Perbandingan Efikasi Kombinasi Artesunat-Sulfadioksin Pirimetamin Dengan Artesunat-Amodiakuin Pada Penderita Malaria Falciparum Tanpa Komplikasi

(1)

PERBANDINGAN EFIKASI KOMBINASI

SULFADOKSIN PIRIMETAMIN DENGAN

ARTESUNAT-AMODIAKUIN PADA PENDERITA MALARIA FALCIPARUM

TANPA KOMPLIKASI

TESIS

Oleh

TITIK YUNIARTI

047027011/ KT

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007


(2)

Proposal PERBANDINGAN EFIKASI KOMBINASI ARTESUNAT- SULFADOKSIN PIRIMETAMIN DENGAN ARTESUNAT-AMODIAQUINE PADA PASIEN MALARIA FALCIPARUM TANPA KOMPLIKASI

Nama TITIK YUNIARTI

Nomor Pokok 027047011

Program Studi Magister Ilmu Kedokteran Tropis

Menyetujui Komisi Pembimbing

(dr. Umar Zein, DTM&H,SpPD-KPTI) Ketua

(dr. Yosia Ginting, SpPD-KPTI) (Drs. Saib Suwilo, MSc, PhD)

Anggota Anggota

Komisi Pembanding

(Prof. dr. A.A. Depari, DTM&H, SpParK) (Prof. dr. Aznan Lelo, SpFK, PhD)

Ketua Program Studi, Direktur PPs USU

(Prof.Dr.dr.Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc(CTM),SpAK) (Prof.Dr.Ir.T. Chairun Nisa. B, MSc)


(3)

Telah diuji pada Tanggal :

PANITIA PENGUJI TESIS

KETUA : dr. Umar Zein, DTM&H, SpPD-KPTI ANGGOTA : 1. dr. Yosia Ginting, SpPD-KPTI

2. Drs. Saib Suwilo, MSc.,PhD

3. Prof. dr. A.A. Depari, DTM&H, SpParK 4. Prof. dr. Aznan Lelo, SpFK, PhD


(4)

SEMINAR HASIL PENELITIAN SEKOLAH PASCA SARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

Nama Mahasiswa : Titik Yuniarti Nomor Pokok : 047027011

Program Studi : Ilmu Kedokteran Tropis

Judul Penelitian : PERBANDINGAN EFIKASI KOMBINASI

ARTESUNAT – SULFADOKSIN PIRIMETAMIN DENGAN ARTESUNAT - AMODIAKUIN PADA PENDERITA MALARIA FALCIPARUM TANPA KOMPLIKASI

Pembimbing : 1. dr. Umar Zein, DTM&H, SpPD-KPTI

2. dr. Yosia Ginting, SpPD-KPTI

3. Drs. Saib Suwilo, MSc, PhD

Pembanding : 1. Prof. dr. A.A. Depari, DTM&H, SpParK 2. Prof. dr. Aznan Lelo, SpFK, PhD

Hari / Tanggal : Kamis / 31 Mei 2007 Jam : 08.00 WIB

Tempat : Ruang Seminar Sekolah Pasca Sarjana Universitas

Sumatera Utara

SEKOLAH PASCA SARJANA

MAGISTER ILMU KEDOKTERAN TROPIS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2007


(5)

RIWAYAT HIDUP

Titik Yuniarti, lahir di Sabang, tanggal 10 Juni 1973, beragama Islam, anak ke-4 dari 5 bersaudara dari pasangan H. Raden Nugraha dan Hj. Cut Nuryati. Berdomisili di Jl. O. Surapati Kelurahan Kota Atas Sabang Nanggroe Aceh Darussalam.

Menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN 060870 Medan tahun 1982, sekolah menengah pertama di SMPN 9 Medan tahun 1988, dan sekolah menengah atas di SMAN 3 Medan tahun 1991. Lulus Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara ( UISU ) pada tahun 2000.

Bekerja sebagai Kepala Puskesmas Payaseunara Kecamatan Sukakarya, Sabang sebagai Pegawai Tidak Tetap ( PTT ) pada tahun 2000-2002. Terakhir bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil dengan golongan IIIc, bertugas di Kantor Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit Umum Sabang sampai saat ini.


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ... i

SUMMARY... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR... x

DAFTAR LAMPIRAN... xi

DAFTAR LAMBANG... xii

DAFTAR SINGKATAN... xiii

I. PENDAHULUAN ... 1

I.1. Latar Belakang... 1

I.2. Perumusan Masalah... 6

I.3. Tujuan Penelitian... 6

I.4. Kerangka Konsep Penelitian ... 7

I.5. Hipotesis ... 8

I.6. Manfaat Penelitian... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

II.1. Data Umum dan Siklus Malaria di Kabupaten Nias Selatan ... 10

II.2. Siklus Hidup Plasmodium Malaria ... 13

II.3. Obat-Obat Antimalaria... 14

II.3.1. Sulfadoksin – pirimetamin ... 14

II.3.2. Artesunat ... 16

II.3.3. Amodiakuin... 17

II.4. Resistensi terhadap Obat Malaria ... 18

II.5. Terapi Kombinasi Obat Antimalaria ... 21

III. METODE PENELITIAN... 23

III.1. Tempat dan Waktu Penelitian... 23

III.2. Alat dan Bahan... 23

III.2.1. Peralatan Pemeriksaan Fisik dan Klinis ... 23

III.2.2. Peralatan, Bahan Laboratorium, dan Obat-obatan... 23

III.3. Disain Penelitian ... 24

III.4. Subjek Penelitian ... 25

III.5. Kriteria Inklusi ... 25


(7)

III.7. Besar Sampel ... 26

III.8. Kelompok Perlakuan... 27

III.9. Cara Kerja ... 28

III.10. Variabel yang Diamati ... 31

III.11. Analisa Data... 31

III.12. Definisi Operasional ... 32

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 34

IV.1. Hasil Penelitian... 34

IV.1.1. Karakteristik Penelitian ... 34

IV.1.2. Karakteristik Dasar Sampel Penelitian ... 36

IV.1.3. Kepadatan Parasit Sebelum dan Sesudah Pengobatan ... 40

IV.2. Pembahasan ... 43

V. KESIMPULAN DAN SARAN... 47

V.1. Kesimpulan ... 47

V.2. Saran... 48


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Data 10 Penyakit Kabupaten Nias Selatan Tahun 2005 ... 12

Tabel 2. Dosis Artesunat Berdasarkan Umur ... 27

Tabel 3. Dosis Amodiakuin Berdasarkan Umur ... 27

Tabel 4. Karakteristik Dasar Sampel Sebelum Pengobatan... 36

Tabel 5. Hasil Pemeriksaan Kepadatan Parasit dan Respon Pengobatan ... 38

Tabel 6. Efek Samping Obat... 40


(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kerangka Konsep... 7

Gambar 2. Peta Kabupaten Nias Selatan ... 11

Gambar 3. Skema Siklus Hidup Plasmodium Malaria ... 14

Gambar 4. Struktur Kimia Sulfadoksin pirimetamin... 15

Gambar 5. Struktur Kimia Artesunat ... 16

Gambar 6. Struktur Kimia Amodiakuin... 17

Gambar 7. Kerangka Kerja Penelitian ... 30

Gambar 8. Alur Pemeriksaan Sampel... 35


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Persetujuan Komite Etik Penelitian Bidang Kesehatan ... 54

Lampiran 2. Naskah Penjelasan Persetujuan Subjek Penelitian ... 55

Lampiran 3. Surat Pernyataan Kesediaan ( Inform Consent ) ... 59

Lampiran 4. Formulir Anamnesa ... 60

Lampiran 5. Formulir Pemeriksaan Fisik Diagnostik ... 61

Lampiran 6. Formulir Catatan Medis... 62

Lampiran 7. Hasil Pemeriksaan Kepadatan Parasit ... 66


(11)

DAFTAR LAMBANG

% : persen

n : jumlah sampel

z : nilai baku normal tabel z yang besarnya tergantung nilai

z : nilai baku normal table z yang besarnya tergantung nilai

P : proporsi R / (1+R)

Q : 1-P


(12)

DAFTAR SINGKATAN

ACPR : Adequate Clinical and Parasitological Respons

AMI : Annual Malaria Incidence

CFR : Case Fatality Rate

Depkes : Departemen Kesehatan

ETF : Early Treatment Failure

HIA : High Incidence Area

KLB : Kejadian Luar Biasa

LTF : Late Treatment Failure

MIA : Moderete Incidence Area

PAPDI : Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia

SKRT : Survei Kesehatan Rumah Tangga

SPR : Slide Positivity Rate

SPSS : Statistic Programe for Sosial Science


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Sampai saat ini penyakit malaria merupakan masalah utama kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia karena angka morbiditas dan mortalitas yang masih tinggi. Di Indonesia penyakit ini merupakan salah satu penyakit menular yang masih memerlukan perhatian khusus, terutama di daerah luar Jawa-Bali (Rampengan,2000). Dengan perkembangan transportasi, mobilisasi penduduk dunia khususnya dengan berkembangnya pariwisata, infeksi malaria juga merupakan masalah bagi negara-negara maju karena munculnya penyakit malaria di negara tersebut (Laihad dan Gunawan,2000).

Menurut WHO, di Indonesia ditemukan lebih dari 6 juta penderita malaria dengan 700 kematian setiap tahun. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga ( SKRT ) tahun 2001 memperkirakan jumlah kasus malaria sebanyak 15 juta kasus klinis dan sekitar 70 juta penduduk atau lebih kurang sekitar 35% dari jumlah penduduk Indonesia bertempat tinggal di daerah yang endemis malaria. Sebanyak 56,3 juta penduduk tinggal di daerah endemis sedang sampai endemis tinggi (Depkes,2003 ; Depkes,2005).

Peningkatan insidensi malaria hampir terjadi di seluruh wilayah Indonesia sejak tahun 1997. Hal ini disebabkan karena terjadinya perubahan lingkungan yang berakibat meluasnya tempat perindukan nyamuk penular malaria. Penyebab lainnya adalah mobilitas penduduk yang cukup tinggi, perubahan iklim yang menyebabkan


(14)

musim hujan lebih panjang dari musim kemarau, krisis ekonomi yang berkepanjangan yang menyebabkan masyarakat banyak menderita gizi buruk yang akhirnya menurunkan daya tahan tubuh sehingga lebih mudah untuk tertular penyakit malaria ini (Depkes,2003).

Salah satu wilayah di Indonesia yang mempunyai kasus malaria cukup tinggi adalah Kabupaten Nias Selatan. Daerah ini termasuk High Incidence Area (HIA) karena didapati Annual Malaria Incidence (AMI) tahun 2003 sebesar 65,06‰, tapi kemudian menurun menjadi 36,26‰ sehingga menjadi Moderete Incidence Area (MIA). Kemudian pada tahun 2005 meningkat kembali menjadi 124,24‰. Kasus malaria klinis yang diperiksa darahnya selama tahun 2005 sebesar 7,36 % dengan angka Slide Positive Rate (SPR) sebesar 11,46 % dan spesies yang dominan dijumpai pada pemeriksaan ini adalah P. falciparum (Hakim,2006).

Penggunaan obat antimalaria merupakan salah satu upaya penting dalam penanggulangan malaria. Masalahnya adalah cepatnya penyebaran resistensi terhadap obat antimalaria yang selama ini digunakan. Klorokuin adalah salah satu obat antimalaria yang paling banyak dilaporkan telah resisten, selain obat antimalaria standar lainnya. Penelitian yang dilakukan secara in vivo di Kecamatan Siabu Kabupaten Mandailing Natal pada tahun 2001, ditemukan resistensi terhadap klorokuin sebesar 47,5% dan sulfadoksin-pirimetamin sebesar 50% (Ginting,dkk,2001).

Dalam 30 tahun terakhir telah dilaporkan resistensi P.falciparum terhadap klorokuin di Indonesia. Kasus resistensi obat anti malaria di Indonesia, khususnya


(15)

klorokuin penyebarannya tidak merata, namun semua propinsi telah melaporkan kasus resistensi obat tersebut ( Depkes, 1995).

