Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Mengadili Tuntutan Pekerja/Buruh Atas Upah Atau Uang Pesangon Yang Tidak Dibayar Oleh Perusahaan (Analisa Terhadap Putusan Pengadilan Niaga No. 49/Pailit/2004/PN.Niaga/Jkt. Pst Dan Putusan Pengadilan Niaga No. 41/Pailit/2

(1)

KEWENANGAN PENGADILAN NIAGA DALAM MENGADILI

TUNTUTAN PEKERJA/BURUH ATAS UPAH ATAU UANG

PESANGON YANG TIDAK DIBAYAR OLEH PERUSAHAAN

(ANALISA TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NIAGA NO.

49/PAILIT/2004/PN.NIAGA/JKT. PST DAN PUTUSAN

PENGADILAN NIAGA NO. 41/PAILIT/2007/PN.NIAGA/JKT.PST)

TESIS

Oleh

ADE SUMITRA HADISURYA 077005094/HK

S

E K O L A H

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009

Ade Sumitra Hadisurya : Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Mengadili Tuntutan Pekerja/Buruh Atas Upah Atau Uang Pesangon Yang Tidak Dibayar Oleh Perusahaan (Analisa Terhadap Putusan Pengadilan Niaga No. 49/Pailit/2004/PN.Niaga/Jkt. Pst Dan Putusan Pengadilan Niaga No. 41/Pailit/2007/PN.Niaga/Jkt.Pst), 2009


(2)

KEWENANGAN PENGADILAN NIAGA DALAM MENGADILI

TUNTUTAN PEKERJA/BURUH ATAS UPAH ATAU UANG

PESANGON YANG TIDAK DIBAYAR OLEH PERUSAHAAN

(ANALISA TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NIAGA NO.

49/PAILIT/2004/PN.NIAGA/JKT. PST DAN PUTUSAN

PENGADILAN NIAGA NO. 41/PAILIT/2007/PN.NIAGA/JKT.PST)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

ADE SUMITRA HADISURYA 077005094/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009

Ade Sumitra Hadisurya : Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Mengadili Tuntutan Pekerja/Buruh Atas Upah Atau Uang Pesangon Yang Tidak Dibayar Oleh Perusahaan (Analisa Terhadap Putusan Pengadilan Niaga No. 49/Pailit/2004/PN.Niaga/Jkt. Pst Dan Putusan Pengadilan Niaga No. 41/Pailit/2007/PN.Niaga/Jkt.Pst), 2009


(3)

Judul Tesis : KEWENANGAN PENGADILAN NIAGA DALAM MENGADILI TUNTUTAN PEKERJA/BURUH ATAS UPAH ATAU UANG PESANGON YANG TIDAK DIBAYAR OLEH PERUSAHAAN (ANALISA TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NIAGA NO. /PAILIT/2004/PN.NIAGA/JKT. PST DAN PUTUSAN

PENGADILAN NIAGA NO. 41/PAILIT/2007/PN.NIAGA/JKT.PST)

Nama Mahasiswa : Ade Sumitra Hadisurya Nomor Pokok : 077005094

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) Ketua

(Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum) (Dr.T.Keizerina Devi A.,SH,CN,M.Hum) Anggota Anggota

Ketua Program Studi D i r e k t u r

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)

Tanggal lulus : 18 Agustus 2009

Ade Sumitra Hadisurya : Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Mengadili Tuntutan Pekerja/Buruh Atas Upah Atau Uang Pesangon Yang Tidak Dibayar Oleh Perusahaan (Analisa Terhadap Putusan Pengadilan Niaga No. 49/Pailit/2004/PN.Niaga/Jkt. Pst Dan Putusan Pengadilan Niaga No. 41/Pailit/2007/PN.Niaga/Jkt.Pst), 2009


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 18 Agustus 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH

Anggota : 1. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum

2. Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, M.Hum 3. Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS

4. Dr. Agusmidah, SH, M.Hum

Ade Sumitra Hadisurya : Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Mengadili Tuntutan Pekerja/Buruh Atas Upah Atau Uang Pesangon Yang Tidak Dibayar Oleh Perusahaan (Analisa Terhadap Putusan Pengadilan Niaga No. 49/Pailit/2004/PN.Niaga/Jkt. Pst Dan Putusan Pengadilan Niaga No. 41/Pailit/2007/PN.Niaga/Jkt.Pst), 2009


(5)

ABSTRAK

Pekerja/buruh memiliki peran dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku (actor) dalam mencapai tujuan pembangunan. Oleh karena itu, pembangunan ketenagakerjaan diarahkan untuk meningkatkan kualitas dan kontribusinya dalam pembangunan serta melindungi hak dan kepentingannya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Salah satu hak pekerja/buruh yang secara normatif diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah hak pekerja/buruh untuk memperoleh upah atau uang pesangon. Tetapi dalam kenyataannya hak pekerja/buruh atas upah atau uang pesangon tersebut terkadang tidak dipenuhi oleh perusahaan tempatnya bekerja baik karena perusahaannya telah mengalami pailit sehingga tidak mampu lagi membayar, atau karena perusahaan memang tidak mau membayarnya sekali pun telah ada putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) yang mewajibkan pengusaha (perusahaan) untuk membayar upah atau uang pesangon tersebut. Sebagai kreditor preferen, maka menurut UUK dan PKPU, pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pailit perusahaannya kepada Pengadilan Niaga, sedangkan tidak dibayarnya upah atau uang pesangon menurut UU Nomor 2 Tahun 2004 merupakan perselisihan hak sehingga pengadilan yang berwenang untuk mengadili perselisihan tersebut adalah Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Akan tetapi apabila ditinjau dari lembaganya, maka antara PHI dan Pengadilan Niaga merupakan suatu lembaga yang mempunyai kewenangan mengadili (kompetensi) yang berbeda satu sama lain walau sama-sama merupakan peradilan khusus yang berada dalam satu lembaga peradilan umum, sehingga besar sekali kemungkinan terjadi sengketa mengenai kewenangan mengadili bahkan sering terjadi kekaburan dalam menentukan titik singgung serta batas yang jelas dan terang mengenai kewenangan mengadili dari masing-masing pengadilan serta merupakan problematika tersendiri yang perlu dipecahkan terlebih dahulu sebelum hakim memeriksa perkara. Untuk itulah tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kewenangan Pengadilan Niaga dalam mengadili tuntutan pekerja/buruh atas upah atau uang pesangon yang tidak dibayar oleh perusahaan, untuk mengetahui penyelesaian perselisihan pembayaran upah atau uang pesangon menurut UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dan untuk mengetahui pengadilan yang berwenang untuk mengadili tuntutan pekerja/buruh atas upah atau uang pesangon yang tidak dibayar oleh perusahaan.

Penelitian tesis ini adalah penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif analisis yaitu dengan mengkaji dan menganalisis kewenangan Pengadilan Niaga dalam mengadili tuntutan pekerja/buruh atas upah atau uang pesangon yang tidak dibayar oleh perusahaan berdasarkan norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta hanya menggambarkan tentang situasi atau keadaan yang terjadi terhadap permasalahan. Data utama penelitian ini adalah data sekunder yang digali aneka bahan hukum, baik bahan hukum primer atau sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan metode deduktif

Ade Sumitra Hadisurya : Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Mengadili Tuntutan Pekerja/Buruh Atas Upah Atau Uang Pesangon Yang Tidak Dibayar Oleh Perusahaan (Analisa Terhadap Putusan Pengadilan Niaga No. 49/Pailit/2004/PN.Niaga/Jkt. Pst Dan Putusan Pengadilan Niaga No. 41/Pailit/2007/PN.Niaga/Jkt.Pst), 2009


(6)

dan induktif untuk kemudian dilakukan pembahasan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa masih terdapat perbedaan mengenai kejelasan seberapa didahulukannya pembayaran upah atau uang pesangon bagi pekerja/buruh dalam suatu perusahaan yang dinyatakan pailit serta luasnya penafsiran mengenai syarat-syarat agar perusahaan dapat dinyatakan pailit. Selain itu juga masih terdapat perbedaan pendapat dari Mahkamah Agung maupun para ahli hukum kepailitan dan ketenagakerjaan mengenai pengadilan yang berwenang dalam mengadili tuntutan pekerja/buruh atas upah atau uang pesangon yang tidak dibayar oleh perusahaan. Hal ini disebabkan karena aturan yang mengatur mengenai kewenangan dari suatu badan peradilan khususnya antara Pengadilan Niaga dengan PHI masih dapat ditafsirkan secara luas mengenai ruang lingkup kewenangannya oleh hakim dari masing-masing badan peradilan tersebut. Untuk itu diharapkan di masa yang akan datang hakim yang mengadili tuntutan pekerja atau buruh atas upah atau uang pesangon baik melalui PHI maupun Pengadilan Niaga konsisten dengan putusan-putusan yang telah dikeluarkannya serta lebih memperhatikan lagi kepentingan maupun nasib para pekerja/buruh yang pada dasarnya mempunyai kedudukan maupun financial yang rendah. Begitu juga diharapkan kepada pembuat undang-undang untuk tidak menerbitkan suatu aturan yang saling bertentangan dan menimbulkan banyak penafsiran.

Kata kunci : Kewenangan, Pengadilan Niaga, Mengadili, Pekerja/Buruh, Upah, Uang Pesangon, Perusahaan

Ade Sumitra Hadisurya : Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Mengadili Tuntutan Pekerja/Buruh Atas Upah Atau Uang Pesangon Yang Tidak Dibayar Oleh Perusahaan (Analisa Terhadap Putusan Pengadilan Niaga No. 49/Pailit/2004/PN.Niaga/Jkt. Pst Dan Putusan Pengadilan Niaga No. 41/Pailit/2007/PN.Niaga/Jkt.Pst), 2009


(7)

Ade Sumitra Hadisurya : Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Mengadili Tuntutan Pekerja/Buruh Atas Upah Atau Uang Pesangon Yang Tidak Dibayar Oleh Perusahaan (Analisa Terhadap Putusan Pengadilan Niaga No. 49/Pailit/2004/PN.Niaga/Jkt. Pst Dan Putusan Pengadilan Niaga No. 41/Pailit/2007/PN.Niaga/Jkt.Pst), 2009

ABSTRACT

Workers have a very important role and position as the actors in achieving the objectives of development. Hence, the development of manpower is intended to improve their quality and contribution in the development and to protect their rights and interests in line with the dignity and values of humanity. One of the rights of the workers normatively regulated in Law No.] 3/2003 on Manpower is that the workers have a right to receive wages/salary or severance payment. In fact, the right of workers to receive wages/salary or severance pay is sometimes not met by the company where they work because either the company is bankrupt that it cannot pay the workers' salary any more or the company just does not want to pay the workers salary although the Central Labor Dispute Settlement Committee (P4P) has made a decision hat the company must pay the workers' salary or severance pay. As preference creditor, according to UUK and PKPU, the workers can file an application of their company's bankruptcy to the court of commerce while, according to Law No.2/2004, the salary or severance pay which are not paid is a dispute of right that the court of law which has an authority to try the dispute is the Industrial Relation Court (PHI). In terms of their institutions, Industrial Relation Court (PHI) and Court of Commerce (Pengadilan Niaga) are the two institutions with different authority to try (competence) even though they are special courts under a general judicature institution that the dispute on the authority to try a case probably happens because there is no clear limit of their authority to try a case and it is a specific problem which needs to be solved before the judges try a case in court. Hence, the purpose of this descriptive normative legal study is to look at to what extent the authority of Court of Commerce (Pengadilan Niaga) in trying a case of workers'claim on their salary or severance pay which are not paid by the company where they work, to find out how the dispute ofsalary and severance payment is seated according to Law No.2/2004 on Industrial Relation Dispute Settlement, and to analyze which court has the authority to try the case of workers'claim on their salary or severance pay which are not paid by the company where they work.

