Rancangan Hidrolika Bangunan Pengendali Limpasan di Wilayah Kampus IPB Dramaga, Bogor

(1)

HYDRAULICS DESIGN OF RUNOFF CONTROL STRUCTURE

AT IPB CAMPUS DRAMAGA, BOGOR

JK. Rossi, NH. Pandjaitan and Prastowo

Department of Civil and Environmental Engineering, Bogor Agricultural University IPB Dramaga Campus, PO BOX 220, Bogor 16002, West Java, Indonesia.

Email: jkrossi@yahoo.com

Abstract: Bogor Agricultural University (IPB) stage III physical development is being implemented since 2011. Along with those development, the surface run-off was increased. The aim of these research were (1) to determine ECC-based on water balance, (2) to predict run-off (3) to do hydraulics design of runoff control structure. Based on water balance, environmental carrying capacity (ECC) was analysed, while run-off in IPB campus Dramaga was calculated by the rational method. Hydraulics design of run-off control structure was obtained by trial and error. The region can be divided into 14 catchment area (CA). The ratio of water availability and water demand was 0,9 hence the ECC of IPB Campus Dramaga was overshoot. Total discharge runoff to Campus IPB Dramaga was 5.66 m3/s. Discharge run-off in each CA was about 0.05 to 1.45 m3/s. Run-off control structure was needed to collect surfacerun-off hence increase water availability. Considering the topography and landuse, land and water conservation was needed in CA 4 and CA 9. CA 4 was suitable for reservoir which supported with sediment trap and drainage channel. CA 9 needed sediment trap for each inlet of Situ Leutik and bigger drainage holes along the side street.

Key words: environmental carrying capacity, hydraulics design, rational method,run-off control structure, water balance.


(2)

JOAN KARTINI ROSSI. F44080034.

Rancangan Hidrolika Bangunan

Pengendali Limpasan Di Wilayah Kampus IPB Dramaga, Bogor.

Di bawah

bimbingan Nora H. Pandjaitan dan Prastowo. 2012

RINGKASAN

Pembangunan Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) tahap III telah dilaksanakan sejak tahun 2011. Berdasarkan pengamatan di beberapa tempat di wilayah Kampus IPB Dramaga terjadi limpasan dan genangan air. Sehubungan dengan kondisi tersebut maka tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Menganalisis status daya dukung lingkungan berbasis neraca air, (2) Menduga laju limpasan, (3) Membuat rancangan hidrolika bangunan pengendali limpasan. Penelitian ini dilakukan di Daerah Tangkapan Air (DTA) yang terdapat di wilayah Kampus IPB Dramaga sejak Februari sampai Juni 2012. Analisis air limpasan dilakukan dengan menggunakan metode rasional. Rancangan hidrolika dilakukan dengan metode trial and error untuk mendapatkan rancangan yang tepat.

Berdasarkan analisis daya dukung lingkungan berbasis neraca air, wilayah Kampus IPB Dramaga memiliki rasio ketersediaan dan kebutuhan air sebesar 0,9. Dengan demikian maka wilayah Kampus IPB Dramaga termasuk wilayah dengan keadaan daya dukung lingkungan yang telah terlampaui (overshoot).

Kampus IPB Dramaga dapat dibagi menjadi 14 DTA. Total debit limpasan untuk Kampus IPB Dramaga sebesar 5.66 m3/dt. Debit limpasan pada masing-masing DTA berkisar antara 0.05 – 1.45 m3/dt. Debit limpasan di DTA 9 yang memiliki 3 sub DTA (9a, 9b dan 9c) adalah sebesar 0.6 m3/dt. Debit limpasan di DTA 1 relatif lebih besar dibandingkan dengan debit limpasan di DTA 9 meskipun wilayahnya lebih kecil dari DTA 9. Faktor yang menyebabkan perbedaan tersebut adalah DTA 1 memiliki panjang lintasan aliran yang lebih pendek dan wilayahnya relatif curam.

Perancangan hidrolika bangunan pengendali limpasan dilakukan pada DTA 4 dan DTA 9. Lokasi tersebut dipilih karena pada DTA 4 terdapat wilayah yang berpotensi untuk dijadikan sebagai reservoir, sedangkan DTA 9 merupakan pusat kegiatan akademik Kampus IPB Dramaga. Reservoir pada DTA 4 direncanakan memiliki simpanan aktif sebesar 950.4 m3/hari dan simpanan mati sebesar 47.76 m3/25 tahun dengan dimensi tampungan sebesar 35 m x 46 m. Penggalian reservoir dilakukan agar tidak terjadi genangan pada lahan pertanian yang sudah ada. Air yang masuk ke dalam reservoir bersumber dari aliran mata air yang mengalir melalui saluran drainase, yang dirancang berbentuk trapesium dengan kemiringan dasar saluran 0.005, lebar bawah (b) sebesar 0.5 m, lebar atas (B) sebesar 1.46 m dan kedalaman aliran (h) sebesar 0.433 m. Koefisen kekasaran manning saluran yang digunakan adalah sebesar 0.030. Reservoir dilengkapi dengan bangunan penangkap sedimen untuk mencegah terjadinya sedimentasi. Pada DTA 9 sering terjadi genangan pada jalan sehingga bangunan sadap berupa lubang drainase yang ada saat ini perlu diperbesar. Selain itu juga perlu dibangun bangunan penangkap sedimen pada inlet Danau Situ Leutik untuk mencegah terjadinya sedimentasi.


(3)

1

I.

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang

Air merupakan komponen yang sangat penting untuk kelangsungan makhluk hidup di muka bumi. Air juga dapat menyebabkan bencana jika tersedia dalam jumlah yang tidak diinginkan, baik kelebihan maupun kekurangan. Kodoatie dan Sjarief (2008) menyebutkan bahwa air yang semakin berkurang pada musim kemarau dan sangat berlebih pada musim penghujan dapat menimbulkan kerusakan yang sangat hebat.

Krisis air terjadi disebabkan oleh berbagai macam faktor yang salah satunya adalah akibat perilaku manusia. Untuk mencukupi kebutuhan hidup manusia dapat berakibat pada terjadinya perubahan tata guna lahan untuk keperluan mencari nafkah maupun tempat tinggal. Kerusakan lingkungan yang secara implisit menambah laju krisis air dipercepat oleh pertumbuhan penduduk yang tinggi, baik secara alami maupun migrasi. Menurut Kodoatie dan Sjarief (2008) bencana banjir, longsor dan kekeringan yang terjadi, sudah menjadi persoalan klasik sepanjang tahun dan merupakan bukti dari degradasi lingkungan yang dari waktu ke waktu cenderung meningkat.

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah daerah tangkapan hujan dan tempat mengalirnya air hujan menuju ke sungai (Maryono, 2005). Suatu DAS merupakan suatu sistem ekologis atau ekosistem dimana di dalamnya terjadi hubungan timbal balik antara makhluk hidup, khususnya manusia dengan segala aktivitasnya, dengan lingkungannya yang bersifat alami. Aktivitas manusia akan sangat mempengaruhi keadaan DAS, baik yang bersifat membangun seperti pemeliharaan dan rehabilitasi maupun yang bersifat merusak. Kenyataan umum yang dialami beberapa DAS dewasa ini adalah meluasnya daerah-daerah gundul dan tidak subur akibat penebangan hutan yang tidak terkendali, semakin tingginya erosi, dan semakin merosotnya kondisi DAS.

Kebutuhan manusia yang harus dipenuhi perlu pertimbangan dari daya lingkungan yang ada. Berdasarkan Undang – Undang Negara Republik No.32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain. Pelestarian daya dukung lingkungan hidup merupakan rangkaian upaya untuk melindungi kemampuan lingkungan hidup terhadap tekanan perubahan dan/atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan, agar tetap mampu mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain.

Pembangunan Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) tahap III sedang dilaksanakan sejak tahun 2011. Pembangunan ini dilaksanakan sebagai pengembangan infrastruktur dalam rangka meningkatkan kualitas dan kuantitas fasilitas pendidikan. Selain itu juga untuk memenuhi kebutuhan civitas akademika IPB yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Sejak tahun 1997 sampai 2010 jumlah mahasiswa baru meningkat sebesar 200 - 400 orang setiap tahunnya (TPB IPB, 2011) dan kondisi ini menambah beban terhadap lingkungan Kampus IPB Dramaga

Pembangunan Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) tahap III ini tentu memiliki dampak terhadap perubahan ketersediaan dan kebutuhan air. Oleh karena itu diperlukan penelitian mengenai besarnya daya dukung lingkungan di lokasi tersebut. Analisis daya dukung lingkungan berbasis neraca air menunjukkan perbandingan antara kondisi ketersediaan air pada suatu wilayah dengan kebutuhan yang ada. Dari perbandingan keduanya dapat diketahui status kondisi ketersediaan air pada wilayah tersebut. Setelah itu akan dibuat perencanaan bangunan hidrolika untuk mengkonservasi dan memenuhi kebutuhan air di Kampus IPB Dramaga.


(4)

2

1.2.

Tujuan

Tujuan penelitian ini meliputi :

1. Penentuan status daya dukung lingkungan berbasis neraca air 2. Pendugaan limpasan

3. Perancangan hidrolika bangunan pengendali limpasan yang dapat berupa: a) Reservoir

b) Saluran

c) Bangunan penangkap sedimen d) Bangunan sadap


(5)

3

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Daerah Aliran Sungai

Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat didefinisikan sebagai areal yang dibatasi oleh pemisah topografis yang menampung, menyimpan dan mengalirkan air hujan yang jatuh di atasnya, baik dalam bentuk aliran permukaan, aliran bawah tanah dan aliran bumi ke sungai yang akhirnya bermuara ke danau atau laut (Manan, 1976). Berbagai istilah lain yang digunakan untuk DAS antara lain adalah watershed, drainage basin dan catchments.

Garis batas sebuah DAS adalah punggung bukit sekeliling sebuah sungai. Batas DAS umumnya tidak sama dengan batas wilayah administrasi, sehingga sebuah DAS dapat termasuk dalam beberapa wilayah administrasi. DAS juga dapat mencakup beberapa negara (misalnya DAS Mekong), beberapa wilayah kabupaten (misalnya DAS Brantas), atau hanya sebagian wilayah dari satu kabupaten (Fahmudin dan Widianto, 2004).

Menurut Seyhan (1990) faktor utama di dalam DAS yang sangat mempengaruhi kapasitas sumberdaya air adalah sebagai berikut :

1. Vegetasi

Vegetasi merupakan pelindung bagi permukaan bumi terhadap hempasan air hujan, hembusan angin dan teriknya matahari. Fungsi utama dari vegetasi adalah melindungi tanah. Perlindungan ini berlangsung dengan cara :

a. Melindungi tanah terhadap daya perusak butir-butir hujan yang jatuh. b. Melindungi tanah terhadap daya merusak aliran air di atas permukaan tanah.

c. Memperbaiki kapasitas infiltrasi dan struktur tanah serta daya absorbsi/daya simpan air. 2. Tanah

Tanah selain berfungsi sebagai media tempat tumbuhnya vegetasi juga berfungsi sebagai pengatur tata air. Peranan tanah dalam mengatur tata air tergantung pada tingkat kemampuan tanah untuk meresapkan air yang dipengaruhi oleh kapasitas infiltrasi dan permeabilitas tanah. Semakin banyak air yang dapat diserap dan masuk ke dalam profil tanah persatuan waktu, maka jumlah air yang tersimpan pada DAS menjadi lebih banyak.