Melihat begitu banyak kasus kegagalan pengobatan malaria dengan klorokuin telah teridentifikasi sejak lama ( in vivo maupun in vitro ), maka perlu diuji penggunaan kombinasi obat antimalaria mengganti klorokuin yang selama ini masih digunakan dalam pengobatan malaria falciparum tanpa komplikasi. Pengobatan monoterapi selama ini digunakan sebagai pengobatan untuk penderita malaria di Kabupaten Nias Selatan sudah tidak dianjurkan lagi karena dapat mempercepat terjadinya resistensi. Sebagai alternatif pengobatan, Depkes menganjurkan penggunaan kombinasi derivat artemisinin untuk pengobatan malaria falciparum tanpa komplikasi, seperti kombinasi antara artesunat dengan amodiakuin. Obat ini terbukti efektif dan efisien untuk penanggulangan malaria di Cina dan Vietnam (Bloland, 2001 ; Yeka,dkk, 2005). WHO (2001) juga menganjurkan kombinasi antimalaria dengan basis artemisinin untuk pengobatan malaria.

Keuntungan penggunaan kombinasi derivat artemisinin ini selain memperlambat terjadinya resistensi, juga karena efikasinya yang tinggi untuk membersihkan parasit dalam darah dan menghilangkan simptom malaria. Efek terhadap gametosit dapat menghambat penyebaran penularan malaria di daerah dengan tingkat transmisi rendah dan sedang. Laporan resisten dari obat ini pun belum ada (WHO,2001)

Di Nias Selatan penggunaan obat antimalaria berbasis artemisinin (artesunat-amodiakuin) untuk pengobatan malaria falciparum sedang dilakukan, dan pengadaan obat-obatnya (artesunat-amodiakuin ; arsucam®, artesdiakuin®) disediakan oleh


(16)

WHO dan organisasi kesehatan dunia lainnya. Kombinasi obat ini masih belum familiar di daerah ini, sehingga secara teknis peneliti melihat pemberian obat ini tidak berjalan baik, bahkan tidak digunakan sama sekali.

Pada saat ini kombinasi berbasis artemisinin merupakan pengobatan first line baru yang didukung oleh WHO dalam pengobatan malaria falciparum tanpa komplikasi. Artesunat-amodiakuin adalah kombinasi yang paling banyak digunakan di negara-negara endemis malaria pada saat ini. Kombinasi ini sangat efektif untuk mengobati infeksi P.falciparum dan mencegah timbulnya kembali parasit (van den broek,dkk,2005).

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan kombinasi artesunat dengan amodiakuin dan kombinasi artesunat dengan sulfadoksin-pirimetamin, sebagai pilihan alternatif kombinasi berbasis artemisin. Di Sudan, kombinasi artesunat-amodiakuin dijumpai efikasi hanya sebesar 89,7%, sedangkan untuk kombinasi artesunat-sulfadoksin pirimetamin, efikasinya sampai 97-98%. Kombinasi ini merupakan pilihan pengobatan yang lebih baik di Sudan karena menunjukkan persentasi yang lebih rendah untuk munculnya perasitemia kembali dan efikasinya yang cukup tinggi (Van den broek,dkk, 2005). Di Senegal, ditemukan efikasi untuk kombinasi artesunat-amodiakuin pada pengobatan malaria falciparum tanpa komplikasi sebesar 82% dibandingkan dengan pengobatan monoterapi amodiakuin sebesar 79% (Adjuik,dkk,2002).

Walaupun diketahui kombinasi derivat artemisinin dengan obat yang telah resisten tidak efektif (Theonest,dkk, 2005), tetapi di Thailand dengan tingkat resistensi meflokuin yang cukup tinggi, pernah dilakukan penelitian dengan


(17)

kombinasi artesunat dan didapati hasil yang cukup baik, selain meningkatkan efikasi juga memperlambat terjadinya resistensi dan mengurangi transmisi serta mengurangi insidensi dari P.falciparum (Nosten,dkk, 1994; Nosten,dkk, 2000). Penelitian yang dilakukan Tjitra, dkk (2001) di Irian Jaya dengan pengobatan kombinasi artesunat dan sulfadoksin pirimetamin pada malaria falciparum tanpa komplikasi menunjukkan adanya peningkatan efikasi sulfadoksin pirimetamin. Kombinasi artemisinin dengan klorokuin sudah tidak rasional lagi karena secara umum klorokuin tidak efektif lagi. Di beberapa daerah sulfadoksin-pirimetamin masih cukup efektif. Uji klinik kombinasi artemisinin dengan sulfadoksin-pirimetamin untuk pengobatan malaria falciparum di Papua menunjukkan risiko kegagalan pengobatan kombinasi jauh lebih kecil dibandingkan dengan hanya sulfadoksin-pirimetamin (Tjitra,2004). Pada penelitian yang dilakukan di Gambia dijumpai efikasi yang cukup baik pada pengobatan malaria falciparum tanpa komplikasi sebesar 94% (Seidlein,dkk,2000). Begitu juga dengan Taylor, dkk (2003) yang juga melakukan penelitian di Gambia, pengobatan dengan kombinasi artesunat-sulfadoksin pirimetamin menunjukkan efikasi yang sangat tinggi (96,8%) dibandingkan dengan sulfadoksin pirimetamin yang efikasinya 89,6% untuk pengobatan malaria falciparum tanpa komplikasi.

Dipilihnya pengobatan dengan artesunat yang dikombinasikan dengan sulfadoksin-pirimetamin pada penderita malaria falciparum tanpa komplikasi selain dapat meningkatkan efikasi dan mengurangi resistensi, diharapkan penggunaan kombinasi obat ini secara teknis dapat berjalan baik karena diketahui sulfadoksin-pirimetamin merupakan obat antimalaria yang sudah familiar dengan harganya yang murah dan penggunaannya dengan dosis tunggal.


(18)

I.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka perumusan masalahnya adalah sebagai berikut :

Apakah kombinasi artesunat – sulfadoksin-pirimetamin mempunyai efikasi yang lebih baik dibandingkan dengan kombinasi artesunat – amodiakuin pada penderita malaria falciparum tanpa komplikasi

I.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah : 1. Tujuan Umum :

Untuk mengkaji efikasi kombinasi artesunat – sulfadoksin-pirimetamin dan kombinasi artesunat – amodiakuin pada pengobatan malaria falciparum tanpa komplikasi di Kabupaten Nias Selatan 2. Tujuan Khusus:

a. Untuk mengetahui efikasi masing-masing kombinasi obat antimalaria terhadap P.falciparum di Kabupaten Nias Selatan

b. Untuk mengetahui apakah kombinasi artesunat - sulfadoksin

pirimetamin mempunyai efikasi yang lebih baik dibandingkan dengan kombinasi artesunat – amodiakuin.


(19)

1.4. Kerangka Konsep

Resistensi Antimalaria

Artesunat + Amodiakuin - Efektif

- Aman

- Strain Plasmodium - Monoterapi - Ketidakpatuh

an

- Dosis yang tidak sesuai - Lingkungan Malaria falciparum tanpa komplikasi

Terapi kombinasi berbasis Artemisinin

Artesunat + Sulfadoksin-Pirimetamin

- Kepadatan P.falciparum dalam darah

- Efek samping

Gambar 1 : Kerangka Konsep Penelitian


(20)

1.5. Hipotesis

Pemberian kombinasi artesunat – sulfadoksin-pirimetamin lebih efektif dibandingkan dengan kombinasi artesunat – amodiakuin pada penderita malaria falciparum tanpa komplikasi

1.6. Manfaat Penelitian

a. Untuk mendapatkan kombinasi terapi alternatif lain untuk pengobatan penderita malaria falciparum tanpa komplikasi di daerah yang khususnya sudah resisten tehadap klorokuin.

b. Sebagai masukan pada pemegang kebijakan dalam menetapkan tata laksana pengobatan penyakit malaria, khusunya malaria falciparum tanpa komplikasi di Kabupaten Nias Selatan khususnya dan Indonesia pada umumnya.

c. Sebagai dasar dalam pengembangan penelitian lanjutan khususnya yang berkaitan dengan kasus-kasus malaria falciparum tanpa komplikasi dan penyakit malaria lainnya.


(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Malaria adalah penyakit menular yang disebabkan oleh parasit protozoa dari genus plasmodium yang dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles. (Robert,dkk, 2001 ; Prabowo, 2004). Istilah malaria berasal dari bahasa Itali, yaitu

mal yang artinya buruk dan aria yang artinya udara, sehingga malaria berarti udara

buruk. Hal ini disebabkan karena malaria terjadi secara musiman di daerah yang kotor dan banyak tumpukan air. (Prabowo, 2004)

Malaria ditemukan hampir di seluruh bagian dunia terutama yang beriklim tropis dan subtropis. Sekitar 2,3 miliar atau 41% dari jumlah penduduk dunia berisiko menderita malaria. Setiap tahun kasusnya berjumlah 300-500 juta kasus dan mengakibatkan 1,5-2,7 juta kematian (Prabowo,2004 ; Depkes,2005). Penyakit ini juga mempunyai beberapa nama lain seperti demam roma, demam rawa, demam

tropic, demam pantai, demam charges, demam kura, dan paludisme (Prabowo, 2004).

Malaria merupakan penyakit endemis yang menyerang negara-negara dengan penduduk yang padat. Penyebaran malaria terjadi dalam wilayah-wilayah belahan bumi utara antara 64 Lintang Utara (Rusia) dan 32 Lintang Selatan (Argentina). Ketinggian yang memungkinkan adalah 400 meter di bawah permukaain laut (Laut Mati ) dan 2600 meter di atas permukaan laut ( Bolivia ). Di Indonesia malaria dapat berjangkit di daerah dengan ketinggian sampai 1800 meter di atas permukaan laut (Prabowo, 2004 ; Rampengan, 2002).


(22)

Penyakit malaria tidak terdistribusi merata antar daerah, desa, keluarga, dan individu. Malaria bisa merupakan penyakit endemis di suatu daerah dan desa tertentu tetapi tidak di daerah dan desa lain meskipun saling berdekatan. Malaria juga bisa terjadi berulang-ulang dalam suatu keluarga dan individu tertentu tetapi tidak pada keluarga dan orang lain meskipun bertetangga. Penduduk yang paling berisiko terinfeksi malaria adalah anak balita, wanita hamil dan penduduk non imun yang mengunjungi daerah endemis malaria, seperti pengungsi, transmigran, dan wisatawan (Gunawan,2000 ; Prabowo, 2004 ).

II.1. Data Umum dan Situasi Malaria di Kabupaten Nias Selatan

Kabupaten Nias Selatan adalah pemekaran dari Kabupaten Nias yang berada di bagian selatan Pulau Nias dan merupakan bagian dari Propinsi Sumatera Utara. dengan ibu kotanya Teluk Dalam. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Nias, sebelah selatan berbatasan dengan Kepulauan Mentawai Propinsi Sumatera Barat, sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia, dan sebelah timur berbatasan dengan Kepulauan Mursala Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kabupaten Mandailing Natal (Dinkes Kab. Nisel,2005 ; Hakim,2006).

Kabupaten Nias Selatan terletak 0012 - 103 LU dan 970 – 980 BT dengan luas wilayah 1.825,2 km2. Kabupaten ini terdiri dari 104 gugusan pulau besar dan kecil. Dari seluruh gugusan pulau tersebut ada empat pulaui besar, yaitu Pulau Tanah Bala (39,67 km2), Pulau Tanah Masa (32,16 km2), Pulau Pini (24,36 km2 ), dan Pulau Tello (18 km2 ). Masyarakat Nias Selatan tersebar di 21 pulau dalam delapan kecamatan (Wikipedia, 2007).


(23)

Kabupaten Nias Selatan terdiri dari 8 kecamatan dan 2 kelurahan dengan jumlah penduduk 287.819 jiwa dengan rasio laki-laki terhadap perempuan adalah 0,91. Kelompok umur yang dominan adalah 15-44 tahun.. Kabupaten Nias Selatan mempunyai kondisi alam yang berbukit-bukit sempit dan terjal serta pegunungan dengan ketinggian antara 0-800 meter di atas permukaan laut. Wilayah daratannya terdiri dari 24% dataran rendah sampai bergelombang, 28,8% tanah bergelombang sampai berbukit-bukit, dan 51.2% dari berbukit sampai pegunungan. Daerah ini merupakan daerah yang beriklim tropis (Hakim,2006).

