Strategi Amerika Serikat dalam merespon konflik Suriah-Israel periode 2002-2008

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

Andhini Citra Pertiwi

109083000064

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

Serikat dalam merespon konflik Suriah dan Israel pada periode 2002-2008. Penelitian ini menggunakan teori Regional Security Complex, konsep strategi Balance of Power

dan kepentingan nasional. Amerika Serikat menempuh langkah-langkah yang kontradiktif dalam kasus ini, karena memilih strategi yang konfrontatif dan kooperatif. Strategi Amerika Serikat dalam merespon Konflik Suriah – Israel tahun 2002 – 2008 didasari oleh National Security Strategy tahun 2002 yang implementasinya adalah (1) mengadakan pembicaraan damai yaitu Konferensi Jenewa dan Konferensi Anapolis; (2) mengadakan kerjasama kontra terorisme; (3) memberikan bantuan ekonomi dan militer kepada Suriah dan Israel; (4) mengeluarkan Syria Accountability Act; (5) menutup Kedutaan Besar AS di Suriah; (6) mendukung tindakan konfrontatif Israel atas Suriah. Strategi ini ditempuh untuk mencapai kepentingan nasional AS, adanya Doktrin Bush dan menjaga balance of power di Timur Tengah.

KEYWORDS: BALANCE OF POWER; BUSH DOCTRINE; NATIONAL INTEREST; US NATIONAL SECURITY STRATEGY; NEOCONSERVATIVE; REGIONAL SECURITY COMPLEX; STRATEGY; SYRIA ACCOUNTABILITY ACT;


(6)

Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Sholawat dan salam pun selalu tercurah kepada baginda Rasulullah SAW, suri tauladan terbaik sepanjang masa yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju zaman terang dengan cahaya Al Quran.

Penulis juga ingin mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada lima sosok manusia yang paling penting dalam hidup penulis yaitu Mama Krisna Sesnita, Papa Iswandi Taruhun, Abang (alm) Zacky Yudha Perwira, Abang Andhika Yudha Perwira dan Adek Umar Mursid yang senantiasa mendoakan, menemani dan berjuang bersama penulis.

Penulis menyadari bahwa selesainya skripsi yang berjudul “Strategi Amerika

Serikat dalam Merespon Konflik Suriah-Israel Periode 2002 – 2008” adalah berkat adanya bimbingan, arahan, bantuan, dukungan dan doa yang diberikan oleh berbagai pihak kepada penulis. Untuk itu dengan ketulusan hati penulis ingin menghanturkan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Debbie Affianty M.Si, Kepala Jurusan HI UIN Jakarta sekaligus pembimbing skripsi yang luar biasa bagi penulis. Terimakasih yang setulus-tulusnya karena telah membimbing dan mendidik penulis dengan penuh kesabaran, kepedulian, kecerdasan dan kebijaksanaan. Bahkan saat sakit, beliau masih mengingat janji konsultasi dengan penulis. Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya jika selama proses pembuatan skripsi ini, seringkali merepotkan dan mengecewakan beliau. Penulis benar-benar bersyukur dapat dibimbing oleh pendidik sehebat beliau. 2. Bapak Dr. Basham Al Khatib Charge d’Affaires Republik Arab Suriah

untuk Indonesia, yang telah berbaik hati menyediakan waktu (dan kopi Suriah) untuk wawancara yang telah membuka wawasan penulis dalam memandang permasalahan penelitian serta memberikan nasehat kepada penulis untuk menjadi scholars muslim yang kritis terhadap tiap informasi.

3. Ayahanda Drs. Armein Daulay M.Si, atas semua ilmu, nasehat dan perhatian yang diberikan kepada penulis selama ini.

4. Bapak Agus Nilmada M.Si selaku Sekretaris Prodi HI FISIP UIN serta Bapak dan Ibu Dosen Prodi Hubungan Internasional atas ilmu, nasehat dan motivasinya selama ini. Semoga penulis dapat terus mengamalkan ilmu yang telah diberikan, sehingga dapat menjadi amal jariyah yang tak terputus bagi Bapak dan Ibu. Terimakasih juga kepada Pak Jajang yang


(7)

staf Perpustakaan Utama UIN Jakarta yang sangat membantu dalam proses pengumpulan data-data skripsi ini.

6. Ibunda Ir. Yarsi Berlianti, terimakasih atas dukungannya kepada penulis selama ini.

7. Segenap keluarga besar Kamil dan keluarga besar Taruhun yang telah mencurahkan kasih sayang dan dukungan kepada penulis. Serta kepada Ibunda Marhamah yang selalu menyemangati dan memberikan inspirasi kepada penulis

8. Mbak Suhati atas segala nasehat serta dedikasinya dalam menyiapkan makanan yang bergizi dan membersihkan rumah sehingga penulis nyaman dan sehat dalam mencari ilmu dan mengerjakan skripsi.

9. Nekad Travelers: Marina Ika Sari, Mirna Asnur, Dyah Widowati Kusumaningputri dan Putri Sri Tanjung yang telah menjadi saudari terbaik penulis sehingga hari-hari penulis sebagai mahasiswa sangat seru dan berwarna.

10.Sahabat-sahabat tersayang penulis: Elhumairoh Wijaya, Dwi Cahya Yuliani, Aisyah Kemala, Mely Chintya Devi, Norman Hendrawan Gultom dan Nuzulul Dina atas kebersamaan dan motivasinya agar penulis segera lulus.

11.Fuzi Fauziah, yang telah membantu dan memotivasi penulis dalam proses pengesahan skripsi ini.

12.Teman-teman HI 2009 terimakasih untuk kebersamaannya selama ini khususnya untuk kelas B: Dani, Dewi, Dwita, Anggi, Fadhli, Fajar, Valdy, Ismet, Satria, Dafi, Bagus, Dimas, Risky, Eka, Rajif, Edwin, Heri, Nabiel, Farhan, Noufal, Imam, Aziz, Fajri, Imi.

13.Kakak-kakak HI Angkatan 2007 sampai adik-adik HI angkatan 2011 terutama Peni, Detty, Isti, Mila dan Shofi serta seluruh civitas akademika yang tidak penulis sebutkan disini tetapi akan terus penulis ingat eksistensinya.

14.Pengurus Ikatan Pelajar Muhammadiyah Cabang Pamulang dan IPM Tangerang Selatan Periode 2012 – 2014, tempat penulis banyak belajar tentang hidup.

15.Kepada kucing dan kelinci penulis yang selalu menemani penulis begadang saat mengerjakan skripsi dan tugas – tugas kuliah. Juga kepada


(8)

penulis.

Akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini belumlah sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang konstruktif akan sangat penulis hargai untuk proses penyempurnaan tulisan ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah khazanah ilmu pengetahuan hubungan internasional khususnya dalam ranah strategi.

Nuun Wal Qolami Wamaa Yasthuruun

Pondok Petir, 28 November 2014 Penulis, Andhini Citra Pertiwi


(9)

DAFTAR ISI...viii

DAFTAR TABEL...xi

DAFTAR ILUSTRASI...xii

DAFTAR SINGKATAN...xiii

DAFTAR LAMPIRAN...xv

BAB I : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah...1

1.2 Pertanyaan Penelitian...6

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian...6

1.4 Tinjauan Pustaka ...6

1.5 Kerangka Teoritis 1.5.1 Teori Regional Security Complex...9

1.5.2 Strategi...9

1.5.2 Kepentingan Nasional………..…….12

1.5.3 Balance of Power………...….14


(10)

DAN ISRAEL PERIODE 2002 – 2008

2.1 Posisi AS di Timur Tengah………20

2.2 Strategi AS dalam Merespon Konflik Suriah – Israel Periode 2002 –2008………...25

2.2.1 Strategi Kooperatif AS dalam merespon Konflik Suriah – Israel Periode 2002 –2008………...27

2.2.2 Strategi Konfrontatif AS dalam merespon Konflik Suriah- Israel periode 2002 –2008……….35

BAB III : KONFLIK SURIAH DAN ISRAEL PERIODE 2002 - 2008 3.1 Sejarah Konflik Suriah dan Israel ……….40

3.2 Okupasi dan Aneksasi Dataran Tinggi Golan………...41

3.3 Konflik Perbatasan………...48

3.4 Konflik Pengaruh antara Suriah dan Israel di Lebanon………...52


(11)

4.1 Mencapai Kepentingan Nasional di bidang Ekonomi, Kesehatan

dan Keamanan melalui Inovasi IPTEK ………70

4.2 Pengaruh dari Doktrin Bush………..75

4.3 Menciptakan Balance of Power di Timur Tengah………86

BAB V : KESIMPULAN………92

DAFTAR PUSTAKA...xv


(12)

Periode 2002 – 2008………... ...20

Tabel 2.2 Lima Negara Donor Terbesar di Timur Tengah Periode 2002 – 2008……23

Tabel 2.3 Sepuluh Negara yang Mendapatkan Bantuan Keuangan Terbesar dari AS Tahun 2008………...30 Tabel 2.4 Bantuan Luar Negeri AS kepada Negara Arab periode 1946 – 2010……..31 Tabel 2.5 Peningkatan Bantuan Militer AS kepada Israel Periode 2006 – 2008…....32

Tabel 3.1 Perbandingan Perolehan Suara Koalisi March 8 dan March 14………….59

Tabel 4.1 Perdagangan AS – Suriah tahun 2006-2007...69 Tabel 4.2 Nilai Ekspor dan Impor AS – Israel Periode 2002 –2008………..70 Tabel 4.3 Ilustrasi Hubungan antara Prinsip Neokonservatisme dalam Pembuatan Kebijakan Luar Negeri AS, Doktrin Bush dan National Security Strategy 2002…...80 Tabel 4.4 Military Balance Anggaran Militer Israel dan Suriah……….89


(13)

Ilustrasi 1.1 Model Strategi Art Lykke………...10

Ilustrasi 2.1 Diagram Distribusi Bantuan Regional AS Tahun 2004………..24

Ilustrasi 3.1 Peta Dataran Tinggi Golan………..43

Ilustrasi 3.2. Penetapan Garis Perbatasan 1923, 1949 dan 1967………...51

Ilustrasi 3.3 Pembagian Wilayah Suriah – Israel sesuai Resolusi DK PBB nomor 350 Tahun 1974 ………....51

Ilustrasi 4.1 Hubungan antara Prinsip Neokonservatisme, Doktrin Bush dan National Security Strategy 2002………....……79


(14)

AIPAC : American Israel Public Advisory Committee

AS : Amerika Serikat

BoP : Balance of Power

DK PBB : Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa FMF : Foreign Military Financing

PBB : Prserikatan Bangsa Bangsa PM : Perdana Menteri


(15)

(16)

1.1 Latar Belakang Masalah

Skripsi ini membahas strategi Amerika Serikat dalam merespon konflik Suriah – Israel periode 2002 – 2008. Republik Arab Suriah (Al-Jumhūriyyah al -Arabiyyah as-Sūriyyah) dan Israel (Medīnat Yisrā'el) adalah dua negara yang berada di Asia Barat. Sejarah kedua negara ini berawal dari kekalahan Kerajaan Ottoman di Perang Dunia I tahun 1918. Kerajaan Otoman adalah kerajaan yang berpusat di Anatolia (saat ini Turki) dan mendominasi Timur Tengah, Afrika Utara dan Eropa bagian tenggara di abad ke-15 sampai ke-16 (Chary 2009:587). Kekalahan Kerajaan Ottoman dalam Perang Dunia I menyebabkan wilayah-wilayah Kerajaan Ottoman dikuasai oleh dua negara pemenang Perang Dunia I yaitu Perancis dan Inggris (Smith dan Youngs 2010:2). Melalui Perjanjian Sykes

– Picot 1916, Perancis menguasai Suriah dan Lebanon. Di sisi lain, Inggris menguasai Yordania (yang kemudian dibagi menjadi Palestina dan Israel) dan Irak (Philips 2010:39). Liga Bangsa-bangsa mengesahkan hasil perjanjian Sykes Picot secara resmi pada tahun 1922 (Philips 2010:40).