Menurut Asdak (2007), paramater hidrologis yang dapat dimanfaatkan untuk menelaah kondisi suatu DAS adalah data klimatologi, limpasan (run off), debit sungai, sedimentasi, potensi air tanah, koefisien regim sungai, koefisien limpasan, nisbah debit maksimum-minimum serta frekuensi dan periode banjir. Kondisi DAS dianggap normal apabila :

1. Koefisien limpasan berfluktuasi secara normal (nilai C dari sungai utama di DAS yang bersangkutan dari tahun ke tahun cenderung kurang lebih sama besarnya)

2. Koefisien varians (CV) debit aliran kecil (lebih kecil dari 10%) 3. Koefisien regim sungai (nisbah Qmax/Qmin) relatif sama nilainya

Menurut Patra (2001), faktor- faktor yang mempengaruhi limpasan dalam suatu DAS adalah (a) ukuran, (b) bentuk,(c) kemiringan, (d) kerapatan drainase, (e) topografi, (f) geologi. Bentuk dari suatu DAS akan mempengaruhi puncak limpasan. DAS yang berbentuk memanjang memiliki puncak limpasan yang lebih rendah daripada DAS yang berbentuk kipás (Gambar 1). DAS yang memiliki wilayah datar yang luas memiliki puncak limpasan yang rendah sehingga limpasannya sedikit, sedangkan DAS dengan kemiringan curam memiliki puncak limpasan yang tinggi. Laju infiltrasi dari DAS yang datar adalah besar sehingga periode waktu limpasan lebih lama. Kemiringan suatu DAS berperan penting dalam hidrologi perkotaan karena daerah tangkapan umumnya kecil.


(6)

4 Gambar 1. Bentuk-bentuk DAS

(A) Bentuk memanjang (B) Bentuk kipas

Menurut Fahmudin dan Widianto (2004), dalam mengelola sumberdaya lahan suatu DAS perlu diketahui lebih dahulu masalah utama pada DAS tersebut. Masalah DAS pada dasarnya dapat dibagi menjadi:

a. Kuantitas (jumlah) air o Banjir dan kekeringan

o Menurunnya tinggi muka air tanah

o Tingginya fluktuasi debit puncak dengan debit dasar. b. Kualitas air

o Tingginya erosi dan sedimentasi di sungai

o Tercemarnya air sungai dan air tanah oleh bahan beracun dan berbahaya o Tercemarnya air sungai dan air danau oleh hara seperti N dan P (eutrofikasi)

Masalah ini perlu dipahami sebelum dilakukan tindakan pengelolaan DAS. Sebagai contoh, apabila masalah utama DAS adalah kurangnya debit air sungai untuk menggerakkan turbin pembangkit listrik tenaga air (PLTA), maka penanaman pohon secara intensif tidak akan mampu meningkatkan hasil air. Seperti telah diterangkan terdahulu, pohon-pohonan mengkonsumsi air lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman pertanian semusim dan tajuk pohon-pohonan mengintersepsi sebagian air hujan dan menguapkannya kembali ke udara sebelum mencapai permukaan tanah.

Apabila masalah utama suatu DAS adalah kerawanan terhadap banjir maka teknik yang dapat ditempuh adalah dengan mengusahakan agar air lebih banyak meresap ke dalam tanah di hulu dan di bagian tengah DAS. Usaha ini dapat ditempuh dengan menanam pohon dan/atau dengan tindakan konservasi sipil teknis seperti pembuatan sumur resapan, rorak dan sebagainya. Apabila yang menjadi masalah DAS adalah tingginya sedimentasi di sungai maka pilihan teknik konservasi yang dapat dilakukan adalah dengan memperbaiki fungsi filter dari DAS.

Manajemen DAS ditujukan untuk memperbaiki, memelihara dan melindungi keadaan DAS agar dapat menghasilkan hasil air (water yield) untuk kepentingan pertanian, kehutanan, perkebunan, peternakan, dan masyarakat, yakni air minum, industri, irigasi, tenaga listrik, rekreasi, dan sebagainya (Manan, 1976). Oleh karena itu, pengetahuan hidrologi (termasuk neraca air) dan pengaruh hutan akan sangat membantu pelaksanaan manajemen DAS.

2.2.

Daya Dukung Lingkungan

Daya dukung lingkungan berbasis neraca air suatu wilayah dapat diketahui dengan menghitung kapasitas ketersediaan air pada wilayah tersebut, yang besarnya sangat tergantung

Q

(

m

3 /dt

)

Q

(

m

3 /dt

)


(7)

5 pada kemampuan menjaga dan mempertahankan dinamika siklus hidrologi pada daerah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS). Upaya mempertahankan siklus hidrologi sangat ditentukan oleh kemampuan meningkatkan kapasitas simpan air, baik penyimpanan secara ”alami” melalui upaya rehabilitasi dan konservasi wilayah hulu DAS, maupun secara ”buatan” dengan membangun waduk/bendungan, embung, dan bangunan konservasi lainnya (Prastowo, 2010).

Menurut Prastowo (2010) analisis daya dukung lingkungan aspek sumberdaya air dapat dilakukan melalui 4 (empat) tahapan analisis, yaitu meliputi:

1. Penetapan status daya dukung lingkungan berbasis neraca air 2. Kajian sumberdaya iklim untuk pertanian (tipe agroklimat) 3. Analisis potensi suplai air

4. Kajian indikator degradasi sumberdaya air

2.2.1 Penetapan status daya dukung lingkungan berbasis neraca air

Analisis daya dukung lingkungan berbasis neraca air (DDL-air) menunjukkan perbandingan antara kondisi suplai air pada suatu wilayah dengan kebutuhan yang ada. Dari perbandingan keduanya, akan diperoleh status kondisi ketersediaan air pada wilayah tersebut. Status daya dukung lingkungan berbasis neraca air diperoleh dengan membandingkan antara nilai CHandalan dengan water footprint. Kriteria status DDL-air tidak cukup dinyatakan hanya dengan

“surplus-defisit” saja namun perlu juga dinyatakan dengan nilai “rasio ketersediaan/kebutuhan (supply/demand)”. Kriteria penetapan status daya dukung lingkungan yang disarankan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kriteria penetapan status DDL - air

Kriteria Status DDL-air

Rasio supply/demand > 2 Daya dukung lingkungan aman (sustain)

Rasio supply/demand 1-2 Daya dukung lingkungan aman bersyarat (conditional sustain) Rasio supply/demand < 1 Daya dukung lingkungan telah terlampaui (overshoot) Sumber : Prastowo(2010)

Ketersediaan air yang dinyatakan sebagai CHandalan dihitung dengan peluang kejadian

hujan ≥ 50%. Analisis curah hujan dengan peluang tertentu dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan Weibull yaitu :

P = ... (1) dengan : P = Peluang

m = Urutan kejadian menurut besarnya n = Jumlah tahun pengukuran

Water footprint merupakan suatu konsep yang digunakan untuk mengetahui jumlah air yang dibutuhkan oleh seseorang, komunitas, ataupun kegiatan produksi baik secara langsung maupun tidak langsung (Bulsink et al, 2009). Ketersediaan air yang dinyatakan sebagai CHandalan dihitung dengan peluang kejadian hujan ≥ 50% dengan metode perhitungan yang lazim digunakan, seperti metode Hazen, metode Gumbel, atau metode lainnya. perhitungan kebutuhan air dapat dihitung dari hasil konversi terhadap kebutuhan hidup layak, dengan menggunakan rumus sebagai berikut :


(8)

6 DA = N x KHLA ...(2) dengan : DA = Total kebutuhan air (m3/tahun)

N = Jumlah penduduk (jiwa)

KHLA = Kebutuhan air untuk hidup layak = 2 x 800 m3 air/orang/tahun,

berdasarkan:

 800 m3 air/orang/tahun adalah kebutuhan air untuk keperluan domestik dan untuk menghasilkan pangan

 2,0 adalah faktor koreksi untuk memperhitungkan kebutuhan hidup layak yang mencakup kebutuhan pangan, domestik dan lainnya.

2.2.2 Sumberdaya Iklim Untuk Pertanian (Agroklimat)

Menurut Prastowo (2010), curah hujan yang turun pada suatu wilayah akan berproses dalam bentuk evapotransirasi, limpasan dan airtanah. Proses dan besaran evapotranspirasi sangat tergantung pada kondisi penggunaan lahan untuk pertanian, hutan dan tumbuhan lain. Dalam kaitannya dengan kebutuhan air untuk pertumbuhan tanaman, khususnya tanaman pangan pada suatu wilayah, Oldeman (1975) dalam Prastowo (2010) telah mengembangkan konsep zona agroklimat, seperti yang disajikan pada Tabel 2. Zona agroklimat tersebut dapat dinilai dari jumlah bulan basah dan bulan kering pada suatu wilayah. Bulan basah merupakan bulan yang memiliki curah hujan > 200 mm/bulan, bulan lembab merupakan bulan yang memiliki curah hujan 100 – 200 mm/bulan, sedangkan bulan kering adalah bulan dengan curah hujan < 100 mm/bulan. Dengan mengetahui zona agroklimat suatu wilayah, dapat diperkirakan daya dukung sumber daya iklim untuk pengembangan pertanian di wilayah tersebut (Tabel 3).

Tabel 2. Zona agroklimat utama berdasarkan klasifikasi Oldeman

Sumber : Prastowo(2010)

2.3.

Limpasan

Seyhan (1990) mendefinisikan limpasan sebagai bagian presipitasi (juga kontribusi-kontribusi permukaan dan bawah permukaan) yang terdiri atas gerakan gravitasi air dan nampak pada saluran permukaan dari bentuk permanen maupun terputus-putus. Jika intensitas curah hujan maupun lelehan salju melebihi laju infiltrasi, kelebihan air mulai berakumulasi sebagai cadangan permukaan. Bila kapasitas cadangan permukaan dilampaui, limpasan permukaan mulai sebagai suatu aliran lapisan yang tipis.

Faktor-faktor yang mempengaruhi volume total limpasan (Seyhan, 1990), yaitu faktor-faktor iklim yang terdiri dari banyaknya presipitasi dan banyaknya evapotranspirasi serta faktor-faktor DAS yang terdiri dari ukuran DAS dan tinggi tempat rata-rata daerah aliran sungai (pengaruh

Tipe Utama Jumlah bulan basah berturut-turut

A 9

B 7 – 9

C 5 – 6

D 3 – 4

E < 3

Sub divisi Jumlah bulan kering berturut – turut

1 < 2

2 2 – 3

3 4 – 6


(9)

7 orografis). DAS yang sempit akan menyebabkan laju limpasan lebih rendah dibanding pada DAS yang padat dalam luasan yang sama. Tutupan vegetasi dapat memperlambat aliran permukaan dan meningkatkan daya tahan tanah terhadap air sehingga dapat mengurangi laju limpasan puncak.

Tabel 3. Tipe agroklimat dan perkiraan daya dukungnya menurut Oldeman Tipe

Agroklimat Penjelasan

A1, A2 Sesuai untuk padi terus menerus tetapi produksi kurang karena pada umumnya kerapatan fluks radiasi surya rendah sepanjang tahun.

B1 Sesuai untuk pad terus menerus dengan perencanaan awal musim tanam yang baik. Produksi tinggi bila panen pada kemarau.

B2 Dapat tanam padi dua kali setahun dengan varietas umur pendek dan musim kering yang pendek cukup untuk tanaman palawija.

C1 Tanaman padi dapat sekali dan palawija dua kali setahun.

C2, C3, C4 Setahun hanya dapat satu kali padi dan penanaman palawija yang kedua harus hati-hati jangan jatuh pada bulan kering.

D1 Tanam padi umur pendek satu kali dan biasanya produksi bisa tinggi karena fluks radiasi tinggi. Waktu tanam palawija cukup.

D2, D3, D4 Hanya mungkin satu kali padi atau satu kali palawija setahun, tergantung pada adanya persediaan air irigasi.

E Daerah ini umumnya terlalu kering, mungkin hanya dapat satu kali palawija, itu pun tergantung adanya hujan

Sumber : Prastowo(2010)

Curah hujan lebih kemudian akan diturunkan dalam bentuk limpasan dan pengisian air tanah. Besarnya limpasan sebanding dengan proporsi koefisien limpasan pada wilayah tersebut. Sedangkan besarnya pengisian air tanah merupakan sisa nilai curah hujan lebih yang tidak menjadi limpasan. Total limpasan dan pengisian air tanah dapat dikelola dan dijadikan water supply. Untuk menduga besaran limpasan yang terjadi di suatu wilayah, perlu diketahui nilai koefisien aliran permukaan. Schwab et al (1981) menyatakan bahwa koefisien aliran permukaan (C) didefinisikan sebagai nisbah laju puncak aliran permukaan terhadap intensitas hujan. Faktor utama yang mempengaruhi C adalah laju infiltrasi tanah, tanaman penutup dan intensitas hujan. Frekwensi terjadinya hujan mempengaruhi debit air dalam DAS.

