Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Nilai Tukar Petani Tanaman Pangan di Kawasan Barat Indonesia (Periode Tahun 2008-2010)

(1)

1.1. Latar Belakang

Pembangunan Nasional adalah upaya pembangunan yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara sebagaimana telah dirumuskan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pembangunan nasional dilaksanakan sebagai penjabaran “Visi, Misi, dan Program Presiden” untuk merealisasikan agenda utama dan program prioritas nasional. Pada dasarnya pembangunan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dari generasi ke generasi termasuk petani melalui pemanfaatan sumber daya alam yang ada.

Rancangan pembangunan nasional di Indonesia dituangkan ke dalam bentuk Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang kemudian ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025. Pada pelaksanaannya, RPJPN dibagi ke dalam 4 (empat) tahap pembangunan yang disebut Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) untuk periode 5 (lima) tahunan. Salah satu agenda utama pembangunan nasional adalah “Pertumbuhan Ekonomi dan Peningkatan Kesejahteraan Rakyat Indonesia” dengan sasaran program prioritas nasional, diantaranya “Penanggulangan Kemiskinan dan Ketahanan Pangan”.

Berkaitan dengan agenda utama dan program prioritas nasional yang ingin dicapai, pemerintah menyusun prioritas dan arah kebijakan pembangunan, salah satunya melalui “Revitalisasi Pertanian”. Kebijakan tersebut diarahkan untuk


(2)

mendorong pengamanan ketahanan pangan, peningkatan daya saing, diversifikasi, peningkatan produktivitas dan nilai tambah produk pertanian, peternakan, perkebunan, perikanan, dan kehutanan untuk peningkatan kesejahteraan petani dan nelayan. Peningkatan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian sebesar 3,7% per tahun dan Indeks Nilai Tukar Petani (NTP) sebesar 115-120 pada tahun 2014 (Bappenas, 2005, 2010).

Sektor pertanian dipilih karena menyangkut kelangsungan hidup dan merupakan sektor perekonomian yang berbasis sumber daya lokal, sehingga relatif lebih tahan terhadap guncangan dari luar. Secara garis besar peranan sektor pertanian bagi setiap negara dalam melaksanakan pembangunan, meliputi penyedia kebutuhan pangan pokok, penyerapan tenaga kerja, penghasil devisa melalui ekspor, sumber pembentukan PDB, menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional, pengendali inflasi, penyedia input bahan baku bagi sektor industri, menjaga kelestarian lingkungan hidup, dan peningkatan pendapatan masyarakat (Simatupang, 1992 dalam Rachmat, 2000).

Pembangunan pertanian secara bertahap membawa perubahan terhadap struktur perekonomian nasional, dimana sektor pertanian mampu memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pembentukan PDB Indonesia. Nilai PDB sektor pertanian terus mengalami pertumbuhan setiap tahunnya, yang mengindikasikan terjadinya peningkatan pendapatan masyarakat. Pada tahun 2011 sektor pertanian berkontribusi sebesar Rp. 313.727,8 miliar atau sebesar 12,74% terhadap pembentukan PDB Indonesia menempati posisi ketiga setelah sektor industri pengolahan sebesar 25,75% dan perdagangan, hotel dan restoran sebesar 17,75% (Tabel 1.1).


(3)

Tabel 1.1. Produk Domestik Bruto Indonesia Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha, Tahun 2008 -2011 (Miliar Rupiah)

Lapangan Usaha 2008 2009 2010* 2011**

Pertanian, Peternakan, Kehutanan, & Perikanan

284.619,1 (13,67) 295.883,8 (13,58) 304.736,7 (13,17) 313.727,8 (12,74)

- Tanaman Bahan Makanan 142.000,4 (49,89) 149.057,8 (50,38) 151.500,7 (49,72) 153.408,5 (48,90) - Tanaman Perkebunan 44.783,9

(15,73) 45.558,4 (15,40) 47.110,2 (15,46) 48.964,0 (15,61) - Peternakan &

Hasil-Hasilnya 35.425,3 (12,45) 36.648,9 (12,38) 38.214,4 (12,54) 39.929,2 (12,73)

- Kehutanan 16.543,3

(5,81) 16.843,6 (5,69) 17.249,6 (5,66) 17.361,8 (5,53)

- Perikanan 45.866,2

(16,12) 47.775,1 (16,15) 50.661,8 (16,62) 54.064,3 (17,23) Pertambangan & Penggalian 172.496,3 (8,28) 180.200,5 (8,27) 186.634,9 (8,07) 189.179,2 (7,68) Industri Pengolahan 557.764,4

(26,78) 570.102,5 (26,16) 597.134,9 (25,81) 634.246,9 (25,75) Listrik, Gas, & Air

Bersih 14.994,4 (0,72) 17.136,8 (0,79) 18.050,0 (0,78) 18.920,5 (0,77)

Konstruksi 131.009,6

(6,29) 140.267,8 (6,44) 150.022,4 (6,48) 160.090,4 (6,50) Perdagangan, Hotel, &

Restoran 363.818,2 (17,47) 368.463,0 (16,91) 400.474,9 (17,31) 437.250,7 (17,75) Pengangkutan & Komunikasi 165.905,5 (7,97) 192.198,8 (8,82) 217.977,4 (9,42) 241.285,2 (9,79) Keuangan, Real Estate,

& Jasa Perusahaan

198.799,6 (9,55) 209.163,0 (9,60) 221.024,2 (9,55) 236.076,7 (9,58)

Jasa-Jasa 193.049,0

(9,27) 205.434,2 (9,43) 217.782,4 (9,41) 232.464,6 (9,44) Produk Domestik Bruto 2.082.456,1

(100) 2.178.850,4 (100) 2.313.838,0 (100) 2.463.242,0 (100) PDB Tanpa Migas 1.939.625,9

(93,14) 2.036.685,5 (93,48) 2.171.010,3 (93,83) 2.321.793,0 (94,26) Jumlah Migas dan

Hasil-Hasilnya 142.830,2 (6,86) 142.164,9 (6,52) 142.827,7 (6,17) 141.449,0 (5,74) Catatan : -Angka dalam ( ) adalah Persentase kontribusi masing-masing lapangan

usaha terhadap pembentukan PDB Indonesia.

-Migas dan hasil-hasilnya meliputi pertambangan minyak & gas bumi, industri pengilangan minyak & gas alam cair.

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2012 (Diolah). *Angka Sementara

**Angka Sangat Sementara

Pertumbuhan PDB sektor pertanian pada tahun 2008-2011 sangat bervariasi, dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 3,30% setiap tahunnya. Pertumbuhan tersebut, sebagian besar disumbang oleh subsektor tanaman bahan


(4)

makanan yang berkontribusi rata-rata sebesar 49,72% setiap tahunnya. Akan tetapi, pertumbuhan PDB sektor pertanian tidak diikuti dengan peningkatan kontribusi terhadap pembentukan PDB Indonesia. Pada Tabel 1.1 terlihat bahwa kontribusi sektor pertanian memperlihatkan kecenderungan menurun, dengan rata-rata penurunan sebesar 0,31% setiap tahunnya. Kondisi tersebut disebabkan karena rendahnya rata-rata pertumbuhan PDB sektor pertanian, jauh tertinggal dengan rata-rata pertumbuhan PDB sektor non-pertanian terutama sektor pengangkutan dan komunikasi (13,32%) dan listrik, gas, dan air bersih (8,15%), sedangkan pertumbuhan sektor non-pertanian khususnya sektor pertambangan dan penggalian pertumbuhannya menurun tajam (3,13%) selama tahun 2008-2011.

Selain pembentukan PDB, sektor pertanian juga memiliki peranan yang sangat besar dalam penyerapan tenaga kerja di Indonesia jika dibandingkan dengan sektor perekonomian lainnya. Data statistik pada bulan Agustus 2011 menunjukan bahwa sektor pertanian mampu menyerap sebanyak 39.328.915 tenaga kerja atau sebesar 35,86% dari jumlah total angkatan kerja nasional. Setiap tahunnya sektor pertanian menjadi penyerap tenaga kerja terbanyak, akan tetapi secara persentase maupun nilai absolut peranannya terhadap penyerapan angkatan kerja cenderung menurun dikarenakan adanya pergeseran tenaga kerja dari sektor primer ke sektor tersier (Badan Pusat Statistik, 2011).

Besarnya peranan sektor pertanian terhadap pembentukan PDB dan penyerapan angkatan kerja menunjukan bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang diperhitungkan sebagai penunjang dan pendorong dalam memajukan perekonomian nasional. Hal ini diperkuat dengan ketangguhan sektor pertanian pada saat krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998, dimana sektor pertanian


(5)

pada saat itu mampu mengalami pertumbuhan dan peningkatan kapasitas penyerapan angkatan kerja.

Pembangunan pertanian, sekarang maupun di masa yang akan datang menghadapi tantangan dan beban yang semakin berat terhadap ketersediaan pangan terutama padi. Produksi padi nasional dituntut untuk mengimbangi dan memenuhi kebutuhan nasional yang semakin meningkat yang disebabkan oleh semakin bertambahnya jumlah penduduk dan naiknya tingkat konsumsi masyarakat, dikarenakan mayoritas penduduk Indonesia menjadikan beras sebagai bahan makanan pokok. Pencapaian tersebut sulit dicapai karena berbagai permasalahan, diantaranya (1) tingginya alih fungsi lahan yang akan mengurangi luas panen, (2) menurunnya kesuburan tanah yang akan berdampak pada penurunan produktivitas padi, (3) buruknya infrastruktur jaringan irigasi, sehingga akan terjadi penurunan produktivitas dan areal panen, (4) meluasnya area yang berpotensi terkena gangguan bencana alam (kebanjiran, kekeringan, longsor, dan serangan organisme pengganggu tanaman (OPT)) seiring dengan perubahan iklim global, dan (5) sarana dan alat mesin pertanian pra dan pascapanen yang mahal, sehinngga semakin sulit meningkatkan IP/areal panen, produktivitas padi, dan rendemen gabah-beras (Makarim, 2012).

Kompleksnya permasalahan dalam proses produksi dan besarnya target produksi padi yang harus dicapai dalam menjaga ketahanan pangan nasional, sejalan dengan meningkatnya kebutuhan akan beras membuat sektor pertanian khususnya subsektor tanaman bahan makanan dituntut untuk meningkatkan produksinya. Pertumbuhan produksi subsektor tanaman bahan makanan pada tahun 2008-2011 setiap tahunnya mengalami pertumbuhan yang bervariasi bahkan


(6)

cenderung menurun (Tabel 1.2). Padi menjadi komoditi dengan produksi terbesar setiap tahunnya. Pada tahun 2011 produksi padi nasional mencapai 65.740.946 ton atau mengalami penurunan sebesar 1,10% jika dibandingkan dengan produksi padi pada tahun 2010. Penurunan produksi padi disebabkan oleh adanya pengurangan luas panen di daerah-daerah sentra penghasil padi yang berdampak pada penurunan tingkat produktivitas dan produksi padi nasional. Tanaman bahan makanan lainnya yang mengalami penurunan jumlah produksi pada tahun 2011, yaitu kacang tanah, kedelai, dan jagung.

