151
6. vehicle entry permit, merupakan izin untuk membawa masuk kendaraan ke dalam pabrik. Kendaraan yang diperbolehkan masuk ke dalam pabrik adalah
kendaraan diesel bahan bakar solar dan harus melalui rute yang ditentukan oleh petugas safety atau supervisor setempat. Bila perlu, terlebih dahulu
dilakukan pemeriksaan terhadap gas buang kendaraan. Selain itu, dilarang membawa peralatan elektronika yang tidak explosion prove
seperti handphone, kamera, dan lain-lain. Apabila terjadi kecelakaan, korban yang sakit harus dibawa ke klinik pabrik , sebelum dibawa ke rumah sakit atau
sarana kesehatan lain di luar lingkungan pabrik. Dalam lingkungan pabrik terdapat divisi khusus yang disebut emergency response
team . Divisi ini terdiri dari personil-personil fire safety, operasi keamanan, dan
tim kesehatan. Pada saat terjadi keadaan yang membahayakan, semua orang akan dipindahkan ke daerah evakuasi. Jika setelah didata ada orang yang hilang, divisi
ini akan mencari orang yang hilang tersebut. Dalam lingkungan pabrik terdapat alarm
dan beberapa alat dilengkapi dengan automatic shutdown system untuk mengantisipasi meluasnya bahaya.
H. MANAJEMEN PRODUKSI
Manajemen produksi merupakan salah satu bagian dari manajemen perusahaan yang fungsi utamanya adalah menyelenggarakan semua kegiatan untuk
memproses bahan baku menjadi produk, jadi dengan mengatur penggunaan faktor-faktor produksi sedemikian rupa sehingga proses produksi berjalan sesuai
dengan yang direncanakan.
152
Manajemen produksi meliputi manajemen perencanaan dan pengendalian produksi. Tujuan perencanaan dan pengendalian produksi adalah mengusahakan
agar diperoleh kualitas produksi yang sesuai dengan rencana dan dalam jangka waktu yang tepat. Dengan meningkatnya kegiatan produksi maka selayaknya
untuk diikuti dengan kegiatan perencanaan dan pengendalian agar dapat dihindarkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan yang tidak terkendali.
Perencanaan ini sangat erat kaitannya dengan pengendalian, dimana perencanaan
merupakan tolak ukur bagi kegiatan operasional, sehingga penyimpangan yang terjadi dapat diketahui dan selanjutnya dikendalikan ke arah yang sesuai.
1. Perencanaan Produksi
Dalam menyusun rencana produksi secara garis besar ada dua hal yang perlu dipertimbangkan yaitu faktor eksternal dan internal. Yang dimaksud faktor
eksternal adalah faktor yang menyangkut kemampuan pasar terhadap jumlah
produk yang dihasilkan, sedang faktor internal adalah kemampuan pabrik. a. Kemampuan Pasar
Dapat dibagi menjadi dua kemampuan : 1 Kemampuan pasar lebih besar dibandingkan kemampuan pabrik, maka
rencana produksi disusun secara maksimal. 2 Kemampuan pasar lebih kecil dibandingkan kemampuan pabrik
Ada tiga alternatif yang dapat diambil, yaitu : Rencana produksi sesuai dengan kemampuan pasar atau produksi
diturunkan sesuai
dengan kemampuan
pasar, dengan
mempertimbangkan untung dan rugi.
153
Rencana produksi tetap dengan mempertimbangkan bahwa kelebihan produksi disimpan dan dipasarkan tahun berikutnya.
Mencari daerah pemasaran lain dengan menggunakan fasilitas-fasilitas pemasaran yang mudah diakses seperti menggunakan e-bussines.
b. Kemampuan Pabrik Pada umumnya kemampuan pabrik ditentukan oleh beberapa faktor
antara lain : 1 Material bahan baku
Dengan pemakaian yang memenuhi kualitas dan kuantitas maka akan mencapai target produksi yang diinginkan.
2 Manusia tenaga kerja Kurang terampilnya tenaga kerja akan menimbulkan kerugian pabrik,
untuk itu perlu dilakukan pelatihan atau training pada karyawan agar keterampilan meningkat.
3 Mesin peralatan Ada dua hal yang mempengaruhi kehandalan dan kemampuan
peralatan, yaitu jam kerja mesin efektif dan kemampuan mesin. Jam kerja mesin efektif adalah kemampuan suatu alat untuk beroperasi
pada kapasitas yang diinginkan pada periode tertentu. Kemampuan mesin adalah kemampuan suatu alat dalam proses produksi.
2. Pengendalian Produksi Setelah perencanaan produksi dijalankan perlu adanya pengawasan dan
pengendalian produksi agar proses berjalan dengan baik. Kegiatan proses produksi diharapkan menghasilkan produk yang mutunya sesuai dengan
154
standar dan jumlah produksi yang sesuai dengan rencana serta waktu yang tepat sesuai jadwal. Untuk itu perlu dilaksanakan pengendalian produksi
sebagai berikut 3. Pengendalian kualitas
Penyimpangan kualitas terjadi karena mutu bahan baku jelek, kesalahan operasi dan kerusakan alat. Penyimpangan dapat diketahui dari hasil
monitoranalisa pada bagian laboratorium pemeriksaan. 4. Pengendalian kuantitas
Penyimpangan kuantitas terjadi karena kesalahan operator, kerusakan mesin, keterlambatan pengadaan bahan baku, perbaikan alat terlalu lama dan lain-
lain. Penyimpangan tersebut perlu diidentifikasi penyebabnya dan diadakan evaluasi. Selanjutnya diadakan perencanaan kembali sesuai dengan kondisi
yang ada. 5. Pengendalian waktu
Untuk mencapai kuantitas tertentu perlu adanya waktu tertentu pula. 6. Pengendalian bahan proses
Bila ingin dicapai kapasitas produksi yang diinginkan, maka bahan untuk proses harus mencukupi. Untuk itu diperlukan pengendalian bahan proses agar
tidak terjadi kekurangan.
comment period, EPA’s SAB will peer- review the supplemental guidance. A
separate notice of the planned SAB meeting will also appear in the Federal
Register.
Dated: February 25, 2003.
Paul Gilman, Assistant Administrator for Research and
Development. [FR Doc. 03–4912 Filed 2–28–03; 8:45 am]
BILLING CODE 6560–50–P
EXPORT-IMPORT BANK OF THE UNITED STATES
Economic Impact Policy
This notice is to inform the public that the Export-Import Bank of the
United States has received an application to finance the export of 113
million worth of U.S. goods and services to a buyer in India. The equipment will
enable the Indian buyer to produce 553,000 metric tons of Pure
Terephthalic Acid PTA annually. According to the foreign buyer, the
additional capacity of PTA is likely to be entirely consumed in the Indian
market. However, depending on market conditions in India, some of the
production could be exported to China, the leading market for the Indian
buyer’s other products. Interested parties may submit comments on this
transaction by e-mail to economic.impactexim.gov or by mail
to 811 Vermont Ave., NW., Room 1238, Washington, DC 20571, within 14 days
of the date this notice appears in the Federal Register.
Helene S. Walsh, Director, Policy Oversight and Review.
[FR Doc. 03–4866 Filed 2–28–03; 8:45 am]
BILLING CODE 6690–01–M
FEDERAL COMMUNICATIONS COMMISSION
Public Information Collections Requirement Submitted to OMB for
Emergency Review and Approval
February 21, 2003. SUMMARY
: The Federal Communications
Commission, as part of its continuing effort to reduce paperwork burden
invites the general public and other Federal agencies to take this
opportunity to comment on the following information collections, as
required by the Paperwork Reduction Act of 1995, Public Law 104–13. An
agency may not conduct or sponsor a collection of information unless it
displays a currently valid control number. No person shall be subject to
any penalty for failing to comply with a collection of information subject to the
Paperwork Reduction Act PRA that does not display a valid control number.
Comments are requested concerning a whether the proposed collection of
information is necessary for the proper performance of the functions of the
Commission, including whether the information shall have practical utility;
b the accuracy of the Commission’s burden estimate; c ways to enhance
the quality, utility, and clarity of the information collected; and d ways to
minimize the burden of the collection of information on the respondents,
including the use of automated collection techniques or other forms of
information technology.
DATES
: Written comments should be
submitted on or before April 2, 2003. If you anticipate that you will be
submitting comments, but find it difficult to do so within the period of
time allowed by this notice, you should advise the contacts listed below as soon
as possible.
ADDRESSES
:
Direct all comments to Kim A. Johnson, Office of Management and
Budget, Room 10236 NEOB, Washington, DC 20503, 202 395–7232
or via Internet at Kim
_ A.
_ Johnsonomb.eop.gov, and Les
Smith, Federal Communications Commission, Room 1–A804, 445 12th
Street, SW., Washington, DC 20554 or via Internet to lesmithfcc.gov.
FOR FURTHER INFORMATION CONTACT
: For
additional information or copies of the information collections contact Les
Smith at 202 418–0217 or via Internet at lesmithfcc.gov.
SUPPLEMENTARY INFORMATION
: The
Commission has requested emergency OMB review of this collection with an
approval by February 20, 2003. OMB Control Number: 3060–0113.
Type of Review: Revision of a currently approved collection.
Title: Broadcast EEO Program Report, FCC Form 396.
Form Number: FCC 396. Respondents: Business or other for-
profit entities; Not-for-profit institutions.
Number of Respondents: 2,000. Estimated Time per Response: 1.5
hours. Frequency of Response:
Recordkeeping; Renewal reporting requirement.
Total Annual Burden: 3,000 hours. Total Annual Cost: 100,000.
Needs and Uses: On November 7, 2002, the FCC adopted a Second Report
and Order and Third NPRM Second RO, MM Docket No. 98–204, FCC 02–
303, which established new EEO rules and forms to comply with the court’s
decision in MDDCDE Broadcasters Association v. FCC. The new rules
reinstate the requirement that broadcast licensees file the FCC Form 396 at the
time they file for renewal of license. The new EEO rules also ensure equal
employment opportunity in broadcast and multi-channel video program
distributor industries through outreach to the community in recruitment and
prevention of employment discrimination. Among other things, the
Second RO affords broadcasters with five or more full-time employees
maximum flexibility in designing EEO programs while ensuring broad
dissemination of full-time employment opportunities. These broadcasters must
file annually an EEO public file report detailing their outreach efforts. In
addition, licensees must include a narrative statement demonstrating how
the station achieved an inclusive outreach in the prior two years and
report the status of any employment discrimination complaints.
OMB Control Number: 3060–0120. Type of Review: Revision of a
currently approved collection. Title: Broadcast Equal Employment
Opportunity Model Program Report, FCC Form 396–A.
Form Number: FCC 396–A. Respondents: Business or other for-
profit entity; Not-for-profit institutions. Number of Respondents: 5,000.
Estimated Time per Response: 1 hour. Frequency of Response: On occasion
reporting requirement. Total Annual Burden: 5,000 hours.
Total Annual Cost: None. Needs and Uses: On November 7,
2002, the FCC adopted a Second Report and Order and Third NPRM Second
RO, MM Docket No. 98–204, FCC 02– 303, which established new EEO rules
and forms to comply with the court’s decision in MDDCDE Broadcasters
Association v. FCC. The new rules reinstate the requirement that broadcast
licensees file the FCC Form 396–A at the time they file applications for
construction permits, or assignments or transfers of license. The new EEO rules
also ensure equal employment opportunity in broadcast and multi-
channel video program distributor industries through outreach to the
community in recruitment and prevention of employment
discrimination. While FCC Form 396–A remains almost entirely the same as the
form used under the rules adopted in 2000, the Second RO also builds in
flexibility for licensees to implement a program in compliance with the new
VerDate Jan312003 19:53 Feb 28, 2003 Jkt 200001 PO 00000 Frm 00046 Fmt 4703 Sfmt 4703 E:\FR\FM\03MRN1.SGM 03MRN1
Peningkatan nilai manfaat limbah sebagai bahan pakan ternak dapat dilakukan dengan meningkatkan nilai nutrisi melalui
perlakuan dan pengolahan. J enis perlakuan yang diterapkan sangat bervariasi dan tergantung pada jenis, asal dan faktor
pembatas pemanfaatan limbah sebagai bahan pakan secara langsung. Faktor pembatas pemanfaatan limbah sebagai pakan
ternak secara umum meliputi kualitas nutrisi yang rendah akibat kandungan serat yang tinggi, kandungan antinutrisi dan kadar
air bahan yang tinggi.