Gambar 2. Peta Kabupaten Nias Selatan


(24)

Pada tahun 2005 malaria merupakan penyakit utama di Kabupaten Nias Selatan. Berdasarkan data sepuluh besar penyakit di Kabupaten Nias Selatan tahun 2005 yang diperoleh dari sumber Dinas Kesehatan Kabupaten Nias Selatan dapat dilihat bahwa penyakit yang paling banyak dijumpai adalah malaria klinis sebanyak 42.626 kasus (gambar 3). Selama 4 tahun terakhir (2002-2005), AMI di seluruh Kabupaten Nias Selatan agak fluktuatif dan terjadi peningkatan pada tahun 2005 dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Di antara 10 Puskesmas yang ada di Kabupaten Nias Selatan, 9 Puskesmas termasuk HIA (Dinkes Kab.Nisel,2005).

Tabel 1. Data 10 Penyakit Kabupaten Nias Selatan Tahun 2005

No Nama Penyakit Jumlah Kasus

1 Malaria Klinis 42.626

2 ISPA 9.884

3 Anemia 6.407

4 Kecacingan 4.701

5 Penyakit Infeksi Kulit 4.312

6 Gastritis 2.889

7 Diare 2.710

8 Bronkitis 2.274

9 Asma 1.835

10 Skabies 1.173


(25)

II.2. Siklus Hidup Plasmodium

P.falciparum mempunyai 2 siklus hidup, yaitu siklus aseksual yang terjadi di dalam tubuh manusia yang disebut skizogoni dan siklus seksual yang terjadi di tubuh nyamuk yang disebut sporogoni.

Pada siklus aseksual, sporozoit yang terdapat pada kelenjar ludah nyamuk

Anopheles betina masuk ke dalam peredaran darah manusia melalui gigitan nyamuk

tersebut. Kemudian dalam waktu singkat masuk ke sel-sel parenkim hati dan memulai stadium eksoeritrositik. Dalam sel hati, parasit tumbuh menjadi skizon dan berkembang menjadi merozoit. Sel hati yang mengandung parasit pecah dan merozoit keluar dengan bebas dan sebagian difagosit, proses ini disebut stadium preeritrositik (eksoeritrositik). Siklus eritrositik dimulai saat merozoit memasuki sel-sel darah merah membentuk tropozoit dan berkembang menjadi skizon muda, kemudian berkembang menjadi skizon matang dan membelah diri menjadi merozoit. Sel darah merah pecah, merozoit, pigmen, dan sisa sel keluar memasuki plasma darah, sebagian masuk dalam sel darah merah lain untuk mengulang siklus skizogoni dan sebagian membentuk gametosit yaitu bentuk seksual yang siap dihisap oleh nyamuk (Nugroho, 2000 ; CDC,2006)

Siklus seksual terjadi dalam tubuh nyamuk Di dalam tubuh nyamuk terjadi perkawinan antara sel gamet jantan dan betina yang menghasilkan zigot. Zigot berubah menjadi ookinet, kemudian masuk ke dinding lambung nyamuk berubah menjadi ookista. Ookista matang dan pecah, keluar sporozoit dan masuk ke kelenjar liur nyamuk dan siap ditularkan kepada manusia (Nugroho, 2000; CDC,2006).


(26)

Gambar 3. Skema Siklus Hidup Plasmodium

II.3. Obat-obat Antimalaria II.3.1. Sulfadoksin-Pirimetamin

Sulfadoksin-pirimetamin merupakan kombinasi obat antimalaria antara sulfonamide atau sulfon dengan diaminopirimidin yang bersifat skizontosida jaringan

P.falciparum, skizontosida darah, dan sporontosida untuk keempat jenis plasmodium.

Obat ini merupakan obat alternatif yang digunakan selektif untuk pengobatan radikal penderita malaria falciparum tanpa komplikasi di daerah-daerah yang resisten terhadap klorokuin. Obat ini sangat praktis karena dapat diberikan dalam dosis tunggal (Tjitra,2000).


(27)

Secara farmakologis, sulfadoksin bersifat competitive inhibition yang akan menghalangi terjadinya asam folat, sedangkan pirimetamin menghalangi kerja enzim dehidrofolat reduktase sehingga tidak terjadi asam folat. Seperti diketahui asam folat diperlukan dalam proses sintesis asam nukleat yang merupakan bahan inti sel dan sitoplasma (Rampengan,2000 ; Tjitra,2000 ; Taylor,2000).

Sulfadoxine

Pyrimethamine

Gambar 4. Struktur Kimia Sulfadoksin-pirimetamin (WHO, 2006)

Sulfadoksin-pirimetamin tersedia dalam bentuk tablet kombinasi yang berisi 25mg pirimetamin dan 500mg sulfadoksin setiap tablet. Dosis yang diberikan untuk pengobatan malaria falciparum tanpa komplikasi yaitu untuk sulfadoksin 25mg/kgBB dan pirimetamin 1,25mg/kgBB dosis tunggal. Angka kesembuhan yang dilaporkan


(28)

adalah antara 92-100 % dengan derajat resistensi R I – R II. Saat ini kombinasi sulfadoksin-pirimetamin merupakan pilihan pertama (first line drug) untuk penderita malaria falciparum tanpa komplikasi yang resisten terhadap klorokuin atau daerah yang resisten terhadap klorokuin. Efek samping yang pernah dilaporkan adalah bercak kemerahan dengan gatal dan sindroma Steven-Johnson yang dapat berakibat fatal (Tjitra,2000).

II.4.2. Artesunat

Artesunat merupakan obat antimalaria yang bersifat skizontosida dan gametosida. Artesunat merupakan derivat dari artemisinin. Obat ini bekerja dengan cara menghambat enzim Calcium Adenosine Triphosphatase.

Gambar 5. Struktur Kimia Artesunat (WHO, 2006)

Obat ini larut dalam air tapi memiliki stabilitas rendah dalam larutan cair pada pH netral atau asam. Obat ini tersedia dalam bentuk tablet untuk pemberian peroral, dan dalam bentuk serbuk kering dalam ampul dengan pelarut 5% NaHCO3 untuk


(29)

pemberian secara parenteral (intravena atau intramuskular). Dosis untuk pengobatan malaria falciparum tanpa komplikasi yang resisten multidrug, peroral adalah 2 mg/kgBB/dosis, 2 kali sehari pada hari pertama, kemudian dilanjutkan 2 mg/kg BB dosis tunggal pada 4 hari selanjutnya. Efek samping yang pernah dilaporkan adalah gangguan saluran pencernaan berupa mual dan muntah, bercak merah di kulit, gatal-gatal dan rambut rontok. (Tjitra,2000 ; WHO,2006).

II.4.3. Amodiakuin

Amodiakuin merupakan obat antimalaria golongan 4 aminokuinolin yang mempunyai struktur dan aktifitas yang sama dengan klorokuin. Obat ini mempunyai efek antipiretik dan antiinflamasi dan mempunyai efek skizontosida. Obat ini tidak dianjurkan untuk pengobatan profilaksis karena risiko efek samping yang besar.

Gambar 6. Struktur Kimia Amodiakuin (WHO, 2006)

Amodiakuin tersedia dalam bentuk tablet dan sirup hidroklorida atau klorohidrat untuk pemberian oral. Satu tablet amodiakuin mengandung 200mg atau


(30)

153mg basa amodiakuin klorohidrat, sedangkan 1 ml sirup mengandung 10 mg basa amodiakuin hidroklorida atau klorohidrat (Tjitra,2000 ; WHO,2006).

Dosis amodiakuin untuk pengobatan malaria falciparum tanpa komplikasi adalah seperti klorokuin yaitu 25-35 mg basa/kgBB/3 hari. Obat ini tidak terlalu pahit sehingga memudahkan pemberian pada anak-anak, dan juga dapat diberikan pada masa kehamilan. Efek samping yang sering dijumpai sama seperti klorokuin yaitu berupa mual, muntah, sakit perut, diare, dan gatal-gatal. Sedangkan efek samping yang berat dapat menyebabkan hepatitis toksik dan agranulositosis yang fatal sehingga obat ini tidak boleh diberikan pada penderita dengan gangguan fungsi hati, dan tidak digunakan untuk profilaksis (Tjitra,2000 ; WHO,2006) .

II.5. Resistensi Terhadap Obat Malaria

Resistensi obat adalah kemampuan sejenis parasit untuk terus hidup dalam tubuh manusia, berkembang biak dan menimbulkan gejala penyakit meskipun telah diberikan pengobatan secara teratur baik dengan dosis standar maupun dosis yang lebih tinggi yang masih bisa ditolerir oleh pemakai obat (Tjitra,2000 ; Bloland,2001 ; Sutisna,2004).

Ada beberapa teori terjadinya resistensi pada P.falciparum. Pertama karena di dalam tubuh parasit ada gen yang tidak peka dan ada yang sensitif terhadap obat tertentu, gen yang satu dapat menjadi lebih dominan daripada gen yang lain, sehingga menimbulkan adanya strain yang tidak peka dan strain yang sensitif. Teori kedua adalah mutasi gen dapat terjadi dalam tubuh parasit, yang memungkinkan parasit tersebut menjadi tidak peka terhadap suatu obat dengan dosis atau aktivitas tertentu.


(31)

Mutasi ini timbul karena interaksi antara tingginya angka penularan dengan pengobatan yang terus menerus dalam jangka waktu yang lama, sehingga terjadi seleksi atau mutasi gen pada parasit tersebut (Maryatun,2004).

Masalah resistensi parasit terhadap obat antimalaria merupakan tantangan besar yang dihadapi dalam upaya pemberantasan malaria. Resistensi obat ini berimplikasi pada penyebaran malaria ke daerah-daerah baru dan munculnya kembali pada daerah yang dulunya telah dieradikasi. Resistensi obat juga mempunyai peranan penting dalam terjadinya epidemi atau Kejadian Luar Biasa ( KLB ) di Indonesia, yang diperberat dengan adanya perpindahan atau mobilitas penduduk yang besar dengan membawa parasit yang resisten (Tjitra,2004).

Walaupun upaya penanggulangan malaria sejak lama dilaksanakan namun dalam beberapa tahun terakhir terutama sejak krisis ekonomi 1997 daerah endemis malaria bertambah luas, bahkan menimbulkan KLB pada daerah-daerah yang telah berhasil menanggulangi malaria. Pada tahun 2003 malaria sudah tersebar di 6.052 desa pada 226 kabupaten di 30 propinsi. Kondisi ini diperberat dengan semakin luasnya daerah yang resisten terhadap obat antimalaria yang selama ini digunakan yaitu klorokuin bahkan juga sulfadoksin-pirimetamin (Depkes,2003). Sejak 1997 sampai Mei 2005 telah terjadi KLB malaria di 38 propinsi yang meliputi 47 kabupaten/kota dengan jumlah kasus 32.987 penderita dan 559 kematian akibat malaria. Case Fatality Rate (CFR) malaria berat yang dilaporkan dari beberapa rumah sakit berkisar 10-15% (Depkes,2005).

Resistensi P.falciparum terhadap klorokuin pertama kali dilaporkan pada tahun 1960 dari Kolombia ( Amerika Selatan ) dan Thailand. Saat ini resistensi


(32)

P.falciparum terhadap klorokuin telah menyebar hampir di seluruh negara di Amerika

Tengah serta Selatan, Asia, dan Afrika, tidak terkecuali di Indonesia (Sutisna,2004). P.falciparum yang resisten klorokuin pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1974 di Propinsi Kalimantan Timur. Selanjutnya dari tahun ke tahun wilayah malaria yang penderitanya resisten terhadap obat antimalaria semakin meluas. Hingga tahun 1996 telah ditemukan resistensi P.falciparum terhadap klorokuin dengan derajat yang berbeda di semua propinsi. P.falciparum yang resisten terhadap sulfadoksin-pirimetamin secara in vivo dan in vitro juga telah ditemukan antara lain di 11 propinsi di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya. Suatu perkembangan yang memprihatinkan adalah dijumpainya P.vivax yang resisten terhadap klorokuin antara lain di Irian Jaya, P.Nias, Maluku, dan Flores. P.falciparum yang resisten terhadap kina belum pernah ditemukan secara in vivo (Tjitra,2000 ; Depkes RI,2003).