Tabel 1.2. Produksi Subsektor Tanaman Bahan Makanan d i Indonesia, Tahun 2008-2011

Komoditas 2008 2009 2010 2011*

Padi Produksi (Ton) 60.325.925 64.398.890 66.469.394 65.740.946

Pertumbuhan (%) 7,41 1,12 3,22 -1,10

Jagung Produksi (Ton) 16.317.252 17.629.748 18.327.636 17.629.033

Pertumbuhan (%) 22,80 8,04 3,96 -3,81

Ubi Kayu Produksi (Ton) 21.756.991 22.039.145 23.918.118 24.009.624

Pertumbuhan (%) 8,85 1,30 8,53 0,38

Ubi Jalar Produksi (Ton) 1.881.761 2.057.913 2.051.046 2.192.242

Pertumbuhan (%) -0,27 9,36 -0,33 6,88

Kedelai Produksi (Ton) 775.710 974.512 907.031 843.838

Pertumbuhan (%) 30,91 25,63 -6,93 -6,97

Kacang Tanah

Produksi (Ton) 770.054 777.888 779.228 690.949

Pertumbuhan (%) -2,41 1,02 0,17 -11,33

Kacang Hijau

Produksi (Ton) 298.059 314.486 291.705 341.097 Pertumbuhan (%) -7,58 5,51 -7,24 16,93 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2012 (Diolah).

*Angka Sementara

Kebijakan pembangunan pertanian di Indonesia dalam upaya peningkatan jumlah produksi tanaman bahan makanan untuk menjamin ketersediaan pangan tidak dibarengi dengan peningkatan nilai tukar petani. Nilai tukar petani sebagai salah satu indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani menunjukan kondisi yang masih jauh dari target yang ditetapkan oleh pemerintah. NTP Subsektor Tanaman Pangan (NTPP) selama periode bulan Februari 2008 sampai


(7)

Desember 2010 tidak pernah melebihi angka 100, yang mengindikasikan masih rendahnya tingkat kesejahteraan dan daya beli petani tanaman pangan. NTPP terendah terjadi pada bulan April 2008, yaitu sebesar 93,08 dimana NTPP masih dibawah NTP Gabungan dan NTP Subsektor pertanian lainnya (Gambar 1.1).

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2012 (Diolah).

Gambar 1.1. Nilai Tukar Petani Menurut Subsektor dan Gabungan di Indonesia, Periode Januari 2008 - Desember 2011

Betapapun kelihatan menariknya pencapaian pembangunan pertanian di Indonesia, namun hal tersebut belum mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat termasuk petani khususnya petani tanaman bahan makanan. Kondisi yang terjadi sampai saat ini masih banyak penduduk Indonesia yang berprofesi sebagai petani masih tergolong miskin, dimana angka kesejahteraan terendah terdapat di wilayah pedesaan tempat kegiatan pertanian berlangsung. Keadaan tersebut membuat agenda peningkatan kesejahteraan petani perlu menjadi tujuan utama dari proses pembangunan pertanian sambil menjaga kemajuan yang telah ada dan mengembangkan industrialisasi yang mendukung sektor pertanian.

92 94 96 98 100 102 104 106 108 110 112 114 116 118 Ja n

-08 Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sept O

kt N o v D es Ja n

-09 Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sept O

kt N o v D es Ja n

-10 Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sept O

kt N o v D es Ja n

-11 Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sept Okt No

v

D

es

NTPP NTPH NTPR NTPT NTN NTPGAB


(8)

1.2. Perumusan Masalah

Perhatian pemerintah terhadap sektor pertanian terutama tingkat kesejahteraan petani pada saat ini semakin relevan dengan adanya ancaman krisis perekonomian global dan gejolak alam (bencana alam, kekeringan panjang, dan banjir). Kondisi tersebut jelas memengaruhi kinerja sektor petanian dalam berproduksi dan sangat berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan petani. Krisis ekonomi membuat harga-harga melambung tinggi, meningkatkan angka pengangguran, dan jumlah penduduk miskin, sementara gejolak alam telah berdampak terhadap usaha dan produksi sektor pertanian (Rachmat, 2000).

Sektor pertanian memberikan kontribusi yang cukup besar di dalam memajukan perekonomian nasional, salah satunya sebagai sumber pembentukan PDB dan penyerapan angkatan kerja. Setiap tahunnya sektor pertanian mampu menyerap tenaga kerja terbanyak jika dibandingkan dengan sektor perekonomian lainnya. Kondisi tersebut membuat produktivitas tenaga kerja sektor pertanian menjadi rendah yang berdampak pada semakin tingginya angka kemiskinan pada sektor pertanian yang ditandai dengan masih rendahnya tingkat pendapatan petani. Sektor pertanian, terutama subsektor tanaman bahan makanan mempunyai peranan strategis dalam mendukung terciptanya ketahanan pangan nasional. Sentra produksi pertanian khususnya subsektor tanaman bahan makanan yang cukup menonjol adalah daerah-daerah di Kawasan Barat Indonesia (KBI). Setiap tahunnya KBI menghasilkan lebih dari 75% produksi padi nasional dan tanaman bahan makanan lainnya, namun karena subsektor tanaman bahan makanan sering mendapatkan campur tangan dari pemerintah terkait kebijakan harga pangan. Harga pangan yang tidak boleh mahal justru menyebabkan subsektor tanaman bahan makanan menjadi tempat terjadinya kemiskinan. Dengan demikian


(9)

melimpahnya sumber daya pertanian KBI tidak lantas membuat kehidupan masyarakat petaninya menjadi sejahtera, sehingga permasalahan kesejahteraan petani masih mewarnai pelaksanaan pembangunan pertanian di KBI.

Tabel 1.3. Produksi Subsektor Tanaman Bahan Makanan di Kawasan Barat Indonesia, Tahun 2011

Komoditas Produktivitas (Ku/Ha)

Produksi (Ton)

Persentase (%) Produksi KBI Terhadap Produksi Indonesia

Padi 52,29 50.926.912 77,47

Jagung 48,53 13.559.749 76,92

Ubi Kayu 217,51 21.572.043 89,85

Ubi Jalar 145,67 1.387.042 63,27

Kedelai 13,87 681.033 80,71

Kacang Tanah 12,68 551.218 79,78

Kacang Hijau 11,58 228.232 66,91

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2012 (Diolah)

Berbagai kebijakan telah ditetapkan oleh pemerintah dalam upaya peningkatan jumlah produksi produk pertanian dan peningkatan kesejahteraan petani, namun upaya tersebut belum maksimal dan belum tepat sasaran. Sering kali petani hanya dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan dari kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Kondisi ini mencerminkan posisi petani yang sangat lemah dalam berbagai kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah yang tidak memberikan perbaikan kualitas hidup para petani, sehingga membuat nilai tukar produk pertanian termasuk subsektor tanaman bahan makanan tetap rendah.

Dalam usaha menjaga ketahanan pangan nasional, pemerintah seharusnya memperhatikan terlebih dahulu tingkat kesejahteraan petani supaya mereka tetap mau berusaha dan berproduksi pada sektor pertanian. Jika tidak diperhatikan, maka akan banyak orang yang tidak tertarik untuk bekerja dan berusaha di sektor pertanian. Dampak lain yang timbul adalah semakin tingginya konversi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian yang akan berdampak pada penurunan jumlah produksi dan akan mengganggu stabilitas ketahanan pangan nasional.


(10)

Berdasarkan seluruh permasalahan yang diuraikan di atas, maka pembahasan pokok dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana struktur dan perkembangan Nilai Tukar Petani Tanaman Pangan di Kawasan Barat Indonesia pada tahun 2008-2010?

2. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi Nilai Tukar Petani Tanaman Pangan di Kawasan Barat Indonesia pada tahun 2008-2010?

1.3. Tujuan Penelitian

Secara lebih rinci berdasarkan perumusan masalah di atas, maka dibuat beberapa lingkup tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menganalisis struktur dan perkembangan Nilai Tukar Petani Tanaman Pangan di Kawasan Barat Indonesia pada tahun 2008-2010.

2. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi Nilai Tukar Petani Tanaman Pangan di Kawasan Barat Indonesia pada tahun 2008-2010.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik bagi penulis, para akademisi, lembaga pemerintahan, dan masyarakat pada umumnya. Bagi penulis, diharapkan penelitian ini dapat menambah wawasan dan sebagai praktek nyata terhadap pemahaman ilmu pengetahuan yang telah diperoleh selama proses perkuliahan supaya meningkatkan keterampilan penulis.

Bagi pemerintah dan instansi terkait, diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan acuan dalam menentukan kebijakan pembangunan pertanian agar lebih terarah dan berkesinambungan, sehingga dapat meningkatkan NTP.


(11)

Bagi masyarakat, diharapkan penelitian ini dapat menjadi tambahan informasi mengenai kondisi NTP, sehingga mendorong semangat masyarakat untuk peningkatan pembangunan sektor pertanian.

Bagi para akademisi dan pembaca pada umumnya, penelitian ini dapat menjadi bahan informasi atau referensi bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan penelitian NTP sebagai salah satu indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan untuk menganalisis struktur, perkembangan, dan faktor-faktor yang memengaruhi Nilai Tukar Petani Tanaman Pangan (NTPP) khususnya petani padi di Kawasan Barat Indonesia (KBI) yang terdiri dari 16 provinsi, yaitu Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, dan Bali. Provinsi D.K.I Jakarta tidak diikutsertakan dalam penelitian, dikarenakan D.K.I Jakarta tidak mengadakan penghitungan NTP.

Petani padi dipilih karena ketersediaan data paling lengkap dan nilai tukar komoditasnya (padi) lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai tukar komoditas palawija. Oleh sebab itu, penelitian ini semakin menarik dan penting untuk dilakukan dalam konteks menjaga ketahanan pangan dan peningkatan kesejahteraan petani dalam proses pembangunan nasional.


(12)

2.1. Tinjauan Teoritis

2.1.1. Teori Pembangunan Pertanian

Perencanaaan pembangunan pertanian di Indonesia bertujuan untuk mencapai 4 (empat) target utama, yaitu (1) pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan, (2) peningkatan diversifikasi pangan, (3) peningkatan nilai tambah, daya saing, dan ekspor komoditi pertanian, serta (4) peningkatan kesejahteraan petani. Salah satu target utama pembangunan pertanian adalah peningkatan kesejahteraan petani yang tercermin dari meningkatnya pendapatan petani, berkurangnya penduduk miskin, berkurangnya masyarakat kekurangan pangan, dan turunnya ketimpangan pendapatan antar kelompok masyarakat (Kementerian Pertanian, 2009).

Kementerian Pertanian (2009), mengemukakan persoalan mendasar yang dihadapi sektor pertanian pada saat ini dan di masa yang akan datang dalam upaya mencapai tujuan pembangunan pertanian, yaitu : (1) dampak perubahan iklim global terhadap penurunan produksi pertanian, (2) terbatasnya infrastruktur, sarana prasarana, air, dan lahan pertanian, (3) lemahnya status dan kecilnya luas penguasaan lahan serta tekanan degradasi dan alih fungsi lahan, (4) sistem perbenihan dan perbibitan nasional belum berjalan optimal, (5) terbatasnya akses petani terhadap sumber permodalan, (6) lemahnya kapasitas dan kelembagaan petani dan penyuluh, (7) masih rawannya ketahanan pangan dan ketahanan energi, (8) belum berjalannya diversifikasi pangan dengan baik, (9) rendahnya Nilai Tukar Petani (NTP), (10) tekanan globalisasi pasar dan liberalisasi perdagangan, (11) kuantitas dan kualitas produk pertanian belum mendukung berkembangnya


(13)

agroindustri, (12) minat pemuda terhadap pertanian semakin menurun, (13) belum padunya antar sektor dalam menunjang pembangunan pertanian, (14) kebijakan fiskal dan moneter belum mendukung berkembangnya usaha pertanian, dan (15) kurangnya optimalnya kinerja dan pelayanan birokrasi pertanian.