Pemilihan teknik dan metode pengolahan ditentukan oleh faktor pembatas pemanfaatan limbah sebagai pakan ternak sehingga
limbah mempunyai nilai tambah yang lebih baik. Limbah-limbah pertanian
crop residue
dan beberapa limbah yang berasal dari industri pengolahan hasil pertanian
agroindustry by-product
umumnya mempunyai kandungan serat tinggi, perlakuan yang diberikan biasanya berupa perlakuan yang diarahkan pada
penghilangan dan atau pemutusan ikatan yang terjadi diantara komponen serat.
Perlakuan yang paling umum dilakukan terhadap limbah yang dapat digunakan untuk bahan pakan ternak diantaranya berupa
perlakuan secara fisik, kimia, biologis dan atau kombinasi perlakuan fisiko-kimia atau fisiko-biologis.
PERLAKUAN SECARA FISIK
Perlakuan secara fisik pada bahan pakan berserat tinggi bertujuan untuk merombak struktur fisik bahan dan memecah
matriks karbohidrat penyusun dinding sel. Perlakuan secara fisik
© 2008. R. Murni, Suparjo, Akmal, BL. Ginting. BUKU AJAR TEKNOLOGI PEMANFAATAN LIMBAH UNTUK PAKAN.
LABORATORIUM MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS JAMBI
Metode Pengolahan Limbah untuk Pakan Ternak
| 60
dapat juga digunakan dalam pengawetan dan atau menghilangkan kandungan antinutrisi bahan. Pengeringan,
penggilingan dan pemotongan, pengukusan, perendaman dan pembuatan pellet merupakan beberapa contoh perlakuan secara
fisik yang dapat diterapkan pada bahan pakan asal limbah.
Pengeringan
Drying
Pengeringan merupakan perlakuan yang paling sederhana dalam pengolahan produk-produk sampingan terutama pada bahan
yang mengandung kadar air yang tinggi dan atau bahan yang mengandung antinutrisi yang mudah hilang dengan pemanasan.
Limbah yang berasal dari ternak dan produk perikanan biasanya mempunyai kadar air yang tinggi sehingga perlu pengurangan
kadar air dehidrasi. Pengeringan dapat menggunakan alat pengering
oven, freeze drier, blower
ataupun dengan sinar matahari tergantung nilai ekonomis yang diperoleh.
Pengeringan mampu mengurangi kerapatan jenis beberapa limbah ternak sekitar 20-30 persen dari volume awal.
Pengeringan juga dapat menekan proses penguraian bahan organik. Kehilangan substansi bahan seperti nitrogen dan energi
dipengaruhi oleh teknik dan metode pengeringan. Pengeringan beku
freeze dry
mampu menekan kehilangan nitrogen 4.8 dan energi 1.3, sementara pengeringan hampa
vacuum dry
pada suhu 40
o
C menyebabkan kehilangan nitrogen 28.0 dan energi 12.0 yang cukup besar. Kandungan total HCN umbi
kayu dapat hilang hingga lebih dari 86 persen selama pengeringan dengan sinar matahari.
Pemotongan
Chopping
dan Penggilingan
Grinding
Pemotongan dan penggilingan akan mampu menghancurkan sebagian ikatan jaringan serat kasar dengan memperluas
permukaan dan membuka struktur dinding sel dan memungkinkan bakteri menembus lapisan pelindung dinding sel
dan memperbanyak titik penetrasi enzim agar mudah dicerna. Perlakuan penggilingan dan pemotongan lebih mengarah pada
pemecahan karbohidrat dibanding lignin. Penggilingan bahan berserat tinggi dapat mengurangi ukuran partikel, merusak
struktur kristal selulosa dan memutus ikatan kimia dari rantai panjang molekul penyusunnya.
Pemotongan dan penggilingan dapat meningkatkan konsumsi pakan bebas, tetapi dapat mempunyai pengaruh yang merugikan
terhadap kecernaan karena dapat menurunkan waktu tinggal
mean retention time
= MRT pakan dalam rumen. Penurunan MRT terjadi karena makin kecil partikel pakan maka laju aliran pakan
meninggalkan rumen makin cepat, akibatnya akan mengurangi kesempatan mikroba rumen untuk mendegradasi partikel pakan
yang pada gilirannya akan menurunkan kecernaan pakan. Untuk
Metode Pengolahan Limbah untuk Pakan Ternak
| 61
itu dalam penggilingan bahan pakan, ukuran partikel pakan harus diatur secara benar untuk mendapatkan keseimbangan
antara peningkatan konsumsi pakan dan efisiensi laju pakan meninggalkan rumen sehingga mencapai tingkat penggunaan
pakan yang optimum.
Pembuatan pellet
Pelleting
Kendala lain pemanfaatan limbah sebagai pakan ternak adalah sifatnya yang volumis
bulky
sehingga memakan ruang dalam saluran pencernaan. Perlakuan pengeringan dan penggilingan
biasanya diikuti dengan perlakuan lain yaitu pemadatan dengan membuat pakan dalam bentuk pellet. Beberapa keuntungan
pembuatan pellet pada bahan pakan kasar meliputi : a. pakan lebih seragam sehingga mengurangi seleksi pakan oleh ternak, b.
peningkatan kerapatan jenis, c. mengurangi debu pakan yang telah digiling, d. memudahkan penanganan, e. mengurangi
segregasi pada ukuran partikel yang berbeda dan f. mengurangi bahan pakan yang terbuang.
Pengukusan
Steaming
Pengukusan bertekanan tinggi merupakan salah satu metode dalam meningkatkan kualitas bahan pakan kasar. Metode ini
menyebabkan pengembangan serat sehingga memudahkan untuk dicerna oleh enzim mikroorganisme. Uap akan
menghancurkan ikatan antara selulosa, hemiselulosa dan lignin sedangkan komposisi kimianya tidak berubah. Pengukusan
mampu meningkatkan ketersediaan energi karena meningkatnya kelarutan selulosa dan hemiselulosa dan atau pembebasan
substansi terdegradasi dari lignin dan silika.
Efektifitas pengaruh perlakuan pengukusan bertekanan tergantung pada kondisi lain seperti tekanan, kadar air dan lama
perlakuan. Penelitian yang dilakukan Liua dkk. 1999 menyimpulkan bahwa pengukusan dengan tekanan 15 bar
selama 5 menit dan rasio air dan bahan 3:7 memberikan hasil yang optimum. Penelitian lain menyebutkan pengukusan serat
sawit dengan tekanan 15 kg cm
3
selama sepuluh menit dapat meningkatkan kecernaan bahan organik dari 15 persen menjadi
42 persen, dan jika tekanan ditingkatkan menjadi 30 kg cm
3
selama 1 menit, kecernaan bahan organiknya meningkat menjadi 51.6 persen. Pengukusan dengan tekanan terhadap kacang
kedelai dapat menurunkan kandungan fitat sebesar 5-15 Shi dkk. 200 4. Kendala utama perlakuan pengukusan dengan
tekanan tinggi adalah diperlukannya alat dan sumber energi yang mahal sehingga metode ini kurang dapat diaplikasikan.
Metode Pengolahan Limbah untuk Pakan Ternak
| 62
Perendaman
Soaking
Perendaman biasanya dilakukan untuk menghilangkan atau mengurangi kandungan antinutrisi. Media perendaman dapat
berupa air, larutan garam atau alkali. Perendaman dapat digunakan untuk menurunkan kandungan asam sianida dan fitat
bahan pakan. Kandungan asam sianida pada umbi kayu dapat berkurang sampai 20 setelah perendaman selama 4 jam.
Perendaman biji kacang-kacangan dalam air selama 24 jam menurunkan 50 kandungan fitat. Penurunan kandungan fitat
dapat ditingkatkan dengan memperlama waktu perendaman.
PERLAKUAN SECARA KIMIA
Perlakuan secara kimia umumnya dilakukan terhadap pakan kasar
roughage
yang bertujuan untuk meningkatkan kecernaan dan konsumsi pakan bebas dengan cara memecah komponen-
komponen dinding sel atau memecah ikatan lignin dengan senyawa karbohidrat yang terdapat pada sel tanaman. Berbagai
perlakuan kimia telah banyak dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan substansi selulosa yang dapat dicerna oleh mikroba
rumen. Perlakuan kimia dapat menyebabkan pemecahan ikatan lignin-karbohidrat, oksidasi senyawa fenol termasuk lignin dan
hidrolisis polisakarida menjadi gula.
Secara garis besar perlakuan kimiawi dikelompokkan menjadi tiga yaitu secara alkali, asam dan oksidasi Tabel 34. Bahan
kimia yang sering digunakan adalah kaustik soda NaOH, potas KOH, kalsium hidroksida CaOH
2
, ammonia anhydrase NH
3
, larutan amonia NH
4
OH, sulfur dioksida SO
2
, asam sulfat H
2
SO
4
, asam klorida HCl dan natrium klorida NaCl. Perlakuan dengan alkali dipandang paling efektif dalam
meningkatkan kualitas limbah pertanian. Secara skematis pada prinsipnya kerja alkali adalah sebagai berikut :
1. memutuskan sebagian ikatan antara selulosa dan hemiselulosa dengan lignin dan silika,
2. esterifikasi gugus asetil dengan membentuk asam uronat 3. merombak struktur dinding sel, melalui pengembangan
jaringan serat, dan memudahkan penetrasi molekul enzim mikroorganisme.
Cara kerja alkali memecah ikatan lignoselulosa dan lignohemiselulosa belum diketahui secara sempurna. Alkali
mempunyai kemampuan untuk mengurangi ikatan hidrogen di dalam molekul selulosa kristal sehingga selulosa membengkak
dan bagian selulosa kristal akan berkurang. Alkali mampu menghasilkan perubahan terhadap struktur dinding sel yang
mencakup hilangnya grup asetil dan asam fenolik, larutnya silika dan hemiselulosa serta kemungkinan hidrolisis ikatan
Metode Pengolahan Limbah untuk Pakan Ternak
| 63
hemiselulosa-lignin. Pembengkakan selulosa dapat dibedakan dapat menjadi dua macam yakni pembengkakan di dalam kristal
intercrystalline swelling
dan pembengkakan antarkristal
intracrystalline swelling
. Air tidak dapat menembus struktur selulosa, akan tetapi berpengaruh terhadap pembengkakan antarkristal di dalam
selulosa. Membengkaknya selulosa menyebabkan renggangnya ikatan lignoselulosa dan lignohemiselulosa dan pecah sehingga
dinding sel menjadi lemah.
Tabel 34. Bahan kimia yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas pakan kasar Kategori
Bahan Kimia Formula
Alkali Ammonium hidroksida amonia, urea
NH
4
OH NH
3
, CONH
2
Kalsium hidriksoda CaOH
2
Potasium hidroksida KOH
Sodium hidroksida NaOH
Asam Asetat CH
3
COOH, Propionat
C
2
H
5
COOH Butirat
C
3
H
7
COOH Asam
format HCOOH
Asam klorida
HCl Ortofosfat
H
3
PO
4
Asam sulfat
H
2
SO
4
Garam Amonium bikarbonat
NH
4
HCO
3
Sodium bikarbonat NaHCO
3
Sodium karbonat
NaCO
3
Sodium klorida
NaCl Kalsium
karbida CaC
2
Oxidising agen Senyawa klorin
Bubuk pemutih CaCl
2
O Kalsium
hipoklorit CaOCl
2
Klorin Cl
2
Klorin dioksida
ClO
2
Potasium klorat
KclO
3
Sodium klorit
NaCLO
2
Senyawa lain Hidrogen peroksida
H
2
O
2
Ozon O
3
Sodium peroksida
Na
2
O
3
Senyawa sulfur Sodium bisulfit
NaHSO
3
Sodium sulfida
NaS Sodium
sulfit Na
2
SO
3
Sulfur dioksida
SO
2
Surfaktan EDTA Sodium lautyl sulfat
NaC
12
H
25
SO
4
air H
2
O Sumber : Owen dkk. 1984
Metode Pengolahan Limbah untuk Pakan Ternak
| 64
Perlakuan dengan Kaustik Soda NaOH
Pengolahan limbah pertanian dan pakan kasar lainnya dengan kaustik soda telah banyak diterapkan. Kaustik soda merupakan
alkali yang paling kuat dalam mendegradasi struktur dinding sel. Perlakuan alkali dapat meningkatkan kelarutan hemiselulosa dan
mengurangi kandungan dinding sel. Beberapa metode pengolahan NaOH terhadap pakan kasar tercantum pada Tabel
35.
