153mg basa amodiakuin klorohidrat, sedangkan 1 ml sirup mengandung 10 mg basa amodiakuin hidroklorida atau klorohidrat Tjitra,2000 ; WHO,2006.
Dosis amodiakuin untuk pengobatan malaria falciparum tanpa komplikasi adalah seperti klorokuin yaitu 25-35 mg basakgBB3 hari. Obat ini tidak terlalu pahit
sehingga memudahkan pemberian pada anak-anak, dan juga dapat diberikan pada masa kehamilan. Efek samping yang sering dijumpai sama seperti klorokuin yaitu
berupa mual, muntah, sakit perut, diare, dan gatal-gatal. Sedangkan efek samping yang berat dapat menyebabkan hepatitis toksik dan agranulositosis yang fatal
sehingga obat ini tidak boleh diberikan pada penderita dengan gangguan fungsi hati, dan tidak digunakan untuk profilaksis Tjitra,2000 ; WHO,2006 .
II.5. Resistensi Terhadap Obat Malaria
Resistensi obat adalah kemampuan sejenis parasit untuk terus hidup dalam tubuh manusia, berkembang biak dan menimbulkan gejala penyakit meskipun telah
diberikan pengobatan secara teratur baik dengan dosis standar maupun dosis yang lebih tinggi yang masih bisa ditolerir oleh pemakai obat Tjitra,2000 ; Bloland,2001 ;
Sutisna,2004. Ada beberapa teori terjadinya resistensi pada P.falciparum. Pertama karena di
dalam tubuh parasit ada gen yang tidak peka dan ada yang sensitif terhadap obat tertentu, gen yang satu dapat menjadi lebih dominan daripada gen yang lain, sehingga
menimbulkan adanya strain yang tidak peka dan strain yang sensitif. Teori kedua adalah mutasi gen dapat terjadi dalam tubuh parasit, yang memungkinkan parasit
tersebut menjadi tidak peka terhadap suatu obat dengan dosis atau aktivitas tertentu.
Titik Yuniarti : Perbandingan Efikasi Kombinasi Artesunat-Sulfadioksin Pirimetamin Dengan Artesunat-Amodiakuin Pada Penderita Malaria Falciparum Tanpa Komplikasi, 2007.
USU e-Repository © 2008
Mutasi ini timbul karena interaksi antara tingginya angka penularan dengan pengobatan yang terus menerus dalam jangka waktu yang lama, sehingga terjadi
seleksi atau mutasi gen pada parasit tersebut Maryatun,2004. Masalah resistensi parasit terhadap obat antimalaria merupakan tantangan
besar yang dihadapi dalam upaya pemberantasan malaria. Resistensi obat ini berimplikasi pada penyebaran malaria ke daerah-daerah baru dan munculnya kembali
pada daerah yang dulunya telah dieradikasi. Resistensi obat juga mempunyai peranan penting dalam terjadinya epidemi atau Kejadian Luar Biasa KLB di Indonesia,
yang diperberat dengan adanya perpindahan atau mobilitas penduduk yang besar dengan membawa parasit yang resisten Tjitra,2004.
Walaupun upaya penanggulangan malaria sejak lama dilaksanakan namun dalam beberapa tahun terakhir terutama sejak krisis ekonomi 1997 daerah endemis
malaria bertambah luas, bahkan menimbulkan KLB pada daerah-daerah yang telah berhasil menanggulangi malaria. Pada tahun 2003 malaria sudah tersebar di 6.052
desa pada 226 kabupaten di 30 propinsi. Kondisi ini diperberat dengan semakin luasnya daerah yang resisten terhadap obat antimalaria yang selama ini digunakan
yaitu klorokuin bahkan juga sulfadoksin-pirimetamin Depkes,2003. Sejak 1997 sampai Mei 2005 telah terjadi KLB malaria di 38 propinsi yang meliputi 47
kabupatenkota dengan jumlah kasus 32.987 penderita dan 559 kematian akibat malaria. Case Fatality Rate CFR malaria berat yang dilaporkan dari beberapa
rumah sakit berkisar 10-15 Depkes,2005. Resistensi P.falciparum terhadap klorokuin pertama kali dilaporkan pada
tahun 1960 dari Kolombia Amerika Selatan dan Thailand. Saat ini resistensi
Titik Yuniarti : Perbandingan Efikasi Kombinasi Artesunat-Sulfadioksin Pirimetamin Dengan Artesunat-Amodiakuin Pada Penderita Malaria Falciparum Tanpa Komplikasi, 2007.
