Prosedur Pengumpulan Data Bahan dan Alat Penelitian Analisa Data

3.7 Alat Ukur

No Variabel Independent Pengukuran Skala Pengukuran Alat Ukur 1 Sosiodemografi: 1. Umur 2. Jenis kelamin 3. Lama bekerja 32 tahun ≥32 tahun Laki-laki Perempuan 24 bulan ≥24 bulan Ordinal Nominal Interval Kuesioner 2. Intensitas suara musik ≥ 98 Db 98 dB Ordinal Sound Level Meter 3 Gangguan pendengaran Normal Ringan Sedang Sedang berat Berat Sangat berat Ordinal Audiometri 4 Tinitus Ada Tidak Ada Ordinal Pertanyaan di kuesioner

3.8 Prosedur Pengumpulan Data

Sebelum dilaksanakan penelitian dilakukan survei awal untuk mengetahui lokasi dan keadaan diskotik yang akan diteliti. Setelah mendapatkan izin selanjutnya instrumen penelitian kuesioner rampung dan alat ukur dikalibrasi, penelitian segera dilaksanakan. Dalam pelaksanaan penelitian, peneliti dibantu oleh asisten peneliti yang terlebih dahulu ditraining untuk menyatukan persepsi. Pada saat pengumpulan data dilakukan, diupayakan tidak terjadi kesalahan agar penelitian Universitas Sumatera Utara menghasilkan data yang sebenarnya. Dilakukan pemeriksaan THT rutin sebelum dilakukan pemeriksaan audiometri. Pengumpulan data dilakukan dari satu diskotik sampai selesai kemudian dilanjutkan ke diskotik lain sampai selesai juga. Apabila di kemudian hari masih ada data yang diperlukan, dapat dilakukan pengumpulan data tambahan. Setelah data dikumpulkan, dilakukan proses editing data termasuk pembersihan data, koding, dan hal-hal lain yang diperlukan untuk persiapan analisa data.

3.9 Bahan dan Alat Penelitian

1. Kuisioner penelitian. 2. Lampu kepala. 3. Spekulum telinga merk Hartmann. 4. Otoskop merk Reister. 5. Larutan Peroksida 3 H 2 O 2 3. 6. Alat penghisap suction merk Thomas Medipump tipe 1132 GL. 7. Kanul penghisap nomor 6 dan 8 tipe Fergusson. 8. Spekulum hidung merk Renz. 9. Spatel lidah. 10. Kaca laringoskopi dan kaca rinoskopi. 11. Pengait serumen. 12. Audiometer merk Triveni Type TAM 25 buatan Denmark 13. Sound level meter merk Krisbow type KW06-290 buatan Taiwan

3.10 Analisa Data

Analisa data dilakukan dengan mempergunakan komputer memakai software SPSS Statistical Programme for Social Science. Analisa data yang dilakukan : Universitas Sumatera Utara a. Analisis univariat Hasil penelitian dideskripsikan dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi dan analisis presentasi meliputi : umur, jenis kelamin, lama bekerja, intensitas suara, gangguan pendengaran dan tinitus. b. Analisis bivariat Pada tahap ini analisis yang dilakukan adalah dengan menghubungkan masing-masing variabel bebas dengan variabel terikat dan melihat kemakanaannya secara statistik. Hipotesis statistik H0 yang digunakan adalah: 1. Tidak ada hubungan antara umur pekerja dengan gangguan pendengaran 2. Tidak ada hubungan antara jenis kelamin pekerja dengan gangguan pendengaran 3. Tidak ada hubungan antara lama bekerja dengan gangguan pendengaran 4. Tidak ada hubungan antara intensitas suara dengan gangguan pendengaran Analisis yang dilakukan bertujuan untuk menguji hubungan yang bermakna diantara ke dua var iable sesuai H0 di atas pada α=0,05 Confidence Level 95 dengan menggunakan uji chi-square. Universitas Sumatera Utara BAB 4 HASIL PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di tiga diskotik yang terdaftar secara resmi dan mendapat izin dari Dinas Kesehatan Kota Medan, yaitu Diskotik A, B dan C. Pelaksanaan penelitian dilakukan selama enam bulan