Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali syari'ati

(1)

KONSEP MANUSIA

DALAM PERSPEKTIF ALI SYARI`ATI

Oleh

Lesmadona Ferutama

NIM. 203033102165

JURUSAN AQIDAH FILSAFAT

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2008 M / 1428 H


(2)

KONSEP MANUSIA DALAM PERSPEKTIF ALI SYARI`ATI

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar

Sarjana Filsafat Islam (S. Fil. I)

Oleh

Lesmadona Ferutama

NIM. 203033102165

Di Bawah Bimbingan

Prof. Dr. Fauzan Misra el-Muhammadi, MA

NIP. 150107970

JURUSAN AQIDAH FILSAFAT

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2008 M / 1428 H


(3)

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul

Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

telah

diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 23 Juni 2008.

Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Program Strata 1 (S1) pada jurusan Aqidah Filsafat.

Jakarta, 23 Juni 2008

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Drs. Harun Rasyid, MA Drs. Rifqi Muchtar, MA

NIP. 150232921 NIP. 150282120

Anggota

Drs. Agus Darmaji, M. Fils Prof. Dr. Zainun Kamal, MA

NIP. 150262447 NIP. 150228520

Prof. Dr. Fauzan El-Muhammady, MA

NIP.150107970


(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Tuhan Semata Alam, pencipta makhluknya, Yang mengetahui apa-apa yang ada dilangit dan di bumi yang nyata maupun yang tersirat baik dalam keadaan terang benderang maupun dalam keadaan gelap gulita. Shalawat dan salam selalu tercurah dari bibir pendosa yang selalu dipaksakan untuk terus mengucapkan keselamatan atas manusia agung sang paduka Nabi Muhammad saw, berkat dengan adanya Muhammad-lah alam ini dapat terciptakan dan dapat diberikan cahaya menempuh jalan yang terang benderang.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak menemukan kendala-kendala yang harus dihadapi oleh penulis. Namun demikian berkat bimbingan-Nya serta bantuan yang sangat berharga bagi penulis, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga kepada:

1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. 2. Dr. Amin Nurdin, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Drs. Harun Rasyid, MA selaku Kepala Program Ushuluddin dan Filsafat Non-Reguler.

4. Bapak. Drs. Agus Darmaji, M.Fils selaku Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Bapak Prof. Dr. Fauzan Misra el-Muhammadi, MA selaku dosen pembimbing. Terimakasih banyak atas segala waktu dan bimbingannya.

6. Kepada segenap Dosen-dosen Ushuluddin dan Filsafat yang telah memberikan ilmunya kepada penulis sehingga penulis menemukan pemikiran-pemikiran baru.

7. Segenap staff dan petugas Perpustakaan Utama dan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. UIN Syarif Hidayatullah.

8. Selanjutnya, salam ta‘dzim penulis kepada Ayahanda Lem Ses Aini dan Ibunda Fithriani, selaku kedua orang tua yang pernah mendidik penulis dari semenjak buaian hingga


(5)

menemukan “dirinya” sebagai manusia. Buaian kasih dan sayangnya sungguh tak akan pernah terbalas oleh penulis.

9. Kepada kedua kakek dan nenek penulis, Soehaily Ya`qub dan Nurkimah, yang telah memberikan nasehat-nasehat yang bijak agar penulis bisa menjadi lebih baik dan lebih baik lagi. Semoga keduanya diberikan umur panjang dan sehat selalu.

10. Latifah Mitrayani Hanum, adik penulis yang akan melanjutkan cita-citanya ke perguruan tinggi. Jangan pernah menyerah dan jangan pernah takut.

11. Om Edi, Tante Dwi, Om Raka, One, Om Fahmi, dan Uniang yang telah memberikan motivasi kepada penulis sehingga bisa terselesaikannya skripsi ini.

12. Buat sepupu-sepupu penulis Suci, Rio, Bima, Bulan, Bintang (welcome), Farhan, dan Bima yang jauh di mata dekat di hati.

13. Ust. Saepudin yang telah mengajarkan banyak hal kepada penulis.

14. Pak Masyhar MA yang telah menyediakan waktunya untuk mendiskusikan skripsi kepada penulis.

15. Teman-teman seperjuangan yang ada di KINEKLUB dan Kabbalah Study Club.

16. Teman-teman yang paling ngebosenin dari Al-Mukhlishin, Wawan, semoga sukses dengan kursusan barunya. “Udah jago belom (PS)?“. Goro, manusia paling banyak obsesi, mudah-mudahan tercapai obsesinya. Dan Sotoy, yang sedang meniti karier di Bombay. “Sabar ya Toy..“.

17. Buat Noz, Paijo, Muthe, dan Yuni yang telah memberikan kebersamaan dari kejenuhan sehari-hari penulis. “Thanks bro..“

18. Teman-teman Alumni Al-Hikmah, Will Strong, Wawan, Goro, Sotoy, Putra, Fakih, Siswoyo, Beny, dll. Teruskan perjuanganmu kawan.

19. Syukurku karena telah mengetahui perpustakaan-perpustakaan besar dan berbobot di pelosok Jakarta: Perpustakaan Utama UIN Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin beserta stafnya, Perpustakaan Idayu Senen, Perpustakaan Freedom Institute, Perpustakaan Nasional Salemba, Perpustakaan Kodya Jakarta Selatan, Perpustakaan Fakultas Bahasa dan Budaya UI, Perpustakaan Utama Universitas Negeri Jakarta.


(6)

20. Teman-teman di filsafat Bang Alex Komang, Romo Nova makasih bang atas segala kontribusinya, Fandy Rose, Rusli (Iwan), Diana “Cimot“, Uchay (Tuan Takur) dan Daus (Kabbalis), cepet beres ye.. Syakib (Pongga), Ismet, Ayat yang sudah selesai.


(7)

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan Skripsi...i

Lembar Pengesahan Panitia Ujian ...ii

Kata Pengantar ...iii

Transliterasi...vi

Daftar Isi ...vii

BAB I. PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah ...1

B.

Batasan dan Rumusan Masalah ...7

C.

Tujuan dan Manfaat Penelitian ...7

D.

Metode Penelitian ...8

E.

Sistematika Penulisan ...9

BAB II. BIOGRAFI ALI SYARI`ATI

A.

Riwayat Hidup ...11

B.

Pemikiran dan Karyanya ...16

BAB III. KONSEP MANUSIA MENURUT ALI SYARI`ATI

A.

Pengertian Manusia ...20

B.

Dua Kecenderungan Manusia

a.

Basyar ...

27

b.

Insân...

28

C.

Tiga Sifat

Ilâhiyah

dan Hal-Hal Yang Membatasinya ...30

D.

Pengaruh Teologis dan Filosofis serta Hubungannya dengan Konsep

Manusia (

Insân

) ...42


(8)

BAB IV. PENUTUP

A.

Kesimpulan ...48

B.

Saran-Saran ...49


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Secara umum, filsafat merupakan ilmu yang mempelajari hakikat segala sesuatu di alam ini, diantaranya adalah manusia. Menurut filsafat, manusia menempati posisi yang sangat penting, karena hanya manusia yang mampu berpikir dengan akalnya tentang kebaikan dan keburukan. Selain itu, dengan akalnya, manusia juga mampu mengatur segala sesuatu yang ada di alam dan mengolahnya dengan tujuan kepentingan dirinya sendiri. Dengan alasan ini, manusia termasuk kedalam salah satu kajian yang paling penting dalam ilmu filsafat.

Meskipun kajian tentang manusia menempati posisi sentral dalam ilmu filsafat, namun para filosof memahami hal ini dengan beragam persepsi. Hal demikian terjadi karena perbedaan dari definisi tentang hakikat manusia di antara mereka.

Di Barat, kita kenal dengan paham Eksistensialisme yang melahirkan beberapa tokoh didalamnya. Salah seorangnya yaitu, Soren Kierkegard. Dalam pandangan Kierkegard, manusia adalah satu-satunya makhluk yang bisa bereksistensi. Di samping itu, Kierkegard percaya bahwa manusia berasal dari Allah dan berada sedang dalam proses menuju hubungan kepada kesatuan tertinggi dengan-Nya. Dalam proses penciptaan manusia menurut Kierkegard, digunakan istilah to exist yang artinya dalam proses “menjadi”, dan disisi lain ditemukan pula istilah existence yang artinya adalah suatu perjuangan terus menerus menuju yang


(10)

tak terbatas. Jika demikian, perjuangan yang terus menerus inilah yang merupakan suatu proses pencapaian eksistensi manusia yang sesungguhnya.1

Banyak diantara para pemikir menggolongkan Kierkegard sebagai filosof, meskipun berbagai persoalan yang dirumuskannya lebih bernuansa metafisika, dengan kata lain, mereka lebih menyukai untuk menempatkan Kierkegard sebagai seorang filosof ketimbang seorang mistikus.

Tidak berbeda dengan Kierkegard, `Abd al-Karîm ibn Ibrâhîm al-Jîllî juga membangun argumentasi tentang manusia yang berdasarkan tema-tema teologis. Namun, al-Jîllî lebih dipandang sebagai seorang mistikus ketimbang seorang filosof, padahal berbagai persoalan yang diangkat tidak terlalu jauh dari persoalan yang telah dibanguin oleh Kierkegard. Dalam pandangannya, al-Jîllî berpendapat bahwa eksistensi manusia bersifat koheren dengan Tuhan. Dalam hal ini, manusia memiliki potensi untuk meneladani sifat-sifat ketuhanan. Dengan usaha ini, maka seseorang berada dalam proses pengembaraan menuju Tuhan, dan ketika pengembaraan itu telah mencapai tujuannya, maka manusia menjadi intim dengan dengan Tuhan. Pada saat keintiman ini, maka manusia itu menjadi manusia yang seutuhnya, dalam bahasa al-Jîllî disebut Insân Kâmil.

Bagi al-Jîllî, Insân Kâmil telah merangkum semua metafor asma-asma dan sifat-sifat-Nya yang berdimensikan zat di dalam diri Insân Kâmil itu sendiri.2

Maksudnya, potensi-potensi Ilâhiyah bersemayam dalam diri Insân Kâmil, sehingga tahap inilah yang disebut puncak pengalaman spiritual manusia. Menurut al-Jîllî, manusia yang paling tampak mempunyai potensi-potensi Insân Kâmil adalah Nabi Muhammad Saw, karena, dirinya menjadi manifestasi dari Esensi Tuhan.

1

Ekky Malaky, Seri Tokoh Filsafat:Ali Syari’ati: Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern, (Jakarta: Teraju, 2004), h. 57

2

Syeikh Abdul Karim Ibnu Ibrahim al-Jîllî, Insan Kamil: Ikhtiar Memahami Kesejatian Manusia Dengan Sang Khaliq Hingga Akhir Zaman, terj. Misbah El Majid, Lc., (Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana, 2006), h. 319.


(11)

Dengan demikian, dapat diketahui, Kierkegard dan al-Jîllî telah sepakat bahwa substansi manusia sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari Tuhan. Hal demikian merupakan bukti bahwa persoalan-persoalan yang sering diangkat oleh mereka adalah persoalan yang bersifat metafisik.

Kierkegard dan al-Jîllî bukan satu-satunya pemikir dari kalangan religius yang mempresentasikan mengenai persoalan substansi manusia itu sendiri. Jika al-Jîllî adalah seorang mistikus, maka dari kalangan filosof muslim, juga banyak yang mempresentasikan persoalan serupa. Salah seorang filosof Muslim Iran, Ali Syari’ati juga angkat bicara dalam persoalan tersebut.

