Intensitas Kebisingan Harian Diskotik Dan Hubungannya Dengan Gangguan Pendengaran Pekerja (Studi Kasus Diskotik A Dan B Di Kota Medan)
Tesis
Oleh Naek Silitonga
087109009
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
Tesis
Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Spesialis dalam Bidang Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher
Oleh Naek Silitonga
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(3)
( STUDI KASUS DISKOTIK A DAN B DI KOTA MEDAN ) Telah disetujui dan diterima baik oleh Komisi Pembimbing
Ketua
dr. Adlin Adnan, SpTHT-KL NIP. 140202219
Anggota
Dr. Ing. Ir. Ikhwansyah Isranuri NIP. 196412241992111001
dr. HR. Yusa Herwanto, M.Ked(ORL-HNS), Sp.THT-KL NIP. 196701291993101001
Diketahui oleh
Ketua Departemen Ketua Program Studi
Prof. Dr. dr. Abdul Rahman Saragih, Sp.THT-KL(K) NIP. 196412241992111001
Dr. dr. T. Siti Hajar Haryuna, Sp.THT-KL NIP. 197906202002122003
(4)
KATA PENGANTAR
Salam sejahtera, pertama-tama saya sampaikan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas kasih setia, penyertaan dan karuniaNya saya dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan untuk memperoleh Spesialis dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.
Tesis dengan judul INTENSITAS KEBISINGAN HARIAN DISKOTIK DAN HUBUNGANNYA DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN PEKERJA (STUDI KASUS DISKOTIK A DAN B DI KOTA MEDAN). Saya menyadari penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, baik isi maupun bahasannya. Walaupun demikian, mudah-mudahan tulisan ini dapat menambah perbendaharaan ilmu bagi kita semua.
Dengan telah selesainya tulisan ini, pada kesempatan ini dengan tulus hati saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat :
Dr Adlin Adnan, Sp.THT-KL atas kesediaannya sebagai ketua pembimbing penelitian ini, Dr. Ing. Ir. Ikhwansyah Isranuri dan dr. H.R. Yusa Herwanto, Sp.THT-KL, M.(Ked)ORL-HNS sebagai anggota pembimbing. Di tengah kesibukan mereka, dengan penuh perhatian dan kesabaran, telah banyak memberi bantuan, bimbingan, saran dan pengarahan yang sangat bermanfaat kepada saya dalam menyelesaikan tesis spesialis ini.
Rasa terimakasih saya ucapkan kepada Fotarisman, SKM, MSi, MPH sebagai pembimbing ahli yang banyak memberi bantuan, bimbingan dan masukan dalam bidang metodelogi penelitian dan statistik. Dan juga kepada Balai Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang membantu menyediakan
(5)
alat pemeriksaan dan tenaga serta bimbingan kepada saya sehingga bisa melakukan pemeriksaan dan menyelesaikan penelitian spesialis ini.
Dengan telah berakhirnya masa pendidikan spesialis saya, pada kesempatan yang berbahagia ini perkenankanlah saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
Yang terhormat Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. dr. Syahril Pasaribu, Sp.A(K), DTM&H dan mantan Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Chairuddin Panusunan Lubis, Sp.A(K), DTM&H, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD(KGEH), atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik di Fakultas Kedokteran USU.
Yang terhormat Kepala Dinas kesehatan Kota Medan, yang telah mengizinkan peneliti untuk mengambil data di beberapa Diskotik yang terdaftar dan mendapat izin resmi.
Yang terhormat Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran USU Prof. Dr. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp.THT-KL(K) dan Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran USU, Dr. dr T. Siti Hajar Haryuna Sp.THT-KL, Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran USU sebelumnya Prof. dr. Askaroellah Aboet, Sp.THT-KL(K) yang telah memberikan izin, kesempatan dan ilmu kepada saya dalam mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik sampai selesai.
(6)
Yang terhormat supervisor di jajaran Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan, Prof. dr. Ramsi Lutan, Sp.THT-KL(K), dr. Yuritna Haryono, Sp.THT-KL (K), Prof. dr. Askaroellah Aboet, Sp.THT-KL(K), Prof. Dr. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp.THT-KL(K), dr. Muzakkir Zamzam, SpTHT-KL(K), dr. Mangain Hasibuan, SpTHT-KL, dr. T.Sofia Hanum, Sp.THT-KL(K), Prof. Dr. dr. Delfitri Munir, SpTHT-KL(K), dr. Linda I. Adenin, Sp.THT-KL, dr. Ida Sjailandrawati Hrp, SpTHT-KL, dr.Adlin Adnan, Sp.THT-KL, dr. Rizalina A. Asnir, Sp.THT-KL(K), dr. Siti Nursiah, Sp.THT-KL, dr. Andrina Y.M. Rambe, Sp.THT-KL, dr. Harry Agustaf Asroel, M.(Ked) ORL-HNS, KL, dr. Farhat, M.(Ked) ORL-HNS, Sp.THT-KL(K), Dr. dr. T. Siti Hajar Haryuna, Sp.THT-KL, dr. Aliandri, Sp.THT-KL, dr. Asri Yudhistira, M.(Ked) ORL-HNS, Sp.THT-KL, dr. Devira Zahara, M.(Ked) ORL-HNS, SpTHT-KL, dr. H.R. Yusa Herwanto, SpTHT-KL,M.(Ked)ORL-HNS, dr. M. Pahala Hanafi Harahap, SpTHT-KL dan dr. Ferryan Sofyan, M.Kes, SpTHT-KL. Terima kasih atas segala ilmu, keterampilan dan bimbingannya selama ini.
Yang tercinta teman-teman sejawat PPDS Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran USU, atas bantuan, nasehat, saran maupun kerjasamanya selama masa pendidikan.
Yang mulia dan tercinta Ayahanda Alm. Panusunan Silitonga dan Ibunda Tiara Lumbantobing, ananda sampaikan rasa hormat dan terima kasih yang tak terhingga serta penghargaan yang setinggi-tingginya atas kasih sayang yang telah diberikan dan dilimpahkan kepada ananda sejak dalam kandungan, dilahirkan, dibesarkan dan diberi pendidikan yang baik serta diberikan suri tauladan yang baik hingga menjadi landasan yang kokoh dalam menghadapi kehidupan ini, dengan memanjatkan doa kepada Tuhan, agar diberi umur panjang, kesehatan dan kesejahteraan kepada Ibunda kami tercinta.
(7)
Kepada seluruh kerabat dan handai taulan yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Akhirnya izinkanlah saya mohon maaf yang setulus-tulusnya atas segala kesalahan dan kekurangan saya selama mengikuti pendidikan ini, semoga segala bantuan, dorongan, petunjuk yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Tuhan, Yang Maha Pemurah, Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Amin.
Medan, April 2014
Penulis
(8)
ABSTRAK
Pendahuluan: Pada negara berkembang lebih dari sepertiga gangguan pendengaran disebabkan karena terpapar bising berlebihan. Intensitas kebisingan yang berbahaya jika melampaui 85 dB dan jangka waktu tertentu.
Tujuan Penelitian: Untuk mengetahui hubungan besar kebisingan harian dan gangguan pendengaran pada pekerja diskotik A dan B di Kota Medan.
Metode: Penelitian ini bersifat analitik dengan menggunakan rancangan studi potong lintang. Data diperoleh melalui proses wawancara, pemeriksaan telinga dengan otoskopi, kemudian diukur besar intensitas kebisingan dengan dosimetri dan pemeriksaan pendengaran dengan audiometri nada murni.
Hasil Penelitian: Hasil pemeriksaan dosimetri terhadap pekerja yang memenuhi kriteria inklusi didapati 24 orang (47,1%) pekerja tidak mengalami gangguan pendengaran dan 27 orang (52,9%) menderita gangguan pendengangaran.
Kesimpulan : Ada hubungan besar kebisingan harian terhadap fungsi pendengaran pekerja diskotik A dan B di Kota Medan
(9)
vi
ABSTRACT
Introduction: In developing countries, more than one third of hearing impairments are due to excessive noise exposure that exceeds 85 dB for a period of time.
Objective: To determine the correlation between daily noise exposure level and noise-induced hearing loss among the employees of discotheque A and B in Medan.
Methods: This study used analytic cross-sectional study design. The data were obtained through interview process, otoscopic examination, noise intensity level calculation by dosimetry, and pure tone audiometry.
Results: The dosimetry examination towards the inclusion-fulfilled criteria employees obtained 24 samples (47,1%) were non hearing-impaired employees and 59 samples (53,6%) were hearing-impaired employees.
Conclusion : There is a correlation between daily noise exposure level and hearing function among the employees of discotheque A and B in Medan.
Keywords : Daily noise exposure level, noise-induced hearing loss, employee, discotheque.
(10)
ABSTRAK v
DAFTAR ISI vii
DAFTAR GAMBAR ix
DAFTAR TABEL x
DAFTAR ISTILAH xi
BAB 1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang 1
1.2 Perumusan Masalah 3
1.3 Tujuan Penelitian 4
1.3.1 Tujuan umum 4
1.3.2 Tujuan khusus 4
1.4 Manfaat Penelitian 4
BAB 2. Tinjauan Pustaka 2.1 Anatomi Telinga Dalam 6
2.1.1 Koklea 6
2.2 Fisiologi Pendengaran 8
2.3 Gangguan Pendengaran Akibat Bising 8
2.4 Bising 10
2.5 Patogenesis dan Histopatologi 12
2.6 Gejala 15
2.7 Bising dan Gangguan Pendengaran 16
2.8 Diagnosis 18
2.8.1 Penentuan ambang dengar 18
2.8.2 Karakteristik audiometri pada tuli akibat bising 19
2.9 Noise Dosimetri 20
2.10 Program Konservasi Pendengaran 21
2.10.1 Penilaian Awal 22
2.10.2 Pemantauan Pajanan kebisingan 22
2.10.3 Pengendalian kebisingan 22
2.10.4 Pendidikan dan motivasi pekerja 23
2.10.5 Perlindungan telinga 24
2.10.6 Pemantauan ketajaman pendengaran 24
2.10.7 Pencatatan dan pelaporan 24
2.10.8 Evaluasi program 25
2.11 Kerangka Teori 26
BAB 3. Materi dan Metode Penelitian 3.1 Rancangan penelitian 27
3.2 Lokasi dan Waktu penelitian 27
3.3 Populasi dan sampel penelitian 27
3.3.1 Populasi 27
3.3.2 Sampel Penelitian 28
3.4 Variabel Penelitian 27
(11)
3.9 Analisa Data 33
3.9.1 Analisa Univariat 33
3.9.2 Analisa Bivariat 33
Bab 4. Hasil Penelitian 34
Bab 5. Pembahasan 43
Bab 6. Kesimpulan dan Saran 6.1 Kesimpulan 51
6.2 Saran 51
DAFTAR PUSTAKA 53
PERSONALIA PENELITIAN 58
(12)
Gambar 2.2 Kerusakan minimal pada sel-sel rambut luar
Gambar 2.3 Kerusakan sel-sel rambut luar yang luas dan minimal pada sel-sel rambut dalam
Gambar 2.4 Telinga, Daerah koklea yang paling sering mengalami kerusakan akibat paparan bising
Gambar 2.5 Audiogram GPAB Gambar 2.6 Noise Dosimetri
Gambar 4.1 Model hubungan antara intensitas kebisingan harian (dose) dan gangguan penedengaran
Gambar 4.2 Hubungan intensitas kebisingan harian (dose) dan masa kerja Gambar 4.3 Hubungan intensitas kebisingan harian (dose) dengan usia
(13)
Tabel 4.1 Distribusi karakteristik responden
Tabel 4.2 Distribusi kelompok pekerja berdasarkan rerata bising harian (dose) pada diskotik
Tabel 4.3 Distribusi pekerja berdasarkan hasil pengukuran audiometri Tabel 4.4 Distribusi frekuensi pekerja berdasarkan keluhan tinitus
Tabel 4.5 Distribusi pekerja menurut jenis kelamin dan gangguan pendengaran Tabel 4.6 Distribusi pekerja menurut umur dan gangguan pendengaran
Tabel 4.7 Distribusi pekerja menurut masa kerja dan gangguan pendengaran Tabel 4.8 Hasil uji regresi antara besar intensitas kebisingan dengan gangguan
pendengaran
Tabel 4.9 Hasil uji regresi 3 variabel
(14)
dB : Desi bell DJ : Disck jockey DM : Diabetes Mellitus
GPAB : Gangguan pendengaran akibat bising HSA : Health and safety authority
Hz : Hertz
ISO : International standard organization NAB : Nilai ambang batas
NIHL : Noice induced hearing loss
NIOSH : The National institute for occupational safety and health OSHA : Occupational safety and health administration
PKP : Program konservasi pendengaran RNID : Royal national institute for deaf people SLM : Sound level meter
(15)
v
ABSTRAK
Pendahuluan: Pada negara berkembang lebih dari sepertiga gangguan pendengaran disebabkan karena terpapar bising berlebihan. Intensitas kebisingan yang berbahaya jika melampaui 85 dB dan jangka waktu tertentu.