mulai bulan Mei sampai bulan Oktober 2013. Sampel dikumpulkan sebanyak 110 orang yang memenuhi kriteria penelitian dan sebagian besar berjenis kelamin laki-laki 82,7. Karakteristik umur, tingkat pendidikan, unit kerja dan masa kerja terlihat pada tabel 4.1. Tabel 4.1 Distribusi karakteristik responden n=110 Variabel Jumlah Persentase - Laki-laki 91 82,7 Jenis Kelamin - Perempuan 19 17,3 - 32 tahun 61 55,5 Umur - ≥ 32 tahun 49 44,5 - Pramusaji 105 95,5 Unit Kerja - DJ 2 1,8 - Manajer 2 0,9 - Kasir 1 1,8 - ≤ 24 bulan 55 50,0 Lama bekerja - 24 bulan 55 50,0 ___________________________________________________________ Sebagian besar pekerja berpendidikan SMA 96,3. Sebanyak 61 pekerja 55,5 berusia dibawah 32 tahun dan sebanyak 49 orang 44,5 berusia ≥ 3 2 tahun. Unit kerja terbanyak adalah Pramusaji 105 95,5, diikuti oleh DJ dan Manajer masing-masing 2 orang 1,8 dan yang terkecil adalah Kasir 0,9. Masa kerja responden dibawah 24 bulan sebesar 50 dan diatas 24 bulan sebanyak 50. Universitas Sumatera Utara Tabel 4.2 Distribusi pekerja berdasarkan rerata intensitas bising pada Diskotik 85 dB Diskotik Intensitas Jumlah n Persentase A 98 dB 56 50,9 B 104 dB 29 26,4 C 94 dB 25 22,7 110 100 Dari tabel 4.2 terlihat bahwa seluruh pekerja diskotik bekerja pada lingkungan kerja diatas 85 dB. Diskotik A dengan intensitas bising 98 dB sebanyak 56 pekerja 50,9, diskotik B dengan intensitas bising 104 dB sebanyak 29 pekerja 26,4, dan diskotik C dengan intensitas bising 94 dB sebanyak 25 pekerja 22,7. Tabel 4.3 Distribusi pekerja berdasarkan hasil pengukuran audiometri Derajat Gangguan Pendengaran ISO n Normal 51 46.4 Ringan 18 16.4 Sedang 26 23.6 Sedang Berat 8 7.3 Berat 7 6.4 Total 110 100.0 Tabel 4.3 menunjukkan bahwa 59 orang 53,6 pekerja mengalami gangguan pendengaran dan 46,4 tidak mengalami gangguan pendengaran. Sebanyak 18 pekerja 16,4 mengalami derajat ketulian ringan, 26 pekerja 23,6 mengalami derajat ketulian sedang, 8 pekerja 7,3 mengalami derajat ketulian sedang berat, dan sebanyak 7 pekerja 6,4 mengalami derajat ketulian berat. Dan sampel yang diperiksa tipe ketuliannya adalah sensori neural hearing loss SNHL. Universitas Sumatera Utara Tabel 4.4 Distribusi frekuensi pekerja berdasarkan keluhan tinitus Jumlah n Persentase Tinitus 78 70,9 Tidak tinitus 32 29,1 Total 110 100 Dari Tabel 4.4 terlihat bahwa 78 pekerja 70,9 mengalami keluhan tinitus sedangkan 32 pekerja 29,1 tidak mengalami keluhan tinitus. Tabel 4.5 Distribusi pekerja menurut jenis kelamin dan gangguan pendengaran Jenis Kelamin Gangguan Pendengaran Total Ada Tidak n n n Laki-laki 55 60,4 36 39.6 91 100 Perempuan 4 21,1 15 78,9 19 100 Total 59 53,6 51 46,4 110 100 p=0,002 Dari tabel 4.5 diketahui bahwa pekerja laki-laki lebih banyak yang menderita gangguan pendengaran 60,4 dibanding pekerja perempuan 21,1. Selanjutnya dari hasil uji Chi Square diperoleh hasil p = 0,002 p 0,05, berarti ada hubungan bermakna antara jenis kelamin dengan gangguan pendengaran. Universitas Sumatera Utara Tabel 4.6 Distribusi pekerja menurut umur dan gangguan pendengaran Umur Gangguan Pendengaran Total Ada Tidak n n n 32 tahun 22 36,1 39 63,9 61 100 ≥ 32 tahun 37 75,5 12 24,5 49 100 Total 59 53,6 51 46,4 110 100 p=0,000 Tabel 4.6 menunjukkan bahwa pekerja berumur 32 dan diatas 32 tahun lebih banyak yang menderita gangguan pendengaran 75,5 dibandingkan pekerja berumur dibawah 32 tahun 36,1. Selanjutnya dari hasil uji Chi Square diperoleh hasil