Bagi Ali Syari’ati, persoalan substansi manusia sine qua non harus dikupas tanpa adanya kontradiksi terhadap dogmatisme Islam. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa, jika Ali Syari`ati berangkat dari dogma-dogma Islam dalam memahami hakikat manusia, maka pengaruh kitab suci al-Qur’an menjadi tampak pada pemikirannya.

Menurut Ali Syari`ati, konsep penciptaan Adam yang ada di al-Qur`an merupakan pernyataan humanisme yang paling dalam dan paling maju. Adam mewakili seluruh manusia, dia adalah esensi umat manusia, manusia dalam pengertian filosofis, bukan biologis. Bila al-Qur`an berbicara biologis, maka itu berarti al-Qur`an menggunakan bahasa ilmu-ilmu alam. Tetapi setelah berbicara pada kejadian Adam, bahasa yang dipergunakan adalah bahasa metaforis dan filosofis yang penuh dengan makna dan simbol.3

Berdasarkan konsep penciptaan manusia yang ada di al-Qur`an, Syari`ati berpendapat bahwa manusia diciptakan melalui dua unsur penting, yaitu, ruh Tuhan

3


(12)

dan tanah lempung. Ruh Tuhan mengajak manusia menuju puncak spritual tertinggi, sedangkan tanah lumpur berasal dari tanah yang rendah dan hina yang membawanya ke hakikat yang rendah. Pada akhirnya, kedua unsur ini saling tarik menarik sehingga manusia harus menentukan pilihannya sendiri. Oleh karena itu manusia merupakan makhluk yang mempunyai kehendak bebas untuk menetukan nasibnya sendiri. Setelah itu, Tuhan mengajarkan nama-nama pada manusia. Jadi Tuhan merupakan Guru Pertama manusia, dan pelajaran pertamanya adalah pengenalan “nama-nama”. Manusia juga pemberi nama pada dunia. Lantas, untuk menjawab protes para malaikat yang merasa Tuhan mengistimewakan manusia, padahal mereka hanya diciptakan dari tanah, sementara malaikat tercipta dari cahaya. Tuhan menyatakan diri-Nya mengetahui hal-hal yang tidak mereka ketahui, dan menyuruh para malaikat untuk bersujud sebagai tanda hormat kepada manusia. Ali Syaria`ti mengatakan sujudnya malaikat merupakan arti sebenarnya humanisme. Derajat manusia diangkat sedemikian mulia, setingkat di atas malaikat, meski ada unsur yang hina pada manusia. Keunggulan manusia ini bukan atas dasar rasial, karena manusia dianugrahkan oleh Tuhan pengetahuan, yaitu pengenalan nama-nama terhadap segala sesuatu, sedangkan malaikat tidak.4

Ali Syari’ati memposisikan manusia sebagai makhluk yang punya martabat tinggi, makhluk yang punya kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri, makhluk bidimensional yang di dalamnya terdapat unsur kesucian (ketuhanan) dan sekaligus unsur lumpur (kehinaan). Manusia adalah makhluk yang punya potensi intelektual, potensi kebebasan, dan potensi spiritual. Oleh karena itu, manusia dikaruniai amanat yang paling agung, yaitu sebagai wakil Tuhan, sebagai khalifahnya di bumi ini.

4

Ekky Malaky, Seri Tokoh Filsafat: Ali Syari’ati: Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern, (Jakarta: Teraju, 2004), h. 32.


(13)

Dalam hal ini, manusia harus melakukan evolusi, merubah dirinya dari keadaan lumpur menjadi ruh ketuhanan. Dari kehinaan ke kemuliaan. Dari kebodohan ke pencerahan. Dari penindasan ke kemerdekaan. Dari keadaan basyar ke insan. Selain itu, manusia juga harus membebaskan dirinya dari belenggu alam, sejarah, masyarakat dan egonya sendiri. Ia harus bisa menentukan dirinya sendiri dengan kesadaran dan ideologi yang diyakininya. Manusia juga harus punya kepedulian sosial yang tinggi, baik dalam dataran pikiran maupun aksi. Oleh karena itu, dalam keterangan selanjutnya manusia dibedakan menjadi dua kecenderungan, yaitu, manusia (insân) dan manusia (basyar).

Dengan demikian, setiap manusia memiliki kecenderungan untuk berbuat kebajikan maupun kejahatan. Jika seorang manusia cenderung berbuat kebajikan, maka dia akan selalu dekat kepada Tuhan, sehingga dia menjadi insân yang sesungguhnya. Namun pendakian menuju Tuhan tidak mudah karena banyak rintangan yang harus dihadapi.

Setelah mengetahui pandangan manusia menurut Ali Syari’ati, maka dapat diketahui bahwa terdapat persamaan dan perbedaan antara Ali Syari’ati dengan para pemikir lainnya seperti Kierkegard dan al-Jîllî. Adapun persamaannya antara lain, ketiga tokoh tersebut masing-masing menjelaskan konsep substansi manusia itu sendiri, sedangkan perbedaannya, jika Syari`ati mengupas persoalan tersebut dengan berlandaskan kepada dogmatisme Islam, meskipun melalui analisa filosofis, namun berbeda dengan Kierkegard yang berlandaskan kepada dogmatisme Kristen. Begitu pula dengan al-Jîllî, meskipun Ali Syaria`ti mempunyai keimanan yang sama dengan Jîllî, akan tetapi, Ali Syaria`ti menggunakan analisa filosofis ketimbang al-Jîllî yang lebih mengedepankan analisa mistis.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis melihat banyak persoalan yang harus dijawab yang salah satunya adalah pengaruh filosofis dan teologis dalam konsep


(14)

manusia (insân) menurut Ali Syari`ati. Dalam hal ini, penulis melihat pengaruh filosofis dan teologis sama-sama menghiasi pemikirannya. Namun dalam skripsi ini, selain untuk mengetahui konsep manusia, penulis juga bermaksud untuk menentukan pengaruh filosofis atau teologis yang lebih dominan.

Oleh karena itu, dengan ditemukannya dua persoalan mendasar tersebut, penulis merasa perlu untuk meneliti lebih dalam mengenai konsep manusia menurut Ali Syari`ati. Berkaitan dengan ini penulis menyusun laporan penelitian dengan judul “KONSEP MANUSIA DALAM PERSPEKTIF ALI SYARI`ATI”.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Pembatasan masalah dalam menyusun tema yang akan diangkat ini, penulis membatasi pokok permasalahan pada konsep manusia menurut Ali Syari`ati. Selain itu penulis juga bermaksud untuk meneliti pengaruh filosofis dan teologis namun tetap dalam konsep yang ditawarkan. Di dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak bermaksud untuk meneliti pemikiran Ali Syari`ati seperti, sosiologi, etika, revolusionisme, dan yang lainnya. Hal ini dimaksudkan agar penelitian konsep manusia menurut Ali Syari`ati lebih mendalam. Sedangkan di dalam perumusan masalah, penulis menetapkan pokok permasalahan dengan mencoba mencari jawaban atas pertanyaan berikut:

Bagaimana konsep manusia menurut Ali Syari`ati?

Sejauh manakah landasan filosofis dan teologis mempengaruhi pemahaman Ali Syari`ati terhadap konsep manusia (insân)?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


(15)

1) Mengetahui latar belakang kehidupan dan pemikiran Ali Syari`ati.

2) Mengerti tentang persoalan-persoalan dalam konsep manusia yang dijelaskan oleh Ali Syari`ati.

3) Mengetahui sejauh mana pengaruh filosofis dan teologis dalam konsep manusia (insân) menurut Ali Syari`ati.

Manfaat penulis melakukan penelitian ini adalah:

1) Menambah wawasan tentang kajian filsafat dan teologi Islam yang berkembang di Iran, khususnya tentang pemikiran Ali Syari`ati.

2) Memperkenalkan pemikiran Ali Syari`ati kepada para akademisi terutama yang tertarik dengan masalah filsafat maupun teologi Islam.

3) Menawarkan analisa deskriptif mengenai konsep manusia menurut Ali Syari`ati.

D. Metode Penelitian

Sehubungan dengan topik yang dipilih oleh penulis, maka dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara riset kepustakaan (Library Research).

Untuk penelitian skripsi ini yang digunakan sebagai sumber primer adalah, Ali Syari`ati, Agama Versus Agama, Terj. Dr. Afif Muhammad dan Drs. Abdul Syukur, MA(Bandung: Pustaka Hidayah, 2000), Ali Syari`ati, Tentang Sosiologi Agama, Terj. Saifullah Mahyudin (Yogyakarta: Ananda 1982), Ali Syari`ati, Kritik Islam Atas Marxisme dan Sesat-Pikir Barat Lainnya, Terj. Husin Anis Al- Habsyi (Bandung: Mizan 1990), Ali Syari`ati, Ideologi Kaum Intelektual Suatu Wawasan Islam, Peny. Syafiq Basri dan Haidar Bagir (Bandung: Mizan 1985).


(16)

Adapun yang digunakan sebagai sumber sekunder adalah, Ekky Malaky, Ali Syari`ati Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern, (Jakarta: Teraju 2004), Charles Kurzman, Ed, Wacana Islam Liberal Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-Isu Global, (Jakarta: Paramadina 2003), dan buku-buku bacaan lainnya.

Sedangkan metode pembahasan yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian skripsi ini adalah dengan metode diskripsi analisis. Dalam penulisan laporan penelitian skripsi ini, peneliti menggunakan tata cara penyusunan skripsi berdasarkan buku Pedoman Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2003/2004.

Dengan demikian, semoga metodologi yang digunakan peneliti ini dapat membantu peneliti untuk mencari benang merah sekaligus proses penulisan laporan penelitian skripsi ini.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan skripsi ini bertujuan untuk memberikan penjelasan secara singkat dan jelas mengenai gambaran secara garis besar dari isi skripsi ini yang terbagi ke dalam empat bab beserta dengan kata pengantar, daftar transliterasi, daftar isi, dan daftar pustaka. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

Bab pertama, merupakan bab yang menguraikan secara singkat mengenai latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab kedua, merupakan bab yang menguraikan tentang, riwayat hidup dan karya-karya Ali Syari`ati.

Bab ketiga, merupakan bab yang menguraikan konsep manusia menurut perspektif Ali Syari`ati, yang meliputi, pengertian manusia, dua kecenderungan


(17)

manusia, tiga sifat ilâhiyah dan hal-hal yang membatasinya, dan pengaruh teologis dan filosofis serta hubungannya dengan konsep manusia (insân). Bab keempat, merupakan bab terakhir yang menguraikan kesimpulan pembahasan dan saran.


(18)

BAB II

BIOGRAFI ALI SYARI`ATI

A. Riwayat Hidup

Ali Syari`ati merupakan anak pertama dari Muhammad Taqi Syari`ati dan Zahra, lahir pada tanggal 24 November 1933 di sebuah desa kecil di Kahak, sekitar 70 kilometer dari Sabzevar.5 Dia berasal dari keluarga yang shaleh. Ayahnya,

Muhammad Taqi Syaria`ti merupakan seorang ulama anti konservatif yang sering memiliki pendapat yang berbeda dengan para ulama dan para mullah lainnya.

Dalam pengalaman intelektual, pada awalnya, Ali Syari`ati mendapatkan pendidikan langsung dari ayahnya sendiri. Pendidikan tersebut didapatkan di kota Masyhad, di mana di kota itu ayahnya mengajar. Di samping mendapatkan pendidikan dari ayahnya, dia juga gemar membaca. Perpustakaan milik ayahnya yang besar menjadi tempat di mana dia sering menekuni kegemarannya tersebut.

