Konflik Suriah pada saat Arab spring 2010

(1)

KONFLIK SURIAH PADA SAAT ARAB SPRING 2010

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh : Raisa Rachmania

1110033200004

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

I ABSTRAK Raisa Rachmania

1110033200004

Konflik Suriah Pada Saat Arab Spring 2010

Skripsi ini menganalisa konflik yang terjadi di Suriah dalam kurun waktu terjadinya Arab Spring 2010 hingga pemilihan presiden Suriah pada tahun 2014 yang kembali dimenangkan oleh Bashar Al-Asad. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui alasan terjadinya konflik di negara yang sempat diprediksi sebagai salah satu negara dengan imunitas yang tinggi di Timur Tengah dan alasan dibalik bertahannya kekuasaan Bashar Al-Asad dalam konflik internal di Suriah.

Penelitian ini dilakukan melalui studi pustaka. Peneliti menemukan, bahwa Konflik Suriah merupakan luapan kekesalan rakyat atas rezim Al-Asad yang sudah memerintah hampir 30 tahun namun dengan sikap repressive untuk mendapat kedaulatan dari rakyatnyadanpengaruh Arab Spring yang berawal di Tunisia dan Mesir membuat semangat para aktivis untuk menumbangkan rezim pemerintahan Al-Asad semakin besar. Argument ini dirumuskan melalui tahapan analisa, yaitu dengan melihat kebijakan awal masa pemerintahan Bashar Al-Asad, kemudian melihat dinamika konflik Suriah dan rentetan faktor pemicu terjadinya Suriah Spring dan selanjutnya dianalisa dengan menggunakan kerangka teori.Kerangka teori yang digunakan dalam skripsi ini adalah teori antagonisme politik dan teori elit politik.

Hasil temuan dari penelitian ini diketahui bahwa permasalah mahzab menjadi faktor awal konflik ini yang dimulai sejak masa kependudukan Perancis atas Suriah yang kemudian disusul dengan kesenjangan sosial dan faktor ekonomi sehingga lahir konflik Suriah pada 2011.


(6)

II

KATA PENGANTAR

Penelitian ini bermula dari rentetan peristiwa dalam Arab Spring yang terjadi sejak tahun 2010 yang hingga saat ini masih belum terselesaikan di beberapa negara Timur Tengah dan Afrika Utara. Salah satu dampak dari peristiwa tersebut hingga saat ini adalah bergolaknya pemberontakan melawan rezim pemerintahan di negara Suriah, negara yang dianggap memiliki tingkat keamanan dan stabilitas politik yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara di Timur Tengah dan Afrika Utara lainnya. Tidak seperti Mesir, Tunisia, Libya, yang dapat menumpas pemberontakan hanya dalam hitungan bulan, Suriah hingga saat ini masih berkutat dengan perlawanan untuk menumbangkan rezim Al-Asad. Pemberontakan yang meningkat menjadi perang sipil yang telah memakan waktu hampir 5 tahun ini, telah memberikan perhatian lebih kepada penulis untuk melihat fenomena tersebut secara komprehensif. Suriah menjadi pilihan karena kekuatan rezim Al-Asad yang mampu mempertahankan status quo saat konflik berkepanjangan melanda negara Suriah, tanpa sedikitpun berpikir untuk menarik diri dari pemerintahan. Konflik Suriah merupakan buah dari berbagai masalah tak terselesaikan sejak munculnya negara Suriah. Penelitian ini membuktikan hal tersebut.

Selama menyelesaikan penelitian untuk skripsi ini, dengan izin Allah SWT, banyak orang serta lembaga yang turut membantu penulis dalam mengerjakan tugas ini. Tanpa bantuan mereka, sangat sulit dibayangkan penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Dengan segala kerendahan hati, penulis memohon maaf karena tidak


(7)

III

dapat menyebutkan satu-persatu di bagian ini. Akan tetapi, penulis harus mengucapkan terima kasih kepada beberapa diantara mereka.

Pertama dan utama, Ali Munhanif, Ph.D selaku Kepala Program Studi Ilmu Politik dan pembimbing penelitian skripsi ini sejak masih berada dalam konsep hingga penelitian ini selesai. Melalui diskusi intelektual dan berbagai referensi yang beliau berikan, penulis akhirnya dapat menyelesaikan penelitian ini. Penulis merasa sangat beruntung memiliki pengalaman dibimbing oleh dosen seperti beliau. Di tengah kesibukannya, beliau dengan rendah hati melakukan pengeditan keseluruhan draft penelitian penulis dan juga memotivasi penulis sehingga mendorong penulis untuk menyelesaikan penelitian ini. Tanpa bantuan beliau, mungkin hasil penelitian ini kurang memiliki nilai ilmiah. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Zaki Mubarak M.Si dan A. Alfajri MA yang telah bersedia menguji penelitian ini.

Terima kasih pula penulis berikan kepada Dewan Penguji Proposal Skripsi, yaitu Iding Rosyidin, MA dan Suryani Sua’eb, M.Si yang bersedia menguji proposal penelitian penulis. Selain itu, penulis haturkan terima kasih atas dorongan dari Sekertaris Program Studi Ilmu Politik, Zaki Mubarak, M.Si dan dosen-dosen yang turut memberikan masukan dan referensi, yaitu Armen Daulay M.Si dan Dr. Bakir Ihsan, yang telah membantu penulis mengembangkan ide-ide dan teori untuk penelitian ini. Di samping itu, terima kasih pula penulis berikan kepada Prof. Bachtiar Effendy selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Berkat nuansa akademis yang ditularkannya sehingga


(8)

IV

memberikan semangat intelektual kepada penulis. Penelitian ini juga tidak akan selesai tanpa bantuan Yoselin, M.Psi yang telah memberikan kemudahan akses jurnal untuk menambah referensi penelitian ini.

Kepada Perpustakaan Utama UIN Jakarta, Perpustakaan Pasca Sarjana UI, Perpustakaan Paramadina, Perpustakaan Al-Hidayah Kebayoran Lama, dan Lembaga Pusat Kajian DPR RI senantiasa memberikan kebutuhan penulis akan buku-buku dan artikel terkait dengan penelitian ini. Tanpa bantuan dari instansi tersebut, penulis tidak akan mampu menyelesaikan penelitian ini dengan baik.

Terima kasih juga penulis berikan kepada teman-teman Program Studi Ilmu Politik UIN angkatan 2010; Imam Utomo, Ahmad Hidayah, Herman Afrianto, Umar, Aliya, Abudan, Abdau, dan semua yang tidak dapat saya tuliskan satu persatu, yang telah saling mendukung dan melakukan perjuangan bersama-sama untuk menggapai cita-cita dan harapan masing-masing. Terima kasih khusus penulis berikan kepada. Halil sahabat yang ada di kala susah maupun senang, yang telah bersedia memberi masukan dan arahan untuk penelitian ini, Eri, S.Sos dan Siswo Mulayartono, S.Sos, atas motivasi dan bantuannya dalam memberikan berbagai referensi terkait penelitian ini.

Terakhir, terima kasih penulis berikan kepada seluruh keluarga besar yang selalu menerima penulis di setiap keadaan. Orangtua penulis, Pupu Abdul Gofur dan Afiati Gofur S.Pd, yang dengan kasih sayang selalu mendukung penulis untuk selalu


(9)

V

menyelesaikan tanggung jawab dan jalan yang telah dipilih penulis. Terima kasih kepada kakek tercinta, Sis Suseno Tjakradisurya, dan semua paman-bibi penulis, Endang Abdurrahman Manan, Aminah, Dra. Iis Rosyidah, Asti Taslimah, S.Hum, dan Iman Santosa, S.E atas doa dan dukungan baik moril maupun materil. Terima kasih kepada saudara penulis Nadhira Gofur dan (Alm) Ibrahim Ahmad, yang telah bersedia mendengarkan luapan ide-ide penulis dan juga bersedia mengajarkan penulis arti berbagi dan menyayangi. Samluck Mueeza dan Makki, kucing-kucing yang kini menjadi bagian dari keluarga dan hidup penulis, pun telah memberikan hiburan tersendiri di tengah kejenuhan yang melanda selama penelitian ini berlangsung. Terima kasih dan sanjungan juga penulis berikan kepada partner of life, Doni Romdoni, atas kesabaran, ketabahan, kasih sayang, serta dukungan baik moril maupun materil yang tidak terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Semoga semua yang telah membantu penulis mendapatkan balasan yang sesuai dari Allah SWT. Aamiin.

Ciputat, Tangerang Selatan 18 Juni 2015


(10)

VI

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... I KATA PENGANTAR ... II DAFTAR ISI... VI

BAB I PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah ...1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……… ..7

D. Tinjauan Pustaka ……….………. 7

E. Metodologi Penelitian ………..………….8

F. Sistematika Penulisan ……….…………10

BAB II KERANGKA TEORETIS A. Teori Antagonisme Politik ………..………...12

 Tingkat Individual ……….……….13

 Tingkat Kolektif…….……….24

B. Teori Elit Politik.……….33

BAB III SURIAH SPRING A. Lahirnya Negara Suriah ……….………39

B. Transisi Kepemimpinan kepada Bashar al-Asad………….………...…43

C. Pemerintahan Bashar Al-Asad………46

D. Suriah Spring ……….61

BAB IV ANALISA KONFLIK SURIAH A. Dinamika Konflik Suriah ……….…………..71


(11)

VII

B. Faktor-faktor Pemicu Suriah Spring 2011 ………...……..74

1. Kebijakan Militer Suriah ……….74

2. Kesenjangan Ekonomi ……….75

3. Damaskus Spring 2001 ………78

4. Konflik Sunni –Alawie di Suriah ………...81

 Turning Point Kelompok Alawie ………....………….….85

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ………..………..92

B. Saran ………..95


(12)

1

BABI

PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Kebangkitan dunia Arab atau Musim Semi Arab (The Arab Spring, secara harafiah berarti pemberontakan Arab) merupakan gelombang revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi di dunia Arab. Meski demikian, tidak semua pihak yang terlibat dalam protes merupakan bangsa Arab.

Rangkaian ini terjadi di sebagian besar negara-negara Timur Tengah juga Afrika Utara. Sejak 18 Desember 2010, telah terjadi revolusi di Tunisia kemudian diikuti Mesir; perang saudara di Libya; pemberontakan sipil di Bahrain, Suriah, and Yaman; protes besar di Aljazair, Irak, Yordania, Maroko, dan Oman, dan protes kecil di Kuwait, Lebanon, Mauritania, Arab Saudi, Sudan, dan Sahara Barat.

Kerusuhan di perbatasan Israel bulan Mei 2011 juga terinspirasi oleh kebangkitan dunia Arab tersebut. Protes dilakukan dengan cara pemberontakan sipil, demonstrasi, pawai, dan pemanfaatan media sosial, seperti Facebook, Twitter, YouTube, dan Skype. Upaya tersebut dilakukan dengan mengorganisir, berkomunikasi, dan meningkatkan kesadaran terhadap usaha-usaha penekanan dan penyensoran internet oleh pemerintah.