Pada 1944 Suriah memproklamirkan kemerdekaan dari Perancis (Philips 2010:41). Kemudian tahun 1958 Suriah bergabung dengan Mesir membentuk

United Arab Republic, namun pada 1961 United Arab Republic terpecah lagi dan Suriah kembali menjadi Republik Arab Suriah (Philips 2010:44). Sedangkan Inggris melalui Deklarasi Balfour 1917 membuka peluang berdirinya Negara


(17)

Yahudi di tanah Palestina. Hal ini diperkuat dengan dikeluarkannya Resolusi 181 oleh Majelis Umum Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang pembagian wilayah Palestina menjadi Israel, Palestina dan Kota Yerussalem yang berada di bawah administrasi PBB. Pada 14 Mei 1948, sehari sebelum mandat Inggris berakhir, Israel mendeklarasikan kemerdekaannya (Zannoti 2012:2).

Negara-negara Arab termasuk Suriah tidak setuju dengan kemerdekaan Israel di atas tanah Palestina dan hendak mengagalkan pembentukan negara Israel, oleh karena itu mereka menyerang Israel pada tahun 1948. Peristiwa ini dikenal dengan Perang Arab – Israel I. Negara-negara Arab mengalami kekalahan dalam perang ini karena Israel mendapatkan bantuan dari Amerika Serikat (AS) (Foundation for Middle East Peace 1992:1).

Kemudian Suriah dan negara-negara Arab menyerang Israel lagi di tahun 1967. Pada perang Arab – Israel II ini, negara-negara Arab kembali mengalami kekalahan karena alasan yang sama bahkan Israel berhasil mengokupasi beberapa wilayah Arab seperti Dataran Tinggi Golan (dari Suriah), Semenanjung Sinai (dari Mesir), Tepi Barat dan Gaza (menurut Resolusi 181 masuk dalam wilayah Palestina) (Foundation for Middle East Peace 1992:1). Negara-negara Arab kembali menyerang Israel di tahun 1974 untuk merebut daerah-daerah yang diokupasi dalam Perang 1967, namun kembali gagal karena Israel tetap dibantu oleh AS.

Negara-negara Arab yang mayoritas merupakan anggota Organization Petroleum Exporting Country (OPEC) melakukan embargo minyak sebagai


(18)

bentuk protes kepada AS dan Israel. Embargo yang dilakukan dari tahun 1973 – 1975 ini menyebabkan kenaikan harga minyak dunia dari 17.000 dollar AS per barel pada tahun 1973 menjadi 53.940 dollar AS perbarel pada tahun 1974. Kenaikan tajam harga minyak dunia ini menyebabkan resesi global (Darmstadter 2013:4).

Pada 1975, Presiden AS Richard Nixon mempertimbangkan strategi agar negara-negara Arab menghentikan embargonya. Presiden AS Richard Nixon memutuskan bahwa strategi yang paling tepat adalah dengan melibatkan diri dalam proses perdamaian Arab – Israel (history.state.gov). Strategi ini berhasil menghentikan embargo pada tahun 1975 dan membuat Israel – Mesir mencapai kesepakatan damai di tahun 1984. Israel setuju mengembalikan Semenanjung Sinai kepada Mesir dan Mesir setuju untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel (history.state.gov).

Sedangkan proses perdamaian Suriah – Israel tidak berjalan dengan signifikan. AS hanya berhasil memimpin kesepakatan gencatan senjata Suriah – Israel tahun 1974. Padahal AS meyakini bahwa Suriah adalah negara penentu terciptanya perdamaian di Timur Tengah sebagaimana pendapat Menteri Luar Negeri AS Henry Kissinger:

No war is possible without Egypt and no peace is possible without Syria

(Tidak akan ada perang tanpa Mesir dan tidak akan ada perdamaian tanpa Suriah) (Daoudy 2008:1).

Signifikansi Suriah sebagai penentu perdamain di Timur Tengah adalah karena secara geostrategis Suriah berbatasan langsung dengan Israel dan secara


(19)

ideologis, Suriah adalah penyeru Pan Arabisme bersama Mesir sehingga menjadi inisiator bagi negara-negara Arab saat berperang melawan Israel. Pan Arabisme menurut Adeed Dawisha dalam Danielson (2007:18) adalah kesatuan politik di antara negara-negara Arab yang berada di Timur Tengah. Maksud kesatuan politik ini adalah adanya hubungan politik-budaya yang membuat negara-negara Arab saling bekerjasama di bidang ekonomi, sosial, politik serta dalam hal mendukung atau menolak suatu isu di kawasan.

Arti penting Suriah membuat AS berusaha terus memimpin proses perdamaian Suriah – Israel dengan meletakkan dasar perdamaian Suriah – Israel pada Konferensi Madrid 1991. Presiden AS saat itu, Presiden George H.W Bush menyusun kerangka perdamaian berdasarkan Resolusi DK PBB Nomor 232 dan 338 dan prinsip land for peace (tanah untuk perdamaian) (Migdalovitz 2010:5). Proses ini terus berlanjut dan menemui titik terangnya pada Pertemuan Oslo tahun 1993 ketika Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin berjanji untuk mematuhi resolusi tersebut dengan menyerahkan Dataran Tinggi Golan kepada Suriah sesuai dengan garis batas 1967. Janji PM Rabin ini dikenal dengan istilah Rabin Deposit

(Daoudy 2008:1).

Pembicaraan damai selanjutnya membahas implementasi Rabin Deposit

namun terdapat sebuah tantangan dalam perkembangan implementasi Rabin Deposit karena PM Rabin dibunuh pada tahun 1995. PM Shimon Peres yang menggantikan PM Rabin menolak merealisasikan Rabin Deposit namun tetap ingin melanjutkan proses perdamaian. Proses perdamaian terus dilanjutkan sampai


(20)

tahun 2000 namun tidak mencapai titik temu dalam hal perbatasan dan pengaturan keamanan (Daoudy 2008:14).

Pasca terhentinya proses perdamaian Suriah – Israel pada tahun 2000, AS tidak melanjutkan proses perdamaian sampai terjadi peristiwa 9/11 tahun 2001. Pasca 9/11 AS mengeluarkan National Security Strategy tahun 2002 yang berisi landasan strategi AS dalam memandang dinamika hubungan internasional. Salah satu isinya adalah tentang bagaimana AS merespon konflik regional untuk mencapai perdamaian (US National Security Strategy 2002). Landasan strategi ini berbeda dengan strategi yang sebelumnya diterapkan oleh Presiden Bill Clinton yang selalu bersifat kooperatif dalam merespon konflik Suriah – Israel yaitu melalui pembicaraan damai.

Amerika Serikat pada periode 2002 – 2008 menerapkan strategi yang terkadang kooperatif dan terkadang bersifat konfrontatif dalam merespon Konflik Suriah – Israel. Contohnya pada tahun 2003 dan 2007 AS mengadakan pembicaraan damai namun pada tahun yang sama (2003) mendukung serangan Israel ke penampungan pengungsi Palestina di Suriah. Pada tahun 2007 Israel melakukan serangan ke lokasi yang diduga pengembangan reaktor nuklir Suriah (www.bbc.com edisi 16 september 2014). Strategi AS yang terkadang kooperatif dan terkadang konfrontatif dalam merespon konflik Suriah – Israel periode 2002 – 2008 menyebabkan tidak ada perkembangan berarti dalam proses perdamaian Suriah – Israel. Strategi kontradiktif seperti apa yang digunakan AS dalam merespon konflik Suriah – Israel dan mengapa AS memilih strategi tersebut merupakan permasalahan yang menarik untuk diteliti.


(21)

Periode 2002 - 2008 dipilih pasca kegagalan AS dalam memimpin diplomasi perdamaian Suriah – Israel sejak Konferensi Madrid tahun 1991 sampai Inisiasi Jenewa tahun 2000. Penelitian ini dimulai pada tahun 2002 karena AS mengeluarkan National Security Strategy sebagai landasan baru kebijakan luar negerinya. Penelitian ini tidak mengambil periode kontemporer karena diplomasi perdamaian Suriah – Israel mulai ditangani Turki pada akhir 2008. Adapun peran AS pada masa kontemporer hanya menangani konflik domestik Suriah.

1.2Pertanyaan Penelitian

Penelitian ini akan menjawab pertanyaan penelitian: Mengapa AS memilih menggunakan beberapa strategi dalam merespon Konflik Suriah – Israel periode 2002 – 2008?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui strategi yang dilakukan AS dalam merespon konflik Suriah – Israel periode 2002 – 2008

2. Untuk mengetahui mengapa AS melakukan strategi yang kontradiktif dalam merespon Konflik Suriah – Israel periode 2002 - 2008

Sedangkan manfaat penelitian ini adalah sebagai rujukan bagi penelitian selanjutnya yang terkait dengan strategi AS dalam merespon konflik Suriah dan Israel.


(22)

1.4 Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai strategi Amerika Serikat dalam merespon konflik Suriah - Israel telah dilakukan oleh Windratmo Suwarno dalam sebuah artikel di Jurnal CMES Volume V Nomor 1 Edisi Juli-Desember 2012, Pusat Studi Timur Tengah, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Artikel ini berjudul Mediasi dalam Hukum Internasional Studi Kasus: Mediasi AS dalam kasus Suriah – Israel tahun 1991-2000. Menurut Suwarno (2011:2) perundingan yang dimulai sejak tahun 1991 hingga tahun 2000 yang dilakukan melalui mediasi AS tidak dapat mencairkan ketegangan hubungan antara kedua negara. Suwarno menggambarkan peran mediasi AS dalam perundingan damai Suriah – Israel dan menjelaskan konsensi-konsensi yang diberikan kedua belah pihak dalam mencapai kesepakatan sesuai dengan hukum internasional (Suwarno 2012:18).

Pembeda antara penelitian Suwarno dan penelitian ini adalah dari segi tahun penelitian dan kerangka pemikiran yang digunakan. Penelitian Suwarno periode 1991 – 2000 sedangkan penelitian ini mengambil rentan waktu 2002 – 2008. Suwarno menggunakan konsep mediasi, sedangkan skripsi ini menggunakan teori strategi, konsep balance of power dan konsep kepentingan nasional.

Selanjutnya penelitian tentang Konflik Israel – Suriah juga dilakukan oleh

Ruth Silaen dari Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” tahun 2011.

Skripsi ini berjudul “Latar Belakang Israel mempertahankan Dataran Tinggi Golan pada masa pemerintahan Perdana Menteri (PM) Benyamin Netanyahu”. Skripsi ini menggunakan teori pembuatan keputusan dan konsep geopolitik. Kesimpulan penelitian tersebut adalah Perdana Menteri Benyamin Netanyahu


(23)

menunjukkan respon yang berbeda dengan pendahulunya. Jika Perdana Menteri (PM) Israel sebelumnya menerima tawaran untuk melepaskan Dataran Tinggi Golan, PM Benjamin Netanyahu menolak untuk melepaskan Dataran Tinggi Golan (Silaen 2011:11).