Tujuan Penelitian: Untuk mengetahui hubungan besar kebisingan harian dan gangguan pendengaran pada pekerja diskotik A dan B di Kota Medan.
Metode: Penelitian ini bersifat analitik dengan menggunakan rancangan studi potong lintang. Data diperoleh melalui proses wawancara, pemeriksaan telinga dengan otoskopi, kemudian diukur besar intensitas kebisingan dengan dosimetri dan pemeriksaan pendengaran dengan audiometri nada murni.
Hasil Penelitian: Hasil pemeriksaan dosimetri terhadap pekerja yang memenuhi kriteria inklusi didapati 24 orang (47,1%) pekerja tidak mengalami gangguan pendengaran dan 27 orang (52,9%) menderita gangguan pendengangaran.
Kesimpulan : Ada hubungan besar kebisingan harian terhadap fungsi pendengaran pekerja diskotik A dan B di Kota Medan
(16)
ABSTRACT
Introduction: In developing countries, more than one third of hearing impairments are due to excessive noise exposure that exceeds 85 dB for a period of time.
Objective: To determine the correlation between daily noise exposure level and noise-induced hearing loss among the employees of discotheque A and B in Medan.
Methods: This study used analytic cross-sectional study design. The data were obtained through interview process, otoscopic examination, noise intensity level calculation by dosimetry, and pure tone audiometry.
Results: The dosimetry examination towards the inclusion-fulfilled criteria employees obtained 24 samples (47,1%) were non hearing-impaired employees and 59 samples (53,6%) were hearing-impaired employees.
Conclusion : There is a correlation between daily noise exposure level and hearing function among the employees of discotheque A and B in Medan.
Keywords : Daily noise exposure level, noise-induced hearing loss, employee, discotheque.
(17)
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Saat ini perkembangan dunia musik dan industri hiburan berjalan dengan sangat pesat. Tempat-tempat hiburan semakin bertambah dan sudah menjadi kebutuhan warga kota untuk melepaskan ketegangan dan stress. Bahkan beberapa aktifitas kehidupan modern justru acap menjadikan kebisingan sebagai bagian yang terpisahkan. Setiap malam jutaan anak muda di seluruh dunia mendatangi diskotik-diskotik yang memperdengarkan musik yang keras. Royal National Institute For Deaf People (RNID), sebuah lembaga kehormatan Inggris yang meneliti ketulian, mensurvei sejumlah klab malam yang ternyata tingkat kebisingannya mencapai 120 dB. Telinga anak-anak muda itu terpapar suara yang jauh diatas ambang batas selama berjam-jam. (Yusuf 2000)
Dalam industri hiburan, penyajian musik keras merupakan menu utama yang ingin dinikmati oleh konsumen. Musik yang disajikan mesti keras bahkan kalau bisa paling keras. Penikmat musik, pekerja pada industri musik, dan pelaku musik itu sendiri bisa terkena dampak dari kerasnya suara yang terpapar pada telinga mereka (Hoffman 1999) dikutip dari Adnan, Z (2001). Paparan terhadap bising yang berlebihan dapat merusak sel-sel pendengaran dan akhirnya menimbulkan ketulian (Gerostergiou 2008; Singhal 2009; Abbasi 2011). Selain itu kebisingan dapat juga menimbulkan keluhan non-pendengaran seperti susah tidur, mudah emosi, dan gangguan konsentrasi yang dapat menimbulkan kecelakaan kerja (Roestam 2004; Norsaleha 2006).
Tidak semua bising dapat menyebabkan Gangguan Pendengaran Akibat Bising (GPAB), hal ini tergantung pada intensitas bising (kerasnya), lama
(18)
pajanan, frekuensi bunyi, kepekaan individu, umur dan lain-lain. “Bising” (Noise) dengan intensitas keras yang dapat mengganggu pendengaran bisa berasal dari pabrik/ industri, lalu-lintas, musik, diskotik, bioskop, rumah tangga arena bermain anak-anak (permainan game) dan lain-lain (Husni 2011).
Secara umum bising adalah bunyi yang tidak diinginkan dan dapat berdampak buruk terhadap kesehatan. Secara audiologik bising adalah campuran bunyi nada murni dengan berbagai frekuensi. Bising yang intensitasnya 85 desibel (dB) atau lebih dapat mengakibatkan kerusakan pada reseptor pendengaran Corti di telinga dalam. Bagian yang paling sering mengalami kerusakan adalah alat Corti untuk reseptor bunyi yang berfrekuensi 3000 Hertz (Hz) sampai dengan 6000 Hz dan yang terberat kerusakan alat Corti untuk reseptor bunyi yang berfrekuensi 4000 Hz (Bashiruddin 2007; Pouryaghoub 2007; Seidman 2010; Azizi 2010).
Sumber suara keras yang dihasilkan oleh industri hiburan antara lain adalah konser musik rock, musik disko di diskotik, orkestra, bioskop modern dolbi stereo, dan lain-lain. Di satu sisi suara keras yang dihasilkan tempat hiburan tersebut merupakan musik yang memang dicari/diingini oleh pengunjung, namun disisi lain merupakan suatu sumber bising yang dapat merusak pendengaran pekerja yang terus-menerus terpapar sepanjang shift kerjanya. (Monklands online 2000).
Dari hasil penelitian yang dilakukan Hendarmin, H. (1991), dikutip dari Nanny (2007), diketahui mengenai tingkat bahaya suara musik keras diskotik (antara 100-110 dB), musik keras bisa merusak pendengaran seseorang yang setiap hari berada disitu. Apalagi kalau bunyi musik tersebut melebihi ambang batas normal yang bisa ditoleransi telinga. Besarnya suara terhadap telinga banyak tergantung pada intensitas dan jangka waktu mendengarnya,
(19)
jumlah waktu mendengar serta kepekaan masing-masing termasuk usia pendengar.
Tempat hiburan diskotik yang ada mempekerjakan tenaga kerja yang terdiri dari Disc Jockey, Bartender, Pramusaji yang sepanjang shift kerja mereka terus menerus terpapar dengan suara musik yang keras dari loud speaker / pengeras suara. Para pekerja ini rawan mengalami gangguan pendengaran. Penelitian yang dilakukan oleh Adnan, Z. (2001) menunjukkan bahwa tempat duduk pengunjung di diskotik mempunyai intensitas suara yang paling tinggi (mean 114,78 dB) dimana pekerja paling banyak bekerja pada lokasi ini, dengan jam kerja selama 6 jam per hari. Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-13/Men/2011 tentang nilai ambang batas faktor fisika di tempat kerja, pada intensitas suara 112 dB jam kerja yang diperkenankan adalah 0,94 menit per hari.
Kota Medan sebagai kota terbesar ketiga di Indonesia, dalam perkembangannya menjadi kota metropolitan tidak terlepas dari menjamurnya industri hiburan. Menurut data resmi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Medan tahun 2010, di Kota Medan terdapat 59 karaoke, 15 diskotik/klab malam, dan 35 live music, yang terus bertambah setiap tahunnya. Sedangkan menurut data Dinas Kesehatan Kota Medan, terdapat 3 diskotik di Kota Medan yang mempekerjakan 50-75 tenaga kerja. Para pekerja ini setiap shift kerjanya terpapar dengan suara musik yang keras.
Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian yang dapat menggambarkan intensitas kebisingan harian di diskotik dan hubungannya dengan gangguan pendengaran pada pekerja diskotik tersebut.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan diatas, dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu bagaimanakah intensitas kebisingan
(20)
harian (dose) yang terdapat pada tempat kerja, dalam hal ini adalah diskotik dan apakah intensitas kebisingan ini akan berpengaruh pada pendengaran pekerja.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya intensitas kebisingan harian (dose) di diskotik dan hubungannya dengan gangguan pendengaran pada pekerja diskotik di Kota Medan.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui gambaran karakteristik pekerja diskotik yaitu umur, jenis kelamin dan lama bekerja.
2. Mendapatkan gambaran intensitas kebisingan harian di diskotik.
3. Mengetahui distribusi kelainan audiogram gangguan pendengaran akibat bising pada pekerja diskotik.
4. Mengetahui distribusi gangguan pendengaran pekerja diskotik berdasarkan jenis kelamin.
5. Mengetahui distribusi gangguan pendengaran pekerja diskotik berdasarkan umur.
6. Mengetahui distribusi gangguan pendengaran pekerja diskotik berdasarkan lama bekerja.
7. Mengetahui hubungan intensitas kebisingan harian (dose) terhadap keluhan tinnitus.
8. Mengetahui hubungan intensitas kebisingan harian (dose) terhadap gangguan pendengaran pekerja diskotik di Kota Medan dengan uji regresi.