Banyak unjuk rasa ditanggapi keras oleh pihak berwajib, serta milisi dan pengunjuk rasa pro-pemerintah. Pengunjuk rasa di dunia Arab itu menggunakan slogan Ash-sha`b yurid isqat an-nizam (Rakyat ingin


(13)

2 menumbangkan rezim ini).1

Rangkaian protes ini berawal dari peristiwa yang terjadi di Tunisia pada 17 Desember 2010. Yakni peristiwa pembakaran diri Mohamed Bouazizi2 sebagai protes atas korupsi dan kesewenangan sikap pemerintah Tunisia.3

Protes di Tunisia menuai kemudian menginspirasi gelombang kerusuhan yang menjalar ke Aljazair, Yordania, Mesir, dan Yaman, kemudian ke negara-negara lain. Umumnya, unjuk rasa terbesar dan terorganisir terjadi pada "hari kemarahan". Yakni, hari Jumat setelah shalat Jumat. Protes itu juga mendorong kerusuhan sejenis di luar kawasan Arab.

Pada Juli 2011, unjuk rasa ini telah mengakibatkan penggulingan dua kepala negara, yaitu Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali yang melarikan diri ke Arab Saudi pada 14 Januari setelah protes revolusi Tunisia. Di Mesir, Presiden Hosni Mubarak mengundurkan diri pada 11 Februari 2011, setelah 18 hari protes massal yang mengakhiri masa kepemimpinannya selama 30 tahun.

1“Arab Spring”

artikel diakses pada 6 November 2013 dari http://www.wikipedia.com/ArabSpring. html

2

Mohammed Bouazizi adalah seorang pemuda berusia 26 tahun yang berprofesi sebagai pedagang sayur dan buah-buahan di kota Sidi Bou Zid, 300 meter kilometer dari selatan Tunis, Tunisia. Jum‟at, 17 Desember 2010, ia melakukan pembakaran diri di depan gedung pemerintahan setempat, sebagai protes atas penguasa yang korup. Kejadian tersebut bermula ketika dirinya yang akan berjualan, dihentikan oleh seorang polisi wanita bernama Fetya Hamdi, karena Bouazizi dituduh tidak memiliki izin untuk berjualan. Kemudian polisi tersebut menampar dan mengobrak-abrik dagangannya. Tidak terima akan perlakuan tersebut, Bouazizi bermaksud untuk melaporkan hal tersebut kepada wali kota setempat. Namun, seorang resepsionis di kantor wali kota mengatakan bahwa wali kota sedang rapat sehingga Bouazizi tidak dapat menemuinya. Kemudian, Bouazizi pergi ke sebuah toko dan membeli bensin. Tanpa piker panjang lagi ia menuangkan bensin tersebut pada seluruh tubuhnya dan menyulut tubuhnya dengan korek api. Keesokan harinya, Menobia, ibu Bouazizi melaporkan kasus penganiayaan yang dilakukan oleh polisi wanita tersebut terhadap anaknya ke kantor wali kota. Namun, keluhannya tidak mendapat respon, sehingga ia melakukan protes sendirian di luar gedung. Sepupu Boazizi, Ali Bouazizi, merekam protes yang dilakukan oleh Menobia dan mengunggahnya ke Internet, dan pada hari yang sama awak jaringan televise Al Jazeera mengambil dan menayangkannya dalam televisi, sehingga seluruh dunia mengetahuinya dan membuat rakyat berani untuk melawan rezim yang sedang berkuasa, Presiden Zine Al-Abidine Ben Ali.

3

M. Agastya ABM, Arab Spring : Badai Revolusi Timur Tengah (Jogjakarta : IRCiSoD, 2013)., hal. 33.


(14)

3

Selama periode kerusuhan regional tersebut, beberapa kepala pemerintahan mengumumkan keinginannya untuk tidak mencalonkan diri lagi setelah masa jabatannya berakhir. Misalnya, Presiden Sudan Omar al-Bashir mengumumkan ia tidak akan mencalonkan diri lagi pada 2015. Begitu pula Perdana Menteri Irak Nouri al-Maliki, yang masa jabatannya akan berakhir tahun 2014, meski pengunjuk rasa menuntut pengunduran dirinya sesegera mungkin. Di sisi lain, pemimpin Libya Muammar al-Khadafi menolak mengundurkan diri dan mengakibatkan perang saudara antara pihak loyalis dan pemberontak yang berbasis di Benghazi.4

Di Suriah juga terjadi hal yang serupa hingga saat ini masih berjalan. Pada awalnya, Suriah merupakan negara yang relative lebih stabil dibanding negara-negara Arab lainnya saat terjadi Arab Spring, namun pada 6 Maret 2011 muncul sebuah perlawanan di kota Deraa yang dilakukan oleh para orang tua yang anak-anaknya ditahan oleh polisi setempat karena membuat grafiti di dinding sebuah bangunan dengan tulisan As-Shaab Yoreed Eskaat el Nizam

(Rakyat ingin menumbangkan razim).5 Lima belas orang anak sekolah yang dianggap melakukan pembuatan grafiti tersebut ditahan oleh kepolisian setempat.

Anak-anak yang ditahan tersebut disiksa saat berada di dalam penjara. Hal tersebut membuat keluarga dan warga marah sehingga menyulut semangat demonstrasi anti rezim yang awalnya hanya ditujukan kepada Gubernur

4

M. Agastya ABM, Arab Spring : Badai Revolusi Timur Tengah (Jogjakarta : IRCiSoD, 2013)., hal. 107.

5

Trias Kuncahyono, Musim Semi di Suriah : Anak-anak Penyulut Revolusi (Jakarta: Penerbit Kompas, 2012), hal. 114


(15)

4 setempat.

Perilaku membuat grafiti di dinding tersebutoleh anak-anak sekolah usia sekitar 10-15 tahun merupakan perbuatan yang mereka tiru dari televisi yang menyiarkan tentang perilaku serupa yang dilakukan oleh para demonstran di Tahrir Square, Mesir. Namun, aparat keamanan (mukhabarat) setempat menganggap hal ini merupakan pembangkangan terhadap rezim, sehingga mereka merasa perlu menindak tegas aksi tersebut. Mereka menganggap, bahwa anak-anak tersebut adalah perpanjangan tangan para demostran dan termasuk ke dalam tindakan subversif. Tindakan kekerasan yang dilakukan aparat keamanan tersebut, mengakibatkan warga masyarakat beserta keluarga kota Deraa melakukan aksi protes yang ditujukan kepada Gubernur kota Deraa, Faisal Khaltoum. Namun, protes yang dilancarkan oleh para demostran malah disambut dengan pemukulan dan pembubaran paksa aksi yang dilakukan di depan kediaman gubernur tersebut. Aparat keamanan kemudian melanjutkan aksinya dengan menyemprotkan gas air mata, air, dan tembakan ke arah para demonstran hingga menelan korban.6

Aksi di atas membuat para demonstran semakin marah dan akhirnya merambah ke kota-kota lainnya di Suriah. Tuntutan yang diajukan para demonstran pun akhirnya beragam, yang pada awalnya hanya sebatas pembebasan kepada anak-anak yang ditahan hingga menjadi penurunan rezim yang berkuasa.

Melihat begitu banyaknya demonstrasi di wilayah Suriah, pemerintah

6

Kuncahyono, Musim Semi di Suriah : Anak-anak Penyulut Revolusi, 2012, hal. 115 – 116.


(16)

5

pusat tidak bisa tinggal diam. Pemerintah, melancarkan serangan kepada para demonstran secara masif. Gerakan para demonstran kemudian dijadikan kesempatan bagi para oposisi untuk membantu berjuang bersama menumbangkan rezim yang berkuasa, Bashar Al-Asad. Kemudian seiring berjalannya konflik, banyak free rider7 yang turut memperkeruh suasana di Suriah baik itu di pihak oposisi maupun loyalis pemerintah.

Sudah hampir dua tahun konflik di Suriah dalam Arab Spring berlangsung, namun belum terlihat tanda-tanda akan berakhirnya konflik tersebut. Dalam periode Arab Spring kali ini, konflik yang terjadi di Suriah merupakan konflik terlama dibandingkan dengan negara-negara Arab lainnya sebagaimana yang terjadi di Tunisia, Mesir, dan sebagainya. Kedua belah pihak baik oposisi maupun loyalis sama-sama memiliki kekuatan yang seimbang, sehingga terjadi deadlock yang menyebabkan konflik ini sulit diatasi. Konflik tersebut telah menelan banyak korban. Meskipun demikian tetap saja tidak menyulutkan semangat kedua belah pihak untuk menurunkan ego dan tuntutannya.

Konflik tersebut tidak hanya menelan korban jiwa tapi juga materil yang tidak sedikit jumlahnya. Hal itu dapat dilihat dari lamanya konflik ini berlangsung mengingat Suriah bukan termasuk negara yang makmur malah cenderung sebagai negara yang memiliki tingkat inflasi dan pengangguran yang cukup tinggi, namun dapat menggelontorkan biaya yang besar untuk perang.

7

Free Rider merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kelompok atau individu yang memiliki kepentingan tersembunyi dengan mencari keuntungan atas suatu masalah yang sedang terjadi.


(17)

6

Kekuatan Bashar al-Asad sebagai presiden sekaligus panglima tertinggi angkatan bersenjata Suriah juga cukup mencengangkan karena tetap konsisten melawan oposisi, yang telah menelan banyak korban dari pihak sipil.

Selain itu, banyaknya pihak asing yang ikut bermain dalam konflik ini membuat konflik ini semakin sulit diatasi. Ketersediaan sumber daya alam yang dimiliki Suriah, tidak seperti negara Arab lainnya, tentu hal ini pun melahirkan pertanyaan perihal kepentingan apa yang akan dituai dari para pihak asing yang ikut bermain dalam konflik tersebut. Oleh karena itu penulis mencoba melakukan penelitian untuk mengkaji konflik yang terjadi di Suriah pada pemerintahan Presiden Bashar al-Asad. Berdasarkan masalah tersebut, maka skripsi ini berjudul “Konflik Suriah pada saat Arab Spring 2010”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam dan tidak melebar ke topik yang lain, maka penulis memfokuskan batasan masalah yang akan dibahas di skripsi ini yaitu dimulai tahun 2011 saat Suriah ikut terkena gejolak Arab Spring hingga Bashar Al-Asad kembali menjabat sebagai presiden Suriah untuk ketiga kalinya.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan pernyataan masalah di atas, maka peneliti merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana konflik di Suriah dapat terjadi?


(18)

7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian : 1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana konflik di Suriah terjadi dan apa saja faktor yang mempengaruhi konflik di negara tersebut.

2. Manfaat Penelitian : a. Manfaat Akademis :

1. Untuk memberikan kontribusi literatur keilmuan dan menjadikan skripsi

ini sebagai literatur di bidang ilmu politik.

2. Penelitian ini diharapkan menambah informasi bagi peneliti skripsi yang menulis masalah yang sama di masa yang akan datang.

b. Manfaat Praktis :

 Mengembangkan ilmu politik khususnya analisa terhadap konflik yang terjadi di suatu negara, sehingga dapat dilihat tidak hanya dari satu sudut pandang saja.

D. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka yang peneliti gunakan diantaranya buku dengan judul “Musim Semi di Suriah : Anak-anak Sekolah Penyulut Revolusi” oleh Trias


(19)

8

Kuncahyono. Buku tersebut membahas keadaan Suriah sebelum terjadi revolusi hingga saat revolusi sedang berlangsung.

Buku selanjutnya yang menjadi tinjauan pustaka adalah “Prahara Suriah : Membongkar Persekongkolan Multinasional” oleh Dina Y Sulaeman. Buku tersebut membahas propaganda yang dilakukan beberapa media massa maupun elektronik pro oposisi dan barat guna mendapatkan dukungan intervensi politik dan keamanan dari masyarakat dunia.