Pembeda penelitian Ruth Silaen dengan penelitian ini adalah subjek penelitian. Subjek penelitian Ruth Silaen adalah Israel pada masa PM Netanyahu sedangkan subjek penelitian ini adalah Amerika Serikat tahun 2002-2008. Selain itu penelitian Ruth Silaen menggunakan teori pembuatan keputusan dan konsep geostrategis sedangkan penulis menggunakan teori strategi, konsep balance of power dan konsep kepentingan nasional untuk menjawab pertanyaan penelitian.

Penelitian tentang Dataran Tinggi Golan juga dilakukan oleh Stale Bie dalam disertasinya di Universitetet I Oslo tahun 2012. Disertasi ini berjudul

“Analisa Komparatif Negosiasi Israel dari Sinai ke Dataran Tinggi Golan”.

Penelitian ini menganalisa mengapa Semenanjung Sinai bisa dikembalikan kepada Mesir melalui perjanjian damai sedangkan Suriah yang tidak membuat perjanjian damai mengklaim memiliki Dataran Tinggi Golan. Hasilnya adalah tiga faktor penjelas dari hasil perundingan damai Israel – Suriah tahun 1991 -2000. Pertama mengenai taktik negosiasi; kedua, peran mediator; dan ketiga, opini publik Israel (Bie 2012:5).

Pembeda penelitian Bie dengan penelitian ini adalah secara objek penelitian, Bie mengambil studi komparasi antara negosiasi Israel – Mesir dengan negosiasi Israel – Suriah. Sedangkan objek penelitian ini adalah strategi AS dalam merespon konflik Suriah – Israel. Selanjutnya penelitian Bie menggunakan teori


(24)

negosiasi untuk menjelaskan hasil negosiasi melalui tiga faktor: pertama, taktik negosiasi; kedua, peran AS sebagai mediator; ketiga, opini publik Israel. Sedangkan skripsi ini menggunakan teori regional security complex, strategi, konsep balance of power dan konsep kepentingan nasional.

1.5 Kerangka Pemikiran

Penelitian ini akan mengeksplorasi strategi yang dilakukan oleh AS dalam merespon konflik Suriah – Israel dan mengapa AS melakukan strategi tersebut. Oleh karena itu penelitian ini menggunakan kerangka pemikiran: (1) teori

regional security complex; (2) strategi; (3) balance of power dan (4) kepentingan nasional.

1.5.1 Teori Regional Security Complex

Menurut Buzan dan Waever (2003:40-44) security complex adalah kelompok negara-negara yang memiliki fokus isu keamanan yang sama sehingga kepentingan nasional di bidang keamanannya tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain. Teori ini memiliki akar konstruktivis karena mengamati pola pertemanan (amity) dan permusuhan (enmity) dalam sistem regional. Teori ini menunjukan bahwa sistem regional bergantung pada aksi dan interpretasi aktor tidak hanya sekedar refleksi dari balance of power.

1.5.2 Strategi

Menurut Harry R. Yarger (2006:1) strategi adalah seni dan ilmu dalam membangun dan menggunakan power di bidang politik, ekonomi, sosio-psikologis dan militer. Strategi diimplementasikan melalui arah kebijakan untuk


(25)

menjaga dan mencapai kepentingan nasional. Strategi erat kaitannya dengan perilaku negara dan aktor lainnya serta bagaimana negara merespon suatu keadaaan. Menurutnya, strategi adalah keserasian antara tujuan/hasil (ends), konsep strategi/ rangkaian aksi (ways) dan sumberdaya (means).

Menurut Axelrod dan Keohane (1985:226-227), politik internasional tidak selalu berkaitan dengan perang antar negara melainkan tentang kerjasama antar negara dalam berbagai isu dalam jangka waktu tertentu. Kerjasama ini disebabkan adanya persamaan kepentingan, prediksi masa depan dan jumlah aktor dalam politik internasional. Lebih jauh menurut Axelrod dan Keohane (1985:226-227) strategi suatu negara berfokus pada interaksi antar negara dan usaha negara-negara dalam membangun institusi yang memiliki prinsip, norma, nilai dan prosedur tertentu dalam mengatur hubungan internasional.

Sedangkan Mearsheimer dalam Toft (2003:7) melihat tujuan dari tiap negara adalah mencapai hegemon. Kondisi geografis dunia yang dibatasi oleh perairan membuat hegemoni global sulit dicapai. Oleh karena itu great power

berusaha mencapai hegemoni regional. Menurut Mearsheimer ada dua strategi untuk mencapai hegemoni regional: pertama secara langsung yaitu dengan menambah power dan kedua secara tidak langsung yaitu dengan mencegah negara

revisionis menambah power nya (Toft 2003:4).

Revisionis adalah negara yang berusaha mengubah status quo yang dibuat oleh great power dengan cara mengubah garis territorial internasional, ideologi atau distribusi power dalam sistem global atau regional untuk mencapai kepentingan nasionalnya (Plano dan Olton 1999:16).


(26)

Amerika Serikat menggunakan Model Strategi Art Lykke yang dibuat oleh Kolonel Arthur Lykke pada tahun 1989. Model Strategi Art Lykke menitikberatkan empat hal dalam menentukan sebuah strategi yaitu ends

(tujuan/hasil), ways (konsep strategi/ rangkaian aksi), means (sumberdaya) dan

risk (resiko). Tujuan (ends) selalu menjawab pertanyaan apa yang ingin dicapai, konsep (ways) menjawab pertanyaan bagaimana sumberdaya digunakan. Sumberdaya (means) menjelaskan apa yang akan digunakan untuk mengeksekusi konsep. Resiko (risk) adalah jarak antara apa yang ingin diraih, konsep dan sumberdaya yang tersedia dengan tujuan yang ingin dicapai. Hubungan antara tujuan (ends), konsep (ways), sumberdaya (means) dan resiko (risk) terlihat dalam ilustrasi berikut (Bartholomees 2010:49-50).

Ilustrasi 1.1 Model Strategi Art Lykke

Sumber: Diolah dari Bartholomees (2010:48)

Tujuan mengekspresikan kepentingan nasional contohnya seperti menciptakan stabilitas regional. Konsep harus berupa petunjuk pelaksanaan tentang bagaimana sumberdaya akan digunakan contohnya konsep penangkalan. Sumberdaya adalah sesuatu yang bersifat fisik dan dapat dihitung seperti tentara,

Strategi

Tujua

n

Konse

p

S

umber

da

ya


(27)

persenjataan, sumberdaya organisasi seperti NATO dan Palang Merah Internasional. Means merupakan hal-hal yang tidak terlihat seperti keinginan, kapasitas industri dan intelektual. Keseimbangan antara tujuan, konsep dan sumberdaya akan meminimalisir resiko, sedangkan ketidak-seimbangan antara ketiganya akan mengakibatkan resiko kegagalan sebuat strategi semakin besar (Bartholomees 2010:49-50).

Kalkulasi yang baik antara ends, ways dan means hanya bisa diperoleh melalui strategic appraisal (taksiran strategi). Fungsi strategic appraisal adalah untuk menghitung (secara kuantitas) dan menilai (secara kualitas) apa yang diketahui, apa yang tidak diketahui dan apa yang penting bagi AS (Bartholomees 2010:53). Model Strategi Art Lykke dan strategic appraisal inilah yang akan digunakan untuk menganalisa alasan AS dalam memilih strategi tertentu dalam merespon Konflik Suriah – Israel periode 2002 – 2008.

1.5.3 Kepentingan Nasional

Menurut Morgenthau dalam Roskin (1994:5-6) kepentingan nasional menurut kepentingannya terdiri dari vital dan sekunder. Kepentingan Vital adalah kepentingan yang berkaitan dengan kelangsungan hidup suatu negara, contohnya usaha negara untuk menjaga kedaulatan wilayahnya. Kepentingan sekunder adalah kepentingan yang tidak menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup suatu negara jika tidak tercapai contohnya ekspansi sumberdaya alam yang dilakukan suatu negara terhadap negara lain. Berdasarkan durasinya, kepentingan nasional terbagi menjadi temporer dan permanen. Kepentingan nasional temporer adalah yang bersifat sementara, contohnya dukungan AS terhadap Suriah dalam isu


(28)

teorisme. Sedangkan kepentingan permanen adalah kepentingan yang berlangsung dalam jang waktu yang lama seperti kepentingan AS untuk beraliansi dengan Israel.

Berdasarkan kekhususannya, kepentingan nasional terbagi menjadi kepentingan nasional yang bersifat umum dan khusus. Contoh kepentingan yang bersifat umum adalah penerapan nilai-nilai AS seperti demokrasi secara universal. Contoh kepentingan yang bersifat khusus adalah meredam aliansi Iran – Suriah. Menurut kesesuaiannya, kepentingan nasional terbagi menjadi yang komplementer dan konfliktual. Kepentingan nasional komplementer adalah kepentingan yang saling melengkapi, contohnya kerjasama AS dengan Suriah dan Israel dalam isu kontraterorisme. Sedangkan kepentingan konfliktual adalah kepentingan nasional yang saling bertentangan satu dengan yang lainnya contohnya AS menginginkan perdamaian Suriah – Israel namun disisi lain AS ingin mengamankan eksistensi negara sekutunya yaitu Israel (Roskin 1994:5-6).

Menurut U.S. Army War College kepentingan nasional terdiri dari keamanan nasional, promosi nilai-nilai nasional, kepentingan ekonomi dan menciptakan tatanan negara yang menguntungkan bagi negara tersebut (Bartholomees 2010:56). Definisi kepentingan menurut U.S Army War College inilah yang akan digunakan untuk memahami alasan AS memilih strategi tertentu dalam merespon konflik Suriah – Israel periode 2002 – 2008.

Konsep kepentingan nasional digunakan untuk menjelaskan dua hal yang saling berhubungan. Di satu sisi, kata kepentingan (interest)


(29)

mengimplementasikan kebutuhan yang sesuai dengan suatu standar yang telah disahkan, kemudian diklaim mengatasnamakan negara. Disisi lain, kepentingan nasional juga digunakan untuk menjelaskan dan mendukung suatu kebijakan. Kepentingan nasional bisa bersifat inklusif yaitu mengakomodir semua kelompok kepentingan atau setidaknya kelompok kepentingan terbesar yang ada di AS, contohnya kelompok neokonservatif. Selain itu kepentingan nasional juga bisa bersifat eksklusif yaitu tidak mempertimbangkan rekomendasi dari kelompok kepentingan di AS (Griffiths dan O’callaghan 2007:216-217).

1.5.4 Balance of Power (Perimbangan Kekuatan)

Menurut Hans J. Morgenthau Balance of Power atau yang selanjutnya disebut sebagai BoP adalah aspirasi negara-negara untuk memperoleh power, mempertahankan atau menumbangkan status quo dan membuat konfigurasi

power. Tujuan BoP menurut Morgenthau adalah untuk mencapai stabilitas sistem (Morgenthau 2010:199-200). Power menurut Gilpin dalam Sheehan (1996:15) adalah kemampuan aktor dalam mempengaruhi perilaku aktor lain.

Menurut Paul, Wirtz dan Fortman (2004:2) BoP berasal dari strategi

balancing yang dilakukan negara-negara di level sistemik (internasional) atau subsistemik (regional) sebagai hasil dari equilibrium power di antara negara-negara kunci. Tujuan dari balancing adalah untuk mencegah hegemon negara lain dan jika usaha pencegahan ini sukses artinya BoP telah tercipta dalam sistem internasional atau regional.