Dalam upaya mencapai tujuan dan mengatasi permasalahan pembangunan pertanian, pemerintah membuat prioritas dan arah kebijakan untuk mendukung pembangunan pertanian di Indonesia yang dikembangkan oleh “Kementerian Pertanian”. Dalam menjalankan tugasnya Kementerian Pertanian membuat suatu strategi kebijakan yang disebut “Tujuh Gema Revitalisasi”, yaitu (1) revitalisasi lahan, (2) revitalisasi perbenihan dan perbibitan, (3) revitalisasi infrastruktur dan sarana, (4) revitalisasi sumber daya manusia, (5) revitalisasi pembiayaan pertanian, (6) revitalisasi kelembagaan pertanian, dan (7) revitalisasi teknologi dan industri hilir (Kementerian Pertanian, 2009).

A. T. Mosher atas dasar pengalamannya menggeluti masalah pertanian, menyimpulkan bahwa ada 5 (lima) syarat pokok untuk membangun sektor pertanian (Hanafie, 2010), yaitu (1) adanya pasar untuk hasil-hasil pertanian, (2) teknologi yang senantiasa berubah lebih maju, (3) sarana produksi dan alat-alat pertanian yang tersedia secara lokal, (4) insentif produksi untuk petani, dan (5) tersedianya transportasi untuk mendistribusikan hasil-hasil pertanian.

Di samping kelima syarat mutlak tersebut, Mosher juga mengemukakan syarat yang akan mempercepat dan memperlancar usaha pembangunan pertanian (Hanafie, 2010), yaitu (1) pendidikan untuk pembangunan, (2) kredit produksi, (3) kegiatan kelompok untuk petani, (4) penyempurnaan dan perluasan lahan pertanian, dan (5) perencanaan nasional pembangunan pertanian.


(14)

2.1.2. Teori Kebijakan Pertanian

Kebijakan pertanian merupakan serangkaian tindakan yang telah, sedang, dan akan dilaksanakan oleh pemerintah dalam mendukung usaha pembangunan pertanian. Mubyarto (1989) dalam buku karyanya “Pengantar Ekonomi Pertanian” mengemukakan kebijakan pertanian yang lebih spesifik, meliputi (1) kebijakan harga, (2) kebijakan pemasaran, dan (3) kebijakan struktural. Sementara, Hanafie (2010) dalam buku karyanya “Pengantar Ekonomi Pertanian” mengemukakan kebijakan pertanian, meliputi (1) kebijakan produksi, (2) kebijakan subsidi, (3) kebijakan investasi, (4) kebijakan harga, (5) kebijakan pemasaran, dan (6) kebijakan konsumsi.

2.1.2.1. Kebijakan Produksi

Pangan merupakan suatu komoditi yang menyangkut kesejahteraan dan kelangsungan hidup suatu bangsa karena merupakan salah satu kebutuhan manusia yang paling pokok. Melihat peranan pangan yang sangat penting, pemerintah selalu berusaha untuk mencukupi kebutuhan pangan nasional, tidak saja dari segi kuantitas tetapi juga dari segi kualitas. Oleh karena itu, diperlukan suatu kebijakan guna mencegah terjadinya kerawanan pangan, yaitu dengan peningkatan produksi untuk mencapai swasembada pangan.

Untuk menunjang keberhasilan program peningkatan produksi pangan, pemerintah menetapkan serangkaian kebijakan, antara lain (1) kebijakan perbenihan, (2) sarana produksi, pupuk, dan pestisida, (3) kebijakan perkreditan, (4) kebijakan pengairan, (5) kebijakan diversifikasi usaha tani, (6) kebijakan penyuluhan, (7) kebijakan harga input dan output, dan (8) kebijakan penanganan pascapanen (Hanafie, 2010).


(15)

2.1.2.2. Kebijakan Subsidi

Kebijakan subsidi bertujuan untuk menjaga harga dalam negeri supaya lebih rendah daripada biaya rata-rata pembuatan suatu komoditi atau harga internasionalnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah membuat 2 (dua) kebijakan (Hanafie, 2010), yaitu :

1. Subsidi harga produksi

Kebijakan ini bertujuan untuk melindungi konsumen dalam negeri, artinya konsumen dalam negeri dapat membeli barang yang harganya lebih rendah daripada biaya rata-rata pembuatan suatu komoditi atau harga internasionalnya. Oleh karena itu, pemerintah membuat kebijakan subsidi harga faktor produksi, sehingga biaya proses produksi sektor pertanian relatif rendah yang akan berpengaruh pada harga jual produk pertanian yang terjangkau oleh konsumen.

2. Subsidi harga faktor produksi

Kebijakan ini bertujuan untuk melindungi produsen dalam negeri dan dilakukan untuk meningkatkan produksi pertanian dalam negeri. Kebijakan ini dapat berupa subsidi pupuk, subsidi biaya angkut faktor produksi ke daerah pelosok, dan perbedaan tingkat bunga bank dalam pengambilan kredit.

2.1.2.3. Kebijakan Investasi

Kebijakan investasi bertujuan untuk merangsang investasi, baik oleh swasta nasional (Penanaman Modal Dalam Negeri) maupun swasta asing (Penanaman Modal Asing). Sampai saat ini investasi pada sektor pertanian masih relatif kecil, hal ini terutama disebabkan oleh faktor keuntungan yang dapat diperoleh yang umumnya lebih kecil dibandingkan investasi di sektor industri dan


(16)

jasa. Untuk menarik minat investor, pemerintah memberikan berbagai fasilitas kepada para investor yang menanamkan modalnya di sektor pertanian, seperti pembebasan pajak impor untuk alat-alat dan mesin-mesin pertanian dan pembebasan pajak untuk jangka waktu tertentu (Hanafie, 2010).

2.1.2.4. Kebijakan Harga

Kebijakan harga, bertujuan untuk menjaga stabilitas harga komoditi pertanian sehingga pendapatan petani tidak terlalu berfluktuasi dari musim ke musim dan dari tahun ke tahun. Kebijakan harga dapat mengandung pemberian suatu penyangga atas harga komoditi pertanian supaya tidak terlalu rendah pada saat musim panen raya agar tidak terlalu merugikan petani atau langsung memberikan subsidi tertentu secara langsung kepada petani. Secara umum kebijakan harga bertujuan untuk mencapai (1) kontribusi terhadap anggaran pemerintah, (2) pertumbuhan devisa negara, (3) mengurangi ketidakstabilan harga, (4) memperbaiki distribusi pemasaran dan alokasi sumber daya alam, (5) memberikan arah produksi, serta meningkatkan taraf swasembada pangan, dan (6) meningkatkan pendapatan dan taraf kesejahteraan penduduk (Hanafie, 2010).

Penerapan dari kebijakan harga dapat berupa subsidi sarana produksi, kondisi ini dapat terjadi karena harga sarana produksi pertanian masih relatif mahal, misalnya subsidi pupuk, pestisida, dan lain-lain. Kebijakan lain berupa peraturan pemerintah yang mengatur terkait harga dasar/harga lantai (floor price) dan harga tertinggi/harga atap (ceiling price) pada komoditi pertanian. Harga dasar bertujuan untuk menjaga agar harga pasar pada saat panen raya tidak terlalu rendah dari yang seharusnya diterima oleh produsen dan diupayakan agar harga pasar minimal sama dengan harga dasar sehingga tidak merugikan petani. Akan


(17)

tetapi dengan diberlakukannya kebijakan tersebut pemerintah harus membeli kelebihan produksi (excess supply) yang dihasilkan petani (Soekartawi, 2002).

Sementara, harga atap diperlukan khususnya pada saat musim paceklik, dimana pada saat itu persediaan produksi sangat terbatas. Dalam kondisi tersebut biasanya harga akan cenderung tinggi, sehingga diperlukan kebijakan harga maksimum untuk melindungi konsumen. Pemerintah harus menjual stock (persediaan atau cadangan) komoditi pertanian yang menjadi tanggung jawabnya dengan cara melakukan operasi pasar.

Keterangan :

P : Harga komoditi pertanian Q : Jumlah komoditi pertanian

Qd : Kurva permintaan komoditi pertanian

QS : Kurva penawaran komoditi pertanian

E : Keseimbangan pasar (Qd = QS)

Pm : Harga keseimbangan pasar komoditi pertanian

Q0 : Jumlah keseimbangan pasar komoditi pertanian

Pf : Kebijakan harga dasar/harga minimum

Pc : Kebijakan harga atap/harga maksimum

Q1 : Jumlah permintaan pada saat musim panen raya dan paceklik

Q2 : Jumlah penawaran pada saat musim panen raya dan paceklik Pf

E

Excess Supply

Pm P

Qd Qs

0 Q

1 Q0 Q2

Q

Pc

E

Excess Demand

Pm P

Qd Qs

0 Q

2 Q0 Q1

Q

Gambar 2.1. Permintaan dan Penawaran Komoditi Pertanian dengan Penetapan Harga Oleh Pemerintah

a. Pada Saat Musim Panen Raya b. Pada Saat Musim Paceklik Sumber : Soekartawi, 2002


(18)

2.1.2.5. Kebijakan Pemasaran

Kebijakan pemasaran bertujuan untuk mengatur distribusi barang antardaerah dan antarwaktu sehingga di antara harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir dan harga yang diterima oleh produsen terdapat marjin pemasaran dalam jumlah tertentu sehingga dapat merangsang proses produksi pertanian dan proses pemasaran (Hanafie, 2010). Namun, pemerintah dihadapkan ke dalam permasalahan klasik, yakni kurangnya gairah berproduksi pada tingkat petani dan tidak adanya keinginan untuk menaikan tingkat produksi karena persentase harga yang diterima oleh petani relatif rendah jika dibandingkan dengan bagian yang diterima golongan-golongan lain.

Keterangan :

P : Harga komoditi pertanian Q : Jumlah komoditi pertanian

QS : Kurva penawaran komoditi pertanian

Pp : Harga komoditi pertanian di tingkat petani

Ppr : Harga komoditi pertanian di tingkat pedagang perantara

Ppg : Harga komoditi pertanian di tingkat pengecer

Dp : Permintaan komoditi pertanian di tingkat petani

Dpr : Permintaan komoditi pertanian di tingkat pedagang perantara

Dpg : Permintaan komoditi pertanian di tingkat pengecer Ppg

Ppr P

Qd PG Qs

0 Q

Qd PR Qdp Pp

Sumber : Soekartawi, 2002

Gambar 2.2. Kurva Derived Demand dan Keuntungan Pemasaran Komoditi Pertanian


(19)

Untuk memperlancar pemasaran hasil-hasil pertanian pemerintah menetapkan berbagai kebijakan, antara lain menetapkan rantai pemasaran yang sependek mungkin, membentuk kantor pemasaran bersama, serta menunjuk distributor dan pengecer tertentu untuk komoditi tertentu pula. Untuk memperlancar aliran barang dari daerah surplus ke daerah defisit, pemerintah memberlakukan harga eceran tertinggi (HET) yang berbeda, HET di daerah defisit lebih tinggi daripada HET di daerah surplus. Perbedaan HET tersebut bertujuan untuk merangsang aktivitas perdagangan antar daerah (Hanafie, 2010).