Tabel 35. Metode perlakuan pakan kasar dengan NaOH Sundstol, 1988 Perlakuan
Prosedur Perlakuan Kondisi Optimum
Cara Basah 1.
Perendaman bahan dalam larutan NaOH, diikuti dengan pembilasan.
1.5-2.5 Larutan NaOH, direndam selama 12 jam, dibilas dengan larutan netral
2. Perendaman bahan dalam larutan NaOH, tanpa
pembilasan. Tapi disimpan. 1.5 larutan NaOH direndam selama 0.5 – 1 jam dan
disimpan selama 6 hari. 3.
Bahan disemprot dengan larutan NaOH dalam suatu ruang.
5.5 kg NaOH, di simpan selama 12 jam Setengah
Basah Bahan di rendam dengan larutan NaOH di dalam Silo
40-70 kadar air, 3-5 NaOH, min. direndam 1 minggu
Cara Kering 1.
Bahan digiling menjadi halus dan dicampur dengan larutan kaustik soda konsentrasi tinggi
Larutan 27 – 47 NaOH Tekanan di atas 100 atm temperatur 70 – 90
o
C 2.
Bahan dipotong dan disemprot dengan larutan NaOH
425 kg larutan NaOH 16 setiap ton bahan
Gambar 21. Metode pengolahan perendaman dengan NaOH
larutan 1
2
3 4
perendaman 0 .5-1 jam
peririsan 0 .5-2 jam
penambahan per 10 kg bahan
penyimpanan 3-6 hari
Pemberian pada ternak 50 dr ransum
0 .6 kg NaOH 30 L air
Metode Pengolahan Limbah untuk Pakan Ternak
| 65
Dewasa ini perlakuan dengan NaOH sudah banyak ditinggalkan karena pengolahan dengan NaOH menimbulkan kerugian antara
lain: kation Na
+
dalam jumlah banyak bersifat racun bagi ternak, menimbulkan polusi tanah dan lingkungan, residu NaOH di
dalam saluran pencernaan dapat bersifat racun bagi ternak serta harganya mahal dan sulit diperoleh.
Perlakuan dengan Amonia Perlakuan dengan amonia atau
amoniasi
merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan pakan kasar sebagai pengganti
NaOH. Amoniasi mampu meningkatkan nilai nutrisi pakan kasar melalui peningkatan daya cerna, konsumsi, kandungan protein
kasar pakan dan memungkinkan penyimpanan bahan pakan berkadar air tinggi dengan menghambat pertumbuhan jamur.
Sama dengan alkali lainnya, amonia menyebabkan perubahan komposisi dan struktur dinding sel yang berperan dalam
membebaskan ikatan antara lignin dengan selulosa dan hemiselulosa. Reaksi kimia terjadi dengan memotong jembatan
hidrogen dan meningkatkan fleksibillitas dinding sel sehingga
Metode Pengolahan Limbah untuk Pakan Ternak
| 66
setiap kg urea akan dihasilkan 0 .57 kg amonia. Perlakuan urea merupakan hasil dari dua proses yang dilakukan secara simultan
yaitu hidrolisis urea
ureolysis
dan kerja amonia terhadap dinding sel bahan.
Ureolysis
merupakan reaksi enzimatis yang membutuhkan kehadiran enzim urease dalam media perlakuan.
Urea akan dihidrolisis dengan bantuan enzim urease menjadi amonia.
CONH
2 2
+ H
2
O 2 NH
2
+ CO
2
Berat molekul :
60 18
Berat dihasilkan : 60 18 34 44
Perombakan urea menjadi amonia selain membutuhkan enzim urease, juga dipengaruhi oleh kelembaban dan suhu saat
perlakuan. Kelembaban ideal untuk
ureolysis
adalah 100, yang tidak mungkin tercapai pada media yang heterogen. Untuk
alasan teknis, kisaran kelembaban media sekitar 30-60. Kelembaban media di bawah 30 , perombakan urea akan
berjalan lambat dan kelembaban di atas 60 akan mengurangi kekompakan substrat, peluruhan larutan urea ke bagian bawah
media dan tumbuhnya jamur.
Suhu optimum perombakan urea berkisar antara 30 -60
o
C. Kecepatan reaksi dikalikan
atau dibagi
dengan 2 setiap kenaikan
atau penurunan
suhu sebesar 10
o
C. Perombakan urea secara sempurna dapat terjadi setelah satu minggu atau bahkan 24 jam
pada kisaran suhu 20-45
o
C. Perombakan urea berjalan sangat lambat pada kisaran suhu 5-10
o
C. Indikator keberhasilan pengolahan dengan amonia dapat dilihat
dari kandungan protein dan daya cerna bahan yang diolah. Ada beberapa faktor yang menentukan keberhasilan pengolahan
tersebut, antara lain: dosis amonia, temperatur dan tekanan, lama pengolahan, kadar air, jenis dan kualitas limbah serta
perlakuan lain yang dilakukan terhadap bahan.
a. dosis amonia
Dosis amonia merupakan berat nitrogen yang dipergunakan dibandingkan berat bahan kering bahan. Dosis amonia optimum
sekitar 3-5 dari bahan keing bahan. Konsentrasi amonia kurang dari 3 tidak berpengaruh terhadap daya cerna dan protein
kasar bahan dan amonia hanya berperan sebagai pengawet. Konsentrasi amonia lebih dari 5 menyebabkan perlakuan tidak
efisien karena banyak amonia yang terbuang. Asumsi setiap kilogram urea secara sempurna dikonversi akan menghasilkan
0.57 kg amonia, maka dapat diperkirakan dosis optimum urea untuk amoniasi yaitu berkisar antara 5 – 8.7 persen.
b. temperatur dan tekanan
Temperatur yang lebih tinggi mempercepat reaksi kimia terjadi. Temperatur yang paling ideal untuk amoniasi adalah 20 -10 0
o
C.
Metode Pengolahan Limbah untuk Pakan Ternak
| 67
Temperatur juga terkait dengan tekanan. Tekanan 16.2 kg cm
3
pada temperatur 121
o
C dengan lama perlakuan 4 menit menghasilkan daya cerna bahan yang lebih baik.
c. lama perlakuan
Lama perlakuan adalah lamanya waktu memeram bahan limbah dalam larutan sumber amonia. Dibanding dengan NaOH,
amonia mempunyai reaksi kimia yang lebih rendah sehingga memerlukan waktu pemeraman yang lebih lama. Lama waktu
pemeraman sangat bervariasi tergantung pada temperatur saat perlakuan dan metode yang digunakan. Hal ini disebabkan
secara kimia reaksi akan berjalan lebih cepat pada temperatur yang lebih tinggi. Perlakuan amoniasi dengan urea memerlukan
waktu lebih lama karena dibutuhkan proses perombakan urea oleh enzim urease menjadi amonia. Lama perlakuan sekitar 8
minggu pada suhu 5
o
C dan sekitar 1 minggu pada suhu 30
o
C.
d. kandungan air
Kandungan air merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan perlakuan dengan amonia.
Kandungan air bahan optimal untuk amoniasi adalah 30 dan tidak boleh lebih dari 50 rasio air dan jerami adalah 1 : 1.
e. jenis dan kualitas limbah
Tipe dan kualitas limbah berperan dalam keberhasilan perlakuan amoniasi. J enis dan karakteristik limbah akan memberikan
respon yang berbeda terhadap perlakuan. Limbah dengan kualitas jelek pada umumnya memberikan respon yang lebih
baik terhadap amoniasi dibanding berkualitas yang lebih baik.
f. perlakuan lain terhadap bahan
Proses amoniasi dengan urea akan berjalan lebih baik jika dibarengi dengan perlakuan lain seperti penambahan sumber
enzim urease Tabel 36 dan perlakuan fisik. Semakin banyak enzim urease akan semakin cepat perombakan urea menjadi
amonia. Perlakuan fisik seperti pemotongan atau penggilingan mampu meningkatkan luas permukaan bahan yang dapat kontak
dengan amonia.
Tabel 36. Aktivitas enzim urease dari ekstrak tanaman dan feses ternak Sumber Enzim
Aktivitas urease Sumber Enzim
Aktivitas urease Kacang kedelai
1
790 Dedak
1
42 Glirisidia
1
80 Feses kerbau segar
1
28 Lamtoro
1
112 Feses sapi segar
1
120 Daun mimosa
1
86 Biji
semangka
2
335 Daun bunga matahari
1
42 Biji
labu
2
755 Daun pisang
1
24 Biji
nangka
2
4871
1
. mg NH3g3 jam Jayasurya dan Sannasgala 1984
2
. mg NH3gjam Ibrahim dkk. 1984
Metode Pengolahan Limbah untuk Pakan Ternak
| 68
Perlakuan Secara Kimia Lainnya Sejumlah zat kimia diketahui mempunyai kemampuan bereaksi
terhadap bahan lignoselulosa sehingga dapat dipertimbangkan sebagai bahan untuk meningkatkan kualitas pakan kasar. Bahan
kimia yang digunakan dalam meningkatkan kualitas nutrisi pakan kasar idealnya memiliki karakteristik yang meliputi :
1. efektif dalam meningkatkan kecernaan dan atau konsumsi pakan,
2. biaya untuk perlakuan dalam meningkatkan nilai nutrisi harus ekonomis,
3. bahan kimia yang digunakan harus tersedia setiap saat dibutuhkan,
4. residu bahan kimia yang tersisa dalam pakan kasar tidak bersifat racun terhadap ternak serta feses dan urin yang
dikeluarkan tidak menjadi sumber polutan bagi lingkungan, 5. tidak berbahaya bagi manusia dalam penanganan dan tidak
bersifat korosif bagi alat yang digunakan. Karakteristik bahan kimia ‘
ideal
’ sering kali tidak dapat dipenuhi oleh semua bahan kimia. Selain NaOH dan amonia, perlakuan
secara kimia juga dapat menggunakan CaOH
2
J ackson, 1978, asam organik dan anorganik dan larutan alkali peroksida.
Meski efektifitas CaOH
2
dan NaOH relatif sama namun karena CaOH
2
merupakan alkali lemah maka dalam menghidrolisis ikatan lignoselulosa dibutuhkan waktu lebih lama.
PERLAKUAN SECARA BIOLOGIS
Aplikasi perlakuan secara biologis dalam pengolahan bahan pakan limbah bertujuan untuk mengubah struktur fisik bahan,
pengawetan dan mengurangi kandungan antinutrisi. Perubahan struktur fisik pada pakan kasar dilakukan oleh enzim
delignifikasi sekaligus memperkaya jaringan pakan dengan protein mikrorganisme. Delignfikasi dapat terjadi dengan
merombak dan melarutkan lignin yang terkandung dalam pakan. Perlakuan secara biologis dilakukan dengan menggunakan enzim
pendegradasi dinding sel seperti selulase, hemiselulase dan enzim pemecah lignin, jamur ligninolitik, bakteri dan jamur
rumen.
Biokonversi merupakan proses-proses yang dilakukan oleh mikroorganisme untuk mengubah suatu senyawa menjadi
produk yang mempunyai struktur kimia yang berhubungan. Biokonversi lignoselulosa dapat dikelompokkan dalam dua
model fermentasi yaitu fermentasi media padat dan fermentasi media cair. Pengolahan limbah padat lebih mungkin
menggunakan metode fermentasi media padat. Peningkatan
Metode Pengolahan Limbah untuk Pakan Ternak
| 69
kualitas bahan lignoselulosa menjadi bahan pakan ternak telah lama dilakukan. Paling sedikit terdapat 3 cara dalam
peningkatan bahan lignoselulosa menjadi pakan ternak menggunakan mikroorganisme Gambar 22. Cara pengolahan
tergantung pada penggunaan produk akhir apakah untuk ternak ruminansia atau ternak monogastrik.
Gambar 22. Jalur biokonversi lignoselulosa untuk produksi pakan dan pangan Komponen lignoselulosa yang dapat dimanfaatkan oleh ternak
adalah selulosa dan hemiselulosa. Sebagian kapang ligninolitik tidak mempunyai kemampuan menggunakan lignin sebagai
sumber tunggal untuk energi dan karbon dan banyak tergantung pada polisakarida yang mudah tercerna di dalam substrat.