(30)

Menurut Miller dalam Paul, Wirtz dan Fortman (2004:240) BoP regional berdasarkan pada logika: pertama, BoP regional bergantung pada bagaimana great power berhubungan dengan sistem regional. Great Power mempengaruhi sistem regional karena kapabilitasnya yang superior dan memiliki sekutu yang kuat di regional. Great Power melakukan BoP dengan cara mendukung/mengembargo aktor di regional, memberikan bantuan ekonomi, investasi, sanksi dan transfer teknologi. BoP regional kemudian dapat mempengaruhi BoP global sehingga negara-negara great power berlomba untuk melalukan BoP regional untuk mencapai hegemoni global. Kedua, setelah kompetisi BoP regional yang dilakukan para great power, BoP regional akan terbentuk di antara negara-negara kawasan yang memiliki power lebih rendah dari great power dan usaha hegemoni global yang ingin dicapai sebuah negara great power akan gagal. Hasilnya tidak ada satupun great power yang menjadi hegemoni global namun hanya menjadi hegemoni regional. Ketiga, negara-negara yang tidak menjadi hegemon regional akan melakukan bandwagon dan negara yang menjadi hegemon regional akan melakukan balancing dari ancaman revisionis untuk menjaga status quo. Keempat, dalam konflik regional seperti ini negara-negara cenderung melakukan

balancing kepada aktor lokal, khususnya negara revisionis.

BoP menurut Paul et al. (2004:2) terbagi menjadi tiga, yaitu hard balancing, soft balancing dan assymetric balancing. Hard balancing adalah strategi yang menunjukan adanya rivalitas yang tinggi antar negara-negara dengan cara berlomba-lomba meningkatkan kapabilitas militernya dan membentuk aliansi formal serta aliansi perlawanan untuk mengimbangi kapabilitas negara lawan. Soft


(31)

Balancing adalah aliansi sembunyi-sembunyi yang berlangsung dalam jangka waktu singkat. Biasanya dilakukan dengan cara pembangunan militer terbatas, kerjasama yang bersifat ad hoc dan kolaborasi di institusi regional atau internasional. Assymetric balancing adalah usaha negara dalam melakukan

balancing terhadap aktor non negara yang tidak memiliki kapabilitas militer konvensional dan melakukan ancaman secara tidak langsung contohnya seperti organisasi teroris.

Analisa dalam skripsi ini akan menitikberatkan pada metode AS dalam menggunakan hard balancing di Timur Tengah. AS menjadikan Israel sebagai aliansinya di Timur Tengah. Menurut Liska dalam Shehaan (1996: 59), aliansi berperan penting untuk menghubungkan antara teori dan praktek dalam BoP serta menghubungkan kebijakan AS dan Israel dalam mempengaruhi sistem regional Timur Tengah. Aliansi dapat mendorong keseimbangan sejauh dapat mengatur

power negara-negara yang potensial menjadi revisionis di Timur Tengah, seperti Suriah.

1.6 Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Menurut Taylor dan Bogdan, penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif mengenai kata-kata lisan maupun tertulis, dan tingkah laku yang dapat diamati dari orang-orang yang diteliti (Suyanto dan Sutinah 2007:166).

Tahap-tahap penelitian kualitatif adalah menetapkan fokus penelitian dengan menggunakan logika induktif. Dalam hal ini fokus penelitian skripsi ini adalah strategi AS dalam merespon konflik Suriah – Israel periode 2002-2008.


(32)

Kedua, menentukan setting dan subjek penelitian, yaitu konflik Suriah – Israel tahun 2002 - 2008.

Ketiga, tahap pengumpulan data dengan menggunakan metode wawancara dengan Kuasa Usaha Suriah untuk Indonesia yaitu Dr. Basham Al Khatib. Selain itu penelitian ini juga menggunakan metode penelusuran data (Bungin 2009:108). Data-data yang digunakan terdiri dari biografi, surat-surat pribadi, buku-buku, jurnal, catatan harian, memorial, kliping, dokumen pemerintah/swasta AS, Israel dan Suriah, data yang tersimpan di website pemerintah AS, Israel, Suriah dan PBB. Kemudian data-data ini juga diperoleh dari studi pustaka di Information Research Center (IRC) US Embassy Jakarta, Perpustakaan Ali Alatas Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Perpustakaan Pusdiklat Kementrian Luar Negeri Indonesia dan Perpustakaan Utama UIN Jakarta.

Tahap selanjutnya adalah melakukan pengolahan dan analisa data (Suyanto dan Sutinah 2007:170-175). Penelitian ini mengelaborasi latar belakang keterlibatan AS dalam konflik Israel-Suriah, strategi AS dalam merespon konflik Israel – Suriah dan mengapa strategi AS terkadang bersifat koperatif , terkadang konfrontatif (kontradiktif). Kemudian menganalisa dengan kerangka pemikiran teori regional security complex, strategi, kepentingan nasional dan balance of power. Tahap penyajian data yaitu penelitian disajikan dalam bentuk kata-kata untuk membagi pemahaman peneliti mengenai penelitiannya kepada orang lain (Suyanto dan Sutinah 2007:170-175).


(33)

1.7 Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah 1.2 Pertanyaan Penelitian

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4 Tinjauan Pustaka

1.5 Kerangka Teoritis

1.5.1 Teori Regional Security Complex 1.5.2 Strategi

1.5.3 Kepentingan Nasional

1.5.4 Balance of Power

1.6 Metode Penelitian 1.7 Sistematika Penulisan

BAB II : STRATEGI AS DALAM MERESPON KONFLIK SURIAH- ISRAEL PERIODE 2002 – 2008

2.1 Posisi AS di Timur Tengah

2.2 Strategi AS dalam Merespon Konflik Suriah – Israel Periode 2002 – 2008

2.2.1 Strategi Kooperatif AS dalam merespon Konflik Suriah – Periode 2002 – 2008

2.2.2 Strategi Konfrontatif AS dalam merespon Konflik Suriah – Israel periode 2002 – 2008

BAB III : KONFLIK SURIAH – ISRAEL PERIODE 2002 – 2008 3.1 Sejarah Konflik Suriah dan Israel


(34)

3.3 Konflik Perbatasan

3.4 Konflik Pengaruh antara Suriah dan Israel di Lebanon 3.5 Aliansi Suriah dengan Iran dan Hizbullah

BAB IV : ALASAN AS MENJALANKAN BEBERAPA STRATEGI UNTUK MERESPON KONFLIK SURIAH – ISRAEL PERIODE 2002 – 2008

4.1 Mencapai Kepentingan Nasional di bidang Ekonomi Kesehatan dan Keamanan melalui Inovasi IPTEK

4.2 Pengaruh dari Doktrin Bush

4.3 Menciptakan Balance of Power di Timur Tengah BAB V : KESIMPULAN


(35)

BAB II

STRATEGI AMERIKA SERIKAT DALAM MERESPON KONFLIK SURIAH- ISRAEL PERIODE 2002 – 2008

2.1 Posisi Amerika Serikat di Timur Tengah

Timur Tengah merupakan terminologi yang diberikan oleh Eropa untuk mendeskripsikan kawasan geografis antara Eropa dan Asia Timur Jauh. Negara-negara Timur Tengah yang sebagian besar termasuk dalam Benua Asia namun sebagian lain masuk dalam Benua Afrika Utara (Owen 2008:1). Jumlah negara Timur Tengah menurut website resmi Central Intelligence Agency (CIA) berjumlah 17 negara ditambah 2 wilayah yaitu Gaza dan Tepi Barat (cia.gov). Signifikansi Timur Tengah adalah letaknya yang strategis di antara Eropa dengan Asia sehingga menjadi jalur transportasi dan perdagangan. Timur Tengah juga merupakan produsen minyak terbesar di dunia, hal ini dapat dilihat dari tabel perbandingan jumlah minyak yang dihasilkan Timur Tengah dibanding keseluruhan kawasan lain di dunia.

Tabel 2.1 Perbandingan Supply Minyak Timur Tengah dengan Supply

Minyak Dunia Periode 2002 - 2008

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Dunia 77.100,67 79.606,39 83.102,08 84.701,22 84.665,07 84.607,68 85.760,17

Timur

Tengah

21.570,83 22.992,18 24.770,01 25.693,32 25.341,29 24.785,35 26.116,49

Persentase 28% 29% 30% 30% 30% 29% 30%


(36)

Dari tabel 3.1 dapat disimpulkan bahwa Timur Tengah periode 2002 – 2008 rata-rata menyediakan 30% dari total persediaan minyak dunia. Hal ini membuat Timur Tengah memiliki bargaining position yang tinggi dalam dunia internasional. Argumen ini terlihat dalam peristiwa embargo yang dilakukan negara-negara Timur Tengah (mayoritas tergabung dalam Organization Petroleum Exporting Countries) pada tahun 1973 – 1975. Negara-negara OPEC mengembargo AS karena membantu Israel dalam Perang Arab - Israel. Efeknya adalah terjadi kenaikan harga minyak dunia dari 17 dollar AS per barel pada tahun 1973 menjadi 53 dollar per barel pada tahun 1974 (Darmstadter 2013:4). Peristiwa ini membuat AS menyadari arti penting Timur Tengah sehingga Presiden Nixon memutuskan strategi yang paling tepat untuk menghentikan embargo dan menjaga alur minyak dengan melibatkan diri dalam proses penyelesaian konflik Arab-Israel (history.state.gov diakses pada November 2013).

Langkah awal yang dilakukan AS adalah dengan mengadakan Konferensi Madrid tahun 1991 untuk membuat konsep dasar penyelesaian konflik di Timur Tengah. Lahirlah konsep land for peace yaitu konsep untuk menukarkan perdamaian, yang indikatornya seperti membuka hubungan diplomatik dan kerjasama di berbagai bidang, dengan mengembalikan tanah yang diokupasi dan aneksasi Israel pada Perang 1967. Konsep land for peace diterjemahkan dalam Resolusi DK PBB Nomor 242 (history.state.gov). Setelahnya, AS terus memimpin proses penyelesaian konflik di Timur Tengah dengan mengadakan Konferensi Wye River tahun 1995-1996, Perundingan Shepherdstown tahun 2000


(37)

hingga menemui kegagalan di Perundingan Jenewa tahun 2000 (Olmert 2011:204-206).

Penjelasan proses sejarah keterlibatan AS tersebut menandakan bahwa AS menjadi tumpuan utama dalam proses penyelesaian konflik Arab – Israel. Menurut penulis ada empat hal yang membuat AS menjadi tumpuan utama dalam penyelesaian konflik Arab – Israel yaitu: pertama, AS memiliki hubungan diplomatik dengan delapan belas negara di Timur Tengah kecuali Iran (state.gov).

Kedua, ada persepsi bahwa konflik Arab – Israel adalah poxy war yang disebabkan oleh Perang Dingin dimana negara super power memberikan dukungan kepada negara tertentu untuk menjadi antagonis dan protagonis di kawasan. Negara super power pada masa itu adalah AS dan Uni Soviet. Sejak tahun 1973 keduanya berkompetisi untuk menjadi hegemon. Hegemoni global hanya bisa dicapai dengan monopoli nuklir dan hal tersebut mustahil untuk dicapai. Oleh karena itu keduanya berusaha menjadi hegemon regional (Toft 2003:6). Perang regional ini tidak secara langsung disebabkan oleh externalgreat power namun oleh atribut aktor lokal serta tujuan dan persepsi bersama yang dibentuk oleh dukungan great power terhadap suatu negara (Miller 2004:154). Contohnya, Suriah didukung oleh Uni Soviet dan Israel didukung oleh Amerika Serikat sebelum keruntuhan Uni Soviet tahun 1991.