2.1.2.6. Kebijakan Konsumsi

Kebijakan pangan tidak hanya menyangkut masalah produksi, tetapi juga berkaitan erat dengan persoalan distribusinya secara agregat. Terpenuhinya pangan secara kuantitas dan kualitas merupakan hal yang sangat penting sebagai landasan pembangunan sumber daya manusia. Konsumsi masyarakat Indonesia sebagian besar karbohidratnya di-supply dari beras. Untuk mengurangi ketergantungan terhadap pangan beras, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk memengaruhi pola konsumsi masyarakat berupa Inpres Nomor 20/1979 tentang Perbaikan Menu Makanan Masyarakat yang berdimensikan permintaan terhadap keanekaragaman pangan (Hanafie, 2010). Pengetahuan terhadap keanekaragaman pangan merupakan hal penting berdasarkan beberapa alasan :

1) Pengurangan konsumsi beras akan memberikan dampak positif terhadap kelestarian swasembada atau ketahanan pangan.

2) Diversifikasi konsumsi akan mengubah alokasi sumber daya ke arah yang lebih efisien, fleksibel, dan stabil.


(20)

4) Pengetahuan tentang keanekaragaman pangan akan bermanfaat dalam perumusan strategi pengembangan sistem pangan.

2.1.2.7. Kebijakan Struktural

Kebijakan struktural dalam pembangunan sektor pertanian bertujuan untuk memperbaiki struktur produksi, misalnya luas pemilikan lahan, pengenalan teknologi dan pengusahaan alat-alat pertanian baru, dan perbaikan prasarana pertanian umumnya baik prasarana fisik maupun prasarana sosial ekonomi pertanian. Kebijakan tersebut dapat berjalan dan terlaksana dengan baik jika ada kerjasama yang erat antar lembaga-lembaga pemerintahan dikarenakan perubahan struktural membutuhkan waktu yang lama (Mubyarto, 1989).

Keterangan :

TP0 : Total produksi komoditi pertanian sebelum ada perbaikan irigasi

TP1 : Total produksi komoditi pertanian setelah ada perbaikan irigasi

Qd : Kurva permintaan komoditi pertanian

QS0 : Kurva penawaran komoditi pertanian sebelum ada perbaikan jalan desa

QS1 : Kurva penawaran komoditi pertanian setelah ada perbaikan jalan desa

P0 : Harga komoditi pertanian sebelum ada perbaikan jalan desa

P1 : Harga komoditi pertanian setelah ada perbaikan jalan desa

Sumber : Soekartawi, 2002 (a)

Input Produksi

TP1

TP0

0

(b)

0 Jumlah Barang

Qd

QS0

QS1

Harga Jual

P1 P0

Gambar 2.3. Hubungan Kebijakan Struktural dan Kesejahteraan Petani (a) Kenaikan Total Produksi (TP) Setelah Diadakan

Perbaikan Saluran Irigasi

(b) Kenaikan Harga Jual Komoditi Pertanian Setelah Ada Perbaikan Fasilitas Jalan di Desa


(21)

Kebijakan di atas berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung, tersedianya prasarana jalan di desa akan membawa pengaruh secara langsung, dikarenakan semakin baik kondisi jalan akan meningkatkan harga jual produk pertanian. Sementara pembangunan saluran irigasi berpengaruh secara tidak langsung, dengan dibangunnya saluran irigasi akan meningkatkan produksi pertanian, akan tetapi tidak menjamin menambah jumlah penerimaan yang diterima oleh petani karena variabel harga sangat sulit dikendalikan oleh petani selaku produsen yang disebabkan lemahnya posisi petani dalam proses pemasaran sehingga besaran harga ditentukan oleh pembeli (Soekartawi, 2002).

2.1.3. Teori Supply-Demand

2.1.3.1. Teori Penawaran

Penawaran didefinisikan sebagai jumlah barang yang ditawarkan oleh produsen pada berbagai tingkat harga selama satu periode tertentu. Teori penawaran menyatakan bahwa semakin tinggi harga suatu barang, maka produsen akan berusaha meningkatkan jumlah penawarannya, begitu juga sebaliknya. Ada beberapa faktor yang memengaruhi jumlah penawaran suatu barang “ceteris paribus” (Lipsey dan Steiner, 1975), yaitu :

1. Tujuan perusahaan

Jika tujuan perusahaan ingin memaksimalkan keuntungan, maka perusahaan tidak akan memanfaatkan kapasitas produksi perusahaan secara maksimal akan tetapi menggunakannya pada tingkat produksi yang memberikan keuntungan maksimal. Ketika tujuan suatu perusahaan memaksimalkan hasil produksi, maka akan terjadi excess supply.


(22)

2. Keadaan atau perkembangan teknologi

Kemajuan teknologi dapat mengurangi biaya produksi, meningkatkan produktivitas dan efisiensi perusahaan, meningkatkan kualitas barang dan mampu menciptakan barang-barang baru. Kemajuan teknologi menimbulkan efek terhadap produksi yang dapat ditambah lebih cepat dan biaya produksi yang semakin rendah.

3. Harga komoditi barang tersebut

Semakin tinggi harga suatu barang, maka produsen akan berusaha meningkatkan jumlah penawarannya, begitu juga sebaliknya semakin rendah harga suatu barang, maka semakin sedikit jumlah barang tersebut ditawarkan oleh produsen.

4. Harga komoditi barang lain

Jika harga barang lain berubah, penawaran barang tertentu mungkin bertambah atau berkurang, tergantung jenis barang dan hubungannya satu sama lain (barang pengganti, pelengkap, atau barang lepas).

5. Biaya faktor-faktor input produksi

Harga faktor produksi akan menentukan biaya produksi, jika harga faktor produksi mengalami penurunan, maka perusahaan akan memproduksi output barang lebih banyak, sedangkan jika harga faktor produksi mengalami peningkatan akan membuat biaya produksi semakin meningkat, sehingga perusahaan akan memproduksi output barang lebih sedikit dengan jumlah anggaran yang tetap sehingga akan menurunkan keuntungan perusahaan. Perusahaan akan bertindak efisien atau pindah ke industri lain, tindakan tersebut dapat memengaruhi jumlah penawaran suatu barang.


(23)

Secara matematis, fungsi penawaran dapat dirumuskan sebagai berikut : QS = f (P1, P2, B, t) ...(2.1)

Keterangan :

QS : Jumlah barang yang ditawarkan

P1 : Harga barang yang ditawarkan

P2 : Harga barang lain (barang substitusi/komplementer)

B : Budget/modal/anggaran perusahaan t : Teknologi

2.1.3.2. Teori Permintaan

Permintaan adalah jumlah permintaan total suatu barang dan jasa dari semua rumah tangga pada tingkat harga dan periode waktu tertentu. Teori permintaan menerangkan bahwa semakin tinggi harga suatu barang, maka konsumen akan cenderung menurunkan jumlah permintaannya, begitu juga sebaliknya. Ada beberapa faktor yang memengaruhi jumlah permintaan suatu barang “ceteris paribus” (Lipsey dan Steiner, 1975), yaitu :

1. Selera atau preferensi dari anggota masyarakat

Selera atau preferensi masyarakat mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap keinginan masyarakat untuk membeli suatu barang atau jasa. Semakin tinggi preferensi atau selera masyarakat terhadap suatu barang, akan membuat permintaan barang tersebut meningkat.

2. Tingkat pendapatan rata-rata rumah tangga

Pendapatan masyarakat selaku konsumen merupakan faktor yang sangat penting di dalam menentukan permintaan suatu barang, dimana jenis barang


(24)

digolongkan menjadi tiga, yaitu (1) barang normal, yaitu barang yang akan mengalami peningkatan permintaan apabila terjadi peningkatan pendapatan konsumen, (2) barang inferior, yaitu barang yang permintaannya akan mengalami penurunan apabila terjadi peningkatan pendapatan konsumen, dan (3) barang giffen, yaitu barang inferior yang memiliki efek pendapatan negatif yang lebih besar dibandingkan efek substitusinya, penurunan harga justru menyebabkan konsumen mengurangi pembelian produk tersebut.

3. Jumlah total populasi

Semakin tinggi jumlah populasi, maka semakin tinggi pula jumlah barang yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan semua individu populasi.

4. Distribusi pendapatan antar rumah tangga

Semakin merata distribusi pendapatan antar rumah tangga, maka semakin merata kemampuan daya beli masyarakat dalam membeli suatu barang, sehingga membuat permintaan akan suatu barang meningkat.

5. Harga komoditi barang lain

Jika harga barang lain berubah, permintaan barang tertentu mungkin bertambah atau berkurang, tergantung jenis barang dan hubungannya satu sama lain (barang pengganti, pelengkap, atau barang lepas).

6. Harga komoditi barang tersebut

Semakin tinggi harga suatu barang, maka konsumen akan cenderung menurunkan jumlah permintaannya, begitu juga sebaliknya semakin rendah harga suatu barang maka semakin banyak jumlah permintaan barang tersebut. Sehingga perubahan harga pada komoditi itu sendiri mampu menaikan dan menurunkan jumlah permintaan komoditi tersebut.


(25)

Secara matematis, fungsi permintaan dapat dirumuskan sebagai berikut : Qd = f (P1, P2, I, C) ...(2.2)

Keterangan :

Qd : Jumlah permintaan barang

P1 : Harga barang yang diminta

P2 : Harga barang lain (barang substitusi/komplementer)

I : Pendapatan (Income)/anggaran rumah tangga C : Selera/preferensi masyarakat

2.1.3.3. Keseimbangan Pasar

Keseimbangan pasar (equilibrium market) terjadi ketika jumlah permintaan sama dengan jumlah penawaran suatu barang. Secara matematis dan grafis dapat ditunjukan oleh persamaan Qd = Qs, yakni pada perpotongan antara kurva permintaan (Demand Curve) dengan kurva penawaran (Supply Curve). Pada keadaan equilibrium market akan tercipta harga keseimbangan (Equilibrium Price) dan kuantitas keseimbangan (Equilibrium Quantity).

Tindakan penjual dan pembeli biasanya bergerak ke arah keseimbangan pasar. Pada saat harga pasar berada di atas harga keseimbangan (Pa), kuantitas

barang yang ditawarkan melebihi kuantitas barang yang diminta (excess supply). Pada kondisi tersebut, penjual akan bereaksi terhadap kelebihan penawaran dengan menurunkan harga, sehingga harga terus turun sampai kembali ke posisi harga keseimbangan (Pe). Sedangkan, ketika harga pasar dibawah harga

keseimbangan (Pb), kuantitas barang yang diminta melebihi kuantitas barang yang


(26)

kelebihan permintaan dengan menaikan harga tanpa kehilangan penjualan, sehingga harga terus naik sampai kembali ke posisi harga keseimbangan (Pe)

(Hanafie, 2010).