(21)
1.4 Manfaat Penelitian
a. Bagi peneliti
Untuk mengetahui tingkat kebisingan yang terjadi di diskotik dan gangguan pendengaran yang diakibatkan kebisingan tersebut.
b. Bagi pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan data dan informasi yang dapat digunakan sebagai bahan pustaka guna pengembangan ilmu Neurotologi dan THT Komunitas.
c. Bagi pekerja
Mengerti dan mengetahui akibat bising menyebabkan gangguan pendengaran dan keluhan tinnitus yang berdampak terhadap kinerja dan kualitas hidup pekerja.
d. Bagi perusahaan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang berarti tentang seberapa besar tingkat kebisingan yang terjadi di diskotik sehingga dapat direncanakan langkah-langkah konservasi pendengaran.
(22)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Telinga Dalam
Telinga dalam berada pada bagian petrosus tulang temporal yang bertanggung jawab pada proses pendengaran dan keseimbangan. Telinga dalam atau labirin terdiri dari bagian membran dan bagian tulang. Labirin bagian membran berisi cairan endolimfe yang tinggi kalium dan rendah natrium, sedang labirin bagian tulang berisi cairan perilimfe yang tinggi natrium dan rendah kalium (Moller 2006).
2.1.1 Koklea
Koklea merupakan struktur tulang yang berbentuk spiral menyerupai rumah siput dengan 2,5 sampai 2,75 kali putaran. Aksis dari spiral tersebut dikenal sebagai modiolus. Dasar dari modiolus secara langsung menuju telinga bagian dalam dan terdapat pembuluh darah dan saraf.Serabut saraf kemudian berjalan menerobos suatu lamina tulang yaitu lamina spiralis oseus untuk mencapai sel-sel sensorik organ Corti (Gacek 2009).
Bagian atas adalah skala vestibuli berisi cairan perilimfe dan dipisahkan dari duktus koklearis oleh membran Reissner yang tipis. Bagian bawah adalah skala timpani juga mengandung cairan perilimfe dan dipisahkan dari duktus koklearis oleh lamina spiralis oseus dan membran basilaris. Cairan perilimfe pada kedua skala berhubungan pada apeks koklea spiralis tepat setelah ujung buntu duktus koklearis melalui suatu celah yang dikenal sebagai helikotrema. Rongga koklea dibagi menjadi tiga bagian oleh duktus koklearis yang panjangnya 35 mm dan berisi cairan endolimfe (Moller 2006; Gacek 2009).
(23)
Terletak di atas membran basilaris dari basis ke apeks adalah organ Corti, yang mengandung organel-organel penting untuk mekanisme saraf perifer pendengaran. Organ Corti terdiri dari satu baris sel rambut dalam (3000 sampai 3500), tiga baris sel rambut luar (12000) dan sel penunjang. Pada permukaan sel-sel rambut terdapat stereosilia yang melekat pada suatu selubung di atasnya yang cenderung datar, bersifat gelatinosa, dikenal sebagai membran tektoria (Moller 2006; Gacek 2009).
Di bagian tengah membran tektoria disokong oleh limbus, suatu lempeng sel yang tebal yang terletak pada lamina spiralis oseus. Limbus ini juga bertindak sebagai tempat perlengkatan membran Reissner. Tepi bebas membran tektoria melekat erat dengan sel-sel Hansen, membentuk suatu ruang diantara sel rambut dengan membran tektoria yang berisi silia sel-sel rambut (Moller 2006; Gacek 2009).
Sel-sel rambut menerima beberapa ujung-ujung neuron yang membentuk suatu anyaman disekitar basis. Dijumpai dua tipe ujung saraf, satu berfungsi eferen dan yang lain aferen. Satu neuron akan membagi diri dan berakhir pada sejumlah sel-sel rambut. Neuron-neuron berjalan melalui kanalikuli pada lamina spiralis oseus (Moller, 2006; Gacek 2009).
Setiap bagian disepanjang koklea memiliki struktur dasar yang sama, namun didapati perbedaan karakter berdasarkan fungsinya yang berkembang mulai dari base koklea sampai apeks. Yang pertama, bagian yang kira-kira sepuluh kali lebih lebar pad base dibandingkan di apeks. Kedua, bagian yang memiliki massa lebih banyak di base dibandingkan di apeks dan berfungsi untuk meningkatkan ukuran dan jumlah sel penunjang di organ Corti. Terakhir, bagian dimana base lebih kaku dibanding dengan apeks, lebih besar oleh karena sifat yang dimiliki membran basilaris (Moller 2006; Gacek 2009).
(24)
2.2 Fisiologi Pendengaran
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga, dialirkan ke liang telinga dan mengenai membran timpani sehingga membran timpani bergetar. Getaran ini diteruskan kerangkaian tulang pendengaran „ossicle‟ yang akan mengamplifikasi getaran tersebut. Selanjutnya stapes menggerakkan tingkap lonjong (foramen ovale) yang juga menggerakkan perilimfe dalam skala vestibuli. Getaran diteruskan melalui membrana Reissner yang mendorong endolimfe dan membrana basal ke bawah. Perilimfe dalam skala timpani akan bergerak sehingga tingkap bundar (foramen Rotundum) terdorong kearah luar (Adenan 1983).
Skala media yang menjadi cembung mendesak endolimfe dan mendorong membran basal sehingga menjadi cembung kebawah dan menggerakkan perilimfe pada skala timpani. Pada waktu istirahat ujung sel rambut berkelok-kelok dan dengan berubahnya membran basal, ujung sel itu menjadi lurus. Rangsangan fisik tadi diubah oleh adanya perubahan ion kalium dan ion natrium menjadi aliran listrik yang diteruskan ke cabang-cabang nervus VIII yang kemudian meneruskan rangsangan itu ke pusat sensorik pendengaran diotak (area 39-40) melalui syaraf pusat yang ada di lobus temporalis (Adenan 1983).
2.3 Gangguan Pendengaran Akibat Bising
Gangguan pendengaran akibat bising (GPAB) sering dijumpai pada pekerja industri yang belum menerapkan sistem perlindungan pendengaran dengan baik. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang dalam upaya meningkatkan pembangunan banyak menggunakan peralatan industri yang dapat membantu dan mempermudah pekerjaan. Sebagai akibatnya, timbul bising lingkungan kerja yang dapat berdampak buruk terhadap para pekerja. Menurut OSHA (Occupational Safety & Health Administration) batas aman pajanan bising bergantung pada lama pajanan, frekuensi dan intensitas
(25)
bising serta kepekaan individu dan beberapa faktor lain. Di Indonesia khususnya dan negara lain umumnya, pajanan bising yang dianggap cukup aman adalah pajanan rata-rata sehari dengan intensitas bising tidak melebihi 85 dB selama 8 jam sehari atau 40 jam seminggu (Bashiruddin 2010).
GPAB ialah kurang pendengaran atau tuli akibat pajanan bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama, biasanya disebabkan oleh bising lingkungan kerja (Krishnamurti 2009; Muyassaroh 2011). Sifat ketuliannya adalah tuli sensorineural tipe koklea dan umumnya terjadi pada kedua telinga (Bashiruddin 2010; Sen 2010). Faktor risiko yang berpengaruh pada derajat parahnya ketulian ialah intensitas bising , frekuensi, lama paparan perhari, lama masa kerja, kerentanan individu, umur dan jenis bising (Kujawa 2006 ; Ologe 2008; Carmelo 2010). Berdasarkan hal tersebut dapat dimengerti bahwa jumlah paparan energi bising yang di terima akan sebanding dengan kerusakan yang didapat (Daniel 2007; Muyassaroh 2011). GPAB adalah penyakit akibat kerja yang sering dijumpai pada banyak pekerja industri. Gangguan pendengaran ini biasanya bilateral tetapi tidak jarang yang terjadi unilateral. Gangguan biasanya mengenai nada tinggi dan terdapat takik di frekuensi 4000 Hz pada gambaran audiogramnya (Moller, 2006). Pada tahap awal gangguan ini hanya dapat dideteksi dengan pemeriksaan audiometri. Gejala awal biasanya adanya keluhan berdenging di telinga, gangguan pendengaran jenis sensorineural ini terjadi akibat kerusakan struktur di koklea yaitu kerusakan pada sel-sel rambut di Organ Corti. GPAB dapat terjadi mulai ringan sampai berat akibat pajanan bising yang berlangsung lama, yang menyebabkan kerusakan pada sel-sel rambut juga terjadi bertahap, perlahan-lahan sehingga tidak disadari oleh para pekerja (Ferrite 2005; Hong 2007; Daniel, 2007). Pada tahap yang berat dapat mengganggu komunikasi, sehingga mempengaruhi kehidupan sosialnya. GPAB ini bersifat menetap dan tidak dapat disembuhkan, oleh karena itu pencegahan sangat penting (Bashiruddin 2010; Attarchi 2010).
(26)
Kemajuan dalam bidang teknologi sejak tiga dekade terakhir ini menyebabkan peningkatan bahaya bising baik dalam jumlah, intensitas, kecepatan dan jumlah orang yang terpajan bising, terutama di negara industri dan negara maju (Nandi 2008; Ketabi 2010). Penelitian-penelitian yang dilakukan secara terpisah-pisah, menunjukkan prevalensi terjadinya gangguan pendengaran akibat bising di tempat kerja berkisar antara 10-30%. Masalah yang dihadapi adalah banyak perusahaan sebagai sektor formal yang belum melakukan Program Konservasi Pendengaran, sebagai perlindungan terhadap pekerjanya, sehingga risiko terjadinya gangguan pendengaran pada pekerja akan meningkat. Hal ini disebabkan oleh berbagai kendala, antara lain adalah kurangnya kesadaran para pekerja tentang bahaya timbulnya gangguan pendengaran akibat bising di tempat kerja (Mallapiang 2008; Bashiruddin 2010).
2.4 Bising
Bising memiliki pengertian baik secara physical, physiological dan psychological yang masing-masing berbeda. Secara fisik bising merupakan bunyi kompleks yang memiliki periodisitas yang kecil atau tidak sama sekali yang dapat diukur atau dianalisa. Secara fisiologi dapat diartikan sebagai signal yang tidak memiliki informasi dan memiliki berbagai intensitas yang acak. Sedangkan secara psikologi bising merupakan bentuk suara atau bunyi apapun tanpa memandang jenis gelombangnya, dimana bunyi tersebut mengganggu atau tidak dikehendaki (Atmaca 2005; Seidman 2010)
Bunyi dinilai sebagai bising sangatlah relatif sekali, suatu contoh misalnya: musik di tempat-tempat diskotik, bagi orang yang biasa mengunjungi tempat itu tidak merasa suatu kebisingan, tetapi bagi orang-orang yang tidak pernah berkunjung di tempat diskotik akan merasa suatu kebisingan yang mengganggu (Yahya 2012).
(27)
Bising sama seperti bunyi, memiliki durasi tertentu, spektrum frekuensi yang diukur dalam Hertz (Hz), intensitas diukur dalam Sound Level Meter dengan satuan besaran yang dinyatakan dalam desibel (dB).