Ketiga, Pasca keruntuhan Uni Soviet, AS menjadi satu-satunya major power

di Timur Tengah sehingga bisa memberikan reward dan punishment bagi negara-negara Timur Tengah agar ikut serta dalam proyek penyelesaian konflik yang


(38)

dipimpin AS. Bukti bahwa AS menjadi major power di Timur Tengah dapat terlihat dari posisi AS sebagai negara pendonor terbesar bagi Timur Tengah seperti terlihat berikut.

Tabel 2.2 Lima Negara Donor Terbesar di Timur Tengah Periode 2002 – 2008

(dalam juta dollar AS)

Negara 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Amerika Serikat

575,09 2749,17 3759,59 11946,25 55564,24 4497,01 4197,70

Jerman 206,61 271,12 205,15 2259,43 664,82 2526,76 2263,37 Jepang 129,41 220,80 838,70 3680,65 1008,72 1041,12 2068,48 Norwegia 80,01 133,22 95,81 117,12 148,82 155,79 158,65 Belanda 77,77 129,59 211,46 196,50 79,15 71,23 205,11

Sumber: Website OECD (www.stats.oecd.org)

Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa pada periode 2002 – 2008, AS adalah negara donor terbesar bagi Timur Tengah. Jumlah bantuan luar negeri AS terus meningkat sejak tahun 2002 sebesar 575 juta dollar AS sampai 4 milyar dollar AS pada tahun 2008. Jumlah tertinggi bantuan luar negeri terbesar AS ke Timur Tengah diberikan pada tahun 2006 saat terjadi Perang Israel (yang merupakan sekutu AS) dengan Hizbullah (yang merupakan sekutu Suriah dan Iran).


(39)

Keempat, usaha AS untuk menjaga hegemoninya di Timur Tengah dapat dilihat dari anggaran bantuan luar negeri AS yang terbesar dialokasikan kepada Timur Tengah.

Ilustrasi 2.1 Diagram Distribusi Bantuan Regional AS Tahun 2004

Sumber: CSR Report for Congress 2004:14

Diagram ini menunjukan bahwa Timur Tengah merupakan kawasan yang sangat penting bagi AS. Hal ini dibuktikan dari alokasi bantuan luar negeri AS kepada Timur Tengah tahun 2004 mencapai 39% dari total bantuan luar negeri AS. Jumlah yang terbesar jika dibandingkan dengan kawasan lain seperti Afrika yang hanya 18%, Asia Selatan 17%, Eropa/Eurasia 12%, Amerika Latin 11% dan Asia Timur 3%.

Lebih jauh lagi, AS menilai Suriah sebagai kunci perdamaian Arab – Israel karena letak Suriah yang berbatasan langsung dengan Israel serta pada tahun penelitian Suriah memainkan peran yang penting dalam mendukung negara lain seperti Palestina, Iran dan Lebanon dalam berkonfrontasi dengan Israel.

Timur Tengah 39% Asia Selatan 17% Eropa/Euras ia 12% Amerika Latin 11% Afrika 18% Asia Timur 3%


(40)

Signifikansi Suriah ini membuat AS merespon konflik Suriah – Israel sebagai agenda utama AS di Timur Tengah sejak masa Presiden Nixon sampai Presiden Clinton. Strategi yang digunakan oleh AS pada masa Presiden Nixon sampai Presiden Clinton pun cenderung kooperatif dengan mengadakan dialog perdamaian.

Namun pada masa Presiden George Walker Bush strategi yang digunakan oleh AS dalam merespon konflik Suriah – Israel cenderung kontradiktif. Hal ini ditegaskan dalam pernyataan Presiden George W Bush: “Not every effort has to be an American effort. It is extremely important that the parties themselves are

taking responsibility” (Migdalovitz 2010:5). “Tidak semua upaya harus menjadi

upaya AS. Sangatlah penting bagi tiap negara melakukan kewajibannya”

(terjemahan penulis). Bagian selanjutnya akan mengelaborasi lebih jauh strategi kontradiktif seperti apa yang dipilih Presiden George W. Bush dalam merespon Konflik Suriah – Israel selama periode 2002 – 2008.

2.2 Strategi Amerika Serikat dalam Merespon Konflik Suriah – Israel periode 2002 -2008

Kontradiktifsi strategi yang digunakan AS dalam merespon Konflik Suriah – Israel periode 2002 – 2008 terlihat dalam National Security Strategy poin ketiga mengenai dasar kerjasama dengan negara lain untuk menyelesaikan konflik regional. Prinsipnya sebagai berikut:


(41)

Pertama, Amerika Serikat harus menginvestasikan waktu dan sumberdayanya untuk membangun hubungan internasional dan institusi yang dapat membantu menangani krisis lokal saat krisis tersebut timbul.

Kedua, Amerika Serikat harus realistis tentang kemampuannya dalam membantu negara-negara yang tidak ingin atau tidak siap untuk membantu dirinya sendiri. Ketika pihak-pihak terkait telah siap atas perannya, maka barulah AS akan bergerak dengan jelas (US National Security Strategy tahun 2002 poin ketiga).

Poin pertama dalam prinsip tersebut merekomendasikan agar AS ikut serta dalam penyelesaian konflik lokal yang berpotensi meningkatkan potensi konflik regional namun pada poin kedua AS diminta untuk realistis pada kemampuannya dalam menolong negara lain, sehingga AS akan bergerak setelah negara-negara menyadari perannya masing-masing. Sedangkan pada masa sebelum Presiden George W. Bush, AS menjadi pihak yang aktif dalam mempersiapkan negara-negara untuk memahami posisinya agar siap memulai proses perdamaian seperti pada shuttle diplomacy yang dilakukan oleh Menlu Kissinger pada masa Presiden Nixon sampai masa Presiden Clinton. Shuttle Diplomacy atau Diplomasi Ulang Alik adalah diplomasi yang dilakukan dengan cara melakukan kunjungan resmi ke negara-negara yang ingin diajak bekerjasama (Suryokusumo 2004:66). Oleh karena itu implementasi dari dua prinsip dalam national strategy ini kontradiktif, terbagi menjadi dua jenis strategi yaitu yang bersifat kooperatif dan strategi yang bersifat konfrontatif.


(42)

2.2.1 Strategi Kooperatif AS dalam merespon Konflik Suriah – Israel periode 2002 – 2008

Strategi kooperatif AS dalam merespon Konflik Suriah – Israel periode 2002 – 2008 adalah mengadakan pembicaraan damai, memberikan bantuan ekonomi kepada Suriah dan Israel dan mengadakan kerjasama dengan Suriah dan Israel.

Strategi kooperatif pertama AS adalah mengadakan pembicaraan damai melalui diplomasi ulang alik (shuttle diplomacy) dan dua konferensi dalam periode penelitian (2002 – 2008). Pada 2002 Suriah diundang dalam pembicaraan damai tidak resmi di Rice University. Kemudian pada 8 Januari 2003 Mantan Duta Besar AS untuk Suriah sekaligus delegasi AS dari Intitut Baker Edward Djerjian dan Senator Arlen Specter melakukan pembicaraan lanjutan dengan delegasi Suriah di Damaskus untuk berdiskusi mengenai hubungan AS – Suriah, perang melawan terror dan perdamaian Timur Tengah (AP 1/8/03 dalam Leveret:181). Selanjutnya Menlu Powel bertemu dengan Presiden Assad di Damaskus (International Herald Tribune, 5/3/03 dalam Leveret:184). Menurut Kuasa Usaha Suriah untuk Indonesia Dr. Basham Alkhatib dalam wawancara dengan penulis (22/4/2014), Menlu Powel memberikan prasyarat kepada Presiden Assad jika ingin mendapatkan kembali Dataran Tinggi Golan maka Suriah harus memutuskan hubungannya dengan Iran, Hizbullah dan Hamas dan mendukung invasi AS ke Irak. Menurut Dr. Alkhatib Presiden Bashar Al-Assad menolak prasyarat ini dan mengatakan bahwa tidak ada prasyarat untuk berunding dengan


(43)

negosiasi perdamaian dengan Suriah sebelum Suriah menghentikan aliansinya dengan Iran dan Hizbullah (AP, 9/14/04 dalam Leveret 186).

Selanjutnya, pada 11 September 2004 Wakil Menlu AS William Burns bertemu dengan Presiden Assad di Damaskus untuk membahas prospek perdamaian Suriah dan Israel, campur tangan Suriah dalam pemilihan umum di Lebanon, dan kerjasama AS – Suriah dalam mengamankan perbatasan Suriah – Irak (AFP 9/11/04; AP 9/12/04 dalam Leveret 2005:195). Sedangkan Israel kembali menolak permintaan Suriah untuk melanjutkan negosiasi sampai Suriah menghentikan dukungannya terhadap Hamas dan Suriah (AFP, 12/1/04 dalam Leveret 2005:199).

Selain melalui diplomasi ulang alik, AS juga mengadakan Inisiasi Jenewa tahun 2003. Konferensi ini utamanya membahas perdamaian Palestina – Israel. Namun juga membahas garis batas Israel dengan negara Arab lainnya termasuk Suriah - Israel sesuai dengan Resolusi DK PBB nomor 242 dan 338 yaitu garis batas 4 Juni 1967. Inisiasi Jenewa tahun 2003 menghasilkan konsep two state solution yaitu konsep yang menyatakan bahwa pendirian dua negara berdaulat di atas tanah Palestina merupakan solusi untuk mencapai perdamaian bagi Israel dan Palestina (Roadmap 2003:1).

Konsep two state solution ini dijabarkan oleh AS bersama Rusia, Uni Eropa dan Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) dalam roadmap perdamaian pada 20 April 2003 (Gingrich 2005:86). Roadmap 2003 membahas fase-fase dalam mewujudkan perdamaian, tenggat waktu, dan tahapan dalam menjalin hubungan


(44)

politik, keamanan, ekonomi, humaniter dan pembangunan institusi di antara kedua negara di bawah pengawasan Quartet. Target akhirnya adalah menciptakan perdamaian Israel – Palestina pada tahun 2005 (Roadmap 2003:1).

Roadmap 2003 juga mencantumkan perdamaian Suriah dan Israel. Namun menurut Presiden Assad dalam wawancara dengan harian Al Anbaa (5/26/03 dalam Leveret 2005:183-184), Roadmap 2003 tidak menyediakan langkah konkrit menuju kesepakatan final. Menurut Presiden Assad, Suriah tidak mengerti hubungan antara Suriah dan Lebanon dengan roadmap yang dibuat ini (New York Timesdalam Leveret 2005:183-184).

Selanjutnya AS mengadakan konferensi terakhir selama periode 2002-2008 yaitu Konferensi Annapolis di tahun 2007. Konferensi Annapolis telah dipersiapkan sejak 2006 dan membahas posisi negara-negara Arab dan kesiapannya untuk menjalin perdamaian dengan Israel. Menlu Condoleeza Rice berkomunikasi dengan negara-negara peserta konferensi dan berusaha membantu menetapkan perselisihan di beberapa isu (Fishere 2008:33). Konferensi Annapolis mempertemukan seluruh pemimpin negara-negara Arab dengan Israel namun tidak berhasil memberikan standar peningkatan hubungan Arab – Israel. Konferensi ini juga tidak menghasilkan cara yang berarti untuk menyelesaikan konflik Suriah – Israel (Mitha 2008:1)

Suriah berhasil menambahkan isu Dataran Tinggi Golan dalam agenda Konferensi Annapolis. Hasilnya adalah langkah lanjutan dalam penyelesaian Konflik Suriah – Israel pada 13 bulan setelah pertemuan. Arti penting Konferensi Annapolis bagi Suriah adalah mulai berhentinya embargo AS kepada Suriah


(45)

(melalui Syria Accountability Act 2005) sehingga AS mulai kembali melakukan diplomasi ulang alik untuk menyelesaikan konflik Suriah – Israel (Scham 2007:13).