Pada awal tahun 1940, ayahnya mendirikan usaha penerbitan yang bernama “Pusat Penyebaran Kebenaran Islam”, yang memiliki tujuan untuk kebangkitan Islam sebagai agama yang kaya akan kewajiban dan komitmen sosial. Tidak terlalu lama setelah itu, ayahnya juga mendirikan “Gerakan Penyembah Tuhan Sosialis.6

Ali Syari`ati memang unik, pada masa belia, dia sudah tertarik mengkaji tokoh-tokoh yang banyak dicap oleh para mullah telah menyimpang dari doktrin

5

Ali Rahnema, Ali Syari`ati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner, terj. Dien Wahid, M.A. et. all., (Jakarta: Erlangga, 2002), h. 53.

6

Ekky Malaky, Seri Tokoh Filsafat:Ali Syari’ati: Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern, (Jakarta: Teraju, 2004), h. 12.


(19)

dogmatis yang telah mereka ajarkan secara turun temurun. Rupanya, kajian seperti itu membuat dia dan ayahnya yang juga tertarik terhadap kajian serupa mendapat kecaman dari banyak kalangan.

Di kota Masyhad, Ali Syari`ati disekolahkan ayahnya di Sekolah Dasar Negeri yang merupakan sekolah sekuler. Setelah lulus, di tahun 1950, dia melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Pendidikan Guru. Saat bersekolah di sini dia banyak berhubungan dengan para temannya dari golongan ekonomi lemah, sehingga mempengaruhi dirinya mengikuti gerakan nasionalisme yang dipimpin oleh Perdana Menteri Muhammad Mushaddiq

Seiring waktu menempuh pendidikan di Sekolah Pendidikan Guru, pada tahun 1952, dia mulai mengajar di desa Ahmad Abad. Meskipun disibukkan waktu mengajar, dia masih melanjutkan perlawanannya kepada Syah Reza Pahlevi. Hal ini dia dibuktikan dengan bergabung “Gerakan Perlawanan Nasional” pada tahun 1953.7

Setelah selesai menempuh pendidikan di Sekolah Pendidikan Guru, pada tahun 1956, Ali Syari`ati melanjutkan pendidikannya di Fakultas Sastra, Universitas Masyhad. Pada tahun ini juga dia menikah. Namun akibat mengikuti Gerakan Perlawanan Nasional, pada tahun 1957, dia dan ayahnya, dipenjara sebagai tahanan politik selama 8 bulan di Taheran.

Pada tahun 1959, Syari`ati lulus dari Fakultas Sastra Universitas Masyhad. Untuk melanjutkan pendidikannya pada program pasca sarjana seharusnya dia mendapatkan beasiswa ke Perancis, tapi ada beberapa kendala sehingga rencana itu tertunda. Baru pada tahun 1960, Ali Syari`ati bisa melanjutkan pendidikannya ke Perancis atas beasiswa dari pemerintah Iran. Di Perancis, Ali Syari`ati belajar di

7


(20)

Universitas Sorbone dan mengambil dua bidang studi sekaligus yaitu Sosiologi Agama dan Sejarah Agama-Agama. Di Sorbone, dia bergaul dengan pemikir terkemuka seperti Jean Paul Sartre, Louis Massignon, dan Che Guevara. Pada saat yang sama, beliau menyukai pemikiran Chandell dan Jacques Schwartz.8 Di

Perancis, Ali Syari`ati banyak berkenalan dengan buku-buku yang biasanya tidak ada di Iran. Dia juga mempelajari dan memperoleh pengetahuan secara langsung dari berbagai aliran pemikiran sosial, ataupun karya-karya para filosof, sarjana, dan penulis. Meskipun akrab dengan pemikiran Barat, Ali Syaria`ti tidak menelan mentah-mentah pemikiran mereka. Malah ada sebagian pemikiran Barat yang dikritik oleh Syaria`ti dan dia juga mengemukakan beberapa kelemahannya yang bisa dilihat melalui karya-karyanya.

Ketika berada di Perancis, Ali Syari`ati menjadi seorang pemikir radikal dalam isu-isu tentang Dunia Ketiga. Bersama kaum cendekiawan dari Afrika, Asia, dan Amerika Latin, dia terlibat dalam pencarian dasar-dasar pemikiran Dunia Ketiga. Berbagai tulisannya pun lahir tentang kenestapaan Dunia Ketiga pada saat itu. Ali Syari`ati juga turut membantu penulisan artikel pada surat kabar kaum nasionalis di Aljazair, al-Mujâhid. Secara umum tulisan-tulisannya berisikan pandangan revolusioner melawan kolonialisme dan imperialisme.9

Ali Syari`ati kembali ke Iran pada tahun 1964 setelah menyelesaikan studinya di Perancis. Tetapi ketika sampai di Bazarzan, suatu daerah yang berbatasan dengan Iran dengan Turki, Ali Syari`ati di depan istri dan anaknya langsung ditangkap dan dipenjarakan di Teheran. Dia ditahan selama enam bulan. Setelah bebas, Ali Syari`ati mengajar di sekolah-sekolah pedesaan Masyhad. Namun beberapa bulan kemudian, Ali Syari`ati ditawarkan mengajar di Universitas

8

Ekky Malaky, Seri Tokoh Filsafat, h. 16.

9

Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan Aktor Sejarah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 210.


(21)

Masyhad. Sosiologi Islam merupakan mata kuliah baru yang diperkenalkan Ali Syari`ati kepada mahasiswanya. Mata kuliah ini belakangan menjadi populer dan juga digemari para mahasiswa. Ini terutama karena Ali Syari`ati menggunakan metode dan pendekatan yang berbeda. Tidak hanya melalui pendekatan dogmatis dan teologis semata, melainkan lebih sosiologis, filosofis, dan rasional. Oleh karena itu, Ali Syari`ati bisa menghadirkan Islam sesuai dengan realitas yang ada di masyrakat, bukan sekedar konsep yang ada dalam al-Qur`an dan Sunnah. Kemudian penafsiran-penafsiran Ali Syari`ati terhadap Islam mengundang gairah serta menggerakkan semangat para pendengar dan pembaca tulisannya termotivasi untuk berbuat.10

Pernah suatu ketika Ali Syari`ati datang terlambat untuk memberikan kuliah pada mahasiswanya, kemudian ia berkata:

“Saya terlambat lagi dan saya mohon maaf, karena terlalu lelah dan kecapaian. Sebetulnya saya tidak ingin datang kesini, tetapi gairah saya untuk melihat anda dan “keresahan” dalam diri saya mendorong saya … Seperti saya katakan pada mahasiswa sastra kemarin malam. Firasat saya tentang “kesementaraan” dan “ketidakpastian” masa depan saya tidak mengizinkan saya tinggal di rumah. Firasat atau realitas, atau apapun yang saya simpulkan dari situasi sekarang nyatakan bahwa hidup saya tinggal beberapa hari lagi … Saya tidak yakin pada masa depan saya. Saya pun tidak yakin dapat tinggal beserta anda dan bicara lama … Itulah sebabnya saya selalu berusaha bicara sebanyak mungkin. Malam ini pembicaraan saya sangat kompleks. Karena tidak cukup waktu untuk membahas topik ini dengan baik, saya hanya akan menyentuh hal-hal yang umum saja.”11

10

Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan Aktor Sejarah, h. 211.

11

Ali Syaria`ti, Ideologi Kaum Intelektual: Suatu Wawasan Islam, peny. Syafiq Basri dan Haidar Bagir, (Bandung: Mizan, 1985), h. 23.


(22)

Dari sini bisa diketahui, bahwa Ali Syaria`ti sangat bersemangat untuk memberikan kuliah kepada mahasiswanya untuk terakhir kalinya. Pesan kepada para mahasiswanya ini layaknya ceramah wada` sebelum kematiannya. Tak lama setelah memberikan kuliah itu, dia dibunuh oleh polisi SAVAK yang terkenal sangat loyal kepada rezim Shah Iran.

Ali Syati’ati merasa dirinya berada dalam keadaan bahaya sehingga pada tanggal 16 Mei 1977 dia meninggalkan Iran menuju London, Inggris. Meskipun demikian, polisi SAVAK tetap melakukan pelacakan kepadanya hingga pada tanggal 19 Juni 1977 Ali Syari’ati ditemukan tewas di Southhampton, Inggris.12 Pemerintah

Iran mengumumkan Ali Syari’ati tewas akibat serangan jantung, tetapi banyak yang percaya bahwa dia dibunuh oleh razim Shah Iran.

Pemerintah Iran menawarkan kontribusi untuk biaya pemakaman jenazah Ali Syari’ati, tetapi istrinya menolak tawaran tersebut karena tidak ingin terlibat dalam ekploitasi nama suaminya. Kemudian jenazah Ali Syari’ati dibawa ke Damaskus, Suriah untuk dimakamkan.

Kematian Ali Syari`ati membuat popularitasnya semakin melonjak. Ketika revolusi Iran, namanya sering disebut-sebut sebagai tokoh revolusi selain Imam Ayatullah Khameini. Saat itu, foto-fotonya mendominasi jalan-jalan di Taheran, dan berdampingan dengan pemimpin spiritual itu.

B. Pemikiran dan Karyanya

Ali Syari`ati bisa dikatakan seorang teolog, filosof, atau revolusioner tergantung dari kacamata yang melihatnya. Dirinya sendiri tidak pernah mengklaim dengan semua sebutan tersebut. Ali Syari`ati hanyalah sebagian orang yang ingin

12


(23)

merubah suatu keadaan menjadi lebih baik dengan menggunakan ide-ide yang ada padanya. Tauhid merupakan landasan dasar dari seluruh pemikiran Ali Syari`ati.

Istilah Tauhid dengan pretensi yang sama, bisa juga disebut sebagai Ilmu Kalam, Ilmu Ushuluddin, Ilmu Akidah, dan dengan istilah Barat-Kristen sering disebut Ilmu Teologi (Theology). Juhaya S. Praja menyebutkan, bahwa ilmu itu menggunakan corak Logika (manthiq) yang wacana-wacana didalamnya selalu mengundang polemik, ketimbang menggunakan corak demonstratif (burhan) yang digunakan para filosof. Para filosof menyebut Ilmu Kalam sebagai polemical wisdom daripada menggunakan demonstrational wisdom. 13

Terdapat beberapa tema dalam Ilmu Tauhid, antara lain seperti masalah baik dan buruk (al-Husn wa al-Qubh), keadilan Tuhan, soal dosa besar, Iman dan Kafir, zat dan sifat-sifat Tuhan, posisi teks kitab suci al-Qur’an, serta Qadar dan Taqdir. Perlu ditegaskan, ketika membincang soal Tuhan dalam Ilmu Tauhid seperti istilah keadilan Tuhan, sangat penting untuk diperhatikan bahwa sesungguhnya yang dibicarakan adalah bukan Tuhan itu sendiri. Bukan Tuhan ini dan itu, not God itself. Tapi sesungguhnya bicara soal persepsi manusia terhadap Tuhan. Hassan Hanafi misalnya, mengungkapkan bahwa yang dimaksud Teologi bukan berarti ilmu tentang ke-Tuhanan, karena Tuhan sendiri yang menciptakan ilmu. Ilmu tak sanggup mampu mengabstraksikan zat yang menciptakan ilmu itu sendiri.14

Dalam dunia Islam, Ilmu Tauhid diwakili oleh aliran-aliran, namun secara sederhana aliran itu mudah dipolarisasi ke dalam dua kelompok. Pertama, direpresentasi mazhab tradisionalis. Dalam kategori itu, aliran Asy‘ariah dan Maturidiah berada dalam garda depan pemikiran mazhab ini. Kedua, direpresentasi

13

Juhaya S. Praja, Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam dan Penerapannya di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Teraju, 2002), h. 38.

