Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia sebagai sebuah pokok pembicaraan, adalah tema yang selalu menarik untuk dibahas. Hal ini dibuktikan dengan ramainya perbincangan tentang hal ini sejak dulu hingga saat ini. Ada sebuah ungkapan klasik dari Protagoras Yunani yang menyatakan “Man is the measure of all things” manusia menjadi ukuran segala-galanya 1 . Manusia sesungguhnya merupakan masalah yang paling rumit di alam semesta ini, oleh karena itu memerlukan curahan pemikiran yang besar. Ia mempunyai potensi luar biasa yang menjadikannya makhluk misterius, kemisteriusan ini dicoba untuk diungkap dari berbagai segi oleh manusia sendiri. Dengan kata lain, manusia mencoba mempelajari dirinya sendiri guna mendapatkan pengetahuan tentang hakikat dirinya sendiri. Manusia dengan segala dimensinya yang unik dan misterius akan terus bergelut dalam kesadarannya sendiri, mencoba memahami dirinya sendiri. Manusia banyak dikaji, bukan saja dari sisi biologisnya melainkan secara keseluruhan. Selain karena objeknya yang unik dan misterius ini, kajian tentang manusia akan selalu menghasilkan persepsi dan konsepsi yang berbeda. Kenyataan ini dapat dipahami karena manusia bukan sekedar berada, tetapi harus memahami keberadaannya. Dinamis dan berevolusi untuk mencapai kebahagiaan. Untuk pertanyaan-pertanyaan tentang manusia, sejarah memang mempunyai 1 B. Russell, Sejarah Filasafat Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002 h. 105 catatan yang panjang, mengapa manusia yang mempunyai kehendak bebas tetap terbelenggu oleh determinasi-determinasinya, mengutip istilah Ali Syari’ati, seperti determinasi historis, determinasi sosiologi, dan biologisnya. Dalam hal ini, manusia tidak akan bisa hidup apabila tidak mampu menjawab segala determinasinya, walaupun manusia mempunyai kesadaran dibanding makhluk- makhluk yang lain. Itulah beberapa pertanyaan-pertanyaan yang muncul ketika kita mambahas tentang seputar manusia dengan segala dimensinya. Dan pembahasan seputar manusia itu tidak akan habis selama manusia masih hidup di jagad ini. Mengkaji tentang manusia berarti tidak lepas dari usaha untuk mencoba memahami kedudukan humanisme dan konsep tentang manusia dalam semua agama-agama di dunia, maka dari itu sebaiknya mempelajari tentang konsep kejadian manusia sesuai yang dikemukakan oleh agama-agama tersebut. Namun dalam hal ini, dengan serba keterbatasannya, penulis hanya akan mengutip pendapat Ali Syari’ati 1933-1977 M tentang tema penciptaan manusia dalam pandangan Islam dan Barat. Dan dalam hal ini Ali Syari’ati menggunakan istilah Mitos Penciptaan manusia. 2 Apakah dalam tradisi Islam maupun tradisi Barat memandang manusia sebagai makhluk yang mempunyai kehendak bebas dan mampu mengembangkan potensialitasnya sehingga manusia dapat menyelesaikan segala persoalannya di bumi ini, dan fenomena-fenomenanya? Dalam tradisi Islam maupun Barat, apakah manusia dipandang sebagai makhluk yang lemah atau sebaliknya, yaitu makhluk yang agung, makhluk yang mempunyai daya luar biasa? 2 Penggunaan istilah ini bisa kita lihat pada buku Tugas Cendekiawan Muslim, karya Ali Syari’ati, terjemahan Amin Rais. h..2 Mengingat dalam penulisan ilmiah ini bertema mitos penciptaan manusia dalam perspektif Ali Syari’ati, maka akan kembali pada penciptaan Adam, di mana Adam merupakan simbol manusia, simbolisme ini terdapat dalam kitab suci agama Islam dan Ibrahim, yang dalam hal ini diakui dalam tradisi agama semitik, walaupun dalam penjabarannya mempunyai versi yang berbeda-beda. Dalam tradisi yang sangat tua Yunani Kuno, seringkali kita mendengar cerita-cerita yang bermuatan moral, pada tahap-tahap awal sejarah dengan gambaran-gambaran yang begitu fantastis seperti sejarah atau cerita para pahlawan dan dewa-dewa, dengan perangkat lisan ke lisan oleh masyarakat, sehingga cerita itu tetap abadi dan masih mengalir sampai sekarang ini. Dalam Kamus Filsafat , Lorens Bagus mendefinisikan “mitos”, di antaranya sebagai; kisah, hikayat dari zaman purbakala