Perlindungan Hukum Terhadap Barang-Barang Milik Penumpang Dalam Angkutan Udara (Studi Pada PT. Sriwijaya Air, Medan)

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP BARANG-BARANG MILIK PENUMPANG DALAM ANGKUTAN UDARA

(Studi Pada PT. Sriwijaya Air Medan)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

HENDY PRATAMA 080200184

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA DAGANG

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP BARANG – BARANG MILIK PENUMPANG DALAM ANGKUTAN UDARA

(Studi Pada PT. Sriwijaya Air, Medan) Skripsi

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

HENDY PRATAMA 080200184

Mengetahui:

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

NIP. 196603031985081004 DR. Hasim Purba, SH, M.Hum

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Sinta Uli, SH, M.Hum Aflah, SH, M.Hum NIP. 195506261986012001 NIP. 197005192002122002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan syafa’atnya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi persyratan untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. Adapun judul yang penulis angkat adalah “ Perlindungan Hukum Terhadap Barang-Barang Milik Penumpang Dalam Angkutan Udara (Studi Pada PT. Sriwijaya Air, Medan)”. Skripsi ini menjelaskan tentang tanggung jawab pihak pengangkut dalam melindungi secara hukum barang-barang milik penumpang dalam angkutan udara sehingga nantinya kita dapat mengetahui sejauh mana tanggung jawab pengangkut itu.

Dalam menyelesaikan skripsi ini banyak tantangan dan hambatan yang dihadapi, tetapi itu semua dapat diatasi berkat motivasi dan bantuan dari berbagai pihak yang terkait, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan secara efektif dan efisien sesuai dengan waktu yang direncanakan.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu menulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini baik moril maupun materiil. Kepada Yang Terhormat:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2. Prof. Dr.Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

3. Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

4. Muhammad Husni, SH, MH, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum, selaku Ketua Departemen Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Sinta Uli, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan pengarahan dalam proses pengerjaan skripsi ini.

7. Aflah, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan saran dan petunjuk dalam membimbing penulis selama penulisan skripsi ini.

8. Seluruh Civitas Akademika Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu terkhususnya ilmu di bidang hukum.

9. Kedua orang tua penulis, ayahanda Basri dan ibunda Afrina, adik-adikku serta keluarga besarku yang telah memberikan motivasi dan doa serta dukungan materiil dalam pengerjaan skripsi ini.

10.PT. Sriwijaya Air, Medan terkhususnya Bu Lia dan Abang Mario yang telah membantu saya memberikan data-data yang dibutuhkan dalam menyelesaikan skripsi ini.

11.Pak Edy Ikhsan, Bu Agusmidah dan Alm. Zulkarnaen Mahfudz yang memberikan saya motivasi-motivasi dan spriritual tentang agama selama saya kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

12.Abangda Yusuf Sihite, Mas Kukuh, kak Beby, kak Anggi dan kak Keke, yang telah memberikan petunjuk, motivasi dan dukungannya selama kuliah dan pengerjaan skripsi ini.

13.Keluarga Besar HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Komisariat Fakultas Hukum USU, yang telah memberikan pendewasaan, pola berikir dan menejemen organisasi yang baik.

14.Teman-teman di KPS (Komunitas Peradilan Semu), Gembel (Gemar Belajar), PERMAHI (Persatuan Mahasiswa Hukum Indonesia) cabang


(5)

Medan, memberikan pengalaman dan pembelajaran selama kuliah di Fakultas Hukum USU.

15.Teman-teman seperjuangan selama masa kuliah yang tidak bisa kupersebutkan satu persatu yang telah memotivasi penulis dalam mengerjakan skripsi ini.

Penulis menyadari skripsi ini belum sempurna di saatu sisi karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT, oleh sebab itu besar harapan penulis kepada semua pihak agar memberikan kritik dan saran yang konstruktif guna menghasilkan sebuah karya ilmiah yang lebih baik dan sempurna, baik dari segi materi maupun cara penulisannya di masa yang kan datang

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya, semoga Allah SWT meridhoi kita semua. Dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan perkembangan hukum negara Indonesia.

Medan, April 2012 Hormat Saya


(6)

Sinta Uli, SH, M.Hum * Aflah, SH, M.Hum ** Hendy Pratama ***

ABSTRAK

Sebagai salah satu perusahaan penerbangan, PT. Sriwijaya Air mempunyai kepedulian untuk memberikan kegiatan transportasi udara yang cepat dan aman ketempat tujuan penumpang dan barang yang dituju. PT. Sriwijaya Air selaku penyedia jasa angkutan penerbangan berkewajiban untuk memeberikan palayanan penerbangan yang terbaik dengan mengutamakan keselamatan penumpang dan barang sesuai dengan pasal 3 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan. Bagi penumpang berkewajiban untuk membayar sejumlah biaya dari jasa penerbangan yang akan dinikmatinya. Dalam pengangkutan penumpang PT. Sriwijaya Air tidak terlepas dari kelalaian maupun kesengajaan dalam mengangkut barang – barang milik penumpang sehingga terjadi kerusakan bahkan kehilangan. Sehubungan terdapat permasalahan yaitu perjanjian angkutan udara menurut Undang – undang nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan bagaimana perlindungan terhadap barang – barang milik penumpang dalam angkutan udara serta bagaimana tanggung jawab PT. Sriwijaya Air terhadap barang – barang milik penumpang yang hilang dan rusak

Untuk itu dilakukan penelitian kepustakaan guna memperoleh data sekunder dengan mempelajari perundang-undangan, buku-buku teks baik yang sifatnya umum maupun yang bersifat khusus. Disamping itu untuk memperoleh data primer telah dilakukan penelitian lapangan dengan mewawancarai para pihak yang terlibat langsung dalam masalah ini.

Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa penumpang dan pemilik barang telah mendapatkan realisasi pertanggung jawaban ganti kerugian yang diakibatkan kerusakan maupun kehilangan barang – barang milik penumpang dengan cara memperbaiki dan menggantinya dengan sejumlah uang oleh PT. Sriwijaya Air walaupun realisasi itu tidak berjalan dengan semestinya atau masih diterapkan setengah – tengah. Jadi, diharapkan kepada pemerintah untuk lebih mengontrol maskapai penerbangan untuk mematuhi peraturan – peraturan yang sudah dibuat.

*Dosen Pembimbing I, Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU. **Dosen Pembimbin II, Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU. *** Mahasiswa Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU.


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…..………..i

ABSTRAKSI………...iv

DAFTAR ISI………..v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ………. 1

B. Permasalahan ……… 8

C. Tujuan Penulisan ……….. 9

D. Manfaat Penulisan ……… 9

E. Metode Penelitian ………. 10

F. Keaslian Penulisan ………... 11

G. Sistematika Penulisan ………... 11

BAB II PERJANJIAN PENGANGKUTANG DALAM ANGKUTAN UDARA MENURUT UNDANG-UNDANG NO.1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN A. Perjanjian Pengangkutan ……….. 13

B. Subjek dan Objek Perjanjian Dalam Pengangkutan Udara ……….. 18

C. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Pengangkutan Udara.. 28

D. Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Angkutan Udara ……… 31

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP BARANG-BARANG PENUMPANG DALAM ANGKUTAN UDARA A. Jenis-Jenis Pengangkutan Barang Dalam angkutan udara ………42

B. Penyelenggaraan Pengangkutan Barang Dalam Angkutan Udara ……... 46

C. Perlindungan Hukum Terhadap Barang-Barang Penumpang Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan ……….. 52

BAN IV PERLINDUNGAN HUKUM DAN TANGGUNG JAWAB PT. SRIWIJAYA AIR TERHADAP BARANG-BARANG PENUMPANG DALAM PENYELENGGARAAN ANGKUTAN UDARA A. Batasan Tanggung Jawab PT. Sriwijaya Air Tehadap Barang Milik Penumpang ………... 64


(8)

B. Hak dan Kewajiban PT. Sriwijaya Air Terhadap Barang Milik

Penumpang ……….. 67 C. Pemberian Ganti Kerugian Oleh PT. Sriwijaya Air (Persero) Terhadap

Penumpang Yang Mengalami Kerugian Akibat Kehilangan Atau

Kerusakan Atas Barang ……… 70 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ………... 75 B. Saran ………. 78 Daftar Pustaka ……… 79 Lampiran


(9)

Sinta Uli, SH, M.Hum * Aflah, SH, M.Hum ** Hendy Pratama ***

ABSTRAK

Sebagai salah satu perusahaan penerbangan, PT. Sriwijaya Air mempunyai kepedulian untuk memberikan kegiatan transportasi udara yang cepat dan aman ketempat tujuan penumpang dan barang yang dituju. PT. Sriwijaya Air selaku penyedia jasa angkutan penerbangan berkewajiban untuk memeberikan palayanan penerbangan yang terbaik dengan mengutamakan keselamatan penumpang dan barang sesuai dengan pasal 3 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan. Bagi penumpang berkewajiban untuk membayar sejumlah biaya dari jasa penerbangan yang akan dinikmatinya. Dalam pengangkutan penumpang PT. Sriwijaya Air tidak terlepas dari kelalaian maupun kesengajaan dalam mengangkut barang – barang milik penumpang sehingga terjadi kerusakan bahkan kehilangan. Sehubungan terdapat permasalahan yaitu perjanjian angkutan udara menurut Undang – undang nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan bagaimana perlindungan terhadap barang – barang milik penumpang dalam angkutan udara serta bagaimana tanggung jawab PT. Sriwijaya Air terhadap barang – barang milik penumpang yang hilang dan rusak

Untuk itu dilakukan penelitian kepustakaan guna memperoleh data sekunder dengan mempelajari perundang-undangan, buku-buku teks baik yang sifatnya umum maupun yang bersifat khusus. Disamping itu untuk memperoleh data primer telah dilakukan penelitian lapangan dengan mewawancarai para pihak yang terlibat langsung dalam masalah ini.

Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa penumpang dan pemilik barang telah mendapatkan realisasi pertanggung jawaban ganti kerugian yang diakibatkan kerusakan maupun kehilangan barang – barang milik penumpang dengan cara memperbaiki dan menggantinya dengan sejumlah uang oleh PT. Sriwijaya Air walaupun realisasi itu tidak berjalan dengan semestinya atau masih diterapkan setengah – tengah. Jadi, diharapkan kepada pemerintah untuk lebih mengontrol maskapai penerbangan untuk mematuhi peraturan – peraturan yang sudah dibuat.

*Dosen Pembimbing I, Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU. **Dosen Pembimbin II, Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU. *** Mahasiswa Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU.