Keterangan :

P : Harga barang

Q : Jumlah/kuantitas barang : Kurva permintaan : Kurva penawaran E ( = ) : Keseimbangan pasar

: Harga keseimbangan pasar

Pa : Harga pasar > Harga keseimbangan pasar

Pb : Harga pasar < Harga keseimbangan pasar

: Jumlah barang keseimbangan pasar

2.1.4. Teori Produksi, Biaya dan Maksimisasi Laba 2.1.4.1. Teori Produksi

Kegiatan utama sebuah perusahaan adalah mengubah masukan (input) menjadi keluaran (output), dimana fungsi produksi memperlihatkan jumlah maksimum suatu barang yang dapat diproduksi dengan menggunakan kombinasi alternatif antara modal (K) dan tenaga kerja (L). Fungsi produksi diformulasikan ke dalam bentuk persamaan fungsi Cobb-Douglas (Nicholson, 2002), yaitu :

Sumber : Hanafie, 2010

Gambar 2.4. Supply Demand Curve (Equilibrium Market) Q P

Qs

Pe

Qe

E E (Qd = Qs)

0

Qd

Pb

Pa

Excess Supply


(27)

Q = f (K, L, M) ...(2.3) Persamaan di atas menunjukan kemungkinan variabel-variabel lain dapat mempengaruhi proses produksi, dimana :

Q : Keluaran perusahaan untuk suatu barang tertentu selama satu periode K : Penggunaan mesin/modal (stok modal)

L : Jumlah/jam masukan tenaga kerja

M : Jumlah penggunaan faktor produksi/bahan mentah lainnya

Pada Gambar 2.5 terlihat bahwa pada tahap pertama, penambahan faktor produksi dapat menambah produksi suatu barang menjadi lebih banyak, yaitu sampai titik HPM maksimum. Penambahan faktor produksi berikutnya, akan membuat pertambahan produksi barang tersebut mulai menurun hingga HPM mencapai 0 (nol) pada HPT maksimum. Ketika HPM = 0 dimana HPT mencapai Gambar 2.5. Tahapan Produksi Berhubungan dengan Hukum Hasil yang

Makin Berkurang Sumber : Hanafie, 2010

Kenaikan hasil bertambah

HPM

HPR

Faktor Produksi Hasil Produksi

Kenaikan hasil berkurang

Kenaikan hasil negatif

Hasil Produksi

EP > 1 1 > EP > 0

A B

C

EP < 0

Faktor Produksi HPT


(28)

titik maksimum, maka penambahan faktor produksi berikutnya akan mengakibatkan HPM menjadi negatif dan produksi akan terus menurun.

2.1.4.2. Teori Biaya

Selama proses produksi, perusahaan akan mengeluarkan biaya untuk memproduksi barang dalam suatu periode tertentu yang disebut dengan biaya ekonomi/biaya produksi. Biaya ekonomi merupakan semua pengeluaran yang diperlukan untuk mempertahankan/mendapatkan masukan berupa input produksi yang dibutuhkan oleh perusahaan. Secara matematis biaya total dari proses produksi suatu perusahaan dapat dituliskan sebagai berikut (Nicholson, 2002) :

TC = FC + VC ...(2.4) TC = FC + wL + vK ...(2.5) dimana :

TC : Total Cost FC : Fixed Cost VC : Variable Cost wL : Upah tenaga kerja vK : Biaya input produksi

2.1.4.3. Teori Maksimisasi Laba dan Keuntungan Perusahaan

Suatu perusahaan melakukan proses produksi untuk mencari keuntungan dengan cara menjual output hasil produksi ke pasar dengan harga tertentu. Dengan asumsi bahwa perusahaan hanya memproduksi satu keluaran, maka pendapatan total perusahaan ditetapkan melalui hasil penjualan produk, dimana harga produk


(29)

tersebut (P) dikalikan dengan keluaran total perusahaan [Q = f(K, L) dimana f(K, L) merupakan fungsi produksi perusahaan tersebut]. Secara matematis persamaan pendapatan total perusahaan dapat dituliskan sebagai berikut :

TR = P x Q ...(2.6) dimana :

TR : Total Revenue

P : Harga produk/barang

Q : Jumlah total keluaran perusahaan (Kuantitas barang)

Dengan demikian laba ekonomi/keuntungan yang diperoleh oleh suatu perusahaan merupakan selisih dari pendapatan total (TR) dengan biaya total dari proses produksi (TC). Sehingga laba ekonomi dari proses produksi suatu perusahaan secara matematis dapat dituliskan ke dalam bentuk persamaan sebagai berikut (Nicholson, 2002) :

π = Pendapatan Total (TR) – Biaya Total (TC) ...(2.7) = Pq –wL –vK

= P f(K, L) –wL –vK

2.1.5. Nilai Tukar Petani (NTP)

Hasil pembangunan pertanian, selain dilihat dari data pertumbuhan ekonomi sektor pertanian, juga diperlukan data pengukuran terhadap tingkat kesejahteraan petani. Salah satu indikator tingkat kesejahteraan petani adalah Nilai Tukar Petani (NTP) yang merupakan rasio dari indeks harga yang diterima petani (It) dengan indeks harga yang dibayar petani (Ib). Secara konsep, NTP digunakan untuk mengukur kemampuan nilai tukar produk pertanian terhadap


(30)

produk barang dan jasa yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga dan untuk keperluan memproduksi produk pertanian tersebut.

Petani berperan ganda, yaitu sebagai konsumen dan produsen. Kapasitas petani sebagai produsen, NTP dihitung terhadap biaya produksi dan penambahan barang modal, sedangkan kapasitas petani sebagai konsumen, NTP dihitung terhadap biaya konsumsi rumah tangga. Jika NTP diatas angka 100, hal ini menunjukan It > Ib, sehingga dapat dikatakan petani lebih sejahtera jika dibandingkan NTP di bawah angka 100 (Badan Pusat Statistik, 2011).

Sejak tahun 2008, Badan Pusat Statistik menyusun NTP dengan menggunakan tahun dasar NTP 2007 = 100, meliputi Sub sektor Tanaman Pangan, Tanaman Hortikultura, Tanaman Perkebunan Rakyat, Peternakan, dan Perikanan. Data dikumpulkan melalui survei harga produsen sektor pertanian dan survei harga konsumen perdesaan di 32 provinsi di Indonesia.

2.1.5.1. Arti Angka NTP

Ada 3 (tiga) pengertian angka NTP, yaitu (Badan Pusat Statistik, 2011) : 1. NTP > 100, berarti petani mengalami surplus. Harga produksinya naik lebih

besar dari kenaikan harga konsumsinya. Pendapatan petani naik lebih besar dari pengeluarannya, dengan demikian tingkat kesejahteraan petani lebih baik dibandingkan tingkat kesejahteraan petani sebelumnya.

2. NTP = 100, berarti petani mengalami impas/break even. Kenaikan/penurunan harga produksinya sama dengan persentase kenaikan/penurunan harga barang konsumsinya. Tingkat kesejahteraaan petani tidak mengalami perubahan. 3. NTP < 100, berarti petani mengalami defisit. Kenaikan harga barang


(31)

barang konsumsinya. Tingkat kesejahteraan petani pada suatu periode mengalami penurunan jika dibandingkan dengan periode sebelumnya.

2.1.5.2. Kegunaan dan Manfaat NTP

Adapun kegunaan dari NTP, yaitu (Badan Pusat Statistik, 2011) :

1. Dari indeks harga yang diterima petani (It) dapat dilihat fluktuasi harga barang-barang yang dihasilkan oleh petani. Indeks ini juga digunakan sebagai data penunjang dalam penghitungan pendapatan sektor pertanian.

2. Dari kelompok konsumsi rumah tangga dalam indeks harga yang dibayar petani (Ib), dapat dilihat fluktuasi harga barang-barang yang dikonsumsi oleh petani yang merupakan bagian terbesar dari masyarakat di pedesaan.

3. Nilai tukar petani mempunyai kegunaan untuk mengukur kemampuan tukar produk yang dijual petani dengan produk yang dibutuhkan petani dalam memproduksi. Hal ini terlihat bila dibandingkan kemampuan nilai tukarnya pada tahun dasar. Dengan demikian, NTP dapat dipakai sebagai salah satu indikator dalam menilai tingkat kesejahteraan petani.

2.1.5.3. Cakupan Komoditas NTP

Adapun cakupan komoditas yang digunakan dalam perhitungan NTP, yaitu (Badan Pusat Statistik, 2011) :

1. Subsektor tanaman bahan makanan (TBM) seperti padi dan palawija.

2. Subsektor hortikultura seperti sayur-sayuran, buah-buahan, tanaman hias, dan tanaman obat-obatan.

3. Subsektor tanaman perkebunan rakyat (TPR) seperti kelapa, kopi robusta, cengkeh, tembakau, dan kapuk odolan.


(32)

4. Subsektor peternakan seperti ternak besar (sapi, kerbau), ternak kecil (kambing, domba, babi, dan lain-lain), unggas (ayam, itik, dan lain-lain), dan hasil-hasil ternak (susu sapi, telur, dan lain-lain).

5. Subsektor perikanan baik perikanan laut maupun perikanan darat.

2.1.5.4. Konsep dan Definisi di dalam NTP

Berbagai konsep dan definisi yang dipergunakan dalam penghitungan NTP antara lain (Badan Pusat Statistik, 2011) :

1. Petani adalah orang yang mengusahakan/mengelola usaha pertanian atas resiko sendiri dengan tujuan untuk dijual, baik sebagai petani pemilik maupun petani penggarap (sewa/kontrak/bagi hasil). Orang yang bekerja di sawah atau ladang orang lain dengan mengharapkan upah (buruh tani) bukan termasuk petani.

2. Nilai Tukar Petani (NTP) adalah perbandingan antara indeks harga yang diterima petani (It) dengan indeks harga yang dibayar petani (Ib) yang dinyatakan dalam persentase (%). Secara konsep NTP menyatakan tingkat kemampuan tukar barang-barang yang dihasilkan petani di pedesaan terhadap barang atau jasa yang dibutuhkan untuk konsumsi rumah tangga dan keperluan dalam proses produksi pertanian.

3. Indeks Harga yang Diterima Petani (It) adalah rata-rata harga produsen dari hasil produksi petani sebelum ditambahkan biaya transportasi atau pengangkutan dan biaya pengepakan ke dalam harga penjualannya atau disebut Farm Gate harga di sawah atau ladang setelah pemetikan. Pengertian harga rata-rata adalah harga yang bila dikalikan dengan volume penjualan petani akan mencerminkan total uang yang diterima petani. Data harga


(33)

tersebut dikumpulkan melalui hasil wawancara langsung dengan petani produsen.

4. Indeks Harga yang Dibayar Petani (Ib) adalah rata-rata harga eceran barang atau jasa yang dikonsumsi atau dibeli petani, baik untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangganya sendiri maupun untuk keperluan proses produksi pertanian. Data harga barang untuk keperluan produksi pertanian dikumpulkan melalui hasil wawancara langsung dengan petani, sedangkan harga barang atau jasa untuk keperluan konsumsi rumah tangga dicatat dari hasil wawancara langsung dengan pedagang atau penjual jasa di pasar terpilih.

Formula yang digunakan pada penghitungan indeks harga yang diterima petani (It) dan indeks harga yang dibayar petani (Ib) adalah formula Indeks Laspeyres yang dikembangkan (Modified Laspeyres Indeces), yaitu :

In =

x 100 ...(2.8) Keterangan :

In : Indeks harga bulan ke-n (It dan Ib) Pni : Harga bulan ke-n untuk jenis barang ke-i

P(n-1)i : Harga bulan ke-(n-1) untuk jenis barang ke-i

Pni/P(n-1)i : Relatif harga bulan ke-n dibandingkan bulan ke (n-1) untuk jenis

barang ke-i

Poi : Harga pada tahun dasar untuk jenis barang ke-i

Qoi : Kuantitas pada tahun dasar untuk jenis barang ke-i


(34)

Pertimbangan yang mendasari digunakannya formula tersebut, yaitu : 1. Tren harga tidak dipengaruhi oleh perbedaan kuantitas atau spesifikasi

komoditas.

2. Pebedaan harga komoditas antar kabupaten tidak berpengaruh.

3. Dapat dilakukan penggantian spesifikasi atau penggantian jenis komoditas.

Formula yang digunakan dalam perhitungan besaran Nilai Tukar Petani (NTP) yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik Indonesia (BPS), yaitu :

NTP =

...(2.9)

Keterangan :

NTP : Nilai Tukar Petani

It : Indeks harga yang diterima petani Ib : Indeks harga yang dibayar petani

2.2. Tinjauan Empirik

Rachmat (2000), dalam penelitiannya mengenai “Analisis Nilai Tukar Petani Indonesia” pada tahun 1987-1996 dengan menggunakan data sekunder di 14 provinsi. Penelitian ini menyimpulkan bahwa NTP dapat dipakai sebagai salah satu indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani melalui pendekatan dekomposisi unsur pembentuknya dan dapat dilakukan perbandingan relatif tingkat kesejahteraan petani antar provinsi sebagai salah satu parameter makro pembangunan pertanian. Selain itu, daerah dengan pangsa komoditi padi tinggi menghasilkan NTP relatif konstan, daerah dengan pangsa perkebunan dominan NTP cenderung menurun, dan daerah dengan pangsa konsumsi makanan tinggi menghasilkan NTP yang cenderung lebih rendah.


(35)

Indraningsih, Supriyati, dan Rachmat (2000) dalam penelitiannya mengenai “Analisis Nilai Tukar Petani dan Nilai Tukar Komoditas Bawang Merah di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah”. Penelitian ini menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi nilai tukar penerimaan berupa (1) faktor internal, yaitu tingkat penerapan teknologi budidaya bawang merah, penggunaan sarana produksi, tingkat produktivitas, dan posisi tawar yang lemah, serta (2) faktor eksternal, yaitu sistem pasar yang sangat menetukan harga jual bawang merah. Selain itu, nilai tukar barter terhadap pupuk urea dan beras relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai tukar barter terhadap upah, makanan, dan non makanan. Perkembangan harga bawang merah dipengaruhi oleh perkembangan tingkat inflasi, sehingga harga riil yang diterima petani cenderung meningkat.

Hendayana (2001) dalam penelitiannya mengenai “Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Nilai Tukar Petani” pada tahun 1987-1994. Penelitian ini menyimpulkan bahwa NTP dipengaruhi langsung oleh produktivitas, harga gabah, harga barang konsumsi, dan harga pupuk. Produktivitas dan harga gabah berhubungan secara positif, sedangkan harga pupuk dan harga barang konsumsi berhubungan secara negatif. Dengan menggunakan regresi model double-logaritma dapat dilihat bahwa peningkatan NTP berhubungan positif terhadap peningkatan pendapatan petani.

Samsodin (2003) dalam Rizal (2010), dalam penelitiannya mengenai “Analisis Sektor-sektor yang Memengaruhi Nilai Tukar Petani di Kalimantan Barat Tahun 1998-2003” dengan menggunakan alat analisis Uji Beda Rata-rata Dua Populasi dan Regresi Berganda. Penelitian ini menyimpulkan bahwa subsektor yang menyebabkan NTP Provinsi Kalimantan Barat lebih rendah jika


(36)

dibandingkan dengan NTP Provinsi Kalimantan Timur adalah perbedaan sumber daya pada subsektor tanaman pangan, subsektor tanaman perkebunan rakyat, dan pola konsumsi masyarakat.

Soeharto (2007), dalam penelitiannya mengenai “Pengaruh Kenaikan Harga Beras Terhadap Nilai Tukar Petani di Kecamatan Pandak Kabupaten Bantul” pada tahun 2006-2007 dengan menggunakan alat analisis perhitungan regresi linear berganda. Metode penelitian yang digunakan adalah survei dengan penentuan lokasi secara purposive dan snawball sampling. Penelitian ini menyimpulkan bahwa jumlah produksi dan harga beras berhubungan positif terhadap pembentukan NTP, sedangkan biaya produksi berhubungan negatif terhadap pembentukan NTP.

Rizal (2010), dalam penelitiannya mengenai “Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Nilai Tukar Petani di Kawasan Timur Indonesia” pada tahun 2008 -2009 dengan menggunakan alat analisis model regresi panel data. Penelitian ini menyimpulkan bahwa jam kerja, produktivitas, harga pupuk, dan luas layanan irigasi berhubungan negatif terhadap pembentukan NTP, sedangkan harga gabah berhubungan positif terhadap pembentukan NTP.

Sinuhaji (2011), dalam penelitiannya mengenai “Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Nilai Tukar Petani di Desa Sei Mencirim, Kec. Sunggal, Kab. Deli Serdang, Prov. Sumatera Utara” pada tahun 2004-2008 dengan menggunakan model peduga regresi linear berganda. Penelitian ini menyimpulkan bahwa produktivitas, luas lahan, haga gabah, dan harga pupuk berpengaruh nyata terhadap pembentukan NTP, kecuali variabel biaya tenaga kerja yang tidak memenuhi persyaratan penerimaan hipotesis.


(37)

2.3. Kerangka Pemikiran

Kebijakan pembagunan pertanian menjadi bahasan yang sangat strategis dikaitkan dengan konteks pembangunan nasional. Indonesia sebagai negara agraris yang mayoritas penduduknya menjadikan sektor pertanian sebagai tumpuan mata pencaharian, sehingga pembangunan ekonomi di Indonesia tidak akan terlepas dari pembangunan di sektor pertanian. Kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah dalam usaha menciptakan dan menjaga ketahanan pangan serta peningkatan kesejahteraan petani (Depatemen Pertanian, 2009), antara lain : 1. Perbaikan kapasitas produksi

a. Program intensifikasi

b. Perbaikan sistem pascapanen c. Peningkatan teknologi

i. Bioteknologi

ii. Teknologi persiapan lahan iii. Teknologi pascapanen 2. Pembagunan infrastruktur pertanian

a. Jaringan irigasi b. Jalan desa

3. Insentif bagi produsen

a. Kebijakan Harga Dasar Gabah (HDG) b. Subsidi input pertanian

i. Benih

ii. Pupuk dan Pestisida iii. Permodalan


(38)

4. Kelembagaan dan organisasi a. Bimbingan massal (Bimas) b. Pengembangan sistem iptek

i. Penelitian dan pengembagan ii. Benih/pemuliaan

iii. Sistem penyuluhan

c. Keterlibatan vertikal pada pemerintah

Terkait hal di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan NTP tanaman pangan khususnya di Kawasan Barat Indonesia, sehingga dapat diketahui dampak dari kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah terhadap kesejahteraan petani. Pengkajian NTP dapat dilakukan dengan cara menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi indeks harga yang diterima petani (It) dan faktor-faktor yang memengaruhi indeks harga yang dibayar petani (Ib).

Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut, digunakan varibael luas lahan sawah menurut jenis pengairannya (lahan sawah irigasi dan non-irigasi), produktivitas padi, harga gabah GKP di tingkat petani, harga pupuk urea, rata-rata jam kerja pekerja sektor pertanian seminggu yang lalu, posisi kredit bank umum sektor pertanian, panjang jalan, luas layanan daerah irigasi, dan tinggi curah hujan tahunan.

Dari hasil analisis tersebut diharapkan dapat diperoleh rekomendasi kebijakan yang dapat meningkatkan NTP melalui kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan petani melalui indikator nilai tukar petani. Untuk mempermudah penelitian ini maka dibuat alur kerangka pemikiran yang divisualisasikan pada Gambar 2.6.


(39)

2.4. Definisi Peubah Operasional

Definisi variabel yang digunakan dalam penelitian, yaitu sebagai berikut : 1. Lahan Sawah

Lahan sawah adalah lahan basah buatan atau lahan pertanian yang berpetak-petak dan dibatasi oleh pematang yang digunakan untuk menanam padi dan diairi dengan pengairan teknis, tadah hujan, atau pasang surut. Berdasarkan Keterangan : ( ) Alur Penelitian

Gambar 2.6. Kerangka Pemikiran

UU No.25 Tahun 2004 Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

UU No.17 Tahun 2007 RPJPN 2005-2025 Perpres No.7 Tahun 2005 RPJMN 2004-2009 Perpres No.5 Tahun 2010 RPJMN 2010-2014 “Pembangunan Ekonomi dan Peningkatan Kesejahteraan

Rakyat Indonesia”

“Penanggulangan Kemiskinan dan Ketahanan Pangan” Revitalisasi Sektor Pertanian di Indonesia

Kawasan Timur Indonesia Kawasan Barat Indonesia

Subsektor Tanaman Pangan

Nilai Tukar Petani Tanaman Pangan (NTPP)

Faktor-Faktor yang Memengaruhi NTPP : 1. Indeks Harga yang Diterima Petani (It) 2. Indeks Harga yang Dibayar Petani (Ib)

-Konsumsi Rumah Tangga -BPPBM

Analisis Panel Data Analisis

Deskriptif

Saran dan Implikasi Kebijakan Pembangunan Pertanian di Kawasan Barat Indonesia


(40)

sumber pengairan dan pengelolaannya, lahan sawah dibedakan menjadi dua kelompok (Puspita, Ratnawati, Nyoman, Suryadiputra, Meutia, 2005), yaitu : a. Sawah berpengairan irigasi, yaitu sawah yang memperoleh sumber air dari

sistem irigasi, baik yang dikelola oleh pihak pemerintah maupun yang dikelola sendiri oleh masyarakat.

1) Sawah berpengairan teknis, yaitu sawah yang jaringan irigasinya memungkinkan untuk mengatur dan mengukur debit air. Penggunaan jaringan ini sepenuhnya diatur pemerintah, dan pengairannya mengalir secara terus menerus sepanjang tahun, sehingga keberadaan sawah tidak tergantung pada musim dan dalam satu tahun dapat ditanami padi sebanyak dua hingga tiga kali.

2) Sawah berpengairan setengah teknis, yaitu sawah yang jaringan irigasinya memungkinkan untuk mengatur debit air tetapi tidak dapat mengukur debit air. Pengelolaan jaringan ini tidak seluruhnya diatur oleh pemerintah. 3) Sawah berpengairan non-teknis/sederhana, yaitu sawah yang jaringan

irigasinya tidak memungkinkan untuk mengatur dan mengukur debit air, sehingga sistem pengairannya tidak teratur.

b. Sawah berpengairan non-irigasi, yaitu sawah yang pengairannya tidak berasal dari jaringan irigasi, sehingga sistem pengairannya tidak teratur.

1) Sawah pasang surut di daerah pesisir, yaitu sawah yang keberadaanya sangat tergantung pada kondisi pasang surut air (air laut maupun tawar). 2) Sawah lebak, yaitu sawah yang terbentuk di daerah dataran banjir (lebak). 3) Sawah tadah hujan, yaitu sawah yang mendapatkan sumber air dari curah


(41)

4) Sawah lainnya, yaitu polder (sawah yang terdapat di delta sungai) dan rawa-rawa/rembesan lainya yang ditanami padi.

Di dalam penelitian ini jenis lahan sawah yang digunakan adalah lahan sawah irigasi (Ha) dan lahan sawah non-irigasi (Ha).

2. Produktivitas

Produktivitas adalah rasio antara hasil produksi per luas lahan. Pengumpulan data produktivitas dilakukan secara sampel melalui survei ubinan dengan pendekatan rumah tangga dengan menggunakan metode pengukuran langsung pada plot ubinan yang berukuran 2½ m x 2½ m pada saat waktu panen. Periode pengumpulan data dilakukan setiap subround (caturwulan) oleh petugas lapangan. Di dalam penelitian ini produktivitas yang digunakan adalah produktivitas padi tahunan (Ku/Ha) (Badan Pusat Statistik, 2011).

3. Harga Gabah

Gabah adalah bulir buah hasil tanaman padi yang telah dilepaskan dari tangkainya dengan cara dirontokan. Harga gabah menurut tingkatan transaksi, dikelompokan ke dalam 3 (tiga) kategori (Badan Pusat Statistik, 2011), yaitu : a. Harga gabah di tingkat petani adalah harga yang disepakati pada waktu

terjadinya transaksi antara petani dengan pedagang pengumpul/tengkulak/ pihak penggilingan yang ditemukan pada hari dilaksanakannya observasi dengan kualitas apa adanya, sebelum dikenakan ongkos angkut pasca panen. b. Harga di tingkat penggilingan adalah harga ditingkat petani ditambah dengan

besarnya biaya ke penggilingan terdekat. Biaya ke penggilingan adalah keseluruhan biaya pasca panen siap jual dari tempat transaksi di tingkat petani


(42)

ke lokasi unit penggilingan terdekat. Besarnya biaya ke penggilingan adalah penjumlahan dari ongkos angkut (termasuk biaya bongkar/muat dan sewa kendaraan) ditambah ongkos lainnya (retribusi, konsumsi, dan lain-lain). c. Harga pembelian pemerintah (HPP) adalah harga minimal yang harus

dibayarkan pihak penggilingan kepada petani sesuai kualitas gabah sebagaimana yang telah ditetapkan pemerintah. Penetapan harga dilakukan secara kolektif antara Departemen Pertanian, Menko Bidang Perekonomian, dan Bulog.

Harga gabah menurut kualitas dan komponen mutu, dikelompokan ke dalam beberapa kategori, yaitu :

a. Gabah Kering Giling (GKG) adalah gabah yang mengandung kadar air maksimum 14,0% dan hampa atau kotoran maksimum 3,0%.

b. Gabah Kering Panen (GKP) adalah gabah yang mengandung kadar air maksimum sebesar 25,0% dan hampa atau kotoran maksimum 10,0%.

c. Gabah Kualitas Rendah adalah gabah yang tidak masuk ke dalam kategori Gabah Kering Giling (GKG) maupun Gabah Kering Panen (GKP).

Sementara yang dimaksud hampa dan kotoran yang terdapat dalam gabah adalah :

a. Kadar Air (KA) adalah jumlah kandungan air dalam butir gabah yang dinyatakan dalam persentase dari berat basah.

b. Kadar Hampa/Kotor adalah jumlah kandungan butir hampa dan kotoran dalam butir gabah yang dinyatakan dalam persentase.

c. Butir Hampa adalah butir gabah yang tidak berkembang secara sempurna akibat serangan hama, penyakit, atau sebab lain sehingga tidak terisi butir


(43)

beras meskipun keduanya tungkup sekamnya tertutup ataupun terbuka. Butir gabah setengah hampa tergolong dalam butir hampa.

d. Kotoran adalah segala benda asing yang tidak tergolong bagian dari gabah, misalnya debu, butiran tanah, butiran pasir, batu kerikil, potongan kayu, potongan logam, tangkai padi, biji-bijian lain, bangkai serangga, dan lain sebagainya. Termasuk dalam kategori kotoran adalah butiran gabah yang telah terkelupas (beras pecah kulit) dan gabah patah.

Di dalam penelitian ini harga gabah yang digunakan adalah Harga Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani, dikarenakan data tersebut tersedia dengan lengkap untuk semua provinsi.

4. Harga Pupuk

Pupuk adalah suatu bahan atau zat yang ditambahkan kedalam media tanam untuk mengubah sifat fisik, kimia, atau biologi tanah sehingga menjadi lebih baik bagi pertumbuhan tanaman. Harga pupuk ditentukan melalui Harga Eceran Tertinggi (HET) di kios penyalur pupuk (tingkat desa/kecamatan) yang dibeli oleh petani yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian. Penggolongan pupuk berdasarkan sumber bahan digolongkan ke dalam dua golongan, yaitu pupuk organik dan pupuk anorganik.

Di dalam penelitian ini harga pupuk yang digunakan adalah harga rata-rata pupuk urea. Karena keterbatasan data, data harga pupuk tahun 2009 dan 2010 untuk beberapa provinsi diestimasi dari harga pupuk tahun 2008 dan Harga Eceran Tertinggi (HET) pada Peraturan Menteri Pertanian Nomor 42/Permentan/ OT.140/09/2008, Nomor 50/Permentan/SR.130/11/2009, dan Nomor 32/ Permentan/SR.130/4/2010 tentang kebutuhan dan penetapan Harga Eceran


(44)

Tertinggi (HET) pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian dengan tingkat inflasi masing-masing provinsi.

5. Jam Kerja

Jam kerja adalah jumlah jam kerja mereka yang bekerja (tidak termasuk jam kerja istirahat resmi dan jam kerja yang digunakan untuk hal-hal di luar pekerjaan) selama seminggu yang lalu. Di dalam penelitian ini jam kerja yang digunakan adalah rata-rata jam kerja para pekerja di sektor pertanian seminggu yang lalu sebagai pendekatan jumlah tenaga kerja. Karena data tenaga kerja khusus untuk petani tanaman pangan (petani padi) tidak tersedia.

6. Kredit

Kredit merupakan salah satu bantuan yang diberikan pemerintah atau pihak swasta kepada para petani sebagai modal untuk meningkatkan produksi pertaniannya supaya dapat meningkatkan pendapatan petani. Bantuan tersebut bisa disalurkan melalui perbankan, koperasi, dan lembaga keuangan lainnya berupa pinjaman modal. Di dalam penelitian ini kredit yang digunakan adalah posisi kredit bank umum sektor pertanian di masing-masing provinsi.

7. Panjang Jalan

Jalan adalah jalan dalam bentuk apapun yang terbuka untuk lalu lintas umum. Jalan dikategorikan ke dalam beberapa kelas menurut wewenang keperluan pengaturan, penggunaan, dan pemenuhan kebutuhan angkutan, antara lain : jalan negara, jalan provinsi, dan jalan kabupaten/kota. Pembagian jalan tersebut didasarkan pada kebutuhan transportasi, pemilihan jenis angkutan secara tepat dengan mempertimbangkan keunggulan karakteristik masing-masing jenis


(45)

angkutan, perkembangan teknologi kendaraan bermotor, dan muatan sumbu terberat kendaraan bermotor serta konstruksi jalan. Di dalam penelitian ini panjang jalan yang digunakan adalah jumlah total panjang jalan dari jalan negara, jalan provinsi, dan jalan kabupaten/kota di masing-masing provinsi.

8. Luas Layanan Daerah Irigasi

Irigasi adalah suatu usaha untuk memanfaatkan air dengan membuat bangunan-bangunan dan saluran-saluran untuk mengalirkan air yang berguna untuk kehidupan manusia. Sedangkan definisi dari luas layanan daerah irigasi merupakan luas areal daerah layanan dari suatu sumber irigasi, yang disalurkan melalui jaringan irigasi (bangunan dan saluran) yang merupakan satu kesatuan dan diperlukan untuk pengaturan air irigasi yang mencakup penyediaan, pengambilan, dan pembagian. Di dalam penelitian ini luas layanan daerah irigasi yang digunakan adalah luas layanan daerah irigasi berdasarkan rekapitulasi daerah irigasi di Indonesia yang sudah terbangun jaringan tersiernya.

9. Curah Hujan

Hujan adalah jatuhnya hydrometeor yang berupa partikel-partikel air dengan diameter 0.5 mm atau lebih yang jatuh sampai ke tanah. Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat yang datar, tidak menguap, tidak meresap, dan tidak mengalir. Curah hujan 1 (satu) milimeter artinya dalam luasan satu meter persegi pada tempat yang datar tertampung air setinggi satu milimeter atau tertampung air sebanyak satu liter. Di dalam penelitian ini curah hujan yang digunakan adalah tinggi curah hujan tahunan di masing-masing provinsi.


(46)

2.5. Hipotesis Penelitian

Untuk mencapai tujuan penelitian yang kedua, yaitu menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi Nilai Tukar Petani Tanaman Pangan (NTPP) di Kawasan Barat Indonesia pada tahun 2008-2010, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah :

1. Luas lahan sawah irigasi berhubungan positif terhadap pembentukan NTPP, dikarenakan dengan semakin bertambahnya luas lahan pertanian yang tersedia akan membuat biaya yang dikeluarkan petani untuk penggunaan faktor input produksi pertanian (sewa lahan) menjadi relatif lebih rendah (Ib turun).

2. Luas lahan sawah non-irigasi berhubungan positif terhadap pembentukan NTPP, dikarenakan dengan semakin bertambahnya luas lahan pertanian yang tersedia akan membuat biaya yang dikeluarkan petani untuk penggunaan faktor input produksi pertanian (sewa lahan) menjadi relatif lebih rendah (Ib turun).

3. Produktivitas padi berhubungan positif terhadap pembentukan NTPP, dikarenakan dengan semakin tingginya produktivitas output sektor pertanian mencerminkan biaya yang dikeluarkan petani untuk memproduksi sejumlah output pertanian menjadi relatif lebih rendah (Ib turun).

4. Harga gabah (GKP) di tingkat petani berhubungan positif terhadap pembentukan NTPP, dikarenakan dengan semakin tingginya harga atau nilai tukar suatu komoditi pertanian mencerminkan indeks harga yang diterima petani menjadi relatif lebih tinggi (It naik).

5. Harga pupuk urea berhubungan negatif terhadap pembentukan NTPP, dikarenakan dengan semakin tingginya harga pupuk akan membuat biaya


(47)

yang dikeluarkan petani untuk penggunaan faktor input produksi pertanian (pupuk) menjadi relatif lebih tinggi (Ib naik).

6. Rata-rata jam kerja pekerja sektor pertanian seminggu yang lalu berhubungan negatif terhadap pembentukan NTPP, dikarenakan dengan bertambahya jam kerja akan membuat biaya yang dikeluarkan petani untuk penggunaan faktor input produksi pertanian (upah buruh tani) menjadi relatif lebih tinggi (Ib naik)

7. Posisi kredit bank umum sektor pertanian berhubungan positif terhadap pembentukan NTPP, dikarenakan dengan bertambahnya modal akan membuat biaya yang dikeluarkan petani untuk mendapatkan faktor input produksi pertanian menjadi relatif lebih rendah (Ib turun).

8. Panjang jalan berhubungan positif terhadap pembentukan NTPP, dikarenakan dengan bertambahnya panjang jalan akan membuat harga jual komoditi pertanian menjadi relatif lebih tinggi (It naik) dan biaya yang dikeluarkan petani untuk mendapatkan faktor input produksi pertanian (transportasi) menjadi relatif lebih rendah (Ib turun).

9. Luas layanan daerah irigasi berhubungan positif terhadap pembentukan NTPP, dikarenakan dengan bertambahnya luas layanan daerah irigasi akan membuat biaya yang dikeluarkan petani untuk mendapatkan faktor input produksi pertanian (air) menjadi relatif lebih rendah (Ib turun).

10. Tinggi curah hujan tahunan berhubungan positif terhadap pembentukan NTPP, dikarenakan dengan semakin tinggi curah hujan tahunan akan membuat biaya yang dikeluarkan petani untuk mendapatkan faktor input produksi pertanian (air) menjadi relatif lebih rendah (Ib turun).


(48)

3.1. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder, dimana data sudah dikompilasi ke dalam bentuk digital file, publikasi, buku, laporan dan lain-lain (Juanda, 2009). Data bersumber dari berbagai publikasi yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik Indonesia, Kementerian Pekerjaan Umum Republik Indonesia, dan Bank Indonesia. Dengan berbagai keterbatasan, karena menggunakan data time series dan cross-section mengenai Nilai Tukar Petani Tanaman Pangan di Kawasan Barat Indonesia dengan menggunakan tahun dasar terbaru NTP 2007 = 100. Rincian data yang digunakan dalam penelitian ini ditunjukan pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Jenis dan Sumber Data Penelitian

No. Jenis Data Sumber

1. Nilai Tukar Petani Tanaman Pangan (NTPP) Menurut Provinsi,

Tahun 2008-2010 BPS

2. Luas Lahan Sawah Irigasi dan Non-Irigasi (Ha) Menurut Provinsi,

Tahun 2008-2010 BPS

3. Produktivitas Padi (Ku/Ha) Menurut Provinsi, Tahun 2008-2010 BPS 4. Harga Gabah Kering Panen (GKP) di Tingkat Petani (Rp. /100 Kg)

Menurut Provinsi, Tahun 2008-2010 BPS

5. Harga Pupuk Urea (Rp. /100 Kg) Menurut Provinsi, Tahun

2008-2010 BPS

6. Rata-Rata Jam Kerja Pekerja Sektor Pertanian Seminggu yang Lalu

(Jam) Menurut Provinsi, Tahun 2008-2010 BPS

7. Posisi Kredit Bank Umum Sektor Pertanian (Rp. Miliar) Menurut

Provinsi, Tahun 2008-2010 BI

8. Panjang Jalan (Km) Menurut Provinsi, Tahun 2008-2010 BPS/PU 9. Luas Layanan Daerah Irigasi (Ha) Menurut Provinsi, Tahun

2008-2010 PU

10. Tinggi Curah Hujan Tahunan (mm) Menurut Provinsi, Tahun

2008-2010 BPS

Selanjutnya data-data di atas diolah dengan menggunakan Software Microsoft Excel 2007 dan Eviews 6.


(49)

3.2. Keterbatasan dan Cakupan Data

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Nilai Tukar Petani Tanaman Pangan di Kawasan Barat Indonesia dengan cakupan wilayah penelitian sebanyak 16 provinsi pada tahun 2008-2010 dengan menggunakan data terbaru tahun dasar NTP 2007 = 100.

Tabel 3.2. Perbedaan NTP Lama 1993 dan NTP Baru 2007

Uraian NTP Lama (1993 = 100) NTP Baru (2007 = 100)

Tahun Dasar 1993 2007

Cakupan Wilayah 23 Provinsi 32 Provinsi

Cakupan Subsektor -Tanaman Bahan Makanan -Tanaman Perkebunan Rakyat

-Tanaman Bahan Makanan -Hortikultura

-Tanaman Perkebunan Rakyat -Peternakan

-Perikanan Cakupan Komoditas Terbatas Lebih Luas Diagram Timbang Total TBM dan TPR Per Subsektor Sumber : Badan Pusat Statistik, 2011.

3.3. Perumusan Model Penelitian

Pada penelitian ini diagregasi 10 variabel, yaitu luas lahan sawah irigasi (Ha), luas lahan sawah non-irigasi (Ha), produktivitas padi (Ku/Ha), harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani (Rp. /100Kg), harga pupuk urea (Rp. /100Kg), rata-rata jam kerja pekerja sektor pertanian seminggu yang lalu (Jam), posisi kredit bank umum sektor pertanian (Rp. Miliar), panjang jalan (Km), luas layanan daerah irigasi (Ha), dan tinggi curah hujan tahunan (mm), sehingga persamaan model penelitian Nilai Tukar Petani Tanaman Pangan dapat dituliskan ke dalam bentuk :

LnNTPPit = β0+ β1 lnIrigasiit + β2 lnNonIrigasiit + β3 lnProdit + β4 lnGKPit + β5 lnUreait + β6 lnJamit + β7 lnKreditit + β8 lnJalanit + β9 lnDIit + β10 lnHujanit + eit ...(3.1)


(50)

Dimana :

NTPPit = Nilai tukar petani tanaman pangan provinsi i tahun ke-t β0 = Intersep

Irigasiit = Luas sawah irigasi (Ha) provinsi i tahun ke-t NonIrigasiit = Luas sawah non-irigasi (Ha) provinsi i tahun ke-t Prodit = Produktivitas padi (ku/Ha) provinsi i tahun ke-t

GKPit = Harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani (Rp. /100 Kg) provinsi i tahun ke-t

Ureait = Harga pupuk urea (Rp. /100 Kg) provinsi i tahun ke-t

Jamit = Rata-rata jam kerja pekerja sektor pertanian (Jam) seminggu yang lalu provinsi i tahun ke-t

DIit = Posisi kredit bank umum sektor pertanian (Rp. Miliar) provinsi i tahun ke-t

Hujanit = Tinggi curah hujan tahunan (mm) provinsi i tahun ke-t β1, β2,..., βn = Koefisien regresi variabel independen

eit = Komponen error provinsi i tahun ke-t

3.4. Metode Analisis dan Pengolahan Data

Metode analisis data yang digunakan di dalam penelitian ini, yaitu :

3.4.1. Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif adalah analisis menggunakan metode statistik sederhana dengan tujuan untuk mendeskripsikan atau memaparkan dan mempermudah penafsiran suatu data dengan memberikan pemaparan dalam bentuk tabel, grafik, dan diagram.


(1)

Lampiran 4. Output Eviews 6 Uji Chow Test

Redundant Fixed Effects Tests Equation: Untitled

Test cross-section fixed effects

Effects Test Statistic d.f. Prob.


(2)

Lampiran 5. Output Eviews 6 Uji Hausmant Test

Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled

Test cross-section random effects

Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.


(3)

Lampiran 6. Output Eviews 6 Uji Normalitas

0 1 2 3 4 5 6 7

-0.04 -0.02 0.00 0.02 0.04

Series: Standardized Residuals Sample 2008 2010

Observations 48 Mean -8.89e-18 Median 0.002715 Maximum 0.035270 Minimum -0.039641 Std. Dev. 0.023204 Skewness -0.248728 Kurtosis 1.759787 Jarque-Bera 3.571181 Probability 0.167698


(4)

Lampiran 7. Output Eviews 6 Fixed Effect Cross

N0. CROSSID Effect

1. Aceh 0.790616

2. Sumatera Utara 0.946375

3. Sumatera Barat 0.807088

4. Riau -0.229416

5. Jambi -1.490961

6. Sumatera Selatan 0.258021

7. Bengkulu -0.694169

8. Lampung 1.339829

9. Kepulauan Bangka Belitung -2.506802

10. Kepulauan Riau -5.269466

11. Jawa Barat 2.050647

12. Jawa Tengah 2.274129

13. D.I. Yogyakarta -0.868424

14. Jawa Timur 2.380355

15. Banten 0.345415


(5)

RINGKASAN

ASEP SUNENDAR. Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Nilai Tukar Petani Tanaman Pangan di Kawasan Barat Indonesia (Periode Tahun 2008-2010) (dibimbing oleh WIWIEK RINDAYATI).

Pembangunan Nasional adalah upaya pembangunan yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara sebagaimana telah dirumuskan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pada dasarnya pembangunan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dari generasi ke generasi termasuk petani melalui pemanfaatan sumber daya alam yang ada. Salah satu agenda utama pembangunan nasional adalah “Pertumbuhan Ekonomi dan Peningkatan Kesejahteraan Rakyat Indonesia” dengan sasaran program prioritas, diantaranya “Penanggulangan Kemiskinan dan Ketahanan Pangan”. Berkaitan dengan agenda utama dan program prioritas nasional yang ingin dicapai, pemerintah menyusun prioritas dan arah kebijakan pembangunan, salah satunya melalui “Revitalisasi Pertanian”.

Hasil pembangunan pertanian selain dilihat dari data pertumbuhan ekonomi sektor pertanian, juga diperlukan data pengukuran terhadap tingkat kesejahteraan petani. Salah satu indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani adalah Nilai Tukar Petani (NTP) yang merupakan rasio dari indeks harga yang diterima petani (It) dengan indeks harga yang dibayar petani (Ib). Secara konsep, NTP digunakan untuk mengukur kemampuan nilai tukar produk pertanian terhadap produk barang dan jasa yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga dan untuk keperluan memproduksi produk pertanian tersebut.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur dan perkembangan nilai tukar petani tanaman pangan di Kawasan Barat Indonesia pada tahun 2008-2010 dan menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi nilai tukar petani tanaman pangan di Kawasan Barat Indonesia pada tahun 2008-2010. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisisi regresi panel data dengan pendekatan model Fixed Effect.

Hasil penelitian menunjukan bahwa sektor pertanian memegang peranan penting di dalam memajukan perekonomian Kawasan Barat Indonesia (KBI), yaitu sebagai penyumbang PDRB ke-3 terbesar dengan rata-rata 17,31% selama tahun 2008-2010. Subsektor tanaman pangan sebagai penyumbang terbesar PDRB sektor pertanian KBI, yaitu rata-rata sebesar 51,58% ternyata memiliki rata-rata Nilai Tukar Petani terendah jika dibandingkan dengan subsektor pertanian lainnya, yaitu sebesar 98,04 selama periode tahun 2008-2010. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi sektor pertanian, khususnya subsektor tanaman pangan tidak memberikan perubahan terhadap peningkatan kesejahteraan petani tanaman pangan di KBI.

Rendahnya indeks Nilai Tukar Petani Tanaman Pangan (NTPP), dipengaruhi oleh rendahnya rata-rata indeks harga yang diterima petani (It), yaitu sebesar 116,54 dan tingginya rata-rata indeks harga yang dibayar petani (Ib), yaitu


(6)

sebesar 118,77. Rendahnya It, dipengaruhi oleh masih rendahnya nilai tukar komoditi padi (116,03), sedangkan tinggginya Ib dipengaruhi oleh masih tingginya biaya konsumsi masyarakat (118.73) (terutama konsumsi bahan makanan (121,94) dan perumahan (118,38)) dan Biaya Produksi dan Penambahan Barang Modal (BPPBM) (119,25) (terutama untuk biaya produksi obat-obatan dan pupuk (122,21) dan upah buruh tani (120,59)).

Hasil estimasi model regresi panel data menunjukan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi nilai tukar petani tanaman pangan di Kawasan Barat Indonesia pada tahun 2008-2010, yaitu (1) produktivitas padi, harga gabah GKP di tingkat petani, dan panjang jalan berhubungan positif terhadap pembentukan NTPP dan (2) luas lahan sawah irigasi, harga pupuk urea, posisi kredit bank umum sektor pertanian, dan luas layanan daerah irigasi berhubungan negatif terhadap pembentukan NTPP.

Melalui penelitian ini diharapkan pemerintah dalam melaksanakan pembangunan pertanian tidak hanya fokus terhadap peningkatan jumlah produksi komoditi pertanian, akan tetapi harus memperhatikan tingkat kesejahteraan petani. Adapun saran yang diberikan penulis dengan melihat hasil dari penelitian, yaitu : (1) intervensi dari pemerintah sangat diperlukan dalam menciptakan kestabilan harga output pertanian (gabah) dan harga input faktor produksi pertanian terutama pupuk untuk menjaga dan meningkatkan nilai tukar petani, (2) kebijakan HET dan subsidi pupuk perlu dievaluasi efektivitasnya, dikarenakan harga pupuk di tingkat petani masih relatif tinggi dan pemerintah membentuk badan pengawas sistem distribusi di tingkat produsen, pelaku distribusi, dan pengguna pupuk, supaya tidak terjadi salah sasaran penerima subsidi, (3) petani diharapkan mengusahakan peningkatan kualitas gabah dengan proses pengeringan yang lebih baik dari GKP menjadi GKG, (4) lembaga keuangan khususnya perbankan diharapkan mampu menciptakan akses petani terhadap modal dengan bunga kredit yang relatif rendah supaya petani mampu melakukan berbagai inovasi dalam usaha taninya, dan (5) pemerintah selaku pengatur dan pembuat kebijakan struktural harus berupaya menciptakan situasi dan kondisi infrastuktur pendukung sektor pertanian yang baik.