Berdasarkan sifat dan spektrum frekuensi bunyi, bising dapat dibagi atas (Buchari 2007)
1. Bising kontinyu dengan spektrum frekuensi yang luas. Bising ini relatif tetap dalam batas kurang lebih 5 dB untuk periode 0,5 detik berturut-turut. 2. Bising yang kontinyu dengan spektrum frekuensi yang sempit. Bising ini relatif tetap, akan tetapi hanya mempunyai frekuensi tertentu saja (pada frekuensi 500, 1000, dan 4000 Hz).
3. Bising intermitten. Bising disini tidak terjadi secara terus menerus, melainkan ada periode relatif tenang.
4. Bising impulsif. Bising jenis ini memiliki perubahan tekanan suara melebihi 40 dB dalam waktu sangat cepat dan biasanya mengejutkan pendengaran.
5. Bising impulsif berulang. Sama dengan bising impulsif, hanya saja disini terjadi secara berulang-ulang.
(28)
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER. 13 tahun 2011 tentang nilai ambang batas faktor fisik dalam lingkungan kerja, termasuk didalamnya tentang kebisingan (KEPMEN, 2011).
Tabel 2.1. Intensitas bunyi dan waktu paparan yang diperkenankan (KEPMEN,2011) .
Intensitas Bising (dB)
Waktu paparan perhari (jam)
85 8
88 4
91 2
94 1
2.5 Patogenesis dan Histopatologi
Mekanisme dasar terjadinya GPAB merupakan kombinasi dari faktor mekanis dan metabolik yakni adanya paparan bising kronis yang merusak sel rambut koklea dan perubahan metabolik yang menyebabkan hipoksia akibat vasokontriksi kapiler oleh karena bising (Ferrite, 2005). Gangguan pendengaran akibat bising juga merupakan interaksi dari faktor lingkungan dan faktor genetik (Laer 2006).
Penilaian GPAB secara histopatologi menunjukkan adanya kerusakan pada organ korti dikoklea terutama sel-sel rambut. Kerusakan yang terjadi pada struktur organ tertentu bergantung pada intensitas dan lama paparan. Daerah yang pertama terkena adalah sel-sel rambut luar separti stereosilia pada sel-sel rambut luar menjadi kaku. Dengan bertambahnya intensitas dan durasi paparan akan di jumpai lebih banyak kerusakan seperti hilangnya
(29)
stereosilia, kerusakan pada stria vaskular, kolaps sel-sel penunjang, hilangnya jaringan fibrosit dan kerusakan serabut saraf (Kujawa 2009; Daniel 2007).
2.5.1 Kerusakan sel-sel rambut koklea
Paparan bising secara primer akan merusak sel-sel rambut koklea. Pada awalnya kerusakan terjadi pada sel-sel rambut luar, namun jika paparan bising terus berlanjut kerusakan dapat merusak sel-sel rambut dalam. Pada kasus-kasus yang berat, dapat terjadi kerusakan total dari sel-sel organ korti (Gambar 2.1, 2.2, 2.3). Daerah yang paling sering mengalami kerusakan biasanya sekitar 10-30 mm dari tingkap bundar (Gambar 2.4). Daerah inilah frekuensi antara 3-6 kHz diterima, dimana dapat dijelaskan pada frekuensi 4 kHz sering terjadi takik yang menggambarkan gangguan pendengaran akibat bising (Maltby 2005).
Gambar 2.1. Kerusakan organ korti karena paparan bising: (a) organ korti normal; (b) sel rambut luar tampak menghilang; (c) sel rambut luar dan dalam menghilang dan struktur penunjang kolaps; (d) Keseluruhan organ korti kolaps. (Maltby 2005)
(30)
Gambar 2.2. Kerusakan minimal pada sel-sel rambut luar (Maltby 2005)
Gambar 2. 3. Kerusakan sel-sel rambut luar yang luas dan minimal pada sel-sel rambut dalam (Maltby 2005)
(31)
Gambar 2.4 (A) Telinga; (B) Daerah koklea yang paling sering mengalami kerusakan akibat paparan bising (Kurmis 2007)
2.6 Gejala
Dampak bising akan menyebabkan hilangnya pendengaran yang bisa disertai dengan tinitus. Berat gangguan pendengaran berhubungan dengan
(32)
keparahan tinitus. (Mazurek 2010). Biasanya gangguan pendengaran akibat bising ini diketahui dengan adanya penurunan kemampuan berkomunikasi (seringnya dikenali oleh anggota keluarga atau orang-orang terdekatnya) dan kegiatan sehari-hari seperti menonton televisi dan penggunaan telepon. Secara klinis gangguan pendengaran akibat bising menunjukkan penurunan pengenalan suara pada frekuensi tinggi. Hal ini dapat menyebabkan penderita malah jatuh pada perasaan terisolasi dan depresi dari lingkungan sekitar dari pada mencari pengobatan untuk pendengaran. GPAB bersifat sensorineural, hampir selalu bilateral (Humann 2011).
Derajat ketulian menurut International Standard Organization (ISO) : 1. Normal : peningkatan ambang batas antara 0 -<25 dB 2. Tuli ringan : peningkatan ambang batas antara 26-40 dB 3. Tuli sedang : peningkatan ambang batas antara 41-55 dB 4. Tuli sedang berat : peningkatan ambang batas antara 56-70 dB 5. Tuli berat : peningkatan ambang batas antara 71-90 dB 6. Tuli sangat berat : peningkatan ambang batas antara >90 dB
2.7 Bising dan Gangguan Pendengaran
Bising berpengaruh terhadap tenaga kerja, sehingga dapat menimbulkan berbagai gangguan kesehatan secara umum, antara lain gangguan pendengaran, gangguan fisiologi lain serta gangguan psikologi (Nadya 2010).
Gangguan fisiologi dapat berupa peningkatan tekanan darah, percepatan denyut nadi, peningkatan metabolisme basal, vasokonstriksi pembuluh darah, peningkatan peristaltik usus serta peningkatan ketegangan otot (Penney 2004; Atmaca 2005; Mallapiang 2008). Efek fisiologi tesebut dapat disebabkan oleh peningkatan rangsang sistem saraf otonom. Keadaan ini sebenarnya merupakan mekanisme pertahanan tubuh terhadap keadaan bahaya yang terjadi spontan (Bashiruddin 2010).
(33)
Gangguan psikologi dapat berupa stres tambahan apabila bunyi tersebut tidak diinginkan dan mengganggu, sehingga menimbulkan perasaan tidak menyenangkan dan melelahkan. Hal tersebut diatas dapat menimbulkan gangguan sulit tidur, emosional, gangguan komunikasi dan gangguan konsentrasi yang secara tidak langsung dapat membahayakan keselamatan tenaga kerja (Cook 2006; Huboyo 2008)
Bashiruddin, J. (2009) dalam tulisannya menyebutkan bahwa beberapa faktor risiko yang berpengaruh pada derajat parahnya ketulian pekerja ialah intensitas bising, frekuensi, lama pajanan perhari, lama masa kerja, kepekaan individu, umur dan faktor lain yang dapat menimbulkan ketulian. Penelitian yang dilakukan oleh Juwarna, W. (2012) untuk melihat besaran risiko intensitas kebisingan terhadap terjadinya GPAB di pabrik kelapa sawit memperoleh hasil bahwa pekerja yang bekerja dengan intensitas kebisingan >85 dB berisiko 6,67 kali akan mengalami GPAB dibandingkan pekerja yang bekerja dengan intensitas kebisingan ≤85 dB (RP=6,67).
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa usia dan masa kerja merupakan faktor risiko bagi pekerja untuk mengalami GPAB. Pekerja yang berumur >35 tahun berisiko 3 kali mengalami GPAB dibandingkan pekerja yang berumur ≤35 tahun, sedangkan pekerja dengan masa kerja >10 tahun mempunyai risiko mengalami GPAB 9,5 kali dibandingkan dengan pekerja dengan masa kerja ≤10 tahun.
Penelitian tentang hubungan kebisingan terhadap fungsi pendengaran pekerja, juga dilakukan oleh Salfi, E. (2013). Dari hasil uji statistik yang dilakukan, ditemukan bahwa usia dan masa kerja berpengaruh terhadap fungsi pendengaran pekerja. Sedangkan intensitas bising tidak ada hubungannya terhadap fungsi pendengaran pekerja.
Hubungan keterpaparan musik diskotik dengan kemampuan pendengaran pekerja telah diteliti oleh Adnan, Z. (2001). Pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa intensitas suara rata-rata di ruang kerja intensitas tinggi telah melebihi
(34)
nilai ambang batas yang diperkenankan (>85 dB). Namun dari hasil penelitian ini tidak ditemukan adanya hubungan keterpaparan bising dengan terjadinya noise induce hearing loss (NIHL) dan kerusakan telinga binaural.
2.8 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, riwayat pekerjaan, pemeriksaan fisik dan otoskopi serta pemeriksaan penunjang untuk pendengaran seperti audiometri (Bashiruddin, 2007).
Anamnesis pernah atau sedang bekerja di lingkungan bising dalam jangka waktu yang cukup lama biasanya lima tahun atau lebih. Pada pemeriksaan otoskopi tidak dijumpai adanya kelainan. Pada pemeriksaan audiologi, tes penala didapatkan hasil rinne tes positif, weber lateralisasi ke telinga yang pendengarannya lebih baik dan tes schwabah memendek. Kesan jenis ketuliannya tuli sensorineural. Pemeriksaan audiometri nada murni didapatkan tuli sensorineural pada frekuensi antara 3000-6000 Hz dan pada frekuensi 4000 Hz sering terdapat takik (Nandi 2008; Bashiruddin 2007).
2.8.1 Penentuan ambang dengar
Persiapan
Karyawan perlu diberitahu akan rencana pemeriksaan noise dosimeter, sehingga mereka mengerti tujuan dari pemasangan noise dosimeter dan cara menempatkan alat tersebut.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terhadap penilaian ambang dengar manual antara lain (a) instruksi kepada karyawan, (b) respon terhadap arahan, dan (c) interpretasi audiologist terhadap sikap respon karyawan selama pemeriksaan.
Prosedur dasar untuk menentukan ambang dengar terdiri dari:
a) familiarisasi (membiasakan diri) terhadap signal pemeriksaan. Hal ini bertujuan untuk memastikan audiologis bahwa pasien mengerti dan
(35)
dapat merespon arahan yang diberikan dengan cara memberikan signal dengan intensitas yang cukup menimbulkan respon yang jelas. b) Penentuan ambang dengar. Prosedur standar yang direkomendasikan
pada pemeriksaan dengan menggunakan audiometri nada murni secara bertahap yang dimulai dengan signal yang tidak dapat didengar. Stimulis nada murni diberikan selama 1 – 2 detik. Ambang dengar didapat dengan menentukan bunyi nada murni yang terlemah pada frekuenasi tertentu yang masih dapat didengar oleh telinga pasien.