Kemudian, kesamaan penelitian yang penulis lakukan dengan dua penelitian sebelumnya adalah terletak pada periode yang digunakan, yaitu pada saat Arab Spring berlangsung. Perbedaannya adalah penulis berusaha memaparkan faktor apa saja yang menjadi penyebab Suriah ikut terkena gelombang Arab Spring.

E. Metodologi Penelitian a. Pendekatan Penelitian

Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Penelitian kualitatif adalah melakukan pengamatan terhadap individu-individu dengan cara berdialog langsung, serta mengetahui bahasa dan pandangan mereka, yang berkaitan dengan lingkungannya.8

Peneliti mengggunakan pendekatan penelitian tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa penelitian kualitatif menjelaskan suatu fenomena melalui pengumpulan data yang akan menghasilkan pemahaman yang

8


(20)

9

lebih mendalam tentang pokok permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini.

b. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah, Perpustakaan Freedom Institute, Perpustakaan Utama Universitas Indonesia, Perpustakaan Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah dan kedutaan besar Suriah yang mempunyai sumber terpercaya dari informasi atas kasus ini hingga skripsi selesai.

c. Teknik Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data saat penelitian, maka penulis menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara penelitian kepustakaan (library research). Maka, penelitian ini menggunakan buku, jurnal, serta artikel pada media massa dan internet sebagai data pokok, dan wawancara dengan pengamat Timur Tengah, para diplomat, dan Direktorat Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia sebagai data penunjang.

d. Teknik Analisa Data

Untuk menganalisa data, penulis akan menerapkan metode analisa penelitian secara deskriptif analitis. Deskriptif analitis adalah metode dengan menggambarkan hal-hal yang menjadi objek penelitian, sehingga


(21)

10

diharapkan mampu menjawab berbagai permasalahan tersebut. Proses ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.9 Proses tersebut diharapkan dapat memberikan ketepatan dalam mengelola data penelitian ini.

F. Sistematika Penulisan

Dalam menjelaskan permasalahan tersebut dalam bagian lengkap, maka penulis memberikan sistematika penulisan dalam suatu kaidah garis-garis besar penulisan melalui beberapa bab, disertai dengan sub-bab dalam menjelaskan berbagai hal yang lebih terperinci dan membutuhkan kajian yang lebih mendalam. Adapun deskripsi dari sistematika penulisan sebagai berikut:

 Bab I : Pendahuluan, meliputi : pernyataan masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

 Bab II : Kerangka Teori

 Bab III : Pembahasan konflik di Suriah, mulai dari awal pembentukan Suriah, peristiwa Arab Spring hingga Suriah Spring, dan keadaannya hingga saat skripsi ini ditulis.

 Bab IV : Pembahasan mengenai analisa komparatif konflik dan faktor terjadinya konflik Suriah.

9

Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial : Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif (Jakarta : Erlangga, 2009)., hal. 148.


(22)

11

 Bab V : Penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran atas penelitian ini.

 Daftar Pustaka.


(23)

12

BABII

Kerangka Teoretis

Dalam bab ini, penulis akan memaparkan teori10 Antagonisme Politik dan teori Elit Politik. Kedua teori tersebut menggambarkan dan membahas fenomena-fenomena dan fakta-fakta politik dengan tidak mempersoalkan norma-norma atau nilai dan dinamakan non-valutional (value-free).11 Dengan menggambarkan kerangka teoritis, diharapkan penelitian ini dapat memberikan jawaban awal dalam berbagai permasalahan terhadap konfik yang terjadi di Suriah pada masa pemerintahan Bashar Al-Assad.

A. Teori Antagonisme Politik

Antagonisme adalah sebuah realitas yang menempatkan sesuatu menjadi lawan dari sesuatu, apakah hal tersebut untuk mempertahankan kedudukan, merebut kekuasaan, atau mempertahankan diri dari ancaman politik.12 Dalam teori sosiologi politik, Maurice Duverger melihat bahwa antagonisme politik lahir dari berbagai sebab yang digolongkan ke dalam dua kategori. Pertama, sebab individual , seperti kecerdasan pribadi dan faktor psikologis. Kedua,

10

Teori adalah generalisasi yang abstrak mengenai beberapa fenomena. Dalam menyusun generalisasi, teori selalu memakai konsep-konsep yang lahir dalam pikiran manusia, dan karena hal tersebut, onsep bersifat abstrak, sekalipun fakta-fakta dapat dipakai sebagai batu loncatan. Teori politik adalah bahasan dan generalisasi dari fenomena yang bersifat politik. Bahasan dalam fenomena yang bersifat politik seperti; tujuan dari kegiatan politik, cara-cara mencapai tujuan tersebut, kemungkinan dan kebutuhan yang ditimbulkan oleh situasi politik tertentu, kewajiban-kewajiban yang diakibatkan oleh tujuan politik tersebut. Sumber : Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, cet. 4. (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009)., hal. 43.

11

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, cet. 4. (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009)., hal. 44.

12

Maurice Duverger, Sosiologi Politik. Penerjemah Daniel Dhakidae (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 156.


(24)

13

sebab kolektif, seperti faktor-faktor rasial, perbedaan dalam kelas-kelas sosial dan faktor sosiokultural.

1. Tingkat Individual

Ada dua jenis sebab individual di dalam pergolakan politik. Pertama adalah, perbedaan bakat alami di kalangan manusia. Ada manusia yang lebih berbakat daripada yang lain dalam konteks untuk menjamin kekuasaannya. Di pihak lain, tergantung pada kecenderungan psikologis, individu-individu tertentu lebih cenderung daripada yang lain kepada dominasi atau kepatuhan: yang pertama berusaha untuk memerintah yang terakhir, dan yang terakhir lebih atau kurang menerima keadaan taklukannya.13

1.1Bakat-bakat Individual

Teori-teori yang menjelaskan tentang pergolakan-pergolakan politik dalam hubungannya dengan perbedaan di dalam bakat-bakat pribadi berasal dari konsep-konsep biologis Charles Darwin tentang

Struggle of life. Menurutnya, setiap individu harus bertempur melawan yang lain untuk kelangsungan hidup, dan hanya yang paling mampu yang berhasil. Proses seperti ini (seleksi alam) menjamin terpeliharanya spesies maupun perbaikannya. Kemudian proses seperti ini menjelma menjadi perjuangan untuk memuaskan kebutuhan manusia. Di dalam arena politik, hal ini menjadi perjuangan untuk posisi utama dan hal ini berlaku sebagai landasan teori elite (dari

13


(25)

14

persaingan merebut kekuasaan, munculah yang terbaik, yang paling mampu, dan mereka yang mampu memerintah).

Di dalam doktrin-doktrin liberal tentang elite, persaingan seleksi alam didasarkan pada motif-motif ekonomi dan keinginan-keinginan diri sendiri. Sejak permulaan munculnya manusia hingga saat ini, kecenderungan untuk saling menguasai antara satu manusia dengan yang lain adalah alasan dari faktor kelangkaan ekonomi.14 Dengan setiap orang mencoba untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan pribadinya, maka persaingan permanen muncul sebagai akibat dari konsumen yang terlalu banyak dan barang-barang konsumsi yang jumlahnya terbatas. Dalam kompetisi ini, mereka yang memegang kekuasaan memperoleh keuntungan yang penting. Dalam sejarahnya, baik individu, kelompok, maupun kelas sosial yang melaksanakan kekuasaan politik, semakin banyak kekuasaan politik dimiliki seseorang semakin besar bagian seseorang dalam kekayaan ekonomi; dan juga sebaliknya, semakin besar bagian seseorang dalam kekayaan ekonomi, maka semakin besar bagiannya dalam kekuasaan politik.

Dalam perjuangan politik sebagaimana terdapat persaingan ekonomi, peserta yang terbaik yang menang, yaitu mereka yang paling bermutu dalam intelegensinya, keberaniannya, kekuatannya, kelicikannya, dan kemampuannya bekerja. Sebagaimana dalam motif politik, kepentingan pribadi juga merupakan motif utama dalam

14


(26)

15

persaingan ekonomi. Kekuasaan dicari bagi keuntungan dirinya dan bukan karena dedikasinya bagi pelayanan umum. Persaingan ekonomi menempatkan wiraswasta yang terbaik menjadi kepala produksi sedang mereka yang kurang berbakat disingkirkan. Maka, dalam pandangan liberal, integrasi politik dihasilkan oleh perjuangan politik itu sendiri.

Selanjutnya, di dalam teori konservatif tentang elite menganggap perbedaan dalam bakat sebagai faktor utama di dalam pergolakan politik. Kaum konservatif lebih percaya bahwa orang yang lebih mampu lebih dimotivasi oleh pertimbangan altruistic15 daripada pertimbangan ekonomi.16 Orang yang lebih mampu bukanlah orang yang paling kuat, inteligen, licik, atau pun berani, tapi mereka yang paling baik. Orang yang paling baik memiliki kualitas moral dan keputusan nilai yang lebih dari yang lain.

Teori ini didasarkan kepada pemahaman bahwa manusia secara alami jahat, dimotivasikan oleh naluri dan impuls yang rendah, dan

15

Altruisme atau altruistic adalah perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan diri sendiri. Perilaku ini merupakan kebajikan yang ada dalam banyak budaya dan dianggap penting oleh beberapa agama. Gagasan ini sering digambarkan sebagai aturan emas etika. Beberapa aliran filsafat, seperti Objektivisme berpendapat bahwa altruisme adalah suatu keburukan. Altruisme adalah lawan dari sifat egois yang mementingkan diri sendiri. Altruisme dapat dibedakan dengan perasaan loyalitas dan kewajiban. Altruisme memusatkan perhatian pada motivasi untuk membantu orang lain dan keinginan untuk melakukan kebaikan tanpa memperhatikan ganjaran, sementara kewajiban memusatkan perhatian pada tuntutan moral dari individu tertentu (seperti Tuhan, raja), organisasi khusus (seperti pemerintah), atau konsep abstrak (seperti patriotisme, dsb). Beberapa orang dapat merasakan altruisme sekaligus kewajiban, sementara yang lainnya tidak. Altruisme murni memberi tanpa memperhatikan ganjaran atau keuntungan. Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Altruisme

16


(27)

16

senantiasa siap untuk kembali kepada keadaan kebuasan primitive. Hanya beberapa individu yang dikaruniai kekuatan moral yang besar, berhasil mengatasi kecenderungan instingtif tersebut. Peradaban dipertahankan terutama melalui penggunaan kekuatan, yang dilaksanakan oleh kekuasaan politik yang dipegang oleh elite. Tanpa kekerasan semacam ini, masyarakat akan jatuh ke dalam anarki dan berbalik kepada keadaan buas.

Perjuangan politik kaum elite tidak tergerak terutama oleh kepentingan diri sendiri, akan tetapi lebih dimotivasi oleh rasa mengabdi (sense of service). Mereka percaya bahwa kepentingan diri sendiri adalah kasar dan tidak patut. Dalam doktrin ini bukan saja bakat yang dibawa sejak lahir yang menjadi dasar perbedaan antara kaum elite dan massa tapi juga latihan sosial yang mengembangkan naluri-naluri baik dan menekan naluri buruk. Namun pada prinsipnya, pergolakan antara kaum elite dan massa, atau antara orang yang sangat berbakat dengan orang yang kurang berbakat, adalah pergolakan individual.

