BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diklofenak 2.1.1 Rumus Bangun
Gambar 1. Struktur kimia Diklofenak Natrium
2.1.2 Sifat Fisikokimia
Rumus Molekul : C
14
H
10
Cl
2
NO
2
Na Berat
Molekul :
318,3 Nama
Kimia :
Natrium {0-[2,6 dikofenil aminofenil} asetat Pemerian
: Serbuk kristal, putih atau agak kekuningan, agak hi groskopis USP Pharmacopiea, 2007.
Diklofenak merupakan derivat fenil asetat dan termasuk NSAID yang terkuat daya anti-radangnya dengan efek samping yang lebih kecil dibandingkan dengan obat
lainnya. Obat ini sering digunakan untuk segala macam nyeri, juga pada migrain dan encok. Lagi pula secara parenteral sangat efektif untuk menanggulangi rasa nyeri hebat
Tjay, 2002.
Universitas Sumatera Utara
Diklofenak adalah turunan asam fenilasetat sederhana yang merupakan penghambat COX yang kuat dengan efek anti-inflamasi, analgesik, dan antipiretik. Obat
ini cepat diabsorpsi setelah pemberian oral dan mempunyai waktu paruh yang pendek. Obat ini dianjurkan untuk kondisi peradangan kronis seperti artritis rematoid dan
osteoartritis serta untuk pengobatan nyeri otot rangka akut. Efek samping terjadi kira-kira 20 penderita dan meliputi distres saluran cerna, perdarahan saluran cerna dan tukak
lambung Payan,1998. Inhibisi sintesis prostaglandin dalam mukosa saluran cerna sering menyebabkan kerusakan gastrointestinal dispepsia, mual dan gastritis. Efek samping
yang paling serius adalah perdarahan gastrointestinal dan perforasi Neal, 2006. Diklofenak resorpsinya dari usus cepat dan lengkap, tetapi ketersediaan hayatinya
rata-rata 55 akibat FPE.. Efek analgetiknya dimulai setelah 1 jam, secara rektal dan intramuskuler lebih cepat, masing-masing setelah 30 dan 15 menit. Penyerapan garam K
Cataflam lebih pesat dari pada garam Na. Ikatan obat dengan protein plsma di atas 99, waktu paruhnya 1 jam. Ekskresi melalui kemih berlangsung 60 sebagai metabolit dan
20 dalam empedu dan tinja, sisanya dalam bentuk tidak berubah Tjay, 2002. Profil keberadaan bahan obat dalam darah sebagai fungsi dari waktu
menggambarkan interaksi antara fase ketersediaan zat aktif dan fase disposisinya. Selain itu profil tersebut juga mengungkapkan nasib obat di dalam tubuh. Oleh karena fenomena
penyerapan zat aktif dari darah menuju jaringan dapat terjadi secara bolak-balik reversible, maka selalu terjadi hubungan dinamik antara konsentrasi zat aktif dalam
jaringan dan konsentrasi zat aktif dalam darah Aiache, 1993. Absorpsi sistemik suatu obat dari saluran cerna atau tempat ekstravaskuler yang
lain bergantung pada bentuk sediaan, anatomi dan fisiologi tempat absorpsi. Faktor-faktor
Universitas Sumatera Utara
seperti luas permukaan dinding usus, kecepatan pengosongan lambung, pergerakan saluran cerna dan aliran darah ke tempat absorpsi, semuanya mempengaruhi laju dan
jumlah absorpsi obat Shargel, 2005. Absorpsi merupakan suatu fenomena yang memungkinkan zat aktif melewati
jalur pemberian obat menuju sistem peredaran darah, dan penyerapan obat terjadi secara langsung dengan mekanisme perlintasan membran. Tanpa mengabaikan masalah
ketersediaan hayati, maka harus dibahas pentingnya bentuk sediaan, perlunya zat aktif berada dalam bentuk yang sesuai agar dapat menembus membran dan pentingnya
kelarutan atau keterlarutan zat aktif padat Aiache, 1993. Diklofenak adalah golongan obat non steroid dengan aktivitas anti inflamasi,
analgetik-antipiretik. Aktivitas diklofenak dengan jalan menghambat enzim siklo- oksigenase sehingga pembentukan prostaglandin terhambat Altaher, 2005.