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Angkutan atau kendaraan adalah alat transportasi yang digerakkan oleh mesin atau makhluk hidup yang merupakan sarana pendukung bagi kemajuan perekonomian suatu bangsa. Alat transportasi digunakan oleh manusia untuk memudahkan manusia dalam melakukan kegiatan atau aktivitas sehari-hari. Penduduk di negara maju biasanya menggunakan alat transportasi seperti kereta bawah tanah dan taksi. Penduduk disana jarang mempunyai kendaraaan pribadi karena mereka sebagian besar menggunakan angkutan umum sebagai alat transportasi mereka. Transportasi dibagi menjadi 3 jenis yaitu: Transportasi darat, Transportasi laut dan Transportasi Udara. Transportasi udara merupakan sarana angkutan yang memerlukan banyak uang dalam penggunaanya dikarenakan menggunakan teknologi canggih dan juga merupakan alat transportasi atau angkutan tercepat dibandingkan angkutan lainnya. Dalam penggunaan ketiga jenis alat transportasi tersebut terdapat aspek-aspek hukum yang mengaturnya. Di Indonesia sendiri ada, Undang-Undang nomor 22 tahun 2009 yang mengatur tentang angkutan di darat, Undang-Undang nomor 17 tahun 2008 tentang angkutan di laut dan Undang-Undang nomor 1 tahun 2009 yang mengatur tentang angkutan udara.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 mengatur tentang penerbangan di Indonesia. Pasal 1 angka 1 menyebutkan Penerbangan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara,


(11)

angkutan udara, navigasi penerbangan, keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya.

Semua hal-hal diatas merupakan satu kesatuan sistem yang tidak dapat dipisahkan. Di dalam Undang-Undang no 1 tahun 2009 yang merupakan perubahan atas Undang-Undang no 15 tahun 1992 yang sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi, perubahan lingkungan strategis, dan kebutuhan penyelenggaraan penerbangan saat ini. Banyak yang merupakan kebijakan yang baru yang diatur didalam Undang-Undang no 1 tahun 2009 seperti: modal angkutan udara niaga (commercial airline capital), komposisi saham (share holder composition), kepemilikan pesawat udara (aircraft ownership), jaminan bank (bank guarantee), sumber daya manusia (resource persons), kerjasama antar perusahaan penerbangan (airline’s joint venture), tarif penumpang (passenger’s tariff) yang meliputi tariff penumpang kelas ekonomi (economic class passenger tariff), tarif batas atas (upper limit tariff), tarif atas bawah (referensi), tarif non ekonomi, mekanisme penetapan tarif penumpang kelas ekonomi, tarif jasa kebandarudaraan yang meliputi tarif pelayanan kebandarudaraan, mekanisme penetapan besaran tarif pelayanan jasa terkait bandar udara, penegakan hukum (law enforcement).1

Terkait hal baru yang diatur diatas, masalah penumpang merupakan masalah yang paling krusial saat ini, permasalahan mengenai keselamatan penumpang sampai dengan kondisi barang penumpang. Dalam hukum pengangkutan, kewajiban pengangkut antara lain mengangkut penumpang dan/atau barang dengan aman, utuh dan selamat sampai di tempat tujuan,

1

K. Martono, Amad Sudiro. Hukum Angkutan Udara. PT.Raja Grafindo, Jakarta, 2011, hlm7.


(12)

memberikan pelayanan yang baik, mengganti kerugian penumpang dalam hal adanya kerugian yang menimpa penumpang, memberangkatkan penumpang sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan dan lain-lain. Sedangkan kewajiban penumpang adalah membayar ongkos pengangkutan yang besarnya telah ditentukan, menjaga barang-barang yang berada dibawah pengawasannya, melaporkan jenis-jenis barang yang dibawa terutama barang-barang yang berkategori berbahaya, mentaati ketentuan-ketentuan yang ditetapkan pengangkut yang berkenaan dengan pengangkutan.

Hak dan kewajiban suatu pihak biasanya tertuang dalam suatu dokumen perjanjian pengangkutan. Secara teoritis, perjanjian pengangkutan merupakan suatu perikatan dimana satu pihak menyanggupi untuk dengan aman membawa orang atau barang dari suatu tempat ke tempat lain sedangkan pihak lainnya, menyanggupi untuk membayar ongkosnya.2

Dalam praktik kegiatan transportasi udara sering kali pengangkut tidak memenuhi kewajibannya secara baik dan benar atau dapat dikatakan telah Ketentuan tentang pengangkutan tersebut juga berlaku di dalam kegiatan pengangkutan atau transportasi udara, dalam hal ini pengangkut atau maskapai penerbangan berkewajiban untuk mengangkut penumpang dengan aman dan selamat sampai di tempat tujuan secara tepat waktu, dan sebagai kompensasi dari pelaksanaan kewajibannya tersebut maka perusahaan penerbangan mendapatkan bayaran sebagai ongkos penyelenggaran pengangkutan dari penumpang.

2


(13)

melakukan “wanprestasi”. Beberapa hal yang dapat dikatakan pengangkut melakukan wanprestasi antara lain:

1. Kecelakaan Pesawat yang menyebabkan penumpang meninggal dunia atau cacad. 2. Penundaan penerbangan atau “delay”.

3. Keterlambatan.

4. Kehilangan atau kerusakan barang milik bagasi penumpang. 5. Pelayanan yang kurang memuaskan.

6. Informasi tentang produk jasa yang ditawarkan dan lain-lain.3

Dari beberapa hal yang dikemukakan diatas masalah mengenai kehilangan atau kerusakan barang milik bagasi penumpang merupakan hal yang sering terjadi. banyak pengangkut yang mengabaikan masalah bagasi milik penumpang sehingga penumpang angkutan udara merasa tidak nyaman mengenai barang-barang bawaan mereka. Setiap Kerugian yang dialami oleh penumpang merupakan masalah hukum khususnya merupakan tanggung jawab perusahaan penerbangan atau pengangkut (carrier) terhadap penumpang dan pemilik barang baik sebagai pihak dalam perjanjian pengangkutan maupun sebagai konsumen. Tidak ada upaya hukum yang dapat dilakukan dapat dilakukan terhadap permasalahan tersebut.4

Pada prinsipnya kegiatan pengangkutan udara merupakan hubungan hukum yang bersifat perdata akan tetapi mengingat transportasi udara telah menjadi kebutuhan masyarakat secara luas maka diperlukan campur tangan

3

http://majalahkonstan.com, diakses pada tanggal 23 Febuari 2012 pukul 19.00 wib.

4

Ridwan Khairandy, Tanggung Jawab pengangkut dan Asuransi Tanggung Jawab

Sebagai Instrument Perlindungan Konsumen Angkutan Udara, Jurnal Hukum Bisnis vol 25,


(14)

pemerintah dalam kegiatan pangangkutan udara yaitu menentukan kebijakan-kebijakan atau regulasi yang berhubungan dengan kegiatan pengangkutan udara, meskipun pada prinsipnya perjanjian pengangkutan pada hakekaatnya juga harus tunduk pada pasal-pasal dari bagian umum dari hukum perjanjian Burgelijk

Wetboek (KUHPerdata) akan tetapi ada undang-undang telah ditetapkan

aturan-aturan yang lebih khusus yang bertujuan demi kepentingan umum membatasi dalam hal kebebasan membuat perjanjian pengangkutan yaitu meletakkan berbagai kewajiban khusus kepada pihaknya pengangkut yang tidak boleh disingkirkan dalam perjanjian.5

Suatu sistem perlindungan hukum bagi barang-barang penumpang dalam jasa angkutan udara adalah suatu sistem yang terdiri dari peraturan perundang-undangan dan prosedur yang mengatur semua aspek yang baik langsung maupun tidak langsung. Pada kegiatan penerbangan komersil atau transporatsi udara niaga terdapat beberapa ketentuan yang berkaitan dengan tanggung jawab pengangkut udara terhadap penumpang dan juga barang-barang penumpang baik yang bersumber pada hukum nasional maupun yang bersumber pada hukum internasional. Ketentuan hukum nasional yang secara khusus mengatur tentang kegiatan penerbangan saat ini adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 tahun 1992, dan beberapa peraturan pelaksananya. Sedangkan ketentuan yang secara khusus mengatur tentang kegiatan penerbangan komersial domistik adalah

Luchtvervoer ordonantie (Stbl. 1939:100) atau ordonansi 1939 yang biasa

5


(15)

disingkat OPU 1939. Di dalam OPU ini ditegaskan tentang tanggung jawab pengangkut. Sedangkan ketentuan hukum internasional yang terkait erat dengan kegiatan penerbangan sipil adalah Konvensi Warsawa 1929.

Banyak hal hukum yang terkait mengenai angkutan udara. Maka daripada itu saya akan membahas pengangkut melakukan wanprestasi dalam kerusakan atau kehilangan barang-barang milik penumpang dalam skripsi saya ini. Hal-hal yang terkait dengan perjanjian penumpang dengan jasa pengangkut, perjanjian mengenai angkutan barang-barang milik penumpang, perlindungan hukum terhadap barang tersebut sampai dengan tanggung jawab barang-barang tersebut.

Seperti pada beberapa contoh kasus berikut ini yang demikianlah kronologis ceritanya lebih dan kurang.

Teguh Priyo Utomo penumpang Sriwijaya Air tanggal 26 Desember 2011 dari Surabaya tujuan Pangkalpinang dengan penerbangan SJ 269 Surabaya (SUB)-Jakarta (CGK) dan SJ 074 (SUB)-Jakarta (CGK)-Pangkalpinang (PGK) dengan nomor tiket 97724050680754. Pada saat mendarat pada pukul 16.30 wib di Bandara Depati Amir Pangkalpinang saya tidak mendapati bagasi saya dengan nomor 01-30-42, berupa kopor berwarna biru dengan berat 19 Kg yang berisi peralatan kamera, tas kamera, pakaian, data-data dalam flash disk, buku, yang saya hitung nilainya kurang lebih dari 5 juta rupiah. Saya sudah melaporkan kepada petugas lost and found Sriwijaya Air, petugas tersebut meminta waktu paling lama 2 minggu untuk mencari bagasi tersebut. Selama masa pencarian, petugas tersebut cukup kooperatif dengan menghubungi saya jika ada informasi terkait bagasi saya tersebut. Pada masa pencarian tersebut, saya juga menemui manager Sriwijaya


(16)

Pangkalpinang yang menyatakan akan berusaha mencari dan membuat surat pengajuan kehilangan bagasi ke pusat Sriwijaya Air Jakarta pada saat itu juga. Namun sampai 2 minggu lebih saya tunggu ternyata bagasi saya tidak ditemukan, dan ternyata surat pengajuan kehilangan bagasi belum dikirimkan ke Pusat di Jakarta. Pada tanggal 21 Januari 2011, saya mendapat informasi dari petugas bahwa klaim bagasi yang diberikan pihak Sriwijaya Air hanya sebesar Rp 50.000/kg. Sungguh tidak sebanding dengan nilai barang yang telah hilang.6

Athur Andry Sibarani penumpang pesawat Sriwijaya Air dengan nomor penerbangan SJ 161 Tarakan– Balikpapan–Cengkareng pada tanggal 9 Desember 2011.Dalam penerbangan itu saya kehilangan bagasi, berupa 1 buah kardus besar berisikan 6 porsi besar kepiting senilai Rp 175 ribu perporsi, sehingga total Rp 1.050 ribu, menurut informasi bagasi saya terbawa oleh penumpang transit Balikpapan-cengkareng-lampung. Makanan tersebut tidak tahan lama, hanya satu malam, sedangkan pihak sriwijaya bersikeras memberikan solusi mengantar barang saya keesokan harinya dengan asumsi paling cepat jam 6 sore. Kepiting masak hanya sanggup bertahan sekitar 10 jam sedangkan pihak sriwijaya hanya menyanggupkan mengembalikan keesokan sore menjelang malam, itu berarti akan memakan waktu kurang lebih 33 jam. Dari pihak Sriwijaya Air menawarkan alternative lain dengan hanya mengganti Rp 30 ribu per kg, barang saya total 10 kg, berarti jumlah totalnya Rp 300 ribu, jauh dari nilai bagasi saya. Yang mengherankan, bagaimana mungkin seorang penumpang yang hanya sekedar transit di Jakarta ikut antri mengambil bagasi, seharusnya dia hanya turun untuk

6

http://suarapembaca.detik.com/read/koper-hilang-di-sriwijaya-air-penggantian-tidak-sebanding, diakses pada tanggal 23 Febuari 2012 pukul 19.00 wib.