Masalah yang sering timbul dalam proses pengolahan bahan lignoselulosa dengan mikroorganisme adalah kehilangan bahan
organik substrat yang digunakan oleh mikroorganisme sebagai sumber nutrien dalam proses biokonversi. Mikroorganisme yang
ideal dalam biokonversi lignoselulosa menjadi pakan ternak adalah mikroorganisme yang mempunyai kemampuan besar
dalam mendekomposisi lignin tetapi rendah daya degradasinya terhadap selulosa dan hemiselulosa. Secara umum kapang white-
rot dibagi menjadi tiga kelompok Zadrazil 1984 yaitu [1] kapang yang menguraikan selulosa dan hemiselulosa lebih
dahulu kemudian lignin, [2] lebih banyak memetabolisme lignin lebih dahulu kemudian selulosa dan hemiselulosa dan [3]
mampu mendegradasi semua polimer dinding sel secara simultan.
PAKAN :
campuran miselia-substrat
PANGAN :
kapang
PST PST PST PST
perlakuan panas-alkali
gula C5, C6
lignin hidrolisis
glukosa fermentasi
bakteri, khamir selulosa
lignin + gula C5, C6 fermentasi
mikroorganisme selulolitik
fermentasi bakteri, khamir
LIGNOSELULOSA penggunaan langsung
Gula C5C6 lignin
tanpa perlakuan pendahuluan dilarutkan
dilarutkan pem anasan, iradiasi, hidrolisis
asam atau enzim atis fermentasi substrat padat white
rot fungi fermentasi
bakteri, khamir
Metode Pengolahan Limbah untuk Pakan Ternak
| 70
Biokonversi Lignoselulosa Biokonversi lignoselulosa secara alami berjalan lambat dan
hanya dapat dilakukan oleh sedikit mikroorganisme dikarenakan strukturnya yang kompleks dan heterogen.
Degradasi komponen lignoselulosa melibatkan aktivitas sejumlah enzim seperti peroksidase, fenol oksidase, selulase,
hemiselulase dan gula oksidase. Sejumlah bakteri dan kapang mampu menghidrolisis selulosa sampai tahap tertentu, namun
hanya sedikit mikroorganisme yang mampu mendegradasi lignin. Mikroorganisme yang dapat mendegradasi lignin adalah
kapang tingkat tinggi seperti Basidiomycetes. Basidiomycetes pendegradasi lignoselulosa dikelompokkan menjadi dua grup
utama, yaitu
brown-rot fungi
dan
white-rot fungi. Brown-rot fungi
melepaskan selulosa dari substrat, tetapi masih meninggalkan polimer lignin.
White-rot fungi
mendegradasi lignin dan membuka selulosa terhadap serangan enzimatik Takano dkk. 20 04.
Kapang ini menguraikan lignin dalam substrat sehingga dapat menembus selulosa dan hemiselulosa yang melekat pada matriks
lignin dan dapat menghasilkan pakan ternak ruminansia berkualitas tinggi atau penggunaan polisakarida yang dibebaskan
melalui hidrolisis dan fermentasi untuk menghasilkan bahan bakar atau bahan kimia.
Sumber dan tipe agen biokonversi berpengaruh sangat besar terhadap kecepatan, efiseinsi dan kesempurnaan degaradasi.
Aplikasi sistem biokonversi bahan lignoselulosa dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya: kultur organisme murni,
isolat enzim bebas dan sistem kompleks cairan rumen.
1. Mikroorganisme pendegradasi Lignoselulosa Perombakan komponen lignoselulosa melibatkan sejumlah
enzim yang dihasilkan oleh beberapa jenis mikroorganisme. Mikroorganisme ideal dalam meningkatkan kualitas bahan
lignoselulosa sebagai pakan ternak harus mempunyai kemampuan memetabolis lignin yang kuat dengan tingkat
degradasi selulosa dan hemiselulosa yang rendah. Sekelompok mikroorganisme mampu mendegradasi lignin, namun hanya
kapang pelapuk putih
white-rot fungi
yang mampu mendegradasi lignin secara efektif. Beberapa mikroorganisme yang sering
digunakan dalam meningkatkan kualitas pakan kasar antara lain jamur dari genus
Volvariella
, kapang dari genus
Basidiomycetes,
kapang
Trichoderma viride
dan jamur
Pleurotus spesies.
J amur dari genus
Volvariella V. volvacea, V. esculenta,
dan
V. displasia
dapat tumbuh pada merang padi dan bahan selulosik yang lain. Bekas media tumbuh jamur dapat digunakan sebagai pakan
ternak.
Metode Pengolahan Limbah untuk Pakan Ternak
| 71
Kapang pembusuk kayu seperti
P. chrysosporium
dapat memecah lignin dan selulosa pada kayu. Kapang jenis ini mempunyai sifat:
membentuk spora yang cukup banyak dan mudah dipindahkan, bersifat
thermotoleran
sehingga dapat tumbuh pada suhu 25
O
C ataupun 35-40
o
C dan memerlukan bahan nutrisi yang mudah diperolehh.
Kapang
Trichoderma viride
dan beberapa mutannya merupakan salah satu jenis kapang yang dapat menghasilkan enzim cukup
banyak dan bersifat cukup stabil. Kapang ini dapat tumbuh dengan baik pada media sederhana dengan pH 5.0 sampai 2.5,
jadi dapat menekan kontaminasi bakteri dan mikroba lain.
J amur dari genus
pleurotus
dapat memecah lignin dan polisakarida kayu menjadi produk kaya protein.
P. ostreatus
jamur tiram dan
P. florida
dapat tumbuh pada temperatur optimum mendekati 30
o
C. Media tumbuh jamur genus ini berupa campuran serbuk gergaji,
sisa butiran, manure kotoran hewan dan limbah pengolahan pangan.
2. Degradasi Lignin Lignin merupakan senyawa polimer aromatik yang sulit
didegradasi dan hanya sedikit organisme Tabel 37 yang mampu mendegradasi lignin, diantaranya kapang pelapuk putih. Kapang
mendegradasi lignin menjadi produk yang larut dalam air dan CO
2
. Beberapa kapang, diantaranya
Phanerochaete chrysosporium
dapat mendegradasi lignin dan berbagai polutan aromatik selama fase
pertumbuhan
stationary
yang dipacu oleh kekurangan nutrisi dalam substrat. Kapang ini menghasilkan dua peroksidase yaitu
Lignin Peroxidase LiP dan Mangannese Peroxidase MnP yang mempunyai peranan penting dalam proses perombakan
lignin Gambar 3. LiP merupakan katalis utama dalam proses ligninolisis oleh kapang karena mampu memecah unit non
fenolik yang menyusun sekitar 90 persen struktur lignin Srebotnik dkk. 1994. LiP dan MnP mempunyai mekanisme
yang berbeda dalam proses ligninolisis. MnP mengoksidasi Mn
2+
menjadi Mn
3+
yang berperan sebagai dalam pemutusan unit fenolik lignin. LiP mengkatalis oksidasi senyawa aromatik non
fenolik. Mekanisme LiP dalam dalam mengkatalis reaksi masih belum jelas, apakah berinteraksi langsung dengan lignin atau
melalui perantaraan radikal.
Metode Pengolahan Limbah untuk Pakan Ternak
| 72
Tabel 37. Organisme yang mampu menghasilkan LiP dan atau MnP
Mikroorganisme Enzim yang dihasilkan
Metode deteksi
Bjerkandera adustus
LiP Aktivitas enzim, hibridasi
Ceriporiopsis subvermispora
MnP Aktivitas enzim, hibridasi
Chrysonilia sitophila
LiP Aktivitas enzim
Chrysosporium pruinosum
LiP Aktivitas enzim
Coriolopsis occidentalis
LiP Aktivitas enzim
Coriolopsis polkyzona
MnP Aktivitas enzim
Coriolus consors
LiP Hibridasi
Coriolus hirsutus
LiP Aktivitas enzim
Dichomitussqualens
MnP Aktivitas enzim
Ganoderma valesiacum
MnP Aktivitas enzim
Lentinula edodes
MnP Aktivitas enzim, antibodi
Panus tigrinus
MnP Aktivitas enzim
Phanerochaete chrysosporium
LiP, MnP Aktivitas enzim
Phellinus pini
LiP Antibodi
Phlebia brevispora
LiP, MnP Aktivitas enzim, hibridasi
Phlebia radiata
LiP, MnP Aktivitas enzim, hibridasi
Polyporus ostreiformis
LiP Aktivitas enzim
Rigidoporus lignosus
MnP Aktivitas enzim
Stereum hirsutum
MnP Aktivitas enzim
Trametes gibbosa
LiP, MnP Aktivitas enzim
Trametes versicolor C. versicolor
LiP, MnP Aktivitas enzim, hibridasi
Trametes villosa
MnP Aktivitas enzim
Sumber : Orth dkk . 1993
LiP mengkatalis suatu oksidasi senyawa aromatik non fenolik lignin membentuk radikal kation aril. Disamping itu, karena LiP
merupakan oksidan yang kuat maka enzim ini juga mempunyai kemampuan mengokasidasi senyawa fenolik, amina, eter
aromatik dan senyawa aromatik polisiklik Perez dkk. 20 0 2. Oksidasi substruktur lignin yang dikatalis oleh LiP dimulai
dengan pemisahan satu elektron cincin aromatik substrat donor dan menghasilkan radikal kation aril, yang kemudian mengalami
berbagai reaksi postenzymatic Hammel 1997. LiP memotong ikatan C
α
-C
β
molekul lignin. Pemotongan ikatan pada posisi C
α
- C
β
merupakan jalur utama perombakan lignin oleh berbagai kapang pelapuk putih Hammel 1996.
Metode Pengolahan Limbah untuk Pakan Ternak
| 73
hypha
glyoxal oxidase
lignin peroxidase + H
2
O
2
veratryl alcohol
manganese peroxidase + Mn
2+
+ unsaturated lipid manganese peroxidase + H
2
O
2
phenoxy radical benzylic radical
cation radical Many
product
Many product
spontaneous
Gambar 23. Skema sistem degradasi lignin oleh
Phanerochaete chrysosporium
Akhtar dkk. 1997 3. Degaradasi Selulosa
Degradasi selulosa merupakan proses pemecahan polimer anhidroglukosa menjadi molekul yang lebih sederhana. Proses
ini akan menghasilkan oligo, di atau trisakarida seperti selobiosa dan selotriosa, glukosa monomer dan terkhir CO2 dan air.
Degradasi selulosa dapat dilakukan secara biologis dengan bantuan enzim dan secara nonbiologis baik secara fisik maupun
kimiawi. Sejumlah besar fungi dan bakteri Tabel 38 mampu menghidrolisis selulosa sampai taraf tertentu. Mikroba
menggunakan selulosa sebagai sumber energi dan karbon. Degradasi selulosa oleh fungi merupakan hasil kerja sekelompok
enzim selulolitik yang bekerja secara sinergis. Sistem enzim selulolitik terdiri dari tiga kelompok utama yaitu :
a
endoglucanases
atau
1,4-β-D-glucan-4-glucanohydrolases
EC 3.2.1.4 b
exoglucanases
, yang meliputi
1,4-β-D-glucan glucanohydrolases
atau
cellodextrinases
EC 3.2.1.74 dan
1
,4-β-D-glucan cellobiohydrolases
atau
cellobiohydrolases
EC 3.2.1.91 c
β-glucosidases
atau
β-glucoside glucohydrolases
EC 3.2.1.21 Enzim
endoglucanase
menghidrolisis secara acak bagian amorf selulosa serat menghasilkan oligosakarida dengan panjang yang
berbeda dan terbentuknya ujung rantai baru. Enzim
exoglucanase
Metode Pengolahan Limbah untuk Pakan Ternak
| 74
bekerja terhadap ujung pereduksi CHBI dan non-pereduksi CHBII rantai polisakarida selulosa dan membebaskan glukosa
yang dilakukan oleh enzim
glucanohydrolase
atau selobiosa yang dilakukan oleh enzim
cellobiohydrolase
sebagai produk utama Lynd dkk. 2002. Hidrolisis bagian berkristal selulosa hanya dapat
dilakukan secara efiesien oleh enzim
exoglucanase
Perez dkk. 2002; Lynd dkk. 200 2. Hasil kerja sinergis endoglucanase dan
exoglucanase menghasilkan molekul selobiosa. Hidrolisis selulosa secara efektif memerlukan enzim
β-glucosidase yang memecah selobiosa menjadi 2 molekul glukosa Gambar 24.