mitos-mitos tentang para pahlawan dan para dewa. Sedangkan K. Bertens dalam buku Sejarah Filsafat Yunani menguraikan bahwa myth atau mitos merupakan suatu faktor yang mendahului filsafat dan mempersiapkan ke arah timbulnya filsafat. Penulis melihat, tema-tema tentang mitologi dalam dunia modern sekarang ini sudah menjadi barang yang “digudangkan”. Artinya mitos itu hanya dianggap sebatas cerita khayalan, dongeng, tanpa makna dari zaman kuno. Padahal makna mitos itu sendiri menjadi semakin berkembang sesuai dengan tuntutan ilmu pengetahuan. Makna mitos tidaklah absolut, di mana istilah “mitos” yang terlintas dalam benak kita adalah kebohongan, cerita palsu, atau hal-hal lain yang bernuansa magis dan misterius, akan tetapi untuk memahami mitos, dalam pengertian ini mitos menjadi semacam “pelukisan” atas kenyataan-kenyataan yang tidak terjangkau, baik relatif maupun mutlak dalam format yang disederhanakan, sehingga terpahami dan tertangkap oleh orang banyak. Hanya melalui suatu keterangan yang terpahami itu, maka seseorang atau masyarakat dapat mempunyai gambaran tentang letak dirinya dalam susunan kosmik. Betapapun salahnya mitos, ia tetap mempunyai manfaat dan kegunaannya. Seperti kaum fungsionalis yang berpendapat serupa, bahwa fungsi mitos adalah untuk menyediakan rasa makna hidup yang membuat orang yang bersangkutan tidak akan merasa bahwa hidupnya sia-sia. 3 Begitu pula pada buku Teori Kesusastraan karya Rene Wellek dan Austin Warren yang menyinggung bahwa dalam Scienza Nuova karya Vico, sudah terlihat adanya perubahan pengertian. Melalui karya-karya Coleridge, Emerson, dan Nietzsche, mitos dianggap sebagai sejenis kebenaran atau sama dengan kebenaran; bukan saingan kebenaran sejarah atau ilmu pengetahuan, melainkan perlengkapannya. 4 Islam sebagai agama yang universal dengan beragam pemikiran umatnya menghadirkan konsep yang merujuk pada al Qur’an untuk konsep manusia. Di mana makna-makna simbolis dalam al Qur’an merupakan stimulus bagi setiap pemikir dalam rangka mencapai makna dan tafsir yang mendekati kebenaran. Hal ini seperti yang telah diungkapkan oleh Ali Syari’ati tokoh yang akan coba penulis angkat dalam tema sentral tentang mitologi penciptaan manusia, menurutnya, “Jika al Qur’an diungkapkan dengan makna-makna datar, maka al Qur’an akan tidak representatif di kemudian hari, dan tidak akan menarik 3 Abd. Khaliq Dahlan,”Mitos dan Kehidupan Manusia” sebuah tinjauan sosiologis-psikologis. Teologia, no.1 Oktober 1989 h.480-481 4 Rene Wellek, Austin Warren, Teori Kesusastraan, Jakarta: PT. Gramedia, 1993 h.243 perhatian manusia, karena maknanya sudah tertangkap pada masa itu. Itulah sebabnya al Qur’an dituangkan dengan penuh makna yang “misteri” penuh simbol-simbol dan sarat muatan filosofis, mempunyai nilai sastra yang tinggi. Meminjam istilahnya Husserl, makna-makna al Qur’an hendaknya di-epoche 5 . Bagi Ali Syari’ati bahasa-bahasa simbolik merupakan bahasa yang paling agung, dari sekian banyak bahasa yang pernah disusun oleh manusia. Nilainya yang lebih besar, lebih abadi dan akan selalu diperbincangkan, daripada bahasa- bahasa yang ungkapan maknanya jelas dan dengan bahasa yang sederhana. Al Qur’an yang banyak mengandung bahasa-bahasa simbolik pada akhirnya akan memunculkan multi tafsir dalam setiap ayat-ayatnya, seperti nilai-nilai sastra, di mana dalam dunia sastra ada beberapa model pengkisahannya, yaitu : model perumpamaan, model sejarah, dan model legenda atau mitos. Untuk memahami mitos kaitannya dalam kitab suci, menurutnya mitos merupakan gambaran- gambaran dalam penyederhanaan konsep, untuk memudahkan manusia dalam rangka memahami bahasa-bahasa simbolik dalam kitab suci, sehingga bisa menangkap substansinya, dan makna yang tertangkap akan selalu hidup. Ali Syari’ati menyebutkan bagaimana al Qur’an ketika menyampaikan kisah kejadian Adam, dia melihat di sini al Qur’an kental sekali menggunakan bahasa simboliknya. Dengan demikian tipe mitologi yang dibangun oleh al Qur’an akan memberi ruang bagi kita untuk menangkap mekanisme yang halus dari ungkapan simbolisnya. 