NSAID berkhasiat analgetis, antipiretik serta anti radang, dan sering sekali digunakan untuk menghalau gejala penyakit rematik, seperti artrosis dan spondylosis.
Obat ini efektif unruk peradangan lain akibat trauma pukulan, benturan, kecelakaan, juga misalnya setelah pembedahan, atau pada memar akibat olahraga. Obat ini dipakai
pula untuk mencegah pembengkakan bila diminum sedini mungkin dalam dosis yang cukup tinggi Tjay, 2002.
Cara kerja NSAID untuk sebagian besar berdasarkan hambatan sintesis prostaglandin, dimana kedua jenis cyclo-oxygenase COX di blokir. NSAID ideal
hendaknya hanya menghambat COX-2 peradangan dan tidak COX-1 perlindungan mukosa lambung, lagi pula menghambat lipo-oxygenase pembentukan leukotrien
Tjay, 2002. Diklofenak adalah inhibitor COX yang memiliki afinitas lebih besar untuk
Universitas Sumatera Utara
COX-2 dibanding COX-1. Diklofenak menghambat biosintesa prostaglandin, dan juga mengurangi pembentukan leukotrien, yang dapat memberikan kontribusi kepada aktivitas
anti-inflamasi. Obat ini waktu paruhnya pendek pada sebagian besar spesies, termasuk manusia, tetapi terakumulasi di situs peradangan, dimana mencapai konsentrasi yang
lebih tinggi di non-peradangan jaringan, dan sama dengan yang dicapai dalam plasma Veterinaria, 2006.
Absorpsi obat ini melalui saluran cerna berlangsung cepat dan lengkap. Obat ini terikat 99 pada protein plasma dan mengalami efek metabolisme lintas pertama first
pass effect = FPE. Walaupun waktu paruhnya singkat yakni sekitar 1-3 jam, Na diklofenak diakumulasi di cairan sinovial yang menjelaskan efek terapi di sendi jauh
lebih panjang dari waktu paruh obat tersebut Altaher, 2005. Informasi tentang kecepatan dan tingkat absorpsi obat jarang mempunyai
kepentingan klinis. Namun, absorpsi biasanya terjadi selama dua jam pertama setelah dosis obat dan bervariasi menurut asupan makanan, posisi tubuh dan aktivitas. Oleh
karena itu tidak boleh mengambil darah sebelum absorpsi lengkap kira-kira 2 jam setelah dosis oral Holford, 1998.
Proses-proses absorpsi, distribusi dan eliminasi metabolisme dan ekskresi yang dialami oleh hampir semua obat pada dosis terapi mengikuti kinetika orde pertama first
order, artinya kecepatan proses-proses tersebut sebanding dengan jumlah obat yang ada yang tinggal. Jadi jumlah obat yang dibasorpsi, distribusi dan dieliminasi persatuan
waktu makin lama makin sedikit, sebanding dengan jumlah obat yang masih belum mengalami proses tersebut Setiawati, 2005.
Universitas Sumatera Utara
Absorpsi obat adalah perpindahan obat dari tempat pemberian menuju ke darah dan target aksinya. Untuk memasuki aliran sistemik darah, obat harus dapat melintasi
membran barier yang merupakan faktor terpenting bagi obat untuk mencpai tempat aksinya misalnya otak, jantung, dan anggota badan yang lain. Obat harus dapat
melewati berbagai membran sel misalnya sel usus halus, pembuluh darah, sel gilia di otak, dan sel saraf Shargel, 2005.
Penyebaran zat aktif tergantung pada berbagai parameter, terutama sifat fisiko- kimia molekul obat. Dengan demikian proses penyerapan zat aktif terjadi apabila
sebelumnya sudah dibebaskan dari sediaan dan sudah melarut dalam cairan biologi setempat. Tahap pelepasan dan pelarutan zat aktif merupakan tahap penentu pada proses
penyerapan zat aktif, baik dalam hal jumlah yang diserap maupun laju penyerapannya Aiache, 1993.
Jumlah obat yang masuk ke tubuh tergantung kepada kecepatan dan tingkat transfer obat dari tempat pemberian ke dalam darah. Kelebihan dosis atau kekurangan
dosis yang relatif terhadap dosis yang diresepkan sering dapat diketahui dengan pengukuran konsentrasi. Variasi-variasi tingkat ketersediaan hayati lebih sering
disebabkan oleh adanya metabolisme selama absorpsi, walaupun kadang-kadang dapat pula disebabkan oleh kesalahan pembuatan formulasi obat tertentu Holford, 1998.
