

Hewan I

Hewan II

Hewan IIi

Hewan IV

Hewan V

Hewan VI

Rata-Rata ± SD

0,25 65,39 66,07 67,04 66,42 66,13 66,07 66,187 ± 0,538 0,5 66,42 66,13 67,07 66,53 67,04 66,13 66,553 ± 0,420 0,75 66,55 66,40 67,25 67,07 67,36 66,53 66,86 ± 0,415 1,25 67,04 66,42 73,39 73,88 67,44 67,25 69,237 ± 3,428 1,5 67,07 66,53 73,88 76,07 71,26 67,36 68,86 ± 4,332 2,5 73,88 73,88 79,45 79,45 75,98 73,88 76,087 ± 2,729 3,5 71,25 72,15 77,34 75,10 75,89 72,15 73,98 ± 2,463


(59)

4,5 67,44 67,84 76,65 73,66 73,88 71,19 71,777 ± 3,643 5,5 67,24 67,07 71,83 72,83 71,83 67,84 69,607 ± 2,449


(60)

Grafik Konsentrasi (log c) Vs Waktu (t)

Natrium Diklofenak dalam Plasma

1,76 1,78 1,8 1,82 1,84 1,86 1,88 1,9 1,92

0,25 0,5 0,75 1,25 1,5 2,5 3,5 4,5 5,5

Waktu (t)

K

ons

e

nt

ra

s

i (

log c

)

Hewan I Hewan II Hewan III

Hewan IV Hewan V Hewan VI

Lampiran 8. Contoh Perhitungan Parameter Farmakokinetika Metode Stripe Secara Komputerisasi


(61)

University of Illinois at Chicago-College of Pharmacy Department of Pharmacodynamics

Hewan I

Time Concentration Calculated % Difference

0.25 65.39 65.69 -0.453 0.50 66.42 66.14 0.424 0.75 66.55 66.50 0.075 1.25 67.04 67.01 0.048 1.50 67.07 67.16 -0.119 2.50 73.88 67.21 9.037 3.50 71.25 66.60 6.535 4.50 67.44 65.54 2.819 5.50 67.24 64.18 4.551 A (1) = -14,872 B (1) = -0,342 jam-1

A (2) = 80,013 B (2) = -0,034 jam-1

N (1) = 5 r (1) = -0,996

N (2) = 4 r (2) = -0,957

AIC = 47, 37 SS = 79,418

There is no lag time

Absorption half life = -2,027 jam Half life = 20,513 jam

AUC (0-Tn) = 362, 99


(62)

AUC (Tn-inf) is 84, 57 % of AUC (0-inf)

AUMC = 70876, 91 mcg / ml jam2

MRT = 30, 12 jam

Vd (ss) = %29449, 359 ml

= 29, 45 L

Total clearance = 977, 57355 ml / jam = 0,978 L / jam Assumed fraction absorbed = 1.000

Calculated c max = 67, 28 mcg / ml

T max = 2, 09 jam

Lampiran 9. Contoh Perhitungan Parameter Farmakokinetika Secara Manual a. Hewan I


(63)

(jam) (mcg / ml)

0,25 65,39 79,383 /-13,992/ 0,5 66,42 78,711 /-12,291/ Ln R = LnB-Ka.t

0,75 66,55 78,045 /-11,491/ =2,60268-0,2248t 1,25 67,04 76,729 /-9,691/ R = B.e-Ka.t

1,5 67,07 76,079 /-9,004/ = 13,500e-0,2248t 2,5 73,88 Ln CE = Ln A-Kel.t r =- 0,8105

3,5 71,25 = 4,38279-0,03401t 4,5 67,44 CE = A.e-Kel.t

5,5 67,24 = 80,061e-0,03401 t r = -0,946

Waktu (t) Konsentrasi (C) Ln C X2 Y2 XY (jam) (mcg / ml)

(X) (Y)

2,5 73,88 4,302 6,25 18,507 10,755 3,5 71,25 4,266 12,25 18,199 14,931 4,5 67,44 4,211 20,25 17,733 18,9495 5,5 67,24 4,208 30,25 17,707 23,144

ΣX = 16 ΣY=16,987 ΣX2=69 ΣY2=72,146 ΣXY = 67, 77795

X

= 4 Y= 4, 24675

a = 2

16 ) 69 ( 4 ) 987 , 16 ( 16 ) 7795 , 67 ( 4  

b = Y- aX

= 20 6802 , 0 

b = 4, 24675-(-0,03401x 4) = -0, 3401 = 4, 38279

r = nxy)-(Σx)(Σy)


(64)

= ] ) 987 , 16 ( ) 146 , 72 ( 4 ][ ) 16 ( ) 69 ( 4 [ ) 987 , 16 )( 16 ( ) 77795 , 67 ( 4 2 2   = -0,946