2.8.2 Karakteristik audiometri pada tuli akibat bising
Pada pemeriksaan audiometrik, GPAB memberikan gambaran yang khas yaitu notch (takik) berbentuk „V‟ atau „U‟ sering diawali pada frekuensi 4000 Hz, tapi kadang-kadang 6000 Hz, yang kemudian secara bertahap semakin dalam dan selanjutnya akan menyebar ke frekuensi didekatnya, dimana khasnya didapati perbaikan pada 8000 Hz. Hal inilah yang membedakannya dari prebiaskusis (HSA, 2007).
(36)
2.9 Noise Dosimeter
Gambar 2.6 Noise Dosimeter
Noise Dosimeter adalah alat yang dipakai untuk mengukur tingkat kebisingan yang dialami pekerja dengan memiliki jam, kalkulator dan memori untuk menyimpan data yang diukur dan dihitung. Jam mencatat waktu, kalkulator menghitung dosis,TWA, dan data lainnya. Dosimeter juga memiliki mikrofon, amplifier, weighting network, dan respon cepat / lambat sama seperti untuk SLM.
Prinsip kerja Noise Dosimeter adalah dengan cara mikropon diarahkan ke sumber suara, setinggi telinga, agar dapat menangkap kebisingan. Cara pemakaiannya adalah sebagai berikut:
1. Sediakan noise dosimeter yang sebelumnya telah dikalibrasi. 2. Alat dipasang dan diatur manual selama 1 jam.
(37)
3. Ketika Noise Dosimeter dihidupkan, display menunjukkan threshold, exchange rate, criteria level (LC), response, weighting dan dose secara berurutan. Parameter ini merupakan parameter perhitungan kebisingan. 4. Jika pengukur tidak hidup ketika tombol power ditekan. Periksa baterai
apakah dalam keadaan terpasang dan dalam kondisi yang baik. 5. Setelah selesai , kita tekan tombol Run maka data akan tersimpan.
2.10 Program Konservasi Pendengaran
Sesuai dengan penyebab ketulian, penderita sebaiknya dipindahkan kerjanya dari lingkungan bising. Bila tidak mungkin dipindahkan dapat dipergunakan alat pelindung telinga terhadap bising seperti sumbat telinga (earplug), tutup telinga (earmuff) dan pelindung kepala (helmet). (Bashiruddin, 2007).
Program konservasi pendengaran (PKP) adalah rangkaian kegiatan yang sistematik dan bertujuan untuk mencegah terjadinya ketulian pada pekerja yang terpapar kebisingan tinggi dalam lingkungan industri. Kebisingan yang tinggi diartikan berada pada atau diatas 85 dB dimana ditetapkan untuk pemaparan 8 jam per hari dan 40 jam per minggu. (Dir.Bina Kesehatan Kerja, Depkes RI. 2006)
Pada prinsipnya ada lima elemen pokok PKP ditambah dengan tiga pelengkap sehingga secara keseluruhan diberikan sebagai berikut:
Penilaian awal
Pemantauan pajanan kebisingan
Pengendalian kebisingan secara teknik dan administratif Pendidikan dan motivasi pekerja
Perlindungan telinga
(38)
Pencatatan dan pelaporan data Evaluasi program
2.10.1 Penilaian awal
Penilaian awal (initial review) adalah langkah pertama yang dilakukan dalam persiapan PKP di perusahaan. Langkah ini pada dasarnya adalah menginventarisasikan semua sumberdaya yang ada baik perangkat keras maupun perangkat lunak.
2.10.2 Pemantauan pajanan kebisingan
Ada beberapa jenis pajanan kebisingan yakni: Survei kebisingan dasar (basic noise survey) Survei kebisingan detail
Survei sumber kebisingan engineering
Survei kebisingan dasar dapat mengindentifikasi lokasi kerja dimana kebisingan tidak merupakan problem atau berpotensi memberikan gangguan pendengaran kepada para pekerja. Survei detail dapat menggunakan alat sound level meter (SLM). Peralatan lain yang dapat dipergunakan pada survei kebisingan adalah octave band analyzer dan noise dosimeter.
Survei kebisingan harus dapat memberikan gambaran kebisingan (noise map) pada seluruh lokasi kerja.
2.10.3 Pengendalian kebisingan
Pengendalian kebisingan dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut:
Pengendalian pada sumber bising: disain akustik, substitusi peralatan dengan kebisingan yang lebih rendah, mengganti / modifikasi proses produksi
(39)
Pengendalian pada jalur hantaran bising: mengatur jarak pekerja, menutup sumber bising
Pengendalian pada penerima (pekerja): alat pelindung telinga, membuat tempat khusus yang terlindung bising, rotasi pekerja sehingga tidak melampaui NAB dari segi waktu pemaparan, mengganti jadwal kerja karyawan
2.10.4 Pendidikan dan motivasi pekerja
Pendidikan dan motivasi pekerja merupakan kegiatan pokok yang amat penting dalam PKP. Tanpa elemen ini PKP mungkin mengalami kegagalan karena para pekerja mungkin tidak akan mengerti tentang manfaat program dan alasan mengapa mereka harus bekerjasama dengan para petugas. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dan dilakukan dalam pendidikan dan motivasi:
Pendidikan dan motivasi dilaksanakan setelah mendapatkan data pemaparan dan noise map dengan memperlihatkan risiko yang ada serta kebijakan perusahaan dalam hal tersebut.
Sebaiknya dilakukan sebelum kegiatan lain seperti pengendalian, audiometrik dan penggunaan alat pelindung telinga (APT).
Manajemen mensosialisasikan komitmen perusahaan tentang PKP dengan sistem insentif dan dis-insentifnya
Pendidikan dan motivasi bagi para penyelia dan level manajemen. Manajemen memberikan pelatihan tentang PKP pada para pelaksana
PKP.
Materi yang diberikan disesuaikan dengan perkembangan yang ada dan menggambarkan bahwa ketajaman pendengaran mempengaruhi kualitas hidup pekerja serta memiliki arti penting secara personal maupun sosial.
(40)
2.10.5 Perlindungan telinga
Salah satu upaya perlindungan telinga adalah dengan menggunakan alat yang disebut alat pelindung telinga (APT). APT adalah garis pertahanan pertama terhadap kebisingan apabila pengendalian rekayasa dan administrative tidak atau belum berhasil mengurangi intensitas kebisingan sampai taraf yang aman. APT dapat mencegah ketulian hanya bila dipakai dengan baik dan diawasi dengan baik.
Pemakaian APT hendaklah dengan pengawasan dan sangsi yang tegas dari pihak pimpinan perusahaan. Bila tidak, maka kemungkinan besar APT ini akan gagal dalam melindungi pekerja. Sebaiknya pemakaian APT bagi mereka yang diharuskan merupakan sarat mutlak pekerjaan dan kepegawaian. Hal ini lebih dikenal dengan prinsip no ear plug no work – tidak memakai APT tidak boleh bekerja.
2.10.6 Pemantauan ketajaman pendengaran
Pemantauan ketajaman pendengaran diukur dengan audiometri. Hasil pengukuran audiometri – disebut audiogram – berkaitan dengan segenap upaya PKP. Audiometri bertujuan untuk menguji ketajaman pendengaran seseorang. Apabila PKP tidak efektif maka akan banyak anggota yang mengalami penurunan ketajaman pendengaran dan mengalami akibat paparan bising.
Evaluasi audiometrik dapat memberikan informasi yang terpercaya apabila dilakukan secara tepat dengan memakai audiometer yang terkalibrasi dan diselenggarakan oleh mereka yang terlatih.
2.10.7 Pencatatan dan pelaporan
Dokumentasi yang baik dari program PKP diperlukan untuk penilaian program, inspeksi dan audit atau proses verifikasi untuk mendapatkan
(41)
kompensasi karena NIHL. Perlu diperhatikan bahwa dokumentasi ini terkait dengan semua kegiatan bukan merupakan aktifitas tersendiri.
2.10.8 Evaluasi program
Evaluasi PKP dapat dilakukan dengan dua pendekatan yakni pendekatan individual dan pendekatan program. Pendekatan individual dilakukan dengan mempelajari audiogram tahunan para peserta PKP. Bila terjadi penurunan ketajaman pendengaran maka mungkin ada kegagalan dalam implementasi program bagi individu tertentu.
Dalam evaluasi audiogram oleh dokter perusahaan atau konsultan, mungkin akan didapatkan adanya gejala ketulian (lost hearing). Bila ada gejala ketulian pada para pekerja yang menadi anggota PKP, maka dokter perusahaan atau konsultan harus mengadakan kajian lebih lanjut apakah ketulian ini berhubungan dengan pekerjaan yakni akibat kebisingan (NIHL = noise induce hearing loss)
(42)
2.11 Kerangka Teori
Diatas NAB (>85dB) Dibawah NAB (<85 dB)
((>85dB)
Auditori Non- Auditori Aman
Gangguan Fisiologi
Gangguan Psikologi Kerusakan sel
rambut luar koklea Gangguan Pendengaran Akibat Bising
Peningkatan: tekanan darah, denyut nadi, metabolisme basal, peristaltik usus, ketegangan otot
Gangguan: sulit tidur, emosional, komunikasi, konsentrasi Kebisingan
(43)
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian yang dilakukan ini adalah bersifat analitik.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di diskotik di Kota Medan. Diskotik yang menjadi lokasi penelitian adalah diskotik A dan B yang izinnya terdaftar pada Dinas Kesehatan Kota Medan.Penelitian dilakukan pada bulan Agustus sampai bulan November 2013.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1 Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pekerja di 2 diskotik yang memenuhi kriteria penelitian. Dari kedua diskotik yang diteliti jumlah pekerjanya adalah 51 orang.
Kriteria inklusi 1. Pekerja di diskotik.
2. Pada pemeriksaan THT rutin tidak dijumpai kelainan yang mempengaruhi fungsi pendengaran.
3. Bersedia diikutsertakan dalam penelitian.
Kriteria eksklusi
1. Ada riwayat sakit telinga yang mempengaruhi sistem fungsi pendengaran.
(44)
2. Ada riwayat trauma kepala, trauma akustik yang mempengaruhi fungsi pendengaran.
3. Ada riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran yang dibawa sejak lahir.
4. Ada riwayat penyakit sistemik seperti : DM, Malaria dan lain-lain, yang dapat menyebabkan tuli sensorineural.
5. Ada riwayat mendapat obat ototoksik (asam salisilat, kanamisin, dan streptomisin).
3.3.2 Sampel Penelitian
Sampel penelitian adalah total populasi yaitu sebanyak 51 pekerja.
3.4. Variabel Penelitian
Variabel penelitian terdiri dari variabel dependen yaitu gangguan pendengaran akibat bising dan variabel independen yaitu besar intensitas bising, umur, lama bekerja dan jenis kelamin.
(45)
(46)
3.6. Defenisi Operasional
1. Pekerja Diskotik adalah karyawan yang bekerja di ruang diskotik dan kontak langsung dengan musik, yaitu DJ, pelayan, petugas keamanan dan pekerja lainnya yang lokasinya di ruang diskotik.