14

Hassan Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan, terj. Shonhaji Sholeh, (Jakarta: Penerbit P3M, 1991), h. 14.


(24)

mazhab rasionalis. Dalam kategori ini, aliran Mu‘tazilah khususnya, mengusung tawaran-tawaran rasionalisasi pemikiran teologi. Perbedaan prinsipil antara kedua mazhab itu terletak ketika membincang tema zat dan sifat-sifat Tuhan. Mazhab Mu‘tazilah menyebut bahwa yang kekal hanyalah Allah, dan keesaan-Nya tidak menerima adanya sifat-sifat yang berbilang dalam diri-Nya.

Itulah kira-kira pandangan umum mengenai Ilmu Tauhid beserta aliran-alirannya, terutama di dunia Islam. Secara spesifik, berikut akan dijelaskan mengenai pandangan Ali Syaria`ti tentang Tauhid terutama relevansinya ketika dihubungkan dengan alam dan kehidupan manusia.

Tauhid dalam pandangan Ali Syaria`ti merupakan pandangan hidup tentang kesatuan universal antara Tuhan, alam,dan manusia.15 Maksudnya adalah ketiga

unsur ini tidak saling bertentangan, melainkan masing-masing mempunyai keterkaitan antara satu dan yang lainnya, juga memperlihatkan keharmonisan yang bermakna dan bertujuan.

Dalam kehidupan bermasyarakat, Tauhid bisa juga menjadi sebuah prinsip keadilan yang menolak semua kontradiksi yang ada. Sebagaimana yang dikatakan Ali Syaria`ti dalam bukunya Tentang Sosiologi Islam:

“Tauhid bagaikan turun dari langit ke bumi dan sambil meninggalkan lingkaran-lingkaran diskusi, penafsiran dan perdebatan filosofis, teologis, dan ilmiah, ia masuk ke dalam urusan masyrakat. Di dalamnya tercakup berbagai masalah yang menyangkut hubungan sosial --- mengenai hubungan kelas, orientasi perseorangan, hubungan antara perseorangan dan masyarakat, berbagai dimensi struktur sosial, super struktur sosial, lembaga-lembaga sosial, keluarga, politik, kebudayaan, ekonomi, hak milik, etika sosial, pertanggungjawaban perseorangan maupun masyrakat.

Dalam pengertian umum aspek Tauhid ini bisa sebagai basis ideologis, sebagai semen perekat intelektual bagi masyrakat

15


(25)

yang berorientasi Tauhid --- suatu masyarakat yang berdasarkan struktur material dan ekonomi bebas dari kontradiksi dan suatu struktur intelektual dan kepercayaan yang bebas dari kontradiksi. Jadi masalah Tauhid, dan syirk senantiasa berkaitan erat dengan filsafat sosiologi universal, dengan struktur ethis masyarakat serta sistim-sistim hukum dan konvensionalnya.”

Tidak hanya sebagai sebuah filsafat moral, bagi Ali Syari`ati, Tauhid juga merupakan pondasi dari semua prinsip–prinsip, termasuk kegiatan manusia yang berhubungan dengan peristiwa politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Tauhid juga menghapus ketidakpedulian, kekhawatiran dan ketamakan serta menerima persamaan, kebebasan,dan kemerdekaan.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa pemikiran Ali Syari`ati berangkat dari dogmatisme Islam, lalu dipresentasikan dari sudut pandang filososfis. Sehingga bisa ditarik kesimpulan, bahwa Ali Syari`ati merupakan seorang teolog.

Dalam hal karya, Ali Syari`ati jarang menulis sebuah buku utuh. Dari beberapa tulisannya yang sengaja dibuat untuk buku utuh, bisa disebut diantaranya adalah Kavir, dan Hajj. Kavir menjelaskan tentang otobiografinya dan juga mengemukakan pengalaman teosofinya. Sedangkan Hajj, mengupas tentang ibadah haji secara filosofis. Selebihnya merupakan kumpulan ceramah yang terekam pada saat ia mengajar, dan juga beberapa kumpulan tulisannya. Karena Ali Syari`ati jarang menulis buku utuh, maka sering ditemukan buku yang berbeda, namun memuat tulisan-tulisan yang sama.


(26)

BAB III

KONSEP MANUSIA MENURUT ALI SYARI`ATI

A. Pengertian Manusia

Dalam istilah bahasa Arab, manusia mempunyai banyak padanan kata, yaitu, insân, basyar, bani adam, unâsi, dan nâs. Di dalam al-Qur'an yang berkaitan dengan penciptaan manusia pertama term yang digunakan adalah basyar, yaitu:

ذإ

لﺎ

ﻚﺑر

ﺔﻜﺋﻼ

إ

اﺮﺸﺑ

.

اذﺈ

ﺘ ﻮ

ﺖ و

ور

اﻮﻌ

).

ص

:

71

-72

(

Artinya: Ingatlah ketika rabbmu berfirman kepada Malaikat,

“bahwa sesungguhnya aku akan menciptakan manusia dari tanah.

Maka apabila telah aku sempurnakan kejadiannya dan aku tiupkan

kepadanya roh (ciptaan)-Ku, maka hendaklah kamu (tersungkur

dengan) bersujud kepadanya (Shadd: 71-72)

ذإو

لﺎ

ﻚﺑر

ﺔﻜﺋﺎ

إ

اﺮﺸﺑ

لﺎ

نﻮ

.

اذﺈ

ﺘ ﻮ

ﺖ و

ور

اﻮﻌ

ﺪ ﺎ

.

)

ﺮ ا

:

28

-29

(

Artinya: Dan Ingatlah ketika Rabbmu berfirman kepada para Malaikat, ”sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Dan Apabila Aku (Allah) telah menyempurnakan kejadiannya, serta telah meniupkan kepadanya roh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kalian kepadanya dengan bersujud(al-Hijr: 28-29)


(27)

Manusia diciptakan juga membawa potensi dan sifat masing-masing. Ada beberapa

ayat yang memuji sikap manusia dan ada pula yang merendahkan derajat manusia. Dalam

pandangan Quraish Shihab, Allah telah merencanakan agar manusia memikul tanggung

jawab kekhalifahan di bumi. Untuk maksud tersebut di samping tanah (jasmani) dan ruh Ilahi

(akal dan ruhani), manusia juga diberi anugerah berupa potensi untuk mengetahui nama dan

fungsi benda-benda alam, pengalaman hidup di surga, baik yang berkaitan dengan kecukupan

dan kenikmatannya, maupun rayuan iblis dan akibat buruknya dan terakhir petunjuk

keagamaan.

16

Penyebutan manusia dalam al-Qur`an dengan berbagai istilah tersebut mempunyai

maksud masing-masing. Misalnya

basyar

dikaitkan dengan kedewasaan kehidupan manusia,

yang menjadikannya mampu memikul tanggungjawab.

17

Penyebutan term

insân

digunakan

al-Qur`an untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga.

Manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang lain, akibat perbedaan fisik, mental dan

kecerdasan.

18

Sedangkan term

bani adam

untuk menunjukkan bahwa manusia adalah

makhluk yang mempunyai kelebihan dan keistimewaan dari makhluk lainnya. Keistemawaan

itu meliputi fitrah keagamaan, peradaban, dan kemampuan memanfaatkan alam.

19

Unâsi

digunakan dalam al-Qur`an dapat difahami bahwa term ini selalu dihubungkan dengan

kelompok manusia, baik sebagai suku bangsa, kelompok pelaku kriminal, maupun kelompok

orang yang baik dan buruk nanti di akhirat. Jika ini dikaitkan dengan manusia maka term

unâsi

ini dapat difahami bahwa manusia adalah makhluk yang berkelompok, dan ia selalu

akan membentuk kelompoknya sesuai dengan ciri persamaan, seperti biologis dan kebutuhan

16

M. Quraish Shihab, Wawasanal-Qur`an (Bandung: Mizan, 1997), h. 282-283.

17

M. Quraish Shihab, Wawasanal-Qur`an, h. 278.

18

M. Quraish Shihab, Wawasanal-Qur`an, h. 280.

19

Dr. Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam; Studi Tentang Elemen Psikologi Dari Al-Qur`an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004) h. 90.


(28)

sosial lainnya.

20

Sedangkan ungkapan

nâs

untuk menunjukkan sifat universal manusia atau

untuk menunjukkan spesies manusia. Artinya ketika menyebut

nâs

berarti adanya pengakuan

terhadap spesies di dunia ini yaitu manusia.

21

Karena pentingnya pembahasan mengenai manusia kelompok sufipun juga

menulusuri mengenai manusia itu sendiri. Dalam pandangan sufi ada istilah yang penting dan

menjadi kunci dalam kajiannya, yaitu

insân kâmil

. Namun dalam al-Qur`an, tidak pernah

disinggung mengenai

insân kâmil

secara pasti, tidak ada ayat yang menyatakan mengenai

insân kâmil

, yang ada adalah mengenai manusia yang ada dalam bentuk yang sebaik-baiknya

dan manusia yang mempunyai sifat yang keluh kesah, namun ia bisa dibina menjadi baik.

Ayat yang menyatakan bahwa manusia diciptakan dalam sebaik-baiknya bentuk adalah:

ْﺪﻘ

ﺎ ْﻘ ﺧ

نﺎﺴِْﺈْا

ِﻓ

ِ ﺴْﺣأ

ﻢ ِﻮْﻘ

.

)

ا

:

4

(

Artinya: Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam

bentuk yang sebaik-baiknya. (al-Tîn: 4)

Ayat di atas adalah salah satu ayat yang dijadikan sebagai isyarat mengenai

kesempurnaan manusia dari segi fisik. Kesempurnaan yang demikian membuat manusia

menempati kedudukan tertinggi di antara makhluk, yaitu menjadi khalifah di muka bumi.

22

Kendati manusia memiliki potensi kesempurnaan sebagai gambaran dari kesempurnaan citra

ilahi, tetapi kemudian, ketika ia terjauh dari prototipe ketuhanan, maka kesempurnaan itu

semakin berkurang. Untuk itu, jalan satu-satunya mencapai kesempurnaan itu ialah kembali

kepada Tuhan dengan iman dan amal saleh. Jika manusia tidak bisa mempertahankan

bentuknya, maka ia juga bisa jatuh kedalam kehinaan. Dengan ungkapan lain manusia bisa

seperti malaikat dan bisa pula jelek seperti manusia.

Dari semua padanan kata manusia di atas, penulis mendapatkan suatu kesimpulan,

yaitu, bahwa manusia merupakan makhluk pilihan Tuhan, sebagai khalifahnya di bumi, serta

20

Dr. Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam, h. 76

21

Dr. Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam, h. 86

22


(29)

makhluk yang di dalam dirinya ditanamkan sifat mengakui Tuhan dan keesaan-Nya, memiliki

kebebasan, terpercaya, memiliki rasa tanggung jawab, juga dibekali dengan kecenderungan

ke arah kebaikan dan kejahatan.