(17)

sekedar memutar ke tempat departure dan bagasi sudah diurus menuju ke tempat tujuan dia Lampung. Apakah tidak ada pengawasan yang memadai dari pihak Sriwijaya sehingga penumpang tersebut bisa lolos membawa bagasi dengan nomor bagasi yang berbeda.7

1. Bagaimana penyelenggaraan perjanjian pengangkutan dalam angkutan udara menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.

Berdasarkan kronologis kasus-kasus diatas dapat disimpulkan bahwa kurangnya perlindungan hukum terhadap barang-barang milik penumpang dalam angkutan udara, bagaimana pertanggung jawaban pihak maskapai terhadap barang penumpang yang hilang atau rusak maka untuk itu saya sebagai penulis membuat skripsi saya yang berjudul “ Perlindungan Hukum Terhadap Barang-Barang Milik Penumpang Dalam Angkutan Udara (Studi Pada PT. Sriwijaya Air, Medan)”. B. Permasalahan.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

2. Bagaimana pengaturan tentang perlindungan hukum terhadap barang-barang penumpang dalam angkutan udara.

3. Bagaimana tanggung jawab PT. Sriwijaya Air terhadap barang-barang milik penumpang dalam penyelenggaraan angkutan udara.

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan uraian yang terdapat dalam rumusan masalah diatas , maka yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:

7

http://suarapembaca.detik.com/read/barang-hilang-di-bagasi-sriwijaya-air diakses pada tanggal 23 Febuari 2012 pukul 19.00 wib


(18)

1. Untuk mengetahui hak dan kewajiban serta tanggung jawab para pihak dalam pengangkutan di angkutan udara menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan.

2. Untuk mengetahui jenis – jenis barang serta bagaimana perlindungan hukum oleh pengangkut terhadap barang – barang penumpang dalam angkutan udara.

3. Untuk mengetahui pertanggung-jawaban PT. Sriwijaya Air terhadap barang – barang penumpang yang hilang atau rusak.

D. Manfaat Penulisan.

Tulisan ini mempunyai manfaat teoritis dan praktis. Adapun kedua manfaat tersebut adalah sebagai berikut :

a. Secara Teoritis

Tulisan ini dapat dijadikan sebagai bahan informasi awal dalam bidang ilmu hukum bagi kalangan akademis guna mengetahui lebih lanjut tentang perkembangan hukum pengangkutan udara terutama mengenai pengangkutan barang-barang.

b. Secara Praktis

Tulisan ini secara praktis dapat memberikan bahan masukan bagi penulis pribadi, masyrakat, pemerintah serta para pihak yang berkaitan langsung dengan aktivitas suatu angkutan udara (penumpang dan pengangkut) sehingga dapat memberikan pelayanan angkutan udara yang baik dan nyaman terhadap penumpang.


(19)

E. Metode Penelitian.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum yaitu dengan pengumpulan data yang berkaitan dengan permasalahan yang kemudian mengadkan analisa terhadap masalah yang dihadapi tersebut.

1. Jenis penelitian

Penulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif, dilakukan melalui kajian terhadap peraturan perundang-undangan dan bahan hukum yang berkaitan dengan skripsi.

Data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :

a. Bahan hukum primer. Berupa peraturan perundang-undangan, yang bersifat mengikat dan disahkan oleh pihak yang berwenang, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.

b. Bahan hukum sekunder, bahan hukum yang menunjang bahan hukum primer seperti ahli hukum.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder atau dengan kata lain bahan hukum tambahan seperti kamus bahasa Indonesia.

2. Teknik pengumpulan data.

a. Library research (studi kepustakaan) yaitu mempelajari dan menganalisa secara sistematika buku-buku, peraturan perundang-undangan, catatan kulia dan sumber lainnya yang berhubungan dengan materi skripsi yang dibahas dalam skripsi ini. b. Field research (studi lapangan) yaitu penelitian yang dilakukan secara langsung ke


(20)

pimpinan PT.Sriwijaya Air (Persero) Medan sebagai perusahaan pengangkutan penumpang dan barang yaitu Bapak Mario (Leader Lost And Found PT. Sriwijaya Air, Medan).

3. Analisis data

Analisa data dalam penulisan ini digunakan data kualitatif, yaitu suatu analisis data secara jelas serta diuraikan dalam bentuk kalimat sehingga diperoleh gambaran yang jelas yang berhubungan dengan skripsi ini dalam hal ini hasil dari wawancara terhadap pihak PT. Sriwijaya Air, Medan.

F. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh penulis di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, diketahui bahwa judul skripsi tentang Perlindungan Hukum Terhadap Barang-Barang Penumpang Dalam Angkutan Udara belum ada dilakukan dengan pendekatan dan perumusan masalah yang sama. Oleh karena itu dapat dinyatakan bahwa isi dari tulisan ini asli, sehingga skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terbagi ke dalam bab-bab yang menguraikan permasalahannya secara tersendiri, di dalam suatu konteks yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. penulis membuat sistematika dengan membagi pembahasan keseluruhan ke dalam lima bab terperinci adapun bagiannya adalah:


(21)

Bab I : pendahuluan yang isinya antara lain memuat: Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan.

Bab II : perjanjian pengangkutan dalam angkutan udara menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang isinya antara lain memuat: Pengertian Perjanjian Pengangkut, Subyek dan Obyek Perjanjian Dalam Pengangkutan Udara, Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Pengangkutan Udara, Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Angkutan Udara.

Bab III : perlindungan hukum terhadap barang – barang penumpang dalam angkutan udara yang isinya antara lain memuat: Jenis – Jenis Pengakutan Barang Dalam Angkutan Udara, Penyelenggaraan Pengangkutan Barang Dalam Angkutan Udara, Perlindungan Hukum Terhadap Barang – Barang Penumpang Menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.

Bab IV : tanggung jawab PT. Sriwijaya Air terhadap barang – barang penumpang dalam penyelenggaraan angkutan udara yang isinya antara lain memuat: Batasan Tanggung – Jawab PT. Sriwijaya Air Terhadap Barang Milik Penumpang, Hak dan Kewajiban PT. Sriwijaya Air Terhadap Barang – Barang Milik Penumpang, Pemberian Ganti Kerugian Oleh PT. Sriwijaya Air Terhadap Penumpang Yang Mengalami Kerugian Akibat Kehilangan Atau Kerusakan Atas Barang.

Bab V : bab terakhir yaitu sebagai bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran – saran mengenai permasalahan yang dibahas.


(22)

BAB II

PERJANJIAN PENGANGKUTAN DALAM ANGKUTAN UDARA MENURUT UNDANG – UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG

PENERBANGAN

A. Perjanjian Pengangkutan.

Hukum terbagi menjadi 2 bagian yaitu hukum yang bersifat publik dan hukum yang bersifat privat/pribadi. Hukum yang bersifat publik diartikan sebagai hukum yang mengatur antara orang dengan pemerintah yang bersifat umum (hukum pidana) sedangkan hukum yang bersifat perdata diartikan sebagai hukum yang mengatur antara orang dengan orang atau badan hukum yang bersifat pribadi/privat (hukum perdata) .

Perikatan merupakan salah satu bagian dari hukum perdata yang mengatur hubungan antara orang dengan orang/badan hukum. Sesuai dengan penggunaan sistem terbuka, maka pasal 1233 KUHPerdata menentukan bahwa perikatan dapat timbul baik karena perjanjian maupun karena undang-undang.

Pengertian perjanjian dirumuskan dalam pasal 1313 KUHperdata yaitu suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya. ketentuan pasal ini kurang tepat karena ada beberapa kelemahan yang perlu dikoreksi. Kelemahan – kelemahan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Hanya menyangkut sepihak saja. hal ini dapat diketahui dari rumusan kata kerja “mengikatkan diri”, sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu ialah “saling mengikatkan diri”, jadi ada consensus antara dua pihak.


(23)

2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus. Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan penyelenggaraan kepentingan (zaakwarneming) yang tidak melawan hukum (onrechtmatige daad) yang tidak mengandung suatu konsensus. Seharusnya dipakai istilah “persetujuan”.

3. Pengertian perjanjian terlalu luas. Pengertian perjanjian mencakup juga perjanjian kawin yang diatur dalam bidang hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur mengenai harta kekayaan. Perjanjian yang diatur dalam buku III KUHPerdata sebenarnya hanya meliputi perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan bersifat kepribadian (personal).

4. Tanpa menyebut tujuan. Dalam rumusan pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak – pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.8

Berdasarkan alasan-alasan di atas ini maka definisi perjanjian dapat dirumuskan sebagai berikut:

“ Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih

saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan”9

Sedangkan kata pengangkutan berasal dari kata “angkut” yang diartinya bawa atau muat dan kirimkan. Jadi pengangkutan diartikan sebagai pengangkutan dan pembawaan barang atau orang, pemuatan dan pengiriman barang atau orang,

8

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia.PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal 224.

9


(24)

barang atau orang yang diangkut dari suatu tempat ke tempat yang lain dengan selamat, walaupun demikian diperlukan suatu alat sebagai sarana pengangkut.

Menurut Poerwosutjipto mengatakan bahwa:

“Pengangkutan adalah perjanjian timbal – balik antara pengangkut

dengan pengirim dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari satu tempat ke tempat tertentu dengan selamat,sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan”10

“Sebuah perjanjian timbal balik, dimana pihak pengakutan mengikatkan

diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang atau orang dari tempat tujuan tertentu dengan selamat tanpa berkurang jumlah dari barang yang dikirimkan, sedangkan pihak lainnya (pengirim atau penerima) berkeharusan memberikan pembayaran biaya tertentu untuk pengangkutan tersebut”

Menurut Sutiono Usman Adji, bahwa pengangkutan adalah:

11

“Sebuah perjanjian timbal balik, dimana pihak pengangkut mengikatkan

diri untuk menyelenggarakan pengangkutan ke tempat tujuan tertentu sedangkan pihak lain berkewajiban untuk membayar biaya tertentu pekerjaan pengangkutan itu”

Sedangkan menurut Soekardono, bahwa perjanjian pengangkutan itu adalah:

12

10

HMN Poerwosutjipto. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 3 Hukum

Pengangkutan. Djambatan. Jakarta. 1991. hal.3. 11

Sutiono Usman Adji, dkk, Hukum Pengangkutan di Indonesia, Rineka Citra, Bandung, 1990, hal.6.

12

Soerkardono, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Soereong, Jakarta, 1981, hal.2.