Sebagai respons terhadap terjadinya resistensi P.falciparum terhadap klorokuin dan obat-obat antimalaria lain, maka saat ini berkembang kecenderungan untuk menggunakan obat-obat antimalaria dalam kombinasi yaitu dengan memakai dua jenis atau lebih obat antimalaria yang mempunyai cara kerja farmakologi yang berbeda terhadap parasit malaria untuk mengobati malaria falciparum. Tujuan pemakaian kombinasi obat antimalaria ini selain untuk meningkatkan efek obat-obat bersangkutan secara sinergis dan aditif, juga mencegah timbulnya resistensi

P.falciparum secara cepat terhadap setiap obat bila digunakan secara tunggal

(Sutisna,2004). Hal ini diperkirakan karena dengan penggunaan secara kombinasi, peluang untuk menjadi resisten terhadap kedua obat yang dikombinasikan itu


(33)

semakin kecil yaitu hasil perkalian peluang masing-masing obat itu untuk menjadi resisten bila digunakan secara tunggal. Pada saat ini penggunaan kombinasi derivat artemisinin telah terbukti efektif dalam mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat penyakit malaria (White,1999 ; Bloland,2001 ; WHO,2006).

II.6. Terapi Kombinasi Obat Antimalaria

Pengobatan kombinasi adalah pengobatan dengan menggunakan lebih dari satu macam obat antimalaria yang bersifat skizontosida darah atau dengan kata lain terapi kombinasi dengan obat antimalaria merupakan penggunaan yang simultan dari dua atau lebih obat skizontosida darah dengan cara kerja yang bebas dan target biokimia yang berbeda pada parasit. Obat-obat ini harus rasional dan memenuhi aturan kriteria, yaitu harus mempunyai cara kerja dan mekanisme terjadinya resistensi yang berbeda dan mempunyai batas efikasi dari masing-masing obat yang dikombinasi minimal 75%. Obat-obat yang dikombinasi juga harus sesuai khasiat farmakokinetik dan farmakodinamiknya, dapat menjamin kepatuhan minum obat yang baik, dan mampu mengurangi penularan (WHO, 2001 ; PAPDI, 2003 ; Tjitra, 2004 ).

Di Indonesia pengobatan kombinasi dilakukan bila sudah ada studi tentang pola resistensi di suatu daerah melalui survey resistensi. Pengobatan kombinasi dianjurkan dengan tujuan untuk menghambat dan menurunkan insiden resistensi dan untuk melindungi potensi obat malaria. Pengobatan ini belum digunakan dalam penanggulangan malaria pada saat ini, namun secara bertahap akan digunakan di


(34)

daerah yang telah mempunyai cukup informasi tentang efikasi parasit terhadap obat antimalaria yang digunakan (PAPDI, 2003).

Penelitian atau evaluasi beberapa kombinasi untuk pengobatan malaria falciparum dan atau pengobatan malaria vivax telah dilakukan di Indonesia. Secara umum kombinasi obat antimalaria dikelompokkan menjadi kombinasi obat antimalaria non artemisinin dan kombinasi obat antimalaria artemisinin (Tjitra,2004). Mulai tahun 2004 untuk daerah yang resisten klorokuin, WHO menganjurkan untuk melakukan pengobatan dengan kombinasi derivat artemisinin. Pada saat ini penggunaan kombinasi derivat artemisinin telah terbukti efektif dalam mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat penyakit malaria (White, 1996 ; WHO, 2006).

Obat kombinasi artemisinin umumnya merupakan regimen 3 hari. Pengobatan dengan kombinasi artemisinin untuk malaria falciparum memberikan hasil yang cepat dan dapat dipercaya, aman, mencegah terjadinya resistensi, dan mengurangi penularan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah efek samping neurotoksik yang dijumpai pada binatang percobaan (tikus dan anjing), keamanan obat pada kehamilan, beredarnya obat palsu, dan harganya yang relatif mahal. Efek samping yang banyak dilaporkan adalah keluhan gastrointestinal (mual dan muntah) yang dapat disebabkan karena jumlah obat yang diminum cukup banyak (Tjitra, 2004).


(35)

BAB III

METODE PENELITIAN

III.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di 11 desa di 3 kecamatan (Teluk Dalam, Lahusa, dan

Amandraya) di Kabupaten Nias Selatan yang dimulai dari bulan September sampai

dengan bulan Desember 2006.

III.2. Alat dan Bahan

III.2.1. Peralatan pemeriksaan fisik dan klinis

Peralatan fisik dan klinis pada subjek penelitian menggunakan peralatan

stetoskop, timbangan badan, termometer suhu tubuh.(WHO,2003)

III.2.2. Peralatan, Bahan Laboratorium, dan Obat-Obatan

Pembuatan sediaan darah tebal dan pemeriksan secara mikroskopis

membutuhkan peralatan dan bahan laboratorium antara lain sebagai berikut :

mikroskop, kaca sediaan, slide box, rak pewarnaan, rak tabung reaksi, kapas

aquadest, pipet tetes, pipet 10ml, gelas ukur 10ml, dan 100ml, baker glass 250, dan

100ml, toilet paper. (WHO,2003).

Obat antimalaria yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Sulfadoksin-pirimetamin merupakan kombinasi antara sulfonamida


(36)

pirimetamin. Sediaan ini merupakan sediaan generik buatan dari PT.

Indofarma, dengan nomor batch 0505005 dengan tanggal kadaluarsa

06/2009. Obat ini merupakan bantuan dari Dinas Kesehatan dan

Kesejahteraan Sosial Kota Sabang.

b. Artesdiaquine merupakan kombinasi dari artesunat 50 mg dan

amodiakuin 200 mg. Sediaan ini merupakan produksi dari Beijing

Wanhui Double Crane Pharmaceutical yang diimpor oleh PT. Trimitra

Sehati, Indonesia dengan tanggal produksi 08042006, kadaluarsa

04/2009 dan nomor batch 050406. Setiap kotak berisi 12 buah tablet

artesunat @ 50 mg dan 12 buah tablet amodiaquine @ 200 mg dalam

kemasan blister yang digunakan untuk pemakaian dengan dosis harian

yang sama selama 3 hari. Obat ini merupakan bantuan dari Dinas

Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Kota Sabang yang didapat dari

bantuan WHO dan NGO.

c. Selain itu disediakan obat parasetamol 500mg (buatan PT. Indofarma)

yang diberikan bila suhu aksila pasien >37,50C, sebagai pengobatan

simptomatis.

III.3. Desain Penelitian


(37)

III.4. Subjek Penelitian

Subjek penelitian diambil dari populasi masyarakat di 3 Kecamatan Teluk Dalam,

Lahusa, dan Amandraya Kabupaten Nias Selatan.

Populasi Terjangkau :

Pasien dengan gejala klinis malaria falciparum dan hanya dijumpai P.falciparum pada

sediaan darah tepi yang datang ke tempat penelitian selama periode penelitian.

III.5. Kriteria Inklusi

1. Umur ≥ 15 tahun.

2. Infeksi P.falciparum (monoinfeksi) dengan kepadatan parasit ≥100 / ml.

3. Temperatur aksila ≥ 37,50C atau dengan riwayat demam dalam 1 minggu terakhir. 4. Tidak mengkonsumsi obat antimalaria dalam 2 minggu terakhir (anamnese).

5. Adanya persetujuan (informed consent) bersedia ikut dalam penelitian.

III.6. Kriteria Eksklusi

1. Bila dijumpai plasmodium jenis lain selain P. falciparum (mixed infection) dalam

pemeriksaan darah.

2. Ibu hamil dan menyusui.

3. Adanya kontraindikasi khususnya riwayat alergi pada penggunaan obat-obat

antimalaria dan timbul efek samping yang tidak dapat ditolerir dari obat yang

diuji.

4. Adanya gangguan fungsi hati, ginjal, dan jantung yang berat yang diketahui dari


(38)

5. Adanya gejala dan tanda-tanda malaria berat.

6. Tidak kontrol sesuai jadwal penelitian.

7. Mengundurkan diri dari penelitian sewaktu penelitian berlangsung setelah diberi

penjelasan dan mengisi informed consent (WHO,2003).

III.7. Besar Sampel

Besar sampel dihitung menurut rumus :

n1 = n2 =

(

)

(

)

2

2 1 2 2 2 1 1 2 P P Q P Q P z PQ z − + + β α

(Sastroasmoro,2002 ; Dahlan,2004 )

P = ½ ( P1 + P2 )

P1 = Proporsi kesembuhan penderita malaria falciparum tanpa komplikasi dengan

artesunat dan sulfadoxin-pirimetamin 98 % = 0,98 (van den broek,2005)

P2 = Proporsi kesembuhan penderita malaria falciparum tanpa komplikasi dengan

artesunat dan amodiakuin 82 % = 0,82 (Taylor,2003)

Q1 = 1 - P1 = 0,01

Q2 = 1 - P2 = 0,18

= 0,05 Z = 1,645

= 0,20 Z = 0,842

Setelah dilakukan perhitungan dengan rumus di atas, maka didapatkan besar sampel

sebanyak 42 orang untuk masing-masing kelompok penelitian. Untuk mengantisipasi


(39)

III.8. Kelompok Perlakuan

Penelitian ini terdiri dari 2 kelompok perlakuan sebagai berikut : 1. Kelompok I diberikan kombinasi artesunat – sulfadoksin pirimetamin.

Dosis artesunat diberikan 4 tablet yang diberikan pada hari pertama, kedua

dan ketiga, sedangkan sulfadoksin-pirimetamin diberikan sebanyak 3 tablet

dosis tunggal pada hari pertama.

Tabel 2. Dosis Artesunat Berdasarkan Umur

Umur (tahun)

Hari 1-4 5-9 10-14 ≥15

H1 1 tablet 2 tablet 3 tablet 4 tablet

H2 1 tablet 2 tablet 3 tablet 4 tablet

H3 1 tablet 2 tablet 3 tablet 4 tablet

2. Kelompok II ( kombinasi artesunat dengan amodiakuin ), untuk

masing-masing pasien diberikan artesunat 4 tablet yang diberikan pada hari pertama,

kedua, dan ketiga, dan amodiakuin 4 tablet diberikan pada hari pertama,

kedua, dan ketiga selama 3 hari.

Tabel 3. Dosis Amodiakuin Berdasarkan Umur

Umur (tahun)

Hari 1-4 5-9 10-14 ≥15

H1 1 tablet 2 tablet 3 tablet 4 tablet

H2 1 tablet 2 tablet 3 tablet 4 tablet

H3 1 tablet 2 tablet 3 tablet 4 tablet

Semua obat diminum pada hari pertama pengobatan dengan air putih sesuai

kelompok pengobatannya masing-masing dan diawasi pemberiannya. Bila penderita

muntah setengah jam setelah minum obat, maka diberikan obat kembali dengan dosis

yang sama . Penderita yang demam (temperatur >37,50 C) diberikan obat antipiretik


(40)

III.9. Cara Kerja

Semua pasien yang datang dengan keluhan dan tanda-tanda klinis malaria

dilakukan pemeriksaan yang meliputi anamnese sampai pemeriksaan fisik dan

dilanjutkan dengan pemeriksaan apusan darah tepi malaria ( sediaan darah tebal dan

darah tipis) untuk menghitung kepadatan parasit malaria dalam darah. Sebelum

dilakukan pemeriksaan ini, pasien diberikan penjelasan dan ditanyakan tentang

kesediaannya mengikuti penelitian ini dengan mengisi informed consent.

Pada pemeriksaan darah tebal, mula-mula jari pasien dibersihkan dengan

kapas alkohol dan dikeringkan, kemudian tusuk dengan lancet steril, darah tetes

pertama dibuang dan tetes kedua diletakkan di bagian tengah gelas objek sebanyak ±

2 tetes. Kemudian keringkan pada suhu kamar. Setelah kering tuangi Giemsa 10%

dan biarkan selama 10-15 menit, lalu bilas dengan air kran yang mengalir. Keringkan

pada suhu kamar dan periksa di bawah mikroskop dengan pembesaran objektif 100x

untuk mendapatkan Plasmodium spp (Harijanto,2000). Pemeriksaan darah tebal ini

digunakan untuk melihat ada tidaknya parasit malaria dalam darah (positif atau

negatif). Selain itu dapat juga untuk menghitung jumlah parasit per 200 leukosit.

Pada sediaan darah tipis, cara pengecatannya sama dengan pemeriksaan darah

tebal tetapi sebelum dilakukan pengecatan sediaan darah difiksasi dengan metanol.