2. Kebisingan adalah bunyi yang dihasilkan dari suatu kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang menimbulkan gangguan kesehatan manusia.
3. Besar Intensitas kebisingan adalah berdasarkan pengukuran gelombang suara dengan menggunakan alat noise dosimeter; pada penelitian ini hasil ukurnya dikategorikan atas: <100 % dan >100 %.
Berdasarkan Permen Nomor 13 Tahun 2011
Intensitas Bising (dB) Waktu paparan perhari (jam) Noise dosimetri %
85 8 100
88 8 200
91 8 400
94 8 800
Intensitas Bising (dB) Waktu paparan perhari (jam) Noise dosimetri %
94 8 800
94 4 400
94 2 200
(47)
4. Kelainan audiogram adalah berdasarkan pemeriksaan pendengaran terhadap karyawan dengan menggunakan alat audiometer merk Triveni type TAM 25 dan telah dikalibrasi, pada penelitian ini hasil ukurnya dikategorikan atas: GPAB danTidak GPAB.
5. Umur adalah periode waktu yang dimiliki seseorang setelah terjadi lahir hidup dinyatakan dalam angka tahun sampai dengan penelitian ini dilaksanakan. Pada penelitian ini dikategorikan atas: < 29 tahun dan > 29 tahun dengan mengambil dari Mean.
6. Jenis kelamin identitas pekerja sesuai biologis atau fisiknya yaitu laki-laki dan perempuan.
7. Lama bekerja adalah lamanya waktu yang digunakan untuk bekerja terhitung dari mulainya karyawan bekerja sampai pada penelitian ini dilakukan yang dinyatakan dalam satuan tahun, pada penelitian ini dikategorikan atas: <2 tahun dan >2 tahun, dengan asumsi turn of duty pada pekerja diskotik relatif cepat.
3.7 Bahan dan Alat Penelitian
1. Kuisioner penelitian. 2. Lampu kepala.
3. Spekulum telinga merk Hartmann. 4. Otoskop merk Reister.
5. Larutan Peroksida 3 % (H2O2 3%).
6. Alat penghisap (suction) merk Thomas Medipump tipe 1132 GL. 7. Kanul penghisap nomor 6 dan 8 tipe Fergusson.
8. Spekulum hidung merk Renz. 9. Spatel lidah.
10. Kaca laringoskopi dan kaca rinoskopi. 11. Pengait serumen.
(48)
12. Audiometer merk Triveni Type TAM 25 buatan Denmark
13. Sound level meter merk Krisbow type KW06-290 buatan Taiwan
14. Noise Dosimeter merk Quest type Noise pro DLX/NJXJ110029 buatan Amerika
3.8 Cara Kerja
Responden terlebih dahulu mengisi kuesioner yang telah disediakan. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisik THT dengan menggunakan lampu kepala, spekulum, spatel lidah dan otoskop. Jika terdapat serumen, dilakukan pembersihan liang telinga dengan menggunakan pengait serumen, kapas lidi, larutan peroksida 3 % dan alat penghisap. Dari hasil kuesioner dan pemeriksaan fisik THT, responden yang memenuhi kriteria inklusi diperiksa pendengarannya dengan menggunakan audiometer nada murni dengan menggunakan frekuensi 125 – 8000 Hz untuk hantaran udara dan 500 – 4000 Hz untuk hantaran tulang. Derajat ketulian ditentukan dengan mengukur nilai rata-rata ambang pendengaran pada frekuensi percakapan (500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz dan 4000 Hz) terhadap skala ISO (Bashiruddin 2008) . Untuk mengukur tingkat tekanan suara (sound pressure level) digunakan sound level metre. Sementara untuk mengukur besar intensitas kebisingan harian pekerja dilakukan dengan menggunakan personal noise dosimetre yang dapat menggambarkan akumulasi paparan suara yang diterima oleh pekerja selama 1 jam kerjanya karena hasil pengukuran SLM diskotik rata-rata diatas 94 dB.
(49)
3.9 Analisis Data
3.9.1 Analisis Univariat
Hasil penelitian dideskripsikan dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi dan analisis persentase, meliputi: umur, jenis kelamin, masa kerja, bising harian (dose) dan GPAB.
3.9.2 Analisis Bivariat
Selain menggunakan tabel silang, data bising harian (dose) terhadap GPAB yang diperoleh akan dianalisis menggunakan uji regresi pada = 0,05. Hipotesis statistik yang digunakan (H0) adalah: tidak ada hubungan antara intensitas kebisingan harian (dose) dengan gangguan pendengaran pekerja diskotik di Kota Medan.
(50)
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada dua diskotik yang terdaftar secara resmi dan mendapat izin dari Dinas Kesehatan Kota Medan, yaitu Diskotik A, dan B. Pelaksanaan penelitian dilakukan selama empat bulan mulai bulan Agustus sampai bulan November 2013. Sampel adalah pekerja pada kedua diskotik tersebut sebanyak 51 orang yang memenuhi kriteria penelitian. Karakteristik responden terlihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1 Distribusi karakteristik responden (n=51)
Variabel Jumlah Persentase
Jenis Kelamin
- Laki-laki 43 84,3
- Perempuan 8 15,7
Umur
- ≤ 29 tahun 26 51
- > 29 tahun 25 49
Unit Kerja
- Pramusaji 40 78,4
- Cleaning service 4 7,8
- Bartender 3 5,9
- Kasir 2 3,9
- DJ 1 2
- Manajer 1 2
Lama bekerja
- ≤ 2 tahun 22 43,1
- > 2 tahun 29 56,9
(51)
Tabel 4.1 menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja berjenis kelamin laki-laki (84,3%). Usia pekerja rata-rata 29 tahun. Unit kerja yang paling banyak adalah pramusaji (78,4%), disusul cleaning service (7,8%) dan bartender (5,9%), sedangkan unit kerja yang paling sedikit adalah DJ dan manajer masing-masing 1 orang. Masa kerja responden dibawah 2 tahun sebesar 56,9% dan diatas 2 tahun sebanyak 43,1%.
Dengan memakai alat noise dosimeter diukur bising harian (dose) yang dialami oleh pekerjadi di diskotik. Pekerja dibagi atas 10 kelompok (10 hari), terdiri dari 4-6 orang per harinya. Hasil rerata pengukuran bising harian (dose) disajikan pada tabel 4.2.
Tabel 4.2 Distribusi kelompok pekerja berdasarkan rerata bising harian (dose) pada Diskotik
Kelompok Rerata(dB) n %
1 385,90 5 9,8
2 340,14 4 7,8
3 288,12 5 9,8
4 1110,15 4 7,8
5 68,82 5 9,8
6 72,28 5 9,8
7 21,14 5 9,8
8 140,92 6 11,8
9 96,67 6 11,8
10 122,22 6 11,8
Total 101,39 51 100
Tabel 4.2 menunjukkan bahwa bising harian yang dialami pekerja antara 21,14% sampai 1110,15%. Bising harian yang paling tinggi yaitu pada
(52)
kelompok 4, sedangkan bising harian paling rendah pada kelompok 7. Sedangkan rerata bising harian pekerja adalah 101,39%.
Tabel 4.3 Distribusi pekerja berdasarkan hasil pengukuran audiometri Derajat Gangguan Pendengaran ISO n %
Normal 24 47,1
Ringan 11 21,6
Sedang 7 13,7
Sedang berat 4 7,8
Berat 5 9,8
Total 51 100
Tabel 4.3 menunjukkan bahwa 27 orang (52,9%) pekerja mengalami gangguan pendengaran dan 24 orang (47,1%) tidak mengalami gangguan pendengaran. Sebanyak 11 pekerja (21,6%) mengalami derajat ketulian ringan, 7 pekerja (13,7%) mengalami derajat ketulian sedang, 4 pekerja (7,8%) mengalami derajat ketulian sedang berat, dan sebanyak 5 pekerja (9,8%) mengalami derajat ketulian berat.
Tabel 4.4 Distribusi frekuensi pekerja berdasarkan keluhan tinitus Jumlah (n) Persentase (%)
Tinitus 25 49
Tidak tinitus 26 51
Total 51 100
Dari Tabel 4.4 terlihat bahwa 25 pekerja (49%) mengalami keluhan tinitus sedangkan 26 pekerja (51%) tidak mengalami keluhan tinitus.
(53)
Tabel 4.5 Distribusi pekerja menurut jenis kelamin dan gangguan pendengaran
Jenis Kelamin
Gangguan Pendengaran Total
Ada Tidak
n % n % n %
Laki-laki 24 88,9 19 39.6 43 84,3
Perempuan 3 11,1 5 78,9 8 15,7
Total 27 100 24 100 51 100
p= 0,341
Dari tabel 4.5 diketahui sebanyak 27 orang mengalami gangguan pendengaran dimana pekerja laki-laki lebih banyak yang menderita gangguan pendengaran (88,9%) dibandingkan dengan pekerja perempuan (11,1%). Namun dari uji Chi Square diperoleh hasil p = 0,341 (p > 0,05), yang berarti tidak ada hubungan bermakna antara jenis kelamin dengan gangguan pendengaran.
Tabel 4.6 Distribusi pekerja menurut umur dan gangguan pendengaran
Umur
Gangguan Pendengaran Total
Ada Tidak
n % n % n %
≤ 29 tahun 11 40,7 15 62,5 26 51
> 29 tahun 16 59,3 9 37,5 25 49
Total 27 100 24 100 51 100
p=0,121
Tabel 4.6 menunjukkan bahwa dari seluruh pekerja yang mengalami gangguan pendengaran, sebanyak 16 orang (59,3%) adalah yang berusia diatas 29 tahun sementara yang berusia ≤ 29 tahun berjumlah 11 orang (40,7%). Dari hasil uji Chi Square diperoleh hasil p = 0,121 (p > 0,05), yang
(54)
berarti tidak ada hubungan bermakna antara umur dengan gangguan pendengaran.
Tabel 4.7 Distribusi pekerja menurut masa kerja dan gangguan pendengaran
Masa kerja
Gangguan Pendengaran Total
Ada Tidak
n % n % n %
≤ 2 tahun 8 29,6 14 58.3 22 43,1
> 2 tahun 19 70,4 10 41.7 29 56,9
Total 27 100 24 100 51 100
p=0,039
Pada tabel 4.7 tersaji bahwa dari seluruh pekerja yang mengalami gangguan pendengaran, sebanyak 19 orang (70,4%) adalah yang memiliki masa kerja >2 tahun, dan yang memiliki masa kerja ≤ 2 tahun hanya 8 orang (29,6%) yang mengalami gangguan pendengaran. Selanjutnya dari uji Chi Square diperoleh hasil p = 0,039 (p < 0,05), berarti ada hubungan bermakna antara masa kerja dengan gangguan pendengaran.