(25)

Tentang pengertian pengangkutan sendiri tidak ada diatur di dalam B.W ataupun di dalam Kitab Undang – Undang Hukum Dagang (KUHD).

Jadi dapat disimpulkan bahwa, Perjanjian pengangkutan ialah suatu perjanjian dimana satu pihak menyanggupi untuk dengan aman membawa orang atau barang dari satu kelain tempat, sedangkan pihak yang lainnya menyanggupi akan membayar ongkosnya.13

13

R.Subekti. Aneka Perjanjian.PT. Citra Aditya Bakti. Bandung 1995. hal 69.

Perjanjian pengangkutan sendiri terbagi menjadi 3 sesuai dengan jenis pengangkutan yaitu perjanjian pengangkutan darat, perjanjian pengangkutan laut dan perjanjian pengangkutan udara.

Menurut pasal 466 KUHD menyatakan tentang pengangkutan laut yaitu setiap orang yang berjanji untuk menyelenggarakan pengangkutan barang semua atau sebagian secara Time Charter atau Voyage Charter atau persetujuan lain. Sedangkan dalam Ordonansi Pengangkutan udara atau biasa dikenal OPU (Luchvervoer Ordonantie Staatsblat staatsblat 1939 No. 100) dinyatakan bila pengangkut udara tersebut adalah pihak yang mengikat perjanjian angkutan udara dengan pihak penumpang atau pengirim kargo dinamakan contracting carrier, maka ia akan berada di bawah ketentuan-ketentuan sistem tanggung jawab pengangkut udara sebagaimana ditetapkan dalam ordonansi Angkutan Udara tahun 1939 (Staatsblad 1939 No. 100). OPU sendiri dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 sedangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 menyatakan Undang-Undang tersebut sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


(26)

Menurut pasal 1 ayat 29 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, perjanjian pengangkutan udara adalah perjanjian antara pengangkut dan pihak penumpang dan/atau pengirim kargo untuk mengangkut penumpang dan/atau kargo dengan pesawat udara, dengan imbalan bayaran atau dalam bentuk imbalan jasa yang lain.

Berbeda dengan angkutan udara, menurut Pasal 1 ayat 13 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, angkutan udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa Pengangkutan Udara dengan Angkutan Udara merupakan suatu hal yang berbeda.

Dari uraian tentang pengertian perjanjian pengangkutan yang diambil dari para sarjana dan Undang – Undang terdapat perbedaan antara perjanjian pengangkutan orang dengan perjanjian pengangkutan barang. Dimana perbedaannya perjanjian pengangkutan orang tidak mempunyai tanggung jawab dalam hal penyerahan setelah sampai ke tempat tujuan setelah mengangkut dengan selamat, tidak seperti yang terdapat dalam perjanjian pengangkutan barang dengan penyelenggaraan pengangkutan sampai dengan pada saat penyerahan barang tersebut diterima dengan baik oleh si penerima barang.

Agar memahami konsep pengangkutan secara komprehensif perlu dikaji terlebih dahulu aspek yang tersirat dalam konsep pengangkutan. Konsep pengangkutan meliputi tiga aspek, yaitu:


(27)

1) Pengangkutan sebagai usaha (business). 2) Pengangkutan sebagai perjanjian (agreement).

3) Pengangkutan sebagai proses penerapan (applying process).14

Ketiga aspek pengangkutan tersebut menyatakan kegiatan yang berakhir dengan pencapaian tujuan pengangkutan. Kata yang paling tepat untuk menyatakan ketiga aspek kegiatan dan hasilnya itu adalah “Pengangkutan“. Karena sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia, bukan “angkutan”. Istilah angkutan sendiri artinya hasil dari perbuatan mengangkut atau menyatakan apa yang diangkut (muatan). Jika dipakai dengan istilah hukum yang tepat adalah “hukum pengangkutan” (transportation law) bukan “Hukum Angkutan”.

Menurut Pasal 33 Konvensi Warsawa 1929, perusahaan penerbangan maupun penumpang dan/atau pengirim barang bebas membuat perjanjian transportasi udara internasional asalkan perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan – ketentuan yang diatur dalam konvensi Warsawa 1929, sedangkan berlakunya konvensi Warsawa 1929 diatur dalam Pasal 34.15

14

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, Cipta Aditya Bakti, Bandung: 2008, hal 1

15

K. Martono, Amad sudiro, Hukum Angkutan Udara.PT. Rajagrafindo Persada. Jakarta. 2011, hal 256.

B. Subyek & Objek Perjanjian Dalam Pengangkutan Udara.

Perjanjian pengakutan udara merupakan perjanjian timbal balik dan sepihak yang merupakan salah satu dari jenis – jenis perjanjian yang mewajibkan kedua belah pihak melakukan prestasi secara timbal balik. Di dalam sebuah perjanjian terdapat subjek dan objek perjanjian begitu juga di dalam pengangkutan udara.


(28)

Subjek hukum pengangkutan merupakan badan atau orang yang dikenakan hak dan kewajiban. Subjek hukum pengangkutan antara lain adalah:

1) Pihak yang secara langsung terikat dalam perjanjian yaitu mereka yang secara langsung terikat memenuhi kewajiban dan memperoleh hak dalam perjanjian pengangkutan. Mereka adalah pengangkut, penumpang, pengirim barang, dan adakalanya penerima dimasukkan.

2) Pihak yang tidak secara langsung terikat dengan perjanjian yaitu mereka yang secara tidak langsung terikat pada perjanjian pengangkutan karena bukan termasuk pihak dalam perjanjian pengangkutan, melainkan bertindak untuk atas nama, kepentingan pihak lain atau karena sesuatu alasan mereka memperoleh hak dalam perjanjian pengangkutan.16

Ad 1. Pengangkut

Pengangkutan adalah berasal dari kata “angkut” yang berarti mengangkut dan membawa, sedangkan istilah pengangkutan dapat diartikan sebagai pembawa barang-barang atau orang-orang (penumpang).17 HMN Purwosutjipto mendefinisikan, pengangkutan adalah perjanjian timbale balik antara pengangkut sebagai pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat.18

Dalam Kitab Undang – Undang Hukum Dagang (KUHD) tidak ada definisi pengangkutan secara umum, kecuali dalam pengangkutan laut. Tetapi

16

Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, Op.cit, hal. 32.

17

W.J.S.Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Departemen P dan K, Balai Pustaka, Jakarta, 1976, Hal. 97

18

HMN. Purwosucipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 3, hukum pengangkutan, Djambatan, Jakarta, 1991, hal.2


(29)

dilihat dari pihak dalam perjanjian pengangkutan, pengangkut adalah pihak yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau penumpang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat. Singkatnya, pengangkut adalah pihak yang penyelenggara pengangkutan.

Pengangkut yang tidak memiliki perusahaan pengangkuan, tetapi menyelenggarakan pengangkutan, hanya menjalankan pekerjaan pengangkutan.

Sedangkan, menurut pasal 1 ayat 26 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Pengangkut adalah badan usaha angkutan udara niaga, pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga berdasarkan ketentuan Undang – Undang ini, dan/atau badan usaha selain badan usaha angkutan udara niaga yang membuat kontrak perjanjian angkutan udara niaga.

Angkutan udara terdiri atas angkutan udara niaga berjadwal (scheduled

airlines) dengan angkutan udara tidak berjadwal (non-scheduled airlines) baik

domestik maupun internasional. Dalam Undang – Undang Republik Indonesia No 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan tidak terdapat pengertian angkutan udara niaga berjadwal (scheduled airlines), namun demikian dapat meminjam pengertian yang terdapat dalam di dalam keputusan Menteri Perhubungan Nomor SK 13/S/1971.19

Menurut keputusan tersebut angkutan udara berjadwal (schedule airlines) adalah penerbangan yang berencana menurut suatu jadwal perjalan pesawat udara yang tetap dan teratur melalui ruta – rute yang telah ditetapkan, sedangkan

19

Keputusan Menteri Perhubungan Nomor SK 13/s/1971 tentang Syarat – Syarat dan Ketentuan – ketentuan Mengenai Penggunaan Pesawat Terbang Secara Kormersil di Indonesia.


(30)

angkutan udara niaga tidaak berjadwal adalah penerbangan dengan pesawat udara secara tidak terencana.

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, angkutan udara niaga berjadwal diatur dalam pasal 85. Menurut pasal tersebut angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri (domestic scheduled

airlines) hanya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional yang

telah mendapatkan izin usaha angkutan udara niaga berjadwal (scheduled

airlines), namun demikian, atas inisiatif – inisiatif pemerintah dan/atau atas

permintaan badan usaha angkutan udara niaga nasional yang bersangkutan, dalam keadaan tidak terpenuhi atau tidak terlayaninya permintaan jasa angkutan udara oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadwal pada rute udara niaga tidak berjadwal (non-scheduled airlines) setelah mendapatkan persetujuan dari Menteri Perhubungan, asalkan kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal

(non-scheduled airlines) yang dilaksanakan oleh badan usaha angkutan udara niaga

berjadwal (scheduled airlines) tersebut tidak menyebabkan terganggunya pelayanan pada rute yang menjadi tanggung jawabnya dan pada rute yang masih dilayani oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadwal lainnya.

Ad 2. Pengirim (Consinger,Shipper)

Sama halnya dengan pengangkut, pengirim adalah pihak dalam perjanjian pengangkutan. Dalam KUHD juga tidak diatur defenisi pengirim secara umum. Tetatpi dilihat dari pihak perjanjian pengangkutan, pengirim adalah pihak yang mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan. Pengirim dalam bahasa


(31)

Inggris disebut “consigner”, tetapi khususnya untuk pengangkutan laut disebut “shipper”.

Pengirim adalah pemilik barang atau penjual (eksportir), atau majikan penumpang dalam perjanjian pengangkutan serombongan penumpang (tenaga kerja, olah raga). Pemilik barang dapat berupa manusia pribadi , atau perusahaan perseroan atau perusahaan persekutuan badan hukum, dan bukan badan hukum atau perusahaan umum (perum). Sedangkan penjual (eksportir) selalu berupa perusahaan persekutuan badan hukum atau bukan badan hukum. Majikan penumpang adalah kepala rombongan atau ketua organisasi tertentu.

Ad 3. Penumpang (passanger).

Penumpang adalah orang yang mengikatkan diri kepada pihak pengangkut.20 Pihak pengangkut adalah pihak-pihak yang melakukan pengangkutan terhadap barang dan penumpang (orang) yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan baik dengan cara Carter menurut waktu perjalanan.21

20

Sinta Uli, Pengangkutan Suatu Tinjauan Hukum Multimoda Transport, Angkutan Laut,

Angkutan Udara, USU Press, Medan, 2006, Hal 20 21

Hasim Purba, Hukum Pengangkutan di Laut, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2005, hal 135

Penumpang adalah pihak dalam perjanjian pengangkutan penumpang. Penumpang mempunyai dua kedudukan, yaitu sebagai subjek karena ia adalah pihak dalam perjanjian, sebagai objek karena ia adalah muatan yang diangkut. Sebagai pihak dalam perjanjian pengangkutan, penumpang harus sudah dewasa atau mampu melakukan perubahan hukum atau mampu membuat perjanjian (Pasal 1320 KUHPerdata)


(32)

Kenyataan menunjukan bahwa anak – anak dapat membuat perjanjian pengangkutan menurut kebiasaan yang berlaku didalam masyrakat ialah fungsi dan tujuan pengangkutan. Anak – anak sekolah naik taksi atau bus ke kota untuk mencapai tujuan yaitu tiba dengan selamat di sekolah atau di rumah masing – masing. Apakah kebiasaan ini dapat diartikan menyingkirkan Pasal 1320 KUHPerdata.