Waktu (t) R Ln R X2 Y2 XY

(jam)

(X) (Y)

0,25 /-13,992/ 2,638 0,625 6,959 0,6595 0,5 /-12,291/ 2,509 0,25 6,295 1,2545 0,75 /-11,491/ 2,442 0,5625 5,963 1,8315 1,25 /-9,691/ 2,271 1,5625 5,157 2,83875 1,5 /-9,004/ 2,198 2,25 4,831 3,297

ΣX = 4,25 ΣY= 12,058 ΣX2 = 5,25 ΣXY = 9,88125 X = 0,85 Y= 2,4116

a =

2 2 ) ( ) ( ) )( ( ) ( x x n y x xy n       

b = Y- aX

a =

2 ) 25 , 4 ( ) 25 , 5 ( 5 ) 058 , 12 25 , 4 ( ) 88125 , 9 ( 5   x

= 2,4116-(-0,2248 x0,85) = -0,2248 = 2,60268

r = nxy)-(Σx)(Σy)

[n(x2)(x)2][n(y2)(y)2]

= ] ) 058 , 12 ( ) 205 , 29 ( 5 ][ ) 25 , 4 ( ) 25 , 5 ( 5 [ ) 058 , 12 )( 25 , 4 ( ) 88125 , 9 ( 5 2 2   

= -0,8105

Kel = 0, 03401 jam-1 T1/2 el =

03401 , 0 693 , 0

= 20, 376 jam Ka = 0,2248 jam-1


(65)

AUC0-t = { 2 1 1xt C } + { 2 ) ( )

(C2C1 x t2t1

} + {

2

) (

)

(CnCn1 x tntn1

}

AUC0-5,5={

2 25 , 0 391 , 65 x }+{ 2 ) 25 , 1 5 , 1 )( 038 , 67 075 , 67 (   }+ { 2 ) 25 , 0 5 , 0 )( 391 , 65 420 , 66 (   }+{ 2 ) 5 , 0 75 , 0 )( 420 , 66 554 , 66 (   } +{ 2 ) 75 , 0 25 , 1 )( 554 , 66 038 , 67 (   }+{ 2 ) 5 , 1 5 , 2 )( 075 , 67 884 , 73 (   } +{ 2 ) 5 , 2 5 , 3 )( 884 , 73 252 , 71 (   }+{ 2 ) 5 , 3 5 , 4 )( 252 , 71 436 , 67 (   }+ { 2 ) 5 , 4 5 , 5 )( 436 , 67 236 , 67 (   } = 371,152 mcg / ml jam AUC5,5-∞ =

03401 , 0 236 , 67

= 1976,948 mcg / ml jam AUC0-∞ = AUC0-5,5 + AUC5,5-∞

= 371,152 + 1976,948 = 2348,1 mcg / jam c. AUMC

t Cxt

0,25 16,348 0,5 33,21 0,75 49,9155 1,25 83,7975 1,5 100,6125 2,5 184,71 3,5 249,382 4,5 303,462 5,5 369,798 AUMC0-t={ }+{

2

) )( (C2t2C1t1 t2t1

}+{

2

) )(

(CntnCn1tn1 tntn1

}

2 ) (C1t1xt1


(66)

AUMC0-5,5={ 2 ) 348 , 16 25 , 0 ( x }+{ 2 ) 25 , 0 5 , 0 )( 348 , 16 21 , 33 (   }+ { 2 ) 5 , 0 75 , 0 )( 21 , 33 9155 , 49 (   }+ { 2 ) 75 , 0 25 , 1 )( 9155 , 49 7975 , 83 (   }+ { 2 ) 25 , 1 5 , 1 )( 7975 , 83 6125 , 100 (   }+{ 2 ) 5 , 1 5 , 2 )( 6125 , 100 71 , 184 (   }+ { 2 ) 5 , 2 5 , 3 )( 71 , 184 382 , 249 (   }+{ 2 ) 5 , 3 5 , 4 )( 382 , 249 462 , 303 (   }+ { 2 ) 5 , 4 5 , 5 )( 462 , 303 798 , 369 (   } = 1047,868 mcg / ml jam2 AUMC5,5-∞ =

03401 , 0 798 , 396

= 10873,214 mcg / ml jam2 AUMC0-∞ = AUMC0-5,5 + AUMC5,5-∞

= 1047,868 + 10873,214 = 11921,082 mcg / ml jam2

MRT =

    0 0 AUC AUMC = 1 , 2348 082 , 11921

= 5,08 jam

Cmaks = .max

) (

. ket

e Ke Ka Vd Dosis Ka  

= . 0,03401 9,9

) 03401 , 0 2248 , 0 ( 794 , 28800 2300000 2248 , 0 x e x  


(67)