Pada distribusi khususnya melalui peredaran darah, obat yang telah melalui hati bersamaan dengan metabolitnya disebarkan secara merata ke seluruh jaringan tubuh.
Melalui kapiler dan cairan ekstra sel yang mengelilingi jaringan obat diangkut ke tempat kerjanya di dalam sel cairan intra-sel, yaitu organ atau otot yang sakit. Tempat
kerja ini hendaknya memiliki penyaluran darah yang baik karena obat hanya dapat
Universitas Sumatera Utara
melakukan aktivitasnya bila konsentrasi setempatnya cukup tinggi selama waktu yang cukup lama. Seringkali distribusi obat tidak merata akibat beberapa gangguan, yaitu
adanya rintangan, misalnya rintangan darah-otak, terikatnya obat pada protein darah atau jaringan dan lemak Tjay, 2002.
Pada tahap distribusi ini penyebarannya sangat peka terhadap berbagai pengaruh yang terkait dengan tahap penyerapan dan tahap yang terjadi sesudahnya yaitu peniadaan,
serta terkait pula dengan komposisi biokimia serta keadaan fisiopatologi subyeknya, disamping itu perlu diingat kemungkinan adanya interaksi dengan molekul lainnya. Pada
tahap ini merupakan fenomena dinamik, yang selalu terdiri dari fase peningkatan dan penurunan kadar zat aktif. Pengertian akumulasi dan penimbunan terutama penimbunan
bahan toksik, harus dijajaki dari sudut pandang dinamik, maksudnya melihat perbedaan antara kecepatan masuk dan kecepatan keluar. Sebenarnay penimbunan bahan toksik
merupakan efek racun atau hasil fatal sebagai akibat lambat atau sangat lambatnya laju pengeluaran dibandingkan laju penyerapan. Pengertian tentang waktu paruh biologik
suatu zat aktif, seringkali diartikan dengan waktu setengah peniadaan dan bertumpu pada kinetik, maka pengurangan laju peniadaan obat yang terbaca merupakan penjumlahan
aljabar dari laju peniadaan murni dan laju kembalinya zat aktif dari jaringan menuju darah distribusi inversi Aiache, 1993.
Bila obat diberikan per oral, maka availabilitas sistemiknya kurang dari 1 dan besarnya bergantung pada jumlah obat yang dapat menembus dinding saluran cerna
jumlah obat yang dibasorpsi dan jumlah obat yang mengalami eliminasi presistemik metabolisme lintasan pertama di mukosa usus dan dalam hepar Setiawati, 2005.
Universitas Sumatera Utara
Obat yang digunakan secara oral akan melalui lever hepar sebelum masuk ke dalam darah menuju ke daerah lain dari tubuh misalnya otak, jantung, paru-paru dan
jaringan lainnya. Di dalam lever terdapat enzim khusus yaitu sitokrom P-450 yang akan mengubah obat menjadi bentuk metabolitnya. Metabolit umumnya menjadi lebih
larut dalam air polar dan akan dengan cepat diekskresi ke luar tubuh melalui urin, feses, keringat, dan lain-lain. Hal ini akan secara dramatik mempengaruhi kadar obat dalam
plasma dimana obat yang mengalami first pass metabolism akan kurang bioavailabilitasnya sehingga efek yang dihasilkan juga berkurang Hinz, 2005.
Efektivitas suatu senyawa obat pada pemakaian klinik berhubungan dengan farmakokinetikanya. Efek obat terhadap tubuh pada dasarnya merupakan akibat interaksi
obat dengan reseptornya; maka secara teoretis intensitas efek obat baik efek terapi maupun efek toksik tergantung dari kadar obat di tempat reseptor atau tempat kerjanya.