. Dalam Undang – Undang Republik Indonesia No 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan tidak terdapat pengertian penumpang namun menurut Undang – Undang No 22 tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Menurut Pasal 1 ayat 25, Penumpang adalah orang yang berada di dalam kendaraan selain pengemudi dan awak kendaraan.

Objek hukum adalah segala sesuatu yang digunakan untuk mencapai tujuan hukum. Yang diartikan “objek hukum” pengangkutan adalah segala sesuatu yang digunakan untuk mencapai tujuan hukum pengangkutan. Tujuan hukum pengangkutan adalah terpenuhinya kewajiban dan hak pihak – pihak dalam pengangkutan, maka yang menjadi objek hukum pengangkutan adalah:22

1) Muatan barang. 2) Muatan penumpang. 3) Alat pengangkutan. 4) Biaya pengangkutan. Ad 1. Muatan Barang.

22

AbdulKadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Darat, Laut dan Udara. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 1994. hal 61


(33)

Muatan Barang yang diangkut oleh pesawat udara udara disebut kargo. Menurut Undang – Undang No 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan Pasal 1 Ayat 23, Kargo adalah setiap barang yang diangkut oleh pesawat udara termasuk hewan dan tumbuhan selain pos, barang kebutuhan pesawat selama penerbangan, barang bawaan atau barang tidak bertuan.

Barang – barang yang dibawa oleh penumpang dalam perjanjian yang dikenal secara luas ada 2 jenis yaitu:

a. Barang bawaan, ialah barang – barang kecil, yang dapat dibawa oleh penumpang dalam tempat duduknya, misalnya Kopper tangan. Adanya barang – barang ini tidak perlu dilaporkan kepada pengangkut dan terhadap barang – barang ini tidak dipungut biaya. b. Barang – barang bagasi ialah barang – barang yang dilaporkan

kepada pengangkut dan untuk ini penumpang mendapat tiket bagasi. sampai berat tertentu penumpang dapat melaporkan barang bagasi tanpa biaya. Definisi otentik mengenai bagasi tersebut dalam pasal 6 ayat 2 OPU yang berbunyi : “Bagasi adalah semua barang kepunyaan atau di bawah kekuasaan seorang penumpang yang atas namanya sebelum ia penumpang pesawat terbang diminta untuk diangkut melalui udara”.23

Undang – Undang No. 15 Tahun 1992 belum mengatur angkutan barang khusus dan berbahaya, sedangkan dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, angkutan barang khusus dan berbahaya diatur dalam Pasal

23

Sution Usman Adji, dkk. Hukum Pengangkutan di Indonesia. Rineka Cipta. Jakarta: 1990. hal 59


(34)

136 sampai dengan Pasal 139. Barang khusus tersebut dapat berupa barang yang khusus karena sifat, jenis, dan ukurannya memerlukan penanganan khusus, sedangkan barang berbahaya dapat berbentuk cair , bahan padat atau bahan gas yang dapat membahayakan kesehatan, keselamatan jiwa, dan harta benda, serta keselamatan dan keamanan penerbangan.24

Barang berbahaya dapat diklasifikasikan bahan peledak (explosive), gas yang dimampatkan, dicairkan, atau dilarutkan dengan tekanan (compressed gases,

liquefied or dissolved under pressured), cairan mudah menyala atau terbakar

(flammable solids), bahan atau barang pengoksidasi (oxidizing substance), bahan atau barang beracun dan mudah menular (toxic and infectious substances), bahan atau barang radio aktif (radioactive material), bahan atau barang perusak (corrosive substances), cairan, aerosol, jelly (liquids, aerosols, and gels) dalam jumlah tertentu atau bahan atau zat berbahaya lainnya (miscellaneous dangerous

substances).25

Semua calon penumpang pesawat udara, kargo udara (air cargo), bagasi tercatat (check baggage), bagasi kabin (cabin baggage) harus melalui pemeriksaan oleh pihak keamanan bandar udara. Barang – barang bawaan calon penumpang pesawat udara harus diperiksa melalui mesin pemindai (x-ray

machine) untuk memastikan bahwa bagasi tercatat, bagasi kabin, serta barang

bawaan mereka aman tidak berisi bahan dan/atau barang berbahaya seperti senjata api atau barang – barang yang dikategorikan ke dalam barang berbahaya, namun demikian bilamana senjata api maupun senjata tajam tersebut diperlukan dan

24

E.Suherman, Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Hukum Udara Indonesia”, N.V.Eresco I,Bandung 1962. hal 74.

25


(35)

harus dibawa di dalam penerbangan dapat diizinkan dan diperlakukan sebagai

security item dengan prosedur dan pengawasan yang ketat.26

Sebagai pengusaha pengangkutan, pengangkut memiliki alat pengangkutan sendiri atau menggunakan alat pengangkutan orang lain dengan perjanjian sewa. Alat pengangkutan darat adalah kenderaan bermotor yang dijalankan oleh pengemudi (sopir). Alat pengangkutan jalan rel adalah kereta api yang dijalankan oleh masinis. Alat pengangkutan laut adalah kapal laut niaga yang dijalankan oleh nakhoda. Alat pengangkutan udara adalah peswat udar a yang dijalankan oleh Ad 2. Muatan Penumpang

Muatan penumpang lazim disebut penumpang saja. Sama halnya dengan barang, penumpang juga tidak ada definisinya dalam undang – undang. tetapi dilihat dari perjanjian pengangkutan selaku objek perjanjian, penumpang adalah setiap orang yang berbeda dalam alat pengangkutan yang memiliki tiket penumpang, yang diangkut dari satu tempat ke tempat tujuan.

Setiap penumpang yang diangkut memperoleh pelayanan yang wajar dari pengangkut, bergantung dari jenis pengangkutan, jarak pengangkutan, jumlah biaya pengangkutan. Pelayanan terutama terdiri Makanan, Minuman serta perawatan kesehatan ringan selama perjalanan. Selain itu, juga hiburan dan bacaan dalam perjalanan. Pelayanan yang lebih baik terdapat pada pengangkutan udara dan pengangkutan laut. penumpang dengan kapal laut khusus, seperti kapal kambuna.

Ad 3. Alat Pengangkutan.

26

K. Martono, dkk. Transportasi`Bahan dan/atau Barang Berbahaya Dengan Pesawat


(36)

pilot. Sopir, masinis, nakhoda, pilot bukan pengangkut melainkan sebagai buruh pengangkut yang dikuasai oleh hubungan hukum peburuhan Bab VII-A KUHPerdata. Semua alat pengangkutan harus memenuhi syarat yang ditetapkan oleh undang – undang.

Ad 4. Biaya Pengangkutan

Dalam KUHD tidak diatur secara umum mengenai biaya pengangkutan. Tetapi dilihat dari perjanjian pengangkutan, biaya pengangkutan adalah kontra prestasi terhadap penyelenggaraan pengangkutan yang dibayar oleh pengirim atau penerima atau penumpang kepada pengangkut. Dalam pengangkutan barang, biaya pengangkutan dapat dibayar lebih dahulu oleh pengirim atau dibayar kemudian oleh penerima.

Pasal 533-j KUHD menentukan bahwa biaya pemeliharaan penumpang selama pengangkutan termasuk dalam biaya pengangkutan. Dengan demikian, Biaya pengangkutan terdiri dari 2 unsur yaitu, pertama kontra prestasi penyelenggara pengangkutan, kedua biaya pemeliharaan yang meliputi makan dan minum selama pengangkutan. Menurut Pasal 533-I KUHD biaya pengangkutan penumpang harus dibayar lebih dahulu.

Perhitungan jumlah biaya pengangkutan ditentukan juga oleh beberapa hal berikut ini:

1. Jenis pengangkutan yaitu pengangkutan darat, laut dan udara. Tiap pengangkutan mempunyai biaya pengangkutan yang tidak sama.


(37)

2. Jenis alat pengangkutan yaitu bus, kereta api, kapal laut, pesawat udara. Tiap jenis alat pengangkutan mempunyai pelayanan dan kenikmatan yang berbeda sehingga berbeda pula tariff yang ditetapkan.

3. Jarak pengangkutan yaitu jarak jauh atau jarak dekat. Jarak jauh memakan biaya pengangkutan lebih banyak dibandingkan jarak dekat.

4. Waktu pengangkutan yaitu cepat atau lambat. Pengangkutan yang cepat (ekspress kilat) lebih besar biayanya dibandingkan dengan pengangkutan biasa (lansam).

5. Sifat muatan yaitu berbahaya, mudah rusak, mudah busuk, mudah pecah. Sifat ini mempunyai kemungkinan timbul kerugian yang lebih besar jika dibandingkan dengan muatan yang mempunyai sifat tidak berbahaya.27 C. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Pengangkutan udara.

Subjek hukum merupakan orang atau badan yang dikenakan hak dan kewajiban. Seperti yang telah diketahui subjek hukum pengangkutan adalah pihak yang secara langsung terikat dalam perjanjian dan pihak yang tidak secara langsung terikat di dalam perjanjian

Kewajiban Pengangkut adalah mengangkut barang dengan selamat atau mengantarkan penumpang dengan selamat sampai ke tempat tujuan. sedangkan hak pengangkut adalah mendapatkan upah atau ongkos dari penumpang atau pengirim barang.

Kewajiban penumpang adalah membayar upah atau ongkos kirim kepada pengangkut sedangkan haknya diangkut dari satu tempat ke tempat tertentu

27

Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Darat, Laut Dan Udara, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, hal 69.


(38)

dengan selamat. Manfaat terjadinya pengangkutan ini yaitu meningkatkan nilai dan daya guna dari orang atau barang yang diangkut.

Pasal 140 Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 diatur kewajiban badan usaha angkutan udara niaga untuk mengangkut penumpang. menurut pasal tersebut badan usaha angkutan udara niaga wajib mengangkut orang dan/atau kargo, dan pos setelah disepakatinya perjanjian angkutan, disamping itu badan usaha angkutan udara niaga wajib memberikan pelayanan yang layak terhadap setiap pengguna jasa angkutan udara sesuai dengan perjanjian angkutan udara yang disepakati.

Perjanjian angkutan tersebut dibuktikan dengan tiket penumpang dan dokumen muatan. Dalam penjelasannya kewajiban angkut badan usaha angkutan udara niaga tidak membedakan perlakuan terhadap pengguna jasa angkutan sepanjang yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan perjanjian angkutan yang disepakati.28

Penyandang cacat dan orang sakit berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan khusus agar mereka dapat menikmati pelayanan angkutan udara dengan baik dalam pelayanan jasa angkutan udara. Yang tergolong orang cacat dalam ketentuan tersebut misalnya penumpang yang menggunakan kursi roda karena lumpuh, cacat kaki, tuna netra, dan sebagainya sedangkan pengertian orang sakit dalam ketentuan ini adalah orang yang menderita penyakit menular sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku.29

28

E.Suherman, Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Hukum Udara Indonesia”, N.V.Eresco I,Bandung 1962. hal 68.