USU e-Repository © 2008
P.falciparum terhadap klorokuin telah menyebar hampir di seluruh negara di Amerika Tengah serta Selatan, Asia, dan Afrika, tidak terkecuali di Indonesia Sutisna,2004.
P.falciparum yang resisten klorokuin pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1974 di Propinsi Kalimantan Timur. Selanjutnya dari tahun ke tahun
wilayah malaria yang penderitanya resisten terhadap obat antimalaria semakin meluas. Hingga tahun 1996 telah ditemukan resistensi P.falciparum terhadap
klorokuin dengan derajat yang berbeda di semua propinsi. P.falciparum yang resisten terhadap sulfadoksin-pirimetamin secara in vivo dan in vitro juga telah ditemukan
antara lain di 11 propinsi di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya. Suatu perkembangan yang memprihatinkan adalah dijumpainya P.vivax yang resisten
terhadap klorokuin antara lain di Irian Jaya, P.Nias, Maluku, dan Flores. P.falciparum yang resisten terhadap kina belum pernah ditemukan secara in vivo Tjitra,2000 ;
Depkes RI,2003. Sebagai respons terhadap terjadinya resistensi P.falciparum terhadap
klorokuin dan obat-obat antimalaria lain, maka saat ini berkembang kecenderungan untuk menggunakan obat-obat antimalaria dalam kombinasi yaitu dengan memakai
dua jenis atau lebih obat antimalaria yang mempunyai cara kerja farmakologi yang berbeda terhadap parasit malaria untuk mengobati malaria falciparum. Tujuan
pemakaian kombinasi obat-obat antimalaria ini selain untuk meningkatkan efek obat- obat bersangkutan secara sinergis dan aditif, juga mencegah timbulnya resistensi
P.falciparum secara cepat terhadap setiap obat bila digunakan secara tunggal Sutisna,2004. Hal ini diperkirakan karena dengan penggunaan secara kombinasi,
peluang untuk menjadi resisten terhadap kedua obat yang dikombinasikan itu
Titik Yuniarti : Perbandingan Efikasi Kombinasi Artesunat-Sulfadioksin Pirimetamin Dengan Artesunat-Amodiakuin Pada Penderita Malaria Falciparum Tanpa Komplikasi, 2007.
USU e-Repository © 2008
semakin kecil yaitu hasil perkalian peluang masing-masing obat itu untuk menjadi resisten bila digunakan secara tunggal. Pada saat ini penggunaan kombinasi derivat
artemisinin telah terbukti efektif dalam mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat penyakit malaria White,1999 ; Bloland,2001 ; WHO,2006.
II.6. Terapi Kombinasi Obat Antimalaria Pengobatan kombinasi adalah pengobatan dengan menggunakan lebih dari
satu macam obat antimalaria yang bersifat skizontosida darah atau dengan kata lain terapi kombinasi dengan obat antimalaria merupakan penggunaan yang simultan dari
dua atau lebih obat skizontosida darah dengan cara kerja yang bebas dan target biokimia yang berbeda pada parasit. Obat-obat ini harus rasional dan memenuhi
aturan kriteria, yaitu harus mempunyai cara kerja dan mekanisme terjadinya resistensi yang berbeda dan mempunyai batas efikasi dari masing-masing obat yang
dikombinasi minimal 75. Obat-obat yang dikombinasi juga harus sesuai khasiat farmakokinetik dan farmakodinamiknya, dapat menjamin kepatuhan minum obat
yang baik, dan mampu mengurangi penularan WHO, 2001 ; PAPDI, 2003 ; Tjitra, 2004 .
Di Indonesia pengobatan kombinasi dilakukan bila sudah ada studi tentang pola resistensi di suatu daerah melalui survey resistensi. Pengobatan kombinasi
dianjurkan dengan tujuan untuk menghambat dan menurunkan insiden resistensi dan untuk melindungi potensi obat malaria. Pengobatan ini belum digunakan dalam
penanggulangan malaria pada saat ini, namun secara bertahap akan digunakan di
Titik Yuniarti : Perbandingan Efikasi Kombinasi Artesunat-Sulfadioksin Pirimetamin Dengan Artesunat-Amodiakuin Pada Penderita Malaria Falciparum Tanpa Komplikasi, 2007.