Mengenai penciptaan manusia, Ali Syari`ati mengambil rujukan kepada al-Qur`an. Dalam penciptaan manusia, al-Qur`an menggunakan bahasa simbolis23

bukan memakai bahasa yang jelas (eksposisi). Bahasa simbolis menyatakan makna-maknanya lewat simbol-simbol dan imaji, adalah bahasa yang paling indah dan halus dari seluruh bahasa yang dikembangkan manusia. Bahasa simbolis jelas lebih mendalam, lebih universal dan lebih abadi dari pada bahasa eksposisi yang maksud dan kejelasannya terbatas pada waktu dan tempatnya. Bahasa eksposisi mungkin merupakan sarana komunikasi dan pengajaran yang lebih baik, tapi ia tidak lestari dan abadi sebagaimana bahasa simbolik. Karena hakekatnya yang satu dimensi, tidak simbolik dan tidak mistis, bahasa eksposisi selalu terbatas pada waktu. Hal ini disebabkan, sebagaimana ditunjukkan oleh filososf Mesir terkenal Abdur Rahman Badawi, suatu agama atau filsafat yang mencoba mengemukakan seluruh makna dan konsep-konsepnya dengan bahasa yang langsung ke sasaran, dan bahasa dengan satu tingkatan, pasti tidak akan dapat bertahan lama. Padahal mereka yang dituju oleh agama selalu mewakili berbagai tipe dan kelas manusia yang mengejahwantah dalam sejarah dalam kapasitas intelektual dan spiritual yang berlain-lainan, dengan sudut pandang, pengalaman, bentuk-bentuk sosial dan persepsi yang beraneka ragam.24 Dengan demikian kiranya perlu, bahwa proses

penciptaan Adam sebagai simbol manusia diceritakan secara simbolik. Sehingga sampai sekarang, setelah melampaui masa beberapa abad yang lalu, kisah Adam tetap bernilai untuk dibaca meski dalam zaman kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban dewasa ini.

23

Kata, tanda, isyarat, yang digunakan untuk mewakili sesuatu yang lain: arti, kualitas, abstraksi, gagasan, dan objek.

24


(30)

Di dalam al-Qur`an disebutkan bahwa manusia diciptakan dari bentuk paling rendah dari tanah kemudian ditiupkan ruh suci kepadanya. Hal ini menunjukkan bahwa manusia merupakan makhluk dua dimensi dengan dua arah dan dua kecenderungan. Yang satu membawanya kepada hakekat yang rendah, sedangkan satunya terbuat dari Rûh Ilâhiah dan mengajak manusia menuju ke puncak tertinggi.25

Proses tersebut bermakna simbolis, bahwa manusia itu memiliki dua dimensi. Dimensi Ketuhanan dan dimensi kerendahan atau kehinaan, sedangkan makhluk lain hanya memiliki satu dimensi. Dalam pengertian simbolis, lumpur merujuk pada keburukan, kehinaan, tidak berarti, stagnan, dan mati. Sedangkan dimensi keilahian mengajak manusia cenderung untuk mendekatkan diri kepada-Nya, guna mencapai roh Tuhan. Oleh karena kejadian manusia yang demikian itu, maka manusia pada satu saat dapat mencapai derajat yang lebih tinggi, akan tetapi di saat yang lain ia juga dapat terjerumus ke tempat yang hina dan rendah, yang berarti pengingkaran atas dimensi ke-Tuhanannya.

Ali Syaria`ti menegaskan, bahwa keutamaan paling menonjol dari manusia, yang menandai keunggulannya atas makhluk lain, adalah kekuatan iradahnya. Ia adalah satu-satunya makhluk dalam penciptaan yang dapat bertindak melawan dorongan instingnya.26

Hanya manusia saja yang mampu melawan dirinya sendiri, menentang hakekatnya, dan memberontak terhadap kebutuhan fisik dan spritualnya. Dari kehendak bebas inilah manusia dapat menemukan jati dirinya, untuk mendapatkan

25

Ekky Malaky, Seri Tokoh Filsafat, h. 32.

26

Sesuatu yang hewan maupun tumbuhan tidak dapat melakukannnya, karena keduanya mustahil menentang instingnya.


(31)

kemuliaan dan kebahagiaan abadi bersama sang pencipta, karena ia diberi kebebasan memilih yang tidak diberikan Tuhan kepada makhluk yang lain.27

Manusia memiliki kehendak dan pengetahuan, dan ia mungkin menempuh jalan ini atau tidak; maka jika ia menempuh, sesungguhnya ia menempuh dengan kehendaknya dan pilihannya sendiri, bukan dengan paksaan. Untuk itulah ia memiliki cri khas dan keutamaan yang tidak dinikmati oleh malaikat, yang diciptakan oleh Allah dalam paksaan dan terus ditarik kearah kebaikan bukan karena pilihan malaikat.28

Manusia juga universal, memiliki wujud alami, memiliki zat materi dengan arti seperti yang dijelaskan berulang-ulang oleh al-Qur`an dan dikukuhkan dengan ungkapan yang berbeda-beda, agar kita paham betul, dan kita tidak tunduk pada pemahaman samar dan falsafah adikodrati, yang di dalamnya kebanyakan para filosof dan para arif terjatuh.

Dari pandangan tersebut, Ali Syari`ati berpendapat bahwa manusia adalah kombinasi dua hal yang berlawanan, fenomena dialektis yang terdiri dari oposisi “Allah – Syaitan” atau “roh lempung”. Ia adalah kehendak bebas, mampu membentuk nasibnya sendiri dan bertanggung jawab; ia menerima amanah khusus dari Allah dan para malaikat bersujud kepadanya; ia adalah khalifah Allah di bumi, tetapi iapun seorang yang memberontak terhadap-Nya; ia memakan buah larangan; ia diusir dari sorga dan dibung ke alam tandus, dengan tiga aspek: cinta (Hawa), akal (Syaitan), dan pemberontakan (buah larangan). Ia diperintahkan untuk mencipta sorga manusia dalam alam, tempat pengasingannya. Ia senantiasa mengalami pertarungan dalam dirinya, ia senantiasa berjuang untuk bangkit dari

27

Ali Syaria`ti, Tugas Cendekiawan Muslim, h.10-11.

28

Ali Syaria`ti, Ummah dan Imamah, trj. Muhammad Faishol Hasanuddin, (Jakarta: YAPI, 1990) h. 117-119.


(32)

lempung menuju Allah, berusaha untuk naik meningkat, sehingga hewan yang berasal dari lumpur dan endapan itu bisa mendapatkan karakteristik Allah.29

Oleh karena itu, manusia yang memiliki dimensi ganda, membutuhkan suatu agama yang mampu merealisasikan semua aspek-aspek kemanusiannya yang bersifat material dan spiritual. Disinilah letak keunggulan Islam, sebab manusia di dalam Islam tidak dipandang tanpa daya dihadapan Tuhannya. Sebagai makhluk bidimensional, yang dikaruniai misi ke-Tuhanan, manusia memerlukan bimbingan agama yang dapat memelihara keseimbangan antara kutub keakhiratan dan kutub keduniawiannya.

B. Dua Kecenderungan Manusia

Pada pembahasan sebelumnya, telah dijelaskan berbagai padanan kata manusia di dalam al-Qur`an. Dalam hal ini, Ali Syari`ati hanya memakai dua padanan kata saja mengenai kecenderungan manusia walaupun juga ia mengutip dari al-Qur`an.

a. Basyar

Dalam pandangan Ali Syari`ati, basyar adalah makhluk tertentu yang terdiri dari karakteristik fisiologis, biologis, dan psikologis yang dimiliki oleh seluruh manusia, tak perduli apakah mereka itu berkulit hitam, berkulit putih, berkulit bening, bangsa Barat, beragama atau tidak beragama; ia didasarkan atas hukum-hukum fisik yang ditemukan oleh kedokteran, fisiologi, psikologi dan lain-lain.30

29

Ali Syari’ati, Tentang Sosiologi Islam, terj. Saifullah Mahyudin, (Yogyakarta: Ananda, 1982), h. 125.

30

Ed. Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal; Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-Isu Global, terj. Bahrul Ulum dan Heri Junaidi, (Jakarta: Paramadina, 2003) h. 300.


(33)

Penulis melihat bahwa basyar yang dimaksud oleh Ali Syari`ati ialah manusia sebagai makhluk biasa. Karena dilihat dari proses penciptaan manusia yang ada di al-Qur`an, manusia terbentuk dari dua unsur, salah satunya yaitu lempung. Unsur lempung ini lebih dominan pada basyar. Oleh karena itu basyar dianggap rendah dan tidak mencapai tingkat kemanusiaan. Seperti yang di katakan Ali Syari`ati:

“Ketika kita mengkaji sejarah manusia, maksud saya adalah sejarah kebodohan manusia, sungguh lebih panjang dan karenanya lebih menarik ketimbang sejarah kepandaiannya. Manusia basyar adalah kera yang sudah berhenti berevolusi sejak waktu yang sudah lama sekali. Senjata, pakaian, dan makanannyatelah berubah, tetapi sifat-sifatnya sama saja. Tidak ada perbedaan antara Jengis Khan (Raja Mongol, 1162-1227) yang berkuasa atas suku-suku liar, raja-raja besar yang berkuasa atas masyarakat luas yang berperadaban, dan orang-orang sekarang yang berkuasa atas peradaban-peradaban besar yang beradab. Tentunya, satu-satunya perbedaan adalah bahwa Jengis Khan jujur ketika ia mengatakan bahwa ia datang untuk membunuh, sementara para pemimpin sekarang yang berperadaban menyatakan bahwa mereka ingin menciptakan perdamaian. Hanya retorika pidato, penipuan, pengelabuan dan rasionalisasi sajalah yang telah berubah begitu halus, tetapi esensi kemanusian ternyata sama saja. Dewasa ini kejahatan, kepalsuan, kelancungan, pembunuhan sadisme dan kekejaman di muka bumi tidak saja sama, tetapi malahan lebih banyak dari masa lampau. Semua ini kelihatannya merupakan pengejawantahan basyar pada bentuknya yang sudah begitu pasti, makhluk manusia dalam dimensi fisisnya yang tidak berubah-ubah.”31

b. Insân

Insân dalam pandangan Ali Syari`ati merupakan sebuah proses menuju kesempurnaan. Tipe manusia ini, berbeda dengan tipe umum, memiliki karakteristik khusus yang berlainan antara satu orang dengan orang lainnya sesuai dengan tingkatan realitas atau esensinya. Jadi bila menyebut insân, bukanlah penduduk

31


(34)

dunia pada umumnya. Jadi tidak semua manusia adalah insân, namun mereka mempunyai potensialitas untuk mencapai tingkatan yang lebih tinggi dari kemanusiaan ini. Walaupun demikian setiap manusia mencapai taraf insân dalam kehidupannya dalam batas-batas tertentu. Individu-individu tertentu dapat bergerak ke arah taraf-taraf yang lebih tinggi dalam proses menjadi insân. Bagaimanapun, kemanusiaan dapat dipandang sebagai terus maju ke arah realitasnya.32

Jika melihat proses penciptaan manusia pada al–Qur`an, unsur yang paling dominan pada insân ialah unsur ruh Tuhan. Unsur ini mendorong manusia agar terlepas dari kerendahan dan kehinaan. Maka, pada saat manusia mencapai pada tingkatan insân, dia telah terbebas dari belenggu dan kontradiksi antara “dua kutub”. Ia merupakan negasi terhadap semua standar konvensional, dan ia juga merupakan gerak maju ke arah sasaran mutlak dan kesempurnaan mutlak, suatu evolusi abadi dan tidak terhingga.