Pemeriksaan ini digunakan untuk melihat dan menentukan jenis spesiesnya. Selain itu

juga untuk menghitung jumlah kepadatan parasit yaitu dihitung jumlah parasit per

1000 eritrosit. Bila dari pemeriksaan tersebut hanya ditemukan infeksi parasit

P.falciparum dan pasien memenuhi kriteria inklusi lainnya maka dipilih sebagai subjek penelitian. Kemudian pasien dibagi menjadi 2 kelompok perlakuan secara


(41)

random. Bila tidak memenuhi kriteria inklusi maka penderita akan diobati sesuai

dengan penyakit yang dideritanya dan tidak diikutsertakan dalam penelitian.

Pasien yang ikut dalam penelitian akan diberikan pengobatan sesuai dengan

pembagian kelompok perlakuan. Sebelum diberi pengobatan, pasien diberikan

penjelasan tentang kegunaan obat, efek samping yang dapat timbul, dan jadwal

pemeriksaan selanjutnya dan bila timbul efek samping atau tanda-tanda malaria berat

dapat menghubungi peneliti kapan saja.

Parasitemia diperiksa pada hari ke 0,1,2,3,7,14, dan 28 setelah pengobatan.

Semua slide darah tepi pasien yang diteliti dikonfirmasi di bagian parasitologi FK

USU untuk diagnostik spesies plasmodium dan hitung kepadatan parasitnya.

Pemeriksaan dan pengamatan selanjutnya dilakukan dengan mendatangi rumah

pasien. Selama pengobatan, pasien difollow-up terhadap kepatuhan, efek samping,

komplikasi malaria ataupun keadaan klinis lain yang dianggap penting. Bila dalam

follow-up terjadi komplikasi pada penderita atau menunjukkan tanda-tanda malaria berat atau parasitemia pada hari ke-3 tidak menurun atau meningkat, maka penderita

segera diberikan pengobatan malaria yang lebih intensif dengan kinin dihidroklorida

drip, dan dirawat di puskesmas atau rumah sakit dan dikeluarkan dari penelitian.

Masing-masing kelompok perlakuan dinilai kepadatan parasit dan keadaan klinisnya, yang kemudian akan diklasifikasikan atas Early Treatment Failure (ETF),

Late Treatment Failure (LTF), dan Adequate Clinical and Parasitological Response (ACPR) sesuai dengan WHO.


(42)

Populasi Terjangkau

Malaria falciparum Tanpa komplikasi

Pemeriksaan darah tepi Pemeriksaan Fisik

Kriteria eksklusi

Pemeriksaan Darah Tepi dan Pemeriksaan Fisik

H 0, 1,2,3,7,14,28 Eksklusi :

̇ Efek samping

̇ Drop out

̇ Pindah T.T

Eksklusi :

̇Efek samping

̇Drop out

̇Pindah T.T Artesunat + Sulfadoksin-pirimetamin Artesunat + Amodiakuin

RANDOM

- Kepadatan P.falciparum dalam darah - Efek samping obat


(43)

III.10. Variabel yang diamati :

Variabel dependen : P.falciparum

Variabel independen : Kelompok perlakuan ( kelompok artesunat -

sulfadoksin pirimetamin dan kelompok artesunat

– amodiakuin ).

III.11. Analisa Data

Analisa data menggunakan program SPSS versi 10.05. Hasil penelitian disajikan dalam bentuk narasi, tabel, dan gambar.

1. Uji normalitas dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smornov

2. Kelompok umur, gejala klinis, suhu tubuh dan efek samping diuji dengan

menggunakan uji Chi-square.

3. Perubahan kepadatan parasit pada masing-masing kelompok pengobatan

digunakan uji Friedman.

4. Untuk membandingkan kepadatan parasit sebelum dan sesudah pengobatan

antara kedua kelompok pengobatan digunakan uji Mann-Whitney.

5. Perubahan komponen hematologi (Hb, leukosit, eritrosit, trombosit, dan

KGD) sebelum dan sesudah pengobatan pada kelompok yang sama digunakan

uji t berpasangan, sedangkan untuk eosinofil digunakan uji Wilcoxon.

6. Perubahan komponen hematologi (Hb, leukosit, eritrosit, trombosit, KGD)

sebelum dan sesudah pengobatan pada antara kelompok pengobatan

digunakan uji t tidak berpasangan, sedangkan untuk eosinofil digunakan uji


(44)

III.12. Definisi Operasional

1. Pasien malaria falciparum tanpa komplikasi adalah pasien dengan gejala klinis

malaria dan pada pemeriksaan darah tepi ditemukan bentuk P.falciparum

aseksual dan penderita tidak menunjukkan tanda dan gejala malaria berat dari

awal pemeriksaan sampai selesai pengobatan.

2. Malaria berat adalah suatu kondisi malaria dengan faktor pemberat seperti:

penurunan kesadaran, anemia berat (Hb < 5 gr % atau hematokrit < 15%),

gagal ginjal akut (urine < 400 ml/24 jam atau < 12 ml/bb atau kreatinin > 3

mg %), edema paru, hipoglikemia (KGD < 40 mg%), syok, perdarahan

spontan, kejang, hemoglobinuria, hiperparasitemia > 5% pada daerah

hipoendemik, ikterus (bilirubin > 3 mg% dan hyperpireksemia (temperatur

rektal > 400C).

3. Pemeriksaan apusan darah tepi adalah tehnik pemeriksaan standar untuk

menegakkan diagnosa malaria, yaitu dengan menentukan plasmodium dalam

darah penderita.

4. Kepadatan parasit adalah jumlah plasmodium per-200 leukosit atau per- 1000

eritrosit yang ditemukan pada pemeriksaan apusan darah tepi.

5. H0, adalah hari pertama pengamatan dan diagnosa penderita malaria.

6. H1, H2, H3, H7, H14, H28 adalah hari ke-n pemberian obat dan pengamatan

lanjutan pada penderita.

7. Demam adalah suatu kenaikan suhu tubuh > 37,50C yang diukur dengan


(45)

8. Komponen hematologi diperoleh dengan melakukan pemeriksaan darah rutin

untuk melihat kadar hemoglobin, eritrosit, leukosit, trombosit, dan eosinofil.

9. Early Treatment Failure (ETF) adalah penderita malaria falciparum tanpa

komplikasi yang menunjukkan salah satu kriteria di bawah ini :

a. Ditemukan tanda-tanda bahaya / malaria berat dengan komplikasi

pada HI, H2, dan H3 dan dijumpai parasitemia ≥ 5 %. b. Parasitemia pada H2 > H0.

c. Parasitemia pada H3 ≥ 25 % H0.

d. Parasitemia pada H3 dengan temperatur aksila ≥ 37,50C 10. Late Treatment Failure ( LTF ), dibagi atas 2 golongan, yaitu :

a. Late Clinical and Parasitological Failure (LPCF), bila terjadi salah satu

kriteria di bawah ini pada hari ke-4 sampai ke-28 :

- terjadi gejala malaria berat

- masih terdapat gametosit disertai demam ( > 37,50C )

b. Late Parasitological Failure ( LPF ), bila masih terdapat parasit bentuk

aseksual pada hari ke-7, 14, 21, dan 28 walaupun tanpa disertai demam

11. Adequate Clinical and Parasitological Response (ACPR) adalah penderita yang

pada kunjungan ulangan / kontrol ( H3, H7, dan H28 ) tidak ada keluhan

(demam) dan hasil pemeriksaan darah parasit negatif.


(46)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

IV.1. Hasil Penelitian

IV.1.1. Karakteristik Penelitian

Dari penelitian ini sebanyak 726 orang yang diperiksa, yang bersedia dan

memenuhi persyaratan untuk diperiksa darahnya sebanyak 656 orang, yang positif

malaria sebanyak 265 orang dan sebanyak 391 orang tidak terinfeksi malaria.

Dari semua penderita malaria ini, hanya 200 orang yang terinfeksi P.falciparum

saja, sedangkan 61 orang terinfeksi P.vivax dan 4 orang dengan infeksi campuran.

Pasien yang memenuhi kriteria inklusi secara acak sederhana dibagi 2

kelompok, 50 orang masuk kelompok pengobatan artesunat- amodiakuin, dan 48

orang masuk kelompok pengobatan artesunat – sulfadoksin pirimetamin.

Sampai akhir penelitian 10 orang dikeluarkan dalam penelitian, 4 orang dari

kelompok pengobatan artesunat – amodiakuin dan 6 orang dari kelompok

pengobatan artesunat – sulfadoksin pirimetamin. Hal ini dikarenakan 7 orang

tidak mau melanjutkan minum obat pada H2, 4 orang pada kelompok artesunat –

amodiakuin, 3 orang pada kelompok artesunat – sulfadoksin pirimetamin, 3 orang

dari kelompok artesunat – sulfadoksin pirimetamin tidak mau diperiksa darahnya

lagi pada H7. Sampai akhir penelitian, yang diperiksa sebanyak 46 orang pada

kelompok artesunat – amodiakuin dan 42 orang pada kelompok artesunat –


(47)

RANDOM

Artesunat-Amodiakuin 50 orang

Eksklusi 4 orang Eksklusi 6 orang

Pemeriksaan akhir 42 orang Pemeriksaan akhir

46 orang

Artesunat-Sulfadoksin pirimetamin 48 orang

P.vivax 4 orang

P.falciparum 200 orang

Mix 61 orang Penderita malaria

265 orang

Yang bukan malaria 391 orang Yang periksa darah

656 orang Pasien yang diperiksa

726 orang


(48)

IV.1.2. Karakteristik Dasar Sampel Penelitian Tabel 4. Karakteristik Dasar Sampel Sebelum Pengobatan

Karakteristik Ar-SP Ar-Aq

No

n

(42) % normalitas

n

(46) % normalitas pa)

1 Umur 0,439 0,754 0,249

a. 15 - 24 tahun 6 14,30% 11 23,90%

b. 25 - 34 tahun 9 21,40% 7 15,20%

c. 35 - 44 tahun 10 23,80% 12 26,10%

d. 45 - 54 tahun 5 11,90% 10 21,70%

e. ≥ 55 tahun 12 28,60% 6 13,10%

2 Jenis Kelamin 0,000 0,000 0,553b)

a. Wanita 29 69% 29 63%

b. Laki-laki 13 31% 17 37%

3 Gejala Klinis

a. Demam 19 45,20% 19 41,30% 0,710

b. Menggigil 7 16,70% 9 19,60% 0,725

c. Pegal-pegal 8 19,00% 9 19,60% 0,951

d. Pusing 8 19,00% 20 43,50% 0,014*

e. Lemas 5 11,90% 7 15,20% 0,651

f. Mual muntah 4 9,50% 8 17,40% 0,283

g. Pembesaran limpa 0 0

4 Suhu Tubuh 0,317

a. ≤ 37,50C 23 54,80% 30 65,20%

b. > 37,50C 19 45,20% 16 34,80%

Keterangan : Ar-SP : Artesunat-Sulfadoksin pirimetamin ; Ar-Aq : Artesunat-Amodiakuin a) Uji Chi-square

b) Uji Mann-Whitney

* Perbedaan yang bermakna

Dari tabel 4 dapat dilihat bahwa dari 88 sampel yang dianalisa, sesuai

dengan kelompok umur maka jumlah sampel terbanyak pada rentang usia 35 – 44

tahun sebanyak 12 orang (26,1%) pada kelompok pengobatan artesunat –

amodiakuin dan pada usia > 55 tahun pada kelompok pengobatan artesunat –

sulfadoksin pirimetamin sebanyak 12 orang (28,6%). Rata-rata umur sampel yang

mengikuti penelitian ini adalah 38,50. Menurut analisa statistik dengan


(49)

kelompok pengobatan artesunat – amodiakuin dengan kelompok pengobatan

artesunat – sulfadoksin pirimetamin dengan nilai p=0,249 (tabel 4).

Pada jenis kelamin untuk kedua kelompok pengobatan dijumpai jumlah

wanita yang ikut dalam penelitian ini lebih banyak dibandingkan dengan jumlah

pria. Melalui analisa statistik dengan menggunakan uji Chi-square antara wanita

dan pria tidak dijumpai perbedaan yang bermakna pada kedua kelompok

pengobatan dengan nilai p=0,553 (tabel 4).

Keluhan dan gejala klinis yang timbul pada awal penelitian adalah

demam, menggigil, pegal-pegal, pusing, lemas, dan gangguan pencernaan (mual

dan muntah). Keluhan yang terbanyak muncul adalah pusing sebanyak 20 orang

(43,5%) pada kelompok pengobatan artesunat – amodiakuin dan demam pada

kedua kelompok pengobatan masing-masing sebanyak 19 orang (41,3%) untuk

kelompok pengobatan artesunat – amodiakuin dan 45,2% untuk kelompok

pengobatan artesunat – sulfadoksin pirimetamin. Namun setelah dianalisa dengan

menggunakan uji Chi-square tidak dijumpai perbedaan yang bermakna antara

kedua kelompok pengobatan kecuali pada keluhan pusing dengan nilai p=0,014,

yang berarti dijumpai perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok

pengobatan (tabel 4).