USU e-Repository © 2008
daerah yang telah mempunyai cukup informasi tentang efikasi parasit terhadap obat antimalaria yang digunakan PAPDI, 2003.
Penelitian atau evaluasi beberapa kombinasi untuk pengobatan malaria falciparum dan atau pengobatan malaria vivax telah dilakukan di Indonesia. Secara
umum kombinasi obat antimalaria dikelompokkan menjadi kombinasi obat antimalaria non artemisinin dan kombinasi obat antimalaria artemisinin Tjitra,2004.
Mulai tahun 2004 untuk daerah yang resisten klorokuin, WHO menganjurkan untuk melakukan pengobatan dengan kombinasi derivat artemisinin. Pada saat ini
penggunaan kombinasi derivat artemisinin telah terbukti efektif dalam mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat penyakit malaria White, 1996 ; WHO, 2006.
Obat kombinasi artemisinin umumnya merupakan regimen 3 hari. Pengobatan dengan kombinasi artemisinin untuk malaria falciparum memberikan hasil yang cepat
dan dapat dipercaya, aman, mencegah terjadinya resistensi, dan mengurangi penularan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah efek samping neurotoksik
yang dijumpai pada binatang percobaan tikus dan anjing, keamanan obat pada kehamilan, beredarnya obat palsu, dan harganya yang relatif mahal. Efek samping
yang banyak dilaporkan adalah keluhan gastrointestinal mual dan muntah yang dapat disebabkan karena jumlah obat yang diminum cukup banyak Tjitra, 2004.
Titik Yuniarti : Perbandingan Efikasi Kombinasi Artesunat-Sulfadioksin Pirimetamin Dengan Artesunat-Amodiakuin Pada Penderita Malaria Falciparum Tanpa Komplikasi, 2007.
USU e-Repository © 2008
BAB III METODE PENELITIAN
III.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di 11 desa di 3 kecamatan Teluk Dalam, Lahusa, dan Amandraya di Kabupaten Nias Selatan yang dimulai dari bulan September sampai
dengan bulan Desember 2006.
III.2. Alat dan Bahan III.2.1. Peralatan pemeriksaan fisik dan klinis
Peralatan fisik dan klinis pada subjek penelitian menggunakan peralatan stetoskop, timbangan badan, termometer suhu tubuh.WHO,2003
III.2.2. Peralatan, Bahan Laboratorium, dan Obat-Obatan
Pembuatan sediaan darah tebal dan pemeriksan secara mikroskopis membutuhkan peralatan dan bahan laboratorium antara lain sebagai berikut :
mikroskop, kaca sediaan, slide box, rak pewarnaan, rak tabung reaksi, kapas aquadest, pipet tetes, pipet 10ml, gelas ukur 10ml, dan 100ml, baker glass 250, dan
100ml, toilet paper. WHO,2003. Obat antimalaria yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Sulfadoksin-pirimetamin merupakan kombinasi antara sulfonamida dengan diaminopirimidin, mengandung 500mg sulfadoksin dan 25mg
Titik Yuniarti : Perbandingan Efikasi Kombinasi Artesunat-Sulfadioksin Pirimetamin Dengan Artesunat-Amodiakuin Pada Penderita Malaria Falciparum Tanpa Komplikasi, 2007.
USU e-Repository © 2008
pirimetamin. Sediaan ini merupakan sediaan generik buatan dari PT. Indofarma, dengan nomor batch 0505005 dengan tanggal kadaluarsa
062009. Obat ini merupakan bantuan dari Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Kota Sabang.
b. Artesdiaquine merupakan kombinasi dari artesunat 50 mg dan amodiakuin 200 mg. Sediaan ini merupakan produksi dari Beijing
Wanhui Double Crane Pharmaceutical yang diimpor oleh PT. Trimitra Sehati, Indonesia dengan tanggal produksi 08042006, kadaluarsa
042009 dan nomor batch 050406. Setiap kotak berisi 12 buah tablet artesunat 50 mg dan 12 buah tablet amodiaquine 200 mg dalam
kemasan blister yang digunakan untuk pemakaian dengan dosis harian yang sama selama 3 hari. Obat ini merupakan bantuan dari Dinas
Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Kota Sabang yang didapat dari bantuan WHO dan NGO.
c. Selain itu disediakan obat parasetamol 500mg buatan PT. Indofarma yang diberikan bila suhu aksila pasien 37,5
C, sebagai pengobatan simptomatis.
III.3. Desain Penelitian
Penelitian dilakukan secara uji klinis terbuka open trial .
Titik Yuniarti : Perbandingan Efikasi Kombinasi Artesunat-Sulfadioksin Pirimetamin Dengan Artesunat-Amodiakuin Pada Penderita Malaria Falciparum Tanpa Komplikasi, 2007.
USU e-Repository © 2008
III.4. Subjek Penelitian
Subjek penelitian diambil dari populasi masyarakat di 3 Kecamatan Teluk Dalam, Lahusa, dan Amandraya Kabupaten Nias Selatan.
Populasi Terjangkau : Pasien dengan gejala klinis malaria falciparum dan hanya dijumpai P.falciparum pada
sediaan darah tepi yang datang ke tempat penelitian selama periode penelitian.
III.5. Kriteria Inklusi
1. Umur ≥ 15 tahun.
2. Infeksi P.falciparum monoinfeksi dengan kepadatan parasit ≥100 ml.
3. Temperatur aksila ≥ 37,5
C atau dengan riwayat demam dalam 1 minggu terakhir. 4. Tidak mengkonsumsi obat antimalaria dalam 2 minggu terakhir anamnese.
5. Adanya persetujuan informed consent bersedia ikut dalam penelitian.
III.6. Kriteria Eksklusi
1. Bila dijumpai plasmodium jenis lain selain P. falciparum mixed infection dalam pemeriksaan darah.
2. Ibu hamil dan menyusui. 3. Adanya kontraindikasi khususnya riwayat alergi pada penggunaan obat-obat
antimalaria dan timbul efek samping yang tidak dapat ditolerir dari obat yang diuji.
4. Adanya gangguan fungsi hati, ginjal, dan jantung yang berat yang diketahui dari anamnese, pemeriksaan fisik diagnostik dan laboratorium.
Titik Yuniarti : Perbandingan Efikasi Kombinasi Artesunat-Sulfadioksin Pirimetamin Dengan Artesunat-Amodiakuin Pada Penderita Malaria Falciparum Tanpa Komplikasi, 2007.
USU e-Repository © 2008
5. Adanya gejala dan tanda-tanda malaria berat. 6. Tidak kontrol sesuai jadwal penelitian.
7. Mengundurkan diri dari penelitian sewaktu penelitian berlangsung setelah diberi penjelasan dan mengisi informed consent WHO,2003.
III.7. Besar Sampel Besar sampel dihitung menurut rumus :
n
1
= n
2
=
2 2
1 2
2 2
1 1
2 P
P Q
P Q
P z
PQ z
− +
+
β α
Sastroasmoro,2002 ; Dahlan,2004 P = ½ P1 + P2
P1 = Proporsi kesembuhan penderita malaria falciparum tanpa komplikasi dengan artesunat dan sulfadoxin-pirimetamin 98 = 0,98 van den broek,2005
P2 = Proporsi kesembuhan penderita malaria falciparum tanpa komplikasi dengan artesunat dan amodiakuin 82 = 0,82 Taylor,2003
Q1 = 1 - P1 = 0,01 Q2 = 1 - P2 = 0,18
= 0,05 Z = 1,645 = 0,20 Z = 0,842
Setelah dilakukan perhitungan dengan rumus di atas, maka didapatkan besar sampel sebanyak 42 orang untuk masing-masing kelompok penelitian. Untuk mengantisipasi
adanya drop out, maka jumlah sampel diambil menjadi sebanyak 47 orang.
Titik Yuniarti : Perbandingan Efikasi Kombinasi Artesunat-Sulfadioksin Pirimetamin Dengan Artesunat-Amodiakuin Pada Penderita Malaria Falciparum Tanpa Komplikasi, 2007.
