Dari kondisi-kondisi diatas kita dapat melihat bahwa secara struktural implementasi hak-hak asasi manusia sangat berbekas baik pada faktor-faktor hukum,
sosial politik, budaya maupun ekonomi yang terdapat dalam suatu negara. Disamping itu, tampak bahwa faktor hukum merupakan persyaratan mutlak untuk perlindungan
dan pengamanan bagi hak asasi manusia. Hal ini sesuai dengan fungsi hukum yang esensial yaitu sebagai penjamin stabilitas dan kepastian.
C. Kedudukan Individu Dalam Hukum Internasional
Individu sebagai salah satu subjek hukum internasional yang memiliki hak dan kewajiban menurut hukum internasional telah diterima dalam praktek
kontemporer. Praktek kontemporer ini didasarkan pada perkembangan cabang hukum internasional yaitu hukum hak asasi manusia, hukum maniter internasional, dan
hukum pidana internasional sejak permulaan abad XX yang memberikan peran dan kedudukan individu secara de facto maupun de jure sebagai subjek internasional.
Secara normatif, pandangan Hans Kelsen memperkuat peran dan kedudukan individu sebagau subjek hukum internasional. Kelsen 1881-1973, beragumentasi
bahwa tidak ada perbedaan antara Negara dengan hukum internasional karena keduanya berlaku mengikat terhadap individu.
33
Pandangan Kelsen didasari asumsi bahwa hukum internasional , seperti hukum pada umumnya merupakan suatu aturan yang mengatur tingkah laku manusia,
kepada manusialah hukum internasional itu berlaku; kepada manusialah hukum Kelsen mendasari hukum
internasional pada pandangan monistik yang menyatakan bahwa hukum internasional berada diatas hukum nasional dari pada merupakan dua hukum yang saling berbeda.
33
IA Searer, 1994, Starke’s International Law, Hal. 48-50.
internasional menyediakan sanksi, dan kepada manusia pulalah hukum internasional menciptakan norma-norma yang mengatur kehidupan mereka.
34
34
Hans Kelsen, 1996, Principles of International Law, Hal. 180.
Dengan demikian, menurut Kelsen, posisi individu sebagai subjek hukum internasional memainkan peranan vital karena individu merupakan pusat dari hak dan
kewajiban hukum dalam hukum internasional. Peranan dan posisi individu dalam hukum internasional memperoleh penegasan, walaupun hanya secara implisit dalam
pertanyaan Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB kepada Mahkamah Internasional mengenai personalitas hukum dari PBB. Pertanyaan kapasitas PBB diajukan pada
kasus Reperations for Injuries Suffered in the Service of the United Nations Case. Mahkamah Internasional menyatakan bahwa subjek hukum internasional mengacu
pada suatu entitas yang memiliki kewajiban-kewajiban, hak-hak internasional dan dengan memiliki hak tersebut mereka dapat mengajukan tuntutan-tuntutan
internasional. Dari pendapat Mahkamah Internasional tersebut, secara implisit terkandung
makna bahwa kondisi personalitas hukum dari subjek hukum internasional haruslah
memenuhi dua syarat. Pertama, ketentuan tentang personalitas hukum tersebut harus
berasal dari ketentuan-ketentuan internasional yang menyediakan kriteria pada pengakuan personalitas hukum tersebut yang berkembang sesuai dengan perkembang
waktu. Kedua, tersedianya saran penegakkan hukum terhadap personalitas hukum
dari subjek hukum internasional tersebut. Sejalan dengan perkembangan waktu, hak dan kewajiban individu serta hak untuk dapat mengajukan tuntutan-tuntutan
internasional pada hukum internasional terutama pada kejahatan internasional telah berkembang sejak berakhirnya Perang Dunia II.
Setelah pembentukan Mahkamah Nuremberg dan Mahkamah Tokyo, yurisprudensi atas peranan dan tanggung jawab individu sebagai salah satu subjek
hukum internasional terhadap kejahatan internasional yaitu kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Prinsip-prinsip tersebut merupakan produk legal dari
Mahkamah Nuremberg untuk mencegah terjadinya kejahatan internasional yang dilakukan oleh individu dan untuk menyediakan sarana pertanggungjawaban bagi
individu yang melanggar hukum internasional. Dengan demikian ratio personae memiliki kapasitas hukum berdasarkan
hukum internasional adalah mendasarkan asumsi pada pandangan hukum positif yang didukung dengan kenyataan empiris yang terjadi hingga saat sekarang ini. Dasar pada
asumsi pembenar ini adalah tidak adanya ketentuan yang mencegah individu untuk dapat bertanggung jawab dan dipertanggungjawabkan dari perbuatan-perbuatannya
dalam konteks hukum internasional. Kapasitas hukum individu berkembang sesuai dengan hak-hak tertentu,
kewajiban-kewajiban tertentu, dan situasi-situasi khusus yang membedakan hak dan kewajiban individu dengan subjek hukum internasional yang lainnya. Asumsi
pembenar itu menyebabkan pertanggungjawaban individu diterima sebagai hukum normatif yang berlaku mengikat dan akan terus berkembang sesuai dengan
perubahan-perubahan sosial dalam hukum internasional yang dipengaruhi oleh pembentukan ketentuan normatif terhadap pertanggungjawaban individu dalam
instrumen internasional, dan dipengaruhi parktek-praktek penuntutan terhadap pelanggaran hukum internasional. Asumsi pembenar kedua adalah adanya pengaruh
yang signifikan dari subjek-subjek hukum internasional yang terkait dengan penegakan hukum terhadap pelanggaran hukum internasional yang menyediakan
suatu kondisi-kondisi tertentu bagi pertanggungjawaban individu terhadap pelanggaran tersebut.
35
Hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia sebagai anugerah Tuhan yang dibawa sejak lahir. Menurut UU No. 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia dinyatakan bahwa HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha
Esa yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara, hukum,
D. Hak Asasi menurut UUD 1945.