6 5 Husserl mengangkat istilah ini sebagai penangguhan atas keputusan sebagai suatu tahap dalam reduksi fenomenologisnya. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta : PT Gramedia, 2002 h.215 6 Mohammed Arkoun, Berbagai Pembacaan Al Quran, Jakarta : INIS, 1997 h. 57 Sosok Ali Syari’ati yang tampil dengan pemikirannya yang segar dan berbeda, distingtif dengan pemikir-pemikir lain, seperti tema yang akan coba penulis angkat tentang tema mitos penciptaan manusia. Walaupun Syari’ati mendapatkan sambutan yang luar biasa di kalangan pemikir-pemikir lain, akan tetapi beliau juga tidak lepas dari kritikan-kritikan pedasnya, seperti kalangan ulama-ulama Syiah pada waktu itu. Beliau dianggapnya sebagai ulama yang kontroversial, begitu pun pendapat para pemikir–pemikir di Indonesia, seperti Amin Rais, Haidar Baqir, dan Dawam Raharjo. Tokoh yang disebutkan terakhir menganggap, bahwa Ali Syari’ati adalah seorang pemikir yang bingung, hal ini terlihat ketika Syari’ati membahas tema marxisme 7 . Satu sisi Ali Syaria’ti menggunakan salah satu konsep Marxisme tentang kaum proletar rakyat yang tertindas, namun di sisi yang lainnya, Ali Syari’ati mengecam habis-habisan, ketika Marx mengejawantah dalam partai sosial dan komunis. Kaitannya dalam kajian ini, Ali Syari’ati mampu mengawinkan epistemologi Barat dengan keyakinan agamanya yaitu Islam, yang menghasilkan ide-ide berbeda dengan pemikir-pemikir lain. Bagi Syari’ati, mitologi penciptaan ini sangat penting untuk melihat hubungan antara langit dan bumi, Syari’ati melihat bahwa mitologi ini sangat berpengaruh pada pandangan dunia Barat. Khususnya dari segi keagamaan, ilmu pengetahuan, dan politik. Karena itu terjadi pertarungan antara teknologi dan ilmu pengetahuan di satu sisi, dengan alam dan agama di sisi lain. Inilah yang menjadi awal ketertarikan penulis untuk mengangkat kembali tema yang mungkin dianggap sebagian orang sudah usang, dan dianggap sudah 7 Ekky, Malaky Filosof Etika dan revolusioner Iran Bandung: Teraju 2004 h. 44 tidak relevan bagi perkembangan zaman. Di samping itu tokoh Ali Syari’ati ini lebih dikenal banyak orang sebagai pemikir revolusioner Iran yang serius menggeluti politik. Beberapa karyanya yang diterbitkan dalam editan bahasa Indonesia lebih memfokuskan pada tema sosial dan gerakan politiknya, padahal menurut penulis Ali Syari’ati juga fasih ketika menafsirkan teks-teks kitab suci al Qur’an dengan perangkat ilmu sosiologi, dan analisa filosofisnya, seperti dalam uraiannya tentang mitos penciptaan Adam, yang kemudian membawa kita pada pemikiran modern yang muncul sekarang ini, seperti marxisme, eksistensialisme, lebih lanjut lagi ketika beliau membahas mitos sejarah Qabil dan Habil, di mana manusia yang sekarang ini berkembang sesuai dengan kebudayaan dan pengetahuannya tidak lepas dari pengaruh mitos sejarah Qabil dan Habil. Dalam karya ilmiah ini penulis mencoba memberikan secuil informasi tentang mitologi penciptaan manusia baik di dalam dunia Barat, dalam hal ini Yunani kuno, dan mitologi penciptaan manusia di dalam Islam. Kemudian penulis mengangkat buah pikir salah satu tokoh revolusioner Iran yakni Ali Syari’ati tentang mitos penciptaan manusia Adam. Dari pertimbangan–pertimbangan dan uraian yang diutarakan, perlu kiranya penulis mengahadirkan pemikiran Ali Syari’ati dalam sudut pandang yang berbeda. Penulis juga melihat tema ini penting untuk dikaji kembali, karena jika kita perhatikan realitas sekarang, dalam serba kemodernan sekarang ini, meski ditopang dengan kecanggihan teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat, ternyata manusia tetaplah menjadi sebuah tema yang misterius. Walaupun mampu menundukkan alam kosmos, namun ia tetap bergelut untuk mengenali dirinya sendiri. Persis seperti ungkapan John Dewey, bahwa “membuat manusia modern lebih dungu ketimbang manusia primitif dalam hal menaklukan dirinya” 8 .

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah