Mitos Penciptaan Manusia MITOLOGI PENCIPTAAN MANUSIA

BAB IV MITOLOGI PENCIPTAAN MANUSIA

DALAM PANDANGAN ALI SYARI’ATI

A. Mitos Penciptaan Manusia

Landasan Ali Syari’ati dalam menafsirkan tentang penciptaan manusia, tidak lepas dari sumber al-Qur’an. Adam yang mewakili seluruh manusia, esensi umat manusia, manusia dalam pengertian yang filosofis, bukan dalam pengertian bahasa biologis. 73 Dalam beberapa ayat al-Qur’an, terdapat gambaran tentang penciptaan manusia, namun penggunaan redaksinya cenderung memakai bahasa ilmu alam atau istilah-istilah biologis, seperti menyebutkan sperma, gumpalan darah, dan janin. Tetapi ketika menceritakan kisah kejadian Adam, maka bahasa yang digunakan adalah bahasa metaforis dan filosofis, karena itulah dalam mitologi penciptaan, kisah penciptaan Adam ini diceritakan dalam bentuk bahasa simbolik, bahasa yang umum yang sering dijumpai juga dalam tradisi agama- agama semitik. Ali Syari’ati menyatakan: “itulah sebabnya kenapa agama-agama harus menggunakan bahasa simbolis, agama itu di alamatkan kepada aneka ragam jenis dan generasi manusia. Banyak konsep terkandung dalam agama tidak begitu jelas dipahami orang pada waktu konsep-konsep itu pertama kali dikemukakan, jika agama di satu pihak, menyampaikan ide-idenya tidak dalam bahasa yang umum dan lazim, maka ia akan tidak mudah dipahami oleh umat zaman itu, tetapi di pihak lain jika ia menyampaikan ideanya dalam bahasa yang umum, maka ia akan kehilangan makna di belakang hari. Karena itu perlulah agama berbicara dalam bahasa simbol dan tamsil agar bisa ditangkap sesuai perkembangan pemikiran manusia dan ilmu...” 74 73 Ali Syariati, Tentang Sosiologi Islam, Penerjemah : Syaifullah Mahyuddin Yogyakarta: Ananda, 1982 h. 113 74 Ali Syariati, Tentang Sosiologi Islam, Penerjemah : Syaifullah Mahyuddin Yogyakarta: Ananda, 1982 h.88 Karena itulah kisah kejadian Adam, yakni kisah kejadian manusia, disampaikan secara simbolis, sehingga hari ini, setelah perkembangan ilmu-ilmu alam selama empat belas abad, kisah itu masih tetap dibicarakan dan dipahami. Ketika dalam konteks mitologi sebelumnya, Adam ditafsirkan sebagai mitos dan simbol, tetapi Syari’ati percaya, bahwa Adam juga menjadi manusia historis yang menjadi nenek moyang manusia sekarang, misalnya ketika membahas mitologi Qabil dan Habil 75 , dia menulis bahwa kita sayang ketika ditakdirkan menjadi anak cucu Qabil, dalam Ummah dan Imamah, dia menulis, kita semua adalah anak cucu Adam. Ini menandaskan bahwa Adam dan anak cucunya adalah manusia historis di samping simbolis. 76 Syari’ati mengemukakan interpretasinya, sebagaimana dalam al-Qur’an, manusia yang pada dasarnya diciptakan dari dua unsur, pertama roh Tuhan, dan kedua adalah tanah liat. Kemudian Tuhan menciptakan manusia dari salsal kal fakhar lumpur dan hamam masnun tanah hitam yang berbau busuk, 77 dan akhirnya Tuhan menghembuskan roh-Nya ke dalam manusia ciptaan-Nya, dan lengkaplah penciptaan. Ali Syari’ati mengindikasikan adanya perbedaaan informasi tentang mitos penciptaan manusia antara Islam dan Barat. Dalam mitos penciptaan di Barat dikisahkan hubungan antara langit dan bumi tidaklah harmonis, mereka saling bertempur sepanjang masa. Ali Syariati melihat bahwa hal ini akan sangat 75 Merupakan filsafat sejarahnya Ali Syari’ati, lihat On the Sosiologi Of Islam, h. 127-145 76 Ekky Malaky, Ali Syari’ati, Filosof Etika dan Revolusioner Iran Bandung: Teraju 2004 h. 82 77 Al Qur’an menyebutkan ada tiga tempat tentang bahan asal manusia. Mula-mula al Qur’an menyebutkan”lempung tembikar” QS.Ar Raham :14 lalu al-Qur’an menyebutkan “Ku- ciptakan manusia dari lumpur hitam ” QS.Al Hijr ; 26, dan kemudian kata Tin, yang berarti “ Lempung, tanah ” QS. Al An’am ; 2, QS. Al Mu’minun : 12 mempengaruhi pola pikir masyarakat Barat yang nantinya nampak pada ilmu pengetahuan, misalnya politik, sosial, budaya khususnya ilmu keagamaan. Syari’ati mencontohkannya pada pemikiran seperti Marx, yang mengatakan: “Adalah wajib menggunakan dalil berbalik guna membuktikan adanya Tuhan, di mana apabila alam ini tidak memiliki proses pembentukan yang benar, maka dengan demikian-Tuhan ada, dan sepanjang ada dunia yang tidak bisa dipahami dengan akal, berarti di situ ada Tuhan, dengan kata lain, bukti-bukti tidak rasional sajalah yang menjadi landasan bagi adanya Tuhan.” 