Suhu tubuh merupakan salah satu tanda klinis yang diperiksa pada

penelitian ini. Yang terbanyak adalah suhu tubuh ≤ 37,5oC, yaitu sebanyak 30 orang (65,2%) pada kelompok pengobatan artesunat – amodiakuin dan 23 orang


(50)

dilakukan analisa statistik dengan uji Chi-square tidak dijumpai perbedaan yang

bermakna antara kedua kelompok pengobatan dengan nilai p=0,317 (tabel 4).

Selain suhu tubuh, tanda klinis lain yang diperiksa pada subjek penelitian

adalah pembesaran limpa. Pada pemeriksaan ini, sama sekali tidak dijumpai

pembesaran limpa selama penelitian berlangsung.

IV.1.3. Kepadatan Parasit ( Parasitemia ) Sebelum dan Sesudah Pengobatan

Keterangan : ACPR : Adequate Clinical and Parasitological Response

Tabel 5. Hasil Pemeriksaan Kepadatan Parasit dan Respon Pengobatan

Ar – SP Ar – Aq

No Mean ± SD normalitas Mean ± SD normalitas pc)

1 Kepadatan parasit

a. H0 344,76±350,38 0,000 378,70±361,14 0,000 0,278

b. H1 47,62±106,10 0,000 59,13±93,04 0,000 0,045*

c. H2 11,43±28,33 0,000 13,04±31,61 0,000 0,871

d. H3 0 0

e. H7 0 0

f. H14 0 0

g. H28 0 0

2 Respon Pengobatan n = 42 n = 46

a. ACPR 100% 100%

b. ETF 0 0

c. LTF 0 0

ETF : Early Treatment Failure LTF : Late Treatment Failure c Uji Mann-Whitney


(51)

Pada pemeriksaan sediaan darah tipis dengan metode Giemsa pada H0

dijumpai jumlah kepadatan parasit (parasitemia P.falciparum) rendah dengan

jumlah rata-rata kepadatan pada kelompok pengobatan artesunat – sulfadoksin

pirimetamin hanya 344,76/ml dan 378,70/ml pada kelompok pengobatan

artesunat – amodiakuin. Setelah dianalisa dengan uji Mann-Whitney tidak

dijumpai perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok pengobatan pada H0

dengan nilai p=0,278 (tabel 5).

0 50 100 150 200 250 300 350 400

H0 H1 H2 H3 H7 H14 H28

Hari pengamatan K e padat a n par a s it ( /m

l) Parasitemia ar -aq

Parasitemia ar - sp

Gambar 9. Perbandingan Nilai Rata-Rata Kepadatan Parasit

Pada gambar 9 juga dapat dilihat penurunan jumlah kepadatan parasit

pada kedua kelompok pengobatan. Penurunan jumlah kepadatan parasit pada

kedua kelompok ini dijumpai perbedaan yang bermakna pada H1 dengan nilai

p=0,045, sedangkan pada H2 tidak dijumpai perbedaan yang bermakna dengan


(52)

Sementara itu pada respon pengobatan tidak terjadi kegagalan pengobatan.

Pada kedua kelompok pengobatan tidak ada yang mengalami kegagalan

pengobatan, baik itu Early Treatment Failure (ETF) maupun Late Treatment

Failure (LTF). Semua subjek penelitian mengalami kesembuhan baik secara

klinis maupun parasitologis (ACPR).

Tabel 6. Efek Samping Obat

Ar – SP Ar - Aq

No Efek Samping n % n % pa)

1 Lemas / kelelahan 5 12,0% 24 52,2% 0,000*

2 Sakit kepala 8 19,0% 23 50,0% 0,002*

3 Mual muntah 4 9,5% 10 21,8% 0,118

Keterangan : Ar-SP : Artesunat-Sulfadoksin pirimetamin ; Ar-Aq : Artesunat-Amodiakuin a)

Uji Chi-square

* Perbedaan yang bermakna

Efek samping terbanyak yang ditemukan pada penelitian berupa lemas /

kelelahan sebanyak 24 orang (52,2%) pada kelompok pengobatan artesunat –

amodiakuin, sedangkan pada kelompok artesunat – sulfadoksin pirimetamin

hanya 5 orang (12%). Setelah dilakukan analisa dengan uji Chi-square dijumpai

perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok pengobatan dengan nilai

p=0,000 (tabel 6).

Keluhan sakit kepala dijumpai sebanyak 23 orang (50%) pada kelompok

pengobatan artesunat – amodiakuin dan sebanyak 8 orang (19%) pada kelompok


(53)

dengan uji Chi-square dijumpai perbedaan yang bermakna pada kedua kelompok

pengobatan dengan nilai p=0,002 (tabel 6).

Efek samping obat berupa gangguan pencernaan (mual dan muntah) pada

kelompok pengobatan artesunat – amodiakuin hanya 10 orang (21,8%), pada

kelompok pengobatan artesunat – sulfadoksin pirimetamin hanya 4 orang (9,8%).

Setelah dianalisa dengan uji Chi-square, maka pada kedua kelompok pengobatan

ini tidak dijumpai perbedaan yang bermakna dengan nilai p=0,118 (tabel 6).

Tabel 7. Perubahan Hematologi Sebelum dan Sesudah Pengobatan (H0 dan H14)

No Ar – SP Ar –Aq

Mean±SD normalitas pd) Mean±SD Normalitas pd) pc)

1

Hemoglobin

(mg/µl) 0,000* 0,009*

a. H0 10,65±0,67 0,654 11,05±0,95 0,287 0,022*

b. H14 11,33±0,81 0,135 11,40±0,81 0,160 0,727

2

Leukosit

(x103/µl) 0,000* 0,063

a. H0 4.933±768 0,599 5.62±720 0,869 0,000*

b. H14 5.493±748 0,184 5.93±903 0,591 0,016*

3

Eritrosit

(x106/µl) 0,000* 0,004*

a. H0 3,74±0,27 0,888 3,83±0,49 0,212 0,328

b. H14 4,12±0,52 0,477 4,02±0,39 0,131 0,303

4

Trombosit

(x103/µl) 0,000* 0,000*

a. H0 180.714±26.813 0,614 178.478±26.074 0,400 0,693

b. H14 199.524 0,264 200 0,026 0,929

5 Eosinofil (%) 0,740e) 0,003e)*

a. H0 1,12±0,71 0,001 1,22±0,83 0,000 0,426

b. H14 1,17±0,54 0,000 0,83±0,61 0,000 0,007c)*

6

Kadar Gula

Darah (mg/µl) 0,138 0,011*

a. H0 98.55±16.15 0,437 107,50±19,51 0,711 0,022*

b. H14 94,62±16,16 0,712 97,83±17,66 0,068 0,378 Keterangan : Ar-SP : Artesunat-Sulfadoksin pirimetamin ; Ar-Aq : Artesunat-Amodiakuin b) Uji Mann-Whitney c) Uji t tidak berpasangan d) Uji t berpasangan e) Uji Wilcoxon

* Perbedaan yang bermakna


(54)

Dari tabel di atas, tampak terlihat bahwa terjadi peningkatan nilai rata-rata

dari komponen hematologi hemoglobin, leukosit, eritrosit, trombosit, dan

eosinofil pada kelompok pengobatan artesunat – sulfadoksin pirimetamin.

Secara statistik terjadi perbedaan yang bermakna pada hemoglobin, leukosit,

eritrosit, dan trombosit (p<0,05) pada kelompok pengobatan ini.

Pada kelompok pengobatan artesunat – amodiakuin terjadi peningkatan

nilai rata-rata dari hemoglobin, leukosit, eritrosit, dan trombosit. Secara statistik

terjadi perubahan yang bermakna pada komponen hematologi dari hemoglobin,

eritrosit, trombosit, eosinofil, dan Kadar Gula Darah (p<0,05).

Untuk Kadar Gula Darah terjadi penurunan nilai rata-rata pada kedua

kelompok pengobatan, tetapi secara statistik tidak terjadi perbedaan yang

bermakna pada kelompok pengobatan artesunat – sulfadoksin pirimetamin dengan

nilai p = 0,138, sedangkan pada kelompok artesunat – amodiakuin terjadi

perbedaan yang bermakna dengan nilai p = 0,011.

Secara statistik terjadi perbedaan yang bermakna pada leukosit dan

eosinofil antara kelompok pengobatan artesunat – sulfadoksin pirimetamin

dengan kelompok artesunat – amodiakuin (p<0,05). Sedangkan pada eritrosit dan

trombosit tidak terjadi perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok


(55)

IV.2. Pembahasan

Pada penelitian ini dijumpai kepadatan parasit pada subjek penelitian

rendah dan secara mikroskopis tidak dijumpai bentuk seksual (gametosit), hal ini

menjelaskan bahwa daerah penelitian ini termasuk pada kategori Low

Transmission Area.

Penurunan jumlah kepadatan parasit (parasitemia) ini terjadi pada kedua

kelompok pengobatan, dimulai dari H1 sampai H2. Uji statistik (Mann-Whitney)

menunjukkan tidak adanya perbedaan yang bermakna pada kedua kelompok

pengobatan tersebut (p>0,05). Parasit dalam darah sudah tidak dijumpai lagi pada

H3, tetapi pemeriksaan darah tepi masih tetap dilanjutkan pada H7, H14, dan

H28 untuk melihat rekrudensensi.

Pada penilaian respon pengobatan pada kedua kelompok pengobatan ini,

semua subjek penelitian tidak mengalami kegagalan pengobatan, baik itu ETF

maupun LTF. Semua subjek penelitian mengalami kesembuhan, baik secara klinis

maupun parasitologis (ACPR=100%). Hal ini menunjukkan bahwa secara statistik

kedua kelompok kombinasi obat antimalaria ini, baik itu kombinasi artesunat –

amodiakuin maupun kombinasi artesunat – sulfadoksin pirimetamin sama baiknya

dan merupakan obat yang sangat efektif dalam pengobatan penyakit malaria

falciparum tanpa komplikasi. Tetapi bila dilihat dari segi ekonomis, jumlah obat

yang diminum maka kombinasi artesunat – sulfadoksin pirimetamin lebih


(56)

Pada penelitian van den Broek dkk (2005) yang dilakukan di Sudan

mengatakan bahwa kedua kelompok terapi berbasis artemisinin ini ( artesunat –

amodiakuin dan artesunat – sulfadoksin pirimetamin) sangat tinggi efikasinya

dalam pengobatan malaria falciparum tanpa komplikasi. Kombinasi artesunat –

sulfadoksin pirimetamin menjadi pilihan yang lebih baik, menunjukkan persentasi

yang rendah dari pasien malaria falciparum tanpa komplikasi yang kembali

dengan parasitemia. Efikasi untuk kombinasi artesunat – sulfadoksin pirimetamin

antara 97-98% dan untuk kombinasi artesunat – amodiakuin antara 88 – 95%,

dimana pasien difollow up sampai hari ke-42. Hanya 1 kasus ETF yang

ditemukan pada kelompok artesunat – sulfadoksin pirimetamin. Pada H28 dan

H42, proporsi pasien yang bebas parasit lebih tinggi pada kelompok artesunat –

sulfadoksin pirimetamin daripada kelompok artesunat – amodiakuin. Begitupula

pada penelitian Tjitra dkk (2001) yang mengatakan bahwa terapi kombinasi

artesunat – sulfadoksin pirimetamin adalah obat antimalaria alternatif yang baik

di Irian Jaya.

Keuntungan dari kombinasi artesunat – sulfadoksin pirimetamin

dibandingkan dengan kombinasi artesunat – amodiakuin adalah penggunaan

sulfadoksin pirimetamin sebagai dosis tunggal, lebih murah dan lebih mudah

diminum, sedangkan amodiakuin membutuhkan waktu 3 hari untuk melengkapi

pengobatan, lebih mahal dan rasanya lebih pahit.