Oleh karena kadar obat di tempat kerja belum dapat diukur, maka sebagai gantinya diambil kadar obat dalam plasma serum yang umum dalam keseimbangan dengan
kadarnya di tempat kerja Setiawati, 2005. Farmakokinetika menggunakan model matematik untuk menguraikan proses-
proses absorpsi, distribusi, biotranformasi dan ekskresi. Dengan memperkirakan besarnya kadar obat dalam plasma sebagai fungsi dari besarnya dosis terhadap waktu pengambilan
sampel darah dalam penetapan kadar obat dalam darah tersebut Setiawati, 2005. Aktivitas serta toksisitas obat tergantung pada lama keberadaan dan perubahan zat
aktif di dalam tubuh. Penelitian tentang nasib obat dalam tubuh merupakan rangkaian penyidikan yang harus dilakukan untuk mengethui kapan obat tersebut menunjukkan
aktivitasnya atau efek toksiknya, sehingga dapat diketahui bahwa obat dengan dosis yang
Universitas Sumatera Utara
diberikan akan memberikan efek terapi atau efek toksik dengan melihat nilai ambang terapi dari obat tersebut. Aiache, 1993.
Pada umumnya zat aktif suatu obat akan menunjukkan efek farmakologik pada titik-tangkap jaringan bila bahan tersebut telah mencapai tempat tersebut dengan
perantaraan darah. Peredaran darah bagaikan “lempeng berputar” dari perjalanan obat. Fenomena penyerapan sebagai tahap awal farmakokinetika, ditentukan oleh penembusan
zat aktif ke dalam darah yang selanjutnya oleh darah dihantarkan menuju sasaran kerja farmakologik, mengalami perubahan hayati dan selanjutnya ditiadakan Aiache, 1993.
Efek samping yang lazim ialah mual, gastritis, eritema kulit dan sakit kepala sama seperti semua obat NSAID. Pemakaian obat ini harus berhati-hati pada penderita tukak
lambung. Peningkatan enzim transaminasi dapat terjadi pada 15 pasien dan umumnya kembali ke normal. Pemakaian selama kehamilan tidak dianjurkan Wilmana, 2005.
Diklofenak merupakan non-steroid anti-inflamasi NSAID yang telah digunakan dalam farmakoterapi selama bertahun-tahun. Diklofenak diindikasikan untuk pengobatan
berbagai peradangan dan pasca trauma gangguan degeneratif, serta perawatan pra- operasi untuk katarak-ekstraksi Veterinaria, 2006.
Diklofenak mempunyai durasi kerja singkat.. Obat ini bisa memberikan analgesia pasca operasi yang cukup dan tidak menyebabkan depresi napas. Efek analgesik NSAID
yang terdapat pada diklofenak digunakan baik di perifer maupun di sentral, tetapi efek perifernya lebih banyak. Efek analgesik biasanya berhubungan dengan efek antiinflamasi
dan diakibatkan oleh inhibisi sistesis prostaglandin dalam jaringan yang meradang. Prostaglandin mempotensiasi nyeri yang disebabkan mediator inflamasi lain. Pada
inflamasi prostaglandin berperan dalam vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas
Universitas Sumatera Utara
vaskuler. Akan tetapi, inhibisi sistesis prostaglandin oleh NSAID mengurangi inflamasi daripada menghilangkannya karena obat ini tidak menghambat mediator inflamasi
lainnya. Meskipun demikian, pada sebagian besar pasien dengan artritis reumatoid, efek anti-inflamasi relatif ringan untuk mengurangi nyeri, kekakuan dan pembengkakan.
Namun, tidak mengubah perjalanan penyakit Neal, 2006. Tipe metabolisme dibedakan menjadi dua bagian yaitu Nonsynthetic Reactions Reaksi
Fase I dan Synthetic Reactions Reaksi fase II. Reaksi fase I terdiri dari oksidasi, reduksi, hidrolisa, alkali, dan dealkilasi. Metabolitnya bisa lebih aktif dari senyawa
asalnya. Umumnya tidak dieliminasi dari tubuh kecuali dengan adanya metabolisme lebih lanjut. Reaksi fase II berupa konjugasi glukoronidasi dan sulfatasi yaitu penggabungan
suatu obat dengan suatu molekul lain. Metabolitnya umumnya lebih larut dalam air dan mudah diekskresikan Hinz, 2005.