Teori konservatif cenderung mencampurbaurkan elite yang terdiri dari individu-individu yang superior dengan aristokrasi kasta turun-temurun. Secara normal, aristokrasi dan elite berada dalam satu jalur. Peradaban berpijak kepada pembentukan elite di dalam masyarakat dengan rasa kepentingan masyarakat, kehormatan, dan pelayanan, yang diwarisi turun temurun di tengah kehidupan massa yang hanya


(28)

17

dimotivasi oleh keinginan dan naluri kepentingan diri sendiri.

Dalam doktrin konservatif, seorang sosiolog Italia, Vilfredo Pareto, mengungkapkan tentang gerakan elite yang mengungkapkan konflik permanen antara permainan silang bakat individual dan kecenderungan untuk membentuk kelas-kelas sosial atau kasta turun-temurun. Menurutnya, elite adalah

Individu-individu yang paling mampu dalam setiap cabang kegiatan manusia. Mereka berjuang melawan kaum-kaum yang kurang berbakat, kurang mampu untuk mencapai posisi kekuasaan. Namun dalam usaha ini, mereka diblokir oleh kecenderungan kaum elite yang berkuasa untuk membentuk oligarki-oligarki yang mengabdikan diri sendiri dan turun-temurun sehingga membatasi gerakan kaum elite untuk maju ke tangga atas sosial dari mereka yang terbaik dan yang paling berbakat.17

Dalam teori Pareto, bila kelas-kelas sosial atau kasta sangat kaku dan tertutup rapat, maka individu-individu yang berbakat dari kasta atau kelas yang lebih rendah tidak memiliki kesempatan untuk bangkit ke posisi yang sesuai dengan kemampuannya. Maka konsekuensinya, mereka bergabung untuk melawam tatanan sosial yang ada, dengan tingkat kekerasan yang lebih besar untuk menjatuhkan tatanan sosial tersebut. Sebaliknya, jika kelas-kelas yang memerintah lebih terbuka dan mudah untuk didekati, maka individu-individu yang sangat berbakat dari kelas-kelas yang lebih rendah dapat diterima dan akan mengurangi ketegangan sosial.18 Kekakuan yang ada pada setiap kelas lebih mungkin merupakan reaksi dari sikap kelas yang memerintah (the ruling class).

1.2Sebab-sebab Psikologis

17

Duverger, Sosiologi Politik, hal.165. 18


(29)

18

Dalam menganalisa faktor terjadinya antagonisme politik, kemampuan individual (bakat individu) dan tempramen psikologis merupakan dua alasan dari terjadinya antagonisme tersebut. Kemampuan individual (bakat individu) merupakan aspek eksternalnya, sedangkan analisa psikologis merumuskan hakikat dalamnya.19

Bagi psikoanalis, antagonisme politik merupakan akibat dari frustasi psikologis yang kurang atau lebih berhubungan dengan konflik dari masa kecilnya yang terkubur di dalam alam bawah sadar. Pengalaman dari masa kecil memiliki pengaruh yang menentukan terhadap perkembangan psikologis berikutnya di masa yang akan datang seorang individu. Dalam tahap pertama eksistensinya, seorang anak hidup di dalam suatu keadaan yang dikuasai oleh kesenangan atau kebebasan. Hidup seorang anak didominasikan oleh prinsip kesenangan. Selanjutnya, unuk dapat bergabung dengan masyarakat, dia harus mengganti prinsip kesenangan dengan prinsip kenyataan, yang berarti dia harus menekan kesenangan dan membatasi kesenangan tersebut. Dia diwajibkan untuk mengikuti dan mematuhi segala aturan yang berlaku di masyarakat. Namun, naluri kesenangan tersebut terlalu kuat untuk dihilangkan. Perdebatan batin dalam diri seseorang menyangkut naluri kesenangannya dengan aturan di masyarakat menghasilkan frustasi yang menjadi pondasi lahirnya antagonisme sosial.

Peradaban industri, yang menjadikan alam semesta menjadi rasional,

19


(30)

19

mekanis, modal, dan antiseptik, bertentangan secara diametris terhadap kecenderungan instingtif dan keinginan yang mendalam dari manusia. Kemajuan teknologi yang membangun suatu dunia dimana naluri manusiawi tidak mendapat tempat, cenderung menyebabkan meningkatnya sifat agresif, dalam keinginan untuk menguasai, dalam kekerasan, dan konsekuensinya di dalam intensifikasi antagonisme dan konflik.20

Faktor-faktor yang jelas di dalam antagonisme politik bisa juga menjadi produk dari fenomena kompensasi. Keinginan untuk menguasai dan sikap otoritarian bisa juga menjadi akibat dari keinginan untuk berkuasa dari seorang individu yang kuat dan penuh energi, atau dari kelemahan psikologis, kekacauan dari dalam bati, ketidakmampuan untuk memperoleh respek orang lain, yang tersembunyi di balik sikap yang persis sebaliknya.

Seorang ilmuan asal Amerika, Theodora Adorno, pada tahun 1950 pernah melakukan penelitian tentang kepribadian otoritarian. Kepribadian tersebut didefinisikan oleh konformitas yang sangat kuat, kepatuhan buta oleh penglihatan yang disederhanakan tentang alam sosial dan moral yang dibagi ke dalam kategori yang jelas (baik dan buruk, hitam dan putih).21 Di dalam otoritarian muncul paham di mana yang berkuasa harus memerintah karena mereka yang terbaik, yang lemah harus mendapatkan tempat di bawah karena dari segala segi mereka lebih rendah, dan nilai orang

20

Duverger, Sosiologi Politik, hal. 178. 21


(31)

20

ditentukan hanya oleh kriteria luar, yang didasarkan pada kondisi sosial.

Umumnya, kepribadian otoritarian adalah khas milik individu-individu yang tidak pasti akan dirinya sendiri, yang tidak pernah berhasil di dalam membangun kepribadiannya sendiri dan menstabilkannya, yang tidak percaya kepada dirinya sendiri dan meragukan identitasnya. Mereka berpegang teguh pada bentuk-bentuk luar karena mereka mempunyai sesuatu di dalam dirinya sendiri untuk berpegang. Stabilitas ketertiban sosial dengan demikian menjadi dasar stabilitas kepribadiannya sendiri, yang bisa menjadi disintegrasi tanpanya. Lalu, sejalan dengan semua itu, bilamana mereka mempertahankan ketertiban sosial, adalah diri mereka sendiri, dasar dari keberadaannya sendiri dan equilibrium psikologisnya sendiri yang mereka bela. Hal ini yang menjadi dasar bentuk keagresifannya dan kebenciannya terhadap mereka yang tidak setuju dengannya, terutama terhadap “orang lain”, orang-orang “yang berbeda”, yang jalan hidupnya dan sistem nilai-nilainya menantang ketertiban sosial yang ada, mereka yang mempertanyakan dasar-dasar dan prinsip-prinsip umumnya. Kepribadian otoritarian mendukung partai-partai konservatif dalam masa tenang ketika ketertiban sosial tidak terancam. Bila timbul ancaman, sikap keagresifannya dengan sendirinya timbul dan mendorongnya kearah gerakan-gerakan fasistis. Maka, orang-orang yang paling tidak stabil ke dalam mempengaruhi secara luar bisaa wajah stabilitas dari luar: partai-partai politik yang dibangun atas kekerasan adalah terutama terdiri dari individu-individu yang lemah.


(32)

21

Seringkali, otoritarianisme, dominasi, dan kekerasan merupakan kompensasi bagi kekecewaan dan kemunduran pribadi. Seorang psikoanalis pemberontak, Alred Adler, mencatat bahwa brutalitas dan despotisme seringkali menjadi overkompensasi bagi kesakitan yang dialami orang-orang kecil atau dengan cacat fisik. Ia menganggap kecenderungan otoritarianisme suatu unsur fundamental di dalam jiwa manusia. Baginya, naluri untuk menguasai adalah sumber perilaku manusia, yang menggantikan libido, naluri kesenangan.

Dalam psikoanalisa mengenai antagonisme politik, ada penjelasan bahwa terjadi ambivalensi yaitu adanya konflik dan integrasi di dalam fenomena kekuasaan politik. Hal ini juga terkait akan perasaan seorang anak terhadap orang tuanya. Banyak ahli yang mengemukakan bahwa keluarga merupakan sel atau unit dasar dari semua masyarakat manusia, dan yakin bahwa yang terakhir dibentuk menurut pola keluarga. Simon Freud berpendapat bahwa otoritas orang tua berlaku sebagai model sampai tingkat tertentu, sebagai suatu proto tipe bagi bentuk-bentuk lain dari otoritas. Di dalam pengalaman pertama peralihan manusia dari prinsip kesenangan kepada prinsip kenyataan, orang tua memainkan peranan yang menentukan. Mereka merumuskan aturan-aturan, kewajiban-kewajiban, dan larangan-larangan yang harus diikuti oleh seorang anak. Peranan orang tua seperti ini menciptakan konflik di dalam hati seorang anak. Sampai dengan saat itu, anak dapat menerima apa adanya, semata-mata kegembiraan dan kesenangan. Kini mereka menjadi rintangan bagi


(33)

22

kesenangannya, sedangkan pada saat yang sama, anak tersebut membutuhkan orang tuanya dan tetap bergantung kepada mereka karena kelemahannya. Situasi ini secara kuat melahirkan emosi ambivalen di dalam diri seorang anak terhadap orang tuanya, secara bersamaan ada rasa cinta dan benci, juga rasa syukur dan kesebalan. Ambivalensi terhadap semua otoritas yang serentak dirasa sebagai protektif dan tak dapat ditahan, datang bukan saja dari pengalaman, yang mengungkapkan bahwa kekuasaan adalah juga berguna dan mengganggu, perlu dan memaksa, tapi dia juga mempunyai alasan-alasan yang lebih dalam, yang lebih sulit untuk dilihat.

1.2.1 Tempramen Politik

Tempramen politik adalah kategori-kategori yang berlaku untuk mengklasifikasikan individu-individu menurut perilaku dan sikap-sikapnya secara keseluruhan. Bagi sebagian orang, tempramen muncul sebagai pembawaan dari lahir yang bersifat biologis. Sedangkan bagi yang lain, tempramen didapat akibat dari hubungan-hubungan psikososial. Dalam kenyataannya, faktor-faktor ini bercampur begitu tak terpisahkan dalam proporsinya masing-masing.

Konsep tempramen politik meliputi menyoloknya faktor-faktor yang berhubungan dengan individu-individu, dan bukan terhadap struktur sosial. Paham tentang tempramen mencoba menjelaskan antagonisme sosial dalam hubungan dengan disposisi, yang kurang atau lebih bersifat bawaan. Maka, tipe-tipe tertentu orang-orang


(34)

23

didorong oleh kecenderungan-kecenderungan pribadinya kearah sikap-sikap politik tertentu, yang membawanya kepada konflik-konflik dengan tipe manusia lain yang kecenderungan pribadinya membawanya kepada sikap politik yang berlawanan. Konsep tersebut berada di dalam kerangka sebab-sebab individu bagi antagonisme politik.

a. Klasifikasi Umum Tempramen dan Sikap Politik

Klasifikasi ini dipopulerkan di Perancis oleh Rene Le Senne dan Gaston Berger. Hal ini tergantung dari 3 kriteria dasar : emotivity, activity, dan reverberation, yaitu panjangnya jangka waktu suatu ide atau citra bertahan di dalam pikiran seseorang.