Dalam konteks ini, Ali Syari`ati menafsirkan ayat “Innâ Ilaihi Râji`ûn” (Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada-Nya), dia menyatakan bahwa perjalanan “kembai kepada-Nya” (Ilaihi), bukanlah berarti didalam-Nya atau pada-Nya, tetapi kepada-Nya. Artinya, Tuhan bukanlah titik beku atau suatu arah yang pasti yang menuju kepada-Nya. Tetapi Tuhan adalah Yang Tanpa Batas, Yang Maha Abadi, dan Yang Maha Mutlak. Oleh karena itu, Ali Syari`ati mengkritik sufisme yang menyatakan manusia bisa bersatu dengan Tuhan, karena Tuhan dianggap sebagai sesuatu yang tetap. Ali Syari`ati, menyatakan bahwa selalu ada jarak antara manusia dean Tuhan, dan manusia hanya bisa sebatas menghampiri dan tidak bisa bersatu dengan Tuhan. Karena itu gerakan ini adalah gerakan manusia terus menerus tanpa

32


(35)

henti ke arah tahap-tahap evolusi dan kesempurnaan. Inilah definisi manusia yang “menjadi”.33

Setelah melihat adanya dua kecenderungan manusia menurut Ali Syari`ati, maka pada pembahasan selanjutnya, penulis akan membedakan antara manusia (insân) dan manusia (basyar) sesuai dengan konteksnya.

C. Tiga Sifat Ilâhiyah dan Hal-Hal Yang Membatasinya

Manusia (insân) memiliki tiga sifat yang saling berkaitan satu sama lainnya. Semua sifat ini adalah sifat ilâhiyah, dan hanya manusia (insân) sajalah yang dapat menyesuaikan dirinya dengan sifat-sifat ketuhanan ini. Bila ada sifat-sifat lainnya, maka sifat-sifat itu merupakan sifat-sifat yang diturunkan dari ketiga sifat- sifat di bawah ini:

1. Kesadaran diri

Sifat ini menuntun manusia untuk memilih, dan kemudian menolongnya untuk mencipta sesuatu yang baru, yang sebelumnya tidak ada di alam semesta. 2. Kemauan bebas

Manusia adalah satu-satunya makhluk yang bebas untuk memilih bagi dirinya, dan apa yang ia pilih dapat bertentangan dengan instingnya, dengan alam, masyarakat, dan dorongan fisiologis dan psikologisnya. Kemampuan dan kebebasan berkehendak ini menolong manusia mencapai taraf tertinggi dari proses “menjadi” manusia. Hanya manusia sajalah yang bebas untuk memilih, dan inilah salah satu karakteristik yang membedakannya dengan makhluk lainnya.

33


(36)

Dengan karakteristik ini, manusia bisa memilih untuk berbuat baik atau jahat, rasional atau irrasional, dan sebagainya. Dengan kebebasan memilih, manusia bisa melakukan perbuatan-perbuatan baik (akhlak) yang dilakukan Tuhan.

3. Kreativitas

Manusia bukan sekedar makhluk pembuat alat, tetapi ia pencipta dan pembuat barang-barang yang belum ada di alam. Manusia sadar bahwa dirinya memerlukan hal-hal yang sebelumnya tidak disediakan oleh alam, karena itu dirinya membuat sendiri benda-benda guna memenuhi kebutuhannya.34

Ketiga sifat ilahiyâh tersebut hadir dalam diri manusia, dan manusia mampu untuk mengembangkan ketiga sifat tersebut dan menjadi khalifah Tuhan di muka bumi.

Menurut Ali Syari`ati, untuk mengembangkan sifat ilahiyâh tersebut, manusia yang “menjadi” (insân) selalu berperang melawan kekuatan deterministik yang cenderung membatasi. Kekuatan tersebut pada saat ini muncul dalam berbagai macam ideologi. Ideologi tersebut adalah:

1. Materialisme

Materialisme beranggapan bahwa kecerdasan dan substansi manusia adalah berasal dari materi. Jika demikian, evolusi manusia tidak akan dapat mengatasi batas-batas materi. Sebagai suatu ideologi, Ali Syari`ati melihat bahwa materialisme merupakan suatu usaha untuk menindas kemajuan spiritual manusia dan menolak bentuk metafisis di luar susunan materialnya. 2. Naturalisme

34


(37)

Naturalisme merupakan ideologi yang cukup populer di Eropa. Naturalisme beranggapan bahwa alam adalah realitas puncak; alam yang hidup tetapi tidak memiliki kesadaran juga dilihat sebagai hukum dasar di alam semesta. Manusia tidak dapat mengatasi alam, menguasainya, atau melampauinya. Walaupun kaum Naturalis mempertahankan manusia sebagai jenis makhluk yang paling maju di atas alam, mereka meletakkan manusia pada derajat yang lebih rendah terhadap alam dan kekuatan-kekuatan alamiah. Oleh karena itu, Ali Syari`ati berpendapat bahwa Naturalisme merupakan suatu upaya lain untuk mereduksi atau mengurangi kebebasan memilih manusia, kesadaran, dan daya ciptanya.

3. Eksistensialime

Pandangan kaum Eksistensialis ateis seperti Heidegger dan Sartre mungkin berbeda dengan pandangan Kierkegaard; namun demikian Eksistensialisme, sebagai suatu ideologi juga telah mengorbankan realitas manusia yang paling tinggi.

Kadang-kadang pandangan Sartre terhadap esensi manusia cenderung ke arah metafisis, walaupun ia seorang Eksistensialis ateis. Sartre mendefinisikan manusia sebagai makhluk yang unik di atas alam, suatu makhluk yang hakekat dan susunan istimewanya meletakkannya sangat berlainan dengan seluruh makhluk lain. Sebagai seorang ateis, Sartre memandang manusia sebagai makhluk yang berbeda dari makhluk-makhluk lain dalam alam. Dalam pandangannya, manusia adalah satu-satunya makhluk di alam semesta yang eksistensinya mendahului esensinya. Hal ini berbeda dengan kaum Naturalis, karena menurut Sartre manusia sebagai makhluk unik di atas alam adalah disebabkan keyakinannya bahwa manusia harus dibuat untuk menentukan nasibnya di dunia dan karena itu mengisi kekosongan alam. Walaupun Sartre melihat manusia sebagai makhluk yang


(38)

merdeka, bebas untuk memilih dan unik di atas alam, konsepsinya bahwa eksistensi manusia mendahului esensinya juga cenderung mengorbankan eksistensi manusia.35

Meskipun manusia dalam tahap eksistensinya belum mempunyai esensi, ia memiliki kemauan, dan lewat inilah ia dapat membentuk eksistensi dan mengubahnya sedemikian rupa sehingga eksistensinya mampu meraih identitas yang nyata, yaitu esensi. Tuhan telah menganugrahi manusia dengan eksitensi, tetapi manusia bertanggung jawab untuk memanfaatkan kemampuan iradahnya untuk mencipta dan mengembangkan esensi dalam eksistensi dirinya. Hanya kemauan manusia saja yang bisa untuk mencetak realitas atau esensi dari eksistensinya.

Hal yang paling ditakuti oleh Sartre adalah bila naturalisme maupun materialisme diterima sebagai norma dalam pendefinisian manusia pada saat ini, maka manusia pasti akan terbelenggu dalam kerangka-kerangka yang memfosil dan terbatas dan kehilangan kemauan bebasnya, padahal kemauan bebas yang menolong manusia menciptakan esensi riil dari eksistensi. Menurut Ali Syari`ati, walaupun manusia telah melampaui determinisme materi dan alam, eksistensialisme tetap membatasi evolusi manusia pada tahap penemuan esensi. Dengan demikian, Eksistensialisme mengabaikan potensialitas dan cita-cita manusia yang lebih tinggi.

4. Monisme

35

Misalnya sebuah kursi. Sebuah kursi belum ada sebelum di buat, misalnya anda bertanya kepada tukang kayu: “Apa yang anda mau buat?”. “Saya akan membuat sebuah kursi”, jawab si tukang kayu. Kemudian anda akan menanyakan bebarapa keterangan tentang kursi yang sedang di rancang. Ia mungkin akan menerangkan pada anda bahwa kursi mempunyai tempat duduk yang ditunjang oleh empat kaki, pegangan dan sandaran punggung, dan di buat dari kayu. Berbicara tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan kursi pada hakekatnya berarti berbicara tentang esensi kursi. Tetapi kursi itu belum mengambil eksistensi. Bagaimanapun si tukang kayu mungkin sibuk merancangnya dengan alat-alat dan membuat kursi itu setelah gambarnya (esensi) diberikan, tetapi kursi itu sendiri belum ada.


(39)

Walaupun paham ini berpegang pada suatu tipe idealisme yang teistik, namun Monisme juga mengorbankan manusia. Unsur-unsur filsafat ini dapat dijumpai dalam filsafat India, dalam doktrin-doktrin sufi dan dalam agama Katolik. Kaum Monis memuja Kemauan Ilahi dengan mengesampingkan kemauan manusia, karena percaya bahwa hakekat, nasib, individualitas dan masa depan manusia semuanya telah ditentukan oleh Kemauan Tuhan, bahkan sebelum ia dilahirkan. Dengan demikian, manusia tidak dapat melakukan apa-apa, hanya menunggu apa yang telah ditakdirkan. Dengan begitu peniadaan kemauan manusia dalam pembentukan hidupnya akan meniadakan tanggung jawabnya. Padahal, menurut Ali Syari`ati, tanpa tanggung jawab, manusia tidak dapat menjadi manusia sejati.36

Sedangkan ideologi yang cenderung meremehkan kebebasan memilih dan kesadaran diri itu adalah sebagai berikut:

1. Historisisme

Dalam aliran ini, manusia hanyalah produk sejarah. Sejarahlah yang menentukan apa yang harus di tempuh manusia, dan bagaimana harus mengarah. Kemauan dan pilihan manusia tidak lagi dimasukkan dalam pilihan sejarah. Semuanya sudah di atur oleh sejarah, cara berbahasa, memeluk agama, kelas sosial, dan identitas tertentu.

2. Sosiologisme

Manusia tergantung dari masyarakatnya, individualitas manusia dikesampingkan. Orde sosial, hubungan sosial berdasarkan ekonomi, alat produksi, tradisi, religi, hubungan antar kelas, dan semua unsur pembentuk masyarakat adalah faktor-faktor kuat yang menentukan kepribadian dan nasib manusia. Sosiologisme berpendirian bahwa

36


(40)

manusia mengambil semua ciri-cirinya dari masyarakatnya. Hal ini berarti seorang individu tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakannya, karena lingkungan soisal itulah yang menentukan tindakan dan wataknya. Jadi, paham ini mengingkari peranan individu dalam membentuk nasibnya sendiri. Padahal menjadi manusia berarti melakukan pilihan, maka Sosiologisme tidak mau menerima manusia sebagai makhluk yang memilih, yakni seseorang yang dapat menyatakan “Keakuannya” dan individualitasnya.

