akan kembali ke status ilegal ketika periode amnesti berakhir. Selain progran amnesti yang reguler, pemerintah Malaysia telah melakukan deportasi masal tenaga kerja
ilegal dalam jumlah besar. Badan paramiliter sipil sukarela, Ikatan Relawan Rakyat Malaysia RELA didirikan dengan kewenangan untuk memeriksa dokumen
perjalanan dan ijin migrasi bagi penduduk asing di Malaysia. RELA diberi wewenang untuk menangkap migran yang tidak mampu menunjukkan dokumen yang diperlukan
dan dapat melakukannya di tempat umum atau pribadi kapan saja. RELA akan menyerahkan para migran ke pihak kepolisian atau petugas imigrasi. Malaysia juga
memberikan hukuman cambuk bagi migran ilegal sebelum dideportasi, sebuah praktek yang sangat dikritik oleh Amnesti Internasional 2002 dan Pengawas HAM
2010. Disamping semua upaya ini, migrasi ilegal ke Malaysia masih tetap terjadi. Hanya dalam beberapa kasus, majikan dihukum karena mempekerjakan tenaga kerja
migran ilegal. Migrasi ilegal menyebabkan siklus deportasi, migran yang dideportasi akan masuk lagi ke Malaysia dan dipekerjakan lagi oleh majikan mereka di Malaysia.
Jadi, program legalisasi dan deportasi gagal dalam mengatasi masalah yang mendasar; ketergantungan ekonomi Malaysia pada tenaga kerja migran. Malaysia
meningkatkan denda bagi migran ilegal yang mau kembali secara sukarela. Sebelumnya, TKI yang mau pulang ke Indonesia secara sukarela hanya perlu
membayar 150 Ringgit US 45 sedangkan sekarang mereka harus membayar 750 Ringgit US 226.
B. Tanggapan dari Pemerintah Indonesia-Malaysia atas Pelanggaran-
Pelanggaran yang terjadi.
Isu Tenaga Kerja Indonesia TKI yang dianiaya dan mengalami depresi mencuat kembali ke hadapan publik. Publik menyaksikan sejumlah luka di luar batas
kemanusiaan yang diderita oleh para TKI. Menjadi pertanyaan, tidakkah pemerintah belajar dari kasus Nirmala Bonat, Sundari, dan lainnya? Mengapa kasus seperti ini
terus terjadi? Inti masalah dari perlindungan terhadap TKI terletak pada tidak terulangnya
kembali penganiayaan ataupun perlakuan yang tidak manusiawi terhadap TKI. Kalaupun peristiwa tersebut terulang kembali, mekanisme di negara setempat dapat
memastikan ganjaran yang setimpal bagi para pelakunya. Ganjaran yang sesuai pada gilirannya juga akan mencegah para majikan untuk melakukan tindakan serupa.
Di samping itu, para TKI yang dianiaya harus mendapatkan kompensasi atas derita yang dialaminya. Hak-hak sebagai TKI pun harus bisa dipenuhi. Ketika
peristiwa penganiayaan terhadap TKI mencuat ke publik, pemerintah selalu mendapat kritik oleh banyak pihak. Pemerintah dan perwakilan Indonesia dianggap kurang
maksimal memberikan perlindungan dan tidak tegas dalam penyelesaian, baik di tingkat proses hukum maupun pembicaraan di tingkat antarpemerintah.
Harus diakui pemerintah telah melakukan upaya dalam perlindungan TKI, khsusnya di Malaysia. Pada 2006 pemerintah telah membuat suatu Memorandum of
Understanding MoU dengan Pemerintah Malaysia. Judulnya, the Recruitment and Placement of Indonesian Domestic Workers. Sementara para aktivis TKI mendesak
pemerintah segera meratifikasi The International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families Konvensi Pekerja
Migran. Ratifikasi diharapkan menjadi suatu solusi. Bila menilik pada MoU tahun 2006, kelemahan dari MoU tersebut adalah
sama sekali tidak ditujukan untuk memberi perlindungan kepada TKI di Malaysia. Ada sejumlah kelemahan dari MoU. Pertama, substansi MoU tidak mengatur TKI
secara keseluruhan. TKI yang diatur hanyalah mereka yang masuk kategori sebagai pramuwisma domestic workers. Kedua, MoU tidak mengatur tentang hal-hal yang
terkait dengan perlindungan para pramuwisma. Tidak ada satu pasal pun yang secara spesifik mengatur hak pramuwisma bila mereka mengalami penganiayaan ataupun
perlakuan yang merendahkan martabat manusia. MoU hanya berpihak pada kepentingan Malaysia yaitu lebih pada
pengaturan syarat dan mekanisme bagi pengiriman pramuwisma. MoU sama sekali tidak mengakomodasi kepentingan Indonesia berupa perlindungan hukum bagi
pramuwisma. Sementara meratifikasi Konvensi Pekerja Migran juga mengandung sejumlah
kelemahan.Salah satu yang utama dan mendasar adalah kenyataan bila Indonesia meratifikasi, belum tentu negara-negara penerima TKI akan meratifikasi. Perlu
diketahui Konvensi ini akan efektif memberi perlindungan jika negara penerima TKI juga meratifikasi. Bila tidak maka efek yang diharapkan tidak akan terwujud.