Dalam hubungan dengan reverberation di wilayah politik, orang dengan tipe amorph (unemotive, inactive, primary) dan yang phlegmatics (unemotive, inactive, secondary) bisaanya indiferen terhadap perjuangan atau konflik, tidak berminat untuk memperoleh kekuasaan, menghormati kebebasan orang lain, dan dari sini moderat dan bersifat mendamaikan dalam antagonisme politik. Sebaliknya, individu yang passionate (emotive, active, secondary) dan yang choleric (emotive, active, primary) tertarik kepada pergolakan politik dan perjuangan untuk merebut kekuasaan; tipe yang pertama bisaanya para pemimpin yang otoritarian, dan tipe yang kedua bisaanya orang yang membentuk opini public, orator, dan wartawan yang pada akhirnya bisaanya tidak akan melaksanakan kekuasaan secara


(35)

24

diktatoral. Orang dengan tipe lainnya yaitu nervous (emotive, inactive, primary) dan sentimental (emotive, inactive, secondary) bisaanya orang dengan tipe revolusioner, yang pertama agak anarkis, sedang yang kedua tidak selalu enggan untuk mempergunakan metode-metode otoritarian. Orang dengan tipe apathetic (unemotive, inactive, secondary) bisaanya konservatif, dan sanguine (unemotive, active, primary) cenderung menjadi oportunis.22

b. Teori Eysenck tentang Tempramen Politik

Seorang ahli psiko-sosiologi Inggris H.J. Eysenck membangun sebuah klasifikasi tempramen politik. Klasifikasinya didasarkan pada analisa secara matematis dari jawaban-jawaban kuesioner tentang sikap-sikap politik. Sumbangannya pada ilmu sosiologi politik adalah pada penggantian klasifikasi berdimensi satu dengan berdimensi banyak, yang memakai dua sumbu : sumbu pertama adalah radikal-konservatif, dan yang kedua adalah sumbu keras-lembut.23

2. Tingkat Kolektif.

Antagonisme yang bergerak pada Tingkat kolektif adalah konflik-konflik politik yang mencerminkan perjuangan-perjuangan antar ras, persaingan-persaingan antar bangsa, propinsi-propinsi dan komunitas territorial lainnya, kompetisi antara kelompok-kelompok yang diorganisir, dan pertempuran

22

Duverger, Sosiologi Politik, hal. 200-203. 23


(36)

25 antara kelompok ideologi atau agama.24

a. Perjuangan Kelas

Banyak orang percaya bahwa antagonisme politik disebabkan oleh ketidaksamaan antara kelompok-kelompok sosial atau pun kelas-kelas sosial. Para ahli sosiologi Amerika masa sekarang menganut paham bahwa perbedaan kelas didasarkan pada perbedaan kontras antara yang kaya dengan yang miskin, yang berpunya dengan yang tidak, dan kelompok yang berprivilese dengan kelompok yang dihisap, kedalam teori tentang strata sosial. Namun, Marxisme menempatkan perbedaan kelas sosial kepada peranan yang lebih rendah dan menolak hal tersebut. Mereka berpendapat bahwa apakah yang menyebabkan kekayaan dari beberapa orang dan kemiskinan orang-orang yang lain. Karena, bilamana kekayaan dan kemiskinan hanya tergantung dari kemampuan individual dari seseorang, pada inelegensi, kekuatan, dan kemampuan bekerja, maka seharusnya tidak ada kelas. Kemiskinan dan penghisapan adalah akibat dari kelahiran dan dengan demikian mempunyai sifat turun temurun. Konsep kelas didasarkan pada ide bahwa perbedaan dalam status sosial tidak tergantung hanya pada individu-individu, akan tetapi dipaksakan kepada mereka atas cara yang khusus.

Dalam kaitannya dengan Antagonisme, hanya beberapa orang yang menyangkal bahwa antagonisme kelas adalah sumber konflik politik. Bagi kaum Marxis, antagonism kelas adalah refleksi dari perjuangan kelas, yang pada gilirannya ditentukan oleh system produksi dan system milik, yang

24


(37)

26

keduanya merupakan efek dari perkembangan teknologi.

b. Konflik-Konflik Rasial

Anagonisme politik tertentu disebabkan juga oleh konflik antar ras. Dari segi zoologis, manusia merupakan species homo sapiens, tetapi dibagi lagi menjadi beberapa varietas yang memiliki sifat turun temurun tertentu.25

Teori rasis mengatakan bahwa ras manusia yang berbeda-beda mempunyai bakat-bakat sosial dan intelektual yang tidak sama dan tidak merata. Mereka menganggap beberapa ras secara biologis lebih rendah dari yang lain, misalnya tidak mampu mengorganisir dan mempertahankan masyarakat modern pada tingkat yang maju. Namun, ras-ras tersebut yang dianggap lebih rendah, tidak mau mengakui ketidakmampuannya. Maka, terjadilah pertentangan antar ras-ras yang dianggap lebih rendah dengan ras-ras yang dianggap lebih tinggi, untuk memperoleh dan melaksanakn kekuasaan politik. Karena itu, terjadilah perlawanan melawan ras-ras superior demi menghindari penguasaan ras tersebut.

Teori-teori rasis sebenarnya tidak mempunyai nilai ilmiah. Pelariannya kepada ilmu pengetahuan adalah sebuah percobaan untuk mendapatkan pengesahan, suatu usaha yang kurang lebih secara tidak sadar untuk menutupi alasan-alasan yang secara sosial tidak dapat diterima.

Kenyataan bahwa teori-teori ras adalah palsu tidaklah menghindari terjadinya konflik-konflik rasial. Namun, bukan konflik antara ras yang

25


(38)

27

rendah atau yang lebih tinggi, namun lebih kepada konflik antara ras-ras yang berbeda-beda. Secara mendasar, ada perbedaan konflik rasial, yaitu konflik rasial vertikal dan konflik rasial horizontal.

Konflik rasial vertikal terjadi antara kelompok rasial yang dominan, yang bertempat tinggi di atas tangga sosial, dan kelompok rasial yang diperintah, yang bertempat di bawahnya. Contohnya konflik rasial antara orang-orang kulit putih dan orang-orang deng kulit hitam di tanah-tanah jajahan. Dalam konflik rasial horizontal, kedua ras yang bertentangan satu sama lain yang tidak berada dalam hubungan dominan bawahan. Contohnya adalah konflik antara suku-suku di beberapa negara Afrika saat ini.

Jika dilihat dari para pelaku konflikya, sebenarnya konflik antar ras yang terjadi saat ini bukanlah soal tentang ras-ras yang benar dalam pengertian biologis, akan tetapi tentang pseudoras, yang adalah entitas kultural daripada kelompok-kelompok biologis yang berbeda.

c. Konflik Antara Kelompok-kelompok Horizontal

Dalam konflik kelompok horizontal, setiap kelompok mencoba saling menguasai yang lain sebagai mana halnya di dalam konflik antara kelompok vertikal. Klasifikasi dari kelompok horizontal meliputi : kelompok-kelompok territorial (bangsa, propinsi, daerah-daerah, dan komuni), corporate group (profesi, asosiasi, serikat buruh),dan kelompok ideologis (partai politik, agama).26 Dalam kelompok-kelompok ini, antagonisme berkembang dengan berbagai corak, dan menjadi tameng bagi antagonisme dari jenis lain.

26


(39)

28 d. Konflik Antara Kelompok Teritorial

Kelompok-kelompok territorial didasarkan pada eksistensinya daripada melalui persamaan. Pada paruh abad kedua puluh, bangsa-bangsa masih merupakan entitas territorial yang mendasar. Di dalam masa-masa purba, kelompok-kelompok kesukuan dan kemudian di kota-kota meliputi pengelompokan-pengelompokan utama secara horizontal. Kadang, komunitas-komunitas yang besar berkembng, kemudian kita sebut sebagai imperium, seperti Mesir, Assiria, Persia, dan Roma.27

Konflik antara bangsa-bangsa cenderung diselesaikan baik dengan kekerasan (perang) atau semata-mata dengan prosedur kontraktual (perjanjian atau pun persetujuan diplomatic), bilamana tidak ada arbitrase kekuasaan politik. Kebanyakan kelompok-kelompok territorial berada di dalam bangsa-bangsa. Ada “masyarakat universal” yang lebih kecil meliputi subdivisi, seperti komune, daerah, dan provinsi. Lainnya adalah berupa subdivisi-subdivisi dari masyarakat khusus yang juga dibentuk di dalam bangsa, seperti cabang-cabang lokal dari asosiasi tertentu, perserikatan, dan masyarakat-masyarakat dari titik tilik yang terakhir, pembagian kelompok-kelompok territorial dan kelompok-kelompok korporatif gabungan satu dengan yang lain. Antagonisme dalam ranah ini berkembang tergantung dari tingkat integrasi nasional.

Ada pula kelompok-kelompok territorial di luar pengelompokan nasional, beberapa diantaranya adalah subdivisi dari masyarakat internasional. Beberapa

27


(40)

29

bangsa bisa berorganisasi menjadi blok-blok yang kurang lebih koheren, seperti NATO, blok timur, masyarakat Eropa, dan Organisasi negara-negara Amerika. Politik internasional dengan demikian didasarkan bukan saja pada antagonisme antar bangsa akan tetapi juga antagonisme antar blok bangsa-bangsa. Beberapa kelompok teritorial tertentu berada pada titik yang sama dengan bantuan nasional, misalnya di dalam gereja Katolik Roma, kita mendapatkan gereja Katolik Perancis, gereja Katolik Spanyol, dan gereja Katolik Amerika Serikat.28

Berkembangnya antagonisme antar kelompok teritorial adalah akibat dari ketidaksamaan kepemilikan, seperti pemilikan alat produksi. Aspek material dari konflik antara kelompok-kelompok teritorial kadang-kadang tersembunyi di balik ideologi dan mitos-mitos, yang membuat kontroversi tersebut kelihatannya lebih idealistis, kurang materialistis, namun tetap ada unsur dari faktor material.

Sejalan dengan unsur-unsur riil tersebut, antagonisme antara kelompok-kelompok teritorial seringkali menjadi tameng bagi konflik-konflik dari jenis lain, seperti antagonisme kelas. Nasionalisme adalah alat untuk menutupi permusuhan antara orang yang mempunyai privilege dan yang tertekan di dalam suatu negara dengan rasa solidaritas yang berasal dari menjadi anggota suatu komunitas teritorial yang sama.

Dalam hubungan tertentu, solidaritas teritorial bersifak arkaik, yang didasarkan pada masa lalu yang ingin dipeliharanya, di mana solidaritas kelas

28


(41)

30 adalah fenomena yang lebih baru.29

e. Konflik antara Kelompok-kelompok Korporatif

Seperti kelompok teritorial, kelompok korporatif juga tergantung pada berbagai jenis solidaritas melalui kesamaan. Kelompok professional adalah kelas dari kelompok korporatif yang paling penting.

Dalam arti yang sempit, kelompok korporatif mempersatukan orang yang terlibat di dalam kegiatan professional tertentu. Di dalam arti yang luas, kelompo ini dapat berarti mereka yang dididik atau dilatih di dalam sekolah yang sama, mereka yang menjadi anggota agen pemerintahan yang sama atau klasifikasi professional yang sama, maupun sosialisasi yang terdiri dari orang dengan kepentingan rekreasi yang sama (olahraga, atletik, dan asosiasi kultural).30

f. Konflik antara Kelompok-kelompok Korporatif

Kelompok-kelompok professional adalah kelas dari kelompok korporatif yang paling penting. Anggota-anggota dari suatu profesi atau organisasi mempertahankan kemajuan korporat melawan anggota-anggota dari profesi atau organisasi yang lain. Maka, ada antagonisme alami antara berbagai profesi, dan pada saat yang sama, sebuah komunitas kepentingan di kalangan anggota dalam profesi yang sama.