Strategi AS yang kedua adalah memberikan bantuan ekonomi kepada Suriah dan Israel. Sejak tahun 1981 AS dan Israel telah menandatangani MoU kerjasama strategis. Salah satu implementasinya adalah AS memberikan dukungan ekonomi dan militer untuk membangun kekuatan Israel, memberikan status aliansi non NATO dan menandatangani kesepakatan perdagangan bebas dengan Israel.

Bantuan militer (foreign military financing) dan bantuan ekonomi (economic support fund) AS kepada Israel sejak tahun 1949 telah mencapai 115 milyar dollar (Eeisentadt dan Pollock 2012:3). Berikut adalah tabel yang menunjukan bahwa Israel merupakan negara penerima bantuan keuangan terbesar AS pada tahun 2008.

Tabel 2.3 Sepuluh Negara yang Mendapatkan Bantuan Keuangan Terbesar dari AS Tahun 2008 Negara Total bantuan AS

(dalam juta dollar AS)

Populasi pertengahan tahun

2007 (juta)

Rata-rata bantuan AS perkapita (dalam dollar AS)

Israel 2.380 7,3 326,02

Mesir 1.706 74,4 23,24

Afghanistan 1.058 31,9 33,16


(46)

Jordan 688 5,7 120,70

Kenya 586 36,9 15,88

Afrika Selatan 574 47,9 11,98

Kolumbia 541 46,2 11,71

Nigeria 491 144,4 3,40

Ethiopia 456 77,1 5,91

Sumber: Cato Handbook for Policy Maker 2009:540

Tabel di atas mendeskripsikan bahwa pada tahun 2008, Israel merupakan negara penerima bantuan terbesar AS di dunia. Total bantuan luar negeri AS ke Israel tahun 2008 mencapai 2,38 milyar dollar AS. Bandingkan tabel bantuan luar negeri AS diatas dengan tabel bantuan luar negeri AS kepada negara-negara Arab khususnya Suriah, seperti terlihat dalam tabel berikut.

Tabel 2.4 Bantuan Luar Negeri AS kepada Negara Arab periode 1946 - 2010 Negara Bantuan Militer

(dalam dollar AS)

Bantuan Ekonomi (dalam dollar AS)

Total

Afghanistan 27 milyar 22 milyar 49 milyar

Bahrain 525 juta 13 juta 538 juta

Mesir 57 milyar 57 milyar 114 milyar

Iran 8 milyar 5 milyar 13 milyar

Irak 21 milyar 38 milyar 59 milyar

Lebanon 800 juta 2,6 milyar 3,4 milyar

Libya 99 juta 1,4 milyar 1,5 milyar


(47)

Suriah 338.000 2,2 milyar 2.2 milyar

Yaman 166 juta 2 milyar 2,1 milyar

Sumber : George Washington University Project (fastfactusa.org)

Penulis membandingkan kedua tabel diatas dan menyimpulkan bahwa total bantuan luar negeri AS kepada Israel dalam kurun waktu 1 tahun (tahun 2008) lebih besar dari total bantuan luar negeri AS kepada Suriah dalam kurun waktu 64 tahun (1964-2010). Total bantuan luar negeri AS kepada Israel tahun 2008 adalah 2,38 milyar dollar AS sedangkan total bantuan luar negeri AS kepada Suriah periode 1946 – 2010 hanya 2,2 milyar dollar AS.

Selanjutnya AS mendukung Israel saat Perang Israel – Hizbullah 2006 dan Suriah mendukung Hizbullah. Oleh karena itu pasca kekalahan Israel dalam Perang Israel – Hizbullah, Presiden Bush mengumumkan peningkatan bantuan militer AS ke Israel secara keseluruhan pada sepuluh tahun setelahnya, mulai dari tahun 2007. Kesepakatan ini akan diterapkan secara bertahap sejak tahun 2007 dan direncanakan pada tahun 2018 Foreign Military Financing (FMF) AS ke Israel akan mencapai 3,1 milyar per tahun (Sharp 2010:7). FMF adalah bantuan militer utama dari AS dalam bentuk perpanjangan pembiayaan untuk transfer persenjataan dari AS ke Israel (Sharp 2010:7). Berikut adalah tabel peningkatan bantuan militer AS kepada Israel periode 2006 – 2008.

Tabel 2.5 Peningkatan Bantuan Militer AS kepada Israel Periode 2006 –2008 (dalam juta dollar)

Tahun 2006 Tahun 2007 Tahun 2008

FMF 2.257,2 2.340,0 2.380,560


(48)

Tabel ini memperlihatkan peningkatan FMF AS pada tahun 2006 mencapai 2,25 milyar dollar AS. Jumlah ini terus meningkat pada tahun 2007 mencapai 2,34 milyar dollar AS dan terus meningkat menjadi 2,38 milyar dollar AS pada tahun 2008. Jumlah ini akan terus ditingkatkan sampai menjadi 3,2 milyar dollar AS pertahun pada tahun 2018 (Sharp 2010:7).

Strategi kooperatif ketiga AS adalah mengadakan kerjasama kontra-terorisme dengan Suriah dan Israel. Aliansi Suriah – Iran dalam mendukung serangan Hizbullah ke Israel dianggap sebagai kegiatan terorisme oleh Amerika Serikat. Presiden Bush yang pada periode 2002-2008 mengeluarkan deklarasi perang global melawan terorisme (Global War on Terrorism), memberikan dua jenis respon terhadap Suriah. Pertama mengecam, kemudian mengeluarkan kebijakan yang konfrontatif seperti Syria Accountability Act; kedua, melihat peluang kerjasama dengan Suriah. Syria Accountability Act akan dielaborasi lebih jauh pada bagian strategi konfrontatif. Sedangkan yang dimaksud dengan AS melihat peluang kerjasama dengan Suriah dijelaskan dalam ilustrasi berikut: keinginan Suriah untuk memperoleh kembali Dataran Tinggi Golan merupakan celah bagi AS agar Suriah mau memenuhi permintaan AS demi mendapatkan kembali Dataran Tinggi Golan.

Kuasa Usaha Suriah untuk Indonesia, Dr. Basham Alkhatib dalam wawancara (22/4/2014) dengan penulis mengatakan bahwa Menteri Luar Negeri AS Collin Powell saat menemui Presiden Assad tahun 2003 di Suriah meminta Suriah membantu AS menghadapi Al Qaeda di Irak dan menghentikan aliansi dengan Iran dan Hizbullah jika ingin memperoleh kembali Dataran Tinggi Golan.


(49)

Dari pernyataan ini dapat disimpulkan bahwa ketika itu strategi AS adalah jika Suriah bersedia bekerjasama dengan AS dalam memberantas terorisme, maka AS akan kembali memimpin proses perdamaian Suriah dengan Israel.

Bentuk kerjasama yang diharapkan AS dari Suriah dan Israel terutama di bidang intelijen. AS membagi tipe-tipe negara yang melakukan kerjasama intelijen kontra-terorisme. Kontra Teorisme adalah doktrin yang mengarahkan aksi AS, melemahkan teroris dan mengubah lingkungan tempat beroperasi teroris sebagai tempat yang anti teorisme (Benjamin 2008:3). Pertama, aliansi tradisional seperti Kanada, Inggris, Australia, Israel dan anggota NATO. Kedua, aliansi baru seperti Pakistan, Yaman dan Uzbekistan. Ketiga, musuh tradisional seperti Suriah dan Libya (Reveron 2008:5).

Strategi Intelijen Nasional AS memiliki tiga tujuan dalam membangun hubungan intelijen. Pertama, mengikat dan memperkuat usaha intelijen bersama yang bisa memberikan bantuan dalam mengidentifikasi dan melawan kelompok organisasi teroris baik di luar maupun di dalam wilayah AS (Reveron 2008:9). Kedua, berkoordinasi dengan erat dengan badan intelijen untuk saling bertukar analisa dan taksiran mengenai ancaman dan pilihan untuk meresponnya. Ketiga, memastikan pengetahuan yang berasal dari hubungan dengan intelijen dari luar negeri, menginformasikan keputusan intelijen dan membangun pilihan yang efektif dalam meresponnya (Reveron 2008:9).

Salah seorang pejabat senior Central Inteligence Agency (CIA) mengatakan bahwa Suriah bukanlah satu-satunya sumber intelijen namun sangat membantu bagi AS. Suriah juga yang memberikan informasi serangan Al Qaeda di instalasi


(50)

AS di Bahrain sehingga serangan ini dapat dicegah. Kemudian pada 2003, AS dengan informasi intelijen Suriah, berhasil menangkap pakar mikrobiologi Irak bernama Huda Salih Ammash. Ammash adalah satu-satunya buronan perempuan yang namanya tercantum dalam daftar 55 orang pejabat Irak di era Presiden Saddam Hussein yang dicari AS. Menurut asumsi AS, Ammash ikut bertanggung jawab dalam pengembangan senjata biologis di Irak (Sale, Richard dalam UPI Inteligent Correspondent, www.upi.com).

Disisi lain AS juga mengadakan kerjasama kontraterorisme dengan Israel untuk melindungi Israel dari Suriah dan aliansinya. Sharing intelijen AS – Israel telah dimulai sejak tahun 1950. Kerjasama ini menyangkut aktivitas sensitif,

sharing informasi, pertukaran intelijen terkait dengan agen terorisme dan bergabung dalam operasi ofensif cyberwarfare. Contoh operasi cyberwarfare AS

– Israel adalah meletakan virus Flame dan Stuxnet di jaringan computer pusat pengembangan nuklir Iran (Eisenstadt dan Pollock 2012:10). Selain strategi yang bersifat kooperatif AS juga melakukan strategi yang bersifat konfrontatif dalam merespon Konflik Suriah – Israel pada periode 2002 – 2008.

2.2.2 Strategi Konfrontatif AS dalam merespon Konflik Suriah – Israel periode 2002 – 2008

Strategi konfrontatif AS dalam merespon Konflik Suriah – Israel periode 2002 – 2008 adalah mengeluarkan Syria Accountability Act, menutup kedutaan besar AS di Suriah dan mendukung tindakan konfrontatif Israel ke Suriah.

Strategi konfrontatif pertama AS adalah membuat Syria Accountability Act.


(51)

Pemerintahan Presiden Assad untuk bekerja lebih keras dalam memerangi terorisme baik di negaranya maupun diluar negeri. Ini merupakan pendekatan baru yang memadukan hukuman sanksi ekonomi dengan tekanan diplomatik (Salhan 2004:1).

Syria Accountability disetujui oleh Senat AS pada 11 November 2003 dengan jumlah suara 89 (menerima) banding 4 (menolak) (Washington Times,

11/12/03 dalam Leveret 2005:187). Selanjutnya pada 20 November 2003 Syria Accountability Act disetujui oleh House of Representatives dengan jumlah suara 408 (menerima) banding 8 (menolak) (AP, 11/20/03 dalam Leveret 2005:187). Akhirnya Syria Accountability Act disahkan oleh Presiden Bush 12 Desember 2003 (New York Times, 12/14/03 dalam Leveret 196).

Konsekuensi dari Syria Accountability Act adalah otoritas finansial AS dilarang bekerjasama dengan Bank Komersial Suriah pada Oktober 2004. Western Union juga memutuskan kontraknya dengan Bank di Suriah. Western Union memperluas jaringan dengan beberapa bank swasta yang baru berdiri di Suriah, mengingat sebelumnya hanya bekerjasama dengan bank pemerintah (SR, 10/04 03 dalam dalam Leveret 196).