The main data for this study were the secondary data in the forms of primary and secondary legal material obtained through library research. The data obtained were qualitatively analyzed through deductive and inductive methods to describe the existing situation and condition on which the problem is based and to find out the authority of Court of Commerce (Pengadilan Niaga) in trying a case of workers'claim on their salary or severance pay which are not paid by the company where they work based on the legal norms stated in the existing regulation of legislation and court decision.

The result of this study shows that there is still a difference in prioritizing which to be paid first, salary or severance pay of the workers working for a company which is declared to be bankrupt and various interpretation on the criteria used to declare that a company is bankrupt. In addition, the Supreme Court and the experts on the laws on bankruptcy and manpower still have different opinion about the court which has the authority ) in trying a case of workers'claim on their salary or


(8)

severance pay which are not paid by the company where they work. This different opinion occurs because the regulation regulating the scope of authority of a judicature body especially between the Industrial Relation Court (PHI) and the Court of Commerce (Pengadilan Niaga) can still be broadly interpreted by the judges of respective court. In the future, it is expected that the judges who tried the claim of the workers on their salary or severance pay either through the Industrial Relation Court (PHI) or the Court of Commerce (Pengadilan Niaga) must be consistent with the decisions they have made and must be paid more attention to the interest or destiny of the workers who financially have a low position. The law makers or the legislative members are expected not to issue opposing and multi-interpretation regulations. Key words: Authority, Court of Commerce, Try, Workers, Wage/Salary, Severance


(9)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah serta segala puji penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan kasih sayang-NYA tesis ini dapat diselesaikan dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Magister dalam bidang hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Adapun judul tesis penulis adalah “Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Mengadili Tuntutan Pekerja/Buruh Atas Upah atau Uang Pesangon Yang Belum/Tidak dibayar Oleh Perusahaan Pailit (Analisa Terhadap Putusan Pengadilan Niaga No.49/Pailit/2004/PN.Niaga/Jkt.Pst dan Putusan Pengadilan Niaga No. 41/Pailit/2007/PN.Niaga/Jkt.Pst)”.

Dalam menyelesaikan tesis ini bukanlah hal yang mudah bagi penulis di mana dalam proses penyelesaiannya penulis banyak memperoleh bantuan baik berupa pengajaran, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Oleh karena itu pada kesempatan ini izinkanlah dengan kerendahan hati, penulis menyampaikan penghargaan serta ucapan terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang telah turut memberikan bantuan kepada penulis sejak awal penulis menjalankan perkuliahan hingga penyusunan tesis ini sampai pada penyelesaiannya. Tidak ada kata-kata yang lebih berarti untuk dapat mengungkapkan rasa terima kasih penulis, hanya Allah SWT yang dapat membalasnya, Amin.

Ucapan terima kasih yang sebasar-besarnya penulis sampaikan kepada yang terhormat :


(10)

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis DTM&H, SpA(K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan.

2. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B. M.Sc., atas kesempatan yang diberikan kepada penulis menjadi mahasiswa pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH., selaku Ketua Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH., selaku Pembimbing Utama yang dengan sepenuh hati telah memberikan arahan dan bimbingan, saran dan dorongan kepada penulis.

5. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum., selaku Pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan dan saran kepada penulis.

6. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M. Hum, selaku Pembimbing III yang telah banyak memberikan bimbingan dan saran.

7. Bapak Prof. Dr. Tan Kamelo, SH, MS dan Ibu Dr. Agusmidah, SH, M.Hum selaku Dosen Penguji yang telah banyak memberikan masukan kepada penulis 8. Para Guru Besar dan Staf Pengajar pada Sekolah Pascasarjana Universitas

Sumatera Utara Program studi Ilmu Hukum.

9. Bapak Agus Subroto yang sekarang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Semarang yang telah banyak memberikan segala masukan, bimbingan dan saran.


(11)

10. Ketua Pengadilan Negeri Stabat yang telah memberikan banyak waktu kepada penulis dalam menyelesaikan perkuliahan.

11. Rekan-rekan sekantor dan rekan-rekan seperjuangan pada kelas paralel Hukum Bisnis Program studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan banyak dukungan kepada penulis dalam rangka menyelesaikan studi S2 ini.

12. Para Staf pengajar dan Staf Administrasi para Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Untuk yang tercinta kedua orang tua penulis Bapak H. Sutisna Effendi dan Ibu Hj. Subiatun, kedua mertua Bapak H. Arwan Byirin SH, MH dan Ibu Hj. Nurhasanah, isteri tercinta Eka Nuritasari, SH dan kedua anak-anakku Latifah Maharani dan Nuraufan Ashira serta saudara-saudara dan adik-adik iparku yang sangat penulis sayangi dan banggakan yang selalu membantu penulis dalam menyelesaikan studi ini baik dengan pikiran, dorongan, doa serta motivasi.

Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan kasih sayang serta pahala yang setimpal atas bantuan dan budi baik yang telah diberikan oleh Bapak, Ibu, rekan-rekan dan seluruh keluarga yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan pembuatan tesis ini, Amin.


(12)

Akhirnya, penulis berharap semoga penelitian ini berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnys ilmu hukum bagi insan-insan hukum di tanah air tercinta Indonesia. Terima kasih.

Medan, Agustus 2009

Penulis,


(13)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Ade Sumitra Hadisurya Tempat/Tanggal Lahir : Palembang, 07 Juni 1974 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Pekerjaan : KEJATISU

Alamat : Jalan Sei Galang No. 123 Medan

Pendidikan : SD Yayasan Pendidikan Pusri Palembang Tamat Tahun 1986

SMP Yayasan Pendidikan Pusri Palembang Tamat Tahun 1989

SMA Negeri 5 Palembang Tamat Tahun 1992 Strata Satu (S1) Universitas Sriwijaya Palembang Tamat Tahun 1998

Strata Dua (S2) Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 2009


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK………... i

ABSTRACT……….. .. iii

KATA PENGANTAR……….... v

RIWAYAT HIDUP ... viii

DAFTAR ISI………..…. ix

BAB I PENDAHULUAN……….………... 1

A. Latar Belakang………... 1

B. Rumusan Masalah……… 21

C. Tujuan Penelitian………. 22

D. Manfaat Penelitian……….. 23

E. Keaslian Penulisan……….. 23

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional………... 24

1. Kerangka Teori………. 24

2. Landasan Konsepsional………. 37

G. Metode Penelitian……….. 40

1. Jenis dan Sifat Penelitian……… 40

2. Sumber Data………... 41

3. Teknik Pengumpulan Data……….. 42


(15)

BAB II KEWENANGAN PENGADILAN NIAGA DALAM MENGADILI TUNTUTAN PEKERJA/BURUH ATAS UPAH ATAU UANG PESANGON YANG TIDAK DIBAYAR OLEH

PERUSAHAAN……… 43

A. Kewenangan Absolut dan Kewenangan Relatif

Pengadilan Niaga……… 43 B. Tata Cara Permohonan Pernyataan Pailit………... 49 1. Subjek Pemohon………... 49 2. Permohonan Pailit Harus Diwakili Oleh Seorang

Advokat………. .. 53 3. Permohonan Pailit Diajukan Kepada Ketua Pengadilan

Melalui Panitera……….... 54 C. Proses Pemeriksaan Permohonan Pernyataan Pailit…………... 54 D. Pelaksanaan Putusan Pailit………. 57 E. Syarat-Syarat Agar Debitor Dapat Dinyatakan Pailit……….... 62 1. Pengertian Debitor dan Kreditor……….. 62 2. Pengertian Utang……….. 64 3. Pengertian Berhenti Membayar……… 67 4. Pengertian Utang yang Jatuh Tempo dan Dapat Ditagih…. 70 5. Pembuktian Sederhana………. 72 F. Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Mengadili Tuntutan

Pekerja/Buruh Atas Upah Atau Uang Pesangon Yang Tidak

Dibayar Oleh Perusahaan………... 73 1. Dalam Perusahaan Yang Telah Dinyatakan Pailit………... 73


(16)

2. Dalam Permohonan Pernyataan Pailit Yang Diajukan Oleh Pekerja/Buruh Terhadap Perusahaan Dengan Dalil Perusahaan Tidak Melaksanakan Putusan Panitia

Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P)………... 85

2.1. Dalam Putusan Pengadilan Jakarta Pusat Nomor 49/Pailit/ 2004/PN. Niaga. Jkt.Pst Antara Wiwin C dkk Lawan PT. Roxindo Mangun Apparel Industry……….. 85

2.2. Dalam Putusan Pengadilan Jakarta Pusat Nomor 41/Pailit/ 2007/PN. Niaga/Jkt.Pst Antara Heryono dkk Lawan PT. Dirgantara Indonesia (Persero) ………... 87

2.3. Analisa Terhadap Putusan Nomor 49/Pailit/2004/ PN. Niaga/Jkt.Pst dan Putusan Nomor 41/Pailit/2007/ PN.Niaga/Jkt.Pst .……….... 91

BAB III PENYELESAIAN PERSELISIHAN PEMBAYARAN UPAH ATAU UANG PESANGON MENURUT UU NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL………... 98