29


(39)

Tarif adalah harga atau pungutan yang harus dibayar untuk pengangkutan penumpang, bagasi atau kargo termasuk biaya agen, komisi dan biaya – biaya lainnya.30

Menurut Pasal 126 ayat 1 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, tarif angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri terdiri atas tarif angkutan penumpang dan tarif angkutan kargo selanjutnya ayat 2 menyatakan tarif angkutan penumpang terdiri atas golongan tarif pelayanan ekonomi dan nonekonomi. Sebagaimana disebutkan diatas kebijakan pemerintah sesuai dengan Undang – Undang No 1 Tahun 2009 Tentang Penerbang, tarif penumpang angkutan adalah neo-liberal, yang merupakan gabungan konsep sosialis dengan konsep liberal, karena itu pemerintah campur tangan terhadap tarif khususnya tarif penumpang angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri kelas ekonomi, sedangkan tarif kelas nonekonomi diserahkan kepada hukum pasar (supply

demand) tanpa campur tangan pemerintah.

Bagi perusahaan penerbangan tarif merupakan kewajiban yang harus dibayarkan oleh penumpang sehingga penumpang mendapatkan haknya untuk diangkut ke tempat tujuan oleh pengangkut. Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, Tarif angkutan udara niaga berjadwal (scheduled

airlines) dalam negeri diatur dalam pasal 126 sampai dengan pasal 130.

31

Tarif jasa maksimum menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 pada rute tertentu dalam negeri atas pelayanan angkutan penumpang tertentu dalam negeri atas pelayanan angkutan penumpang kelas ekonomi ditetapkan setelah berkonsultasi dengan asosiasi perusahaan penerbangan nasional dengan

30

K. Martono, Amad sudiro, Hukum Angkutan Udara. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011. hal 24

31


(40)

mempertimbangkan masukan dari asosiasi pengguna jasa penerbangan dihitung berdasarkan komponen tarif jarak, pajak, iuran wajib asuransi, biaya tuslah/surcharge.32

Tarif pelayanan penumpang angkutan nonekonomi angkutan udara niaga berjadwal (scheduled airlines) dalam negeri dan angkutan kargo berjadwal dalam negeri mengacu pada konsep liberal, karena itu pemerintah hanya menentukan prosentasi kapasitas tempat duduk kelas nonekonomi, sedangkan besaran tarif ditentukan oleh perusahaan angkutan udara niaga yang bersangkutan berdasarkan mekanisme pasar (supply and demand).

Menurut Pasal 130 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, mengenai tarif angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri kelas ekonomi serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan peraturan menteri perhubungan.

Menurut peraturan Menteri Perhubungan Nomor 26 tahun 2010, badan usaha angkutan udara niaga berjadwal wajib menetapkan besaran tarif normal, namun demikian besaran tarif tersebut tidak boleh melebihi batas atas yang ditetapkan oleh Menteri Perhubungan.

33

Masalah yang penting pada penerbangan dan angkutan udara adalah tanggung jawab pengangkut atau operator pesawat udara untuk kerugian – kerugian yang ditimbulakannya pada pemakai jasa angkutan udara dan pihak

D. Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Angkutan Udara.

32

Ibid, hal 28.

33


(41)

ketiga, yang mungkin menderita kerugian sebab akibat dari kegiatan penerbangan dan angkutan udara tersebut.

Tanggung jawab berarti kewajiban untuk mengganti kerugian karena suatu tindakan seorang (pasal 1365 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata). Menetapkan bahwa “barang siapa menimbulkan kerugian kepada pihak lain karena perbuatan melawan hukum, wajib menggantikan kerugian tersebut”, sedangkan dalam hukum adat terdapat suatu azas bahwa “tiap – tiap gangguan ari keseimbangan, tiap – tiap gangguan benda – benda lahiriah dan rohaniah untuk seseorang akan menimbulkan reaksi untuk mengembalikan keseimbangan tadi, dengan perkataan lain suatu perbuatan yang merugikan orang lain, memberi hak kepada pihak yang dirugikan untuk minta dihilangkan kerugian itu, agar keseimbangan kembali.34

34

Suwardi, Penulisan Karya Ilmiah Tentang Penentuan Tanggung Jawab Pengangkut

Yang Terikat Dalam Kerjasama Pengangkutan Udara Internasional, Badan Pembinaan Hukum

Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta; 1991, hal 39.

Dalam hukum udara internasional masalah tanggung jawab telah lama menjadi perhatian, karena dalam kenyataan konvensi internasional kedua yang penting setelah konvensi Paris 1919 yang mengatur aspek pengaturan penerbangan internasional setelah perang dunia I adalah Konvensi Warsawa 1929 yang mengatur masalah tanggung jawab pengangkut dan dokumen angkutan pada penerbangan internasional, dan disusul dalamtahun 1933 oleh konvensi roma yang mengatur tanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkan pada pihak ketiga di permukaan bumi. perjanjian Roma ini digantikan oleh Konvensi Roma tahun 1952.


(42)

Dari Konvensi Warsawa 1929 dan konvensi – konvensi lain mengenai tanggung jawab dapat kita simpulkan adanya prinsip – prinsip tanggung jawab sebagai berikut:

a. Prinsip “presumption of liability” b. Prinsip “presumption of non liability”

c. Prinsip “absolute liability” atau “strict liability” d. Prinsip “limitation of liability”35

Ad 1. Prinsip “presumption of liability”

Prinsip “presumption of liability” oleh beberapa penulis disebut juga “presumption of fault” atau “presumption of negligence”.

Berdasarkan Prinsip ini maka pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab untuk kerugian – kerugian yang ditimbulkan pada penumpang, barang atau bagasi (tercatat) yang diangkutnya. Dalam keadaan biasa pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab tanpa perlu diperhatikan apakah ada alasan hukum untuk tanggung jawab tersebut, misalnya apakah ada suatu tindkan melawan hukum atau apakah ada suatu kesalahan dalam bentuk apapun.36

Menurut konsep tanggung jawab hukum praduga bersalah (presumption of liability concept), perusahaan penerbangan dianggap (presumed) bersalah, sehingga perusahaan penerbangan demi hukum harus membayar ganti kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang tanpa dibuktikan

35

E.Suherman, Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Hukum Udara Indonesia”, N.V.Eresco I,Bandung.1962. hal 43.

36


(43)

kesalahan lebih dahulu, kecuali perusahaan penerbangan membuktikan tidak bersalah37 yang dikenal sebagai beban pembuktian terbalik.38

Prinsip ini hanya berlaku untuk bagasi tangan. Dengan prinsip ini maka pengangkut dianggap selalu tidak bertanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkan pada bagasi tangan yaitu barang – barang yang dibawa sendiri oleh penumpang.

Ad 2. Prinsip “presumption of non-liability”

39

Perbedaan yang prinsipil antara bagasi tercatat dengan bagasi tangan adalah bahwa bagasi tercatat diserahkan ke dalam pengawasan pengangkut, sedangkan bagasi tangan tidak, Oleh karena itu prinsip tanggung jawabnya pun harus kebalikannya, yaitu bahwa untuk bagasi tangan pengangkut dianggap selalu tidak bertanggung jawab.40

Secara umum istilah – istilah ini berarti bahwa tanggung jawab berlaku mutlak, tanpa ada kemungkinan membebaskan diri, kecuali dalam hal kerugian yang disebabkan atau turut disebabkan oleh pihak yang menderita kerugian sendiri.

Ad 3. Prinsip “absolute liability” atau “strict liability”

41

Menurut konsep tanggung jawab tanpa bersalah (legal liability without

fault concept), perusahaan penerbangan (air carrier) bertanggung jawab mutlak

37

Beban pembuktian terbalik atau juga disebut pembuktian negatif.

38

K. Martono, Amad sudiro, Hukum Angkutan Udara. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011. hal 223

39

Suwardi, Penulisan Karya Ilmiah Tentang Penentuan Tanggung Jawab Pengangkut

Yang Terikat Dalam Kerjasama Pengangkutan Udara Internasional, Badan Pembinaan Hukum

Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta; 1991. hal 41.

40

Ibid.

41


(44)

terhadap kerugian yang diderita oleh pihak ketiga42 yang timbul akibat pendaratan darurat atau jatuhnya barang dan/atau orang dari pesawat udara, tanpa memerlukan adanya pembuktian terlebih dahulu.43

Konsep tanggung jawab tanpa bersalah atau tanggung jawab mutlakoperator tidak dapat membebaskan diri kewajiban membayar ganti kerugian (damages).44

Dalam Konvensi Warsawa 1929 dan konvensi – konvensi lain dalam bidang hukum udara, apapun prinsip yang dipergunakan, selalu disertai dengan prinsip “limitation of liability” yaitu bahwa pada dasarnya tanggung jawab pengangkut atau operator pesawat udara dibatasi sampai jumlah tertentu.

Ad 4. Prinsip “limitation of liability”

45

Penumpang dan/atau pengirim barang tidak perlu membuktikan kerugian yang terjadi pada saat pendaratan darurat atau kecelakaan , sehingga penumpang dan/atau pengirim barang tidak harus membuktikan kesalahan perusahaan penerbangan. Karena perusahaan penerbangan dianggap bersalah, maka sebagai imbalan, perusahaan penerbangan berhak menikmati batas maksimum ganti kerugian yang telah ditetapkan dalam konvensi atau peraturan perundang –

42

Pihak ketiga adalah pihak – pihak yang tidak tahu menahu penggunaan pesawat udara, tetapi menderita kerugian akibat dampak negative penggunaan pesawat udara. contoh konkretnya adalah korban penduduk dan harta benda mereka yang juga menyisakan trauma yang mendalam akibat kecelekaan Mandala airlines tanggal 5 September 2005 di Padang Bulan, Medan. Kecelakaan Pesawat udara juga menimbulkan pencemaran seperti kasus kecelakaan Silk Air di Palembang yang mencemari Sungai Musi, kecelakaan Mandala Airlines yang terpaksa mengadakan sanitasi atau disinfektan untuk mecegah wabah penyakit akibat korban yang meninggal dunia.

43

K. Martono, Amad sudiro, Hukum Angkutan Udara. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011. hal 228

44

Ibid. hal 228.

45

Suwardi, Penulisan Karya Ilmiah Tentang Penentuan Tanggung Jawab Pengangkut

Yang Terikat Dalam Kerjasama Pengangkutan Udara Internasional, Badan Pembinaan Hukum


(45)

undangan artinya berapa pun kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang, perusahaan penerbangan tidak akan selalu bertanggung jawab membayar semua kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang, melainkan hanya memabayar sejumlah yang ditetapkan di dalam konvensi atau peraturan perundang – undangan.46

46

K. Martono, Amad Sudiro, Opcit. hal 224.

Prinsip ini mengatur soal tanggung jawab pengangkut yang dibatasi sampai jumlah tertentu. Dari beberapa penjelasan terhadap prinsip tanggung jawab pengangkutan diatas secara umum dapat diketahui bahwa tanggung jawab adalah ditimbulkan dari akibat adanya keadaan yang menyebabkan kerugian ataupun kehilangan terhadap pihak lain yang merupakan akibat dari penyelenggaraan suatu perjanjian pengangkutan. Pasal 1365 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang menyatakan “Bahwa barang siapa yang menimbulkan kerugian pada pihak lain karena perbuatannya yang melawan hukum wajib mengganti kerugian tersebut”.