p = 0,000 p 0,05, berarti ada hubungan bermakna antara umur dengan gangguan pendengaran. Tabel 4.7 Distribusi pekerja menurut lama bekerja dan gangguan pendengaran Lama Bekerja Gangguan Pendengaran Total Ada Tidak n n n ≤ 24 bulan 18 32,7 37 67.3 55 100 24 bulan 41 74,5 14 25.5 55 100 Total 59 53,6 51 46,4 110 100 p=0,000 Ditemukan bahwa pekerja dengan lama bekerja diatas 24 bulan lebih banyak yang menderita gangguan pendengaran 74,5 dibandingkan pekerja dengan lama bekerja dibawah 24 bulan 32,7. Tabel 4.7. Dari hasil uji Chi Square diperoleh hasil p = 0,000 p 0,05, berarti ada hubungan bermakna antara lama bekerja dengan gangguan pendengaran. Universitas Sumatera Utara Tabel 4.8 Distribusi pekerja menurut kelompok intensitas bising dan gangguan pendengaran Kelompok Intensitas Bising Gangguan Pendengaran Total Ada Tidak n n n ≤ 98 dB 38 46.9 43 53.1 81 100.0 98 dB 21 72.4 8 27.6 29 100.0 Total 59 53.6 51 46.4 110 100.0 p = 0,018 Dari tabel 4.8 diperoleh hasil bahwa pekerja yang bekerja pada lingkungan 98 dB lebih banyak mengalami gangguan pendengaran 72,4 dibandingkan yang tidak mengalami gangguan pendengaran 27,6.. Selanjutnya dari hasil hasil uji Chi Square diperoleh hasil p = 0,018 p 0,05, berarti ada hubungan bermakna antara intensitas bising dengan gangguan pendengaran. Tabel 4.9 Distribusi pekerja menurut intensitas bising dan derajat ketulian Derajat Ketulian Intensitas bising Total 94 dB 98 dB 104 dB n N n N Ringan 4 22,2 10 55,6 4 22,2 18 100 Sedang 4 15,4 11 42,3 11 42,3 26 100 Sedang-berat 3 37,5 2 25 3 37,5 8 100 Berat 1 14,2 3 42,9 3 42,9 7 100 Total 12 20,3 26 44,1 21 35,6 59 100 Dari tabel 4.9 diketahui bahwa pekerja dengan derajat ketulian ringan paling banyak pada intensitas bising 98 dB 55,6 sedangkan pada intensitas bising 94 dB dan 104 dB masing-masing 22,2. Dari 59 pekerja yang mengalami gangguan pendengaran, paling banyak dengan derajat Universitas Sumatera Utara ketulian sedang 26 orang = 44,1. Pekerja dengan derajat ketulian berat, hanya 1 orang 14,2 pada intensitas bising 94 dB, dan masing- masing 3 orang 42,9 pada intensitas bising 98 dB dan intensitas bising 104 dB. Tabel 4.10 Distribusi pekerja menurut keluhan tinitus dan gangguan pendengaran Keluhan Tinitus Gangguan Pendengaran Total Ada Tidak n n n Ada 59 100 19 37,3 78 70,9 Tidak 32 62,7 32 29,1 Total 59 100 51 100 110 100 p=0,000 Tabel 4.10 menunjukkan bahwa seluruh pekerja yang mengalami gangguan pendengaran mengeluhkan adanya tinitus, sedangkan dari yang tidak mengalami gangguan pendengaran hanya 37,3 yang mengeluhkan adanya tinitus. Selanjutnya dari hasil uji Chi Square diperoleh hasil p = 0,000 p 0,05, berarti ada hubungan bermakna antara keluhan tinitus dengan gangguan pendengaran. Universitas Sumatera Utara BAB 5 PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui intensitas kebisingan pada diskotik A, B, dan C di Kota Medan. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa rerata bising pada ketiga diskotik adalah 85 dB tabel 4.2 dengan rerata diskotik A sebesar 98 dB, diskotik B sebesar 104 dB dan diskotik C sebesar 98 dB. Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.13MENX 2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisik dan Faktor Kimia di Tempat Kerja, intensitas bising ini sudah melebihi nilai ambang batas yang diperkenankan 85 dB. Krishnamurti, 2009 dan Muyassaroh, 2011 menyebutkan bahwa pajanan bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama, biasanya disebabkan oleh bising lingkungan kerja dapat menimbulkan gangguan pendengaran. Aoife Kelly, 2013 dalam penelitiannya pada pekerja bar klub malam di Leinster menyebutkan bahwa pekerja dapat terpapar bising hampir empat level melebihi dari batas legal. Aoife menemukan bahwa paparan kebisingan sehari-hari para pekerja L EX, 8h rata-rata adalah antara 89 - 97 dBA, sementara batas normal yang masih diperkenankan adalah 87 dBA. Pada penelitian ini, Aoife menyebutkan bahwa paparan kebisingan lebih dari 85 dBA selama 8 jam per hari dapat menyebabkan kehilangan pendengaran permanen selama beberapa tahun paparan. Dari hasil analisis terhadap gangguan pendengaran Tabel 4.3 diperoleh hasil 51 orang 46,4 tidak mengalami gangguan pendengaran normal dan 59 orang 53,6 mengalami gangguan pendengaran. Penetapan diagnosis gangguan pendengaran dilihat dari hasil pemeriksaan audiometri Nandi 2008. Dari 59 orang yang mengalami gangguan pendengaran, sebanyak 18 orang 16,4 dengan derajat ketulian ringan, sebanyak 26 orang 23,6 dengan derajat Universitas Sumatera Utara ketulian sedang, sebanyak 8 orang 7,3 dengan derajat ketulian sedang-berat, dan 7 orang 6,4 dengan derajat ketulian berat. Tinitus merupakan tanda awal dari gangguan kemampuan dengar Walsh 2000. Seperti pada tabel 4.4 sebanyak 70,9 mengalami tinitus.Jika keluhan tinitus yang dialami pekerja tidak dilakukan penanggulangan yang baik, kemungkinan nantinya akan menjadi Noise Induce Hearing Loss NIHL. Adnan 2001. Sebagian besar pekerja berumur 32 tahun 59 orang = 53,7 dengan rata-rata umur pekerja adalah 32 tahun. Usia termuda adalah 18 tahun 2 orang dan usia tertua adalah 63 tahun 1 orang. Unit kerja baik usia tertua dan usia termuda adalah sebagai pramusaji. Dari hasil pemeriksaan audiometri, kedua orang usia termuda ini tidak mengalami gangguan pendengaran normal sementara usia tertua 63 tahun menderita gangguan pendengaran dengan derajat ketulian ringan. Diskotik termasuk industri yang memperkerjakan pekerja dengan shift malam karena jam bukanya sore hingga keesokan paginya. Menurut Kep.224Men2003 tentang Kewajiban Pengusaha yang Mempekerjakan Pekerja Perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan 07.00 disebutkan bahwa Pengusaha harus: memberikan makanan dan minuman bergizi, menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja menyediakan petugas keamanan di tempat kerja, menyediakan kamar mandi yang layak dengan penerangan yang memadai serta terpisah antara pekerja perempuan dan laki-laki, menyediakan antar jemput mulai dari tempat penjemputan ke tempat kerja dan sebaliknya, serta lokasi tempat penjemputan harus mudah dijangkau dan aman bagi pekerja perempuan. Hal ini menjadi pertimbangan untuk memperkerjakan perempuan sebagai pekerja pada diskotik. Pada penelitian ini hanya 17,3 pekerja berjenis kelamin perempuan dan semuanya bekerja sebagai pramusaji. Dari tabel 4.5 diketahui bahwa pekerja laki-laki lebih banyak yang menderita gangguan pendengaran 60,4 dibanding pekerja perempuan 21,1. Selanjutnya dari hasil uji Chi Square diperoleh hasil p = 0,002 Universitas Sumatera Utara p 0,05, berarti ada hubungan bermakna antara jenis kelamin dengan gangguan pendengaran. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Daniel 2007 seperti dikutip Salfi 2012 menyebutkan bahwa selain usia dan faktor genetik, jenis kelamin juga berhubungan terhadap kejadian gangguan pendengaran. Penelitian National Health and Nutrition mendapatkan kecenderungan laki-laki lebih sering menunjukkan gejala kehilangan pendengaran lebih dini dibanding perempuan, kemungkinan karena laki-laki lebih banyak melakukan aktifitas dengan tingkat kebisingan yang cukup tinggiDaniel 2007. Dari tabel 4.6 didapatkan hasil bahwa pekerja yang berumur lebih tua ≥ 32 tahun lebih banyak yang menderita gangguan pendengaran dibandingkan pekerja yang berumur lebih muda 32 tahun. Selanjutnya dari hasil uji Chi Square diperoleh hasil bahwa ada hubungan bermakna antara umur dengan gangguan pendengaran. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Juwarna 2012 yang meyebutkan bahwa umur merupakan faktor resiko bagi karyawan Pabrik Kelapa Sawit PKS Begerpang PT. PP. Lonsum mengalami gangguan pendengaran. Hal yang sama juga didapatkan pada penelitian yang dilakukan oleh Salfi 2012 yang menyebutkan bahwa ada hubungan antara usia terhadap fungsi pendengaran karyawan yang bekerja di PLTG Medan. Adnan 2001 dalam penelitiannya terhadap pekerja diskotik “X” menyebutkan bahwa usia pekerja masih relatif muda dan lama paparan dari bising masih relatif singka dan sesuai dengan pendapat Robert A. yang menyatakan bahwa banyak data menunjukkan pada masyarakat industri kelompok usia muda lebih sedikit menderita Noise Induce Hearing Loss NIHL, dibanding dengan kelompok usia tua. Hal tersebut dapat dijelaskan oleh 3 faktor; presbyacusis penurunan ambang pendengaran karena usia, norsoacusis penurunan ambang pendengaran karena penyakit, dan sociaocusis penurunan ambang pendengaran karena paparan bising dalam kehidupan sehari-hari. Universitas Sumatera Utara Adanya hubungan antara umur dengan gangguan pendengaran juga didapati pada penelitian yang dilakukan oleh Tana 2002 yang menunjukkan adanya hubungan bermakna antara peningkatan usia dengan peningkatan kejadian gangguan pendengaran pada pekerja perusahaan baja di Jawa. Mengingat faktor usia tidak bisa dikendalikan karena usia akan terus bertambah, maka sangat penting diberikan batasan usia pensiun bagi tenaga kerja, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang menetapkan usia pensiun 59 tahun. Dengan adanya batasan usia pensiun, maka tenaga kerja yang sudah mencapai usia pensiun yang secara fisik sudah mengalami banyak penurunan, tidak lagi harus terpapar oleh kondisi lingkungan kerja yang membahayakan bagi kesehatan baik fisik maupun mental dan dapat menikmati hari tua dengan jaminan sosial yang sudah diberikan oleh perusahaan Arini 2005. Hasil analisis responden berdasarkan lama bekerja adalah 55 orang 50,0 mempunyai masa kerja ≤ 24 bulan, jumlah yang sama dengan responden yang bekerja diatas 24 bulan. Pengelompokan masa kerja diperlukan untuk mengetahui tingkat paparan atau pengaruh lamanya paparan kebisingan yang diterima tenaga kerja. Peningkatan ambang dengar menetap Permanen threshold shift dapat terjadi akibat Temporary Treshold Shift yang berulang ataupun pajanan bising intensitas sangat tinggi berlangsung singkat eksplosif dapat menyebabkan terjadinya gangguan pendengaran.Kujawa 2009. Dari Tabel 4.7 ditemukan bahwa pekerja dengan lama bekerja diatas 24 bulan lebih banyak yang menderita gangguan pendengaran 74,5 dibandingkan pekerja dengan lama bekerja dibawah 24 bulan 32,7. Selanjutnya dari hasil uji Chi Square diperoleh hasil bahwa ada hubungan bermakna antara lama bekerja dengan gangguan pendengaran. Hasil yang sama juga diperoleh dari penelitian yang