3. Biologisme

Paham ini mencoba mendefinisikan manusia dalam ukuran-ukuran determinisme biologis, tetapi juga mengangkat status manusia di atas kerangka-kerangka kaku dari materialisme. Biologisme berpendapat bahwa manusia merupakan komposisi dari organ-organ yang kompleks dan maju yang menentukan watak fisiologis dan psikologisnya meskipun biologisme memandang manusia lebih tinggi dari sekedar fenomena alamiah, ia juga cenderung menolak kenyataan bahwa manusia adalah makhluk yang sadar dan bebas. Setelah menempatkan manusia sekedar tergantung pada faktor-faktor fisiologis, biologisme tidak melihat manusia sebagai pembuat kepribadiannya sendiri.37

Ada empat faktor atau penjara yang menurut Ali Syari`ati bisa mengungkung manusia ke arah kemajuan, yaitu, materi, alam, sejarah dan masyarakat. Tetapi Ali Syari`ati tidak memungkiri bahwa empat faktor tersebut mempengaruhi atas kehidupan dan nasib manusia. Dijelaskan juga, bahwa, manusia dapat mengatasi

37


(41)

keempat faktor tersebut dengan melakukan pilihan bagi dirinya dan mampu melawan kekuatan-kekuatan fenomenal sepanjang perjalanan evolusinya.38

Menariknya, Ali Syari`ati tidak menolak dan menerima semua determinisme yang disebutkan di atas. Ia berpendapat bahwa manusia dalam perjalanan evolusinya, selama proses bergeraknya manusia dari sekedar ke arah “menjadi” (insân), sesungguhnya mampu melepaskan dirinya dari belenggu sebagian besar kekuatan determinisme tersebut. Manusia akan terus hidup, namun determinisme akan digantikan jika muncul sebuah kebenaran baru, artinya determinisme hanya bersifat sementara. Seperti halnya pernyataan Ibnu Khaldun yang mengatakan bahwa kehidupan setiap masyarakat didasarkan atas kondisi geografisnya mungkin benar pada saat itu, tetapi tidak pada saat sekarang. Oleh karena itu makin maju manusia bergerak ke arah “menjadi”nya (insân), maka ia makin baik mengungguli kekuatan-kekuatan determinisme.39

Pada umumnya, manusia dapat membebaskan dirinya dari penjara-penjara tersebut dengan ilmu dan teknologi. Zaman sekarang, ketergantungan akan alam bisa diminimalisir dengan ilmu dan teknologi. Pertanian tidak lagi tergantung pada curah hujan, dan gaya gravitasi bukanlah suatu halangan untuk menaklukkan angkasa. Itu merupakan dari sekian banyak contoh dengan berkembangnya ilmu dan teknologi. Ilmu telah mengetahui rahasia-rahasia alam. Dengan menggunakan pikiran yang kritis, manusia menggunakan ilmu untuk menghasilkan teknologi. Dengan teknologi tersebut, manusia bisa bebas dari determinisme alam. Oleh karena itu alam bukanlah suatu rintangan deterministik yang menghambat kemajuan manusia.

38

Ali Syaria`ti, Tugas Cendekiawan Muslim, h. 85

39


(42)

Sedangkan untuk melepaskan manusia dari belenggu sejarah, ia harus sadar bahwa dirinya merupakan boneka dari kekuatan hebat yang bernama sejarah. Dengan mempelajari ilmu dan filsafat sejarah dan memahami bahwa faktor-faktor itu mempengaruhi struktur mental, persepsional, moral, dan kesadarannya, maka ia dapat membebaskan diri dari belenggu sejarah.40

Dalam hal ini, Ali Syari`ati juga mengatakan pendapatnya tentang determinisme sejarah dalam bukunya Tugas Cendekiawan Muslim:

“Beberapa masyarakat Asia, Afrika, dan Amerika Latin, betapapun terbelakangnya, mampu memperpendek perjalanan panjang sejarah yang deterministik. Mereka bukannya bergerak tahap demi tahap, tetapi maju dengan lompatan-lompatan. Dengan demikian teori lama yang mengatakan bahwa suatu masyarakat harus melalui tahap sejarahnya yang pertama agar dapat mencapai tahap sejarah kedua, kemudian tahap ketiga, dan seterusnya --- teori ini tidak lagi dipertahankan dan dipercayai. Padahal atas dasar teori lama itulah suatu masyarakat dipelajari, diklasifikasi, diletakkan dalam suatu urutan, dan masa depannya diramalkan. Akan tetapi banyak bukti yang dapat meruntuhkan teori determinisme historis. Sekarang kita mengetahui bahwa semakin mendalam kesadaran suatu masyarakat terhadap sejarahnya, dan semakin mendalam tahap perkembangan historis tertentu ke arah tahap pemahaman kaum intelektualnya terhadap hakekat dan bentuk tahap sejarahnya, maka semakin cepat masyrakat tersebut dapat melampaui perkembangan tahap demi tahap. Tipe kesadaran sosial historis ini menolong masyarakat bergerak sangat efektif sehingga dapat melompati tahap perkembangan historis yang lebih tinggi. Masyarakat semacam ini akan dapat melompati tiga tahap perkembangan historis sekaligus, tanpa dikekang oleh determinisme sejarah, yang mestinya menggariskan gerak dari setiap masyarakat. Ada sejumlah masyarakat seperti itu yang memberontak terhadap determinisme di atas dan meloncat ke periode feodal, tribal atau colonial ke tahap modern sejarah. Ini adalah pemberontakan terhadap ketentuan sejarah. Jadi hal ini melepaskan suatu masyarakat dari genggaman sejarah setelah masyarakat

40


(43)

memahami sejarah dan hukum-hukum serta perjalanannya yang deterministik”.41

Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa sejarah merupakan sebuah perjalanan panjang manusia untuk melalui beberapa tahapan periode. Namun seiring perkembangan ilmu pengetahuan tentang sejarah, hal ini dapat diatasi, bahkan manusia bisa melompat ke tahapan sejarah yang lebih baik sehingga manusia bisa terbebas dari determinisme sejarah tersebut.

Selanjutnya untuk mengatasi kekuatan determinisme sosiologis dapat diatasi dengan sosiologi dan ilmu-ilmu sosial, dengan demikian anggota masyarakat dapat memahami realitas dan determinisme sosial dan kemudian menghadapinya dengan suatu cara yang konstruktif.42

Walaupun manusia (insân) sudah membebaskan dirinya dari materi, alam, sejarah, dan masyarakat, ia masih tetap terbelenggu di dalam penjara yang paling gelap, yaitu ego. Ego merupakan penjara terberat yang harus dilewati oleh manusia, karena ia berada di dalam diri manusia itu sendiri.

Agar terbebas dari penjara ego, hanya ada satu cara, yaitu dengan cinta. Dalam hal ini, yang dimaksud Ali Syati`ati bukan jenis cinta yang ada dalam pengertian sufistik, Platonis, mistik, atau bentuk-bentuk yang abstrak, karena jenis cinta seperti itu adalah penjara-penjara juga.43

Ali Syari`ati melihat cinta sebagai sebuah kekuatan perkasa yang ada dalam kedalaman jiwa manusia. Cinta mempunyai kekuatan untuk menolak diri kita sendiri, memberontak melawan diri kita sendiri, dan mengorbankan kehidupan kita untuk

41

Ali Syaria`ti, Tugas Cendekiawan Muslim, h. 89-90.

42

Ali Syaria`ti, Tugas Cendekiawan Muslim, h. 90.

43


(44)

suatu cita-cita atau orang lain. Ali Syari`ati memberi contoh kematian Nietzche yang tewas karena menolong seekor kuda.

Ketika manusia sudah terbebas dari penjara ego dengan senjata cinta, maka manusia sudah dalam tahap puncak dari “menjadi” manusia penuh (insân). Sebagaimana Ali Syari`ati menyimpulkannya dengan kata-kata Rada Krishnan:

“Tugas kita dalam hidup, misi kita di alam semesta, adalah merencanakan suatu kerja sama di mana manusia dan Tuhan dan cinta dapat terlibat dalam menciptakan suatu kreasi lain dan manusia yang lain. Ini adalah tanggung jawab kita.”44

44


(45)

Tabel hubungan antara Tuhan, Manusia (insân), dan Manusia dua dimensi Tuhan

(tujuan, Guru Pertama)

Manusia (insân) menghampiri


(46)

(becoming)

berakhlak seperti akhlak Tuhan

Manusia Dua Dimensi

Roh Tuhan Penjara Ego Tanah Lumpur

D. Pengaruh Teologis dan Filosofis serta Hubungannya dengan Konsep Manusia (insân)

Penulis melihat Ali Syari`ati mengadopsi padanan kata insân yang ada di al-Qur`an mengenai konsep manusia (insân) nya. Di dalam al-Qur`an dijelaskan bahwa insân merupakan sebuah makhluk yang mempunyai budaya, tidak liar, baik secara sosial maupun alamiah. Berbeda dengan Ali Syari`ati, menurutnya, manusia (insân) merupakan sebuah proses menuju manusia sejati dengan melalui beberapa proses dan berbagai hambatan dengan dibekali sifat-sifat ilahiyâh. Jadi dalam hal ini,


(47)

tampak pengaruh teologis melekat pada diri Ali Syari`ati mengenai konsep manusia (insân) melalui al-Qur`an.

Mengenai konsep manusia (insan), Ali Syari`ati sepertinya juga mendapat pengaruh dari tokoh Eksistensialisme.45 Kierkegaard salah satunya. Dalam

pandangannya, manusia merupakan satu-satunya makhluk yang bisa bereksistensi. Maksudnya adalah ketika manusia menegaskan eksistensinya, maka dia juga sekaligus menegaskan perbedaan dengan makhluk lainnya. Sedangkan perjalanan eksistensi manusia yang paling tinggi ialah ketika ia menuju Tuhan, karena manusia berasal dari Tuhan dan sedang dalam proses menuju hubungan atau kesatuan tertingi denganNya. To exist, bagi Kierkegaard, berarti sedang dalam proses “menjadi”, sedangkan Existence berarti suatu perjuangan terus menerus, sebuah gerakan menuju Yang Tak Terbatas. Cara berada setiap individu adalah melakukan gerakan dan perjuangan terus menerus menjadi manusia, mencapai eksistensi sejati dengan cara menuju Tuhan.46 Oleh karena itu manusia belum sempurna, masih

dalam tahap penyempurnaan, dan dia sendiri bertanggung jawab atas proses ini. Kierkegaard merupakan seorang Kristiani, maka cita-cita tertingginya adalah menjadi seorang Kristiani.

Dalam pencapaiannya, menurut Kierkegaard ada tiga tahapan agar manusia bisa bereksistensi, yaitu, estetis, etis, dan religius. Tahap estetis maksudnya adalah manusia hanya mencari kesenangan sesaat, seperti menikmati pengalaman emosi dan nafsu. Kecenderungan hedonistik47 lebih dominan dalam dirinya. Sehingga dia

tidak mempunyai hasrat atau keterlibatan, melainkan keputusasaan. Manusia estetis

45

Eksistensialisme adalah filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal pada eksistensi. Pandangannya relatif modern dalam filsafat, walaupun akar-akar historis sudah ada dalam filsafat Yunani dan filsafat Abad Pertengahan. Sejak awal filsafat ini sering dikaitkan dengan Soren Kierkegaard dan Friedrich Nietzsche.

46

Ekky Malaky, Seri Tokoh Filsafat: Ali Syari’ati: Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern, (Jakarta: Teraju, 2004), h. 57.