Secara umum, kepentingan kelas lebih kuat dari kepentingan korporat. Karena itu, antagonisme kelas lebih penting secara politik daripada

29

Duverger, Sosiologi Politik, hal. 256. 30


(42)

31

antagonisme korporat. Namun dalam beberapa wilayah tertentu, kepentingan korporat mengatasi kepentingan-kepentingan lain. Hal ini menjadi agak sering di dalam pertanian, terutama konflik antara sector pertanian dalam ekonomi dan sector industri dan sector komersial.31

Kaum Marxis beranggapan bahwa konflik korporat ini di dalam kelas sosial yang sama menjadi kontradiksi daripada antagonisme. Ini berarti bahwa konflik tersebut tidak terlalu fundamental.32

Salah satu contoh tentang kelompok-kelompok korporat yang berperan sebagai kamuflase bagi antagonisme lain adalah doktrin korporati yang berkembang pada tahun 1930-an. Ide fundamentalnya adalah untuk mengorganisir bangsa-bangsa menurut profesi, di dalam kategori horizontal, pekerja dan manager diwakili bersama dan bekerjasama di dalam di setiap korporasi. Atas doktrin ini, negara-negara fasis membinasakan serikat pekerja dan tidak memungkinkan para pekerja menyampaikan tuntutannya.

g. Konflik di Antara Kelompok-kelompok Ideologis

Kelompok-kelompok ideologis adalah kelompok dengan tubuh keyakinan ideologis yang sama. Gereja-gereja, sekte-sekte filosofis, masyarakat intelektual, dan dari partai-partai politik merupakan kelompok-kelompok ideologis. Sebuah doktin menjadi ideologi ketika suatu kelompok sosial menganutnya. Ketika ia berhenti menjadi sebagai hanya bangunan intelektual dari seorang pemiki dan menjadi suatu ekspressi dari aspirasi, keinginan dan

31

Duverger, Sosiologi Politik, hal. 264. 32


(43)

32

keyakinan suatu kelompok orang (kelas, bangsa, dll). Sampai ke tingkat bahwa kelompok ini berbeda dari kelompok lain, dan mempunyai organisasi dan lembaga, dia merupakan kelompok ideologis.33

Pada masa sekarang, partai-partai merupakan kelompok ideologis utama dari jenis politik. Kelompok-kelompok kepentingan tertentu yang berhubungan dengan politik tanpa secara langsung berurusan dengan mengejr kekuasaan, berada dalam kategori yang sama. Pada waktu lain, kelompok ideologis menerima bentuk-bentuk yang berbeda, seperti liga, asosiasi rahasia, dan organisasi-organisasi paramiliter.

Ideologi-ideologi non-politik adalah yang tidak mempunyai hubunga-hubungan langsung dengan kekuasaan, seperti ideologi agama, filosofis, dan artistic.

Setiap ideologi cenderung menjadi suatu system yang komplit untuk menjelaskan manusia dan dunia, di mana politik secara alami mendapatkan tempatnya, karena berbagai aspek kegiatan manusia tidak terlalu gampang dipisahkan satu dengan lainnya.

Seperti ideologi-ideologi politik, ideologi non-politik cenderung berfungsi sebagai basis bagi kelompok-kelompok yang kurang lebih terorganisir. Dengan demikian, agama mengambil bentuk gereja-gereja, filosofi menjadi dasar dari berbagai sekte, dan kesenian melahirkan aliran-aliran dan gerakan-gerakan dari berbagai jenis.

33


(44)

33

Hakekat ideologi membuat antagonisme kelompok-kelompok ideologi non-politik lebih militant, dan semakin fundamental ideologinya. Inilah sebab mengapa keterlibatan organisasi-organisasi gereja dan agama di dalam konflik politik pada umumnya lebih kuat dan lebih menyerap daripada kelompok-kelompok lain.34

B. Teori Elit Politik

Teori elit politik merupakan sebuah teori yang lahir dari hasil diskusi para ilmuan sosial Amerika tahun 1950-an, yaitu Schumpeter (ekonom), Lasswell (ilmuan politik) dan sosiolog C. Wright Mills. Mereka tulisan dari para pemikir Eropa masa awal munculnya fasisme, diantaranya Vilfredo Pareto dan Gaetano Mosca (Italia), Roberto Michels (seorang Jerman keturunan Swiss) dan Jose Ortega Y. Gasset (Spanyol).35

Teori elit mengemukakan bahwa di dalam kelompok penguasa (the ruling class) terdapat dua unsur; elit yang berkuasa (the ruling elite) dan elit tandingan (opposition) yang mampu meraih kekuasaan jika elit yang berkuasa kehilangan kemampuannya untuk memerintah. Elit tidak selamanya selalu digambarkan hanya terdiri dari satu kelompok, namun bisa juga berupa gabungan dari berbagai kelompok sosial. Kekuasaan merupakan alasan bagi elit atau kelompok elit untuk mengambil peranan aktif dalam politik.

Seiring berkembangnya zaman, banyak ahli politik yang

34

Duverger, Sosiologi Politik, hal. 268. 35


(45)

34

mengembangkan penafsirkan teori elit tersebut. Namun, mereka semua sepakat akan dasar dari teori tersebut bahwa ada sekelompok kecil di masyarakat yang memerintah masyarakat lainnya.

Pareto berpendapat bahwa masyarakat terdiri dari dua kelas. Pertama, kelas atas. Kelas atas adalah kelompok elit yang memerintah dan tidak memerintah. Kedua, kelas bawah atau sering disebut non-elit. Ia memusatkan perhatiannya pada elit yang memerintah saja yang menurutnya berkuasa karena bisa menggabungkan kekuasaan dan kelicikan. Kekuasaan dalam masyarakat terdapat dua kelas. Pertama, kelas yang memerintah, terdiri dari sedikit orang, melaksanakan fungsi politik, memonopoli kekuasaan, dan menikmati keuntungan-keuntungan yang ditimbulkan dengan kekuasaan. Kedua, kelas yang diperintah, yang berjumlah lebih banyak, diarahkan dan dikendalikan oleh penguasa dengan cara-cara yang kurang lebih berdasarkan hukum dan paksaan.36 Dari penjelasan diatas, kelas pertama disebut kelompok elit politik.

Lipset dan Solari berpendapat bahwa elit ialah posisi puncak dalam masyarakat pada struktur-struktur sosial yang terpenting, yaitu ekonomi, pemerintahan, aparat kemiliteran, politik, agama, pengajaran dan pekerjaan-pekerjaan bebas.37

36

Abdul Munir Mulkan, Perubahan Perilaku Politik dan polarisasi ummat islam 1965-1987 dalam perspektif Sosiologis, (Jakarta: CV Rajawali, 1989), h.56.

37Saymour Martin Lipset dan A. Solari, “Elites in Latin America”

dalam J.W. Schoorl, Modernisasi: pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara sedang Berkembang, penerjemah Soekadijo, (Jakarta: PT Gramedia, 1982), hal.128.


(46)

35

Soejono Soekanto, pakar Sosiologi Indonesia, menerangkan bahwa elit adalah :

“Kelompok orang-orang yang dalam situasi sosial tertentu menduduki posisi tertinggi, dianggap mempunyai kekuasaan besar dan hak-hak istimewa, kadang-kadang diartikan sebagai golongan aristokrat yang berkuasa karena faktor keturunan. Sering kali juga diartikan sebagai posisi-posisi dalam struktur sosial yang relatif tinggi, sehingga mereka yang menduduki posisi-posisi tersebut juga mempunyai kedudukan yang tinggi.”38

Istilah elit kemudian diartikan sebagai suatu minoritas pribadi yang diangkat untuk melayani suatu kolektivitas atau kelompok dengan cara yang bernilai sosial.39

Teori elit menjelaskan setiap masyarakat terbagi dalam dua kategori yaitu:40

1. Sekelompok kecil manusia yang berkemampuan dan karenanya menduduki posisi untuk memerintah.

2. Sejumlah besar massa yang ditakdirkan untuk diperintah.

Kelompok elit sebenarnya bersifat heterogen atau terdiri dari berbagai lapisan maupun kepentingan. Kelompok elit politik tersebut terbagi kedalam tiga tipe, yaitu:

a. Elit politik yang dalam segala tindakan berorientasi pada kepentingan pribadi atau golongan. Tipe ini cenderung bersifat tertutup atau menolak kehadiran golongan dan kelompok lain. Dalam hubungannya dengan sesama elit, tipe ini bekerjasama untuk mempertahankan keadaan yang ada. Mereka bersikap dan berperilaku yang cenderung

38

Soerjono Soekanto, Kumpulan istilah-istilah Sosiologi, (Jakarta: UI Fakultas Ilmu-ilmu Sosial, 1977), h. 51 dalam M. Mansyur Amin, dkk., Kelompok Elit dan Hubungan Sosial di Pedesaan (Jakarta: PT Pustaka Grafika Kita, 1988), h.63.

39

Suzanne Keller, Penguasa dan Kelompok Elit: Peranan Elit Penentu Dalam Masyarakat Modern, (Jakarta: CV Rajawali, 1984), hal.3.

40


(47)

36

memelihara dan mempertahankan struktur masyarakat secara jelas dapat menguntungkannya.

b. Elit politik liberal. Kelompok ini bersikap dan berperilaku yang membuka kesempatan seluas-luasnya bagi setiap warga masyarakat untuk meningkatkan status sosial mereka. Tipe ini cenderung terbuka terhadap golongan masyarakat yang bersangkutan agar mampu bersaing secara sehat untuk menjadi elit, dan menyesuaikan diri dengan lingkungan elit. Elit politik ini cenderung berorientasi pada kepentingan masyarakat umum sehingga mereka juga akan bersikap tanggap atas tuntutan masyarakat.

c. Pelawan elit. Pada tipe ini, para pemimpin berorientasi pada khalayak dengan cara menentang segala bentuk kemapanan maupun dengan cara menentang segala bentuk perubahan. Umumnya kelompok ini bersifat ekstrim, tidak toleran, anti intelektualisme, beridentitas superioritas rasial tertentu, dan menggunakan kekerasan dalam memperjuangkan aspirasinya.41

Perubahan pada proses politik terjadi oleh karena kaum elit politik mengubah sikap mereka terhadap proses tersebut. Perubahan tersebut juga bisa karena kelompok elit tersebut digantikan atau ditentang oleh satu elit yang lain karena mempunyai sikap yang berbeda terhadap proses politik.

41


(48)

37

Kaum elit yang tidak memegang kekuasaan akan lebih cenderung merasa berkepentingan dengan perluasan partisipasi politik untuk meraih kekuatan dan juga untuk mencapai tujuan-tujuan sosial, ekonomi dan politik.42

42

Samuel Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, penerjemah Sahat Simamora (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994), hal. 39-41.


(49)

38

BAB III

SURIAH SPRING

Suriah spring adalah gelombang demonstrasi di Suriah dengan tujuan menumbangkan rezim pemerintahan. Suriah spring merupakan efek domino dari peristiwa Arab spring. Arab spring mengacu kepada sebuah keadaaan saat pemerintah tidak lagi mendapatkan kedaulatan dari rakyatnya karena ketidakpuasan rakyat terhadap kinerja pemerintah akibat terjadinya korupsi, kesewenangan dalam menegakkan peraturan, dan tingginya kesenjangan sosial, sehingga mendorong rakyat untuk berusaha menggulingkan pemerintahan yang ada dan menggantinya dengan yang baru.