dilakukan oleh Salfi 2012, bahwa ada hubungan antara masa kerja terhadap fungsi Universitas Sumatera Utara pendengaran karyawan yang bekerja di PLTG Medan. Juwarna 2012 yang melakukan penelitian pada karyawan Pabrik Kelapa Sawit PKS Begerpang PT. PP. Lonsum menyebutkan bahwa masa kerja merupakan faktor risiko bagi karyawan mengalami gangguan pendengaran. Sulistyanto 2009 pada penelitiannya yang mencari hubungan antara lama kerja dengan terjadinya GPAB pada masinis kerta api di Semarang mendapatkan hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan gangguan pendengaran. Menurut Mayer seperti yang dikutip oleh Muyassaroh 2011 menyatakan kejadian GPAB dapat terjadi setelah paparan bising lebih dari lima tahun. GPAB dapat terjadi lebih awal kemungkinan disebabkan berbagai macam faktor antara lain kerentanan subjek terhadap bising ataupun tipe kebisingan. Walaupun lama bekerja pekerja pada diskotik rata-rata 2 tahun, tetapi karena faktor kerentanan subjek terhadap bising, tipe kebisingan, atau faktor lainnya, terbukti bahwa ada hubungan antara intensitas bising dengan gangguan pendengaran pekerja. Adnan 2001 dalam penelitiannya pada pekerja diskotik “X” di Kota Medan menyebutkan hasil uji regresi ganda variabel sosiodemografi umur, jenis kelamin, status perkawinan, lama kerja, riwayat kerja sebelumnya, tempat tinggal, dan keterpaparan dengan timbulnya keluhan tinitus ditemukan variabel utama yang berhubungan dengan timbulnya keluhan tinitus adalah “lama kerja”. Dari tabel 4.8 diperoleh hasil bahwa pekerja yang bekerja pada lingkungan kerja dengan intensitas bising 98 dB lebih banyak yang menderita gangguan pendengaran 72,4 dibandingkan pekerja yang bekerja pada lingkungan kerja dengan intensitas bising 98 dB 46,9. Selanjutnya dengan uji Chi Square diperoleh hasil bahwa ada hubungan bermakna antara intensitas kebisingan dengan gangguan pendengaran pada pekerja diskotik. Salfi 2012 pada penelitiannya terhadap karyawan PLTG Medan menyebutkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat intensitas bising Universitas Sumatera Utara dengan fungsi pendengaran karyawan. Tana 2002 juga menemukan bahwa tingginya intensitas bising tidak berhubungan secara bermakna terhadap peningkatan GPAB. Hal ini berbeda dengan Chang di Taiwan yang meneliti prevalensi dan faktor risiko pekerja yang bekerja di bagian lapangan dan administrasi LPG mendapatkan hubungan yang bermakna peningkatan intensitas bising dengan kejadian GPAB p0,01. Chang 2009 Penelitian orang yang bekerja di sound system studio televisi teknisi suara di Brazil dibandingkan dengan kelompok kontrol mendapatkan perbedaan statistik yang signifikan p0,001 terhadap gangguan pendengaran yaitu 50 pada kelompok teknisi suara dan 10 pada kelompok kontrol. El Dib et.al, 2008 Juwarna 2012 dalam penelitiannya terhadap karyawan Pabrik Kelapa Sawit PKS Begerpang PT. PP. Lonsum menyebutkan bahwa intensitas bising menjadi faktor risiko bagi karyawan untuk mengalami GPAB. Karyawan yang bekerja dengan intensitas kebisingan 85 dB risiko akan mengalami GPAB sebesar 6,67 kali dibandingkan dengan karyawan bekerja dengan intensitas kebisingan 85 dB RP=6,67. Mallapiang 2008 dalam penelitiannya pada pekerja di unit produksi PT. Sermani Steel Coorporation Makasar mendapatkan adanya hubungan yang signifikan antara intensitas bising dengan pendengaan karyawan p=0,0032. Dijumpai 71,4 karyawan yang bekerja pada tempat 85 dB mengalami gangguan