Peraturan ini tetap berlaku terhadap setiap perjanjian yang diadakan oleh para pihak yang berkepentingan dan para pihak yang secara tidak sengaja menjadi turut ke dalam perjanjian tersebut secara dikehendaki ataupun tidak dikehendaki.

Dari prinsip – prinsip tersebut dimaksudkan untuk dapat terselenggaranya tujuan penerbangan sesuai dengan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang tercantum dalam Pasal 3 yaitu:


(46)

1. Mewujudkan penyelenggaraan penerbangan yang tertib, teratur, selamat, aman, nyaman, dengan harga yang wajar dan menghindari praktek persaingan usaha yang tidak sehat.

2. Mempelancar arus perpindahan orang dan/atau barang melalui udara dengan mengutamakan dan melindungi angkutan udara dalam rangka mempelancar kegiatan perekonomian nasional.

3. Membina jiwa kedirgantaraan. 4. Menjunjung kedaulatan negara.

5. Menciptakan daya saing dengan mengembangkan teknologi dan industri angkutan udara nasional.

6. Menunjang, mengerakkan dan mendorong pencapaian tujuan pembangunan nasional.

7. Memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa dalam rangka perwujudan nusantara.

8. Meningkatkan ketahanan nasional. 9. Mempererat hubungan antar bangsa.

Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan menerapkan konsep tanggung jawab hukum praduga bersalah (presumption of liability

concept) seperti halnya yang berlaku pada konvensi Warsawa 1929 dan konsep

tanggung jawab atas dasar kesalahan (based on fault liability), khusus mengenai bagasi kabin (cabin baggage). Hal ini terbukti dari ketentuan Pasal 141 ayat 1 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan yang mengatakan bahwa pengangkut bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal


(47)

dunia, cacat tetap ,misalnya kehilangan atau menyebabkan tidak berfungsinya salah satu anggota badan atau yang mempengaruhi aktivitas secara normal seperti hilangnya tangan, kaki, atau mata yang diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat udara dan/atau naik turun pesawat udara, kerugian yang diderita oleh penumpang karena bagasi tercatat hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi tercatat berada dalam pengawasan pengangkut sesuai dengan Pasal 144 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, kerugian yang diderita oleh pengirim kargo karena kargo yang dikirim hilang, musnah, rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama kargo berada dalam pengawasan pengangkut berdasarkan Pasal 145 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.

Berdasarkan ketentuan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 141 ayat 1, Pasal 144 dan Pasal 145 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, pengangkut otomatis bertanggung jawab dibuktikan lebih dulu, sehingga pengangkut berhak menikmati batas ganti kerugian yang ditetapkan oleh Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009, namun demikian menurut Pasal 141 ayat 2 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009, bats ganti kerugian tersebut tidak dapat dinikmati oleh pengangkut bilamana kerugian tersebut timbul karena tindakan sengaja (willful misconduct) atau kesalahan dari pengangkut atau orang yang dipekerjakan, sehingga ahli waris atau korban dapat melakukan tuntutan ke pengadilan untuk mendapatkan ganti kerugian tambahan selain ganti kerugian yang ditetapkan (unlimited liability principle) sesuai dengan Pasal 141 ayat 3 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009.


(48)

Bukti lain berlakunya konsep praduga bersalah (presumption of liability) dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 adalah kerugian yang diderita karena keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi dan kargo. Dikatakan bahwa pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita karena keterlambatan, kecuali apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional (Pasal 146 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009). Dalam Pejelasan yang dimaksud faktor cuaca dan teknis operasional adalah Faktor cuaca: Hujan lebat, petir, badai, kabut, asap, jarak pandang di bawah standar minimal (weather minima) yang menggangu keselamatan penerbangan, faktor operasional: bandar udara untuk keberangkatan dan tujuan tidak dapat dgunakan operasional pesawat udara, lingkungan menuju bandar udara atau landasan terganggu fungsinya misalnya retak, banjir, atau kebakaran, terjadinya antrian pesawat udara lepas landas (take

off), mendarat (landing), atau alokasi waktu keberangkatan (depatur slot time) di

bandar udara, keterlambatan pengisian bahan bakar (aviation turbine), sedangkan tidak dapat digunakan sebagai alasan adalah keterlambatan pilot, co-pilot, dan awak kabin, keterlambatan jasa boga (catering), keterlambtana penanganan di darat, menunggu penumpang, baik yang melapor (check in), pindah pesawat udara (transfer) atau penerbangan lanjutan (connection flight) dan ketidaksiapan pesawat udara.

Angkutan bagasi kabin (cabin baggage) berlaku konsep tanggung jawab berdasarkan kesalahan (based on fault liability) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 143 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.


(49)

Menurut pasal tersebut pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian karena hilang atau rusaknya kabin, kecuali apabila penumpang membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh tindakan pengangkut atau orang yang dipekerjakan. Maksud dari ketentuan ini adalah bagasi kabin yaitu barang yang dibawa oleh penumpang dan berada dalam pengawasan penumpang sendiri, rasanya tidak adil bilamana pengangkut yang bertanggung jawab , kecuali bagasi kabin tersebut diserahkan kepada pramugari atau pramugara selama penerbangan berlangsung.47

Menurut Pasal 16 ayat 1 dan ayat 2 Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011, Tanggung jawab pengangkut sebagaimana dimaksud wajib

Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan juga mengatur kewajiban asuransi terhadap tanggung jawab perusahaan penerbangan, asuransi pengoperasian pesawat udara, asuransi operator bandar udara bahkan juga wajib mengasuransikan kegiatan lainnya. Pasal 179 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Perusahaan penerbangan wajib mengasuransi tanggung jawab hukum atas kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka – luka, tanggung jawab hukum atas kerugian karena hilang atau rusaknya bagasi kabin, tanggung jawab hukum atas kerugian yang diderita oleh penumpang karena bagasi tercatat hilang, musnah atau rusak, tanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengirim kargo karena kargo yang dikirim hilang, musnah atau rusak dan tanggung jawab atas kerugian yang diderita karena keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi atau kargo.

47


(50)

diasuransikan kepada perusahaan asuran dalam bentuk konsorsium asuransi. bentuk konsorium bersifat terbuka kepada seluruh perusahaan asuransi yang memenuhi syarat dan perizinan untuk dapat berpatisipasi dalam program asuransi tanggung jawab pengangkut angkutan udara.


(51)

BAB III

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP BARANG – BARANG PENUMPANG DALAM ANGKUTAN UDARA

.

A. Jenis – Jenis Pengangkutan Barang Dalam Angkutan Udara.

Surat Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor SKEP/275/III/1998, perkataan “goods” diartikan “benda atau barang”, perkataan “barang” dapat diartikan “barang hidup” (animate) seperti kuda, kambing, kerbau, ikan, atau “barang mati” (inaminate) maupun hasil kerajinan tangan yang dibuat dari kulit binatang (animal product) misalnya tas, ikat pinggang, dan lain – lain.

Perkataan “barang (goods)” dapat diartikan juga barang yang dapat sebagai objek perdagangan (merchandise) atau bukan objek perdagangan seperti jenazah (human remain), apabila perkataan “barang” diartikan objek perdagangan (merchandise), maka jenazah (human remain) tidak termasuk “barang” (goods) atau kargo.48

Barang bawaan tersendiri dibagi 2 dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yaitu bagasi tercatat dan bagasi kabin. Pasal 1 ayat 24 menyebutkan “bagasi tercatat adalah barang penumpang yang diserahkan oleh penumpang kepada pengangkut untuk diangkut dengan pesawat udara yang

Menurut Pasal 1 ayat 23 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, kargo adalah setiap barang yang diangkut oleh pesawat udara termasuk hewan dan tumbuhan selain pos, barang kebutuhan pesawat selama penerbangan, barang bawaan, atau barang yang tidak bertuan.

48

K. Martono, dkk. Transportasi`Bahan dan/atau Barang Berbahaya Dengan Pesawat


(52)

sama” sedangkan Pasal 1 ayat 25 “bagasi kabin adalah barang yang dibawa oleh penumpang dan berada dalam pengawasan penumpang sendiri”.

Angkutan barang – barang wajib memenuhi persyaratan keamanan dan keselamatan penerbangan. Angkutan barang tersebut dapat berupa barang karena sifatnya dan ukurannya memerlukan penanganan khusus dan jenis barang yang karena sifatnya dapat dikategorikan sebagai barang berbahaya.

Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan mengklasifikasikan barang – barang dalam angkutan udara di dalam pasal 136 sampai dengan pasal 139. Angkutan barang khusus seperti hewan, ikan, tanaman, buah – buahan, sayur – mayur, daging, peralatan olahraga, alat musik, dan barang berbahaya wajib memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan penerbangan. Barang khusus tersebut dapat berupa barang yang khusus karena sifat, jenis, dan ukurannya memerlukan penanganan khusus, sedangkan barang berbahaya dapat berbentuk cair, bahan padat atau bahan gas yang dapat membahayakan kesehatan, keselamatan jiwa dan harta benda, serta keselamatan dan keamanan penerbangan.49

1. Bahan peledak (explosive).

Menurut Pasal 136 ayat 4 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, mengklasifikasikan barang berbahaya sebagai berikut:

2. Gas yang dimampatkan, dicairkan, atau dilarutkan dengan tekanan (compressed gases, liquefied or dissolved under pressure).

3. Cairan mudah menyala atau terbakar (flammable liquids).

49


(53)

4. Bahan atau barang padat mudah menyala atau terbakar (flammable

solids).

5. Bahan atau barang pengoksidasi (oxidizing substances).

6. Bahan atau barang beracun dan mudah menular (toxic and infection

substances).

7. Bahan atau barang radioaktif (radioactive material). 8. Bahan atau barang perusak (corrosive substances).

9. Cairan, aerosol, dan jelly (liquids, aerosols, and gels) dalam jumlah tertentu.

10. Bahan atau zat berbahaya lainnya (miscellaneous dangerous

substances).

Pada prinsipnya barang berbahaya tidak boleh dibawa oleh penumpang dan/atau awak pesawat udara dalam bagasi tercatat (check baggage) atau dalam kabin bagasi (cabin baggage) atau yang menempel pada badan mereka, kecuali amunisi, kursi roda atau alat bantu mobilitas yang memberi tahu kepada kapten penerbang, kompor kemah atau tempat bahan bakar, thermometer atau barometer, tabung gas oksigen, tabung gas tidak mudah terbakar yang dipasang di life jacket, peralatan pemantauan agen kimia, karbondioksida padat (dry ice), bahan/barang produksi panas dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Amunisi dalam kemasan yang aman (magasen peluru untuk senjata, senjata kecil) dalam jumlah yang tidak melebihi berat 5 kg kotor per orang untuk digunakan sendiri, tidak termasuk bahan peledak atau amunisi pembakar proyektil.