Tabel 4.8 Hasil Uji Regresi antara besar intensitas kebisingan dengan gangguan pendengaran
Between Group
Mean Square 116008,929
Nilai F 605.449
Sig 0,002
r square 0,503
Untuk mengetahui hubungan antara intensitas kebisingan harian (dose) dengan gangguan pendengaran, maka ditampilkan hasilnya pada Tabel 4.8. Tabel di atas memperlihatkan bahwa terdapat hubungan antara intensitas
(55)
kebisingan dengan gangguan pendengaran yang diperlihatkan oleh nilai signifikansi (p) < 0,05 pada uji Anova between group. Oleh karena itu, pengujian dilanjutkan dengan uji regresi. Terlihat bahwa dari hasil perhitungan r square, ditemukan nilai = 0,503. Itu berarti bahwa nilai gangguan pendengaran dijelaskan 50 persennya oleh intensitas kebisingan harian (dose). Hubungan keduanya berarti cukup kuat. Modelnya terlihat pada Gambar 4.1.
Gambar 4.1. Model Hubungan antara intensitas kebisingan harian (dose) dan gangguan pendengaran
Gambaran hubungan tersebut menggunakan grafik terlihat pada gambar di atas. Kecenderungan hubungan diantara keduanya terlihat dengan jelas sehingga kemudian dapat ditarik garis linear regresi yang membentuk garis lurus.
(56)
Gambar 4.2 Hubungan intensitas kebisingan harian (Dose) dan masa kerja
(57)
Untuk mengetahui sejauh mana peran variabel lainnya, maka ketika variabel usia dan lama bekerja diperhitungkan ke dalam hubungan tersebut, maka terlihat tidak ada hubungan yang bermakna, dimana pada masing-masing variabel terlihat nilai r square menjadi negatif. Tetapi ketika ketiga hal tersebut (besar intensitas kebisingan harian , masa kerja dan umur) diuji bersamaan menggunakan uji regresi, maka hasilnya adalah sebagai berikut:
Tabel 4.9 Hasil Uji Regresi 3 Variabel Model Summaryb
Model R
R
Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate
1 .775a .601 .575 217.56371
a. Predictors: (Constant), Usia (thn), TWA dBA, Masa Kerja b. Dependent Variable: DOSE (%)
ANOVAb
Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
1 Regression 3344115.312 3 1114705.104 23.550 .000a
Residual 2224696.484 47 47333.968
Total 5568811.796 50 Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
t Sig.
95% Confidence Interval for B
B Std. Error Beta
Lower Bound
Upper Bound
1 (Constant) -1996.799 319.582 -6.248 .000 -2639.714 -1353.883
TWA dB 23.377 3.971 .592 5.887 .000 15.389 31.365
Masa Kerja 21.649 11.315 .240 1.913 .062 -1.114 44.412
Usia (thn) 6.293 6.813 .121 .924 .360 -7.414 20.000
(58)
Terlihat bahwa dengan memasukkan ketiga nilai tersebut secara bersamaan, maka nilai r square (adjusted) meningkat sedikit menjadi 57,5 persen dengan persamaan regresi menjadi signifikan (p<0,05) dengan pemodelan dimana hanya intensitas kebisingan harian (dose) yang dapat diterima menjadi model karena signifikasinya adalah 0,000. Dari sini terlihat bahwa untuk menjelaskan gangguan pendengaran pada penelitian ini yang menjadi faktor dominannya adalah intensitas kebisingan harian (dose).
Tabel 4.10 Distribusi pekerja menurut bising harian (dose) dan keluhan tinitus
Dose
Keluhan tinitus Total
Ya Tidak
n % n % n %
≤100 1 4 23 88,5 24 47,1
>100 24 96 3 11,5 27 52,9
Total 25 100 26 100 51 100
p=0,000
Tabel 4.10 menunjukkan bahwa dari seluruh pekerja yang mengalami keluhan tinitus, sebanyak 96% adalah pekerja dengan bising harian (dose) >100 %. Hanya 4% pekerja yang mengeluhkan tinitus dengan bising harian (dose) kurang dari atau sama dengan 100%. Dari hasil uji Fisher Exact Test diperoleh hasil p = 0,000 (p < 0,05), berarti ada hubungan bermakna antara intensitas bising harian (dose) dengan keluhan tinitus.
(59)
BAB 5 PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui rerata kebisingan harian yang dialami pekerja diskotik pada tempat kerjanya, yaitu diskotik A dan B yang berlokasi di Kota Medan. Dengan alat ukur noise dosimeter, ditemukan rerata bising harian (dose) yang dialami pekerja. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa rerata bising harian adalah 101,39% yang berarti diatas 85 dB.
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.13/MEN/X 2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisik dan Faktor Kimia di Tempat Kerja, bising harian di diskotik ini sudah melebihi nilai ambang batas yang diperkenankan (85 dB).
Krishnamurti (2009) dan Muyassaroh (2011) menyebutkan bahwa pajanan bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama, biasanya disebabkan oleh bising lingkungan kerja dapat menimbulkan gangguan pendengaran.
Aoife Kelly (2013) dalam penelitiannya pada pekerja bar klub malam di Leinster menyebutkan bahwa pekerja dapat terpapar bising hampir empat level melebihi dari batas legal. Aoife menemukan bahwa paparan kebisingan sehari-hari, yang diukur dengan alat noise dosimeter, para pekerja (L EX, 8h) rata-rata adalah antara 89 - 97 dB, sementara batas normal yang masih diperkenankan adalah 87 dB. Pada penelitian ini, Aoife menyebutkan bahwa paparan kebisingan lebih dari 85 dB selama 8 jam per hari dapat menyebabkan kehilangan pendengaran permanen selama beberapa tahun paparan.
Penelitian lainnya oleh Sadhira (2002) yang dilakukan pada mahasiswa yang bekerja paruh waktu (sampai 16 jam / minggu) di bar musik dan diskotik di sebuah tempat hiburan universitas (2001) memperoleh hasil bahwa tingkat paparan pribadi (dengan alat noise dosimeter) rata-rata staf keamanan dan
(60)
bar melebihi 90 dB . Puncak kebisingan tertinggi adalah 124 dB. Ditemukan bahwa musik kontemporer dapat menjadi kontributor penting terhadap paparan bising pribadi pekerja, dan ada korelasi antara bising pribadi pekerja dengan peningkatan ambang dengar sementara.
Hasil pengukuran noise dosimeter (Tabel 4.2) menunjukkan bahwa rerata kebisingan individu atau bising harian yang dialami pekerja adalah 101,39% tiap 1 jam dalam sehari. Hal ini menunjukkan bahwa setiap harinya pekerja terpapar dengan intensitas bising melebihi niali ambang batas 85 dB untuk 8 jam kerja yaitu 100%.
Dari hasil analisis terhadap gangguan pendengaran (Tabel 4.3) diperoleh hasil 24 orang (47,1%) tidak mengalami gangguan pendengaran (normal) dan 27 orang (52,9%) mengalami gangguan pendengaran. Penetapan diagnosis gangguan pendengaran dilihat dari hasil pemeriksaan audiometri (Nandi 2008). Dari 27 orang yang mengalami gangguan pendengaran, sebanyak 11 orang (21,6%) dengan derajat ketulian ringan, sebanyak 7 orang (21,6%) dengan derajat ketulian sedang, sebanyak 4 orang (7,8%) dengan derajat ketulian sedang-berat, dan 5 orang (9,8%) dengan derajat ketulian berat (Tabel 4.3)
Tinitus merupakan tanda awal dari gangguan kemampuan dengar (Walsh, 2000). Jika keluhan tinitus yang dialami pekerja tidak dilakukan penanggulangan yang baik, kemungkinan nantinya akan menjadi gangguan pendengaran akibat bising. (Adnan, 2001). Hasil analisis terhadap keluhan tinitus (Tabel 4.4) diperoleh hasil bahwa 49% pekerja mengeluhkan tinitus dan 51% pekerja tidak mengeluhkan tinitus.
Diskotik termasuk industri yang memperkerjakan pekerja dengan shift malam karena jam bukanya sore hingga keesokan paginya. Menurut Kep.224/Men/2003 tentang Kewajiban Pengusaha yang Mempekerjakan Pekerja Perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan 07.00 disebutkan bahwa Pengusaha harus: memberikan makanan dan minuman bergizi,
(61)
menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja menyediakan petugas keamanan di tempat kerja, menyediakan kamar mandi yang layak dengan penerangan yang memadai serta terpisah antara pekerja perempuan dan laki-laki, menyediakan antar jemput mulai dari tempat penjemputan ke tempat kerja dan sebaliknya, serta lokasi tempat penjemputan harus mudah dijangkau dan aman bagi pekerja perempuan.
Hal ini menjadi pertimbangan untuk memperkerjakan perempuan sebagai pekerja pada diskotik. Pada penelitian ini hanya 15,7% pekerja berjenis kelamin perempuan disebabkan bekerja malam hari dan antar jemput yang tidak tersedia sehingga merasa tidak aman.
Dari tabel 4.5 diketahui bahwa pekerja laki-laki lebih banyak yang menderita gangguan pendengaran (88,9%) dibanding pekerja perempuan (11,1%). Hal ini sesuai dengan Penelitian National Health and Nutrition yang mendapatkan kecenderungan laki-laki lebih sering menunjukkan gejala kehilangan pendengaran lebih dini dibanding perempuan, kemungkinan karena laki-laki lebih banyak melakukan aktifitas dengan tingkat kebisingan yang cukup tinggi (Daniel 2007), meski secara statistik hubungan ini tidak bermakna.
Sebagian besar pekerja berumur ≤ 29 tahun (26 orang = 51%) dengan rata-rata umur pekerja adalah 29 tahun. Usia termuda adalah 20 tahun (1 orang) dan usia tertua adalah 43 tahun (1 orang). Dari hasil pemeriksaan audiometri, usia termuda ini tidak mengalami gangguan pendengaran (normal) sementara usia tertua (43 tahun) menderita gangguan pendengaran dengan derajat ketulian sedang berat. Pada usia tua lebih rentan terhadap gangguan pendengaran akibat bising.
Dari tabel 4.6 didapatkan hasil bahwa pekerja berumur diatas 29 tahun lebih banyak yang menderita gangguan pendengaran (59,3%) dibandingkan pekerja berumur dibawah 29 tahun (40,7%). Namun dari uji Chi Square
(62)
diperoleh hasil p = 0,121 (p > 0,05), yang berarti tidak ada hubungan bermakna antara umur dengan gangguan pendengaran.
Usia pekerja diskotik yang menjadi responden penelitian ini tergolong muda. Kelompok usia muda lebih sedikit menderita gangguan pendengaran akibat bising, dibanding dengan kelompok usia tua. (Robert A.). Adnan (2001) dalam penelitiannya terhadap pekerja diskotik “X” juga menyebutkan bahwa usia pekerja masih relatif muda dan lama paparan dari bising masih relatif singkat.