78 Dalam mitos Barat, manusia merupakan simbol kekuatan anti-dewa, yang selalu menentang kerajaan dewa langit. Dewa-dewa langit melihat perkembangan hidup yang dijalani manusia selalu meningkat, peradaban berkembang dari hari ke hari. Tentu hal ini akan menjadi ancaman serius bagi para dewa. Para dewa merasa takut dengan kemajuan semua ini, mereka para dewa merasa dengan bekal “api kehidupan” yang telah dicuri, Prometheus akan menyaingi kekuatan para dewa, dan tentunya akan menjadi malapetaka. Oleh karena itu dalam mitos Barat, manusia selalu berusaha melawan belenggu- belenggu dari kungkungan para dewa, dan selalu menentang kekuasaan dewa. Kalau kita perhatikan, gambaran ala promethean inilah yang ikut membentuk cara pandang para pemikir-pemikir Barat. Hal ini bisa dilihat pada perkembangan ilmu-ilmu berikutnya, misal sastra, filsafat, sosial yang tidak lepas dari semangat Promothean, salah satunya seperti Karl Marx, sebagaimana dicontohkan di atas. Ali Syari’ati juga menginterpretasikan tentang hakikat kejadian manusia, sebagaimana yang telah tercatat dalam al Qur’an, bahwa manusia yang tercipta dari unsur roh Tuhan dan unsur lumpur, ini juga terjadi pada kaum Hawa, menurut Ali Syari’ati ketika kebanyakan orang menafsirkan bahwa Hawa tercipta dari 78 Ali Syari’ati, Humanisme Antara Islam Dan Madhab Barat, Bandung : Pustaka Hidayah, 1996 h. 86-87 tulang rusuk kiri Adam, itu adalah makna alegoris, beliau tidak membenarkan hal itu. Terjemahan “tulang rusuk” dalam bahasa Arab maupun Ibrani menurutnya kurang tepat, karena menurutnya makna yang lebih tepat adalah nature sifat, disposisi atau konstitusi. 79 sehingga antara laki-laki dan wanita mempunyai esensi dan unsur yang sama, meskipun terdapat perbedaan-perbedaan. Manusia mempunyai dua dimensi dengan dua arah dan dua kecenderungan berbeda, yang satu berasal “tanah liat” adalah simbol kerendahan, stagnasi, dan pasifitas mutlak, yang rendah dan hina, membawa manusia ke hakikat yang rendah, sedangkan satunya lagi terbuat dari “ruh Tuhan” yang selalu mengajak manusia ke arah puncak spiritual tertinggi, yaitu Zat Yang Maha Suci. ”Ruh Tuhan” adalah simbol dari gerakan tanpa henti ke arah kesempurnaan dan kemuliaan yang tidak terbatas. Bagi Syariati proses terjadinya manusia adalah gabungan antara Ruh Tuhan dengan tanah lumpur, yang mana kedua unsur ini akan saling bertentangan, saling tarik menarik antara keduanya, dan inilah yang menjadi keunikan manusia yang memiliki kodrat bidimensional, kedua unsur inilah yang akan dipilih manusia, apakah manusia akan menjadi makhluk yang sempurna atau sebaliknya. Seperti pernyataan Ali Syariati bahwa: ……..manusia adalah gabungan lumpur dan roh Allah. Ia adalah zat yang bidimensional, makhluk yang bersifat ganda, berbeda dengan makhluk-makhluk lain yang unidimensional. Dimensinya yang satu cenderung kepada lumpur dan kerendahan, stagnasi dan imobilitas. Sungai mengalir meninggalkan endapan lumpur yang tanpa gerak dan kehidupan. Persis begitu pula sifat manusia, pada salah satu dimensinya ia cenderung untuk terpaku pada kebisuan beku, tetapi dimensinya yang lain yang berasal dari roh Allah, sebagaimana al Quran 79 Barangkali Ali Syari’ati menunjuk kepada karya Kisa’I Qisasi al-Anbiya’. Ali Syariati, Tentang Sosiologi Islam , Penerjemah : Syaifullah Mahyuddin Yogyakarta: Penerbit Ananda, 1982 h.92 menyebutkannya, cenderung untuk meningkat ke puncak yang setinggi-tingginya, yakni kepada Allah dan roh Allah. 