(54)

2. Kursi roda atau alat bantu mobilitas dengan baterai yang tidak dapat tumpah.

3. Kompor untuk berkemah atau tempat bahan bakar yang sangat mudah terbakar, namun demikian kompor untuk berkemah atau tempat bahan bakar tersebut harus dimasukkan di dalam bagasi yang diperiksa dan memperoleh persetujuan lebih dahulu dari perusahaan penerbangan.

4. Termometer atau barometer merkuri dapat dibawa oleh seorang perwakilan dari sebuah biro cuaca pemerintahan atau lembaga resmi serupa yang diakui oleh pejabat yang berwenang.

5. Tabung gas oksigen yang diperlukan untuk penggunaan medis dapat dibawa dengan pesawat udara dengan syarat berat tabung gas oksigen tidak lebih dari 5 kg berat kotor.

6. Tabung gas tidak mudah terbakar yang dipasang di life jacket boleh dibawa dalam penerbangan asalkan tidak lebih dari dua tabung kecil yang mengandung karbondioksida atau gas lain per orang dipasang pada self-inflating life jacket untuk tujuan menggelembungkan life jacket dan tidak lebih dari 2 wadah cadangan.

7. Peralatan pemantauan agen kimia yang mengandung bahan radio aktif boleh diangkut dengan pesawat udara asal tidak boleh melebihi dari batas yang direkomendasikan dalam IATA-DGR.


(55)

8. Karbondioksida padat (dry ice) boleh dibawa dalam penerbangan dengan jumlah yang tidak melebihi 2,5 kg (5 pound) setiap orang bilamana dipergunakan untuk pengawetan, dikecualikan pada peraturan pada peraturan yang direkomendasikan oleh IATA-DGR. 9. Bahan/barang produksi panas seperti peralatan yang bertenaga

baterai dapat menghasilkan panas tinggi dan dapat menyebabkan kebakaran bilamana diaktifkan.50

B. Penyelenggaraan Pengangkutan Barang Dalam Angkutan Udara.

Seperti yang kita ketahui barang yang diangkut dalam angkutan udara adalah barang kargo dan di dalam barang kargo ada salah satunya barang bawaan penumpang. Barang bawaan penumpang itu terdiri dari bagasi tercatat dan bagasi kabin. Mengen penyelenggaraan pengangkutannya pun berbeda. Apalagi setelah lahirnya Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan yang membedakan barang berbahaya dan tidak berbahaya.

Konvensi Warsawa 1929 tidak mengatur pengertian atau definisi bagasi tercatat (check baggage). Menurut Pasal 4 Konvensi Warsawa 1929, bagasi tercatat harus disertai tiket bagasi tercatat yang dibuat rangkap 2, 1 untuk perusahaan penerbangan dan 1 untuk penumpang.

Tiket bagasi tercatat tersebut harus berisikan tempat dan tanggal penerbitan, Bandar udara keberangkatan dan Bandar udara tujuan, nama dan alamat perusahaan penerbangan, nomor tiket penumpang, suatu pernyataan bahwa penyerahan bagasi tercatat kepada pemegang tiket bagasi tercatat, nomor dan

50


(1)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan.

1. Perjanjian angkutan udara merupakan perjanjian timbal balik yang dikenal dalam hukum perdata, dimana pihak penumpang mengikatkan diri kepada pengangkut kemudian pengangkut mengangkut penumpang ke tempat tujuan dengan alat/moda transportasi udara dan penumpang membayar tarif/upah kepada pengangkut sebagai imbalan atas jasa yang diberikannya. Sebuah perjanjian akan menghasilkan sebuah tanggung jawab dan apabila tidak bertanggung jawab akan mengahsilkan sebuah sengketa. Pengangkut dalam hal ini sebagai subjek yang memberikan jasa. Jadi, terdapat beberapa ketentuan mengenai tanggung jawab pengangkut seperti Prinsip “presumption of liability”, Prinsip “presumption of non liability”, Prinsip “absolute liability” atau “strict liability”, Prinsip “limitation of liability” yang diatur di dalam konvensi Warsawa 1929 dan diatur di dalam Undang – Undang lainnya termasuk Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.

2. Mengenai perlindungan terhadap barang – barang milik penumpang dalam angkutan udara dapat dibagi menurut jenis barangnya. Barang kargo yaitu setiap barang yang diangkut oleh pesawat udara termasuk hewan dan tumbuhan selain pos, barang kebutuhan pesawat selama penerbangan, barang bawaan atau barang yang tidak bertuan. Barang – barang milik penumpang dibagi menjadi 2 jenis yaitu: barang bagasi dan barang bawaan


(2)

dan dari jenis barang tersebut ada yang dikategorikan barang berbahaya dan/atau tidak berbahaya. Mengenai penyelenggaraan pengangkutan barang – barang tersebut terdapat 2 pihak yang mengaturnya yaitu petugas bandar udara dan pihak pengangkut/penerbangan/maskapai. Petugas bandara udara melayani penggunaan jasa kebandaraan seperti mengawasi apakah barang – barang yang akan diangkut oleh maskapai, sedangkan pihak pengangkut adalah pihak yang mengakut barang – barang sampai ke tempat tujuan.

3. Perlindungan hukum terhadap barang – barang penumpang dibedakan peraturannya antara barang bagasi dan barang tercatat. Dalam barang bagasi diatur dalam Pasal 167 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009, jumlah ganti kerugian untuk bagasi kabin tersebut ditetapkan setinggi – tingginya sebesar kerugian nyata, yaitu kerugian yang didasarkan pada nilai barang yang hilang atau rusak pada saat kejadian penumpang sedangkan barang tercatat didelegasikan oleh Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 ke peraturan lebih rendah yaitu Peraturan Menteri Perhubungan yaitu PM 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara.

4. Mengenai perlindungan dan pertanggung jawaban PT Sriwijaya Air terhadap barang – barang milik penumpang sudah mengikuti ketentuan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 dan PM 77 Tahun 2011 tapi tidak sepenuhnya atau dengan kata lain setengah – setengah. Seperti contoh : Bentuk pertanggung jawaban PT. Sriwijaya Air terhadap barang milik


(3)

penumpang yang rusak adalah dengan cara memperbaikinya bukan dengan menggantikan yang baru. Bentuk pertanggung jawaban PT. Sriwijaya Air terhadap barang yang dinyatakan hilang adalah dengan cara mengganti antara Rp. 50.000,- sampai dengan Rp. 200.000,- per kilogram dengan negosiasi di awal terlebih dahulu sedang PM 77 Tahun 2011 mengatur antara Rp. 200.000,- per kilogram sampai dengan Rp. 4.000.000,- per penumpang dan PT. Sriwijaya Air tidak memberikan uang tunggu sebesar Rp. 200.000,- saat masa pencarian selama 14 hari setelah 3 hari masa kelender saat barang hilang.

B. Saran.

1. Pemerintah seharusnya tidak hanya membentuk peraturan saja tetapi juga harus membentuk sebuah lembaga pengawas agar para pengangkut mengikuti ketentuan – ketentuan yang dibentuk pemerintah terutama terhadap perlindungan barang – barang milik penumpang yang hilang dalam perjalanan dengan menggunakan angkutan udara sehingga penumpang merasa nyaman melakukan perjalanan dengan angkutan udara dan pengangkut lebih displin dalam menjaga dan melindungi barang – barang milik penumpang.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU – BUKU.

Abdurrasyid, Priyatna. 1972. Kedaulatan Negara di Ruang Udara, Pusat Penelitian Hukum Angkasa, Jakarta.

Adji, Sution Usman, Prakoso Djoko, Pramono Hari. 1990. Hukum Pengangkutan di Indonesia. Penerbit Rineka Citra, Bandung.

Khairandy, Ridwan. 2006.Tanggung Jawab pengangkut dan Asuransi Tanggung Jawab Sebagai Instrument Perlindungan Konsumen Angkutan Udara. Jurnal Hukum Bisnis vol 25, Jakarta.

Martono, K. 1987. Hukum Udara, Angkutan Udara, dan Hukum Angkasa. Alumni. Bandung.

---. 1996. Perjanjian Angkutan Udara di Indonesia . Mandar Maju. Bandung.

Martono, K, Sudiro Amad. 2011. Hukum Angkutan Udara. PT.Raja Grafindo, Jakarta.

---. 2011. Transportasi`Bahan dan/atau Barang Berbahaya Dengan Pesawat Udara. Rajagrafindo persada. Jakarta.

Martono, K, Tjahjono Budi Eka. 2011. Asuransi Transportasi Darat, Laut. Udara. Mandar Maju, Bandung.

Muhammad, Abdulkadir. 1994. Hukum Pengangkutan Darat, Laut dan Udara. Cipta Aditya Bhakti. Jakarta.

---. 2000. Hukum Perdata Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

---. 2008. Hukum Pengangkutan Niaga. Cipta Aditya Bakti. Bandung.

Purba, Hasim. 2005. Hukum Pengangkutan di Laut. Pustaka Bangsa Press. Medan.

Purwosucipto, H.M.N. 1991. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 3. Hukum Pengangkutan, Djambatan. Jakarta.


(5)

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga. Balai Pustaka. Jakarta.

Poerwadarminta, W.J.S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Departemen P dan K, Balai Pustaka, Jakarta.

Subekti, R. 1995. Aneka Perjanjian. PT. Citra Aditya, Bandung.

Suherman, E.1962.Tanggung Jawab Pengangkutan Dalam Hukum Udara Indonesia. N.V.Eresco I, Bandung.

---.2000. Aneka Masalah Hukum Kedirgantaraan. Mandar Maju. Bandung.

Suwardi. 1991. Penulisan Karya Ilmiah Tentang Penentuan Tanggung Jawab Pengangkut Yang Terikat Dalam Kerjasama Pengangkutan Udara Internasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta.

Soerkardono. 1981. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia. Soereong, Jakarta.

Uli, Sinta. 2006. Pengangkutan Suatu Tinjauan Hukum Multimoda Transport, Angkutan Laut, Angkutan Udara. USU Press. Medan.

Wiradipraja, Saefullah. 1989. Tanggung Jawab Pengangkut dalam Hukum Pengangkutan Udara Internasional dan Nasional, Liberty, Yogyakarta.

.B. PERATURAN PERUNDANG - UNDANGAN

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan;

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 77 tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara.

Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor SKEP/40/II/95 tentang Petunjuk Pelaksanaan Keputusan Menteri Penerbangan Nomor 14


(6)

Tahun 1989 tentang Penertiban Penumpang, Barang dan Kargo yang Diangkut Dengan Pesawat Udara Sipil

Subekti, R. 1983. Kitab Undang – Undang Hukum Dagang Cetakan Ketiga Belas. Pradnya Pramitha. Jakarta.

Subekti, R. 2004. Kitab Undang – Undang Hukum Perdata Cetakan Ketigapuluh empat. Pradnya Pramitha. Jakarta.

C. INTERNET

http://majalahkonstan.com, diakses pada tanggal 23 Febuari 2012 pukul 19.00 wib

hilang-di-sriwijaya-air-penggantian-tidak-sebanding, diakses pada tanggal 23 Febuari 2012 pukul 19.00 wib.

2012 pukul 19.00 wib