Revolusi tersebut memanfaatkan pemberontakan sipil dalam kampanye dengan melibatkan serangan, demonstrasi, pawai, dan pemanfaatan media sosial seperti Facebook, Twitter, Youtube, dan Skype. Tujuannya ialah mengorganisir dan meningkatkan kesadaran khalayak terhadap usaha-usaha penekanan dan penyensoran internet oleh pemerintah.43

Motor penggerak revolusi tersebut adalah para pemuda berpendidikan di masing-masing negara Timur Tengah yang dilanda revolusi. Revolusi tersebut menekankan bahwa kekuasaan otoriter sudah tidak tepat diterapkan di negara Timur Tengah dan ingin mengubahnya menjadi demokrasi.

Arab Spring yang dimulai pada tanggal 18 Desember 2010 di negara Tunisia kemudian menjalar ke negara-negara Arab lain diantaranya; Mesir,

43


(50)

39

Libya, Bahrain, Oman, Aljazair, Irak, Yordania, Maroko, Kuwait, Lebanon, Sudan, dan perbatasan Israel.

Dalam kekusutan revolusi di Timur Tengah, tidak sedikit campur tangan pihak asing yang turut memanfaatkan momentum tersebut seperti Cina, Rusia, Amerika Serikat.

1. Lahirnya Negara Suriah

Suriah pada awalnya merupakan bagian dari negara Republik Arab.44 Nama Suriah atau Syria berasal dari bahasa Arab, al-Sham atau Levant dalam bahasa Inggris. Daerah yang ditunjuk oleh kata ini telah berubah dari waktu ke waktu. Suriah terletak di ujung timur Mediterania, antara Mesir dan Saudi Arabia di selatan dan Kilikia di utara, Peregangan pedalaman untuk memasukkan Mesopotamia, dan memiliki batas pasti ke timur laut yang menggambarkan dari barat ke timur, Commagene, Sophene , dan Adiabene. Keadaan geografi merupakan faktor yang sangat menentukan dalam sejarah Suriah.45 Suriah memiliki bahasa resmi bahasa Arab dengan satuan mata uang Pound Syria.

Sebagai sebuah negara dengan berbagai entitas46 di dalamnya, Suriah

44

H. Munawir Sjadzali, M.A, Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, 5th ed. (Jakarta : UI-Press, 2008), hal. 224.

45

Suriah terletak di pantai Timur Laut Tengah; di utara berbatasan dengan Turki, di timur berbatasan dengan Irak, di barat berbatasan dengan Lebanon dan Laut Tengah, di selatan berbatasan Yordania dan Israel, beribu kotakan Damaskus Luasnya 185.180 km2, penduduknya 12.254.000, kepadatan penduduk 66/km2. Sumber : Ensiklopedia Islam, PT Ichtiar Baru Van Hoeve 1999, hal 321, tetapi dalam Ensiklopedi Geografi, Intermassa, cetakan tahun 1990, hal 217, bahwa penduduk Syiria berjumlah 12.210.000, dan kepadatan penduduk 65/km2.

46


(51)

40

terdiri atas mayoritas komunitas Muslim Sunni 75%, yang secara historis tetap dominan, dan beberapa komunitas minoritas lainnya; Kristen 19%, dan beberapa sekte Islam heterodoks, Alawiy 11,5%, Druze 3%, dan Ismailiy 1,5%, yang sebagian besar di pedesaan, khususnya kaum Alawiy.47

Keadaan geografi merupakan faktor yang sangat menentukan dalam sejarah Suriah, negeri yang sudah dihuni manusia sejak zaman batu. Bukti arkeologi menunjukkan bahwa Suriah pernah menjadi salah satu pusat peradaban tertua di dunia. Karena terletak di persilangan jalur perdagangan dan militer antara Laut Tengah, Mesopotamia, dan Mesir, maka Suriah menjadi sasaran penyerbuan dari negara-negara tetangganya.

Suriah juga merupakan tempat sejarah Kekristenan yang paling berpengaruh; Saulus dari Tarsus telah melewati Jalan ke Damaskus, kemudian dikenal sebagai Rasul Paulus, dan muncul sebagai tokoh penting dalam Gereja Kristen terorganisir pertama di Antiokhia di Suriah kuno, yang mana ia meninggalkan jejak perjalanan misionaris.

Pada 1920, Kerajaan Suriah didirikan oleh Faisal I dari keluarga Hashimiah, yang kemudian menjadi Raja Irak . Namun, pemerintahannya di Suriah berakhir setelah hanya beberapa bulan, setelah bentrokan antara pasukan Arab Suriah dan pasukan Perancis pada Pertempuran Maysalun. Pasukan Perancis menduduki Suriah setelah konferensi San Remo dan

tidak harus dalam bentuk fisik.

47


(52)

41

meminta kepada Liga Bangsa-Bangsa untuk menempatkan Suriah di bawah mandat Perancis.48

Pada tahun 1925 Sultan Pasha al-Atrash memimpin pemberontakan di Druze dan menyebar ke seluruh bagian Suriah dan Lebanon. Hal ini dianggap sebagai salah satu revolusi yang paling penting terhadap mandat Perancis, karena pertempuran mencakup seluruh Suriah dan menyaksikan pertempuran sengit antara pemberontak dan pasukan Prancis. Pada 23 Agustus 1925 Sultan Pasha al-Atrash resmi menyatakan revolusi melawan Perancis, dan segera meletus pertempuran di Damaskus, Homs dan Hama. Al-Atrash memenangkan beberapa pertempuran melawan Prancis pada awal revolusi, terutama Pertempuran Al-Kabir pada tanggal 21 Juli 1925, Pertempuran al-Mazra pada tanggal 2 Agustus 1925, dan pertempuran di dataran Almsifarh dan Suwayda.

Setelah mengalami kekalahan, kemudian Perancis mengirimkan ribuan pasukan ke Suriah dan Libanon dari Maroko dan Senegal yang dilengkapi dengan senjata modern. Hal ini secara dramatis mengubah hasil pertempuran dan mengizinkan Prancis untuk memperoleh kembali banyak kota, meskipun perlawanan berlangsung sampai musim semi 1927. Perancis menghukum mati Sultan al-Atrash, tapi ia melarikan diri dan kemudian para pemberontak akhirnya diampuni oleh Perancis. Ia kembali ke Suriah pada 1937 setelah penandatanganan Perjanjian Perancis – Suriah.

48

Peter N Stearns, William Leonard Langer, Ensiklopedi of World History “The Midle East”, Houghton Mifflin Books, London, hal 761.


(53)

42

Suriah dan Perancis merundingkan 7% perjanjian kemerdekaan pada bulan September 1936, dan Hashim al-Atassi, yang merupakan Perdana Menteri di bawah pemerintahan Raja Faisal, adalah presiden pertama yang dipilih di bawah konstitusi baru, yang juga merupakan titik awal pertama dari republik modern Suriah. Namun, perjanjian tersebut tidak pernah berlaku karena legislatif Perancis menolak untuk meratifikasinya. Dengan jatuhnya Perancis pada tahun 1940 selama Perang Dunia II, Suriah berada di bawah kontrol Pemerintah Vichy sampai Inggris dan Perancis Merdeka dan menduduki negara itu kembali pada bulan Juli 1941. Suriah memproklamirkan kemerdekaannya lagi tahun 1941, namun tidak sampai 1 Januari 1944 negara tersebut diakui sebagai republik merdeka. Pada bulan April 1946, Prancis mengundurkan tentara mereka karena mendapat tekanan dari kelompok-kelompok nasionalis Suriah dan Inggris, dan kemudian meninggalkan Suriah di tangan pemerintahan republik yang telah terbentuk selama mandat.49

Melihat ada cara untuk mempertahankan posisinya melalui manuver dalam negeri, pemerintah Suriah berbalik ke Mesir dan meminta bantuan kepada Presiden Gamal Abdul Nasser. Diskusi tentang persatuan antara Suriah dan Mesir telah dilaksanakan pada tahun 1956 tetapi sempat tergangu oleh krisis Terusan Suez. Kemudian opsi tentang persatuan Mesir dan Suriah kembali dibicarakan pada bulan Desember 1957, ketika Partai Ba‟ath mengumumkan bahwa telah terjadi perundingan untuk bersatu dengan Mesir.

49

Background : Syria “bureau of Near Eastren Affairs”, United States Dapartment of State, May 2007.


(54)

43

Persatuan Suriah dan Mesir di Republik Persatuan Arab (RPA) diumumkan pada tanggal 1 Februari 1958, dan kemudian diratifikasi oleh plebisit50 di setiap negara. Namun, bentuk RPA bukan seperti apa yang telah disiapkan oleh para anggota partai Ba‟ath. Salah satu alasan Nasser untuk menyutujui bentuk serikat adalah bahwa kedua negara benar-benar terintegrasi. Persatuan ini tidak berjalan lama, sehingga pada 28 September 1961 terjadi kudeta militer dan membuat Suriah akhirnya memisahkan diri dan kembali menjadi negara Republik Suriah. Kemudian, kabinet baru dibentuk dengan partai Ba‟ath sebagai penguasanya.

Kudeta militer kembali terjadi di Suriah pada 13 Nopember 1970, dimana Menteri Pertahanan Suriah pada masa itu, Hafiz al-Assad, menobatkan dirinya sebagai Perdana Menteri.

Selama Suriah berada di bawah kepemimpinan Hafez Al-Assad, hingga ia tutup usia pada 10 Juni 2000. Kemudian, tampuk kepemimpinan dilanjutkan oleh anaknya, Bashar Al-Assad, hingga saat ini.

2. Transisi Kepemimpinan kepada Bashar al-Asad

Presiden Suriah hingga saat ini adalah Bashar al-Asad. Ia menjabat sebagai presiden sejak tahun 2000 menggantikan mendiang ayahnya, Hafiz al-Asad yang meninggal pada tahun yang sama. Selain sebagai presiden, Bashar juga menjabat sebagai Sekertaris Wilayah partai Ba‟ath.

50


(55)

44

Pada mulanya, pilihan untuk meneruskan tampuk kepemimpinan jatuh kepada Rif‟at Al-Asad, yang merupakan adik dari Hafiz Al-Asad, kepala pusat pertahanan, sebelum akhirnya badan tersebut bergabung kedalam

Syirian Army pada pertengahan tahun1980an. Namun akhirnya, kepercayaan padanya hilang setelah ia terang-terangan melakukan konspirasi untuk menurunkan kakaknya, Hafiz Al-Asad, saat ia koma.

Setelah sembuh dari koma, Hafiz mulai menurunkan adiknya dari kursi pemerintahan, dan berakhir dengan pemecatan Rif‟at dari posisinya sebagai wakil Presiden bagian keamanan nasional.

Pilihan selanjutnya untuk meneruskan kepemimpinan jatuh kepada anak tertuanya, Basil Al-Asad. Pada permulaan tahun 1990, Hafiz bekerja keras mempersiapkan Basil untuk menjadi presiden Suriah selanjutnya. Namun, kecelakaan mobil pada tahun 1994 telah merenggut nyawa Basil.