pendengaran dan 24,0 karyawan yang bekerja pada tempat ≤ 85 dB mengalami gangguan pendengaran. GPAB sering dijumpai dan memberikan dampak terhadap komunikasi dan kualitas hidup. The National Institute for Occupational Safety and Health NIOSH dan Indonesia menetapkan nilai ambang batas NAB bising ditempat kerja sebesar 85 dB. Intensitas kebisingan dibawah nilai ambang batas yang diperkenankan yaitu 85 dB dengan waktu pemaparan 8 jam sehari dan 40 jam seminggu sebagaimana yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Universitas Sumatera Utara No.Per.13MenX 2011 adalah aman bagi pekerja dan tidak memberikan dampak terhadap gangguan pendengaran. Intensitas kebisingan 85 dB akan memberikan dampak pada gangguan pendengaran berupa noise induced hearing loss NIHL atau penurunan pendengaran akibat kerja occupational hearing loss baik yang bersifat sementara atau tetap, apabila tidak dilakukan upaya-upaya pengendalian terhadap intensitas kebisingan baik pengendalian secara administratif maupun teknis Arini 2005. Dari 110 pekerja tersebut, 59 orang 53,6 menderita gangguan pendengaran dan 51 orang 46,4 tidak menderita gangguan pendengaran. Dari tabel 4.9 diperoleh 59 orang yang menderita gangguan pendengaran, 18 orang dengan derajat ketulian ringan, 26 orang dengan derajat ketulian sedang, 8 orang dengan derajat ketulian sedang-berat, dan 7 orang dengan derajat ketulian berat. Pada intensitas yang paling rendah 94 dB ada ditemukan 1 orang penderita gangguan pendengaran dengan derajat ketulian berat, sedangkan pada intensitas lebih tinggi 98 dan 104 dB ditemukan masing-masing 3 pekerja penderita gangguan pendengaran dengan derajat ketulian berat. Hasil analisis terhadap keluhan tinitus Tabel 4.10 diperoleh hasil bahwa seluruh pekerja yang menderita gangguan pendengaran juga mengeluhkan tinitus. Sebanyak 62,7 pekerja yang tidak mengalami gangguan pendengaran juga tidak mengeluhkan tinitus.0,9. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Kurmis 2007, dimana pada penderita gangguan pendengaran dijumpai 20 mengeluhkan tinitus. Selanjutnya dari hasil uji Chi Square ditemukan bahwa ada hubungan bermakna antara gangguan pendengaran dengan keluhan tinitus pada pekerja diskotik. Ada beberapa faktor risiko yang berpengaruh pada derajat parahnya ketulian pada gangguan pendengaran ialah intensitas bising, frekuensi, Universitas Sumatera Utara lama paparan perhari, lama masa kerja, kerentanan individu, umur dan jenis bising Kujawa 2006; Ologe,2008; Carmelo, 2010. Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Keterbatasan pertama adalah secara teoritis, banyak faktor yang berhubungan dengan terjadinya gangguan pendengaran, tetapi karena pada penelitian ini hanya menetapkan lima faktor yang dianggap berhubungan dengan terjadinya gangguan pendengaran sebagai variabel yang akan diteliti, yaitu faktor umur, jenis kelamin, lama bekerja, dan intensitas bising. Keterbatasan yang kedua adalah bahwa pada penelitian ini, penetapan kategori pada faktor umur ≥ 32 tahun dan 32 tahun, tingkat pendidikan ≥ SMA dan SMA dan lama bekerja ≤ 24 bulan dan 24 bulan, masih berdasarkan asumsi dan keadaan di lapangan, bukan berdasarkan standar yang telah ditetapkan. Penelitian ini juga merupakan studi kasus untuk 3 diskotik yang menjadi lokasi penelitian, namun pengembangan penelitian ini dapat dilakukan di daerah lain. Universitas Sumatera Utara BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan