3. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kekerasan merupakan suatu perbuatan tindak pidana yang dilakukan seseorang terhadap orang lain yang dapat diberikan sanksi pidana yang telah
diatur dalam undang-undang. Menurut WHO WHO, 1999 kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri
sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memartrauma, kematian, kerugian
psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak. Menurut PP Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002, Kekerasan adalah setiap perbuatan
penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dan kemerdekaan
orang, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya. Tindak pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga diatur di dalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam rumah Tangga. Di dalam UU.No. 23 Tahun 2004, yang dimaksud dengan Kekerasan
dalam Rumah Tangga KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
fisik, seksual, psikologis, danatau penalantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Pasal 2 ayat 1 UU.No.23 Tahun 2004 menentukan ruang lingkup rumah
tangga yang dimaksud dalam Undang-Undang tersebut, yaitu meliputi : 1
Suami, istri dan anak;
Universitas Sumatera Utara
2 Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang
sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah
tangga; danatau 3
Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap selama berada dalam rumah tangga tersebut.
Pengaturan hukum pidana terhadap berbagai bentuk kejahatan terhadap anak-anak tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Undang-Undang tersebut yang dimaksud dengan anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 delapan belas tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan yang dimaksud dengan perlindungan anak adalah segala
kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
40
Berdasarkan pasal 2 ayat 1 UU No.23 Tahun 2004 tersebut menyatakan bahwa anak termasuk dalam ruang lingkup rumah tangga. Anak rentan terhadap
kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga yang dilakukan oleh orang berada didekatnya seperti ayah, ibu, atau saudara-saudara dan sebagainya dalam lingkup
rumah tangga dengan berbagai sebab dan faktor yang melatarbelakangi kekerasan tersebut menimpa anak yang semestinya dilindungi.
40
Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal. 107
Universitas Sumatera Utara
Anak yang menjadi korban kejahatan disebut juga dengan istilah viktima. Pengertian ini baru populer di Indonesia sejak tahun 1960, yaitu dengan adanya
perbaikan penambahan pada pasal-pasal KUHP dengan UU Nomor 1 Tahun 1960. Kemudian ruang lingkup viktima dikembangkan menjadi species dari bidang
kriminologi yang dituangkan dalam cabang ilmu khusus dan dinamai dengan victimology bahasa inggris yang berarti ilmu yang mempelajari seluk beluk dari
suatu korban kejahatan yang fungsional dan struktural.
41
Viktimologi hanya memusatkan perhatian pada si korban dalam usaha yang bersiri sendiri, mempunyai kecenderungan pada si korban dan perbuatannya
yang menjadikan dia sebagai korban suatu tindak pidana.” Masalah korban telah menjadi masalah ketimpangan sosial yang memiliki
aspek hukum dari kausalitis bentuk-bentuk ketimpangan sosial dalam rumusan kejahatan dan pelanggaran.
Arif Gosita menyebutkan dengan, “masalah korban ini bukan merupakan masalah baru, hanya karena hal tertentu yang kurang mendapat perhatian secara
proposional dimensional dari peranan korban dalam timbulnya suatu kejahatan”.
42
Meletakkan anak sebagai korban kejahatan atau pelanggaran dalam pembahasan hukum perlindungan anak, yaitu karena ketentuan rumusan delik
yang terdapat dalam KUHP dan pidana khusus seperti UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Dalam ketentuan KUHP, anak sebagai korban kejahatan dapat
ditemukan pada jenis-jenis kejahatan sebagai berikut :
43
1. Pornografi, pasal 283 KUHP;
41
Maulana Hasan Wadong, Pengantar Advokasi dan hukum Perlindungan Anak, Grasindo, 2000, Jakarta, hal.88
42
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, 1985, hal. 43-45
43
Maulana Hasan Wadong, Op.Cit., hal. 89
Universitas Sumatera Utara
2. Persetubuhan, pasal 287,288, 291, 298 KUHP;
3. Perbuatan cabul, pasal 293, 294 KUHP;
4. Meninggalkan orang yang butuh pertolongan, pasal 308 KUHP;
5. Kemerdekaan seseorang, pasal 330, 331, dan 337 KUHP;
6. Menghilangkan jiwa anak, pasal 341, 342, 343, 346, 347, 348, dan 349
KUHP; 7.
Penganiayaan, pasal 356 ayat 1 huruf e KUHP. Anak sebagai korban kejahatan dalam ketentuan pelanggaran dan
kejahatan UU No.9 Tahun 1976 tentang narkotika ditemukan dalam Pasal 36, 38 dan Pasal 23 UU No. 1976 tentang Narkotika. Anak sebagai korban dalam
pelaksanaan delik narkotika, dikarenakan bahwa undang-undang ini menganut legalitas sebagai delik formal dan delik meterial yang membawa akibat yang
sangat besar terhadap pengaruh penggunaannya.
44
44
Ibid.
Pada kenyataannya kekerasan dalam rumah tangga mengandung norma- norma hukum pidana, tetapi terdapat beberapa perkembangan dari delik yang
sudah ada. Perkembangan tersebut sebagai dampak atau akibat adanya suatu kebutuhan. Karena kalau kita kaji sebetulnya tidak kekerasan yang terdapat dalam
rumah tangga sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP. Namun, karena yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terlalu
umum dan luas, maka perlu kiranya ada undang-undang yang lebih spesifik untuk mengaturnya.
Universitas Sumatera Utara
Kekerasan dalam rumah tangga telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana atau perbuatan pidana, mengingat bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga,
juga terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP. Karena Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak sepenuhnya dapat digunakan menangani
kasus-kasus yang terjadi dalam rumah tangga. Oleh karena itu, dibutuhkan undang-undang khusus yang dapat menangani kasus kekerasan dalam rumah
tangga serta melindungi korban.
F. Metode Penelitian