Ketika saudaranya meninggal dalam kecelakaan, Bashar Al-Asad, salah satu anak laki-laki Hafiz, sedang menempuh pendidikan dokter spesialis mata (ophthalmology)51. Pidato resmi selama pemakaman Basil, berkali-kali mengarahkan bahwa penerus selanjutnya adalah Bashar. Segera setelah itu, usaha peningkatan kekuasaan pada Bashar pun dimulai. Ia ditugaskan untuk menggantikan posisi kakakanya, Basil Al-Asad, sebagai pasukan penjaga keamanan negara. Setelah tahun 1998, ia dipercayakan untuk mengemban tanggung jawab atas kebijakan negara Suriah terhadap Lebanon dan memimpin kampanye melawan korupsi.

51

Oftalmologi adalah spesialis medis yang berurusan dengan diagnosis dan pengobatan gangguan yang mempengaruhi mata dan bagian terkait dari sistem visual.


(56)

45

Bashar dilatih secara bertahap agar siap menggantikan ayahnya sebagai presiden. Persiapan tersebut dilakukan melalui tiga tahap; pertama, dibangun sebuah kekuatan dukungan untuk Bashar di bidang militer dan perlindungan. Kedua, membangun kesan dan figur sosok seorang Bashar al-Asad. Ketiga, Bashar diperkenalkan lebih mendalam dengan mekanisme untuk mengatur negara. Sementara persiapan Bashar terus dilaksanakan, Hafiz Al-Asad secara hati-hati terus mengganti anggota pasukan keamanan yang terlihat menolak pengangkatan Bashar sebagai penggantinya kelak. Salah satu orang terkemuka yang ikut dicopot dari posisinya adalah Hikmat al-Shihabi52, seorang kepala staff angkatan bersenjata.53

Transisi kepemimpinan Hafiz Al-Asad kepada putranya, Bashar Al-Asad, tahun 2000 berjalan begitu lancar. Tidak ada pergolakan menentang kepemimpinan Bashar saat itu. Untuk meluruskan rencana tersebut, Hafiz pun telah merubah konstitusi perihal batas minimal seseorang untuk menjadi presiden yaitu menjadi minimal 34 tahun agar Bashar bisa segera menduduki posisi presiden tersebut. Untuk mencapai posisi presiden itu pun, Bashar Al-Asad mendapat kenaikan pangkat menjadi Letnan Jenderal dan menetapkannya sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata Suriah. Transisi kepemimpinan tersebut tidak lepas dari peran para petinggi di

52Hikmat al-Shihabi

(8 Januari 1931 – 5 Maret 2013) adalah seorang perwira militer Suriah, yang pernah menjabat sebagai kepala staf pasukan militer Suriah antara 1974 hingga 1998. Shihabi lahir dari sebuah keluarga Sunni pada tahun 1931 di kota Al Bab, propinsi Aleppo. Ia meniti karir militernya dengan masuk di sekolah militer Suriah di kota Homs dan kemudian ia melanjutkan pendidikan militernya di Amerika Serikat.

53Nadjib Ghadbian “The New Asad Dynamics of Continuity and Change in Syria” Middle East Journal, Vol.55, No. 4 (2001) hal. 626


(1)

93

Berselang beberapa bulan, penahanan 15 anak sekolah di kota Deraa akibat mencoret-coret dinding dengan tulisan As-Shaab Yoreed Eskaat el nizam (rakyat ingin menumbangkan rezim) membuat geram para orang tua sehingga melahirkan protes di kota tersebut. Tuntutan yang dilayangkan para orang tua ditanggapi dengan kekerasan oleh pasukan keamanan sehingga menyulut api kebencian dan melahirkan protes yang lebih besar. Rakyat menggunakan masjid sebagai tempat konsolidasi sebelum demonstrasi, karena hanya masjid tempat yang tidak dicurigai sebagai tempat berkumpul.

Kemudian, kebijakan militer juga ikut berpengaruh atas kondisi Suriah saat itu. Penempatan mata-mata untuk rakyat yang dibayar hingga 40 dollar per hari dan kebijakan darurat militer membuat anggaran belanja negara 50 persen digunakan untuk kebutuhan militer tersebut.

Selanjutnya, setelah kepemimpinan Hafiz al-Asad, strata sosial di Suriah menjadi terbalik dengan kelompok-kelompok minoritas terutama Alawie menguasai baik itu militer, disusul dengan pemerintahan, kemudian ekonomi.

Kemudahan bisnis yang dirasakan oleh kelompok Alawie dan kerabat-kerabat terdekat rezim tidak dirasaka pula oleh mayoritas warga Suriah yang beraliran Sunni. Hal tersebut membuat kesenjangan ekonomi semakin hari semakin besar.


(2)

94

Ditambah dengan korupsi, kelebihan tenaga kerja, dan inefisiensi atau tidak tepat guna dalam mengelola keuangan negara membuat keadaan negara semakin terpuruk.

Kemudian, para intelektual Damaskus Spring yang pernah ada di awal pemerintahan Bashar al-Asad juga berperan penting dalam revolusi di Suriah. Para intelektual yang sempat berkembang pemikirannya kemudian dikungkung kembali membuat benih-benih kebebasan berekspresi, dan kebebasan pers ingin mereka rasakan kembali. Suriah Spring menjadi momentum penting bagi mereka untuk mengulang kembali kenyamanan kebebasasan berekspresi, berpolitik, dan kebebasan pers seperti di negara lain.

Selanjutnya, konflik Sunni dengan kelompok Alawie di Suriah menjadi alasan mendasar sikap anti rezim yang ditunjukkan oleh mayoritas rakyat Suriah. Kelompok Sunni Arab yang merasa derajatnya lebih tinggi ketimbang kelompok mahzab lain di negeri Arab, menginginkan negara persatuan dan menyingkirkan kelompok-kelompok minoritas yang dianggap murtad. Sikap tersebut membuat strata sosial yang hampir absolut hingga datang pemerintah Perancis dan merangkul kelompok minoritas. Kesempatan tersebut digunakan dengan baik oleh kelompok-kelompok minoritas terutama Alawie hingga dapat menguasai pemerintahan, kemudian membalikkan keadaan dimana kelompok Alawie berkuasa atas kelompok Sunni.


(3)

95 B. Saran

Cronycracy (pemerintahan yang berdasarkan kekerabatan) yang diterapkan oleh rezim al-Asad takkan membawa dampak baik yang berkepanjangan baik untuk rezim itu sendiri maupun rakyat Suriah secara luas. Sejatinya hal tersebut hanya akan membuat rasa iri yang semakin besar bagi kelompok yang terpinggirkan.

Keberadaan intelejen di tengah-tengah masyarakat pun hanya akan memperbesar anggaran belanja negara di bidang keamanan tanpa melihat keamanan yang sesungguhnya dibutuhkan rakyat adalah keamanan dari penindasan pasukan keamanan.

Dalam konteks konflik Suriah, ada kelompok yang memanfaatkan status quo yang mereka peroleh untuk mendapatkan keuntungan atas kelompok lain. Hal tersebut sah saja selama regulasi di negara tersebut tidak tumpang tindih dan memang ditujukan untuk kesejahteraan rakyat. Seyogyanya rezim al-Asad tidak lagi menerapkan kebijakan devide and rule seperti yang diterapkan pemerintah Perancis, karena tidak akan menjaga keutuhan negara dengan memecahbelah rakyatnya sendiri. Sudah waktunya pemerintahan Bashar al-Asad menerapkan kesetaraan dan pemerataan ekonomi, serta disusul dengan hal-hal lain yang juga mendukung keamanan dan kesejahteraan rakyat seperti, kebebasan pers, kebebasan berekspresi, dan politik.


(4)

96

Daftar Pustaka

ABM, M. Agastya. Arab Spring : Badai Revolusi Timur Tengah. Jogjakarta : Penerbit IRCiSoD, 2013.

Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009.

Duverger,Maurice. Sosiologi Politik. Penerjemah Daniel Dhakidae. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2005.

Fildis, Ayse Tekdal. “Roots of Alawie-Sunni Rivalry in Syria.” Proquest Journal

diakses pada 3 Mei 2015

Gamaghelyan, Philip. “A Caution against Framing Syria as an Assad –

Opposition Dichotomy,” Turkish Policy Quarterly, March 2013: h. 104.

Ghadbian, Nadjib. “The New Asad Dynamics of Continuity and Change in

Syria.” Middle East Journal, Vol.55, No. 4 (2001) h. 626-634

Hunter, Shireen T. Politik Kebangkitan Islam . Penerbit Tiara Wacana, 2001.

Huntington, Samuel dan Nelson, Joan. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Penerjemah Sahat Simamora. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994.

Idrus, Muhammad. Metode Penelitian Ilmu Sosial : Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif. Jakarta : Erlangga, 2009.

Keller, Suzanne. Penguasa dan Kelompok Elit: Peranan Elit Penentu Dalam Masyarakat Modern. Jakarta: CV Rajawali, 1984.

Kuncahyono, Trias. Musim Semi di Suriah: Anak-anak Penyulut Revolusi. Jakarta: Penerbit Kompas, 2012.


(5)

97

Lipset, Saymour Martin dan A. Solari. Elites in Latin America. Dalam J.W.

Schoorl, Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara Sedang Berkembang. Penerjemah Soekadijo. Jakarta: PT Gramedia, 1982: h. 128.

Mulkan, Abdul Munir. Perubahan Perilaku Politik dan Polarisasi Ummat Islam 1965-1987 dalam Perspektif Sosiologis. Jakarta: CV Rajawali, 1989. S. Nasution. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif . Bandung : Tarsito, 2003. S.P. Varma. Teori Politik Modern. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995. Shibudi, Riza. Menyandera Timur Tengah. Hikmah Publishing House, 2007.

N Stearns, Peter dan Langer, William Leonard. “The Middle East.” Dalam

Ensiclopedia of World History. London : Houghton Mifflin Books, h. 761. Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. 5th

ed. Jakarta : UI-Press, 2008.

Soekanto, Soerjono. Kumpulan istilah-istilah Sosiologi. Jakarta: UI Fakultas

Ilmu- ilmu Sosial, 1977: h. 51. Dalam M. Mansyur Amin, dkk., Kelompok Elit dan Hubungan Sosial di Pedesaan. Jakarta: PT Pustaka Grafika Kita, 1988: h. 63.

Surbekti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Grasindo, 1992.

Sulaeman, Dina Y. Prahara Suriah : Membongkar Persekongkolan Multinasiona. Depok: Pustaka Iman, 2013.

Sumber Website

“99 group petition,” artikel diakses pada 5 Juli 2015 dari

http://www.meforum.org/meib/articles/0010_sdoc0927.html

“1982 : Syria‟s President Hafez Al-Assad crushes renellion in Hama,” artikel diakses

pada 5 Juli 2015 dari http://www.theguardian.com/theguardian/from-the-archive-blog/2011/aug/01/hama-syria-massacre-1982-archive


(6)

98

“Arab Spring.” artikel diakses pada 6 November 2013 dari

http://www.wikipedia.com/ArabSpring. Html

Deutsche Welle. “Penarikan Pasukan Suriah dari Lebanon.” Artikel diakses pada 18 Mei 2015 dari http://www.dw.de/penarikan-pasukan-suriah-dari-lebanon/a-2957553

Deutsche Welle. “AS JatuhkanSanksi Terhadap Suriah.” Artikel diakses pada 18

Mei 2015 dari http://www.dw.de/as-jatuhkan-sanksi-terhadap-suriah/a 2953511

Basyar, M. Hamdan. “Krisis Suriah dan Pengaruhnya Bagi Dunia Islam,” artikel diakses pada 5 Juli 2015 dari http://ismes.net/2013/01/krisis-suriah-dan-pengaruhnya-bagi-dunia-islam/