A. Penyelesaian Perselisihan Pembayaran Upah atau Uang Pesangon di Luar Pengadilan (Non Litigasi)...………... 98

1. Penyelesaian Perselisihan Melalui Bipartit……….. 101

2. Penyelesaian Perselisihan Melalui Mediasi………. 103

B. Penyelesaian Perselisihan Pembayaran Upah atau Uang Pesangon Melalui Pengadilan Hubungan Industrial (Litigasi)………... 105

1. Pengajuan Gugatan……… 109

2. Tenggang Waktu dan Kadaluarsa……….. 109

3. Pengembalian dan Penyempurnaan Gugatan……….. 110

4. Pemeriksaan Di Persidangan……….. 112


(17)

BAB IV PENGADILAN YANG BERWENANG UNTUK MENGADILI TUNTUTAN PEKERJA/BURUH ATAS UPAH ATAU UANG PESANGON YANG TIDAK DIBAYAR OLEH

PERUSAHAAN……… 115

A. Kepailitan dan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Sebagai Aturan Khusus (Lex Specialis)... 115

B. Pengadilan Yang Berwenang Dalam Mengadili Tuntutan Pekerja/Buruh Atas Upah Atau Uang Pesangon……… 126

C. Kelebihan/Keuntungan Menggunakan Pengadilan Hubungan Industrial Sebagai Sarana Penuntutan Hak Pekerja/Buruh Atas Upah Atau Uang Pesangon Yang Tidak Dibayar Oleh Perusahaan………. … 134

1. Secara Teoritis………... 135

2. Secara Praktis……….... 137

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……… 139

A. Kesimpulan……… 139

B. Saran……….. 143


(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di dalam suatu pola hidup tertentu, manusia mengharapkan bahwa kebutuhan-kebutuhan dasarnya akan dapat terpenuhi. Kebutuhan-kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut mencakup kebutuhan-kebutuhan akan :1

“1. Food, shelter, clothing, 2. Safety of self and property, 3. Self-esteem,

4. Self-actualization, 5. Love”.

Dalam usaha untuk memenuhi berbagai keperluan hidupnya itulah setiap orang pasti akan memerlukan orang lain dalam hubungan saling bantu-membantu atau saling tukar bantu dalam memberikan segala sesuatu yang telah dimiliki dan saling memberikan segala sesuatu yang masih diperlukan dari orang lain.2 Dimana hal ini tidak terlepas dari hakekat manusia sebagai makhluk sosial (zoon politicon), yakni makhluk yang tidak dapat melepaskan diri dari berinteraksi atau berhubungan

1

A.H. Maslow, Motivastion and personality, (New York: Harpers, 1954) dalam Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 7.

2

A. Ridwan Halim dan Sri Subiandini Gultom, Sari Hukum Perburuhan Aktual, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1987), hal. 1.


(19)

satu sama lain dalam rangka memenuhi kebutuhannya baik yang bersifat jasmani maupun rohani.3

Bagi seseorang yang tidak (kurang) memiliki modal, maka untuk memenuhi kebutuhan dasarnya tersebut, ia memerlukan pekerjaan yang dapat memberikan penghasilan kepadanya. Sedangkan bagi orang yang memiliki modal maka ia dapat mendirikan suatu usaha (perusahaan) untuk lebih meningkatkan lagi akan kebutuhannya tersebut. Walaupun begitu, walau seseorang tergolong orang yang mampu dan dapat dikatakan telah memiliki segala sesuatu yang diinginkannya, namun yang pasti ia tidak akan mampu untuk merawat, memelihara atau mempertahankannya seorang diri, dan untuk itu ia memerlukan orang lain sebagai tenaga kerjanya.

Agar usaha (perusahaan) yang dimilikinya dapat berjalan dengan baik dan sukses, selain dari tingkat keterampilan pekerja/buruh dan teknologi yang digunakan, sikap manajemen, cara memperlakukan pekerja, lingkungan fisik dan psikologis serta aspek-aspek lain dari budaya perusahaan sebagai faktor yang mempengaruhi produktivitas pekerja,4 maka salah satu faktor yang juga penting dilakukan oleh pengusaha (perusahaan) adalah dengan membina hubungan kerjasama yang baik antara pengusaha selaku pimpinan dan para pekerja/buruh.5

3

Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan Dan Di Luar Pengadilan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 1.

4

F. Winarni dan G. Sugiyarso, Administrasi Gaji Dan Upah, (Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2006), hal. 7.

5

Soedarjadi, Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia, Panduan Bagi Pengusaha, Pekerja, Dan Calon Pekerja, (Jakarta: Pustaka Yustisia, 2008), hal. 106.


(20)

Akan tetapi dalam hubungan saling bantu-membantu atau saling tukar bantu tersebut akan selalu menimbulkan adanya perselisihan, walaupun kecil kuantitas maupun kualitasnya. Begitu juga halnya dalam hubungan antara pengusaha (perusahaan) dengan pekerja/buruhnya.

Betapapun harmonisnya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha/majikan, namun terjadinya perselisihan perburuhan tidak mudah untuk dihindari.6 Konflik atau perselisihan antara pekerja/buruh dengan pengusaha merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari adanya hubungan perburuhan atau hubungan industrial yang ada dimanapun dan kapanpun.7

Setiap perselisihan yang menyangkut hubungan antar manusia tersebut selalu diupayakan penyelesaiannya.8 Demikian juga halnya dengan perselisihan yang terjadi antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat buruh/pekerja.

Perselisihan menurut bahasa Indonesia berasal dari kata selisih yang berarti beda kelainan. Perselisihan berarti perbedaan (pendapat), atau pertikaian, sengketa, percekcokan.9

6

A. Uwiyono, “Mekanisme Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Dikaitkan dengan Pola Hubungan Perburuhan (Studi Perbandingan antara Indonesia – Belanda)”, Hukum dan Pembangunan, Jakarta, Nomor 5 Tahun XXII Oktober 1992, dalam Farid Muázd, Pengadilan Hubungan Industrial dan Alternatif Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Luar Pengadilan, (Jakarta: Ind Hill Co, 2006)hal. 476.

7

Ibid, hal. 2. 8

Ibid, hal. 1. 9

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1982), hal. 898 – 899.


(21)

Dalam kepustakaan ilmu hukum, kata yang banyak dipergunakan dan cocok sebagai terjemahan dari perselisihan adalah dispute. Menurut Black’s Laws Dictionary, Dispute diartikan sebagai :

“ A conflict or controversy, especially one that has given rise to a particular lawsuit “.10

Joni Emirzon memberikan pengertian konflik/perselisihan/percekcokan adalah adanya pertentangan atau ketidaksesuaian antara para pihak yang akan dan sedang mengadakan hubungan atau kerjasama.11 Sedangkan menurut Ronny Hanitijo, konflik adalah situasi (keadaan) dimana dua atau lebih pihak-pihak memperjuangkan tujuan mereka masing-masing yang tidak dapat dipersatukan dan dimana tiap-tiap pihak mencoba meyakinkan pihak lain mengenai kebenaran tujuannya masing-masing.12 Dalam pengertian lain, konflik dapat dimaknakan sebagai suatu kondisi dimana pihak yang satu menghendaki agar pihak yang lain berbuat atau tidak berbuat sesuai dengan yang diinginkan, tetapi pihak lain menolak keinginan itu.13

Menurut Pasal 1 angka 1 UU Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (selanjutnya disebut UU PPHI), Perselisihan hubungan industrial, didefinisikan sebagai perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau

10

Bryan A. Garner – Editor in Chief, Black’s Laws Dictionary Seventh Edition, (St. Paul, Minn, 1999), hal. 485, dalam Farid Muázd, Op.Cit, hal. 6.

11

Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negoisasi, Mediasi, Konsiliasi, Arbitrase), (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal. 21.

12

Ronny Hanitijo, “Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik”, (Semarang: Majalah Fakultas Hukum UNDIP, 1984), hal. 22, dalam Lalu Husni, Op.Cit, hal. 2.

13


(22)

serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

Apabila melihat pada bunyi Pasal 1 angka 1 tersebut, maka subjek hukum yang diatur dalam UU PPHI adalah baik pekerja/buruh atau pengusaha perorangan maupun kolektif (serikat pekerja/serikat buruh atau gabungan pengusaha).

Pasal 2 UU PPHI menyebutkan bahwa terdapat 4 (empat) jenis perselisihan hubungan industrial, yaitu :

1. Perselisihan hak : yaitu perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak,

akibat adanya pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, perjanjian perusahaan, atau perjanjian kerja bersama (Pasal 1 angka 2);

2. Perselisihan kepentingan : yaitu perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja

karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama (Pasal 1 angka 3);

3. Perselisihan pemutusan hubungan kerja : yaitu perselisihan yang timbul

karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak (Pasal 1 angka 4);

4. Perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh : yaitu perselisihan antara

serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai


(23)

keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan (Pasal 1 angka 5).

Dalam penjelasan Pasal 2 huruf a disebutkan “Perselisihan hak adalah perselisihan mengenai hak normatif, yang sudah ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan”. Salah satu hak normatif yang diatur oleh UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah hak pekerja/buruh untuk memperoleh upah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 88 – Pasal 98.

Penyelesaian sengketa perselisihan yang terjadi dalam hubungan industrial dilakukan melalui bipartit, mediasi, konsiliasi, arbitrase, dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) sebagaimana yang diatur dalam Bab II UU PPHI. Pengadilan Hubungan Industrial baru dapat menyelesaikan sengketa perselisihan apabila upaya penyelesaian melalui bipartit, mediasi, atau konsiliasi tidak tercapai, dimana risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi tersebut wajib dilampirkan dalam gugatan (Pasal 83 UU PPHI).

Walau dalam UU PPHI telah diatur tata cara penyelesaian suatu perselisihan hubungan industrial, tetapi ada juga upaya pekerja/buruh untuk menuntut hak normatifnya tersebut akibat tidak dibayarnya upah atau pun uang pesangon oleh perusahaan tempatnya bekerja melalui Pengadilan Niaga dengan menggunakan lembaga kepailitan sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UUK dan PKPU), seperti dalam putusan Pengadilan Niaga No.


(24)

49/Pailit/2004/PN.Niaga/Jkt.Pst antara Wiwin C dkk lawan PT. Roxindo Mangun Apparel Industry dan dalam putusan Pengadilan Niaga No. 41/Pailit/2007/PN.Niaga/Jkt.Pst antara Heryono dkk lawan PT. Dirgantara Indonesia (Persero) :

Permohonan ini berawal dari permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh beberapa pekerja/buruh sehubungan dengan tidak dibayarnya upah atau pesangon oleh perusahaan tempatnya bekerja yang telah diputus oleh Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) termasuk penggugat di dalamnya.