Pada akhir 2004 Pemerintahan Bush memberikan sanksi tambahan kepada Suriah dengan membatasi perusahaan AS melakukan bisnis disana. Anggota Dewan Keamanan Nasional mengatakan bahwa AS tidak akan bernegosiasi dengan Suriah sampai dukungan terhadap kelompok teroris dihentikan. Syrian Accountability Act menjadi stick bagi AS untuk mengatur Suriah dan tetap


(52)

memberikan carrot bagi Suriah dalam bentuk kerjasama-kerjasama dalam memerangi kelompok teroris seperti Al Qaeda dan Hizbullah (Salhan 2004:1).

Strategi konfrontatif kedua adalah AS menutup Kedutaan Besarnya di Damaskus pada tahun 2005. Hal ini dipicu oleh peristiwa pembunuhan PM Lebanon Rafik Hariri pada tahun 2005. Menurut AS, Suriah melakukan pembunuhan ini karena pada 2004 DK PBB meminta pasukan Suriah dan Israel keluar dari Lebanon. AS menganggap bahwa Suriah adalah dalang dalam pembunuhan tersebut dengan fakta meninggalnya Ghazi Kanaan, kepala badan intelijen Suriah untuk Lebanon karena bunuh diri. AS menganggap bahwa Kanaan bunuh diri karena merasa bertanggung jawab atas meninggalnya Rafik Hariri. Ini menyebabkan Hubungan AS – Suriah makin buruk, akibatnya AS menarik Duta Besarnya dari Damaskus pada tahun 2005. Kedutaan Besar AS baru dibuka lagi pada tahun 2010 (www.bbc.com). Namun Kuasa Usaha Suriah untuk Indonesia Dr. Alkhatib dalam wawancara dengan penulis menyatakan bahwa Suriah tidak terlibat dalam pembunuhan ini dan hal ini juga telah dikonfirmasi oleh Saad Hariri, putera PM Rafik Hariri yang juga pernah menjabat sebagai PM Lebanon.

Strategi konfrontatif yang ketiga adalah AS mendukung tindakan konfrontatif Israel terhadap Suriah. Pada Oktober 2003, AS mendukung serangan Israel ke perkemahan pengungsi Palestina yang berada di Suriah sebagai balasan atas serangan kelompok Hamas terhadap Israel. Sementara di Irak, pejabat AS mengancam akan melakukan aksi militer terhadap Suriah jika tetap menfasilitasi kelompok revisionis melintasi perbatasannya (International Crisis Group 2007:6).


(53)

AS menolak diadakannya pembicaraan lanjutan dengan Suriah tanpa kehadiran Iran dalam konferensi perdamaian mengenai Irak dan menasehati Israel untuk tidak melanjutkan negosiasi perdamaian. Hal ini sangat jelas bertentangan dengan laporan Baker – Hamilton, yang merekomendasikan AS untuk bekerjasama dengan Suriah dan melanjutkan pembicaraan damai antara Suriah dan Israel (International Crisis Group 2007:6-7).

Kemudian ketika Ketua House of Representatives AS Nancy Pelosi berkunjung ke Damaskus pada April 2007, Suriah menyampaikan keinginannya untuk kembali ke meja perundingan tanpa syarat. Namun internal Israel belum setuju untuk memulai perundingan kembali (International Crisis Group 2007:6-7). Israel beralasan bahwa mereka tidak bersedia memulai perundingan kembali dengan Suriah karena tidak ingin bertentangan dengan kebijakan luar negeri AS dalam mengisolasi dan menekan Suriah.

AS menolak anggapan bahwa AS menjadi penghalang bagi proses perdamaian Suriah – Israel, AS menjelaskan jika Suriah serius dan Israel setuju maka AS tidak akan menolak mengadakan proses perdamaian lanjutan. Namun menurut AS fokus Suriah bukanlah pada Dataran Tinggi Golan melainkan pada Lebanon. Hal ini diperlihatkan dari usaha Suriah untuk menghentikan pengadilan dan pencarian fakta atas pembunuhan Perdana Menteri Lebanon Rafik Hariri dan menekankan pengaruhnya di Lebanon. Menurut AS, Suriah akan melakukan apapun untuk mendapatkan kembali Dataran Tinggi Golan dan menjaga pengaruhnya di Lebanon, oleh karena itu biaya di balik semua kesepakatan dengan Suriah dengan Israel adalah Lebanon (International Crisis Group 2007:5).


(54)

Presiden Bush dalam buku biografinya (Bush dalam Olmert 2011:208) mengatakan bahwa PM Olmert mengumumkan bahwa Suriah tidak akan menjadi target. Menurut Presiden Bush tidak membalas perlakuan Suriah terhadap Israel merupakan kekeliruan yang membuat dukungan Suriah terhadap Hizbullah makin besar. Hal ini dibuktikan dengan pemberian dukungan AS terhadap Perang Israel - Hizbullah di Lebanon dan Dataran Tinggi Golan untuk melenyapkan Hizbullah. Presiden Bush memberikan rekomendasi agar Israel menyerang Hizbullah dan Suriah saja (Parry 2006:11).

Kemudian pada Oktober 2008 helikopter AS menyerang perbatasan Suriah di Desa Hwijeh. Pemerintah Damaskus mengecam serangan yang menewaskan delapan orang itu sebagai agresi serius. Seorang pejabat militer AS menyatakan serangan oleh pasukan khusus itu ditujukan ke jaringan pejuang asing yang berkaitan dengan Al-Qaeda, yang bergerak melewati Suriah menuju Irak (Suaramerdeka.com edisi 29/10/2008).

Dari penjabaran strategi ini dapat disimpulkan bahwa strategi AS pada periode penelitian (2002 – 2008) terlihat kontradiktif. AS mengadakan diplomasi ulang alik dan konferensi damai dan tidak menggunakan kekerasan secara langsung terhadap Suriah namun disisi lain mendukung aksi-aksi konfrontatif Israel terhadap Suriah, memberikan sanksi dan menutup kedutaan besarnya di Damaskus (Rabinovich 2010:3).


(55)

Konflik antara Suriah – Israel dimulai sejak pendirian negara Israel di tanah Palestina tahun 1948 yang ditandai dengan pecahnya Perang Arab – Israel I (tahun 1948-1949). Setelah itu, kembali terjadi konflik terbuka di antara keduanya pada Perang Arab – Israel II (1967). Pada Perang Arab - Israel II, Israel berhasil mengokupasi Dataran Tinggi Golan (dari Suriah), Sheeb’a Farms (dari Lebanon), Semenanjung Sinai (dari Mesir) serta Gaza dan West Bank (dari Palestina) (International Crisis Group Report 2007:5). Negara-negara Arab termasuk Suriah, ingin merebut kembali daerah yang di okupasi oleh Israel sehingga terjadi Perang Arab Israel III. Perang Arab – Israel III terjadi pada 1973 dan diakhiri oleh gencatan senjata pada 1974 (International Crisis Group Report 2007:5).

Gencatan senjata 1974 antara Suriah – Israel dimediasi oleh AS dengan membuat garis pemisah sepanjang 10.100 km (International Crisis Group Report 2007:5). Garis gencatan senjata ini diawasi oleh 1.000 pasukan keamanan PBB yang tergabung dalam United Nation Disengagement Observer Force (UNDOF). Garis gencatan senjata ini dibatasi oleh pagar logam dan pasukan Suriah - Israel hanya boleh ditempatkan sejauh 25 kilometer dari batas ini, dengan jumlah maksimal 6.000 pasukan (International Crisis Group Report 2007:5).


(56)

yang menjadi salah satu pembuat kebijakan untuk mengokupasi Dataran Tinggi Golan, mengatakan bahwa 80% Konflik Suriah – Israel dimulai dari provokasi Israel (Repko 2007:1). Berikut adalah konflik yang terjadi antara Suriah – Israel pada periode penelitian.

3.2 Okupasi dan Aneksasi Israel atas Dataran Tinggi Golan

Dataran Tinggi Golan adalah wilayah Suriah yang diokupasi oleh Israel pada 5 Juni 1967. Israel menganeksasi Dataran Tinggi Golan pada 15 Desember 1981 (Eiland 2009:5). Okupasi dan aneksasi ini ilegal dan bertentangan dengan hukum internasional Konvensi IV Jenewa dan Resolusi DK PBB nomor 497 tahun 181. Resolusi ini melarang okupasi melalui kekerasan, melarang Israel mengganti status Dataran Tinggi Golan menjadi aneksasi, melarang negara lain mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan dan menyerukan agar Israel menjaga hak masyarakat pribumi yang berwarganegara Suriah (Human Rights Council Report 2009:2). Presiden AS saat itu Ronald Reagan juga menolak okupasi dan aneksasi yang dilakukan oleh Israel atas Dataran Tinggi Golan (Repko 2007:1-2).

Dataran Tinggi Golan terdiri dari perbukitan seluas 444 mil persegi yang berbatasan dengan Sungai Yarmouk di sebelah selatan, Sungai Jordan dan Laut Galilee di Barat, Gunung Hermon di utara dan Wadi Al-Ruqqad di Timur (Daoudy, 2008 :8). Penduduk pribumi Golan berkewarganegaraan Suriah dan saat diokupasi Israel tahun 1967 berjumlah 500.000 jiwa (Daoudy, 2008 :8). Pada tahun 1991, Israel mengusir 130.000 penduduk pribumi Golan dan terus mengusir yang lainnya secara


(57)

bertahap sampai hanya berjumlah 20.000 pada tahun penelitian (2008) (Daoudy 2008 :8). Setelah proses pengusiran ini, Israel mendirikan 20.000 permukiman ilegal disana (Human Rights Council Report 2009:3).

Komposisi penduduk Golan tahun 2008 terdiri dari 20.000 Yahudi Israel, 17.000 Druze Suriah dan 3000 Alawites sehingga jumlahnya adalah 40.000 jiwa (Eilland, 2009). Penduduk Golan yang termasuk dalam Yahudi Israel bermukim di pusat Kota dan Kibbutzes sedangkan Druze Suriah terkonsentrasi dalam empat desa di timur dan kaum Alawites di perbatasan Utara. Dataran Tinggi Golan pernah dikuasai oleh Britania Raya, Perancis, Israel dan Suriah (Gurtler 2010:4).

Dataran Tinggi Golan tidak memiliki signifikansi sejarah dan religi seperti West Bank bagi Israel. Namun, Yahudi telah membangun sinagog sejak tahun 23 SM di Dataran Tinggi Golan. Sedangkan Suriah memiliki hubungan sejarah yang kuat dengan Dataran Tinggi Golan karena mayoritas penduduk Golan adalah penduduk Suriah dan merujuk pada perjanjian Sykes-Picot Dataran Tinggi Golan adalah milik Suriah (Gurtler 2010:10).

Hak Suriah atas Dataran Tinggi Golan dipertegas kembali dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 497 tahun 1981. Resolusi ini menyatakan bahwa okupasi dan aneksasi Israel di Dataran Tinggi Golan bertentangan dengan Piagam PBB dan ilegal menurut hukum internasional. Oleh karena itu, melalui resolusi ini PBB menghimbau agar Israel segera mengembalikan Dataran Tinggi Golan kepada Suriah dan dalam proses pengembalian tersebut tetap menghargai hak-hak


(58)

warganegara Suriah yang berada di Golan sesuai dengan Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 tentang perlindungan penduduk di masa perang (UNISPAL.org). Resolusi inilah yang dijadikan sebagai landasan dalam proses perdamaian Suriah dan Israel.