Menurut Schwab, et al (1981) kapasitas suatu bangunan yang harus menampung limpasan dapat disebut sebagai “laju limpasan rancangan”. Bangunan dan saluran dirancang untuk menampung limpasan yang terjadi dalam periode ulang teretentu. Untuk menduga besarnya debit puncak limpasan dapat digunakan metode rasional. Dasar yang melatar belakangi metode rasional adalah jika curah hujan dengan intensitas I terjadi secara terus menerus, maka laju limpasan langsung akan bertambah sampai mencapai waktu konsentrasi tc. Waktu konsentrasi tc tercapai ketika seluruh bagian DAS telah memberikan kontribusi aliran di outlet. Laju masukan pada sistem adalah hasil curah hujan dengan intensitas I pada DAS dengan luas A. Nilai perbandingan antara laju masukan dengan laju debit puncak (Qp) yang terjadi pada saat tc dinyatakan sebagai run-off coefficient (C) dengan nilai 0 ≤ C ≤ 1 (Chow, 1964)

Beberapa asumsi dasar untuk menggunakan metode rasional adalah (Wanielista, 1990): 1. Curah hujan terjadi dengan intensitas tetap dalam jangka waktu tertentu, setidaknya sama


(10)

8 2. Limpasan langsung mencapai maksimum ketika durasi hujan dengan intensitas tetap sama

dengan waktu konsentrasi.

3. Koefisien runoff dianggap tetap selama durasi hujan 4. Luas DAS tidak berubah selama durasi hujan

Perhitungan dengan metode rasional dapat dilakukan dengan persamaan (3)

...………(3) dengan: Q = Debit banjir maksimum (m3/dt)

C = Koefisien pengaliran limpasan

I = Intensitas curah hujan rata-rata (mm/jam) A = Luas daerah pengaliran (km2)

Tabel 4. Nilai koefisien C pada Metode Rasional

Topografi dan Vegetasi Tekstur Tanah

Pasir lempung Liat dan lanau lempung Sangat liat Hutan

Datar (kemiringan 0 – 5%) 0.10 0.30 0.40

Landai (kemiringan 5 – 10%) 0.25 0.35 0.50

Berbukit (kemiringan 10 – 30%) 0.30 0.50 0.60

Padang Rumput

Datar 0.10 0.30 0.40

Landai 0.16 0.36 0.55

Berbukit 0.22 0.42 0.60

Area Budidaya

Datar 0.30 0.50 0.60

Landai 0.40 0.60 0.70

Berbukit 0.52 0.72 0.82

Area Pemukiman 30% area

kedap air

50% area kedap air

50% area kedap air

Datar 0.40 0.55 0.65

Landai 0.50 0.65 0.80

Sumber: Schwab, et al (1960)

Perhitungan intensitas hujan (I) dengan persamaan monobe, yaitu:

……….……….(4) dengan: I = Intensitas hujan (mm/jam)

t = Lamanya hujan (jam)

R24 = Curah hujan maksimum harian (selama 24 jam) (mm)

Perhitungan waktu konsentrasi (tc) dengan metode Kirpich, yaitu:

………...…...………...(5) dengan: tc = Waktu konsentrasi (menit)

l = Panjang sungai (m) S = Kemiringan sungai (m/m)


(11)

9 Untuk mendapatkan besarnya curah hujan maksimum harian (R24) dilakukan perhitungan

periode ulang hujan dengan distribusi Log-Pearson III. Tiga parameter penting dalam metode tersebut adalah harga rata – rata, simpangan baku dan koefisien kemencengan. Berikut ini langkah – langkah penggunaan distribusi Log-Pearson III (Suripin, 2004) :

- Mengubah data ke dalam bentuk logaritmis, X = log X - Menghitung harga rata-rata:

………(6) - Menghitung harga simpangan baku

………..……….…(7) - Menghitung koefisen kemencengan

……….,...………(8) - Menghitung logaritma hujan atau banjir dengan periode ulang T dengan rumus

………..………(9) dengan : n = Jumlah data.

K = Variable standar untuk X yang besarnya tergantung koefisien kemencengan G.

2.4.

Perencanaan Hidrolika Bangunan

Berdasarkan Keputusan Menteri Permukiman dan Prasana Wilayah Nomor 360/KPTS/M/2004 Tentang Perencanaan Hidraulik Bendung dan Pelimpah Bendungan Tipe Gergaji, perencanaan hidrolik adalah kegiatan untuk menentukan tata letak, bentuk dan dimensi hidraulik bangunan air, kelengkapan dan peralatannya yang dituangkan ke dalam gambar teknik serta dilengkapi dengan nota penjelasan desain. Menurut Brooks, et al, (2003), pengembangan aliran permukaan melibatkan berbagai macam struktur dan desain praktis untuk mengubah jumlah, waktu dan kualitas hasil air (water yield). Manfaat dari pengembangan tersebut adalah untuk meningkatkan ketersediaan air untuk kebutuhan rumah tangga, industri, irigasi dan peternakan. Manfaat lainnya adalah untuk mengontrol banjir dan menjaga aliran air pada saat musim kemarau untuk navigasi, pembangkit listrik dan perikanan di hilir. Berikut ini beberapa jenis bangunan hidrolik untuk mengendalikan limpasan.

2.4.1

Saluran

Perencanaan saluran pembuang harus memberikan pemecahan dengan biaya pelaksanaan dan pemeliharaan yang terendah. Kecepatan aliran rencana hendaknya tidak melebihi kecepatan maksimum yang diijinkan. Kecepatan maksimum yang diijinkan tergantung pada bahan tanah serta kondisinya. Kemiringan alamiah lahan dalam trase ini menentukan kemiringan memanjang saluran pembuang tersebut. Apabila kemiringan dasar terlalu curam sehingga kecepatan maksimum akan terlampaui, maka harus dibuat bangunan terjun.

Kecepatan rencana sebaiknya diambil sama atau mendekati kecepatan maksimum yang diijinkan, karena debit rencana atau debit puncak tidak sering terjadi maka debit dan kecepatan aliran saluran pembuang akan lebih rendah di bawah kondisi eksploitasi rata-rata. Pada debit yang rendah, aliran akan cenderung berkelok-kelok bila dasar salurannya lebar. Oleh karena itu


(12)

10 biasanya saluran pembuang dirancang relatif sempit dan dalam dibandingkan dengan saluran irigasi. Potongan melintang yang dalam akan memberikan pemecahan yang lebih ekonomis.

Untuk perencanaan saluran pembuang, aliran dianggap steady dan seragam (uniform) untuk itu diterapkan rumus Strickler-Manning:

………..(10) dengan : V = kecepatan aliran (m.det-1);

km = koefisien kehalusan Strickler (km = 1/n, n : koefisien kekasaran Manning);

R = jari-jari hidrolis (m) I = kemiringan dasar saluran; z = talud (horizontal z : vertikal 1);

w = b/h (perbandingan lebar dasar dengan tinggi air)

Besarnya koefisien kekasaran manning untuk saluran alam di dataran yang berukuran kecil, yaitu lebar atas pada taraf banjir kurang dari 100 feet dapat dilihat pada Tabel 5.

Penampang saluran alam umumnya sangat tidak beraturan, biasanya bervariasi dari bentuk seperti parabola sampai trapesium. Bentuk yang paling umum dipakai untuk saluran berdinding tanah yang tidak dilapisi adalah bentuk trapesium (Gambar 2), karena stabilitas kemiringan dindingnya dapat disesuaikan. Rumus perhitungan penampang saluran berbentuk trapesium dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 5. Nilai koefisien kekasaran n untuk saluran alam berukuran kecil di dataran

Tipe saluran dan deskripsinya minimum normal maksimum

1. Bersih lurus, terisi penuh, tanpa rekahan atau ceruk dalam

0,025 0,030 0,033

2. Seperti diatas, banyak batu baru, tanaman pengganggu

0,030 0,035 0,040

3. Bersih, berkelok – kelok, berceruk, bertebing 0,033 0,040 0,045 4. Seperti diatas, dengan tanaman pengganggu,

batu – batu

0,035 0,045 0,050

5. Seperti diatas, tidak terisi penuh, banyak kemiringan dan penampang yang kurang efektif

0,040 0,048 0,055

6. Seperti no. 4, berbatu lebih banyak 0,045 0,050 0,060

7. Tenang pada bagian lurus, tanaman pengganggu, ceruk dalam

0,050 0,070 0,080

8. Banyak tanaman pengganggu, ceruk dalam atau jalan air penuh kayu dan ranting

0,075 0,100 0,150

Sumber: Chow, 1992

Gambar 2. Tipikal penampang saluran berbentuk trapesium 1 z b h T B FB


(13)

11 Tabel 6. Rumus perhitungan penampang saluran trapesium

Unsur Geometris Rumus

Luas (A) ( b + zh) h …..………...(11)

Keliling basah (P) b + 2h …………...(12)

Jari – jari hidrolik (R) ………...(13)

Lebar puncak (T) b + 2zh ………...(14)

Kedalaman hidrolik (D) ………(15)

Sumber: Chow, 1992 ……….(16) ………(17)

………(18)

………..…(19)

Misalkan ………(20)

Maka: ………...…(21)

Nilai b yang didapatkan dari perhitungan biasanya harus dibulatkan ke suatu angka yang secara praktis dapat dikerjakan di lapangan. Dengan menambah atau mengurangi nilai b dengan Δb, maka akan terjadi perubahan h (Δh). Dari gambar di bawah ini dapat dilihat bahwa dengan penambahan Δb, maka luas penampang aliran (A) tidak boleh berubah. Δb x h = - Δh x B1= - Δh x (b + 2 z h) = - Δh (w + 2 z)h ………(22)

………...…………..(23)

Lebar atas saluran: ……….(24) Faktor-faktor yang mempengaruhi rancangan :

• Maksimum talud

• Kecepatan maksimum yang diijinkan • Kecepatan minimum

• Lebar dasar minimum untuk mencegah penyumbatan dan kemudahan konstruksi • Perbandingan b/h

Kemampuan mengalirkan air suatu penampang saluran akan meningkat sesuai dengan peningkatan jari-jari hidrolik atau berkurangnya keliling basah. Penampang saluran yang memiliki


(14)

12 keliling basah terkecil akan mengalirkan air secara maksimum. Penampang ini disebut penampang hidrolik terbaik (Chow, 1992). Rumus perhitungan penampang hidrolik terbaik dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Rumus perhitungan penampang hidrolik terbaik

Unsur Geometris Penampang Saluran

Trapesium Segi empat

Lebar bawah, B (m) -

Luas, A (m2) 2y2

Keliling basah , P (m) 4y

Jari – jari hidrolik, R (m) y

Lebar puncak, T (m) 2y

Kedalaman hidrolik, D (m) y

Tinggi jagaan, W (m) - 0.4

Sumber : Chow, 1992

Tinggi jagaan minimum (FB) yang diberikan pada saluran primer dan sekunder dikaitkan dengan debit rencana saluran seperti diperlihatkan dalam Tabel 8.

Tabel 8. Tinggi jagaan minimum untuk saluran tanah

Q (m3/dt) Tinggi jagaan (m)

< 0.5 0.40

0.5 – 1.5 0.50

1.5 – 5.0 0.60

5.0 – 10.0 0.75

10.0 – 15.0 0.85

>15.0 1.00

Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1986

2.4.2

Reservoir

Reservoir berfungsi seperti waduk yaitu untuk menyediakan simpanan (tampungan) air, oleh karena itu ciri fisik yang paling penting adalah kapasitas simpanan. Kapasitas reservoir yang bentuknya beraturan dapat dihitung dengan rumus – rumus untuk menghitung volume benda padat. Menurut Linsley dan Franzini (1985) permukaan genangan normal adalah elevasi maksimum yang dicapai oleh kenaikan pemukaan waduk pada kondisi operasi biasa. Untuk sebagian besar waduk, genangan normal ditentukan oleh elevasi mercu pelimpah atau puncak pintu pelimpah. Permukaan genangan minimum adalah elevasi terendah yang dapat diperoleh bila genangan dilepaskan pada kondisi normal. Inletpada waduk biasanya dilengkapi dengan bangunan untuk mencegah terjadinya pendangkalan pada waduk yang dapat mengurangi kapasitas waduk.