Lembaga hukum kepailitan, bukan merupakan lembaga yang baru dalam sistem hukum Indonesia. Bahkan dibandingkan beberapa negara maju di dunia, Indonesia sudah lebih awal memiliki peraturan yang mengatur tentang kepailitan karena diwarisi dengan Faillissement Verordening.14

Tujuan kepailitan menurut Faillissement Verordening adalah melindungi kreditor konkuren untuk memperoleh hak-haknya berkaitan dengan berlakunya asas yang menjamin hak-hak yang berpiutang (kreditor) dari kekayaan orang yang berutang (debitor).15 Tujuan ini disimpulkan dari pengertian kepailitan dalam Memorie van Toelichting yang menyatakan kepailitan sebagai suatu sitaan

14

Rahmat Bastian, Studi Analisa Cross Border Bankruptcy, sebagaimana dikutip Emmy Yuhassarie (ed), Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangannya, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005), dalam M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan : Prinsip, Norma, dan Praktek di Peradilan, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 6.

15

R. Suyatin, Hukum Dagang I dan II, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983), hal. 264. Lihat pula Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1985), hal. 1 dan 8.


(25)

berdasarkan hukum atas seluruh harta kekayaan debitor guna kepentingan bersama para kreditornya.16 Tujuan ini sesuai dengan asas sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1131 Burgerlijk Wetboek voor Indonesie (BW), yang menyatakan : “Alle de roerende en onroerende goederen van den schuldenaar, zoo wel tegenwoordige als

toekomstige, zijn voor deszelfs persoonlijke verbintenissen aansprakelijk”.17 Hukum

memberlakukan asas tersebut untuk memantapkan keyakinan kreditor bahwa debitor akan melunasi utang-utangnya.18 Tujuan lain dari kepailitan menurut Faillissement Verordening juga adalah untuk melindungi debitor, seperti melindungi debitor yang beriktikad baik yang pailit di luar kesalahannya atau alasan-alasan penting lainnya dari dilaksanakannya paksaan badan terhadap utang-utang yang diadakan olehnya sebelum pernyataan pailit.19

Perkembangan selanjutnya menunjukkan tujuan hukum kepailitan tidak hanya melindungi kepentingan kreditor dan debitor, namun juga kepentingan para pihak yang terkait dengan kreditor dan debitor atau pihak stakeholders.20 Perlindungan

16

Sudargo Gautama, Komentar atas Peraturan Kepailitan untuk Indonesia (1998), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998), hal. 3-4.

17

Terjemahannya adalah “Segala harta kekayaan Debitor, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi jaminan untuk segala perikatan Debitor.” Lihat Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, (Jakarta: Grafiti, 2002), hal. 7.

18

Ibid, hal. 7 dan hal. 38-39. 19

Lihat Sunarmi, Prinsip Keseimbangan dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, A Critical Review on Bankruptcy Law: Towards The Bankruptcy Laws That Protect Creditor and Debitor Interest, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hal. 101.

20

Donald R. Korobkin, “Rehabilitating Values: A Jurisprudence of Bankrupcty”, 91 Colum. L. Rev. 717 (1991), hal. 763-765; David G. Carlson, “Bankruptcy Theory and the Creditor’s Bargain”, 61 U. Cin. L. Rev. 453, (1992), hal. 475-478; Elizabeth Warren, “The Untenable Case for Repeal of Chapter 11”. 102 Yale L. J. 437 (1992); Elisabeth Warren, “Bankruptcy Policy”, 54 U. Chi. L. Rev. 775 (1987), hal. 788, dalam Siti Anisah, Perlindungan Kepentingan Kreditor dan Debitor dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, (Yogyakarta: Total Media, 2008), hal. 9.


(26)

terhadap stakeholders mempunyai suatu tujuan imperatif, yaitu bisnis harus dijalankan sedemikian rupa agar hak dan kepentingan stakeholders dijamin, diperhatikan, dan dihargai dalam suatu kegiatan bisnis. Hal ini dikarenakan berbagai pihak tersebut dipengaruhi dan dapat mempengaruhi keputusan dan tindakan bisnis.21 Kreditor mempunyai stakeholders yang tidak berbeda dengan debitor. Jika kreditor mempunyai piutang yang tidak dapat ditagih, maka kreditor dapat pula pailit.22 Namun, perlindungan terhadap kepentingan kreditor dan stakeholdersnya tidak boleh sampai merugikan kepentingan debitor dan para stakeholders debitor yang bersangkutan.23

Setidaknya ada empat kepentingan stakeholders yang harus dilindungi oleh Undang-Undang Kepailitan. Pertama, kepentingan negara yang hidup dari pajak yang dibayar oleh debitor. Kedua, kepentingan masyarakat yang memerlukan kesempatan kerja dari debitor. Ketiga, kepentingan masyarakat yang memasok barang dan jasa kepada debitor. Pemasok barang biasanya adalah perusahaan menengah dan kecil yang mempunyai satu atau dua pembeli dominan, sehingga sudah seharusnya mendapat perlindungan dari pemerintah. Keempat, kepentingan

21

A Sony Keraf, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hal. 89.

22

Sutan Remy Sjahdeini, “Tanggapan terhadap Perpu Kepailitan Nomor 1 Tahun 1998”, Makalah, (Jakarta: 13 Juli 1998), hal. 9. Lihat pula Sutan Remy Sjahdeini, “Perlindungan Debitor dan Kreditor Dampak Undang-Undang Kepailitan Terhadap Perbankan”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 54, (Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, 1995), hal. 4-6.

23

Lihat Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, Op.cit, hal. 43-45.


(27)

masyarakat yang tergantung hidupnya dari pasokan barang dan jasa debitor, baik selaku konsumen akhir maupun pedagang.24

Kepailitan merupakan suatu jalan keluar yang bersifat komersial untuk keluar dari persoalan utang piutang yang menghimpit seorang debitor, di mana debitor tersebut sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membayar utang-utang tersebut kepada para kreditornya. Dalam hal debitor mempunyai banyak kreditor dan harta kekayaan debitor tidak cukup untuk membayar lunas semua kreditor, maka para kreditor akan berlomba dengan segala cara, baik yang sesuai dengan prosedur hukum maupun yang tidak sesuai dengan prosedur hukum, untuk mendapatkan pelunasan tagihannya terlebih dahulu. Kreditor yang datang belakangan sudah tidak dapat lagi pembayaran karena harta debitor sudah habis diambil oleh kreditor yang lebih dahulu. Hal ini tentunya sangat tidak adil dan dapat merugikan kreditor maupun debitor itu sendiri. Selain itu apabila seorang debitor hanya mempunyai satu orang kreditor dan debitor tersebut tidak membayar utang secara sukarela maupun debitor tidak mempunyai kemampuan untuk membayar utangnya, maka seorang kreditor tersebut dapat mengajukan gugatan secara perdata ke Pengadilan Negeri yang berwenang dan seluruh harta debitor menjadi sumber pelunasan utangnya kepada kreditor tersebut. Lembaga kepailitan ini diharapkan berfungsi sebagai lembaga alternatif untuk penyelesaian kewajiban-kewajiban debitor terhadap kreditor secara lebih efektif, efisien, dan proporsional.25

24

Ibid. 25


(28)

Masalah kepailitan sesungguhnya terjadi karena adanya utang piutang antara debitor dan kreditor. Permasalahan baru muncul apabila debitor berhenti membayar utangnya pada waktu jatuh tempo, baik karena tidak mau membayar maupun karena tidak mampu membayar.26

Dalam UUK dan PKPU, pekerja/buruh tidak disebutkan secara khusus sebagai subjek hukum (pihak-pihak) yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit. Tetapi apabila suatu perusahaan dinyatakan pailit maka upah pekerja/buruh yang belum dibayarkan baik sebelum maupun sesudah putusan pernyataan pailit dianggap sebagai upah yang terutang dan merupakan utang harta pailit (Pasal 39 ayat (2) UUK dan PKPU).

Pasal 2 UUK dan PKPU menyebutkan bahwa pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit adalah sebagai berikut :

1. Debitor sendiri (Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU) ;

2. Seorang kreditor atau lebih (Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU) ;

3. Kejaksaan, dalam hal adanya kepentingan umum (Pasal 2 ayat (2) UUK dan PKPU) ;

4. Bank Indonesia, apabila yang akan dipailitkan adalah perusahaan perbankan (Pasal 2 ayat (3) UUK dan PKPU) ;

5. Badan Pengawas Pasar Modal, apabila yang akan dipailitkan adalah perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian (Pasal 2 ayat (4) UUK dan PKPU) ;

6. Menteri Keuangan, apabila yang akan dipailitkan adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik (Pasal 2 ayat (5) UUK dan PKPU).

26

Sunarmi, “Perbandingan Sistem Hukum Kepailitan Antara Indonesia (Civil Law System) Dengan Amerika Serikat (Common Law System)”, Makalah, (Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2004), hal. 18.


(29)

Berdasarkan dari kasus dan hal-hal yang sebagaimana telah diuraikan di atas, terlihat ada dua peraturan hukum yang dapat digunakan oleh pekerja/buruh untuk menuntut/mempertahankan haknya berupa upah atau pun uang pesangon tidak dibayar oleh pengusaha (perusahaan) yaitu dengan menggunakan UU PPHI melalui gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial dan dengan menggunakan UUK dan PKPU melalui permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan Niaga.

Akan tetapi apabila ditinjau dari lembaganya maka antara Pengadilan Hubungan Industrial dan Pengadilan Niaga merupakan suatu lembaga yang mempunyai kewenangan mengadili (kompetensi) yang berbeda satu sama lain walau sama-sama merupakan peradilan khusus yang berada dalam satu lembaga peradilan yaitu peradilan umum (Pengadilan Negeri).27

Sebelum diundangkannya UU PPHI, penyelesaian perselisihan yang terjadi antara pengusaha dengan pekerja/buruh diatur dalam UU Nomor 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan badan yang berwenang untuk menyelesaikan perselihan tersebut adalah Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P4). Kewenangan badan ini secara spesifik diatur dalam ketentuan Pasal 1 huruf c, yaitu terbatas mengenai :

1. Perselisihan perburuhan berupa pertentangan antara majikan atau perkumpulan majikan dengan serikat buruh atau gabungan serikat buruh,

27

Lihat ketentuan Pasal 8 UU Nomor 8 Tahun 2004, pasal 1 angka 17 UU Nomor 2 Tahun 2004, dan pasal 1 angka 7 UUK dan PKPU. Dimana dalam ketentuan tersebut disebutkan bahwa di lingkungan peradilan umum dapat diadakan pengadilan khusus yang diatur dengan undang-undang. Selain dari Pengadilan Niaga dan Pengadilan Hubungan Industrial juga dalam peradilan umum terdapat Pengadilan Anak, Pengadilan Perikanan, Pengadilan HAM dll.