USU e-Repository © 2008
III.8. Kelompok Perlakuan Penelitian ini terdiri dari 2 kelompok perlakuan sebagai berikut :
1. Kelompok I diberikan kombinasi artesunat – sulfadoksin pirimetamin. Dosis artesunat diberikan 4 tablet yang diberikan pada hari pertama, kedua
dan ketiga, sedangkan sulfadoksin-pirimetamin diberikan sebanyak 3 tablet dosis tunggal pada hari pertama.
Tabel 2. Dosis Artesunat Berdasarkan Umur
Umur tahun Hari
1-4 5-9
10-14 ≥15
H1 1 tablet
2 tablet 3 tablet 4
tablet H2
1 tablet 2 tablet 3
tablet 4 tablet
H3 1 tablet
2 tablet 3 tablet 4
tablet
2. Kelompok II kombinasi artesunat dengan amodiakuin , untuk masing- masing pasien diberikan artesunat 4 tablet yang diberikan pada hari pertama,
kedua, dan ketiga, dan amodiakuin 4 tablet diberikan pada hari pertama,
kedua, dan ketiga selama 3 hari.
Tabel 3. Dosis Amodiakuin Berdasarkan Umur
Umur tahun Hari
1-4 5-9
10-14 ≥15
H1 1 tablet
2 tablet 3 tablet
4 tablet H2
1 tablet 2 tablet
3 tablet 4 tablet
H3 1 tablet
2 tablet 3 tablet
4 tablet
Semua obat diminum pada hari pertama pengobatan dengan air putih sesuai kelompok pengobatannya masing-masing dan diawasi pemberiannya. Bila penderita
muntah setengah jam setelah minum obat, maka diberikan obat kembali dengan dosis yang sama . Penderita yang demam temperatur 37,5
C diberikan obat antipiretik
parasetamol 500 mg dengan dosis 3 kali sehari 1 tablet secara per-oral.
Titik Yuniarti : Perbandingan Efikasi Kombinasi Artesunat-Sulfadioksin Pirimetamin Dengan Artesunat-Amodiakuin Pada Penderita Malaria Falciparum Tanpa Komplikasi, 2007.
USU e-Repository © 2008
III.9. Cara Kerja
Semua pasien yang datang dengan keluhan dan tanda-tanda klinis malaria dilakukan pemeriksaan yang meliputi anamnese sampai pemeriksaan fisik dan
dilanjutkan dengan pemeriksaan apusan darah tepi malaria sediaan darah tebal dan darah tipis untuk menghitung kepadatan parasit malaria dalam darah. Sebelum
dilakukan pemeriksaan ini, pasien diberikan penjelasan dan ditanyakan tentang kesediaannya mengikuti penelitian ini dengan mengisi informed consent.
Pada pemeriksaan darah tebal, mula-mula jari pasien dibersihkan dengan kapas alkohol dan dikeringkan, kemudian tusuk dengan lancet steril, darah tetes
pertama dibuang dan tetes kedua diletakkan di bagian tengah gelas objek sebanyak ± 2 tetes. Kemudian keringkan pada suhu kamar. Setelah kering tuangi Giemsa 10
dan biarkan selama 10-15 menit, lalu bilas dengan air kran yang mengalir. Keringkan pada suhu kamar dan periksa di bawah mikroskop dengan pembesaran objektif 100x
untuk mendapatkan Plasmodium spp Harijanto,2000. Pemeriksaan darah tebal ini
digunakan untuk melihat ada tidaknya parasit malaria dalam darah positif atau negatif. Selain itu dapat juga untuk menghitung jumlah parasit per 200 leukosit.
Pada sediaan darah tipis, cara pengecatannya sama dengan pemeriksaan darah tebal tetapi sebelum dilakukan pengecatan sediaan darah difiksasi dengan metanol.
Pemeriksaan ini digunakan untuk melihat dan menentukan jenis spesiesnya. Selain itu juga untuk menghitung jumlah kepadatan parasit yaitu dihitung jumlah parasit per
1000 eritrosit. Bila dari pemeriksaan tersebut hanya ditemukan infeksi parasit P.falciparum dan pasien memenuhi kriteria inklusi lainnya maka dipilih sebagai
subjek penelitian. Kemudian pasien dibagi menjadi 2 kelompok perlakuan secara
Titik Yuniarti : Perbandingan Efikasi Kombinasi Artesunat-Sulfadioksin Pirimetamin Dengan Artesunat-Amodiakuin Pada Penderita Malaria Falciparum Tanpa Komplikasi, 2007.