Pada reservoir terdapat simpanan aktif dan simpanan mati. Simpanan aktif adalah volume air yang akan disimpan pada reservoir tersebut, sedangkan simpanan mati adalah volume sedimen yang diperkirakan akan mengendap di dasar reservoir. Pintu pembilas pada tubuh bendung yang


(15)

13 berfungsi untuk membilas sedimen yang masuk ke reservoir dianggap hanya dapat membilas 70% sedimen akibat erosi yang terjadi sehingga sisanya merupakan sedimen yang tersimpan untuk simpanan mati. Suatu model parametrik untuk memprediksi erosi dari suatu bidang tanah telah dilaporkan Wischmeier dan Smith (1965, 1978) dan disebut the Universal Soil Loss Equation (USLE) (Arsyad, 2010). Persamaan USLE adalah sebagai berikut:

A = R.K.L.S.C.P ……...……….………(25) yang menyatakan:

A = banyaknya tanah tererosi dalam ton ha-1 tahun-1 (laju erosi)

R = faktor curah hujan dan aliran permukaan, yaitu jumlah satuan indeks erosi hujan, yang merupakan perkalian antara energi hujan total (E) dengan intensitas hujan maksimum 30 menit (I30), tahunan.

K = faktor erodibilitas tanah, yaitu laju erosi per indeks erosi hujan (R) untuk suatu tanah, yang didapat dari petak percobaan standar, yaitu petak percobaan yang panjangnya 72,6 kaki (22,1 meter), terletak pada lereng 9%, tanpa tanaman (K = A R-1)

L = faktor panjang lereng, yaitu nisbah antara besarnya erosi dari tanah dengan suatu panjang lereng tertentu terhadap erosi dari tanah dengan panjang lereng 72,6 kaki (22,1 meter) di bawah keadaan yang identic.

S = faktor kecuraman lereng, yaitu nisbah antara besarnya erosi yang terjadi dari suatu tanah dengen kecuraman lereng tertentu, terhadap besarnya erosi dari tanah dengan lereng 9% di bawah keadaan yang identic.

C = faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman, yaitu nisbah antara besarnya erosi dari suatu areal dengan vegetasi penutup dan pengelolaan tanaman tertentu terhadap besarnya erosi dari tanah yang identic tanpa tanaman.

P = faktor tindakan – tindakan khusus konservasi tanah (pengolahan dan penanaman menurut kontur, penanaman dalam strip, guludan, teras), yaitu nisbah antara besarnya erosi dari tanah yang diberi perlakuan tindakan konservasi khusus.


(16)

14

III.

METODOLOGI

3.1.

Lokasi dan Waktu

Lokasi yang diamati adalah Kampus Institut Pertanian Bogor, Dramaga dengan luas 277.16 ha. Pelaksanaan penelitian mulai dari Februari hingga Juni 2012.

3.2.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer dan perangkat lunak untuk membantu pengolahan data, kamera digital, GPS, current meter, stopwatch, meteran dan alat tulis. Bahan-bahan yang digunakan adalah serangkaian data sekunder tentang kondisi lingkungan Kampus IPB Dramaga seperti :

1. Peta Kampus IPB Dramaga skala 1:25.000.

2. Citra satelit ikonos Google Earth akuisisi 17 Februari 2007 dan Citra satelit alos avnir akuisisi 3 Agustus 2009.

3. Data curah hujan Stasiun Klimatologi Dramaga tahun 2001 – 2011. 4. Peta tanah Dramaga.

5. Data jumlah civitas akademika IPB.

3.3.

Metode Penelitian

Tahapan penelitian terdiri dari: 1. Studi pustaka

Studi pustaka digunakan untuk mempelajari berbagai metode untuk menentukan debit limpasan dan parameter yang mempengaruhinya serta mengkaji kondisi ideal dari sebuah DAS. Selain itu juga dipelajari tipe bangunan pengendali limpasan.

2. Pengumpulan data dan informasi

Data yang diperlukan seluruhnya merupakan data sekunder. Data sekunder yang dibutuhkan meliputi Peta Kampus IPB Dramaga skala 1:25.000, Citra satelit ikonos Google Earth akuisisi 17 Februari 2007 dan Citra satelit alos avnir akuisisi 3 Agustus 2009, data curah hujan Stasiun Klimatologi Dramaga tahun 2001 – 2011. Selain itu juga dibutuhkan data tekstur tanah dan data jumlah civitas akademika IPB.

3. Pengolahan dan analisis data

A. Penentuan status daya dukung lingkungan aspek sumber daya air Kampus IPB Dramaga. 1. Melakukan perhitungan curah hujan andalan dengan metode Weibull, persamaan (1).

Curah hujan bulanan yang digunakan adalah curah hujan andalan dengan peluang 80%. Hal ini berarti bahwa kisaran nilai curah hujan mulai dari nol hingga nilai andalan dalam satu bulan memiliki peluang terlampaui sebesar 80%.

2. Menghitung kebutuhan air Kampus IPB Dramaga meliputi kebutuhan domestik dan non-domestik dengan persamaan (2).

3. Menentukan status daya dukung lingkungan berbasis neraca air dengan membandingkan ketersedian air dan kebutuhan air. Ketersediaan air adalah CHandalan

yang telah dihitung pada persamaan (1) dan kebutuhan air dihitung dengan persamaan (2).


(17)

15 B. Pola Drainase

1. Melakukan observasi Daerah Tangkapan Air (DTA) Kampus IPB dengan menggunakan peta dan GPS.

2. Menentukan Daerah Tangkapan air berdasarkan hasil observasi lapangan yang dapat dibagi menjadi 14 DTA.

3. Menentukan arah jalur aliran dan arah aliran indikatif. C. Debit Limpasan

1. Menentukan tata guna lahan masing – masing DTA dengan menggunakan Citra satelit ikonos Google Earth akuisisi 17 Februari 2007 dan Citra satelit alos avnir akuisisi 3 Agustus 2009 diolah dengan Arc Gis 9.3.

2. Menentukan curah hujan harian maksimum dengan menggunakan metode Log-Pearson III.

3. Menghitung Intensitas hujan dengan persamaan mononobe (persamaan 4).

4. Menghitung waktu konsentrasi dengan menggunakan persamaan (5) metode kirpich. 5. Menghitung debit puncak masing – masing DTA dengan menggunakan persamaan

(3) metode rasional.

D. Perencanaan Hidrolika Bangunan Pengendali Limpasan

Langkah – langkah perencanaan hidrolika pada DTA tersebut adalah sebagai berikut: 1. Saluran

a) Mengukur debit saluran yang bersumber dari mata air dengan menggunakan current meter. Satu kali bunyi pada current meter merepresentasikan 10 putaran yang terjadi. Rumus kecepatan pada current meter tersebut adalah V = 0,120 N + 0,005

b) Mengukur kedalaman aktual dan lebar puncak (T)

c) Menghitung lebar dasar saluran untuk DTA 4 dengan menggunakan persamaan (14) d) Menentukan kedalaman saluran dengan trial and error

e) Menghitung F dengan persamaan (20)

f) Menghitung h (dengan menggunakan I yang ada) dengan persamaan (21) g) Menghitung A dan mengecek V = Q/A sampai didapat V dan I yang optimum

Apabila V > Vmax → kembali ke langkah f dengan I yang lebih kecil

Apabila V < Vmin → kembali ke langkah f dengan I yang lebih besar

h) Menyesuaikan dimensi b (diperbesar/diperkecil) dan menyesuaikan dimensi h

i) Menggambar penampang memanjang (longitudinal section) saluran di lokasi pada trase saluran yang direncanakan meliputi:

 Elevasi dasar saluran  Elevasi muka air rencana  Elevasi lahan di trase saluran

 Lokasi bangunan tambahan (bangunan terjun) 2. Reservoir

a) Melakukan observasi lapangan dan menentukan panjang bendung dan luas genangan b) Menghitung laju erosi dengan persamaan (25) untuk menentukan simpanan mati c) Membuat kurva hubungan antara tinggi muka air pada bendung dan volume reservoir


(18)

16 Gambar 3. Bagan alir penelitian

Penentuan Daerah tangkapan air

Kemiringan dan panjang aliran

Arah aliran

Curah hujan bulanan

Jumlah civitas akademika

Metode Kirpich Metode Log –

Pearson III

Metode Weibull Water footprint

Waktu konsentrasi (tc)

Curah hujan harian maksimum (R24)

Ketersediaan air

Kebutuhan air

Rancangan hidrolika bangunan pengendali limpasan  Reservoir

 Saluran

 Bangunan penangkap sedimen  Bangunan sadap

Debit puncak limpasan

Koefisen limpasan Intensitas

hujan (I) Luas

lahan

persamaan mononobe

Penutupan lahan

Status daya dukung lingkungan Metode Rasional


(19)

17

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Keadaan Umum Kampus IPB Dramaga

Kampus IPB Dramaga memiliki luas ± 277.16 ha yang secara geografis terletak di kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor pada 06°32’41” - 06°33’58” LS dan 106°42’47” - 106°44’07” BT. Kampus IPB diapit oleh dua anak Sungai Cisadane yaitu Sungai Ciapus di sebelah Utara dan Sungai Cihideung di sebelah Barat.

Data curah hujan dan data iklim diperoleh dari stasiun klimatologi Dramaga yang terletak pada 06°33'13” LS dan 106°44'59” BT dengan elevasi 190 m dpl. Klasifikasi iklim wilayah kampus IPB Dramaga berdasarkan klasifikasi Köppen adalah tipe Afa yaitu iklim tropik basah, tidak ada musim kering, basah sepanjang tahun dan suhu rata-rata bulanan terpanas lebih besar dari 22°C (Evita, 2007). Curah hujan rata – rata menunjukkan bahwa stasiun Dramaga memiliki jumlah bulan basah berturut-turut sebanyak 9 bulan (September s/d Mei). Oleh karena itu zona agroklimat wilayah kampus IPB Dramaga berdasarkan klasifikasi Oldeman adalah A1 yaitu sesuai untuk padi terus menerus tetapi produksi kurang karena pada umumnya kerapatan fluks radiasi surya rendah sepanjang tahun.

Jenis tanah yang ada di Kampus IPB Dramaga dimasukkan dalam jenis tanah latosol coklat kemerahan dengan tekstur tanah halus dan drainase sedang. Bentuk wilayah adalah bergelombang dengan punggung – punggung memanjang. Kelas kesesuaian wilayah untuk tanaman semusim, tanaman setahun dan padi sawah adalah sangat sesuai (LPT, 1979).

Berdasarkan uji sondir dalam Final Report Soil Investigation untuk Perencanaan Pekerjaan Pembangunan Gedung Pendidikan IPB (2011) dapat disimpulkan bahwa jenis tanah permukaan adalah tanah lempung sangat lunak sampai lunak kelanauan dan lunak bercampur organik.

4.2. Status Daya Dukung Lingkungan

Daya dukung lingkungan berbasis neraca air suatu wilayah dapat diketahui dengan menghitung kapasitas ketersediaan air pada wilayah tersebut. Ketersediaan air hujan di wilayah Kampus IPB Dramaga diperoleh dengan membandingkan nilai total CHandalan dalam satu tahun

dengan kebutuhan air pada wilayah tersebut dalam satu tahun (water footprint).

Wilayah Kampus IPB Dramaga merupakan wilayah institusi pendidikan dimana didalamnya terdapat bangunan perkuliahan, laboraturium, kantor, asrama, dan perumahan dosen. Oleh karena itu dalam perhitungan kebutuhan air (water footprint) di wilayah Kampus IPB Dramaga perhitungan kebutuhan air hanya dilakukan untuk populasi yang tinggal di dalam kampus yaitu di asrama dan perumahan dosen.