Gambar 24. Skema hidrolisis selulosa menjadi glukosa Tabel 38. Mikroba yang mampu mendegradasi selulosa
Fungi
Acremonicella atra Caniothrium minitans
Penicillium funiculosum Acremonium furcatum
Cordana pauciseptata Petriellidium boydil
Allesciaeizia teretris Corydne sarcoides
Phialocephala sp Arthrodotris superba
Dictyosporium elegans Phialocephala fastigiata
Aspergilus fumigatus Doratomices microsphorus Phialocephala
gregata Aspergilus terreus
Fusarium solani Phialocephala hoffmanii
Bispora betulina Gliocladium catenulatum
Phialocephala lignicola Botrytrichum sp.
Gliocladium penicillidides Phoma empyzena
Catenularia heimii Gliocladium viride
Phoma glomerata Ceratocystis cana
Gonatobotrys sp Pseudeorotium zonatum
Ceratocystis picea Graphium sp
Rhinoclapiella anceps Ceratocystis tetroppii
Humicola alopallonella Rhinoclapiella compacta
Chaetomium elatum Humicola brevis
Scytalidium album Chaetonium funicola
Humicola grisea Scytalidium lignicola
Chaetonium globosum Humicolanigrescens
Sporotricnum thermophium Chaetonium thermophilum
Myrothecium verrucatia Stachybotrys atra
Chloridium chamydosporum Odidiodenrom grizeum
Trichoderma polysporum Chrysosporium pannoizum
Odidiodendron tenuissimim Trichoderma viride
Coniothrium fockelii Wardomyces inflatus
glukosa selobiosa
endoglucanase β-glucosidase
Exoglucanase CHBI Exoglucanase CHBII
Metode Pengolahan Limbah untuk Pakan Ternak
| 75
Bakteri
Actinomyces cellulosae Cellulomonas flaviena
Angiococcus cellulosum Cellulomonas galba
Bacillus celluossae disolvens Cellulomonas gelida
Bacillus cellulosam fermentans Cellulomonas pusilla
Cellulomonas acidula Cellulomonas uda
Cellulomonas aurogena Clostridium cellulosolvents
Cellulomonas biazotea Polyangium cellulosum
Cellulomonas cellasea Sporangium cellulosum
Cellulomonas fimi Streptomyces celluloflavus
Sumber : Judoamidjojo dkk. 1989 4. Degradasi Hemiselulosa
Hemiselulosa mengalami biodegradasi menjadi monomer gula dan asam asetat dengan bantuan enzim hemiselulase.
Hemiselulase seperti kebanyakan enzim lainnya yang dapat menghidrolisis dinding sel tanaman merupakan protein multi-
domain. Xilan merupakan karbohidrat utama penyusun hemiselulosa Perez dkk. 20 02 dan Xylanase merupakan
hemiselulase utama yang menghidrolisis ikatan
β-1,4 rantai xilan Howard dkk. 200 3. Kapang
P. chrysosporium
menghasilkan
endoxylanase
yang berperan dalam pemecahan xilan menjadi oligosakarida Perez dkk. 2002. Hidrolisis hemiselulosa juga
membutuhkan enzim pelengkap yang bekerja secara sinergis dalam menguraikan xilan dan mannan Tabel 39.
Tabel 39. Enzim Hemiselulase dan Substrat yang dihidrolisis Enzim
Substrat Nomor EC
Exo- β-1,4-xylosidase
β-1,4-Xylooligomers xylobiose 3.2.1.37
Endo- β-1,4-xylanase
β-1,4-Xylan 3.2.1.8
Exo- β-1,4-mannosidase
β-1,4-Mannooligomers mannobiose 3.2.1.25
Endo- β-1,4-mannanase
β
-1,4-Mannan 3.2.1.78
Endo- α-1,5-arabinanase
α-1,5-Arabinan 3.2.1.99 α-L-arabinofuranosidase
α-Arabinofuranosyl12 atau 13 xylooligomers α- 1,5-arabinan
3.2.1.55 α-Glucuronidase 4-O-Methyl-α- glucuronic acid 12 xylooligomers
3.2.1.139 α-Galatosidase
α-Galactopyranose 16 mannooligomer 3.2.1.22
Endo-galactanase
β
-1,4-Galactan 3.2.1.89
β
-Glucosidase
β
-Glucopyranose 1 6 mannopyranose
3.2.1.21 Acetyl xylan esterases
2- atau 3-O Acetyl xylan 3.2.1.72
Acetyl mannan esterase 2- atau 3-O Acetyl mannan
3.1.1.6 Ferulic and p-cumaric acid seterase
2- atau 3-O Acetyl mannan 3.1.1.73
Sumber: Howard dkk. 2003
Metode Pengolahan Limbah untuk Pakan Ternak
| 76
Pembuatan Silase Silase merupakan suatu produk yang dihasilkan melalui proses
fermentasi terkontrol suatu bahan berkadar air tinggi. Bahan yang dijadikan silase biasanya berupa hijauan makanan ternak
rumput dan legum dan hasil tanaman pertanian dan produk ikutannya serta beberapa bahan asal ternak dan ikan. Tujuan
utama pembuatan silase adalah untuk mengawetkan, menurunkan antinutrisi dan mengurangi kehilangan zat
makanan suatu bahan baku untuk dimanfaatkan pada masa mendatang. Silase dibuat jika produksi bahan baku dalam
jumlah yang banyak atau pada fase pertumbuhan dengan kandungan zat makanan optimum.
Proses ensilase meliputi dua fase yaitu fase aerobik dan fase anaerobik. Fase aerobik terjadi dengan adanya oksigen, yang
dimanfaatkan oleh tanaman untuk proses respirasi. Enzim tanaman dan mikroorganisme memanfaatkan oksigen dan
mengoksidasi karbohidrat mudah larut
water soluble carbohydrate = WSC
menjadi karbondioksida dan panas. Fase anaerobik dimulai jika oksigen yang ada telah habis digunakan untuk respirasi.
Bakteri anaerobik dengan cepat berkembang dan proses fermentasi dimulai. Mikroorganisme yang diharapkan tumbuh
dengan cepat adalah bakteri
Lactobacillus
yang menghasilkan asam laktat. Asam laktat menurunkan pH silase. Pengurangan fase
aerobik dengan menghilangkan kandungan oksigen dari bahan merupakan faktor yang sangat penting untuk menghasilkan
silase yang baik.
Kualitas dan nilai nutrisi silase dipengaruhi sejumlah faktor seperti spesies tanaman yang dibuat silase, fase pertumbuhan
dan kandungan bahan kering saat panen, mikroorganisme yang terlibat dalam proses dan penggunaan bahan tambahan
additive
. Prinsip pembuatan silase adalah memacu terciptanya kondisi
anaerob dan asam dalam waktu singkat. Ada 3 hal penting agar diperoleh kondisi tersebut yaitu menghilangkan udara dengan
cepat, menghasilkan asam laktat yang membantu menurunkan pH, mencegah masuknya oksigen ke dalam silo dan
menghambat pertumbuhan jamur selama penyimpanan Gambar 25.
Fermentasi silase dimulai saat oksigen telah habis digunakan oleh sel tanaman. Bakteri menggunakan WSC dalam
menghasilkan asam laktat untuk menurunkan pH silase. Tanaman di lapangan mempunyai pH yang bervariasi antara 5
dan 6, setelah difermenatsi turun menjadi 3.6 – 4.5. Penurunan pH yang cepat membatasi pemecahan protein dan menghambat
pertumbuhan mikroorganisme anaerobik merugikan seperti
enterobacteria
dan
clostridia.
Produksi asam laktat yang berlanjut
Metode Pengolahan Limbah untuk Pakan Ternak
| 77
akan menurunkan pH yang dapat menghambat pertumbuhan semua bakteri Gambar 26
Gambar 25. Peristiwa dan faktor yang mempengaruhi proses fermentasi silase
Gambar 26. Perubahan selama proses ensilase Van Soest 1994 1. Menghilangkan oksigen dari Bahan Silase
. Proses ensilase terjadi dalam kondisi tanpa oksigen anaerobik,
bakteri yang bekerja dalam memproduksi asam laktat adalah bakteri anaerob. Oksigen yang terdapat pada bahan silase dan
silo dapat mempengaruhi proses dan hasil yang diperoleh. Proses respirasi tanaman akan tetap berlangsung selama masih
tersedia oksigen. Respirasi dapat meningkatkan kehilangan bahan kering, mengganggu proses ensilase, menurunkan nilai
nutrisi dan kestabilan silase.
Kadar Air Panjang Pemotongan
Penyegealan silo Asam propionat
Amonia
Kadar Air Panjang Pemotongan
Pengepakan
Penghilangan Udara Tipe Bakteri
J umlah Bakteri Buffering Capacity
Gula terfermentasi Inokulasi Mikroba
Enzim PENGHILANGAN
AIR DENGAN CEPAT
2-3 HARI FERMENTASI
MASA PENYIMPANAN 6.0
4.5 4.0
PENURUNAN pH DENGAN CEPAT
MENCEGAH PENETRATSI UDARA KE DALAM SILO DAN PENGHAMATAN JAMUR
p H
s il
as e
FERMENTASI DENGAN BAL HOMOLACTIC
FERMENTASI J ELEK
FERMENTASI NORMAL
FASE AEROBIK
FASE LAG
FASE FERMENTASI
OKSIGEN BAKTERI
pH L
E V
E L
WAKTU HARI FASE
STATIS 1
2 14
Metode Pengolahan Limbah untuk Pakan Ternak
| 78
a. Respirasi sel tanaman. Aktivitas sel tanaman tidak segera terhenti setelah dipanen, sel
meneruskan respirasi selama masih cukup tersedia karbohidrat dan oksigen. Oksigen dibutuhkan untuk proses respirasi yang
menghasilkan energi untuk fungsi sel. Karbohidrat dioksidasi oleh sel tanaman dengan adanya oksigen menjadi
karbondioksida CO
2
, air H
2
O dan panas. Panas yang dihasilkan selama proses respirasi tidak dapat segera
hilang, sehingga temperatur silase dapat meningkat. Peningkatan temperatur dapat mempengaruhi kecepatan reaksi
dan merusak enzim McDonald dkk. 1991. Enzim merupakan protein yang akan mengalami denaturasi pada temperatur tinggi.
Peningkatan tempetarur juga dapat mempengaruhi struktur silase misalnya perubahan warna silase menjadi gelap Van Soest
1994.
Peningkatan temperatur silase dapat dibatasi dengan pemanenan tanaman pada kadar air yang tepat dan dengan meningkatan
kepadatan
bulk density
silase. Tabel 40 menggambarkan hubungan antara temperatur, kandungan bahan kering dan
kepadatan bahan dalam silo. Pemadatan bahan baku silase terkait dengan ketersediaan oksigen di dalam silo, semakin padat
bahan, kadar oksigen semakin rendah sehingga proses respirasi semakin pendek.
Tabel 40. Peningkatan temperatur dalam silo dengan berbagai tingkat kepadatan dan kandungan bahan kering KEPADATAN lbsft
3
KANDUNGAN BAHAN KERING 20
30 40
50 60
70 …..………….
O
F …………………… 20
4.8 5.3
6.0 6.8
7.8 9.0
30 2.5 2.8 3.2 3.7 4.3 5.0
40 1.4
1.6 1.9
2.2 2.5
3.0 50
0.7 0.8 1.0 1.2 1.5 1.8 60
0.2 0.3
0.5 0.6
0.8 1.0
Sumber: Coblentz 2003 Beberapa jenis bahan secara alami memperangkap lebih banyak
udara dalam silase. Dengan pengelolaan yang baik, oksigen dapat hilang dari silase dalam 4 sampai 6 jam Coblentz 2003.
Pembatasan respirasi dapat dilakukan dengan pemotongan langsung, pemadatan dan pelayuan. Untuk menjamin proses
fermenatsi berjalan dengan baik, bahan harus mengandung kadar air sekitar 60-70.
b. Pengaruh oksigen terhadap fermentasi. Oksidasi gula tanaman melalui proses respirasi mempunyai
pengaruhi negatif terhadap karakterisitik fermentasi. Gula tanaman berperan sebagai substrat utama bagi bakteri penghasil
Metode Pengolahan Limbah untuk Pakan Ternak
| 79
asam laktat yang dominan dalam fermentasi silase. Produksi asam laktat oleh BAL menurunkan pH menurunkan keasaman
silase dan menjadi kunci stablitas dan pengawetan silase. Respirasi yang berlebihan atau dalam waktu lama dapat
mengurangi ketersediaan substrat dalam produksi asam laktat, sehingga dapat menurunkan potensi proses fermentasi yang
baik.
c. Pengaruh oksigen terhadap nilai nutrisi. Respirasi yang berlebihan dapat mempengaruhi nilai nutrisi
silase. Oksidasi gula tanaman menurunkan energi dan secara tidak langsung meningkatkan komponen serat hijauan.