Faktor yang mempengaruhi metabolisme obat yaitu induksi enzim yang dapat meningkatkan kecepatan biotransformasi dirinya sendiri, atau obat lain yang
dimetabolisme oleh enzim yang sama yang dapat menyebabkan toleransi. Selain itu inhibisi enzim yang merupakan kebalikan dari induksi enzim, biotransformasi obat
diperlambat, menyebabkan bioavailabilitasnya meningkat, menimbulkan efek menjadi lebih besar dan lebih lama. Kompetisi interaksi obat juga berpengaruh terhadap
metabolisme dimana terjadi oleh obat yang dimetabolisir oleh sistem enzim yang sama contoh alkohol dan barbiturat. Perbedaan individu juga berpengaruh terhadap
metabolisme karena adanya genetic polymorphism, dimana seseorang mungkin memiliki kecepatan metabolisme berbeda untuk obat yang sama Hinz, 2005.
Universitas Sumatera Utara
Metabolit umumnya merupakan suatu bentuk yang lebih larut dalam air dibandingkan molekul awal. Perubahan sifat fisiko-kimia ini paling sering dikaitkan
dengan penyebaran kuantitatif metabolit yang dapat sangat berbeda dari zat aktifnya dengan segala akibatnya. Jika metabolit ini merupakan mediator farmakologik, maka
akan terjadi perubahan, baik berupa peningkatan maupun penurunan efeknya Aiache, 1993.
Obat akan dieliminasi dari dalam tubuh dalam bentuk metabolitnya. Organ ekskresi utama adalah ginjal yang menghasilkan urin. Namun bisa juga melalui paru-
paru, keringat, air liur, feses dan asi Hinz, 2005. Obat dan metabolitnya yang terlarut dalam plasma melintasi dinding glomeruli
secara pasif dengan ultrafiltrat. Ekskresi dapat diperlancar dengan memperkuat disosiasi obat yang kebanyakan bersifat asam atau basa lemah dengan derajat ionisasi yang agak
ringan Tjay, 2002. Untuk dapat menilai suatu obat secara klinis, menetapkan dosis dan skema
penakarannya yang tepat, perlu adanya sejumlah keterangan farmakokinetik. Khususnya mengenai kadar obat di tempat tujuan kerja target site dan dalam darah, serta perubahan
kadar ini dalam waktu tertentu. Pada umumnya besarnya efek obat tergantung pada konsentrasinya di target site dan ini berhubungan erat dengan konsentrasi plasma
Waldon, 2008. Turunnya kadar plasma obat dan lama efeknya tergantung pada kecepatan
metabolisme dan ekskresi. Kedua faktor ini menentukan kecepatan eliminasi obat yang dinyatakan dengan pengertian plasma half-life eliminasi waktu paruh, t
12
yaitu rentang waktu dimana kadar obat dalam plasma pada fase eliminasi menurun smapai separuhnya.
Universitas Sumatera Utara
Kecepatan eliminasi obat dan plasma t
12
-nya tergantung dari kecepatan biotransformasi dan ekskresi. Obat dengan metabolisme cepat half life-nya juga pendek. Sebaliknya zat
yang tidak mengalami biotrasformasi atau yang diresorpsi kembali oleh tubuli ginjal, dengan sendirinya t
12
-nya panjang Waldon, 2008. AUC Area Under Curve adalah permukaan di bawah kurva grafik yang
menggambarkan naik turunnya kadar plasma sebagai fungsi dari waktu. AUC dapat dihitung secara matematis dan merupakan ukuran untuk bioavailabilitas suatu obat.
AUC dapat digunakan untuk membandingkan kadar masing-masing plasma obat bila penentuan kecepatan eliminasinya tidak mengalami perubahan. Selain itu antara kadar
plasma puncak dan bioavailabilitas terdapat hubungan langsung Waldon, 2008. Plasma half-life merupakan ukuran untuk lamanya efek obat, maka t
12
bersama grafik kadar-waktu penting sekali sebagai dasar untuk menentukan dosis dan frekuensi
pemberian obat yang rasional, dengan kata lain berapa kali sehari sekianmg. Dosis yang terlalu tinggi atau terlalu frekuen dapat menimbulkan efek toksis, sedangkan dosis
terlampau rendah atau terlalu jarang tidak menghasilkan efek, bahkan pada kemoterapeutika dapat menimbulkan resistensi kuman Waldon, 2008.