Ketersediaan air yang dinyatakan sebagai CHandalan dihitung dengan peluang kejadian hujan

≥ 50% (Prastowo, 2010). CHandalan yang digunakan adalah 80% dengan besaran nilai 2,530.0

mm/tahun (Lampiran 4). Kebutuhan air yaitu jumlah populasi yang tinggal di dalam kampus dikalikan dengan 1,600 m3/kap/tahun sehingga didapat nilai sebesar 7.9 x 106 m3/tahun (Tabel 9).

Nilai CHandalan total dalam satu tahun dikalikan dengan total luasan sehingga diperoleh nilai

ketersediaan air dalam satuan m3/tahun, sehingga diperoleh nilai ketersediaan air dalam satuan m3/tahun yaitu sebesar 7.01 x 106 m3/tahun. Besarnya kebutuhan air yang telah dihitung setara dengan 7.9 x 106 m3/tahun, sehingga rasio antara ketersediaan dan kebutuhan air adalah sebesar 0.9. Nilai rasio antara ketersediaan dan kebutuhan air kurang dari 1 sehingga status daya dukung lingkungan untuk wilayah Kampus IPB Dramaga termasuk dalam kategori telah terlampaui


(20)

18 (overshoot). Hal ini juga dapat diketahui dengan kurva nomogram pada Gambar 4 yaitu hubungan antara kepadatan penduduk 1,855 jiwa/Km2 dengan curah hujan 2,530.0 mm/tahun dapat diketahui wilayah Kampus IPB Dramaga berada dalam status telah terlampaui (overshoot).

Tabel 9. Kebutuhan air (water footprint) wilayah kampus IPB Dramaga

Gedung Jumlah penghuni Kebutuhan air (m3/kap/tahun)

Asrama putra 1,361 2,177,600

Asrama Putri 1,686 2,697,600

Rusunawa 274 438,400

Asrama Silvalestari 182 291,200

Asrama Silvasari 158 252,800

Asrama Amarilis 100 160,000

Asrama Putri Dramaga 35 56,000

Perumahan Dosen* (159 kk) 636 1,017,600

Kantin dan Kios** (260 buah) 520 832,000

Total kebutuhan air domestik 4,952 7,923,200

*asumsi perumahan dosen 1 kk terdiri dari 4 orang **asumsi masing-masing kios terdiri dari 2 orang

Gambar 4. Nomogram penetapan status daya dukung lingkungan berbasis neraca air untuk kepadatan 1000-10000 Jiwa/km2

Hal yang perlu diperhatikan pada status daya dukung lingkungan berbasis neraca air pada wilayah Kampus IPB Dramaga yang masuk dalam kategori telah terlampaui (overshoot) adalah kondisi tersebut terjadi apabila air yang tersedia digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa yang dikonsumsi oleh individu atau komunitas atau yang dihasilkan oleh industri. Kondisi aktual di wilayah ini tidak terdapat kegiatan industri untuk memproduksi pangan, papan dan sandang. Oleh

Wilayah Kampus IPB Dramaga


(21)

19 karena itu untuk meningkatkan efektifitas pengelolaan air dibutuhkan rancangan hidrolika bangunan pengendali limpasan.

4.3. Curah Hujan dan Limpasan

Curah hujan harian maksimum digunakan untuk menghitung besarnya intensitas hujan yang terjadi dalam suatu wilayah. Data curah hujan maksimum harian didapatkan dari data curah hujan maksimum yang didapat dari Stasiun Klimatologi Dramaga (Lampiran 3). Curah hujan harian maksimum periode ulang 5 tahun dengan menggunakan distribusi log pearson III adalah sebesar 634.20 mm yang perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 5.

Berdasarkan hasil observasi, Kampus IPB Dramaga yang luasnya 277.16 ha dapat dibagi menjadi 14 Daerah Tangkapan Air (DTA) atau catchment area (Lampiran 1). Daerah tangkapan ini termasuk wilayah kampus dan perumahan penduduk yang berbatasan dengan IPB namun masih dalam satu daerah tangkapan air. Aliran permukaan pada masing-masing DTA ada yang langsung terbuang ke sungai seperti DTA yang berbatasan langsung dengan Sungai Cihideung yaitu DTA 1, 2, 5, 6 dan 7, sedangkan limpasan yang mengalir ke Sungai Ciapus berasal dari DTA 3, 4, 8, 9, 10 dan 12. Aliran pada DTA yang tidak berbatasan langsung dengan sungai yaitu DTA 11 akan terkonsentrasi pada suatu badan air seperti danau maupun kolam. Pola drainase masing-masing DTA dapat dilihat pada Gambar 5.

Keterangan:

: Arah aliran indikatif : Arah jalur aliran : Outlet

U


(22)

20 DTA yang menjadi pusat kegiatan kampus seperti DTA 5, 6, 7, 9, 10, 11, sudah memiliki jalur aliran permukaan yang teratur. DTA yang mencakup perumahan dosen dan kebun percobaan juga sudah memiliki trase aliran permukaan yang relatif baik. Pada DTA yang masih berupa vegetasi bertajuk tinggi seperti DTA 1 dan 2 belum terdapat jalur aliran sehingga hanya ditunjukkan dengan arah aliran indikatif saja. DTA di wilayah studi dapat dikelompokkan ke dalam 3 kelompok seperti yang ditunjukkan pada Tabel 10. Luas DTA beserta penggunaan lahannya ditunjukkan pada Lampiran 2.

Tabel 10. Deskripsi kondisi fisik Daerah Tangkapan Air Daerah

Tangkapan Air

Deskripsi

Kelompok 1: DTA dengan arah limpasan ke Sungai Ciapus

a. DTA 1  Relatif landai di bagian hulu dan curam di bagian hilir. Penggunaan lahan DTA 1 sebagian besar adalah vegetasi bertajuk tinggi sehingga belum memiliki saluran utama drainase.

b. DTA 2  Sebagian besar penggunaan lahannya adalah vegetasi bertajuk tinggi sehingga belum memiliki saluran utama drainase. Bentangan DTA ini relatif landai di bagian hulu dan memiliki sebagian wilayah yang agak curam pada daerah hilir.

c. DTA 5  Relatif agak curam dan sudah memiliki saluran drainase utama yang mengalir langsung ke Sungai Ciapus.

d. DTA 6  Relatif curam dan belum memiliki saluran drainase utama. Dapat dikatakan daerah yang rawan longsor karena pada bagian hilir terdapat pemukiman warga dan bagian hulunya merupakan daerah terbangun yang relatif curam.

e. DTA 7  Daerah ini agak curam di bagian hulu dan relatif landai di bagian hilir. Kelompok 2: DTA dengan arah limpasan ke Sungai Cihideung

a. DTA 3  Sebagian besar penggunaan lahannya merupakan vegetasi bertajuk rendah dan kebun percobaan. Bentangan DTA 3 dapat dikatakan relatif landai. b. DTA 4  Sebagian besar penggunaan lahannya merupakan vegetasi bertajuk tinggi.

Saluran drainase hanya terdapat di perumahan dan jalan, sehingga belum memiliki saluran drainase utama. Bentangan DTA 4 relatif landai keseluruhan bagiannya akan tetapi pada bagian tengah terdapat perbedaan tinggi cukup besar sehingga DTA 4 berpotensi untuk dijadikan reservoir. c. DTA 8  Bentuk tangkapannya memanjang dan langsung dibatasi oleh Sungai

Cihideung. Oleh karena itu DTA ini bentangan wilayahnya relatif curam ke arah barat dimana terdapat Sungai Cihideung.

d. DTA 10  Penggunaan lahannya sebagian besar adalah vegetasi bertajuk tinggi dan memiliki bentangan yang relatif curam.

e. DTA 12  Area budidaya dan daerahnya relatif landai.

Kelompok 3: DTA yang memiliki badan air dan dengan limpasan yang mengalir melewati DTA lainnya.

a. DTA 9a  Saluran drainase akan bermuara di Danau Situ Leutik bagian hulu. b. DTA 9b  Saluran drainase akan bermuara di Danau Situ Leutik bagian hilir. c. DTA 9c  Saluran drainase akan bermuara di kolam percobaan. Air dari Danau Situ

Leutik dan kolam percobaan akan keluar melalui gorong-gorong menuju Sungai Cihideung.


(23)

21 Pembagian DTA yang dilakukan berguna untuk perencanaan hidrolika bangunan pengendali limpasan. Bangunan pengendali limpasan ini berfungsi untuk menampung dan menyimpan air agar tidak terjadi banjir dan air dapat dimanfaatkan kembali. Besar kecilnya limpasan sangat ditentukan oleh pola penggunaan lahan yang dinyatakan dengan koefisen pengaliran C dalam persamaan rasional. Koefisien pengaliran bervariasi antara 0.30 – 0.57 pada masing-masing DTA, karena dipengaruhi oleh penggunaan lahan yang beragam. Semakin besar persentase lahan terbangun maka semakin besar limpasan. Semakin besar kemiringan lahan maka semakin besar limpasan. Jenis tanah juga mempengaruhi nilai limpasan, semakin liat tanah maka semakin besar limpasan.

DTA yang memiliki koefisen limpasan terendah sebesar 0.30 adalah DTA 9a karena wilayahnya relatif datar walaupun memiliki persentase lahan terbangun paling besar. DTA yang memiliki koefisien limpasan tertinggi yaitu sebesar 0.57 adalah DTA 7 karena sebagian besar wilayahnya merupakan lahan terbangun dan kemiringan lahan yang relatif curam di bagian hulu dan landai di bagian hilir.

Faktor lainnya yang mempengaruhi besarnya limpasan adalah panjang aliran utama (l) dan kemiringan saluran (s). Nilai debit pada masing-masing DTA dapat dilihat pada Tabel 11. Total debit limpasan untuk Kampus IPB Dramaga sebesar 5,662.58 l/dt. Debit limpasan pada masing-masing DTA berkisar antara 48.51 – 1,450.35 l/dt. Debit limpasan di DTA 9 yang memiliki 3 sub DTA (9a, 9b dan 9c) adalah sebesar 595.11 l/dt. Debit limpasan di DTA 1 relatif lebih besar dibandingkan dengan debit limpasan di DTA 9 yang luas wilayahnya lebih besar dari DTA 1. Faktor yang menyebabkan perbedaan tersebut adalah DTA 1 memiliki panjang lintasan saluran yang lebih pendek dan wilayah yang relatif curam.

Tabel 11. Debit pada masing-masing Daerah Tangkapan Air IPB

DTA C* l (m) S tc (jam) i (mm/jam) Luas (ha) Q (m3/dt) Q (l/dt)

1 0.51 396.40 0.0748 28.35 23.65 23.60 0.79 786.97

2 0.51 287.67 0.1070 16.43 34.02 30.05 1.45 1,450.36

3 0.43 788.47 0.0478 70.01 12.94 22.34 0.35 348.48

4 0.41 940.38 0.0176 184.95 6.77 26.37 0.20 202.58

5 0.42 563.27 0.0609 44.11 17.61 15.54 0.32 319.84

6 0.53 462.69 0.0979 25.52 25.36 18.76 0.70 704.04

7 0.57 626.52 0.0623 47.02 16.88 20.68 0.55 548.77

8 0.55 1,540.00 0.0131 344.84 4.47 20.74 0.14 142.50

9a 0.30 581.75 0.0079 248.05 5.57 18.57 0.09 85.62

9b 0.44 258.94 0.0085 125.51 8.77 11.43 0.12 122.34

9c 0.46 679.44 0.0179 142.02 8.08 37.73 0.39 387.14

10 0.38 283.02 0.0162 78.54 11.99 9.44 0.12 120.02

11 0.36 170.92 0.0160 53.65 15.46 3.15 0.05 48.51

12 0.50 256.94 0.0225 55.30 15.15 18.78 0.40 395.39

Total 277.16 5.66 5,662.58

C* merupakan koefisien limpasan pada DTA

4.4.