Tmaks = Ke Ka ke Ka log 303 , 2        = 03401 , 0 2248 , 0 log 03401 , 0 2248 , 0 303 , 2       

= 9, 9 jam

Vd =

Ke

AUC Dosis

. 0

= 03401 , 0 515 , 979

= 28800,794 ml

= 28,801 l

Kliren (CL) =

  0 AUC Dosis = 1 , 2348 2300000


(68)

Lampiran 10. Alat Ultrasonic Cleaner dan Penyaring

10.1 Alat Ultrasonic Cleaner


(69)

Lampiran 11. Alat KCKT dan Syringe 100 µl

11.1 Alat KCKT (Shimadzu)


(70)

Lampiran 12. Kelinci, Alat Vorteks dan Sentrifuge

12.1 Kelinci

12.2 Alat Vorteks


(1)

AUC0-t = { 2 1 1xt C } + { 2 ) ( )

(C2C1 x t2t1 } + {

2

) (

)

(CnCn1 x tntn1 } AUC0-5,5={

2 25 , 0 391 , 65 x }+{ 2 ) 25 , 1 5 , 1 )( 038 , 67 075 , 67 (   }+ { 2 ) 25 , 0 5 , 0 )( 391 , 65 420 , 66 (   }+{ 2 ) 5 , 0 75 , 0 )( 420 , 66 554 , 66 (   } +{ 2 ) 75 , 0 25 , 1 )( 554 , 66 038 , 67 (   }+{ 2 ) 5 , 1 5 , 2 )( 075 , 67 884 , 73 (   } +{ 2 ) 5 , 2 5 , 3 )( 884 , 73 252 , 71 (   }+{ 2 ) 5 , 3 5 , 4 )( 252 , 71 436 , 67 (   }+ { 2 ) 5 , 4 5 , 5 )( 436 , 67 236 , 67 (   } = 371,152 mcg / ml jam AUC5,5-∞ =

03401 , 0 236 , 67

= 1976,948 mcg / ml jam AUC0-∞ = AUC0-5,5 + AUC5,5-∞

= 371,152 + 1976,948 = 2348,1 mcg / jam c. AUMC

t Cxt 0,25 16,348

0,5 33,21 0,75 49,9155 1,25 83,7975 1,5 100,6125 2,5 184,71 3,5 249,382 4,5 303,462 5,5 369,798 AUMC0-t= { }+{

2

) )( (C2t2C1t1 t2t1

}+{

2

) )(

(CntnCn1tn1 tntn1 }

2 ) (C1t1xt1


(2)

AUMC0-5,5={ 2 ) 348 , 16 25 , 0 ( x }+{ 2 ) 25 , 0 5 , 0 )( 348 , 16 21 , 33 (   }+ { 2 ) 5 , 0 75 , 0 )( 21 , 33 9155 , 49 (   }+ { 2 ) 75 , 0 25 , 1 )( 9155 , 49 7975 , 83 (   }+ { 2 ) 25 , 1 5 , 1 )( 7975 , 83 6125 , 100 (   }+{ 2 ) 5 , 1 5 , 2 )( 6125 , 100 71 , 184 (   }+ { 2 ) 5 , 2 5 , 3 )( 71 , 184 382 , 249 (   }+{ 2 ) 5 , 3 5 , 4 )( 382 , 249 462 , 303 (   }+ { 2 ) 5 , 4 5 , 5 )( 462 , 303 798 , 369 (   } = 1047,868 mcg / ml jam2 AUMC5,5-∞ =

03401 , 0 798 , 396

= 10873,214 mcg / ml jam2 AUMC0-∞ = AUMC0-5,5 + AUMC5,5-∞

= 1047,868 + 10873,214 = 11921,082 mcg / ml jam2

MRT =

    0 0 AUC AUMC = 1 , 2348 082 , 11921 = 5,08 jam

Cmaks = .max

) (

. ket

e Ke Ka Vd Dosis Ka  


(3)

Tmaks =

Ke Ka ke

Ka log

303 , 2

   

 

=

03401 , 0

2248 , 0 log 03401 , 0 2248 , 0

303 , 2

   

 

= 9, 9 jam

Vd =

Ke AUC

Dosis

. 0

=

03401 , 0

515 , 979

= 28800,794 ml

= 28,801 l

Kliren (CL) =

  0

AUC Dosis

=

1 , 2348 2300000


(4)

Lampiran 10. Alat Ultrasonic Cleaner dan Penyaring


(5)

Lampiran 11. Alat KCKT dan Syringe 100 µl

11.1 Alat KCKT (Shimadzu)


(6)

Lampiran 12. Kelinci, Alat Vorteks dan Sentrifuge

12.1 Kelinci