Obat dengan half-life panjang, lebih dari 24 jam pada umumnya cukup diberikan dosis satu kali sehari dan tidak perlu sampai 2 atau 3 kali. Kecuali bila obat sangat terikat
pada protein, sedangkan kadar plasma tinggi diperlukan untuk efek terapeutiknya. Sebaliknya, obat yang dimetabolisasi cepat dan t
12
-nya pendek, perlu diberikan sampai 3- 6 kali sehari agar kadar plasmanya tetap tinggi Waldon, 2008.
Waktu konsentrasi plasma mencapai puncak dapat disamakan dengan waktu yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi obat maksimum setelah pemberian obat. Pada
Universitas Sumatera Utara
t
maks
absorpsi obat adalah terbesar, dan laju absorpsi obat sama dengan laju eliminasi obat. Absorpsi masih berjalan setelah t
maks
tercapai, tetapi pada laju yang lebih lambat. Harga t
maks
menjadi lebih kecil berarti sedikit waktu yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi plasma puncak bila laju absorpsi obat menjadi lebih cepat Shargel, 2005.
Konsentrasi plasma puncak menunjukkan konsentrasi obat maksimum dalam plasma setelah pemberian secara oral. Untuk beberapa obat diperoleh suatu hubungan
antara efek farmakologi suatu obat dan konsentrasi obat dalam plasma. Konsentrasi plasma puncak memberi suatu petunjuk bahwa obat cukup diabsorpsi secara sistemik
untuk memberi suatu respons terapetik. Selain itu konsentrasi plasma puncak juga memberi petunjuk dari kemungkinan adanya kadar toksik obat Shargel, 2005.
Volume distribusi vd menunjukkan volume penyebaran obat dalam tubh dengan kadar plasma atau serum. Vd tidak perlu menunjukkan volume penyebaran obat yang
sesungguhnya ataupun volume secara anatomik, tetapi hanya volume imajinasi dimana tubuh dianggap sebagi 1 kompartemen yang terdiri dari plasma atau serum, dan Vd
menghubungkan jumlah obat dalam tubuh dengan kadarnya dalam plasma atau serum Setiawati, 2005.
Besarnya Vd ditentukan oleh ukuran dan komposisi tubuh, fungsi kardiovaskular, kemampuan molekul obat memasuki berbagai kompartemen tubuh, dan derajat ikatan
obat dengan protein plasma dan dengan berbagai jaringan. Obat yang tertimbun dalam jaringan sehingga kadar dalam plasma rendah sekali, sedangkan obat yang terikat dengan
kuat pada protein plasma sehingga kadar dalam plasma cukup tinggi mempunyai vd yang kecil Setiawati, 2005.
Universitas Sumatera Utara
Volume distribusi yang diperoleh mencerminkan suatu keseimbangan antara ikatan pada jaringan, yang mengurangi konsentrasi plasma dan membuat nilai distribusi
lebih besar, dengan ikatan pada protein plasma, yang meningkatkan konsentrasi plasma dan membuat volume distribusi menjadi lebih kecil. Perubahan-perubahan dalam ikatan
dengan jaringan ataupun dengan plasma dapat mengubah volume distribusi yang ditentukan dari pengukuran-pengukuran konsentrasi plasma Holford, 1998.
Klirens obat adalah suatu ukuran eliminasi obat dari tubuh tanpa mempermasalahkan mekanisme prosesnya. Umumnya, jaringan tubuh atau organ
dianggap sebagai suatu kompartemen cairan dengan volume terbatas volume distribusi dimana obat terlarut di dalamnya Shargel, 2005.
Untuk beberapa obat rute pemakaian mempengaruhi kecepatan metabolismenya. Obat-obat yang diberikan secara oral diabsorpsi secara normal dalam duodenal dari usus
halus dan ditanspor melalui pembuluh mesenterika menuju vena porta hepatik dan kemudian ke hati sebelum ke sirkulasi sistemik. Obat-obat yang dimetabolisme dalam
jumlah besar oleh hati atau oleh sel-sel mukosa usus halus menunjukkan availabilitas sistemik yang jelek jika diberikan secara oral. Metabolisme secara oral sebelum mencapai
sirtkulasi umum disebut first pass effects atau eliminasi presistemik Shargel, 2005.
Universitas Sumatera Utara
BAB III METODOLOGI PERCOBAAN