(30)

2. Pertentangan itu berkenaan dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja, syarat-syarat kerja, dan/atau keadaan perburuhan.

Sejak diundangkannya UU PPHI, maka UU Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan UU Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja Di Perusahaan Swasta dinyatakan tidak berlaku lagi sehingga penyelesaian masalah perselisihan hubungan industrial yang terjadi sejak diberlakukannya UU PPHI harus mengacu pada ketentuan yang telah diatur dalam undang-undang ini.

Pasal 56 UU PPHI menyebutkan bahwa Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus :

a. di tingkat pertama mengenai perselisihan hak ;

b. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan ; c. di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja ;

d. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja / serikat buruh dalam satu perusahaan.

Adapun kewenangan Pengadilan Niaga ditentukan dalam Pasal 300 ayat (1) UUK dan PKPU, yang secara tegas menyatakan :

“Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, selain memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, berwenang pula memeriksa dan memutus perkara lain dibidang perniagaan yang penerapannya dilakukan dengan undang-undang”.

Hal ini berarti Pengadilan Niaga selain mempunyai kewenangan absolut untuk memeriksa setiap permohonan pernyataan pailit dan Penundaan Kewajiban


(31)

Pembayaran Utang (PKPU), juga berwenang untuk memeriksa perkara lain yang ditetapkan dengan undang-undang. Salah satu contoh bidang perniagaan yang juga menjadi kewenangan Pengadilan Niaga saat ini adalah persoalan Hak atas Kekayaan Intelektual.28

Selain itu, Pasal 303 UUK dan PKPU mempertegas kewenangan Pengadilan Niaga yang terkait dengan perjanjian yang memuat klausul arbitrase, yaitu :

“Pengadilan tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak yang terikat perjanjian yang memuat klausul arbitrase, sepanjang utang yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) undang-undang ini”.

Adanya kewenangan mengadili yang berbeda mengakibatkan apabila suatu tuntutan pemenuhan hak (gugatan) ditujukan kepada badan peradilan yang tidak berwenang untuk mengadilinya, maka gugatan tersebut akan dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard) tanpa memeriksa substansi perkaranya. Sehingga tidak jarang dalam suatu proses perkara khususnya perkara perdata, dimana secara substansi seharusnya gugatan dapat dikabulkan akan tetapi oleh karena tidak

28

Lihat Pasal 117 ayat (10) UU Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Pasal 76 ayat (2) UU Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek, Pasal 38 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri, Pasal 30 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Pasal 56 ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta.


(32)

dipenuhinya formalitas prosedural dalam beracara (hukum acara),29 maka akan menggagalkan penegakkan hukumnya.30

Permasalahan kekuasaan atau yurisdiksi mengadili timbul disebabkan berbagai faktor seperti faktor instansi peradilan yang membedakan eksistensi antara peradilan banding dan kasasi sebagai peradilan yang lebih tinggi (superior court) berhadapan dengan peradilan tingkat pertama (inferior court). Faktor ini dengan sendirinya menimbulkan masalah kewenangan mengadili secara instansional. Perkara yang menjadi kewenangan peradilan yang lebih rendah, tidak dapat diajukan langsung kepada peradilan yang lebih tinggi. Sengketa yang harus diselesaikan lebih dahulu oleh peradilan tingkat pertama, tidak dapat diajukan langsung kepada peradilan banding atau kasasi.dan sebaliknya. Apa yang menjadi kewenangan atau yuridiksi peradilan yang lebih tinggi, tidak dapat dapat diminta penyelesaiannya kepada peradilan yang lebih rendah.31 Ada juga faktor perbedaan atau pembagian yuridiksi berdasarkan lingkungan peradilan, yang melahirkan kekuasaan atau kewenangan absolut bagi masing-masing lingkungan peradilan yang disebut juga

29

Pasal 299 UUK dan PKPU maupun Pasal 57 UU PPHI menyebutkan bahwa hukum acara yang berlaku adalah hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum kecuali yang diatur secara khusus masing-masing dalam undang-undang.

30

Dalam perkara pidana, tata cara penegakkan hukum dimulai sejak penyelidikan sampai dengan pelaksanaan hukuman, bahkan sampai saat seorang napi siap kembali menjadi anggota masyarakat yang baik. Inilah inti dari “integrated criminal justice system”. Yang lebih memprihatikan kalau kekurangan prosedural tersebut dijadikan pintu pembuka jalan penyalahgunaan wewenang untuk melepaskan atau membebaskan terdakwa dari segala dakwaan dan/atau hukuman. Secara normatif mungkin tidak ada yang salah, tetapi secara kenyataan, proses yang kurang “cermat” tersebut yang telah melepaskan atau membebaskan seseorang yang semestinya dihukum.

31

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 179.


(33)

atribusi kekuasaan (attributive competentie, attributive juridiction).32 Selain perbedaan lingkungan, ditambah lagi dengan faktor kewenangan khusus (specific jurisdiction) yang diberikan undang-undang kepada badan external judical, seperti Arbitrase atau Mahkamah Pelayaran. Bahkan masalah yuridiksi ini, dapat juga timbul dalam satu lingkungan peradilan, disebabkan faktor wilayah (locality) yang membatasi kewenangan masing-masing pengadilan dalam lingkungan wilayah hukum atau daerah hukum tertentu yang disebut dengan kewenangan relatif atau distribusi kewenangan (distributive juridiction).33

Adanya kewenangan dari masing-masing badan peradilan tersebut dapat menimbulkan sengketa mengenai kewenangan mengadili. Dalam Pasal 56 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung34, disebutkan bahwa sengketa kewenangan mengadili terjadi :

a. jika 2 (dua) Pengadilan atau lebih menyatakan berwenang mengadili perkara yang sama;

b. jika 2 (dua) Pengadilan atau lebih menyatakan tidak berwenang mengadili perkara yang sama.

Di Indonesia, penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan

32

Subekti, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Bina Cipta, 1977), hal. 28. 33

M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal. 180. 34

UU Nomor 5 Tahun 2004 ini kemudian dirubah lagi dengan UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.


(34)

badan peradilan yang berada di bawahnya dalam Lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Agama, Lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.35

Keempat lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung ini merupakan penyelenggara kekuasaan negara di bidang yudikatif. Oleh karena itu, secara konstitusional bertindak menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (to enforce the truth and justice), dalam kedudukannya sebagai pengadilan negara (state court). Dengan demikian, Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 2 juncto Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 4 tahun 2004 merupakan landasan sistem peradilan negara (state court system) di Indonesia, yang dibagi dan terpisah berdasarkan yurisdiksi atau separation court system based on jurisdiction.36

Selain empat lingkungan peradilan sebagaimana disebutkan di atas, tidak menutup kemungkinan adanya pengkhususan/spesialisasi dalam masing-masing lingkungan peradilan seperti Pengadilan Anak, Pengadilan Niaga, Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Hubungan Industrial yang berada di lingkungan Peradilan Umum, dan Pengadilan Pajak di Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.37

35

Lihat pasal 2 juncto pasal 10 ayat (2) UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

36

M. Yahya Harahap, “Beberapa Tinjauan Reformasi Kekuasaan Kehakiman”, Makalah, (Jakarta: 5 Agustus 2002), hal. 13.

37

Lihat pasal 15 ayat (1) UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman berikut penjelasannya.


(35)

Mengenai sistem pemisahan kewenangan mengadili, menurut M. Yahya Harahap masih dianggap relevan adalah dasar-dasar yang dikemukakan dalam penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 14 tahun 1970, yaitu :38

a. didasarkan pada lingkungan kewenangan ;

b. masing-masing lingkungan memiliki kewenangan mengadili tertentu atau diversity jurisdiction ;

c. kewenangan tertentu tersebut, menciptakan terjadinya kewenangan absolut atau yurisdiksi absolut pada masing-masing lingkungan sesuai dengan subject matter of jurisdiction ;

d. oleh karena itu, masing-masing lingkungan hanya berwenang mengadili sebatas kasus yang dilimpahkan undang-undang kepadanya.

Dalam perkembangan sejarahnya, adanya berbagai macam badan peradilan tersebut tidak terlepas dari aturan-aturan hukum yang diwarisi oleh pemerintahan kolonial Belanda yang menjajah Indonesia saat itu. Pada zaman pemerintahan kolonial Belanda, badan peradilan dipisahkan berdasarkan golongan penduduk yaitu badan peradilan untuk golongan penduduk Eropa atau yang dipersamakan dengannya dan untuk golongan penduduk Bumiputera atau yang dipersamakan dengannya. Pada tahun 1847, dualisme tata peradilan ini semakin dimantapkan dengan sebuah Koninklijk Besluit tertanggal 16 Mei 1847 yang termuat dalam Stb. 1847 No. 23 yang dikenal dengan nama Reglement op de Rechterlijke Organisatie en Het Beleid Der Justitie (yang selanjutnya dikenal dengan RO) yang diberlakukan tanggal 1 Mei 1848. RO ini mendasari sahnya badan-badan peradilan yaitu : Districtsgerecht, Regentschapsgerecht, Landraad, Rechtbank van Ommegang, Rechtspraak ter

38

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Op.Cit, hal. 181.


(36)

Politierol yang menurut yurisdiksinya berkompeten mengadili orang-orang dari golongan rakyat pribumi, sedangkan untuk badan-badan yang menurut yurisdiksinya hanya berkompeten memeriksa dan memutus perkara-perkara untuk golongan penduduk Eropa adalah : Residentiegerecht, Raad van Justitie, dan Hooggerechtshof. Raad van Justitie juga bertindak sebagai pengadilan pada tingkat banding, sedangkan Hooggerechtshof bertindak sebagai pengadilan pada tingkat kasasi untuk perkara-perkara orang pribumi yang diadili oleh Landraad.39

Selain badan-badan peradilan pemerintah kolonial, masih terdapat peradilan lain seperti pengadilan swapraja yang ada dan dikelola oleh raja-raja, sultan-sultan, dan atau pangeran-pangeran. Untuk daerah-daerah lain yang tidak diperintah langsung oleh pemerintah Hindia Belanda juga didapati beragam bentuk badan penyelesaian sengketa lain seperti yang lazim disebut pengadilan desa (Desa

Rechtspraak).40

Tujuan utama membahas yurisdiksi atau kewenangan mengadili adalah untuk memberi penjelasan mengenai masalah pengadilan mana yang benar dan tepat berwenang mengadili suatu sengketa atau kasus yang timbul, agar pengajuan dan penyampaiannya kepada pengadilan tidak keliru. Sebab apabila pengajuannya keliru, mengakibatkan gugatan dinyatakan tidak dapat diterima atas alasan pengadilan yang dituju tidak berwenang mengadilinya. Atau dengan kata lain, gugatan yang diajukan

39

Lihat Sunarmi, Prinsip Keseimbangan dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, A Critical Review on Bankruptcy Law: Towards The Bankruptcy Laws That Protect Creditor and Debitor Interest, Op.Cit, hal. 83-85.