80 Ali Syari’ati merumuskan bagaimana kisah Adam terjadi Roh Allah + Lumpur = Manusia Makna simbolis pengertian di atas adalah bahwa manusia mempunyai dua dimensi, dimensi ketuhanan dan dimensi kerendahan atau kehinaan, sedangkan makhluk lain hanya mempunyai satu dimensi. Dalam pengertian lumpur secara simbolis mengandung pengertian menunjuk pada kehinaan dan kerendahan tidak berarti stagnan dan mati. Sedangkan ruh Tuhan menunjuk pada dimensi keilahian mengajak manusia cenderung untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Hakikat kejadian manusia inilah, maka manusia pada suatu saat dapat mencapai derajat yang tinggi, tetapi pada saat yang lain, dapat saja meluncur pada derajat kerendahan yang sangat dalam dan paling dasar. Pertentangan yang membuat jarak roh Allah dengan lumpur itu maka melahirkan “agama” atau “jalan”, menurutnya banyak orang yang keliru menganggap bahwa agama sebagai tujuan, padahal agama adalah suatu jalan atau wadah dalam rangka manusia menuju ke cahaya Tuhan. 81 Lebih jauh Syari’ati menjelaskan bahwa jalan adalah sarana yang mesti dilalui seseorang, guna mencapai suatu tujuan tertentu, tujuannya bukanlah berdiri sendirian di jalan itu dan kemudian mulai mengucapkan pujian palsu dan tak karuan, inilah yang menjadi kritikan Syari’ati terhadap kebanyakan umat Islam sekarang, jalan yang 80 Ali Syariati, On The Sociologi of Islam, penerjemah Syaifullah Mahyudin Yogyakarta:PT Ananda 1982 h. 81 Ekky Malaky, Ali Syari’ati Filosof Etika dan Revolusioner Iran Bandung: Teraju 2004 semestinya sebagai jalan, namun manusia lupa akan tujuannya, manusia banyak yang terlena dengan jalannya, menghiasi jalannya demi kepentingan jalan itu sendiri. Inilah makna “jalan demi jalan” berjalan tanpa arah dan tidak tahu tujuan. 82 Mungkin ada orang yang berkata, “dalam kenyataannya sekarang ini orang yang bukan muslim lebih baik, dari yang muslim,” ini benar, karena orang yang “tersesat” akan selalu berusaha, bergerak cepat, walaupun jalannya berkelak- kelok, lambat laun orang tersebut akan menemukan tempat pelabuhannya, dibanding dengan orang muslim, yang tidak memanfaatkan jalan “lurusnya”. Mereka muslim cenderung lontang-lantung, tidak mempunyai tujuan dalam hidup, selalu bangga dengan jalan tersebut karena pernah ada orang-orang hebat yang telah melalui jalan ini. Mereka muslim terjebak dalam kenikmatan jalan tersebut, hanya menghiasi hari-harinya tanpa makna, mereka muslim tidak merasa perlu untuk merubah diri mereka, atau memeriksa kekeliruan. Itulah sebabnya kenapa kaum penyembah sapi lebih unggul daripada pengabdi Allah, dan mereka muslim tidak menyadarinya. 83 Manusia yang dalam dirinya tergabung dalam dua unsur yang berlawanan, adalah zat yang dialektis, dan merupakan mukjizat Allah, dalam esensi dan fitrah hidupnya, ia adalah “arah tak terhingga” menuju lempung atau menuju roh Allah, adanya unsur roh Allah dalam diri manusia merupakan sebagai potensialitas, sebagai suatu kemungkinan, sebagai arah yang memungkinkan manusia berjuang ke arah Allah. 84 82 Ali Syari’ati, Islam Mazhab Pemikiran Dan Aksi, Bandung: Mizan 1995 cet.2 h. 90 83 Ali Syariati, On The Sociolog..., h. 124-125 84 Ali Syariati, On The Sociolog..., h. 119-120 Karena fitrahnya yang dualistis dan mengandung kontradiksi itulah, maka manusia yang merupakan gejala dialektis itu selalu dalam keadaan bergerak. Dirinya adalah ajang pertempuran antara dua kekuatan yang menumbuhkan evolusi terus-menerus ke arah kesempurnaan, tetapi di manakah Allah? Allah ada dalam tak terhingga infinitum, karena itu manusia tidak pernah bisa sampai pada peristirahatan terakhir dan bermukim dalam Allah. Demikianlah manusia bergerak dari kerendahan serendah-rendahnya ke arah kemuliaaan setinggi-tingginya, dan tujuannya ialah Allah, roh Allah, keabadian. 85 Dalam uraiannya, sang tokoh ini menafsirkan manusia yang memiliki bidimensional itu harus bertempur, berjuang becoming. 86 dan mempunyai kehendak bebas untuk menentukan kepada kutub mana manusia akan memilih, dan menurutnya inilah yang menjadi salah satu pembeda antara manusia dengan makhluk yang lain, karena hanya pada diri manusialah kehendak bebas itu terwujud, tidak seperti pada makhluk yang lain. Pertempuran yang terus-menerus itu akan berakhir ketika manusia mampu menentukan pilihannya pada salah satu kutub sebagai titik determinan hidupnya. Gambaran mitos penciptaan manusia dalam pandangan Ali Syari’ati 85 Ali Syariati, On The Sociolog..., h.120-122 86 Dalam uraian lain Ali Syari’ati menyampaikan dengan istilah Insan AGAMA AGAMA

B. Manusia Ideal