Temperatur silase yang berlebihan menyebabkan pembentukan produk-produk reaksi Maillard, dimana senyawa yang
mengandung protein tidak tercerna di dalam saluran pencernaan ternak ruminansia. Kondisi anaerob yang lambat tercapai
memungkinkan berkembangan bakteri aerob yang dapat mendegradasi protein proteolitik menjadi amonia.
d. Pengaruh oksigen terhadap kestabilan silase. Silase yang difermentasi dengan baik akan menghasilkan pH
yang lebih rendah. Kondisi ini dapat dimaksimalkan jika gula difermentasi menjadi asam laktat. Silase akan tetap stabil untuk
waktu yang tak terbatas selama udara tidak dapat masuk ke dalam silo. J ika udara oksigen dapat masuk, populasi yeast dan
jamur akan meningkat dan menyebabkan panas dalam silase karena proses respirasi. Akibat lain adalah kehilangan bahan
kering dan mengurangi nilai nutrisi silase. Beberapa spesies jamur pada kondisi tersebut dapat menghasilkan mikotoksin dan
substansi lain yang mengganggu kesehatan ternak.
2. Kadar Air Salah satu faktor yang mempengaruhi proses fermentasi adalah
kadar air bahan baku. Secara umum, kadar air optimum untuk dalam pembuatan silase sekitar 65 Coblentz 2003. Tingkat
kadar ini dapat memudahkan proses fermentasi dan biasanya membantu menghilangkan oksigen selama proses pemgemasan.
Proses ensilase pada kadar air lebih dari 70 tidak dianjurkan. Bahan baku silase dengan kadar air tinggi pada proses ensilase
menyebabkan kurang masam dan mempunyai konsentrasi asam butirat dan N-amonia yang tinggi. Bahan baku yang diensilase
pada kadar air yang rendah
50 berakibat pada fermentasi yang terbatas, sehingga menghasilkan silase yang kurang stabil
dengan konsentrasi asam laktat rendah dan pH lebih tinggi. Bahan dengan kadar air rendah lebih sulit untuk menghilangkan
oksigen dari bahan silase sewaktu pemasukan dan pengemasan.
Metode Pengolahan Limbah untuk Pakan Ternak
| 80
3. Faktor bahan baku Silase dapat dibuat dari berbagai jenis tanaman seperti rumput,
legum, sereal dan hasil ikutan tananam lainnya. Bahan yang baik dijadikan silase harus mempunyai substrat mudah terfermentasi
dalam bentuk WSC yang cukup,
buffering capacity
yang relatif rendah dan kandungan bahan kering di atas 20 0 g kg
-1
McDonal dkk. 1991. WSC tanaman umumnya dipengaruhi oleh spesies,
fase pertumbuhan, budidaya dan iklim. Tanaman yang dipupuk dengan nitrogen dalam level yang tinggi
umumnya tidak menghasilkan silase yang lebih baik dibandingkan dengan tanaman yang dipupuk dengan level yang
biasa.
Tanaman merubah energi dari matahari menjadi gula sehingga konsentrasi gula secara umum lebih tinggi pada sore atau malam
hari. Konsentrasi gula menurun pada malam hari melalui proses respirasi dalam tanaman dan lebih rendah lagi pada pagi hari.
Fase pertumbuhan tanaman juga mempengaruhi ratio batang dan daun, yang akan mempengaruhi kandungan gula tanaman.
4. Aditif Silase Aditif silase dapat dibagi menjadi 3 kategori umum yaitu a.
stimulan fermentasi, seperti inokulan bakteri dan enzim; b. inhibitor fermentasi seperti asam propionat, asam format dan
asam sulfat; dan c. substrat seperti molases, urea dan amonia.
a. Stimulan fermentasi Tanaman secara alami mengandung beberapa tipe bakteri baik
yang menguntungkan maupun merugikan Tabel 41. Beberapa produk akhir dapat dihasilkan dalam proses fermentasi Tabel
42 dan beberapa diantaranya dapat menurunkan kualitas silase yang dihasilkan. Konsep penambahan inokulan bakteri adalah
untuk memacu pertumbuhan bakteri asam laktat BAL homofermentatif yang dapat segera menghasilkan asam laktat
untuk menurunkan pH silase. Beberapa BAL yang digunakan sebagai inokulan pada silase dan alasan penggunaannya
ditampilkan pada Tabel 43.
Karakteristik dasar yang harus dimiliki oleh inokulan bakteri antara lain dapat beradaptasi pada bahan berkadar air tinggi,
dapat beradaptasi dengan temperatur lingkungan, toleransi terhadap keasaman, menghasilkan bakteriosin, dan berperan
sebagai probiotik Ohmomo dkk. 2002.
Metode Pengolahan Limbah untuk Pakan Ternak
| 81
Tabel 41. Mikrooragnisme yang mungkin terdapat selama ensilase
ORGANISME KONDISI YANG DIPERLUKAN
PRODUKEFEK UTAMA BAKTERI ASAM
LAKTAT BAL Anaerobik; pelayuan hijauan sangat diperlukan;
hijauan dipotong untuk perkembangan BAL yang cepat.
Jalur homofermentatit: asam laktat dan beberapa asam asetat
Jalur heterofermentatif: asam laktat, ethanol, mannitol, asam asetat dan CO
2
. Clostridia
Anaerobik; hijauan segar. Spesies Saccharolytic: asam butirat, CO
2
dan H
2
. Spesies Proteolytic: asam butirat, asam asetat,
amina, CO
2
dan NH
3
. Enterobacteria
Anaerobik; pH optimum 7.0; aktif pada fase awal fermentasi
Asam asetat, ethanol, CO
2
H
2
dan NH
3
. Listeria
Aerobik; pH di atas 5.5; tumbuh pada silase dengan temperatur rendah dan BK tinggi
Listeriosis, terutama pada domba. Fungi
Aerobik; aktif pada lapisan atas silase Spora dan mikotoksin
Tabel 42. Beberapa produk akhir proses fermentasi
ITEM PENGARUH
KERJA pH
+ pH rendah menghambat aktivitas bakteri
Asam Laktat +
Menghambat aktivitas bakteri dengan menurunkan pH Asam Asetat
- Berhubungan dengan fermentasi yang merugikan
+ Menghambat pembusukan aerobik oleh yeast
Asam Butirat -
Berkaitan dengan degradasi protein, pembentukan toksin dan meningkatkan kehilangan bahan kering dan energi
Ethanol -
Petunjuk terjadinya frementasi oleh yeast dan kehilangan bahan kering yang tinggi Amonia
- Menunjukan pemecahan protein
AcidDetergent Insoluble Nitrogen ADIN
- Menunjukkan kerusakan protein karena panas dan rendah kandungan energi
Populasi bakteri dalam inokulan harus dalam jumlah yang cukup untuk proses fermentasi yang efektif. Bakteri
Lactobaillus plantarum
dianjurkan mempunyai konsentrasi akhir sebesar 100.0 00 10
5 colony forming unit
CFU per gram bahan baku. Penambahan 2 sampai 3 kali 20 0.0 00 – 300.000 lebih menguntungkan, tetapi
penambahan hingga 1.000.00 0 10
6
CFU gram
-1
tidak lagi menguntungkan Kung 2001.
Metode Pengolahan Limbah untuk Pakan Ternak
| 82
Tabel 43. Beberapa bakeri yang biasa digunakan sebagai inokulan
ORGANISME TIPE ORGANISME
ALASAN PENGGUNAAN PRODUK AKHIR UTAMA
Lactobacillus plantarum
BAL, HOMOLAKTIK -
cepat menghasilkan asam laktat -
relatif toleran asam Asam laktat
Pediocococcus acidilactici,
Pediocococcus cerevisiae
BAL, HOMOLAKTIK -
cepat menghasilkan asam laktat -
tumbuh lebih cepat daripada Lactobacillus -
Beberapa starin dapat tumbuh baik pada temperatur lebih dingin
- Beberapa strain mempunyai osmo toleransi
yang baik Asam laktat
Enterococcus faecium
BAL, HOMOLAKTIK -
cepta menghasilkan asam laktat - tumbuh lebih cepat daripada Lactobacillus
Asam laktat
Propionibacterium shermanii,
Propionibacterium jensenii
PROPIONI BAKTERI
- Menghasilkan senyawa antifungi
Asam propionat asam asetat CO
2
Lactobacillus buchneri
BAL, HETEROLAKTIK - Menghasilkan senyawa antifungi
Asam laktat, asam asetat, propanediol CO
2
Sumber: Kung 2001 Bakteri bukan penghasil asam laktat non-BAL juga dapat
digunakan sebagai inokulan, contohnya
Propionibacteria
. Bakteri ini dapat mengubah asam laktat dan glukosa menjadi asam asetat
dan propionat yang berfungsi sebagai antifungi. Inokulasi
P. shermanii
dapat mencegah pertumbuhan jamur pada silase jagung berkadar air tinggi jika pH lebih besar dari 4.5 Flores-Galaraza
dkk. 1985 dan meningkatkan stabilitas aerobik. Enzim yang ditambahkan ke dalam silase dapat mendegradasi
sebagian serat menjadi karbohidrat mudah larut WSC yang digunakan oleh BAL. Bakteri asam laktat tidak dapat
menggunakan serat sebagai sumber energi untuk membentuk asam laktat. Kompleks enzim selulase dan hemiselulase
merupakan enzim yang sering dicampurkan dengan mikroorganime sebagai inokulan silase.
b. Inhibitor fermentasi. Aditif yang bersifat menghambat pertumbuhan mikroba
biasanya digunakan dalam pembuatan silase dimana kondisi ideal pembuatan silase tidak tercapai, misalnya kadar air yang
tidak mungkin untuk diturunkan karena kondisi iklim atau kandungan WSC yang rerndah. Proses pengawetan terjadi
karena tidak aktifnya bakteri pembusuk akibat turunnya pH secara drastis. Beberapa aditif yang bersifat menghambat adalah
asam format, asam propionat, asam klorida dan asam sulfat. Asam propionat mempunyai aktivitas sebagai antimikotik yang
efektif mengurangi
yeast
dan jamur yang bertanggung jawab terhadap kerusakan aerobik silase. Aditif jenis ini sering
Metode Pengolahan Limbah untuk Pakan Ternak
| 83
ditambahkan pada pembuatan silase yang berasal dari limbah pengolahan perikanan.
c. Substrat Penambahan substrat sebagai sumber WSC adalah hal yang biasa
dilakukan disamping inokulasi bakteri. Penambahan sumber WSC akan membantu mempercepat tercapainya kondisi asam
karena bakteri dapat dengan mudah memanfaatkan WSC untuk menghasilkan asam laktat. Sisi positif lain penambahan aditif
WSC dapat mengurangi kehilangan bahan kering silase akibat perubahan WSC bahan menjadi asam laktat. Molases, glukosa,
sukrosa, dan bahan-bahan lain yang mempunyai WSC tinggi dapat dijadikan sebagai aditif dalam proses fermentasi.
Terephthalic Acid
92-7
December 1993
CONTENTS Page
I SUMMARY
1
II INTRODUCTION
10
III COMMERCIAL TECHNOLOGY
12 A.
METALSBROMIDE-CATALYZED para-XYLENE OXIDATION 12
1. Generic Process
12 a
Chemistry 12
b Process Description
13 2.
EniChemTecnimonts PTA Process 18
a Background
18 b
Chemistry 19
c Process Description
20 1
CTA Production Process 20
2 PTA Production Process
24 d
Process Features 28
e Reference List
29 3.
Mitsui Petrochemicals PTA Process 29
a Background
29 b
Process Description 30
1 CTA Unit
30 2
PTA Unit 34
c Process Features
34 1
Low Investment Cost 35
2 High CTA and PTA Yields and Lower
Acetic Acid Consumption 35
3 Low Catalyst Consumption
36 4
Low Utility Consumption 36
5 Proven Design
36 6
Product Quality 37
d Reference List
37
B. SISAS PTA PROCESS
37 1.
Background 37
2. Process Description
38 a
Reaction Section 38
b Distillation Section
40 c
Purification Section 40
d Oxygen-Based Plant
40 3.