40


(37)

berada diluar yurisdiksi pengadilan tersebut. Selain itu juga apabila masing-masing pengadilan berwewenang dalam mengadili perkara yang sama tentunya dapat menimbulkan adanya putusan yang berbeda-beda pula.41

Dapat dilihat, permasalahan kewenangan mengadili merupakan syarat formil keabsahan gugatan. Kekeliruan mengajukan gugatan kepada lingkungan peradilan atau pengadilan yang tidak berwenang, mengakibatkan gugatan salah alamat sehingga tidak sah dan dinyatakan tidak dapat diterima atas alasan gugatan yang diajukan tidak termasuk kewenangan absolut atau relatif pengadilan yang bersangkutan.

Masalah kompetensi absolut ini diatur dalam Pasal 134 HIR/160 RBg dan mengenai kewenangannya dapat diajukan setiap saat selama perkara masih berjalan. Bahkan hakim yang memeriksa perkara itupun karena jabatannya wajib menyatakan bahwa ia tidak berwenang mengadilinya walaupun tidak ada bantahan (eksepsi) dari tergugat. Sedangkan masalah kompetensi relatif diatur dalam Pasal 133 HIR/159 RBg dimana bantahan mengenai kewenangannya harus diajukan pada kesempatan pertama tergugat memberikan jawabannya. Apabila tidak diajukan pada kesempatan pertama tersebut, maka tidak dapat diajukan lagi pada sidang selanjutnya (Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 13 September 1972, Reg. No. 1340 K/Sip/1971).42

41

Dalam sengketa PT. Bridgestone dengan pekerjanya juga terdapat sengketa kewenangan mengadili relatif antara Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Bandung dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta, dimana masing-masing pengadilan merasa berwenang untuk mengadili perkara tersebut yang berakibat adanya putusan yang berbeda-beda yaitu PHI Bandung menetapkan pekerja berhak atas kenaikan gaji sebesar 14,8 % sementara PHI Jakarta menetapkan hanya menyetujui kenaikan gaji sebesar 10 %. Lihat http:// www.hukumonline.com /detail.asp? id=18007 &cl=Berita, “Bila Dua PHI Membuat Putusan Berbeda”, diakses tanggal 27 April 2009.

42

Darwan Prinst, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 170.


(38)

Apabila hal-hal yang tersebut diatas terjadi, maka tentunya dapat merugikan pihak pekerja/buruh itu sendiri, baik dalam hal waktu maupun finansial dan penyelesaian perkara pun tidak dapat dilakukan secara efisien dan efektif43 sehingga peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman tidak akan tercapai.

Berdasarkan isu hukum sebagaimana yang telah diuraikan di atas itulah membuat penulis tertarik untuk meneliti tentang Kewenangan Pengadilan Niaga

Dalam Mengadili Tuntutan Pekerja/Buruh Atas Upah Atau Uang Pesangon Yang Tidak Dibayar Oleh Perusahaan (Analisa Terhadap Putusan Pengadilan Niaga No. 49/Pailit/2004/PN.Niaga/Jkt.Pst dan Putusan Pengadilan Niaga No. 41/Pailit/2007/PN.Niaga/Jkt.Pst)

B. Rumusan Masalah

Untuk menemukan identifikasi masalah dalam penelitian ini, maka perlu dipertanyakan apakah yang menjadi masalah dalam penelitian yang akan dikaji lebih lanjut untuk menemukan suatu pemecahan masalah yang diidentifikasikan tersebut44.

43

Lihat penjelasan Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 dan bandingkan dengan hasil studi Bank Dunia tahun 2002, dimana salah satu cara untuk membuat pengadilan menjadi efisien adalah dengan cara membuat Pengadilan Khusus (Specialized Court) dalam Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi I, (Bandung: Books Terrace & Library, 2007), hal. 138.

44

Ronny Kountur, Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, (Jakarta: PPM, 2003), hal. 35, Bahwa masalah penelitian merupakan suatu pertanyaan yang mempersoalkan keberadaan suatu variabel atau mempersoalkan hubungan antara variabel pada suatu fenomena.


(39)

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana kewenangan Pengadilan Niaga dalam mengadili tuntutan pekerja/buruh atas upah atau uang pesangon yang tidak dibayar oleh perusahaan ?

2. Bagaimana penyelesaian perselisihan pembayaran upah atau uang pesangon menurut UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ?

3. Pengadilan manakah yang berwenang untuk mengadili tuntutan pekerja/buruh atas upah atau uang pesangon yang tidak dibayar oleh perusahaan ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui kewenangan Pengadilan Niaga dalam mengadili tuntutan pekerja/buruh atas upah atau uang pesangon yang tidak dibayar oleh perusahaan. 2. Untuk mengetahui penyelesaian perselisihan pembayaran upah atau uang

pesangon menurut UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

3. Untuk mengetahui pengadilan yang berwenang untuk mengadili tuntutan pekerja/buruh atas upah atau uang pesangon yang tidak dibayar oleh perusahaan.


(40)

D. Manfaat Penelitian

Dengan terjawabnya permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan serta tercapainya tujuan penelitian tesis ini diharapkan dapat memberikan sejumlah manfaat teoritis maupun manfaat secara praktis.

Manfaat secara teoritis dari penelitian ini adalah untuk memberikan masukan guna pengembangan Hukum Ketenagakerjaan/Perburuhan maupun Hukum Kepailitan khususnya dalam beracara di pengadilan, sedangkan manfaat secara praktis adalah untuk memberikan masukan bagi para buruh/pekerja maupun pengusaha agar dapat memilih pengadilan yang tepat untuk menyelesaikan permasalahannya sehingga asas peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan dapat tercapai. Selain itu diharapkan agar tercapainya persamaan persepsi dari hakim yang memutus perkara tersebut sehingga asas kepastian hukum yang didamba-dambakan oleh para pencari keadilan (yustisiabelen) dapat terpenuhi.

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan informasi dan penelusuran terhadap hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis di perpustakaan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara baik untuk program studi ilmu hukum maupun program studi kenotariatan, bahwa belum pernah dilakukan penelitian mengenai Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Mengadili Tuntutan Pekerja/Buruh Atas Upah Atau Uang Pesangon Yang Tidak Dibayar Oleh Perusahaan Pailit. Jadi penelitian ini adalah asli


(41)

karena sesuai dengan asas-asas keilmuan, yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori

M. Solly Lubis menyebutkan bahwa landasan teori adalah suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.45

Satjipto Raharjo mengatakan bahwa teori memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan mensistematisasikan masalah yang dibicarakan.46 Demikian pula menurut Radbruch bahwa tugas teori hukum adalah membuat jelas nilai-nilai serta postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofinya yang tertinggi.47

Pentingnya kerangka teori menurut Ronny Hanitijo adalah setiap penelitian haruslah selalu disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis. Hal ini disebabkan karena adanya hubungan timbal balik antara teori dengan kegiatan-kegiatan pengumpulan data, konstruksi data, pengolahan data dan analisis data.48

45

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Madju, 1994), hal. 80. 46

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 224. 47

Ibid 48

Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hal. 41.


(42)

Bertitik tolak dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kerangka pemikiran teoritis sebagai landasan konsepsional pendekatan masalah penelitian dapat disusun menggunakan teori, konsep, asas-asas dan pendapat-pendapat ilmuwan yang dinilai relevan untuk membuat jernih dan atau memecahkan suatu masalah yang diteliti.

Sebagai negara hukum (rechtsstaat), maka setiap warga negara Indonesia dan alat negaranya harus bertindak dan terikat pada aturan yang telah ditetapkan terlebih dahulu oleh pejabat yang berwenang.49 Hal ini dapat diartikan juga bahwa apabila terjadi suatu perselisihan, dan perselisihan tersebut tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan, maka pihak yang merasa50 dirugikan haknya tidak boleh menyelesaikannya dengan cara menghakimi sendiri (eigenrichting), akan tetapi harus diselesaikan melalui pengadilan.51 Pihak yang merasa dirugikan haknya dapat mengajukan perkaranya ke pengadilan untuk memperoleh penyelesaian sebagaimana mestinya. Tugas pengadilan (hakim) dalam menyelesaikan suatu sengketa/perselisihan adalah mengimplementasikan aturan-aturan hukum menyangkut perkara yang diajukan.52

49

Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan Di luar Pengadilan, Op.Cit, hal. 8.

50 Dipakainya perkataan “merasa” dan :dirasa”, oleh karena belum tentu yang bersangkutan sesungguh-sesungguhnya melanggar hak penggugat. Lihat. Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, (Bandung: Mandar Maju, 1989), hal. 1.

51

Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Umum, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1988), hal. 21.

52

Implementasi dari aturan hukum tersebut tergantung dari perkara yang diajukan ke pengadilan apakah merupakan perkara pidana atau perdata. Apabila perkara yang diajukan merupakan perkara pidana, maka aturan hukum yang digunakan dapat berupa KUHP, KUHAP, atau aturan lain di luar KUHP dan KUHAP seperti UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana


(43)

Hukum sebagai kumpulan peraturan atau kaidah-kaidah mempunyai isi yang bersifat umum dan normatif. Umum karena diperlakukan bagi setiap orang, dan normatif karena menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan, serta menentukan bagaimana caranya melaksanakan kepatuhan pada kaidah-kaidah tersebut.53

Dari sudut fungsinya, hukum mencakup hukum substantif (hukum materiil) dan hukum ajektif (hukum acara; hukum formil).54 Hukum materiil yang termuat dalam suatu bentuk perundang-undangan merupakan pedoman atau pegangan bagi seluruh warga masyarakat dalam segala tingkah lakunya di dalam pergaulan hidup, baik itu perseorangan, masyarakat maupun dalam bernegara, apa yang boleh dilakukan dan apa yang dilarang untuk dilakukan. Sedangkan proses penegakan hukum materiil erat kaitannya dengan hukum formil atau hukum acara, karena fungsi dari hukum acara adalah untuk mengatur cara mempertahankan dan menerapkan hukum materiil.