Bagi negara penerima TKI banyak alasan bagi mereka untuk tidak meratifikasi. Mulai dari masalah kedaulatan yang tidak mau diintervensi melalui
perjanjian multilateral hingga Konvensi tidak memberi keuntungan. Belum lagi negara penerima TKI tidak hanya menerima pekerja migran dari Indonesia. Sebagai
contoh, di Malaysia dan Singapura para pekerja migran juga berasal dari Bangladesh, Filipina, dan lain sebagainya. Meratifikasi Konvensi Pekerja Migran berarti harus
memberi hal yang sama kepada semua pekerja migran, tanpa melihat asal negaranya. Ini akan dianggap memiliki konsekuensi yang banyak dan besar.
Ada satu usulan yang mungkin dapat diterima oleh Pemerintah Malaysia dalam melindungi para TKI. Usulan ini merupakan kombinasi antara MoU dan
Konvensi Pekerja Migran. Usulan ini adalah melangsungkan perjanjian bilateral dengan Pemerintah Malaysia mirip MoU, namun dengan substansi yang diadopsi
dari Konvensi Pekerja Migran. Perjanjian bilateral akan lebih bisa diterima oleh Malaysia, daripada Malaysia harus meratifikasi Konvensi Pekerja Migran, mengingat
kesepakatan hanya dibuat dengan Indonesia. Bagi Indonesia, perjanjian bilateral harus mengakomodasi lebih banyak
tentang perlindungan terhadap TKI daripada prosedur pengiriman pramuwisma sebagaimana tertuang dalam MoU. Isi perjanjian bilateral adalah pengaturan hak-hak
dasar TKI yang harus dihormati baik oleh warga Malaysia maupun aparat penegak hukum. Demikian pula harus dimuat ketentuan tentang kesamaan kedudukan para
TKI di depan hukum, layaknya warga setempat. Selanjutnya adalah hak TKI untuk dihormati martabatnya sebagai manusia
dan kehidupan pribadinya. Juga hak untuk berhubungan dengan dan dihubungi oleh perwakilan Indonesia. Di samping itu, diatur tentang hak TKI untuk mendapatkan
putusan dari otoritas yang mempunyai kewenangan memeriksa sengketa kontrak kerja.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta pelaku penganiayaan terhadap Tenaga Kerja Wanita asal Indonesia dihukum setimpal sesuai dengan yang
berlaku di Malaysia . Hal itu diungkapkan Presiden terkait penganiayaan yang dilakukan kepada salah satu pekerja migrant asal Indonesia, Winfaidah . Juru Bicara
Presiden, Julian Pasha mengatakan, Presiden menginstruksikan kepada Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, DaI Bachtiar untuk mengawal proses hukumnya. Julian
menambahkan, pemerintah mendapatkan kronologis langsung dari Winfaidah. Julian menjelaskan, Presiden menyampaikan bahwa setiap hal yang menimpa TKI tidak
akan diabaikan oleh pemerintah. Selain itu, pemerintah juga akan menanggung seluruh biaya pengobatan Winfaidah.
Sikap Pemerintah tersebut merupakan bentuk komitmen perlindungan terhadap buruh migrant Indonesia yang bekerja diluar negeri . Winfaidah diduga
menjadi salah satu korban perdagangan manusia. Hal itu dikarenakan, dokumen- dokumen resmi Winfaidah tidak lengkap dan resmi. Menyikapi hal tersebut, Komisi
Nasional Perempuan menyatakan, kasus Winfaidah merupakan akumulasi dari kasus- kasus penganiayaan terhadap pekerja migrant. Demikian pula kasus ancaman
hukuman mati yang dihadapi oleh empat perempuan dari ratusan pekerja Indonesia yang juga menghadapi ancaman hukuman serupa .
Hasil pemantauan Komisi Nasional Perempuan, bersama dengan Komnas HAM menunjukkan bahwa, pertama Malaysia merupakan Negara terbanyak penerima
pekerja migrant asal Indonesia yang mencapai 1,2 juta jiwa . Data tersebut belum termasuk jumlah pekerja migrant yang tidak berdokumen illegal yang diperkirakan
jumlahnya dua kali lipatnya . Kedua, jumlahh pekerja migrant yang dideportasi dari Malaysia pada tahun 2009 mencapai lebih dari 33 ribu jiwa Hal itu berarti ada lebih
dari dua ribu TKI Indonesia yang dideportasi perbulan .Ketiga, lebih dari seribu pekerja migrant Indonesia yang harus berhadapan dengan hukum setiap tahunnya, 60
persen diantaranya terkait gaji tidak dibayar, 20 persen kasus kekerasan seksual dan 5 persen kasus perdagangan manusia.
Selain kasus tersebut, Komnas Perempuan mencatat berbagai persoalan pelanggaran HAM yang dialami oleh perempuan pekerja migrant, dipaksa bekerja
tanpa waktu istirahat, bekerja dari lebih satu majikan tanpa upah yang layak, tidak
diperbolehkan berkomunikasi dengan orang lain selain majikannya, tidak mendapat libur, dan lain sebagainya. Dalam hal kekerasan, perempuan pekerja migrant
berhadapan dengan penganiayaan secara fisik, secara verbal dalam bentuk caci maki, hinaan dan intimidasi, dan juga secara seksual, khususnya perkosaan . Untuk itu,
Isyarat penghentian sementara pengiriman Tenaga Kerja Indonesia ke Malaysia oleh Pemerintah yang di lontarkan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, menyusul
tragedi Winfaidah, sangat tepat selain kembali merumuskan formula yang tepat agar hak dan kewajiban para pekerja Indonesia agar dapat sejajar dengan para pekerja
migran asal negara lain yang juga banyak terdapat di Malaysia.
43
C. Langkah Pemerintah Indonesia-Malaysia atas Penyelesaian Pelanggaran