Process Features 41
C. HUELSS DMT PROCESS
41 1.
Process Description 41
2. Reference List
45 D.
GLITSCH TECHNOLOGYS DMT PROCESS 46
1. Background
46 2.
Process Description 47
a Oxidation Area
47 b
Esterification Area 50
c DMT Distillation Area
50 d
DMT Crystallization 51
3. Process Features
51 E.
OTHER PROCESSES 52
IV RECENT DEVELOPMENTS
56
V PROCESS ECONOMICS
63
VI COMMERCIAL ANALYSIS
73 A.
GLOBAL OVERVIEW 73
B. UNITED STATES
75 C.
WESTERN EUROPE 78
1. Pure Terephthalic Acid
78 2.
Dimethyl Terephthalate 81
D. PACIFIC RIM
84 1.
Regional Overview 84
2. Japan
89 3.
South Korea 92
4. Taiwan
95 5.
China 98
6. Indonesia
101 7.
Thailand 103
8. India
105
REFERENCES
109
APPENDIX
110 Process EvaluationResearch Planning, 1992-1993:
Elements of Chem Systems Capital Cost Estimates
FIGURES Page
Figure I.1 U.S. Gulf Coast Terephthalic Acid Production Costs,
Second Quarter 1993 5
Figure III.A.1 Block Flow Diagram of Generic Crude Terephthalic
Acid Process 14
Figure III.A.2 Block Flow Diagram of Generic Purified Terephthalic
Acid Process 15
Figure III.A.3 EniChemTecnimonts Crude Terephthalic Acid Process
21 Figure III.A.4
EniChemTecnimonts Purified Terephthalic Acid Process 25
Figure III.A.5 Block Flow Diagram of Mitsui Petrochemicals CTA Unit
31 Figure III.A.6
Block Flow Diagram of Mitsui Petrochemicals PTA Unit 32
Figure III.B.1 SISAS Terephthalic Acid Process Flow Diagram
39 Figure III.C.1
Huelss Dimethyl Terephthalate Process 42
Figure III.D.1 Glitschs DMT Plant: OxidationStrippingEsterification
48 Figure III.D.2
Glitschs DMT Plant: Distillation and Crystallization 49
Figure IV.1 Acetic Acid Recovery via Extraction
60 Figure V.1
U.S. Gulf Coast Terephthalic Acid Production Cost Relative to para-Xylene Cost, Second Quarter 1993
65 Figure V.2
U.S. Gulf Coast Terephthalic Acid Cost Relative to Plant Investment Cost, Second Quarter 1993
66 Figure V.3
U.S. Gulf Coast Terephthalic Acid Cost Relative to Plant Capacity, Second Quarter 1993
67 Figure V.4
U.S. Gulf Coast Terephthalic Acid Production Costs, Second Quarter 1993
70 Figure VI.C.1
West European PTA SupplyDemand Balance 79
Figure VI.C.2 West European DMT SupplyDemand Balance
83
TABLES Page
Table III.A.1 Terephthalic Acid Step Efficiencies
18 Table III.A.2
Typical PTA Product Characteristics 28
Table III.A.3 Tecnimonts PTA Technology Licensees
29 Table III.A.4
MPCs PTA Technology Licensees 37
Table III.C.1 Huelss DMT Technology Licensees
45-46 Table IV.1
Summary of PTADMT Patents 57-59
Table IV.2 Characteristics of Neutralized Settled Influent
62 Table V.1
Cost Estimate of Purified Terephthalic Acid Production: EniChemTecnimont
64 Table V.2
Cost Estimate of Purified Terephthalic Acid Production: SISAS Acetaldehyde Promoter Process
68 Table V.3
Economic Summary of Terephthalic Acid Processes 69
Table V.4 Cost Estimate of Dimethyl Terephthalate Production:
Huelss Process 71
Table VI.A.1 Global PTADMT Demand PTA Equivalents
74 Table VI.A.2
Global PTADMT Supply PTA Equivalents 74
Table VI.A.3 Global PTADMT Net Trade PTA Equivalents
75 Table VI.B.1
U.S. DMTPTA Demand 76
Table VI.B.2 U.S. DMTPTA Capacity
77 Table VI.C.1
West European PTA SupplyDemand Balance 80
Table VI.C.2 West European PTA Capacity
80 Table VI.C.3
West European DMT Supply Demand Balance 81
Table VI.C.4 West European Dimethyl Terephthalate Capacity
82 Table VI.D.1
East Asian PTA Equivalents Demand 85
Table VI.D.2 East Asian PTA Equivalents Capacity
86 Table VI.D.3
East Asian PTA Equivalents Supply 87
Table VI.D.4 East Asian PTA Equivalents SupplyDemand Balance
88 Table VI.D.5
Japanese PTADMT Demand 89
TABLES Continued
Page
Table VI.D.6 Japanese PTADMT Capacity, 1992
90 Table VI.D.7
Japanese PTADMT SupplyDemand Balance 91
Table VI.D.8 South Korean PTA Demand
92 Table VI.D.9
South Korean DMT Demand 92
Table VI.D.10 South Korean PTADMT Capacity, 1992
93 Table VI.D.11
South Korean PTA SupplyDemand Balance 94
Table VI.D.12 South Korean DMT SupplyDemand Balance
94 Table VI.D.13
South Korean PTADMT SupplyDemand Balance 95
Table VI.D.14 Taiwanese PET Fiber Production
96 Table VI.D.15
Taiwanese PTADMT Demand 96
Table VI.D.16 Taiwanese PTA Capacity, 1992
97 Table VI.D.17
Taiwanese PTA SupplyDemand Balance 98
Table VI.D.18 Chinese PTADMT Demand
98 Table VI.D.19
Chinese PTADMT Capacity, 1992 100
Table VI.D.20 Chinese PTADMT SupplyDemand Balance
101 Table VI.D.21
Indonesian PTA Demand 102
Table VI.D.22 Indonesian PTA Capacity, 1992
102 Table VI.D.23
Indonesian PTA SupplyDemand Balance 103
Table VI.D.24 Thai PTADMT Demand
104 Table VI.D.25
Thai PTA Capacity, 1992 104
Table VI.D.26 Thai PTADMT SupplyDemand Balance
105 Table VI.D.27
Indian PTADMT Demand 106
Table VI.D.28 Indian PTADMT Capacity, 1992
107 Table VI.D.29
Indian PTADMT SupplyDemand Balance 108
U N E P P U B L I C A T I O N S
1
FOREWORD INTRODUCTION
Terephthalic Acid TPA CAS N°:100-21-0
U N E P P U B L I C A T I O N S
2
SIDS Initial Assessment Report For
12
th
SIAM
Paris, France June 2001
Chemical Name: Terephthalic Acid TPA
CAS No.: 100 -2 1-0
Sponsor Country: US +IT
National SIDS Contact Point in Sponsor Country: US EPA Dr. Oscar Hernandez
Ariel Rios Building 1200 Pennsylvania Avenue, N.W.
Washington, DC 20460 U.S.A .
HISTORY: SIAM 3 Agenda item but not discussed in detail. Member countries requested to comment for re-draft for future SIAM.
COMMENTS:
Deadline for circulation: Date of circulation: 2042001
U N E P P U B L I C A T I O N S
3
SIDS INITIAL ASSESSMENT PROFILE
CAS No. 100-21-0
Chemical Name Terephthalic acid
Structural Formula
COOH
COOH
RECOMMENDATIONS
The chemical is currently of low priority for further work.
SUMMARY CONCLUSIONS OF THE SIAR
Human Health
Results from repeated dose and acute toxicity studies via the oral, dermal and inhalation routes indicate that terephthalic acid is of low order of toxicity, and it is non-irritating to the skin and eyes. A 15 week oral repeat dose
study in rats reported a LOAEL of 3837 mgkg b.w.day for male rates and 4523 mgkgday for female rats. The NOAEL is 1220 mgkg b.w.day for male rats and 1456 mgkg b.w.day for female rats. Repeated exposure
inhalation studies up to 10 mgm
3
6 hoursday, 5 daysweek using rats or guinea pigs showed no adverse effects, except for mild respiratory irritation in one study with rats.
The primary adverse effect of high doses of terephthalic acid to rats is almost completely restricted to the urinary tract. These effects include formation of bladder calculi, and inflammatory changes and hyperplasia of the bladder
epithelium. These urinary changes did not occur when exposure was by inhalation. Rats fed terephthalic acid greater than 2 1000 mgkg b.w.day for two years developed bladder calculi, bladder hyperplasia, and bladder
tumors.
It is believed that the calculi injure the bladder epithelium and induce cell proliferation, which is probably a critical factor in the induction of bladder tumors by terephthalic acid. Bladder calculi cannot occur unless the solubility of
the stone components is exceeded i.e., unless the product of the concentrations of Ca
++
and terephthalate in urine exceeds the solubility product of the calcium-terephthalate complex. Based on urinary solubility of Ca-
terephthalate, normal human urine would become saturated with Ca-terephthalate at a terephthalic acid concentration of ap proximately 8 to 16 mM. Assuming that the average volume of urine excreted by humans is 1.5
litersday, the amount of terephthalic acid that would have to be absorbed to produce the minimum saturating concentration of terephthalic acid is 2400 mgday. It is unlikely that humans would ingest enough TPA to induce
bladder calculi, and this therefore is of little concern to human health.
Terephthalic acid is not a reproductive toxicant; however, in a one-generation reproduction feeding study, postnatal develop mental effects were observed in rats LOAEL and NOAEL approximately equivalent to 1120 mgkg
b.w.day and 280 mgkg b.w.day respectively. The adverse effects observed in the offspring appear to be the result of maternal toxicity and the formation of renal and bladder calculi in the weanling animals. No developmental
effects were seen in rats when the exposure was by inhalation NOAEC 10 mgm
3
, the highest dose tested. Terephthalic acid is not genotoxic. Terephthalic acid did not induce an increase in micronucleated polychromatic
erythrocytes micronuclei in male or female mice in vivo.
U N E P P U B L I C A T I O N S
4
Environment
Terephthalic acid TPA is non-toxic to aquatic organisms at concentrations lower than its water solubility 15 mgl at 10
o
C. Tests were performed with a more soluble sodium salt. The values for fish acute toxicity ranged from a 96- hour LC
of greater than 500 mgl to a 96-hour LC
50
ranging from 798 to 1640 mgl. The EC
50
for Daphnia was greater than 982 mgl and the 96-hour NOEC for Scenedesmus subspicicatus was greater than 1000 mgl. Using the
lowest reported LC
50
value of the three base set tests, a PNEC value of 8 mgl is calculated. TPA is not expected to bioaccumulate. It is subject to hydroxy radical oxidation in the atmosphere, and biodegrades in soil and surface
water under aerobic conditions. Detection of terephthalic acid in air and water samples has been in the low ppt range.
Exposure
Terephthalic acid is an industrial chemical intermediate, and occupational exposures are low. In 1993, the worldwide production was estimated to be 17 to 21 million tonnes. Manufacture of polyester fibers and films
accounts for a majority of TPA use. End products of polyester fiber may include yarns for carpet, apparel, fill fibers for consumer products, and industrial filaments. PET containers, the next major use, are used for a wide variety of
food and beverage packaging and in other food contact uses.
NATURE OF FURTHER WORK RECOMMENDED
No further work is recommended
.
U N E P P U B L I C A T I O N S
5
SID S FULL SUM M A RY
STUDY CAS NO.: 100-21-0 SPECIES
PROTOCOL RESULTS
PHYSICAL CHEMISTRY 2.1
Melting point 300
C 402
C 425
C 2.3
Density 1.12 gcm
3
1.50 gcm
3
1.51 gcm
3
2.4 Vapor pressure
Calculated MPBPWIN 3x10
-11
hPa at 20 C
3x10
-10
hPa at 20
o
C 1.19 x 10
-5
mmHg at 25
o
C 1.33 hPa at 78
C 13 hPa at 304
C 2.5
Partition Coefficient.
Measured Log Kow = 1.16 to 2.00
2.6 Water solubility
Measured 15 mgl at 10
C 19 mgl at 25
o
C 2.7
pH 2.8
PKa 3.52 pKa1
4.46 pKa2 STUDY CAS NO.: 100-21-0
SPECIES PROTOCOL
RESULTS ENVIRONMENTAL FATE AND PATHWAY
3.1.1 Photodegradation
Estimate AOPWIN
Half-life: 8.6 days 3.2
Monitoring data Detected in air at 11.1 ngm
3
. Detected in water at 3.4 µgl max.