Dikeluarkannya UU Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, merupakan tindak lanjut dari ketentuan Pasal 136 ayat (2) UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan :

“Dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial Korupsi, UU Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dll. Apabila perkaranya merupakan perkara perdata, maka aturan yang digunakan dapat berupa KUHPerdata, KUHD, RBg, HIR, dll.

53

Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 31.

54

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 5-6.


(44)

melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan undang-undang”.

Jadi dapat dikatakan bahwa UU Nomor 2 tahun 2004 merupakan suatu mekanisme untuk mengimplementasikan dan mempertahankan aturan-aturan hukum yang terdapat dalam UU Nomor13 tahun 2003.

Tata cara (mekanisme) mengimplementasikan aturan-aturan hukum materiil ini, merupakan salah satu subsistem yang penting kalau tidak dapat dikatakan yang terpenting dalam keseluruhan sistem peradilan. Seluk beluk bagaimana caranya menyelesaikan suatu perkara melalui badan peradilan, semuanya diatur dalam hukum acara.55

Hukum formil atau hukum acara pada umumnya tidaklah membebani hak dan kewajiban seperti yang termuat dalam hukum materiil. Hukum acara memuat aturan-aturan untuk menjamin pelaksanaan kaidah-kaidah yang termuat dalam hukum materiil, yaitu melalui pengaturan seperti cara mengajukan tuntutan hak, proses pemeriksaan, dan memutus perkara serta pelaksanaan putusan. Pada pokoknya hukum acara sebagai hukum formil mengatur tata cara pengadilan dalam mengimplementasikan aturan-aturan hukum materiil yang menyangkut perkara yang diajukan.

Bila ada hukum materiil yang dilanggar siapakah yang harus melaksanakan atau menerapkan kaidah-kaidah tersebut. Apakah kita berhak sendiri-sendiri melaksanakan aturan tersebut ataukah harus oleh suatu badan tertentu yang telah

55


(45)

ditunjuk secara resmi. Jika hukum materiil dilaksanakan sendiri-sendiri menurut kehendak pihak yang bersangkutan, maka akan timbullah apa yang dikenal dengan istilah “main hakim sendiri (eigenrichting)”. Inilah yang justru sangat dikhawatirkan, karena ketertiban dalam masyarakat, juga merupakan salah satu tujuan dari hukum.

Dalam usahanya mengatur, hukum menyesuaikan kepentingan perorangan dengan kepentingan masyarakat dengan sebaik-baiknya, berusaha mencari keseimbangan antara memberi kebebasan kepada individu dan melindungi masyarakat. Masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang menyebabkan terjadinya konflik antara kepentingan perorangan dengan perorangan atau antara kepentingan perorangan dengan masyarakat, maka hukum berusaha menampung ketegangan atau menyelesaikan konflik tersebut.56

Masing-masing hukum mempunyai tujuan yang spesifik, misalnya hukum pidana tentunya mempunyai tujuan yang spesifik jika dibandingkan dengan hukum perdata, demikian pula hukum formil mempunyai tujuan yang spesifik jika dibandingkan dengan hukum materiil dan bidang-bidang hukum lainnya.57

Dari keseluruhan aliran mengenai tujuan hukum, maka dapat diklasifikasikan ke dalam 3 aliran konvensional, yaitu :58

1. Aliran etis yang menganggap bahwa pada dasarnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk mencapai keadilan.

2. Aliran utilitas yang menganggap bahwa pada dasarnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kemanfaatan.

56

Ibid, hal.31-32. 57

Ibid, hal. 35. 58


(46)

3. Aliran normatif-dogmatik yang menganggap bahwa pada dasarnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kepastian hukum.

Mengacu pada beberapa aliran mengenai tujuan hukum tersebut, maka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kepastian hukum, karena penegakkan hukum atau penerapan hukum melalui proses pengadilan merupakan unsur yang penting untuk mencapai kepastian hukum.59

Dengan adanya kewenangan mengadili (kompetensi) yang jelas antara pengadilan hubungan industrial (PHI) dan Pengadilan Niaga akan memberikan kepastian bagi pekerja/buruh dalam menuntut haknya berupah upah atau pun uang pesangon akibat adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh perusahaan tempatnya bekerja.

Memberikan kepastian hukum bagi pekerja/buruh dalam menuntut haknya khususnya berupa upah atau pun uang pesangon merupakan suatu hal yang sangat penting untuk dilakukan mengingat sebagai tenaga kerja, pekerja/buruh memiliki peran dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku (actor) dalam mencapai tujuan pembangunan. Oleh karena itu, pembangunan ketenagakerjaan diarahkan untuk meningkatkan kualitas dan kontribusinya dalam pembangunan serta

59

Bagir Manan, Membangun kepastian hukum yang benar dan adil, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2004), hal. 84. Bagir Manan menyebutkan bahwa : Penegakkan hukum melalui proses peradilan bukan satu-satunya cara untuk mencapai kepastian hukum, masih banyak komponen-komponen lain yang mempengaruhi kepastian hukum antara lain peraturan perundang-undangan, pelayanan birokrasi, proses peradilan, kegaduhan politik, dan kegaduhan sosial.


(47)

melindungi hak dan kepentingannya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.60

Dan adanya kewenangan mengadili yang jelas juga memberikan satu ukuran yang dapat dijadikan pegangan bagi pengusaha dalam menjalankan kegiatan usahanya. Khususnya apabila dihubungkan dengan kegiatan untuk menarik investor agar mau menanamkan modalnya di Indonesia sebagai penunjang pembangunan, karena investor membutuhkan adanya kepastian hukum dalam menjalankan usahanya. Dan salah satu faktor yang harus dipersiapkan jika ingin menarik minat investor agar datang untuk menanamkan modalnya di Indonesia adalah adanya perangkat hukum yang jelas. Artinya antara satu ketentuan dengan ketentuan lainnya yang berkaitan tidak saling berbenturan.61

Patut disayangkan ialah bahwa sering kali keinginan untuk mengatur kegiatan perekonomian itu demikian tinggi, dimana peraturan-peraturan yang dibuat itu kadang-kadang sedemikian banyaknya, sehingga hal tersebut dapat menimbulkan kekaburan akan hukum yang berlaku.62

Adanya kekaburan akan peraturan perundang-undangan yang berlaku tentu sedikit banyaknya akan berpengaruh pula pada putusan-putusan yang dikeluarkan oleh badan peradilan, mengingat bahwa Indonesia merupakan suatu negara yang menganut sistem hukum civil law dimana kodifikasi merupakan sumber hukum yang

60

B. Siswanto Sastrohadiwiryo, Manajemen Tenaga Kerja Indonesia, Pendekatan Administratif Dan Operasional, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005), hal. 1.

61

Sentosa Sembiring, Hukum Investasi: Pembahasan Dilengkapi dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, (Bandung: Nuansa Aulia, 2007), hal.31-33.

62

Charles Himawan, Hukum Sebagai Panglima, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003, Cet.1, hal. 154-155.


(48)

digunakan oleh pengadilan dalam memutus sebuah perkara.63 Sementara putusan-putusan yang dikeluarkan oleh badan peradilan juga menjadi bahan pertimbangan lain investor dalam melakukan investasinya di Indonesia. Sebab persepsi badan keuangan dan investor internasional yang hendak turut memulihkan perekonomian Indonesia jelas akan dipengaruhi oleh putusan yang diberikan badan peradilan di Indonesia, sehingga badan peradilan di Indonesia dituntut agar menjadi badan peradilan yang andal (reliable judiciary).64

Hal ini sejalan juga dengan pendapat Mochtar Kusumaatmadja yang mengatakan bahwa tidak hanya kaidah hukum atau peraturan hukum, tetapi juga lembaga atau institusi dan proses, mempunyai andil yang besar dalam menunjang tujuan yang ingin dicapai dalam pembangunan.65

Selain itu Brug’s menyatakan bahwa terdapat 5 (lima) unsur yang harus dikembangkan supaya hukum tidak menghambat ekonomi, yaitu stabilitas (stability), prediksi (predictability), keadilan (fairness), pendidikan (education), dan pengembangan khusus bagi para sarjana hukum (the special development abilities of the lawyer). Burg’s menjelaskan bahwa unsur pertama dan kedua merupakan prasyarat agar sistem perekonomian dapat berfungsi dengan baik. Dalam hal ini, stabilitas berfungsi untuk mengakomodasi dan menghindari kepentingan-kepentingan yang saling bersaing (conflict of interest), sedangkan prediksi merupakan suatu

63

Lihat Bismar Nasution, “Reformasi Pendidikan Hukum Untuk Menghasilkan Sarjana Hukum Yang Kompeten dan Profesional”, http://www. Bismarnasty.com. diakses tanggal 23 Januari 2008.

64

Charles Himawan, Op.Cit, hal.35-36. 65

Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi Hukum dalam Pembangunan, (Jakarta: Bina Cipta, 1976), hal.7. Menurut beliau hukum secara luas tidak hanya kaidah, tetapi juga institusi dan proses.


(49)

kebutuhan untuk bisa memprediksi ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan perekonomian suatu negara. Begitu juga dengan pendapat J.D. Ny Hart yang mengemukakan konsep hukum sebagai dasar pembangunan ekonomi, yaitu predictability, procedural capability, codification of goals, education, balance,

definition and clarity of status serta accommodation.66

Dengan adanya hukum yang baik diharapkan tercipta ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat. Aturan tersebut berlaku untuk semua pihak, sebagaimana yang dikemukakan oleh Budiono Kusumohamidjojo :

Dalam keadaan tanpa patokan sukar bagi kita untuk membayangkan bahwa kehidupan masyarakat bisa berlangsung tertib, damai, dan adil. Fungsi dari kepastian hukum adalah tidak lain untuk memberikan patokan bagi perilaku seperti itu. Konsekuensinya adalah hukum itu sendiri harus memiliki suatu kredibilitas, dan kredibilitas itu hanya bisa dimiliknya, bila penyelenggaraan hukum mampu memperlihatkan suatu alur konsistensi. Penyelenggaraan hukum yang tidak konsisten tidak akan membuat masyarakat mau mengandalkannya sebagai perangkat kaedah yang mengatur kehidupan bersama.67

Wujud kepastian hukum pada umumnya berupa peraturan tertulis yang dibuat oleh suatu badan yang mempunyai otoritas untuk itu. Namun ada juga pandangan lebih luas yang dikemukakan oleh J.M. Otto :68

Kepastian hukum nyata sesungguhnya mencakup pengertian kepastian hukum yuridis, namun sekaligus lebih dari itu. Saya mendefinisikannya sebagai kemungkinan bahwa dalam situasi tertentu :

1) tersedia aturan-aturan hukum yang jelas, konsisten dan mudah diperoleh (accessible), diterbitkan oleh atau diakui karena (kekuasaan) negara;

66

Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi I, Op.Cit, hal.37-38. 67

Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban Yang Adil Problema Filsafat Hukum, (Jakarta: Grasindo, 1999), hal.150-151.