Pada karakteristik hematologi sebelum pengobatan tidak dijumpai

perbedaan yang bermakna pada kedua kelompok pengobatan kecuali eosinofil ada


(57)

nilai rata-rata hemoglobin masih di bawah nilai normal. Sedangkan pada eritrosit

tidak dijumpai perbedaan yang bermakna pada kedua kelompok pengobatan

(p>0,05), walaupun pada pemeriksaan awal dijumpai jumlah rata-rata eritrosit

masih jauh dari normal.

Hasil dari perubahan hemoglobin sebelum pengobatan (H0) dengan

sesudah pengobatan (H14) pada kedua kelompok pengobatan terjadi peningkatan

walaupun masih ada yang di bawah normal. Peningkatan kadar hemoglobin dapat

disebabkan karena hilangnya parasit dalam darah. Seperti halnya dengan

peningkatan eritrosit pada kedua kelompok pengobatan yang diikuti dengan

peningkatan kadar hemoglobin dan kepadatan parasit yang menurun. Begitu pula

dengan peningkatan leukosit dan trombosit yang terjadi setelah diberi pengobatan

pada kedua kelompok ini pada H14. Tetapi dengan uji t tidak berpasangan tidak

dijumpai perbedaan yang bermakna (p>0,05) pada KGD, Hb, eritrosit, dan

trombosit antara kedua kelompok pengobatan, sedangkan pada leukosit dijumpai

perbedaan yang bermakna dengan nilai p=0,016. Begitu pula dengan eosinofil,

dengan uji Mann-Whitney dijumpai perbedaan yang bermakna dengan nilai

p=0,007.

Pada penelitian van den Broek dkk (2005), rata-rata hemoglobin untuk

artesunat – amodiakuin dan artesunat – sulfadoksin pirimetamin meningkat dari

<8 gr% menjadi hampir 10 gr%. Peningkatan nilai hemoglobin dan pengurangan

proporsi anemia setelah pengobatan menunjukkan bahwa parasit malaria


(58)

Pada efek samping obat berupa lemas, sakit kepala dan gangguan

pencernaan banyak dijumpai pada kelompok pengobatan artesunat – amodiakuin.

Dari ketiga efek samping ini yang paling banyak adalah penderita menjadi sangat

lemas (52,2%) dan sakit kepala (50%) yang dijumpai pada kelompok pengobatan

artesunat - amodiakuin. Dijumpai perbedaan yang bermakna pada kedua efek

samping ini pada kedua kelompok pengobatan (p<0,005), sedangkan pada

gangguan pencernaan tidak dijumpai perbedaan yang bermakna. Hal ini bisa saja

terjadi karena pada gejala awal sakit kepala memang sudah banyak dijumpai pada

kelompok artesunat – amodiakuin dan ada perbedaan yang bermakna. Jadi

kemungkinan sakit kepala yang dijumpai setelah minum obat merupakan salah

satu gejala malaria yang belum hilang walaupun sudah minum obat. Jadi tidak

dapat dipastikan bahwa lemas, sakit kepala, dan gangguan pencernaan yang

dialami setelah pengobatan merupakan efek samping dari obat yang diminum.

Untuk mengetahui apakah keluhan itu merupakan efek samping obat, diperlukan

penelitian lebih lanjut


(59)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

V.1.Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Pada penelitian ini terjadi penurunan jumlah kepadatan parasit pada

masing-masing kelompok pengobatan.

2. Penurunan jumlah kepadatan parasit pada kedua kelompok pengobatan

terjadi setelah penderita malaria falciparum minum obat sampai H2 dan

mulai H3 parasit dalam darah sudah tidak dijumpai lagi dalam darah.

3. Tidak ditemukan rekrudesensi karena sampai H28, parasit dalam darah

tetap tidak ditemukan lagi

4. Menurut statistik, kedua kelompok pengobatan ini mempunyai efikasi

yang sama baiknya (ACPR = 100%) dalam pengobatan malaria

falciparum tanpa komplikasi. Tetapi dari segi segi ekonomis, jumlah obat

yang diminum dan mudahnya diperoleh, maka kombinasi

artesunat-sulfadoksin pirimetamin lebih disenangi dibandingkan dengan kombinasi

artesunat-amodiakuin.


(60)

V.2. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat diusulkan saran-saran sebagai berikut :

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah kepadatan yang

lebih besar (≥ 1000/µl) sehingga mendapatkan hasil yang lebih akurat dan memuaskan.

2. Perlu dilakukan penelitian lainnya dengan menggunakan kombinasi lain

yang mempunyai efek samping yang lebih minimal, harga yang lebih

murah, dan hasil yang lebih efektif yang mungkin dapat menjadi salah

satu pilihan pengobatan malaria, khususnya malaria falciparum.


(61)

Kepustakaan

Adjuik, M., Agnamey, P., Babiker, A., Borrmann, S., Brasseur, P., Olliaro, P., et all, 2002. Amodiaquine-Artesunate versus Amodiaquine for Uncomplicated

Plasmodium falciparum Malaria in African Children : a Randomised, Multicentre

Trial, The Lancet, ProQuest Medical Library

Bloland, P.B., 2001. Drug Resistance in Malaria. WHO : 2, 6-8

CDC, 2006 : Schema of the Life Cycle Malaria. Available from URL :http:/www.cdc.gov/malaria/biology/life cycle.htm

Dahlan, M.S., 2004, Statistika untuk Kedokteran dan Kesehatan, Edisi Pertama,Penerbit Arkans, Jakarta : 1-20

Dahlan, M.S., 2004, Besar Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Edisi Kedua, Penerbit Arkans, Jakarta : 5-17, 19-44

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2003 . 70 Juta Penduduk Terancam Wabah Malaria. 23 Februari : Suara Karya Online.htm

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2004 . Penggunaan Artemisinin untuk Atasi Malaria di Daerah yang Resisten Klorokuin.: Available from URL :http:/www.depkes.go.id/index.php?option=viewarticle&sid=437&Ite,mid=2 Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2005. Gebrak Malaria, Pedoman

Tatalaksana Kasus Malaria di Indonesia, Jakarta : Ditjen P2M dan Penyehatan Lingkungan : 1-2, 15-6

Dinas Kesehatan Kabupaten Nias Selatan, 2006

Dorsey,G.,Njama,D.,Kamya,M.R., Cattamanchi,A., Kyabayinze,D., Staedke,S.G., et all, 2002. Sulfadoksin/Pyrimethamine Alone or with Amodiaquine or Artesunate for Treatment or Uncomplicated Malaria : a Longitudinal Randomized Trial, The Lancet, ProQuest Medical Library

Ginting,Y.,Tarigan, M.B., Zein,U., Pandjaitan, B., 2001. The Comparison of Resistance of Chloroquine and Pyrimethamine-Sulfadoxin in Uncomplicated Malaria falciparum in Siabu District, Mandailing Natal Regency Sumatera Utara Province, Kongres Bersama PETRI,Yokyakarta


(62)

Gunawan, S., 2000. Epidemiologi Malaria. Dalam : Harijanto, P.N. (editor), Malaria. Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis, & Penanganan. Jakarta Penerbit Buku Kedokteran EGC : 17-23

Hakim, L., 2006. Laporan Akhir Pendampingan Penanggulangan Malaria Kabupaten Nias Selatan Propinsi Sumatera Utara Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Depkes Republik Indonesia

Khan, M.A., Smego, R.A., Razi, S.T., Begi, M.A., 2004. Emerging Drug-Resistance And Guidelines for Treatment of Malaria, Journal of The College of Physicians And Surgeons Pakistan

Laihad, F.J., Gunawan ,S., 2000. Malaria di Indonesia. Dalam : Harijanto, P.N. (editor), Malaria. Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis, & Penanganan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC : 17-23

Laihad, F., Draft Guideline for Malaria Control/Treatment in Emergencies

Maryatun, 2004. Penilaian Kasus Kegagalan Pengobatan Klorokuin terhadap Penderita Malaria Falciparum dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (Kajian secara Invivo pada Penderita Malaria Falciparum Ringan/Tanpa Komplikasi pada Beberapa Puskesmas di Kota Sabang, Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam), Tesis S2, Yokyakarta : Program Pascasarjana UGM : 1-4, 45-50

Mutabingwa,T.K., Anthony,D., Heller, A., Hallet, R., Ahmed, J., Drakeley, C., et all, 2005, Amodiaquine Alone, Amodiaquine + Sulfadoksin-Pyrimethamine, Amodiaquine + Artesunate, and Artemether-Lumefantrine for Out Patient Treatment of Malaria in Tanzanian Children : a Four-Arm Randomized Efectiveness Trial. The Lancet, ProQuest Medical Library

Nosten, F., Luxemburger, C.,Terkuile, F.O., Woodrow, C.,Chongsuphajaisiddhi, T., White, N.J., 1994. Treatment of multidrug resistant Plasmodium falciparum Malaria with a 3-Day Artesunate-Mefloquine Combination. J Infect Dis 170: 971–77

Nosten, F., van Vugt, M., Price, R., Luxemburger, C.,Thway, K.L., Brockman, A., et all, 2000. Effects of Artesunate-Mefloquine Combination on Incidence of

Plasmodium falciparum Malaria and Mefloquine Resistancein Western Thailand:

A Prospective Study, Lancet 356 : 297-302

Olliaro, P.L., Taylor, W.R., 2004. Developing Artemisinin Based Drug Combination for The Treatment of Drug Resistant Falciparum Malaria : A Review


(63)

Ompusunggu, S., dkk., 1989 . Sensitivitas Plasmodium Falciparum Secara In Vitro terhadap Beberapa Macam Obat di Sabang, Aceh, Cermin Dunia Kedokteran, No 54, 19-24

PAPDI, 2003. Draft Konsensus Penanganan Malaria 2003 : 4-28 Phillips, R.S., 2001. Current Status of Malaria and Potential for Control, American Society for Microbiology

Prabowo, A., 2004. Malaria, Mencegah dan Mengatasi, Jakarta: Puspa Swara : 2-3,12 Rampengan, T.H., 2002. Malaria, Dalam : Sudarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS (editor),Infeksi dan Penyakit Tropis, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jakarta : Balai Penerbit FKUI : 442-67

Robert, A., Vical, F.B., Cabaret, O.D., Meunier, B., 2001. From Classical Antimalarial Drugs to New Compounds Based on The Mechanism of Action of Artemisinin, IUPAC, Pure and Applied Chemistry 73 (7) : 1173-1179

Roll Back Malaria, 2003. Position of WHO’s Roll Back Malaria Department on Malaria Treatment Policy. Available from URL :

http://www.emro.who.int/rbm/WHOPosotionstatement.pdf.november

Silachamroon, U., Krudsood, S., Treeprasertsuk, S., Wilairatana, P., Chalearmrult,K., Mint, H.Y., et all, 2003. Clinical Trial of Oral Artesunate with or without High-Dose Primaquine for the Treatment of Vivax Malaria in Thailand, American Journal Tropical Medicine Hygiene 69(1),pp 14-8

Sastroasmoro, S., Ismael, S.,2002 : Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis, Edisi Kedua, CV Agung Seto, Jakarta : 144-57, 273

Staedke,S.G., Mpimbaza,A., Kamya,M.R., Nzarubara,B.K., Dorsey,G., Rosenthal,P., 2004. Combination Treatments for Uncomplicated Falciparum Malaria in Kampala, Uganda : Randomized Clinical Trial. The Lancet, ProQuest Medical Library

Sutisna, P., 2004. Malaria secara Ringkas : Dari Pengetahuan Dasar sampai Terapan, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC : 71, 73-4

Taylor, W.R.J., Rigal, J., Olliaro, P.L., 2003. Drug Resistant Falciparum Malaria and The Use of Artesunate-Based Combination : Focus on Clinical Trials Sponsored by TDR

Taylor, T.E., Strickland, G.T., 2000. Malaria. In : Strickland, G.T. (editor), Hunter’s Tropical Medicine and Emerging Infectious Diseases, 8th ed. W.B. Saunders Company, Philadelphia : 614-43


(1)

V.2. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat diusulkan saran-saran sebagai berikut :

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah kepadatan yang lebih besar (≥ 1000/µl) sehingga mendapatkan hasil yang lebih akurat dan memuaskan.

2. Perlu dilakukan penelitian lainnya dengan menggunakan kombinasi lain yang mempunyai efek samping yang lebih minimal, harga yang lebih murah, dan hasil yang lebih efektif yang mungkin dapat menjadi salah satu pilihan pengobatan malaria, khususnya malaria falciparum.