Detected in sewage plant drainage at 5.3 to 13 µgl
3.3 Environ. fate distribution
estimate K
oc
= 1.855 3.5
Biodegradation Modified
Sturm 85.2 10 mgl after 16 days
82.6 20 mgl after 16 days Modified
Sturm performed
with adapted sludge
72 after 28 days 91 after 28 days
60 after 10 days
Sturm 72 and 91
Closed Bottle 112 after 30 days
100 after 2 days Modified
Zahn-Wellens performed
with adapted sludge
98 after 6 days 93 after 4 days
Zahn-Wellens 93 after 4 days
Modified OECD
screening 82 after 19 days
Japanese MITI 30-100 after 14 days
Aerobic Sewage Treated
Coupled 93 after 1 day
3.6 COD
96 after 0.6 days 95 after 2 days
3.7 Bioaccumulation
estimate log BCF = 3.2
U N E P P U B L I C A T I O N S
6
STUDY CAS NO.: 100-21-0 SPECIES
PROTOCOL RESULTS
ECOTOXICOLOGICAL DATA 4.1
Acute fish Salmo gairdneri
Brachydanio rerio Leuciscus idus
OECD 203 OECD 203
OECD 203 96 hour LC
50
= 798-1640 mgl 96 hour LC
= 500 mgl 96 hour LC
= 922 mgl 4.2
Acute daphnid Daphnia
OECD 202 48 hour EC
50
= 982 mgl 4.4
Acute plant Scenedesmus
subspicicatus OECD 201
96 hour NOEC = 1000 mgl 4.5
Bacteria, etc. activated sludge
Fasciola hepatica Tetrahymena
pyriformis Caenorhabditis
Elegans OECD 209
16 day EC
50
= 1392.8 mgl 2 hour EC
= 830 mgl 24 hour EC
50
= 800 mgl EC
= 1 µgml 4.6.2
Terrestrial plants Avena sativa
Oryza sativa 24 hour EC
= 100 mgl 5 day EC
20
= 100 mgl 4.6.3
Non-mammalian species Drosophila
melanogaster 3 day LC
= 166 mgkg STUDY CAS NO.: 100-21-0
SPECIES PROTOCOL
RESULTS TOXICOLOGICAL DATA
5.1 Acute Toxicity
5.1.1 Acute oral
Rat
Mouse
LD
50
= 5000 mgkg LD
50
= 15380 mgkg LD
50
= 1960 mgkg LD
50
= 18800 mgkg LD
50
= 2000 mgkg LD
50
= 5000 mgkg LD
50
= 6400 mgkg LD
50
= 1470 mgkg 5.1.2
Acute inhalation Rat
LC
50
= 2.02 mgl LC
50
= 1000 mgm
3
5.1.3 Acute dermal
Rabbit LD
50
= 2000 mgkg 5.1.4
Acute other routes Rat
Mouse Mouse
intraperitoneal LD
50
= 1210 - 2250 mgkg
intraperitoneal LD
50
= 880 - 1900 mgkg
intravenous LD
50
= 770 mgkg 5.2.1
Skin irritation Rabbit
Non-irritating 5.2.2
Eye irritation Rabbit
Virtually non-irritating 5.3
Skin Sensitization Guinea pig
Not sensitizing 5.4
Repeated dose Rat
Rat
Ratguinea pig 15-week
Primary effects noted in feeding studies included bladder calculi
formation and hyperplasia of the bladder epithelium. The NOAEL
is 1220 mgkgday for male rats and 1456 mgkgday for female rats
No adverse effects other than minimal respiratory tract irritation
at inhalation exposures of 3 mgm
3
for 4 wk. No adverse effects at inhalation
exposures up to 10 mgm
3
for 6 months.
U N E P P U B L I C A T I O N S
7
STUDY CAS NO.: 100-21-0 SPECIES
PROTOCOL RESULTS
5.5 Genetic Toxicity
Bacterial Salmonella
typhimurium Not mutagenic with and without
metabolic activation Non-bacterial
human lymphocytes Chinese hamster lung
fibroblasts rat hepatocytes
No cytogenetic effects or micronuclei observed.
Inactive
No DNA single strand breaks 5.6
Genetic toxicity in vivo
Mouse OECD 474
No increase in micronuclei in male or female mice 24 or 48
hours following i.p. injection of 200, 400 or 800 mgkg.
5.7 Carcinogenicity
Rat 2-year
Feeding studies: Increased incidence of bladder calculi,
bladder hyperplasia, and bladder tumors.
5.8 Reproductive
Toxicity Rat
No effects on fertility in one- generation feeding study up to
5 approximately 2480–3018 mgkgday. Developmental
effects at 2 and 5 which included postnatal deaths,
decreased survivability, high incidence of renal and bladder
calculi and histopathological sequelae associated with
presence of the calculi. NOEL for developmental effects was
0.5 approximately 240-307 mgkgday.
5.9 Teratogenicity
Developmental Toxicity
Rat No maternal or developmental
toxicity at inhalation exposures up to 10 mgm
3
, days 6-15 of pregnancy.
5.10 Toxicokinetics
Rapidly distributed and excreted unchanged in the urine following
oral or i.v. administration t
12
is approx. 60-100 min. Does not
readily cross the placental barrier. Neonatal rats do not
develop calculi as result of ingestion of dietary terephthalic
acid by their dams. Only after neonatal rats begin to self-feed
from the same diet as their dams do calculi appear in the bladder
of the weanling animals. Induction of calculi in urinary
tract is a result of supersaturation with respect to calcium ions and
terephthalic acid. Formation of calcium terephthalate.
5.11 Experience with
human exposure human
No irritation when oily paste containing 80 terephthalic acid
was applied to skin for 24 hours.
U N E P P U B L I C A T I O N S
8
SIDS INITIAL ASSESSMENT REPORT SIAR
1.0 IDENTITY
Chemical name: Terephthalic acid Synonym:
1,4-Benzenedicarboxylic acid p- Phthalic acid
CAS -Number: 100- 21- 0
Empirical Formula: C
8
H
6
O
4
Structural Formula:
C OOH
COOH
Physical description: Solid white powder it is often stored and handled in molten form.
Molecular Weight: 166
Degree of purity: 99.9
Melting Point 425
o
C Boiling Point
Sublimes Major impurities:
None Essential additives:
None Water solubility:
15 mgL 10
o
C measured Partition Coefficient:
logP = 2.0 measured Vapor pressure:
1.19x10
-5
mm Hg at 25
o
C calculated Biodegradation:
Readily biodegradable
U N E P P U B L I C A T I O N S
9
2. 0 General Information on Exposure
2.1 General Discussion
2.1.1 Production Volume
In 1993, the U.S. production volume was estimated to be between 3.8 and 4.8 billion kg. The U.S. accounts for approximately 22 of world terephthalic acid production. In 1993, the worldwide
production was estimated to be 17 to 21 billion kg.
2.1.2 Manufacturing Process
Terephthalic acid is typically produced by liquid-phase air oxidation of p-xylene in the presence of manganese and cobalt acetate catalysts and a sodium bromide promoter to form crude terephthalic
acid. Crystalline crude terephthalic acid is collected as wet cake and dried. It is purified by dissolving in hot water under pressure and selectively hydrogenating contaminants catalytically.
Terephthalic acid is a solid; however, it is often stored and handled in molten form.
2.1.3 Use General
: Terephthalic acid is primarily used in the manufacture and production of polyester fibers, films, polyethylene terephthalate solid-state resins and polyethylene terephthalate engineering resins.
Use in Consumer Products : Manufacture of polyester fibers accounts for a majority of terephthalic
acid use. End products of polyester fiber may include yarns for carpet, apparel, fill fibers for consumer products, and industrial filaments. Polyethylene terephthalate solid-state resins ar e the
next most common use and are used primarily for food and beverage containers. Remaining uses include polyester films, such as photographic films and magnetic tape base, and polyethylene
terephthalate and polybutlyene terephthalate engineering resins used primarily in automobile parts.
2.1.4 Forms of marketed products to industrial users
Terephthalic acid is a solid white powder; however, it is often stored and handled in molten form.
2.2 Sources of potential release to the environment
2.2.1 General
Terephthalic acid is processed into polyethylene terephthalate PET fibers or resins at approximately 71 facilities within the United States. Releases from processing operations were
estimated to be 1.1 million kgyear, with approximately 2 released to air, 1 released to land, 3 released to water, and 94 released to recycling and other offsite managements. Data on releases of
terephthalic acid to the environment in the United States are limited since terephthalic acid is not required to be reported to the U.S. Environmental Protection Agency under the Toxic Release
Inventory. In 1990, terephthalic acid was de-listed from the TRI because the EPA concluded that terephthalic
acid did not meet the listing criteria under section 313d2 of the Emergency Planning and Community Right-to-Know Act EPCRA, for acute human health effects, chronic health effects or
chronic toxicity:
While EPA considered data which were suggestive of developmental and systemic toxicity, these data were inadequate to support a conclusion that TA can be reasonably anticipated to cause these
effects in humans. It is EPA’s determination that the available data do not demonstrate that TA can
U N E P P U B L I C A T I O N S
10 cause or reasonably be anticipated to cause significant adverse human health or environmental
effects. Federal Register, Vol. 55, No. 237, December 10, 1990. Releases of terephthalic acid to the environment from consumer uses are likely to be low because the
primary use is in the manufacture of PET fibers and resins, and terephthalic acid is not marketed directly to consumers. Terephthalic acid would only be present in trace amounts in consumer end use
products. Furthermore, these consumer end use products are relatively stable and do not break down in the environment to release terephthalic acid.
2.2.2 Air Releases
The primary sources for release during manufacture as a solid or melt is permitted stack air emissions, followed by fugitive air emissions. Some terephthalic acid may be found in soil due to
deposition from the air releases. A draft study sponsored by the United States Environmental Protection Agency in 1994 estimated total emissions for six manufacturing sites within the United
States to be approximately 196 metric tons per year for stack emissions, and 11 metric tons per year for fugitive emissions. The EPA estimates of the general population exposures potentially resulting
from manufacturing releases to air within the U.S. ranged from 0.1 to 330 mgpersonyear. Estimates of general population exposures potentially resulting from processing releases to air
ranged from less than 1 mgpersonyear to 189 mgpersonyear. Although fugitive emissions of TPA have not been determined, such emissions are expected to be low, because its manufacture, use
and storage take place within closed continuous equipment and it has very limited volatility. USEPA, Preliminary Exposure Profile: Terephthalic Acid Draft Report, 1994 In Japan, the
atmospheric concentration was reported to be 11.1 ngm
3
0.0016 ppb.
2.2.3 Surface Water Releases
The maximum concentration of terephthalic acid in river water in Japan was 3.4 µgl. Matsumoto, Water Res. 16, 1982 Terephthalic acid was found in 6 out of 10 sea water samples with an average
concentration of 0.7 µgl. The samples were taken between 1974 and 1976 from an industrial coastal area. Kubota, Ecotoxicol. Environ. Safety 3, 256-268, 1979
2.3 Human Exposure
2.3.1 Consumer Exposure
Terephthalic acid is used primarily to make polyethylene terephthalate PET resins and fibers. The majority of end uses for PET are consumer applications. PET containers are used for a wide variety
of food and beverage packaging. Terephthalic acid is non-volatile, so the potential for residual terephthalic acid off-gassing is limited. Possible consumer exposures to terephthalic acid may occur
through dermal contact with PET products, as a result of consumption of food products stored in PET containers, or through the inadvertent ingestion of PET particles or films. Although there is
little information in the public domain concerning residual terephthalic acid in PET, the residual level is believed to be very low. This is because the nature of the equilibrium condensation
polymerization that is used to make PET requires that residual monomer levels be very low in order to produce a high molecular weight polymer such as those used in typical fiber and packaging
applications. Theoretical calculations for a typical PET polymer predict that the residual terephthalic acid should be less than 10 ppm Eastman technical report 78-1026-650. Migration of terephthalic
acid into food simulants has been found to be less than 0.2 mgkg food simulant even under severe test conditions 3 acetic acid, 2 hours at 100
o
C and HB307 synthetic triglyceride oil, 2 hours at 100
o
C; Eastman technical reports 93-2866-080 and 93-2912-890. Migration under more typical, less severe conditions of use is expected to be significantly less. Based on this information, there is
very little potential for exposure to terephthalic acid from consumption of food stored in PET containers or through dermal contact.