Perancangan Hidrolika Bangunan Pengendali Limpasan

Sebelum merancang hidrolika bangunan pengendali limpasan terlebih dahulu dilakukan penentuan jalur aliran utama. Jalur aliran utama adalah saluran alami maupun buatan tempat berkumpulnya air dari segala macam sumber yang kemudian dialirkan ke sungai. Jalur saluran ditentukan mengikuti pola aliran yang telah ada. Perancangan hidrolika bangunan pengendali


(24)

22 limpasan hanya dilakukan pada DTA 4 dan DTA 9. Lokasi tersebut dipilih karena pada DTA 4 berpotensi untuk dijadikan sebagai reservoir, sedangkan DTA 9 merupakan pusat kegiatan akademik kampus IPB Dramaga. Penentuan jalur dilakukan berdasarkan interpretasi pada saat observasi lapang (Gambar 6). Penampang memanjang dari DTA 4 dan DTA 9 dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 6. Jalur aliran utama DTA 4 dan DTA 9 Keterangan :

: jalur aliran utama

DTA 4

DTA 9

Asrama Sylvalestari Lapangan

parkir FKH Vegetasi bertajuk

rendah Lahan pertanian

Reservoir

188 m

172 m 176 m Jl. Kayu Manis

197 m 675 m 460 m 330 m

713 m 0 m

DTA 4

U

Gambar 7. Sketsa penampang memanjang jalur aliran utama di DTA 4 dan DTA 9

655 m 290 m 0 m 190 m

173 m

1223 m

Jalan Kamper Danau Situ Leutik

Kolam Percobaan


(25)

23 Faktor yang perlu diperhatikan dalam perancangan hidrolika adalah topografi. Pemahaman mengenai topografi sangat penting agar rancangan hidrolika dapat memenuhi aspek ekonomi dan kemudahan dalam pengerjaan.

Pada DTA 4 dilakukan rancangan hidrolika bangunan sebagai berikut: (a) Reservoir

(b) Saluran

(c) Bangunan penangkap sedimen

Pada DTA 9 dilakukan rancangan hidrolika bangunan sebagai berikut: (a) Analisis saluran

(b) Bangunan sadap

(c) Bangunan penangkap sedimen pada inlet Danau Situ Leutik.

4.4.1

Rancangan Hidrolika Bangunan Pengendali Limpasan di DTA 4

(a) Reservoir

Kondisi topografi lahan pada bagian hilir DTA 4 memungkinkan untuk pembangunan reservoir yang dapat berfungsi untuk menampung limpasan sehingga menambah potensi suplai air. Selain itu terdapat sumber mata air yang selalu mengalir dan dimanfaatkan untuk lahan pertanian dan kolam ikan. Namun sebagian air mengalir dalam saluran dan langsung terbuang ke sungai. Mata air ini sangat berpotensi untuk dijadikan sumber air untuk reservoir. Berdasarkan keterangan warga, daerah ini dahulu merupakan waduk yang memiliki tubuh bendung. Oleh karena itu desain reservoir memanfaatkan tubuh bendung yang sudah ada. Kondisi DTA 4 dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Kondisi DTA 4 berpotensi dijadikan reservoir (a) Salah satu sumber mata air (b) Lahan pertanian

(c) Bekas tubuh bendung dan saluran mata air

Tubuh bendung


(26)

24 Air yang terdapat di reservoir ini dapat dimanfaatkan sebagai alternatif sumber air untuk kebutuhan air bersih di DTA 4 dan DTA 8. Pada DTA 4 terdapat kandang peternakan, sedangkan pada DTA 8 terdapat kandang peternakan, rumah pemotongan hewan dan rumah kaca kebun percobaan Cikabayan. Kedua DTA tersebut memiliki suplai air baku sebesar 864 m3/hari yang berasal dari Danau Situ Leutik. Selain untuk menyuplai kebutuhan air baku, reservoir dirancang agar dapat dimanfaatkan sebagai tempat budidaya perikanan air tawar dan dapat dijadikan sebagai tempat pemancingan. Untuk memenuhi kebutuhan air tersebut maka volume simpanan aktif dirancang 10% lebih besar dari yang dibutuhkan yaitu sebesar 950.4 m3/hari. Simpanan mati (dead storage) merupakan endapan lumpur pada reservoir dirancang sebesar 47.76 m3/25 tahun yang perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 6. Sumber air untuk reservoir mengandalkan aliran mata air yang telah diukur debit sesaat yaitu sebesar 0.0435 m3/dt pada tanggal 27 April 2012. Nilai debit tersebut setara dengan 3,758.4 m3/hari sehingga dianggap setiap harinya dapat memenuhi kapasitas reservoir yang telah dirancang. Tata letak usulan reservoir dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Tata letak usulan reservoir DTA 4

Agar reservoir tidak menggenangi lahan pertanian yang sudah ada maka reservoir dibuat dengan cara menggali lahan. Panjang tubuh bendung direncanakan sesuai dengan panjang tubuh bendung yang sudah ada yaitu 35 meter sehingga dimensi tampungan mencapai 35 m x 46 m. Hubungan antara tinggi muka air pada reservoir dan volume reservoir dapat ditunjukkan dengan Gambar 10.

Tubuh bendung dilengkapi dengan pelimpah yang berfungsi untuk menjaga tinggi muka air, sehingga air tidak akan melampaui tinggi bendung (overtopping) dan tidak akan menggenangi lahan pertanian disekitarnya. Sketsa tampak atas tubuh bendung yang dilengkapi dengan pelimpah

46 m 35 m


(27)

25 dapat dilihat pada Gambar 11 dan Gambar 12, sedangkan tipikal tubuh bendung dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 10. Hubungan tinggi muka air dan volume reservoir di DTA 4

Gambar 11. Sketsa tampak atas tubuh bendung di DTA 4 (sumber: Linsley dan Franzini, 1985)

Gambar 12. Tipikal pelimpah jenis cerobong (sumber: Linsley dan Franzini, 1985) Tinggi muka air maksimum

Volume maksimum

Elevasi 145 m

Elevasi 35 m

Bibir tempat masuk, dibulatkan

Cerobong tegak

Lengkung halus Terowongan beton

Bendungan urugan, elevasi mercu.160 m

Lubang masuk pelimpah terowongan

200 m 160 m 80 m 40 m

40 m 120 m

160 m 200 m


(28)

26 Gambar 13. Tipikal tubuh bendung di DTA 4

Menurut Linsley dan Franzini (1985), pelimpah jenis cerobong (shaft spillway) digunakan apabila tidak ada ruang yang memadai untuk tipe pelimpah jenis lainnya. Biasanya pelimpah cerobong dirancang untuk menghindari pelimpahan di atas atau menembus suatu bendungan urugan. Untuk bendungan rendah dan cerobong pendek, tidak diperlukan perancangan bangunan masukan secara khusus. Pelimpah jenis cerobong yang kecil dapat seluruhnya dibuat dari logam atau pipa beton atau tembikar lempung.

(b) Saluran

Air dari mata air mengalir melalui saluran alami yang telah ada. Kapasitas saluran alami tersebut perlu disesuaikan agar dapat mendukung suplai air ke reservoir. Hidrolika saluran dirancang dengan trial and error dan mempertimbangkan topografi lahan. Saluran dirancang dengan menggunakan penampang trapesium (Gambar 2). Koefisien kekasaran manning yang digunakan adalah sebesar 0.030 yaitu untuk saluran alami berukuran kecil, bersih lurus, terisi penuh, tanpa rekahan atau ceruk dalam (Tabel 5). Berdasarkan Fortier dan Scobey (1926) dalam Kriteria Perencanaan untuk saluran (KP-03) (DPU, 1986a), kecepatan maksimum untuk saluran yang terbuat dari bahan tanah lempung kelanauan adalah sebesar 0.610 m/dt agar tidak terjadi erosi yang menyebabkan sedimentasi. Kecepatan minimum pada saluran juga perlu diperhatikan yaitu sebesar 0.4 m/dt untuk mencegah nyamuk malaria dan bilharzia (penyakit kaki gajah). Kemiringan saluran dirancang agar aliran mengalir tidak melampaui kecepatan maksimum yang sudah ditentukan. Berdasarkan Kriteria Perencanaan bagian petak tersier (KP-05) (DPU, 1986b), saluran pembuang sebaiknya direncanakan dengan kemiringan minimum 0.5% dan kecepatan aliran di atas 0.45 m/dt. Hidrolika saluran yang dirancang dapat dilihat pada Tabel 12 berdasarkan rumus perhitungan pada Tabel 7. Kemiringan lahan rata-rata adalah sebesar 1.94%.

Tabel 12. Dimensi hidrolika saluran DTA 4

Unsur Geometris Nilai

Kemiringan saluran (I) 0.005

Kedalaman, h (m) 0.433

Lebar bawah, b (m) 0.5

Lebar atas, B (m) 1.46

Luas, A (m2) 0.276

Keliling basah, P (m) 1.383

Jari – jari hidrolik, R (m) 0.200

Lebar puncak, T (m) 0.922

Kedalaman hidrolik, D (m) 0.299

Faktor penampang, Z 0.577


(29)

27 Berdasarkan perhitungan dari persamaan (16) dengan debit rencana pada DTA 4 sebesar 0.2 m3/dt (Tabel 11), didapat kecepatan aliran yang terjadi sebesar 0.72 m/dt. Nilai tersebut masih lebih besar dibandingkan dengan kecepatan maksimum yang diizinkan sehingga diperlukan penanaman vegetasi pada saluran untuk mencegah terjadinya erosi dan sedimentasi. Selain itu menurut Kriteria Perencanaan bagian petak tersier (KP-05) (DPU, 1986b), jika kecepatan yang dihasilkan lebih tinggi dari kecepatan maksimum yang diizinkan maka diperlukan adanya bangunan terjun. Bangunan terjun juga diperlukan mengingat perbedaan kemiringan dasar saluran yang direncanakan (0.5%) berbeda dari kemiringan lahan rata-rata (1.94%).

Menurut Chow (1992) adanya rumput atau tetumbuhan di saluran akan menimbulkan turbulensi yang cukup besar, yang berarti adanya kehilangan energi dan terjadinya hambatan aliran. Namun untuk saluran tanah yang dipakai untuk pengairan, adanya lapisan rumput ini sering dipandang menguntungkan dan disukai. Rumput tersebut akan menstabilkan tubuh saluran, mengkonsolidasikan massa tanah di dasar saluran dan mengontrol erosi permukaan saluran dan gerakan butir-butir tanah di sepanjang dasar saluran. Pedoman pemilihan tetumbuhan untuk saluran dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Pedoman pemilihan tetumbuhan untuk saluran bervegetasi Rumpun Tinggi rumput rata – rata (cm) Tingkat hambatan

Baik

>76 A Sangat tinggi

25 – 30 B Tinggi

15 – 25 C Sedang

5 – 15 D Rendah

< 5 E Sangat rendah

Sedang

>76 A Sangat tinggi

25 – 30 B Tinggi

15 – 25 C Sedang

5 – 15 D Rendah

< 5 E Sangat rendah

Sumber: U.S Soil Conservation Service dalam Chow, 1992.

Perencanaan bangunan terjun pada saluran dibagi menjadi 4 ruas, masing – masing ruas memiliki kemiringan lahan berturut-turut 0.004, 0.02, 0.028 dan 0.032. Seperti terlihat pada Gambar 14, dibutuhkan bangunan terjun pada saluran sebanyak dua buah sejarak 228.6 m (a) dan 304.8 m (b) dari hilir. Detail bangunan terjun dapat dilihat pada Gambar 15.

Gambar 14. Sketsa Penampang memanjang saluran di DTA 4

reservoir

s = 0.004 s = 0.02 s = 0.028 s = 0.032 Kemiringan lahan

Kemiringan dasar saluran


(30)

28 Gambar 15. Sketsa detail kemiringan dasar saluran dan bangunan terjun di DTA 4 (c) Bangunan penangkap sedimen

Untuk menghindari terjadinya pendangkalan, reservoir perlu dilengkapi dengan bangunan penangkap sedimen yang dipasang pada bagian inlet (Gambar 16). Bangunan penangkap sedimen terdiri dari saluran penangkap sedimen dan pintu air. Saluran penangkap sedimen dirancang berbentuk penampang trapesium (Gambar 2) dengan kecepatan aliran yang minimum untuk mengendapkan sedimen yang dibawa aliran. Kecepatan minimum aliran yang dirancang adalah sebesar 0.4 m/dt. Rancangan hidrolika saluran penangkap sedimen dapat dilihat pada Tabel 16.