Ilustrasi 3.1 Peta Dataran Tinggi Golan

Sumber: Wingfield (2013:39)

Seperti terlihat dalam peta, Dataran Tinggi Golan secara geostrategis dan militer sangat penting bagi Suriah dan Israel karena menjadi pembatas antara

Golan Heights


(59)

keduanya. Topografi Golan yang berupa pegunungan, menawarkan wilayah yang ideal untuk meluncurkan serangan, melakukan aktivitas intelijen dan spionase (Gurtler 2010:11). Israel menempatkan pasukan dan pos penjagaan di Gunung Hermon yang jaraknya hanya 35 kilometer dari Damaskus sehingga Damaskus berada di daerah yang rawan dari serangan Israel (Daoudy 2008:8).

Kemudian signifikansi Dataran Tinggi Golan dalam Sumber Daya Air pun sangat krusial karena merupakan masalah yang sensitif bagi Suriah dan Israel. Suriah pernah mengalami embargo air oleh Turki di tahun 1986. Ketika itu Turki menghentikan persediaan air di Suriah sehingga menyebabkan krisis air, dampaknya status Suriah ditingkatkan menjadi dalam keadaan bahaya, setengah juta petani meninggalkan tanah pertaniannya dan melakukan urbanisasi ke kota-kota besar (Bechor dalam Olmert 2011:208). Israel pun pernah diembargo air oleh negara-negara Arab di tahun 1960an (pbs.org). Saat ini Dataran Tinggi Golan menopang sepertiga dari sumber kebutuhan air bagi Israel (Olmert 2011:208).

Selanjutnya signifikansi Dataran Tinggi Golan dalam bidang ekonomi adalah memberikan keuntungan dalam sektor pertanian dan pariwisata. Dataran Tinggi Golan menyumbangkan 40% daging, 30% apel, 38% ekspor anggur, 32% kentang, 23% jagung, 50% ceri, 41% wool, 28% telur dan 6% susu bagi pasar domestik Israel (El Abd, 2009:44). Mempertahankan Dataran Tinggi Golan berarti menjaga swasembada pertanian Israel karena berpotensi menopang 70% dari kebutuhan Israel. Pendapatan yang diterima Israel dari sektor pertanian dan pariwisata Dataran Tinggi


(60)

Golan mencapai 500 juta shekel (mata uang Israel), senilai dengan 136 juta dollar AS per-tahun (El Abd 2009:44).

Menurut Jeff Halper, koordinator Israeli Committee Againts House Demolitions

dalam Wingfield (2013:12-13), Israel memiliki tiga dimensi kebijakan untuk menjaga kekuasaannya di Golan. Dimensi pertama, aksi militer dan kekerasan termasuk menggunakan pemerintahan militer, bekerjasama, penahanan, memperpanjang masa tahanan, pengusiran, memasang ranjau, menyiksa dan melakukan hal-hal yang brutal.

Dimensi kedua, birokrasi dan mekanisme hukum termasuk mengatur siapa yang menduduki posisi penting di Golan, mengatur akses pekerjaan, memperketat izin melakukan perjalanan, menggunakan lisensi dan surat izin sebagai teknik dalam mengontrol hak-hak politik, kebijakan pajak yang diskriminatif dan pembangunan rencana dan zona permukiman bagi warga Israel dan membatasi pertumbuhan komunitas di daerah okupasi. Dimensi ketiga, mengatur penggunaaan lahan dengan cara mengambil alih lahan, menghancurkan kota dan desa yang telah dibangun sebelum okupasi, membangun permukiman untuk Israel, membangun jalan raya, taman industri, area militer, zona keamanan, konservasi sumber daya alam, situs arkeologi dan sejarah, lahan hijau, membangun industri pariwisata dan menguasai sumber daya air dan sumber daya alam (Wingfield 2013:12-13).

Menurut Kuasa Usaha Suriah untuk Indonesia Dr. Basham Alkhatib dalam wawancara dengan penulis (22/4/2014), bagi Suriah pengembalian Golan ke dalam kedaulatannya merupakan bentuk perlindungan bagi para penduduk, sumber daya


(61)

alam, identitas dan harga diri Suriah, karena secara identitas masyarakat Suriah yang hidup di Golan sangat loyal terhadap Suriah. Hal ini terlihat saat Israel menganeksasi Golan pada 1981 dan menawarkan pemberian kewarganegaraan Israel, sebagian besar penduduk Suriah menolaknya. Hanya 1% penduduk Suriah di Golan yang mau mengubah kewarganegaraannya menjadi warga negara Israel (Gurtler 2010:17). Warga Suriah di Golan tetap memasang bendera Suriah, foto presiden Suriah dan menggunakan bahasa Arab dalam kehidupan sehari-hari. Gaya hidup seperti hiburan pun mengikuti tradisi di Suriah. Mereka juga membentuk organisasi yang pro Suriah untuk mengadvokasi saat pemerintah Israel melakukan diskriminasi, contohnya organisasi Al Marsad (Gurtler 2010: 17).

Al Marsad adalah organisasi internasional yang berdiri pada tahun 2003 dan berlokasi di Majdal Shams, Dataran Tinggi Golan. Al Marsad didirikan oleh kelompok profesi yang berasal dari bidang hukum, kesehatan, pendidikan, jurnalis, insinyur dan pegiat HAM. Al Marsad fokus dalam mengkaji dan mengadvokasi isu Hak Asasi Manusia (HAM) di Dataran Tinggi Golan. Tujuan utama organisasi ini adalah memonitor dan mendokumentasikan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Israel di Dataran Tinggi Golan dan menyampaikannya ke forum-forum internasional (golan-marsad.org).

Signifikansi Dataran Tinggi Golan bagi Suriah dan Israel membuat keduanya terus berkonflik untuk menguasainya. Hal ini terlihat dari pernyataan Presiden Bashar Al-Assad dalam wawancara dengan Koran Austria Die Presse (19/12/2007): “Suriah


(1)

United States Departement of State. 2013a. “Milestones 1969-1976: Oil Embargo 1973-1974”.diunduh pada 24 Desember 2014

(https://history.state.gov/milestones/1969-1976/oil-embargo)

---. 2013b. “US Relations With Iran”. Diunduh pada 24 Desember 2014 (http://www.state.gov/r/pa/ei/bgn/5314.htm)

United States Departement of State Publication Office of the Coordinator for

Counterterrorism. 2009. Country Reports on Terrorism 2008.

United States Departement of Trade, Official Website diakses pada 24 Desember 2014 (https://www.census.gov/foreign-trade/balance/c5081.html#2002)

Vaisse, Justin. 2010. Why Neoconservatism Still Matters. Foreign Policy at Brookings.

Walker, Edward.2002. Hizbullah is a terrorist organization. Middle East Institute

Middle East Quarterly.

Walt Stephen M. dan Mearsheimer. 2010. Dahsyatnya Lobi Israel. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama.

Waltz, Kenneth. 1979. Theory of International Politics. US: Addison-Wesley Publishing Company.

Wilcox Jr., Philip C. 2009. Brokering Mideast peace. The Christian Century Foundation.


(2)

World Nuclear Association diakses pada 24 Desember 2014

(http://www.world-

nuclear.org/info/Safety-and-Security/Non-Proliferation/Appendices/Nuclear-Proliferation-Case-Studies/)

Yarger, Harry R. 2006. Strategic Theory for The 21st Century: The Little Book on

Big Strategy.

Zayani, Mohammed. 2008. Courting and containing the Arab street: Arab public

opinion, the Middle East and U.S. public diplomacy. Association of Arab-American University Graduates.

Zannoti, Jim. 2012. Israel: Background and U.S Relations. Congressional Research Service.


(3)

Lampiran 1

Wawancara penulis bersama Kuasa Usaha Suriah untuk Indonesia, Dr. Basham Alkhatib pada tanggal 22 April 2014.

Berikut kutipan wawancaranya:

1. Dr. Basham Alkhatib (Charge d’Affaires) 2. Andhini Citra Pertiwi (Me)

Ambassador : “What can I do for you?”

Me : “First I want you to know that our pray belongs to your country. May Allah gives you strength and patience through the sad day. Sir, related to my thesis, I want to know how is the economic, social and political conditions in Golan Heights?”

Ambassador : “Amin, Thank you. Don’t worry the storm will be passed because we always believe in Allah SWT. Talking about the Golan Heights, it cannot be separated with the others Israeli occupied territory, such as Palestine and Lebanon". Israel occupied those territory after 1967 war and it's contrary to UN charter. Golan Heights is our territory, the Golan tree is belongs to Syrian, The Golan water is belong to Syrian and the Golan People is Syrian. So we will do everything to take it back. The Israeli only takes an advantage from Golan natural resources and they don't stop to build settlement and nothing US can do to stop it because Israel is their ally.”

Me : “So what was the US role to resolve that?” : “The US did nothing to resolve that.”


(4)

Ambassador : “Yes, US held that, but the main purpose was not for creating everlasting peace in Middle East. But only for US interest. You know what, in 2003 US Secretary of State Colin Powell met my president and he said "I can help you to take Syrian territory back, but you should agree with US invasion in Iraq and you should end your relationship with Iran, then you also should help us to combat terrorist in the region. After hearing that, my president decided to walk out from that meeting. From 1991 Madrid Conference until now we always stand for not only to taking back our territory but also to support Palestine and Lebanon to obtain their right. What do you see from implementation of US peace conference for Middle East? Israel still continued settlement construction, Palestinian still haven't a sovereign state, Iraq situation remains poorly and the conflict still go on so the innocent people still become a victim.”

Me : “Why is it always like that sir?”

Ambassador : “Because, like i said before, US only seeking for their interest. If their interest is diplomacy, so they'll do diplomacy and if their interest is war, so they'll do war.”

Me : “How about the incentive sir? Did US give an incentive to Syria to join in peace conference?”

Ambassador : “Yes a little incentives but every incentives had a consequences and the consequences is always related to their interest.”

Me : “How about your opinion about bush diplomacy in Syria after 9/11 and after Iraq war?”


(5)

Ambassador : “If you talk about US, you don't talk about leader characteristic but you talk about US system. So i think there was no big differences between Bush Jr or Bush Sr or the others US president.”

Me : “In some President Bush speech, he mentioned Syria as a part of axis of evil by supporting Hezbullah in creating terror. According to his speech, the true Syrian mission behind that was to improve the bargaining position of the Golan Heights issues in any peace talks that the US held. What's your opinion?”

Ambassador : “Who is the real terrorist in here? who's been stealing the others country natural resources, who's been occupying the others country territory, who's attacking Palestinian, who's been never stop to fulfill their interest? That's the real terrorist I think.”

Me :” In 2005, the US embargoed Syrian because allegedly participating in the killing of Lebanese Prime Minister Rafiq Hariri. After that US - Syrian relation was stretchable. What is your opinion about that?"

Ambassador : “There was cool fact about that news. With the God permission, the sons of Al Hariri, his name is Saad Hariri declared that Syria was not involved in his father assassination. So, it is more than enough to clear that news."

Me : “What is the solution to resolve Israel - Syrian Conflict?”

Ambassador : “First, from governmental level, our stands is always clear. We accepted normalization with Israel if they gives back our territory included Lebanon dan Palestine territory according to the 1967 international border. Second we should have new civilization and


(6)

mutual understanding and solidarity, so our bargaining position in international arena could be stronger”.

Me : “What is your hope for US to resolve this conflict?”

Ambassador : “We don’t hope to US. We only hope to God. Because Allah who has everything. And we only can hope to the other Arab or Muslim country like Indonesia.”