USU e-Repository © 2008
random. Bila tidak memenuhi kriteria inklusi maka penderita akan diobati sesuai dengan penyakit yang dideritanya dan tidak diikutsertakan dalam penelitian.
Pasien yang ikut dalam penelitian akan diberikan pengobatan sesuai dengan pembagian kelompok perlakuan. Sebelum diberi pengobatan, pasien diberikan
penjelasan tentang kegunaan obat, efek samping yang dapat timbul, dan jadwal pemeriksaan selanjutnya dan bila timbul efek samping atau tanda-tanda malaria berat
dapat menghubungi peneliti kapan saja. Parasitemia diperiksa pada hari ke 0,1,2,3,7,14, dan 28 setelah pengobatan.
Semua slide darah tepi pasien yang diteliti dikonfirmasi di bagian parasitologi FK USU untuk diagnostik spesies plasmodium dan hitung kepadatan parasitnya.
Pemeriksaan dan pengamatan selanjutnya dilakukan dengan mendatangi rumah pasien. Selama pengobatan, pasien difollow-up terhadap kepatuhan, efek samping,
komplikasi malaria ataupun keadaan klinis lain yang dianggap penting. Bila dalam follow-up terjadi komplikasi pada penderita atau menunjukkan tanda-tanda malaria
berat atau parasitemia pada hari ke-3 tidak menurun atau meningkat, maka penderita segera diberikan pengobatan malaria yang lebih intensif dengan kinin dihidroklorida
drip, dan dirawat di puskesmas atau rumah sakit dan dikeluarkan dari penelitian. Masing-masing kelompok perlakuan dinilai kepadatan parasit dan keadaan
klinisnya, yang kemudian akan diklasifikasikan atas Early Treatment Failure ETF, Late Treatment Failure LTF, dan Adequate Clinical and Parasitological Response
ACPR sesuai dengan WHO.
Titik Yuniarti : Perbandingan Efikasi Kombinasi Artesunat-Sulfadioksin Pirimetamin Dengan Artesunat-Amodiakuin Pada Penderita Malaria Falciparum Tanpa Komplikasi, 2007.
USU e-Repository © 2008
Populasi Terjangkau
Malaria falciparum Tanpa komplikasi
Pemeriksaan darah tepi
Pemeriksaan Fisik
Kriteria eksklusi
Pemeriksaan Darah Tepi dan Pemeriksaan Fisik
H 0, 1,2,3,7,14,28 Eksklusi :
̇ Efek samping ̇ Drop out
̇ Pindah T.T Eksklusi :
̇ Efek samping ̇ Drop out
̇ Pindah T.T Artesunat + Sulfadoksin-pirimetamin
Artesunat + Amodiakuin RANDOM
- Kepadatan P.falciparum dalam darah - Efek samping obat
Gambar 7 :Kerangka Kerja Penelitian
Titik Yuniarti : Perbandingan Efikasi Kombinasi Artesunat-Sulfadioksin Pirimetamin Dengan Artesunat-Amodiakuin Pada Penderita Malaria Falciparum Tanpa Komplikasi, 2007.
USU e-Repository © 2008
III.10. Variabel yang diamati :
Variabel dependen : P.falciparum Variabel independen : Kelompok perlakuan kelompok artesunat -
sulfadoksin pirimetamin dan kelompok artesunat – amodiakuin .
III.11. Analisa Data Analisa data menggunakan program SPSS versi 10.05. Hasil penelitian
disajikan dalam bentuk narasi, tabel, dan gambar.
1. Uji normalitas dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smornov 2. Kelompok umur, gejala klinis, suhu tubuh dan efek samping diuji dengan
menggunakan uji Chi-square. 3. Perubahan kepadatan parasit pada masing-masing kelompok pengobatan
digunakan uji Friedman. 4. Untuk membandingkan kepadatan parasit sebelum dan sesudah pengobatan
antara kedua kelompok pengobatan digunakan uji Mann-Whitney. 5. Perubahan komponen hematologi Hb, leukosit, eritrosit, trombosit, dan
KGD sebelum dan sesudah pengobatan pada kelompok yang sama digunakan uji t berpasangan, sedangkan untuk eosinofil digunakan uji Wilcoxon.