(2)

Kepustakaan

Adjuik, M., Agnamey, P., Babiker, A., Borrmann, S., Brasseur, P., Olliaro, P., et all, 2002. Amodiaquine-Artesunate versus Amodiaquine for Uncomplicated Plasmodium falciparum Malaria in African Children : a Randomised, Multicentre Trial, The Lancet, ProQuest Medical Library

Bloland, P.B., 2001. Drug Resistance in Malaria. WHO : 2, 6-8

CDC, 2006 : Schema of the Life Cycle Malaria. Available from URL :http:/www.cdc.gov/malaria/biology/life cycle.htm

Dahlan, M.S., 2004, Statistika untuk Kedokteran dan Kesehatan, Edisi Pertama,Penerbit Arkans, Jakarta : 1-20

Dahlan, M.S., 2004, Besar Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Edisi Kedua, Penerbit Arkans, Jakarta : 5-17, 19-44

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2003 . 70 Juta Penduduk Terancam Wabah Malaria. 23 Februari : Suara Karya Online.htm

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2004 . Penggunaan Artemisinin untuk Atasi Malaria di Daerah yang Resisten Klorokuin.: Available from URL :http:/www.depkes.go.id/index.php?option=viewarticle&sid=437&Ite,mid=2 Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2005. Gebrak Malaria, Pedoman

Tatalaksana Kasus Malaria di Indonesia, Jakarta : Ditjen P2M dan Penyehatan Lingkungan : 1-2, 15-6

Dinas Kesehatan Kabupaten Nias Selatan, 2006

Dorsey,G.,Njama,D.,Kamya,M.R., Cattamanchi,A., Kyabayinze,D., Staedke,S.G., et all, 2002. Sulfadoksin/Pyrimethamine Alone or with Amodiaquine or Artesunate for Treatment or Uncomplicated Malaria : a Longitudinal Randomized Trial, The Lancet, ProQuest Medical Library

Ginting,Y.,Tarigan, M.B., Zein,U., Pandjaitan, B., 2001. The Comparison of Resistance of Chloroquine and Pyrimethamine-Sulfadoxin in Uncomplicated Malaria falciparum in Siabu District, Mandailing Natal Regency Sumatera Utara Province, Kongres Bersama PETRI,Yokyakarta


(3)

Gunawan, S., 2000. Epidemiologi Malaria. Dalam : Harijanto, P.N. (editor), Malaria. Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis, & Penanganan. Jakarta Penerbit Buku Kedokteran EGC : 17-23

Hakim, L., 2006. Laporan Akhir Pendampingan Penanggulangan Malaria Kabupaten Nias Selatan Propinsi Sumatera Utara Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Depkes Republik Indonesia

Khan, M.A., Smego, R.A., Razi, S.T., Begi, M.A., 2004. Emerging Drug-Resistance And Guidelines for Treatment of Malaria, Journal of The College of Physicians And Surgeons Pakistan

Laihad, F.J., Gunawan ,S., 2000. Malaria di Indonesia. Dalam : Harijanto, P.N. (editor), Malaria. Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis, & Penanganan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC : 17-23

Laihad, F., Draft Guideline for Malaria Control/Treatment in Emergencies

Maryatun, 2004. Penilaian Kasus Kegagalan Pengobatan Klorokuin terhadap Penderita Malaria Falciparum dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (Kajian secara Invivo pada Penderita Malaria Falciparum Ringan/Tanpa Komplikasi pada Beberapa Puskesmas di Kota Sabang, Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam), Tesis S2, Yokyakarta : Program Pascasarjana UGM : 1-4, 45-50

Mutabingwa,T.K., Anthony,D., Heller, A., Hallet, R., Ahmed, J., Drakeley, C., et all, 2005, Amodiaquine Alone, Amodiaquine + Sulfadoksin-Pyrimethamine, Amodiaquine + Artesunate, and Artemether-Lumefantrine for Out Patient Treatment of Malaria in Tanzanian Children : a Four-Arm Randomized Efectiveness Trial. The Lancet, ProQuest Medical Library

Nosten, F., Luxemburger, C.,Terkuile, F.O., Woodrow, C.,Chongsuphajaisiddhi, T., White, N.J., 1994. Treatment of multidrug resistant Plasmodium falciparum Malaria with a 3-Day Artesunate-Mefloquine Combination. J Infect Dis 170: 971–77

Nosten, F., van Vugt, M., Price, R., Luxemburger, C.,Thway, K.L., Brockman, A., et all, 2000. Effects of Artesunate-Mefloquine Combination on Incidence of Plasmodium falciparum Malaria and Mefloquine Resistancein Western Thailand: A Prospective Study, Lancet 356 : 297-302

Olliaro, P.L., Taylor, W.R., 2004. Developing Artemisinin Based Drug Combination for The Treatment of Drug Resistant Falciparum Malaria : A Review


(4)

Ompusunggu, S., dkk., 1989 . Sensitivitas Plasmodium Falciparum Secara In Vitro terhadap Beberapa Macam Obat di Sabang, Aceh, Cermin Dunia Kedokteran, No 54, 19-24

PAPDI, 2003. Draft Konsensus Penanganan Malaria 2003 : 4-28 Phillips, R.S., 2001. Current Status of Malaria and Potential for Control, American Society for Microbiology

Prabowo, A., 2004. Malaria, Mencegah dan Mengatasi, Jakarta: Puspa Swara : 2-3,12 Rampengan, T.H., 2002. Malaria, Dalam : Sudarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS (editor),Infeksi dan Penyakit Tropis, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jakarta : Balai Penerbit FKUI : 442-67

Robert, A., Vical, F.B., Cabaret, O.D., Meunier, B., 2001. From Classical Antimalarial Drugs to New Compounds Based on The Mechanism of Action of Artemisinin, IUPAC, Pure and Applied Chemistry 73 (7) : 1173-1179

Roll Back Malaria, 2003. Position of WHO’s Roll Back Malaria Department on Malaria Treatment Policy. Available from URL :

http://www.emro.who.int/rbm/WHOPosotionstatement.pdf.november

Silachamroon, U., Krudsood, S., Treeprasertsuk, S., Wilairatana, P., Chalearmrult,K., Mint, H.Y., et all, 2003. Clinical Trial of Oral Artesunate with or without High-Dose Primaquine for the Treatment of Vivax Malaria in Thailand, American Journal Tropical Medicine Hygiene 69(1),pp 14-8

Sastroasmoro, S., Ismael, S.,2002 : Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis, Edisi Kedua, CV Agung Seto, Jakarta : 144-57, 273

Staedke,S.G., Mpimbaza,A., Kamya,M.R., Nzarubara,B.K., Dorsey,G., Rosenthal,P., 2004. Combination Treatments for Uncomplicated Falciparum Malaria in Kampala, Uganda : Randomized Clinical Trial. The Lancet, ProQuest Medical Library

Sutisna, P., 2004. Malaria secara Ringkas : Dari Pengetahuan Dasar sampai Terapan, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC : 71, 73-4

Taylor, W.R.J., Rigal, J., Olliaro, P.L., 2003. Drug Resistant Falciparum Malaria and The Use of Artesunate-Based Combination : Focus on Clinical Trials Sponsored by TDR

Taylor, T.E., Strickland, G.T., 2000. Malaria. In : Strickland, G.T. (editor), Hunter’s Tropical Medicine and Emerging Infectious Diseases, 8th ed. W.B. Saunders Company, Philadelphia : 614-43


(5)

Tjitra, E., 2000. Obat Anti-Malaria. Dalam : Harjanto, P.N. (editor), Malaria. Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis, & Penenganan, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran, EGC : 194-202

Tjitra, E., Suprianto, S, Currie, B.J., Morris, P.S.,Saunders,J.R., Anstey,N.M., 2001. Therapy of Uncomplicated Falciparum Plus Sulfadoxine-Pyrimethamine Versus Sulfadoxine-Pyrimethamine Alone in Irian Jaya, The American Society of Tropical Medicine and Hygiene

Tjitra, E., 2004. Pengobatan Malaria dengan Kombinasi Artemisinin, Pusat Penelitian dan Pengembangan Program Pemberantasan Penyakit, Badan Litbangkes

Van den Broek, I., Amsalu, R., Balasegaram, M., Hepple, P., Alemu, E., Hussein, E.B., et all, 2005. Efficacy of Two Artemisinin Combination Therapies for Uncomplicated Falciparum Malaria in Children Under 5 Years, Malakal, Upper Nile, Sudan, Malaria Journal : Available from :

http://www.malariajournal.com/content/4/1/14

Von Seidlein, L., Milligan, P., Pinder, M., Kalifa, B., Anyalebechi, C., Gosling, R., et all, 2000. Efficacy of Artesunate Plus Pyrimethamine-Sulphadoxine for Uncomplicated Malaria in Gambian Children : a Double Blind Randomised, Controlled Trial, The Lancet ProQuest Medical Library

Wikipedia, 2007. Kabupaten Nias Selatan. Available from URL : hppt;/id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten Nias Selatan

World Health Organization, 1996. Assessment of Therapeutic Efficacy of Antimalarial Drugs for Uncomplicated Falciparum Malaria in Areas with Intense Transmission : 3-32

World Health Organization, 2001. Monitoring Antimalarial Drug Resistance, Report of a WHO Consultation, Geneva, Switzerland : 9-21

World Health Organization, 2001 . Antimalarial Drug Combination Therapy, Report of a WHO Technical Consultation. WHO, Geneva : 9-23

World Health Organization, 2003 . Assessment and Monitoring of Antimalarial Drug Efficacy for the Treatment of Uncomplicated Falciparum Malaria. World Health Organization. Geneva : 10-2, 50-1, 55-6, 60-5


(6)

Yeka, A., Banek, K., Bakyaita, N., Staedke, S.G., Kamya, M.R., Talisuna, A., et all, 2005. Artemisinin versus Nonartemisinin Combination Therapy for Uncomplicated Malaria : Randomized Clinical Trials From Four Sites in Uganda, Plos Medicine, www.plosmedicine.org

Yeung, S., Pongtavornpinyo, W., Hastings, I.M., Mills, A.J., White, N.J., 2004. Antimalarial Drug Resistance, Artemisinin-Based Combination Therapy, and The Contribution of Modeling to Elucidating Policy Choices, American Society of Tropical Medicine and Hygiene


Dokumen yang terkait

Perbandingan Efikasi Kombinasi Artesunat- Klindamisin dengan Kinin-Klindamisin pada pengobatan Malaria Falsiparum tanpa komplikasi pada anak

0 60 80

Perbandingan Efikasi Kombinasi Artesunat-Klindamisin Dengan Kinin-Klindamisin Pada Pengobatan Malaria Fasiparum Tanpa Komplikasi Pada Anak

0 43 82

Efikasi Gabungan Artemeter-Lumefantrin dan Artesunat-Amodiakuin sebagai Pengobatan Malaria Falsiparum Tanpa Komplikasi pada Anak

0 26 67

Perbandingan efikasi Kombinasi Artesunat-Amodiakuin Dengan Kinin-Klindamisin Pada Pengobatan Malaria Falsiparum Tanpa Komplikasi pada Anak

0 37 70

Perbandingan Efikasi Terapi Kombinasi Sulfadoksin-Pirimetamin + Artesunat Dengan Sulfadoksin-Pirimetamin + Amodiakuin Pada Penderita Malaria Falciparum Tanpa Komplikasi

1 33 77

Perbandingan Efikasi Terapi Kombinasi Artesunat + Sulfadoksin-Pirimetamin Dengan Artesunat + Doksisiklin Pada Penderita Malaria Falciparum Tanpa Komplikasi

1 34 66

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA - Perbandingan Efikasi Kombinasi Artesunat- Klindamisin dengan Kinin-Klindamisin pada pengobatan Malaria Falsiparum tanpa komplikasi pada anak

0 0 16

Perbandingan Efikasi Kombinasi Artesunat- Klindamisin dengan Kinin-Klindamisin pada pengobatan Malaria Falsiparum tanpa komplikasi pada anak

0 0 16

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA - Perbandingan Efikasi Kombinasi Artesunat-Klindamisin Dengan Kinin-Klindamisin Pada Pengobatan Malaria Fasiparum Tanpa Komplikasi Pada Anak

0 0 16

Perbandingan Efikasi Kombinasi Artesunat-Klindamisin Dengan Kinin-Klindamisin Pada Pengobatan Malaria Fasiparum Tanpa Komplikasi Pada Anak

0 0 16