11
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1. Landasan Teori dan Konsep
2.1.1 Teori Agensi Agency Theory
Teori keagenan dapat digunakan untuk memprediksi dan menjelaskan bagaimana perilaku pihak-pihak yang terlibat dengan keberadaan suatu usaha
Astika, 2011:76. Jensen dan Meckling 1976 mendefinisikan teori ini sebagai teori mengenai hubungan keagenan dalam suatu kontrak dimana satu orang atau
lebih prinsipal meminta pihak lainnya agen untuk melaksanakan sejumlah pekerjaan atas nama prinsipal yang melibatkan pendelegasian beberapa wewenang
pembuatan keputusan kepada agen. Prinsip utama teori ini adalah adanya hubungan kerja antara pihak yang memberi wewenang principal yaitu investor
dengan pihak yang menerima wewenang agent yaitu manajer dalam bentuk kontrak kerja sama yang disebut “nexus of contract”. Jika kedua pihak yang
terlibat dalam kontrak tersebut sama-sama berusaha untuk memaksimalkan utilitas mereka maka ada kemungkinan bahwa agen tidak akan selalu bertindak untuk
kepentingan terbaik prinsipal. Jensen dan Meckling 1976 menyebutkan dalam teori agensi ini, agen
diberi wewenang oleh pemilik untuk melakukan dan mengawasi aktivitas operasional perusahaan, sehingga agen lebih banyak mempunyai informasi
dibandingkan pemilik. Di sisi lain, dengan tujuan memotivasi agen maka prinsipal
12 merancang kontrak sedemikan rupa sehingga mampu mengakomodasi
kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak keagenan. Kontrak yang efisien merupakan kontrak yang memenuhi dua asumsi, yaitu sebagai berikut:
1 Agen dan prinsipal memiliki informasi yang simetris artinya baik agen
maupun prinsipal memiliki kualitas dan jumlah informasi yang sama sehingga tidak terdapat informasi tersembunyi yang dapat digunakan untuk keuntungan
dirinya sendiri. 2
Risiko yang dipikul agen berkaitan dengan imbal jasanya adalah kecil yang berarti agen mempunyai kepastian yang tinggi mengenai imbalan yang
diterimanya. Kontrak yang dibuat ini diharapkan dapat mengurangi timbulnya agency
problem antara prinsipal dan agen. Namun menurut teori keagenan dari Jensen dan Meckling 1976, permasalahan keagenan dapat terjadi dan ditandai dengan
adanya perbedaan kepentingan serta distribusi informasi yang tidak lengkap asymetry information di antara pemilik perusahaan dengan agen. Prinsipal
menginginkan laba sebesar-besarnya atau peningkatan nilai investasi dalam perusahaan. Agen pun pasti memiliki kepentingan pribadi yang ingin dicapai
yakni penerimaan kompensasi sebesar-besarnya atas kinerja yang dilakukan. Kepentingan ekonomis yang berbeda ini dapat menyebabkan timbulnya asimetri
informasi kesenjangan informasi antara pemegang saham stakeholders dan manajemen. Hal ini terjadi karena pihak agen memiliki informasi yang lebih
banyak dibandingkan dengan prinsipal, sedangkan pihak prinsipal memiliki power yang lebih untuk mewujudkan kepentingannya.
13 Agen dan prinsipal masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda
dalam hubungan keagenan yang terjadi. Adanya perbedaan ini dapat disebabkan oleh beberapa asumsi mengenai sifat manusia. Eisenhardt 1989 menyatakan ada
tiga asumsi sifat manusia terkait teori keagenan, yaitu: 1 manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri self interest, 2 manusia memiliki daya
pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang bounded rationality, dan 3 manusia selalu menghindari risiko risk averse. Berdasarkan sifat dasar manusia
tersebut manajer akan cenderung berperilaku oportunistik untuk kesejahteraan pribadinya. Prinsipal di sisi lain, menginginkan pembagian dividen yang besar
dari tingginya tingkat laba yang diperoleh perusahaan. Teori keagenan juga dapat digunakan untuk menjelaskan kebutuhan akan
audit. Kaitan antara teori keagenan dengan penelitian ini adalah peran dari auditor sebagai pihak penengah antara prinsipal dan agen. Auditor dianggap mampu
menghubungkan kepentingan pemilik prinsipal dan pihak manajemen agen serta melakukan pengawasan terhadap manajemen terkait mandat yang diberikan
kepadanya. Tugas dari auditor adalah memberikan jasa untuk menilai laporan keuangan yang dibuat oleh agen, mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut.
Selain menentukan kewajaran laporan keuangan tersebut, auditor juga harus mempertimbangkan kelangsungan hidup perusahaan dalam proses penetapan
opini Surbakti, 2011.
2.1.2 Auditing