68


(1)

Subekti, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Bina Cipta, 1977. ______, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 1992

Sunarmi, Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, A Critical Review On Bankruptcy Law : Towards The Bankrupcty Laws That Protect Creditor And Debitor Interest, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008.

Susanto, R., Hukum Dagang dan Koperasi, Jakarta: Pradnya Paramita, 1982.

Sutantio, Retnowulan, dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, Bandung: Mandar Maju, 1989.

Suyatin, R., Hukum Dagang I dan II, Jakarta: Pradnya Paramita, 1987.

Syahrani, Riduan, Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Umum, Jakarta: Pustaka Kartini, 1988.

Tirtaamidjaja, M.H., Pokok-Pokok Hukum Perniagaan, Jakarta: Djambatan, 1970.

Widodo, Hartono., dan Judiantoro, Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, Jakarta: Rajawali Pers, 1989.

Winarni, F., dan G. Sugiyarso, Administrasi Gaji dan Upah, Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2006.

Wirasasmita, HRA Rivai., Kamus Lengkap Ekonomi, Bandung: Pioner Jaya, 2002.

B. MAJALAH, MAKALAH, DIKTAT

Asril, “Pengadilan-Pengadilan Khusus di Indonesia”, Bulletin Dictum, edisi 4, Tahun 2005.

Harahap, M. Yahya., “Beberapa Tinjauan Reformasi Kekuasaan Kehakiman”, Makalah, Jakarta: 5 Agustus 2002.

Hartono, Sri Redjeki., “Hukum Perdata sebagai Dasar Hukum Kepailitan Modern”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 7, Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, 1999.


(2)

Juwana, Hikmahanto, “Hikmah Dari Putusan Pailit AJMI”, Sinar Harapan, 22 Juli 2002.

Khairandy, Ridwan., “Beberapa Kelemahan Mendasar Undang-Undang Kepailitan Indonesia”, Jurnal Magister Hukum, Vol. 2 No. 1, Yogyakarta: Fakultas Hukum UII, 2000.

_________________, “Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Kepailitan PT. DI (Persero)”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 28 Tahun 2009, Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis.

Manan, Bagir, “Hakim dan Pemidanaan”, Varia Peradilan, Tahun ke XXI, Nomor249 Agustus 2006, Jakarta: IKAHI.

Mulyadi, Kartini., “Kepailitan Dalam hubungan Dengan Penyelesaian Utang-Piutang”, Makalah Seminar PKPU Sebagai Sarana Mengikis Kepailitan dan Restrukturisasi Perusahaan, Jakarta: Kantor Advokat Yan Apul dan Rekan, 26 September 1998.

Nasution, Bismar, “Metode Penelitian Normatif dan Perbandingan Hukum”, Makalah, Disampaikan pada Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, 18 Februari 2003.

Pontier, J.A., “Penemuan Hukum (Rechtsvinding)”, diterjemahkan oleh B. Arief Shidarta, Bandung: Laboratorium Hukum Fakultas Hukum, Universitas Katolik Parahiyangan, 2000.

Rajagukguk, Erman., “Peranan Hukum di Indonesia: Menjaga Persatuan, Memulihkan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial”, Pidato disampaikan pada Dies Natalis dan Peringatan Tahun Emas Universitas Indonesia, Depok: 5 Februari 2000.

Republik Indonesia, Mahkamah Agung Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum, “Buku Agenda Sidang Hakim Pengadilan Negeri/PHI 2009”, (Jakarta: 2009). Setiawan, “Undang-Undang Kepailitan dan Likuidasi Serta Penerapannya Dalam

Pengadilan Niaga”, Makalah Seminar Penyelesaian Utang dan Sengketa Bisnis Melalui Renegoisasi Utang, Restrukturisasi Perusahaan, Kepailitan dan Likuidasi, Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi Hukum Internasional bekerja sama dengan Yayasan Winaya Dharma, 19 Oktober 1999.


(3)

Sjahdeini, Sutan Remy, “Tanggapan Terhadap Perpu Kepailitan Nomor 1 Tahun 1998”, Makalah, Jakarta: 13 Juli 1998.

___________________, “Perlindungan Debitor dan Kreditor Dampak Undang-Undang Kepailitan Terhadap Perbankan”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 54, Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, 1995.

Subroto, Agus., “Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)”, Makalah, Disampaikan pada Penelitian Hukum Kepailitan, Mahkamah Agung, Medan: 21-22 Agustus 2008.

Sunarmi, “Perbandingan Sistem Hukum Kepailitan Antara Indonesia (Civil Law System) Dengan Amerika Serikat (Common Law System)”, Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2004.

C. Peraturan Perundang-Undangan

Boediarto, Ali., Kompilasi Peraturan Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Varia Peradilan Ikatan Hakim Indonesia, 2003).

Hartono, Siti Soemarti., KUHD (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) & PK (Peraturan Kepailitan), (Yogyakarta: Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1995).

Subekti, dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Burgerlijk Wetboek, dengan Tambahan Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001).

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1227).

Republik Indonesia, Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209).

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3467).

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3477).


(4)

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608).

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790).

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3989).

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984).

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 243, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4045).

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Tata Letak Sirkuit Terpadu (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4046).

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4130).

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4131).

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4220).

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4288).


(5)

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4356).

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4358).

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4379).

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4443).

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Yang Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4958). Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha

Perasuransian.

Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2000 tentang Permohonan Pernyataan Pailit Untuk Kepentingan Umum.

D. Website

Fatoni, Uwes., “Kewenangan dan Legitimasi”, http:// pengantarilmupolitik.blokspot.com/2006/03/kewenangan-dan-legitimasi.html,

diakses tanggal 4 Mei 2009.

Latifah, Disriani., “Eksekusi Putusan Pailit”, http://staff.blog.vi.ac.id/disriani.latifah/2008/10/03/eksekusi-putusan-pailit.

Nasima, Imam., dan Eryanto Nugroho, “Pembayaran Upah Buruh Dalam Proses Kepailitan”, http://hukumonline.com/detail.asp?id=19037&cl=kolom., diakses tanggal 15 Mei 2009.


(6)

Nasution, Bismar, “Reformasi Pendidikan Hukum Untuk Menghasilkan Sarjana Hukum Yang Kompeten dan Profesional”, http://www. Bismarnasty.com, diakses tanggal 7 Maret 2009.

Suparman, Eman., “Pergeseran Kompetensi Pengadilan Negeri Dalam Menyelesaikan Sengketa Komersial, Kajian Mengenai Perkembangan Doktrin Penyelesaian Sengketa Serta Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Nasional dan Internasional, http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/2A kompetensi-pn-bergeser.pdf, diakses tanggal 25 Juni 2009.

http://www.pn-jakartapusat.go.id, “Menjadi Kreditor Yang Efektif Dalam Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)”, diakses tanggal 15 Mei 2009.

http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=18007&cl=berita, “Bila Dua PHI Membuat Putusan Berbeda”, diakses tanggal 27 April 2009.

E. Putusan Pengadilan

Putusan Pengadilan Niaga No. 49/Pailit/2004/PN. Niaga/Jkt.Pst antara Wiwin C dkk lawan PT. Roxindo Mangun Apparel Industry.

Putusan Mahkamah Agung dalam tingkat Kasasi No. 07K/N/2005 antara Wiwin C dkk lawan PT. Roxindo Mangun Apparel Industry.

Putusan Mahkamah Agung dalam tingkat Peninjauan Kembali No. 09 PK/N/2005 antara PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk dan Wiwin C dkk. lawan PT. Roxindo Mangun Apparel Industry.

Putusan Pengadilan Niaga No. 41/Pailit/2007/PN. Niaga/Jkt.Pst antara Heryono dkk lawan PT. Dirgantara Indonesia (Persero).

Putusan Mahkamah Agung No. 075K/Pdt.Sus/2007 antara PT. Dirgantara Indonesia (Persero) dan PT. Perusahaan Pengelola Aset lawan Heryono dkk


Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Atas Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Memutus Perkara Kepailitan Dengan Adanya Klausul Arbitrase Dalam Perjanjian Para Pihak Yang Bersengketa

3 84 83

Analisis Hukum Putusan Pengadilan Agama Yang Memutuskan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah Tidak Berkekuatan Hukum (Studi Kasus : Putusan Pengadilan Agama Tebing Tinggi No. 52/Pdt.G/2008/PA-TTD jo. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Sumatera Utara No. 145/Pdt.G

3 62 135

Sikap Pengadilan Terhadap Penyelesaian Sengketa Atas Merek Dagang Terkenal (Studi Pada Putusan Pengadilan Niaga Medan)

1 33 187

Kewenangan Kreditur Dalam Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Menurut UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Niaga No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. Niaga – Medan)

2 52 135

Analisis Yuridis Kompetensi Pengadilan Niaga Dalam Perkara Kepailitan (Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor 65/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST)

1 81 151

Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Mengadili Tuntutan Pekerja/Buruh Atas Upah Atau Uang Pesangon Yang Tidak Dibayar Oleh Perusahaan (Analisa Terhadap Putusan Pengadilan Niaga No. 49/Pailit/2004/PN.Niaga/Jkt. Pst Dan Putusan Pengadilan Niaga No. 41/Pailit/2

7 174 169

Analisis Utang Pada Beberapa Putusan Perkara Kepailitan Pada Pengadilan Niaga Dan Mahkamah Agung

0 23 56

Penetapan Sementara Pengadilan Niaga Dalam Hukum Merek Di Indonesia

0 23 150

Kedudukan Hukum Penjamin (Personal Guarantee) dengan Pembebanan Hak Tanggungan dan Akibat Hukum Kepailitan Perseroan Terbatas (Studi Putusan Pengadilan Niaga No. 31/Pailit/2011/PN.Niaga.Sby)

2 11 9

Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Merek Dagang Asing di Indonesia (Analisis Putusan Pengadilan Niaga Nomor:69/PDT.SUS/Merek/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst.)

1 16 0