47


(48)

juga tidak mempunyai landasan yang pasti dan pada akhir hidupnya hampir tidak bisa lagi menentukan pilihan. Jalan keluarnya ada dua, bunuh diri atau masuk ketahapan hidup yang lebih tinggi, yakni tahapan etis. Pada tahapan etis, manusia telah menyadari terhadap segala kebijakan-kebijakan moral yang diambil pada tahap estetis. Tahapan ini adalah semacam “pertobatan” bagi manusia yang telah melewati tahapan estetis. Prinsip hedonisme telah dibuang diganti dengan nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal. Pada tahapan ini manusia tidak lagi memikirkan kesenangan diri sendiri, melainkan demi nilai-nilai kemanusiaan yang lebih tinggi. Berdasarkan keyakinannya, dia menolak segala kekuasaan dari suatu sistem yang menurutnya bertentangan dengan nilai-nilai kemanusian yang bersifat universal. Tahapan terakhir adalah tahapan religius, manusia yang berada pada tahapan ini telah melompat dan menceburkan dirinya dalam realitas Tuhan sehingga eksistensi manusia tercapai sebagai “aku”. Lompatan manusia dari tahap etis ke tahap religius jauh lebih sulit daripada lompatan dari tahap estetis ke tahap etetis. Kesulitan itu di antaranya adalah saat individu memutuskan untuk lebur dalam kuasa Tuhan mengingat terdapat sesuatu hal yang bertentangan di dalam diri Tuhan sendiri. Contoh yang dikemukakan dalam hal ini adalah tentang ada dan tidaknya Tuhan dan persoalan tentang sifat-sifat baik Tuhan, misalnya, (kalau Tuhan itu ada dan Maha baik, mengapa harus ada kejahatan atau korban kejahatan?). Meskipun terdapat hal yang bertentangan dalam diri Tuhan, namun hal demikian tidak perlu diragukan, alasannya, keraguan akan muncul jika daya rasionalitas mencoba menjelaskan pertentangan itu, sementara pada tahapan ini tidak ada ruang untuk daya rasionalitas menjelaskannya, karena hal demikian bukan sesuatu yang bisa dipikirkan secara rasional. Hanya dengan cara menyakini berlandaskan pada iman saja manusia bisa menerima pertentangan itu. Jadi dalam hal ini dengan keyakinan yang berlandaskan iman manusia berani untuk menceburkan dirinya ke dalam


(49)

Tuhan dalam rasa aman dan bahagia. Hidup manusia akan berakhir dalam kebahagiaan abadi, jika ia sudah berada dalam tahap eksistensi yang religius.48

Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa konsep manusia (insân) Ali Syari`ati mendapat pengaruh dari Kierkegaard. Kedua filosof tersebut merupakan pemikir yang religius. Ali Syari`ati mewakili dari Islam dan Kierkegaard dari Kristiani. Kierkegaard berpandangan bahwa perjalanan eksistensi menuju Tuhan merupakan bentuk tahapan eksistensi tertinggi, dan manusia sedang berada dalam perjalanan menuju hubungan atau kesatuan tertinggi dengan Tuhan. Hal ini hampir serupa dengan konsep manusia (insân) yang dimiliki oleh Ali Syari`ati.

Selanjutnya, Kierkegard juga menjelaskan tiga tahap manusia, yaitu, estetis, etis, dan religius yang sudah dijelaskan pada sub bab sebelumnya. Dan Ali Syari`ati juga mempunyai beberapa penjara yang bisa manghalangi proses becoming. Bedanya, tiga tahap Kierkegaard merupakan tahapan yang harus dilalui satu per satu seperti menaiki anak tangga, sedangkan penjara-penjara Ali Syari`ati tidak membicarakan tentang jenjang atau tahapan, tetapi keempatnya merupakan hambatan-hambatan yang menghalangi proses menuju Tuhan.

Sartre juga merupakan salah seorang Eksistensialis. Menurutnya, ada dua macam “berada”, yaitu être-en-soi (berada-dalam-diri) dan être-pour-soi (ber-ada-untuk-diri).49

Yang dimaksud dengan être-en-soi, yaitu, berada dalam dirinya atau cara berada yang tidak berkesadaran. Misalnya, pohon, meja, manusia, hewan, dsb. Dikatakan berada karena semuanya itu ada atau berada. “Berada” disini merupakan sifat dari segala benda jasmaniah. Semuanya dikatakan padat, beku, tertutup, yang satu terlepas daripada yang lain, tanpa saling berhubungan. Être-en-soi mentaati

48

Zainal Abidin, Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat, (Bandung Remaja Rosdakarya, 2003) h. 134-138.

49


(50)

prinsip identitas (It is what it is). Bagi Sarte yang Atheis, être-en-soi itu ada secara kebetulan, bukan ciptaan Tuhan.50

Sementara être-pour-soi adalah bukan benda, dan berbeda secara radikal dengan être-en-soi. Être-pour-soi adalah istilah yang menunjukkan tentang adanya kesadaran, cara berada manusia. Être-pour-soi tidak mentaati prinsip identitas. Manusia mempunyai hubungan dengan keberadaannya.51 Être-pour-soi ini

merupakan inti pandangan Sartre tentang eksistensi manusia. Kata kuncinya adalah kebebasan. Kebebasan akan menetukan keberadaan manusia dalam sejarah. Seorang yang berusaha lari dari kebebasan sebenarnya juga sedang berusaha merealisasikan kebebasan itu sendiri. Jadi tidak ada kata tidak untuk kebebasan manusia. Manusia adalah kebebasan. Namum, kebebasan bukan berarti ”lepas sama sekali” dari kewajiban dan beban. Kebebasan adalah sesuatu yang erat kaitannya dengan tanggung jawab, dan tidak bisa dipisahkan. Dengan kebebasan inilah manusia bereksistensi. Oleh karena itu, manusia bebas maka Tuhan tidak ada, karena jika Tuhan ada, lanjut Sartre, berarti ”aku” tidak bebas alias diam karena semuanya sudah dirancang sedemikian rupa oleh Tuhan.

Sepertinya pemikiran Sartre mempengaruhi kepada konsep manusia (insân) Ali Syari`ati. Bisa dikatakan bahwa être-en-soi adalah basyar. Hal ini karena, être-en-soi merupakan makhluk yang tidak berkesadaran dan basyar adalah makhluk yang tidak melakukan kesadaran untuk melakukan proses becoming dan dipandang hanya sebagai makhluk fisik semata.

Être-pour-soi menurut Sartre adalah makhluk yang mempunyai kesadaran atau cara berada manusia. Sedangkan manusia (insân) dalam pandangan Ali Syari`ati adalah makhluk yang berkesadaran untuk melakukan proses becoming.

50

Ekky Malaky, Seri Tokoh Filsafat, h. 51.

51


(51)

Dari kedua sudut pandang di atas, penulis melihat adanya benang merah antara Ali Syari`ati dan Sartre, yaitu, bahwa être-pour-soi dan insân merupakan makhluk yang mempunyai kesadaran diri. Oleh karena itu bisa dikatakan être-pour-soi sama halnya dengan insân.

Namun diantara persamaan tersebut, penulis juga melihat terdapat beberapa perbedaan antara Sartre dan Ali Syari`ati, sebagaimana akan dijelaskan pada tabel berikut:

Pokok masalah Sartre Ali Syari`ati

Tanggung Jawab Sepenuhnya atas

dirinya sendiri dan seluruh manusia

Kepada Tuhan

Proses Menidak / Negation Becoming menuju

Tuhan

Tuhan Tidak ada Ada, Guru pertama

Asal kebebasan Dari diri manusia itu sendiri

Tuhan

Sumber moral Akal pikiran Tuhan

Kebebasan Kutukan, konsekwensi

adalah tanggung jawab total kepada seluruh manusia

Anugrah,salah satu sifat ilahiyâh, bekal untuk becoming

Hati nurani Dari manusia Dari Tuhan (kebaikan

bawaan dari unsur Roh Tuhan)

Dari semua uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa, Ali Syari`ati mengambil padanan kata manusia (insân) dari al-Quran lalu menjelaskannya dengan gaya bahasa filosofis yang juga terdapat pengaruh dari para filosof Eropa, walaupun juga ada perbedaan diantara mereka. Namun hal tersebut tidak mengurangi kajian


(52)

ini, tetapi menambah wawasan tentang berbagai macam pemikiran di antara mereka.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal, Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003

Ali, Yunasril, Manusia Citra Ilahi Jakarta: Paramadina, 1997

Al-Jilli, Syeikh Abdul Karim Ibnu Ibrahim, Insan Kamil: Ikhtiar Memahami Kesejatian Manusia Dengan Sang Khaliq Hingga Akhir Zaman, terj. Misbah El Majid, Lc., Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana, 2006

Azra, Azyumardi, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan Aktor Sejarah, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002

Bagus, Lorens, Kamus Filsafat Jakarta: Gramedia, 2000

Baharuddin, Dr., Paradigma Psikologi Islam; Studi Tentang Elemen Psikologi Dari Al-Qur`an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004

Hanafi, Hassan, Agama, Ideologi dan Pembangunan, terj. Shonhaji Sholeh, Jakarta: Penerbit P3M, 1991

Harun Hadiwijono, DR., Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1980 Kurzman, Charles(ed.)., Wacana Islam Liberal; Pemikiran Islam Kontemporer Tentang

Isu-Isu Global, terj. Bahrul Ulum dan Heri Junaidi, Jakarta: Paramadina, 2003 Madjid, Nurcholish, (ed.)., Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1987

Malaky, Ekky, Seri Tokoh Filsafat: Ali Syari’ati: Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern,

Jakarta: Teraju, 2004

Maulana Muhammad, Ali, Islamologi, terj. R. Kaelan dan H.M. Bachrun, Jakarta: Darul Kurtubi Islamiyah, 1996

Misbah, M. Taqi, Monoteisme; Tauhid Sebagai Sistem Nilai dan Akidah Islam, terj. M. Hashem, Jakarta: PT. Lentera Basritama, 1996


(2)

Musa Asy`arie, DR., Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Al-Qur`an, Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992

Muthahhari, Murtadha, Membumikan Kitab Suci; Manusia dan Agama, peny. Haidar Bagir, Bandung: Mizan, 2007

N. Drijarkara S.J., Prof. DR., Filsafat Manusia, Yogyakarta: Kanisius, 1989

Nasr, Sayyed Hossein, Antara Tuhan, Manusia, dan Alam; Jembatan Filosofis dan religius Menuju Puncak Spiritual, ter. Ali Noer Zaman, Yogyakarta: Ircisod, 2005

Praja, Juhaya S., Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam dan Penerapannya di Indonesia, Jakarta: Penerbit Teraju, 2002

Raharjo, Dawam, Insan Kamil; Konsepsi Manusia Menurut Islam, Jakarta: Grafiti Press, 1987

Rahnema, Ali, Ali Syari`ati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner, terj. Dien Wahid, M.A. et. all., Jakarta: Erlangga, 2002

_______, Ali (ed.), Para Perintis Zaman Baru Islam, terj. Ilyas Hasan, Bandung: Mizan, 1996

Seyyed Mohsen Miri, Dr., Sang Manusia Sempurna; Antara Filsafat Islam dan Hindu, Bandung: Teraju, 2004

Shihab, M. Quraish, Wawasanal-Qur`an Bandung: Mizan, 1997

Syari`ati, Ali, Agama Versus Agama, terj. Dr. Afif Muhammad dan Drs. Abdul Syukur, MA, Bandung: Pustaka Hidayah, 2000

______, Ali, Ideologi Kaum Intelektual: Suatu Wawasan Islam, peny. Syafiq Basri dan Haidar Bagir, Bandung: Mizan, 1985

______, Ali, Membangun Masa Depan Islam, terj. Rahmani Astuti, Bandung: Mizan, 1988 ______, Ali, Tugas Cendekiawan Muslim, terj. Dr. Amien Rais, Jakarta: Rajawali, 1982 ______, Ali, Ummah dan Imamah, trj. Muhammad Faishol Hasanuddin, Jakarta: YAPI, 1990 ______, Haji, terj. Anas Mahyudin, Bandung: Pustaka, 2006


(3)

(4)

PEDOMAN TRANSLITERASI

ARAB LATIN ARAB LATIN

أ

ض

dh

ب

b

ط

th

ت

T

ظ

zh

ث

ts

ع

ج

J

غ

gh

ح

ف

f

خ

kh

ق

q

د

d

ك

k

ذ

dz

ل

l

ر

r

م

m

ز

z

ن

n

س

s

و

w


(5)

ص

sh

ي

Y

â (a panjang), contoh

ﻚ ﺎ ا

: al-Mâlik

î (i panjang), contoh

ﺮ ا

: al-Ra îm


(6)