PKDRT adalah mengenai peran-peran Penegak Hukum, khususnya kepolisian, advokad dan pengadilan dalam memberikan perlindungan dan pelayanan bagi
korban khususnya anak kekerasan dalam rumah tangga terutama sekali dengan diaturnya mengenai mekanisme perlindungan dari pengadilan demi keamanan
korban anak.
153
1. Peran Kepolisian
Berikut ini adalah peran mereka dalam melindungi dan melayani korban, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Saat kepolisian menerima laporan mengenai kasus kekerasan dalam rumah tangga, mereka harus segera menerangkan mengenai hak-hak korban untuk
mendapatkan pelayanan dan pendampingan. Selain itu, sangat penting pula bagi pihak Kepolisian untuk memperkenalkan identitas mereka serta menegaskan
bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan sehingga sudah menjadi kewajiban dari Kepolisian untuk meindungi
korban. Setelah menerima laporan tersebut, langkah-langkah yang harus diambil Kepolisian adalah :
154
a. Memberikan perlindungan sementara kepada korban;
b. Meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
c. Melakukan penyelidikan.
153
Ibid., hal.68
154
Ibid., hal.69
Universitas Sumatera Utara
2. Peran advokasi
Dalam hal memberikan perlindungan dan pelayanan bagi korban maka advokat wajib :
155
a. Memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hak-
hak korban dan proses peradilan; b.
Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan daam sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap
memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya; atau c.
Melakukan koordinasi dengans esama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan
sebagaimana mestinya.
3. Proses Pengadilan
Sementara itu, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga tidak luput mengatur bagaimana
peran pengadilan dalam memberikan perlindungan terhadap korban, khususnya mengenai pelaksanaan mekanisme perintah perlindungan.
156
Seperti telah disebutkan, bahwa Kepolisian harus meminta surat penetapan perintah perlindungan dari perlindungan. Maka setelah menerima permohonan itu,
pengadilan harus :
157
a. Mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi
korban dan anggota keluarga lain Pasal 26 UU No.23 Tahun 2004;
155
Ibid.,
156
Ibid., hal.70
157
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
b. Atas permohonan korban atau kuasanya, pengadilan dapat
mempertimbangkan untuk menetapkan suatu kondisi khusus yakni pembatasan gerak pelaku, larangan memasuki tempat tinggal bersama,
larangan membututi, mengawasi atau mengintmidasi korban Pasal 31 UU No.23 Tahun 2004.
Apabila terjadi pelanggaran perintah perindungan, maka korban dapat melaporkan hal ini ke Kepolisian, kemudian secara bersama-sama menyusun
laporan yang ditujukan kepada pengadilan. Setelah itu, pengadilan wajib memanggil pelaku untuk mengadakan penyelidikan dan meminta pelaku untuk
membuat pernyataan tertulis yang isinya berupa kesanggupan untuk mematuhi perintah perlindungan. Apabila pelaku tetap melanggar surat pernyataan itu, maka
pengadilan dapat menahan pelaku sampai 30 hari lamanya.
158
Sehingga dapatlah di ambil kesimpulan sebagai berikut : Dalam memberikan perlindungan terhadap korban ini, Aparat Penegak
Hukum dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping dan pembimbing rohani untuk mendampingi korban. Yang secara
tegas telah diuraikan dalam Pasal 21 sampai dengan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004.
159
1. Kekerasan dalam Rumah Tangga KDRT adalah pelanggaran hak asasi
manusia dan merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi. Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya
158
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Pasal 38
159
Moerti Hadiati Soeroso, Op.Cit., hal.42
Universitas Sumatera Utara
pencegahan kekerasan dalam rumah tangga Pasal 11 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
2. Dengan berlakunya undang-undang baru sejak 22 September 2004 yaitu
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, maka tindak kekerasan dalam rumah tangga tidak
lagi digolongkan pada tindak pidana umum, melainkan digolongkan pada tindak pidana khusus.
3. Kasus kekerasan dalam rumah tangga sejak tahun 2004 diproses
berlandaskan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004. Di Kepolisian, Kasus-kasus KDRT ditangani oleh unit Ruang Pelayanan Khusus RPK
Perempuan dan Anak. Dimana polisi yang bertugas adalah para Polwan yang selain bertindak sebagai penegak hukum, juga bertindak sebagai
sahabat bagi korban, bahkan kalau dibutuhkan juga bertindak sebagai konsultan. Dengan adanya undang-undang tersebut maka kasus-kasus
kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan ke Polisi jumlahnya mengalami peningkatan.
4. Meskipun Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 sudah disosialisasikan
pada masyarakat, masih saja terjadi kekerasan dalam rumah tangga yang terlambat dilaporkan. Hal ini menyulitkan dalam pembuatan visum et
repertum, karena bekas-bekas kekerasan bukti fisik sudah
terhapushilang. 5.
Vism et repertum yang diminta sebagai alat bukti seringkali juga menyulitkan penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga. Karena
Universitas Sumatera Utara
korban terlambat melapor, sehingga bukti-bukti fisik seperti bekas memar- memar, cakaran, dan sebagainya sudah lenyap. Hal ini akan membuat
petugas dokter dalam membuat visum et repetum mengalami kesulitan pula.
6. Biaya pembuatan visum et repertum dibebankan pada korban atau
keluarganya. Hal ini sangat memberatkan, terutama bagi korban yang kurang mampu atau terbatasnya dana dari para korban.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MEDAN
NO.1345PID.B2010PNMEDAN
A. Kasus Posisi
Terdakwa Rahmayani Nasution alias Ani pada hari Rabu tanggal 10 Februari 2010 sekitar pukul 20.00 WB atau setidak-tidaknya pada waktu lain
dalam bulan Februari tahun 2010 bertempat di Jalan Bukit Barisan Lorong Stasiun Lingkungan 11 Kelurahan Pekan Labuhan Kecamatan Medan Labuhan atau
setidak-tidaknya pada suatu tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Medan, melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam
lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Hurf a, dilakukan dengan cara sebagai berikut :
Pada tanggal 22 Februari 2009 terdakwa menikah dengan Ari Fernando dengan membawa seorang anak yaitu saksi Siti Adhani yang selama ini diasuh oleh
terdakwa hingga pada hari Rabu tanggal 10 Februari 2010 disaait terdakwa sedang menggosok pakaian saksi Siti Adhani sedang belajar dan terdakwa
menyuruhnya mengerjakan PR sambil memukul kepala saksi Siti Adhani yang kemudian menangis, dan karena kesal melihat saksi Siti Adhani terus menangis
terdakwa emosi lalu menggigit dada saksi Siti Adhani sebelah kiri hingga luka memar, dan karena sakit saksi Siti Adhani semakin menangis yang membuat
terdakwa semakin emosi lalu menggit lengan tangan kanan dan kiri saksi Siti Adhani masing-masing satu kali hingga luka memar dan menyuruhnya untuk
Universitas Sumatera Utara