Gambar 16. Tipikal bangunan penangkap sedimen Tabel 14. Dimensi hidrolika saluran penangkap sedimen di DTA 4

Unsur Geometris Nilai

Kemiringan saluran (I) 0.00085

Kedalaman, y (m) 0.52

Lebar bawah, b (m) 0.6

Lebar atas, B (m) 1.56

Luas, A (m2) 0.50

Keliling basah, P (m) 1.80

Jari – jari hidrolik, R (m) 0.26

Lebar puncak, T (m) 1.20

Kedalaman hidrolik, D (m) 0.39

Faktor penampang, Z 0.577

Tinggi jagaan, FB (m) 0.4

FB h

Kemiringan lahan

Kemiringan dasar saluran

Pintu pembilas Slope saluran relatif

datar


(31)

29

4.4.2

Rancangan Hidrolika Bangunan Pengendali Limpasan di DTA 9

DTA 9 merupakan pusat kegiatan akademik Kampus IPB Dramaga. Perancangan hidrolika bangunan pengendali limpasan khususnya dilakukan di DTA 9c seperti yang terlihat pada Gambar 17.

Gambar 17. Tata letak rancangan hidrolika pada DTA 9

(a) Saluran

Analisis rancangan hidrolika saluran dilakukan di DTA 9 yang terletak di Jalan Kamper. Saluran dirancang dengan penampang segi empat dan berlapis beton (Gambar 18). Koefisien kekasaran manning untuk saluran berlapis beton sebesar 0.017 (Chow, 1992) dan analisis dimensi saluran pada DTA 9 dapat dilihat pada Tabel 15.

Pada DTA 9 sudah terdapat saluran drainase yang berlapis beton dengan penampang segiempat. Saluran ini memiliki dimensi aktual lebar dasar (b) saluran sebesar 0.8 m dan kedalaman (h) ditambah tinggi jagaan (FB) sebesar 0.83 m. Berdasarkan analisis rancangan hidrolika yang dilakukan maka kapasitas saluran yang sudah ada dinilai telah memadai.

Keterangan :

: Saluran yang dianalisis : Inlet Situ Leutik : Bangunan sadap


(32)

30 Gambar 18. Tipikal saluran penampang segi empat

Tabel 15. Analisis dimensi saluran di DTA 9

Unsur Geometris Nilai

Kedalaman, y (m) 0.313

Lebar bawah, b (m) 0.8

Luas, A (m2) 0.196

Keliling basah, P (m) 1.252

Jari – jari hidrolik, R (m) 0.156

Lebar puncak, T (m) 0.626

Kedalaman hidrolik, D (m) 0.313

Tinggi jagaan, FB (m) 0.4

(b) Bangunan sadap

Air yang menggenang di permukaan jalan dapat merusak jalan dan mengganggu pengguna jalan. Sebagai contoh di Jalan Kamper air sering menggenang sampai setinggi trotoir pada saat hujan. Pada tepi jalan terdapat lubang – lubang drainase untuk mengalirkan air ke saluran (Gambar 19), akan tetapi lubang drainase tersebut relatif kecil sehingga tidak memadai untuk mengalirkan debit aliran yang ada. Selain itu lubang drainase tersebut juga tertutup daun-daunan maupun sedimen yang menghambat aliran masuk ke lubang drainase. Lubang drainase juga rata dengan jalan sehingga memperlambat aliran yang akan masuk. Untuk itu konstruksi lubang perlu dibuat yang cekung ke dalam untuk mempercepat aliran masuk ke saluran drainase.

Gambar 19. Lubang drainase

FB

h


(33)

31 Untuk menghindari terjadinya genangan yang tinggi maka perlu dibuat kapasitas bangunan sadap berupa lubang drainase yang diperbesar. Selain itu posisi lubang drainase dibuat lebih rendah daripada permukaan jalan agar tidak terjadi genangan pada jalan pada saat hujan. Tipikal bangunan sadap dapat dilihat pada Gambar 20.

Gambar 20. Tipikal bangunan sadap (a) berkisi (b) lubang penahan (sumber: Linsley dan Franzini, 1985)

(c) Bangunan penangkap sedimen

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan dalam kegiatan Save Our Situ oleh UKM Pecinta Alam (Lawalata) IPB, telah terjadi penyusutan luas danau akibat dari sampah organik yang menumpuk di tepi danau. Oleh karena itu, perlu adanya bangunan penangkap sedimen pada inlet Danau Situ Leutik (Gambar 16) untuk mencegah terjadinya sedimentasi.

Bangunan penangkap sedimen berfungsi untuk menahan partikel-partikel atau sedimen agar tidak masuk ke dalam badan air seperti Danau Situ Leutik maupun Kolam Percobaan. Bangunan ini diletakkan di bagian hulu dari inlet yang menuju ke badan air tersebut. Sedimen yang terbawa masuk ke badan air dan kemudian mengendap akan menyebabkan terjadinya pendangkalan dan akan mengurangi kapasitas badan air dan kualitas airnya.

(a) (b)


(34)

32

V.

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1.

Kesimpulan

1. Status daya dukung lingkungan wilayah Kampus IPB Dramaga overshoot (daya dukung lingkungan telah terlampaui) dengan rasio ketersediaan dan kebutuhan air sebesar 0.9.

2. Hasil analisis debit limpasan adalah sebagai berikut:

a) Total debit limpasan sebesar 5.66 m3/dt dengan debit limpasan pada masing-masing DTA berkisar antara 0.05 – 1.45 m3

/dt.

b) Debit limpasan di DTA 9 yang memiliki 3 sub DTA (9a, 9b dan 9c) adalah sebesar 0.60 m3/dt, sedangkan debit limpasan di DTA 4 adalah sebesar 0.20 m3/dt.

3. Perancangan hidrolika bangunan pengendali limpasan hanya dilakukan pada DTA 4 karena lahannya berpotensi untuk dijadikan reservoir dan DTA 9 yang merupakan pusat kegiatan akademik di Kampus IPB Dramaga yang meliputi:

a) Rancangan reservoir pada DTA 4 yang memiliki simpanan aktif sebesar 950.4 m3/hari dan simpanan mati sebesar 47.76 m3/25 tahun. Panjang tubuh bendung direncanakan 35 meter, sedangkan dimensi tampungan sebesar 35 m x 46 m.

b) Rancangan saluran air pada DTA 4 yang berbentuk trapesium dengan kemiringan dasar saluran sebesar 0.005, lebar bawah (b) sebesar 0.5 m, lebar atas (B) sebesar 1.46 m dan faktor penampang (z) sebesar 0.577. Koefisen kekasaran manning saluran yang digunakan sebesar 0.030.

c) Rancangan bangunan penangkap sedimen untuk mencegah terjadinya sedimentasi pada reservoir di DTA 4 dan DTA 9.

d) Kapasitas saluran drainase pada DTA 9 yang sudah ada dinilai telah memadai.

e) Kapasitas bangunan sadap berupa lubang drainase pada tepi jalan di DTA 9 perlu diperbesar dan dibuat lebih rendah daripada permukaan jalan agar tidak terjadi genangan pada jalan pada saat hujan.

5.2.

Saran

1. Diperlukan penelitian lanjutan yang didukung oleh data topografi dan pola drainase yang lebih detail.

2. Perlu adanya penelitian lanjutan mengenai perancangan struktur bangunan air berupa reservoir dan bangunan terjun pada DTA 4.


(35)

RANCANGAN HIDROLIKA BANGUNAN PENGENDALI LIMPASAN

DI WILAYAH KAMPUS IPB DRAMAGA, BOGOR

SKRIPSI

Oleh :

JOAN KARTINI ROSSI

F44080034

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(36)

33

DAFTAR PUSTAKA

Apriyanto B. 2011. Analisis Kebutuhan Air dan Headloss pada Distribusi Air Bersih di Kampus IPB Dramaga. Bogor.Skripsi.Bogor: Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian IPB

Arsyad S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Edisi Revisi. Bogor : IPB Press

Asdak C. 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Jogjakarta : Gadjah Mada University Press.

[BAKOSURTANAL] Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional. 2008. Peta Rupa Bumi

Indonesia Lembar 1209 – 134 Leuwiliang. Cibinong: Bakosurtanal. Skala 1:25000

[BMKG] Badan Meteorologi dan Geofisika. 2012. Data Iklim 2001 – 2011. Stasiun Klimatologi Dramaga. Bogor.

Brooks KN., Folliot PF., Gregersen HM., DeBano LF. 2003. Hydrology and The Management of Watersheds. Iowa:Blackwell Publishing Professional.

Chow VT. 1964. Handbook of Applied Hydrology. New York: McGraw-Hill Book Company. Chow VT. 1992. Hidrolika Saluran Terbuka. Jakarta: Erlangga.

[DPU] Departemen Pekerjaan Umum. 1986a. Kriteria Perencanaan Bagian Saluran KP – 03. Bandung: CV. Galang Persada.

[DPU] Departemen Pekerjaan Umum. 1986b. Kriteria Perencanaan Bagian Petak Tersier KP 05. Bandung: CV. Galang Persada.

Fahmudin A, Widianto (2004).Petunjuk Praktik Konservasi Tanah Pertanian Lahan Kering. Bogor: World Agroforestry Centre ICRAF Southeast Asia.

Keputusan Menteri Permukiman dan Prasana Wilayah Nomor 360/KPTS/M/2004 Tentang Perencanaan Hidraulik Bendung dan Pelimpah Bendungan Tipe Gergaji.

Kodoatie RJ., Sjarief R. 2008. Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu. (edisi revisi). Yogyakarta: CV Andi Offset.

Linsley R. Franzini JB. 1985. Teknik Sumber Daya Air. Bandung : Erlangga. Manan S. 1976. Pengaruh Hutan Dan Manajemen Daerah Aliran Sungai. IPB. Bogor.

Maryono A. 2005. Menangani Banjir. Kekeringan. dan Lingkungan. Jogjakarta : Gadjah Mada University Press.

Noerbambang SM, Morimura T. 2000. Perencanaan dan Pemeliharaan Sistem Plambing. Jakarta: PT Pradnya Paramitha.

Patra KC. 2001. Hydrology and Water Resources Engineering. Pangbourne: Alpha Science International Ltd.

Prastowo. 2010. Daya Dukung Lingkungan Aspek Sumberdaya Air. Working Paper. Bogor : Crestpent Press.

PT. Perentjana Djaja. 2011. Final Report Soil Investigation. Perencanaan Pekerjaan Pembangunan Gedung Pendidikan Institut Pertanian Bogor. Jakarta: PT. Perentjana Djaja.

Schwab GO., Frevert RK., Edminster TW., Barnes KK. 1960. Elementary Soil and Water Engineering. New York : John Wiley and Sons. Inc.

Schwab GO., Frevert RK., Edminster TW., Barnes KK. 1981. Soil and Water Conservation Engineering. New York : John Wiley and Sons. Inc.

Seyhan E. 1990. Dasar – dasar Hidrologi. Penerjemah : Ir. Sentot Subagyo. Jogjakarta : Gadjah Mada University Press.


(37)

34 [TPB IPB]. 2011. TPB dalam Angka [Homepage dari Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor]. http://tpb.ipb.ac.id/index.php/en/tpb-dalam-angka/category/15-tpb-dalam-angka. [22 Februari 2012].


(38)

RANCANGAN HIDROLIKA BANGUNAN PENGENDALI LIMPASAN

DI WILAYAH KAMPUS IPB DRAMAGA, BOGOR

SKRIPSI

Oleh :

JOAN KARTINI ROSSI

F44080034

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(39)

HYDRAULICS DESIGN OF RUNOFF CONTROL STRUCTURE

AT IPB CAMPUS DRAMAGA, BOGOR

JK. Rossi, NH. Pandjaitan and Prastowo

Department of Civil and Environmental Engineering, Bogor Agricultural University IPB Dramaga Campus, PO BOX 220, Bogor 16002, West Java, Indonesia.