6. Perubahan komponen hematologi Hb, leukosit, eritrosit, trombosit, KGD sebelum dan sesudah pengobatan pada antara kelompok pengobatan
digunakan uji t tidak berpasangan, sedangkan untuk eosinofil digunakan uji Mann-Whitney.
Titik Yuniarti : Perbandingan Efikasi Kombinasi Artesunat-Sulfadioksin Pirimetamin Dengan Artesunat-Amodiakuin Pada Penderita Malaria Falciparum Tanpa Komplikasi, 2007.
USU e-Repository © 2008
III.12. Definisi Operasional
1. Pasien malaria falciparum tanpa komplikasi adalah pasien dengan gejala klinis
malaria dan pada pemeriksaan darah tepi ditemukan bentuk P.falciparum aseksual dan penderita tidak menunjukkan tanda dan gejala malaria berat dari
awal pemeriksaan sampai selesai pengobatan. 2.
Malaria berat adalah suatu kondisi malaria dengan faktor pemberat seperti: penurunan kesadaran, anemia berat Hb 5 gr atau hematokrit 15,
gagal ginjal akut urine 400 ml24 jam atau 12 mlbb atau kreatinin 3 mg , edema paru, hipoglikemia KGD 40 mg, syok, perdarahan
spontan, kejang, hemoglobinuria, hiperparasitemia 5 pada daerah hipoendemik, ikterus bilirubin 3 mg dan hyperpireksemia temperatur
rektal 40 C.
3. Pemeriksaan apusan darah tepi adalah tehnik pemeriksaan standar untuk
menegakkan diagnosa malaria, yaitu dengan menentukan plasmodium dalam darah penderita.
4. Kepadatan parasit adalah jumlah plasmodium per-200 leukosit atau per- 1000
eritrosit yang ditemukan pada pemeriksaan apusan darah tepi. 5.
H0, adalah hari pertama pengamatan dan diagnosa penderita malaria. 6.
H1, H2, H3, H7, H14, H28 adalah hari ke-n pemberian obat dan pengamatan lanjutan pada penderita.
7. Demam adalah suatu kenaikan suhu tubuh 37,5
C yang diukur dengan termometer aksila.
Titik Yuniarti : Perbandingan Efikasi Kombinasi Artesunat-Sulfadioksin Pirimetamin Dengan Artesunat-Amodiakuin Pada Penderita Malaria Falciparum Tanpa Komplikasi, 2007.
USU e-Repository © 2008
8. Komponen hematologi diperoleh dengan melakukan pemeriksaan darah rutin
untuk melihat kadar hemoglobin, eritrosit, leukosit, trombosit, dan eosinofil. 9. Early Treatment Failure ETF adalah penderita malaria falciparum tanpa
komplikasi yang menunjukkan salah satu kriteria di bawah ini : a. Ditemukan tanda-tanda bahaya malaria berat dengan komplikasi
pada HI, H2, dan H3 dan dijumpai parasitemia ≥ 5 .
b. Parasitemia pada H2 H0. c. Parasitemia pada H3
≥ 25 H0. d. Parasitemia pada H3 dengan temperatur aksila
≥ 37,5 C
10. Late Treatment Failure LTF , dibagi atas 2 golongan, yaitu : a. Late Clinical and Parasitological Failure LPCF, bila terjadi salah satu
kriteria di bawah ini pada hari ke-4 sampai ke-28 : - terjadi gejala malaria berat
- masih terdapat gametosit disertai demam 37,5 C
b. Late Parasitological Failure LPF , bila masih terdapat parasit bentuk aseksual pada hari ke-7, 14, 21, dan 28 walaupun tanpa disertai demam
11. Adequate Clinical and Parasitological Response ACPR adalah penderita yang pada kunjungan ulangan kontrol H3, H7, dan H28 tidak ada keluhan
demam dan hasil pemeriksaan darah parasit negatif.
Titik Yuniarti : Perbandingan Efikasi Kombinasi Artesunat-Sulfadioksin Pirimetamin Dengan Artesunat-Amodiakuin Pada Penderita Malaria Falciparum Tanpa Komplikasi, 2007.
USU e-Repository © 2008
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
IV.1. Hasil Penelitian IV.1.1. Karakteristik Penelitian