Email: jkrossi@yahoo.com

Abstract: Bogor Agricultural University (IPB) stage III physical development is being implemented since 2011. Along with those development, the surface run-off was increased. The aim of these research were (1) to determine ECC-based on water balance, (2) to predict run-off (3) to do hydraulics design of runoff control structure. Based on water balance, environmental carrying capacity (ECC) was analysed, while run-off in IPB campus Dramaga was calculated by the rational method. Hydraulics design of run-off control structure was obtained by trial and error. The region can be divided into 14 catchment area (CA). The ratio of water availability and water demand was 0,9 hence the ECC of IPB Campus Dramaga was overshoot. Total discharge runoff to Campus IPB Dramaga was 5.66 m3/s. Discharge run-off in each CA was about 0.05 to 1.45 m3/s. Run-off control structure was needed to collect surfacerun-off hence increase water availability. Considering the topography and landuse, land and water conservation was needed in CA 4 and CA 9. CA 4 was suitable for reservoir which supported with sediment trap and drainage channel. CA 9 needed sediment trap for each inlet of Situ Leutik and bigger drainage holes along the side street.

Key words: environmental carrying capacity, hydraulics design, rational method,run-off control structure, water balance.


(1)

37

Lampiran 2.

Penggunaan lahan pada Daerah Tangkapan Air IPB

No Penggunaan lahan Daerah Tangkapan Air (ha) Total Luas

(ha)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

1 Bangunan 0.71 0.04 0.38 2.84 0.09 0.00 3.42 3.52 6.70 1.01 11.04 0.00 0.00 0.77 30.52

2 Kebun 0.00 0.00 2.25 0.00 0.00 0.00 0.00 0.35 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 5.48 8.08

3 Kebun Campuran 0.00 1.73 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.76 0.00 0.00 0.00 0.00 2.50

4 Kelapa Sawit 0.00 0.00 2.66 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2.66

5 Kolam 0.00 0.00 0.74 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.90 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.64

6 Lahan Terbangun 0.00 0.00 0.00 1.55 1.47 0.00 3.18 0.00 2.75 1.61 2.95 0.00 0.00 0.00 13.50

7 Pemukiman 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 4.06 2.01 0.00 0.00 0.00 0.26 0.86 0.00 2.75 9.94

8 Perumahan 0.00 3.02 0.27 2.85 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 6.15

9 Sawah 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

10 Semak 0.00 0.21 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.21

11 Sungai 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

12 Tanah Kosong 1.51 0.35 0.67 0.11 0.00 0.10 0.50 0.00 0.00 0.00 0.00 0.21 0.00 1.98 5.44

13 Tegalan 0.00 0.08 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.08

14 Tubuh Air 0.00 0.02 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 1.03 0.47 0.00 0.18 0.00 1.70

15 Vegetasi bertajuk rendah 6.40 1.87 8.99 5.69 13.89 0.27 0.00 9.28 0.35 1.16 0.72 0.00 0.00 0.00 48.61 16 Vegetasi bertajuk tinggi 14.97 22.73 6.38 13.32 0.09 14.33 11.57 7.58 7.86 5.86 22.29 8.38 2.97 7.79 146.12 Total Luas (Ha) 23.60 30.05 22.34 26.37 15.54 18.76 20.68 20.74 18.57 11.43 37.73 9.44 3.15 18.78 277.16


(2)

38

Lampiran 3.

Data curah hujan bulanan (mm) Stasiun Klimatologi Dramaga

BADAN METEOROLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN :KLIMATOLOGI BOGOR

BALAI WILAYAH II Elevasi : 190 m

STASIUN KLIMATOLOGI KELAS I Lokasi :06° 33' 13” LS

DARMAGA BOGOR :106° 44' 59” BT

Data curah hujan Stasiun Darmaga (2001 - 2011)

Tahun Bulan

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des

2011 351 315 271 240 571 388 131 34 147 426 407 258

2010 361 300 261 256 575 338 131 34 157 411 407 258

2009 361 305 261 260 571 338 131 33 157 416 407 258

2008 235 374 674 439 191 164 169 190 305 277 374 236

2007 395 351 285 461 174 257 135 197 207 243 342 448

2006 588 387 209 96 400 263 32 132 25 159 384 215

2005 62 22 565 296 425 596 175 99 372 310 337 209

2004 404 323 432 640 374 169 209 166 392 277 403 432

2003 212 556 471 309 701 180 25 91 268 552 328 396

2002 368 305 261 255 578 338 136 37 158 416 400 258


(3)

39

Lampiran 4

. Perhitungan curah hujan andalan dengan Metode

Weibull

Urutan curah hujan Bulanan

No. Urut Bulan (mm)

p=m/(n+1)

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jumlah

1 588 556 674 640 701 596 209 197 392 552 407 448 5,959 0.08

2 404 387 565 461 578 388 175 190 372 516 407 432 4,874 0.17

3 395 374 471 439 575 338 169 166 305 426 407 396 4,460 0.25

4 368 351 432 309 573 338 137 150 268 416 407 258 4,006 0.33

5 361 323 285 296 571 338 136 132 207 416 403 258 3,725 0.42

6 361 315 271 263 571 330 135 99 158 411 400 258 3,572 0.50

7 351 307 261 260 425 263 131 91 157 310 384 258 3,199 0.58

8 251 305 261 256 400 257 131 37 157 277 374 236 2,942 0.67

9 235 305 261 255 374 180 131 34 157 277 342 218 2,769 0.75

10 212 300 251 240 191 169 32 34 147 243 337 215 2,371 0.83

11 62 22 209 96 174 164 25 33 25 159 328 209 1,507 0.92

Curah Hujan Bulanan (P=80%)

Bulan (mm)

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jumlah


(4)

40

Lampiran 5.

Analisis probabilitas hujan dengan distribusi Log-Pearson III

Tahun X (mm) log X log X - log Xrt (log X - log Xrt)2 (log X - log Xrt)3

2011 571 2.7563 0.1235 0.0152 0.0019

2010 575 2.7594 0.1265 0.0160 0.0020

2009 571 2.7563 0.1235 0.0152 0.0019

2008 191 2.2810 -0.3518 0.1238 -0.0436

2007 174 2.2405 -0.3923 0.1539 -0.0604

2006 400 2.6021 -0.0308 0.0009 0.0000

2005 425 2.6284 -0.0045 0.0000 0.0000

2004 374 2.5724 -0.0605 0.0037 -0.0002

2003 701 2.8457 0.2128 0.0453 0.0096

2002 578 2.7616 0.1288 0.0166 0.0021

2001 573 2.7579 0.1250 0.0156 0.0020

Rata –rata 2.6329 Jumlah 0.4063 -0.0847

Dari tabel dapat diperoleh

a) Nilai rata – rata logaritmik dari X, log Ẋ = 2.6329 b) Deviasi standar dari logaritmik X. s atau s log Ẋ = 0.2016 c) Koefisien kemiringan dari variat log X. G = -1.2638

Dengan koefisien kemiringan G = 0.7231, maka harga K untuk periode ulang 5 tahun dapat diperoleh dengan interpolasi harga yang terdapat pada table nilai K untuk distribusi Log – Pearson III (Suripin. 2004) Selanjutnya dengan persamaan (9) dapat dihitung curah hujan harian maksimum dengan periode ulang T adalah:

T = 5 tahun

Log X5 = 2.6329 + (0.8402 x 0.2016) Log X5 = 2.8022


(5)

41

Lampiran 6.

Perhitungan perkiraan laju erosi pada DTA 4

Langkah – langkah perhitungan perkiraan laju erosi pada DTA 4:

1. Menghitung faktor curah hujan dan aliran permukaan (R) yaitu EI30 tahunan yang besarnya dapat dihitung:

EI30 = 2.34 R1.98 dimana R adalah curah hujan tahunan EI30 = 2.34 (253.0)1.98

= 134,089.4129 R = = 1,340.89

Maka faktor curah hujan dan aliran permukaan (R) adalah sebesar 1,340.89. 2. Menentukan nilai faktor erodibilitas tanah (K)

Nilai faktor K beberapa tanah di Indonesia

Jenis tanah Bahan induk Nilai K

Kisaran Rata –rata

1. Latosol Darmaga Tufa volkan 0.02 – 0.04 0.03

2. Latosol citayam Tufa volkan 0.08 – 0.09 0.09

3. Regosol Tanjungharjo Batu liat berkapur 0.11 – 0.16 0.14

4. Grumusol Jegu. Blitar Napal 0.24 – 0.30 0.27

5. Podsolik jonggol Batu liat 0.12 – 0.19 0.16

6. Mediteran Citayam Tufa volkan 0.09 – 0.11 0.10

7. Mediteran Putat Breksi berkapur 0.16 – 0.29 0.23

8. Mediteran Punung Breksi berkapur 0.18 – 0.25 0.22

9. Podsolik Merah Kuning Pekalongan. Lampung Tengah

Dasitik 0.32

Sumber: Kurnia Undang dan Suwardjo, 1984 dalam Arsyad (2010)

Jenis tanah yang digunakan adalah latosol dramaga sehingga nilai K yang adalah sebesar 0.03 3. Menentukan faktor panjang lereng

L = (X/22)m

Yang menyatakan X adalah panjang lereng dalam meter dan m adalah konstanta yang besarnya sama dengan:

0.5 untuk lereng yang kecuramannya > 5% 0.4 untuk lereng yang kecuramannya 3.5 – 4.5 % 0.3 untuk lereng yang kecuramannya 1 – 3% 0.2 untuk lereng yang kecuramannya < 1%

Berdasarkan Tabel 12 panjang lereng dan kemiringan lahan pada DTA 4 berturut-turut sebesar 940.38 dan 1,76 % sehingga besarnya L adalah L = (940.38/22)0.3 = 3.0851

4. Menentukan kemiringan lahan (S) yaitu sebesar 0.0176 (Tabel 14)

5. Menentukan faktor vegetasi penutup dan pengelolaan tanaman berdasarkan tabel hasil penelitian faktor C yang dilakukan oleh pusat penelitian tanah.


(6)

42 Lampiran 6. Lanjutan

Faktor C untuk berbagai jenis tanaman

Macam penggunaan Nilai faktor

Tanah terbuka/tanpa tanaman 1.0

Sawah 0.01

Tegalan tidak dispesifikasi 0.7

Kebun campuran: - kerapatan tinggi

- Kerapatan sedang

- Kerapatan rendah

0.1 0.2 0.5

Perladangan 0.4

Hutan alam : - Serasah banyak

- Serasah kurang

0.001 0.005

Semak belukar/padang rumput 0.3

Sumber: Arsyad. 2010

Berdasarkan keadaan di lapangan maka ditentukan faktor C untuk kebun campuran kerapatan rendah yaitu sebesar 0.5.

6. Menentukan nilai faktor tindakan – tindakan khusus konservasi tanah (P) Nilai faktor P untuk berbagai tindakan konservasi tanah khusus Tindakan khusus konservasi tanah Nilai P Teras bangku

- Konstruksi baik

- Konstruksi sedang

- Konstruksi kurang baik

- Teras tradisional

0.04 0.15 0.35 0.40

Strip tanaman rumput Bahia 0.40

Pengolahan tanah dan penanaman menurut garis kontur:

- Kemiringan 0 – 8%

- Kemiringan 9 – 20%

- Kemiringan > 20%

0.50 0.75 0.90

Tanpa tindakan konservasi 1.00

Sumber: Arsyad. 2010

Berdasarkan keadaan di lapangan maka ditentukan faktor P untuk pengolahan tanah dan penanaman menurut garis kontur kemiringan 0 - 8% yaitu sebesar 0.5.

Setelah didapatkan faktor – faktor laju erosi. maka dapat dihitung laju erosi A = R.K.L.S.C.P

= 1.340.89 x 0.03 x 3.0851 x 0.0176 x 0.5 x 0.5 = 0.5460 ton/ha/tahun

Diasumsikan efektivitas pembilasan sedimen pada pintu pembilas hanya sebesar 70% setiap tahunnya. sehingga sedimen yang tertinggal sebagai simpanan mati untuk 25 tahun adalah sebesar 4.095 ton/ha.

Berat jenis tanah IPB adalah sebesar 2.6 ton/m3 sehingga volume simpanan mati adalah sebesar , faktor keamanan diasumsikan sebesar 15% sehingga simpanan mati adalah sebesar 47.76 m3/25 tahun.