Mengingat faktor usia tidak bisa dikendalikan karena usia akan terus bertambah, maka sangat penting diberikan batasan usia pensiun bagi tenaga kerja, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang menetapkan usia pensiun 59 tahun. Dengan adanya batasan usia pensiun, maka tenaga kerja yang sudah mencapai usia pensiun yang secara fisik sudah mengalami banyak penurunan, tidak lagi harus terpapar oleh kondisi lingkungan kerja yang membahayakan bagi kesehatan baik fisik maupun mental dan dapat menikmati hari tua dengan jaminan sosial yang sudah diberikan oleh perusahaan (Arini 2005).
Ada beberapa faktor risiko yang berpengaruh pada derajat parahnya ketulian pada gangguan pendengaran ialah intensitas bising, frekuensi, lama paparan perhari, lama masa kerja, kerentanan individu, umur dan jenis bising (Kujawa 2006, Ologe 2008; Carmelo, 2010).
Hasil analisis responden berdasarkan masa kerja adalah 22 orang (43,1%) mempunyai masa kerja ≤ 2 tahun, sedangkan 29 orang (56,9%) mempunyai masa kerja diatas 2 tahun. Pengelompokan masa kerja diperlukan untuk mengetahui tingkat paparan atau pengaruh lamanya paparan kebisingan yang diterima tenaga kerja. Peningkatan ambang dengar menetap dapat terjadi akibat peningkatan ambang dengar sementara yang berulang ataupun pajanan bising intensitas sangat tinggi berlangsung singkat
(63)
(eksplosif) dapat menyebabkan terjadinya gangguan pendengaran (Kujawa 2009).
Dari Tabel 4.7 ditemukan bahwa pekerja dengan masa kerja diatas 2 tahun lebih banyak yang menderita gangguan pendengaran (70,4%) dibandingkan pekerja dengan lama bekerja dibawah 2 tahun (29,6%). Selanjutnya dari uji Chi Square diperoleh hasil p = 0,039 (p < 0,05), berarti ada hubungan bermakna antara masa kerja dengan gangguan pendengaran. Hasil yang sama juga diperoleh dari penelitian yang dilakukan oleh Salfi (2012), bahwa ada hubungan antara masa kerja terhadap fungsi pendengaran karyawan yang bekerja di PLTG Medan. Juwarna (2012) yang melakukan penelitian pada karyawan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) Begerpang PT. PP. Lonsum menyebutkan bahwa masa kerja merupakan faktor risiko bagi karyawan mengalami gangguan pendengaran. Sulistyanto (2009) pada penelitiannya yang mencari hubungan antara lama kerja dengan terjadinya GPAB pada masinis kerta api di Semarang mendapatkan hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan gangguan pendengaran.
Menurut Mayer seperti yang dikutip oleh Muyassaroh (2011) menyatakan kejadian GPAB dapat terjadi setelah paparan bising lebih dari lima tahun. GPAB dapat terjadi lebih awal kemungkinan disebabkan berbagai macam faktor antara lain kerentanan subjek terhadap bising ataupun tipe kebisingan. Walaupun lama bekerja pekerja pada diskotik ini rata-rata 2 tahun, tetapi karena faktor kerentanan subjek terhadap bising, tipe kebisingan, atau faktor lainnya, terbukti bahwa ada hubungan antara intensitas bising dengan gangguan pendengaran pekerja.
Adnan (2001) dalam penelitiannya pada pekerja diskotik “X” di Kota Medan menyebutkan hasil uji regresi ganda variabel sosiodemografi (umur, jenis kelamin, status perkawinan, lama kerja, riwayat kerja sebelumnya, tempat tinggal, dan keterpaparan) dengan timbulnya keluhan tinitus
(64)
ditemukan variabel utama yang berhubungan dengan timbulnya keluhan tinitus adalah “lama kerja”.
Tabel 4.8 memperlihatkan hubungan yang amat erat antara kebisingan dengan gangguan pendengaran ini. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Chang di Taiwan yang meneliti prevalensi dan faktor risiko pekerja yang bekerja di bagian lapangan dan administrasi LPG mendapatkan hubungan yang bermakna peningkatan intensitas bising dengan kejadian GPAB (p<0,01) (Chang 2009). Dengan demikian, intensitas harian akan bertambah gangguan pendengaran.
Juwarna (2012) dalam penelitiannya terhadap karyawan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) Begerpang PT. PP. Lonsum menyebutkan bahwa intensitas bising menjadi faktor risiko bagi karyawan untuk mengalami GPAB. Karyawan yang bekerja dengan intensitas kebisingan > 85 dB risiko akan mengalami GPAB sebesar 6,67 kali dibandingkan dengan karyawan bekerja dengan intensitas kebisingan < 85 dB (RP=6,67).
Mallapiang (2008) dalam penelitiannya pada pekerja di unit produksi PT. Sermani Steel Coorporation Makasar mendapatkan adanya hubungan yang signifikan antara intensitas bising dengan pendengaan karyawan (p=0,0032). Dijumpai 71,4% karyawan yang bekerja pada tempat > 85 dB mengalami gangguan pendengaran dan 24,0% karyawan yang bekerja pada tempat ≤ 85 dB mengalami gangguan pendengaran.
Penelitian terhadap orang yang bekerja di sound system studio televisi (teknisi suara) di Brazil dibandingkan dengan kelompok kontrol mendapatkan perbedaan statistik yang signifikan (p<0,001) terhadap gangguan pendengaran yaitu 50% pada kelompok teknisi suara dan 10% pada kelompok kontrol (El Dib et.al, 2008).
Memperhitungkan variabel masa kerja dan usia juga amat penting di dalam menjelaskan masalah gangguan pendengaran pada pekerja (Tabel 4.9). Ketika variabel usia dan lama bekerja diperhitungkan ke dalam
(65)
hubungan tersebut, maka terlihat peningkatan nilai r-square yang dapat menjelaskan kejadian gangguan pendengaran. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lama bekerja dan umur pekerja hanya akan dapat berperan jika intensitas kebisingan mendominasi penjelasan terhadap gangguan pendengaran.
GPAB sering dijumpai dan memberikan dampak terhadap komunikasi dan kualitas hidup. The National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) dan Indonesia menetapkan nilai ambang batas (NAB) bising ditempat kerja sebesar 85 dB. Intensitas kebisingan dibawah nilai ambang batas yang diperkenankan yaitu < 85 dB dengan waktu pemaparan 8 jam sehari dan 40 jam seminggu sebagaimana yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.Per.13/Men/2011 adalah aman bagi pekerja dan tidak memberikan dampak terhadap gangguan pendengaran. Intensitas kebisingan > 85 dB akan memberikan dampak pada gangguan pendengaran berupa gangguan pendengaran akibat kerja (GPAB) atau penurunan pendengaran akibat kerja (occupational hearing loss) baik yang bersifat sementara atau tetap, apabila tidak dilakukan upaya-upaya pengendalian terhadap intensitas kebisingan baik pengendalian secara administratif maupun teknis (Arini 2005).
Jika dihubungkan antara bising pribadi atau bising harian yang dialami pekerja dengan adanya keluhan tinitus (tabel 4.10) diperoleh hasil bahwa pekerja dengan keluhan tinitus, sebanyak 96% adalah dengan bising harian (dose) >100 % sementara hanya 4% pekerja dengan bising harian (dose) ≤100% mengeluhkan adanya tinitus. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Kurmis (2007), dimana pada penderita gangguan pendengaran dijumpai > 20% mengeluhkan tinitus. Selanjutnya dari hasil uji Chi Square ditemukan bahwa ada hubungan bermakna antara gangguan pendengaran dengan keluhan tinitus pada pekerja diskotik.
(66)
Meskipun mampu menjelaskan mengenai gangguan pendengaran pada pekerja di diskotik, penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Keterbatasan pertama yaitu bahwa rancangan penelitian ini adalah cross sectional, oleh karena itu tidak dapat menjelaskan tentang adanya hubungan sebab akibat. Hubungan yang diteliti hanya menunjukkan adanya keterkaitan saja (assosiasi), bukan hubungan yang bersifat kausalistik. Hal ini memerlukan pendalaman lebih lanjut secara khusus dengan cara menelusuri riwayat pekerjaan para pekerja.
Keterbatasan yang kedua adalah secara teoritis, banyak faktor yang berhubungan dengan terjadinya gangguan pendengaran, tetapi karena keterbatasan peneliti, maka penelitian ini hanya menetapkan empat faktor yang dianggap berhubungan dengan terjadinya gangguan pendengaran sebagai variabel yang akan diteliti, yaitu faktor umur, jenis kelamin, masa kerja, dan bising pribadi atau bising harian.
Keterbatasan yang ketiga adalah bahwa pada penelitian ini, penetapan kategori pada faktor umur ( ≤ 29 tahun dan > 29 tahun), dan masa kerja (≤ 2 tahun dan > 2 tahun), masih berdasarkan asumsi dan keadaan di lapangan, bukan berdasarkan teori atau standar yang telah ditetapkan. Tetapi setidaknya, hal ini bisa menjadi panduan untuk penelitian-penelitian berikutnya.
Keterbatasan lain adalah bahwa penelitian ini hanya terbatas pada lokasi diskotik yang menjadi lokasi penelitian. Akan tetapi gambaran pada kedua diskotik ini mampu memberikan gambaran mengenai masalah gangguan pendengaran di tempat lainnya.
(1)
Jenis Kelamin * GPAB
Crosstab
GPAB
Total Ya Tidak
Jenis Kelamin Laki-laki Count 24 19 43 % within GPAB 88,9% 79,2% 84,3%
Perempuan Count 3 5 8
% within GPAB 11,1% 20,8% 15,7%
Total Count 27 24 51
% within GPAB 100,0% 100,0% 100,0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp, Sig, (2-sided)
Exact Sig, (2-sided)
Exact Sig, (1-sided) Pearson Chi-Square ,908a 1 ,341
Continuity Correctionb ,322 1 ,571 Likelihood Ratio ,911 1 ,340
Fisher's Exact Test ,451 ,285
Linear-by-Linear Association ,890 1 ,345 N of Valid Cases 51
a, 2 cells (50,0%) have expected count less than 5, The minimum expected count is 3,76, b, Computed only for a 2x2 table
(2)
Kelompok Masa Kerja * GPAB
Crosstab
GPAB
Total Ya Tidak
Kelompok Masa Kerja <= 2 tahun Count 8 14 22 % within GPAB 29,6% 58,3% 43,1% > 2 tahun Count 19 10 29 % within GPAB 70,4% 41,7% 56,9%
Total Count 27 24 51
% within GPAB 100,0% 100,0% 100,0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp, Sig, (2-sided)
Exact Sig, (2-sided)
Exact Sig, (1-sided) Pearson Chi-Square 4,268a 1 ,039
Continuity Correctionb 3,178 1 ,075 Likelihood Ratio 4,320 1 ,038
Fisher's Exact Test ,051 ,037
Linear-by-Linear Association 4,184 1 ,041 N of Valid Cases 51
a, 0 cells (,0%) have expected count less than 5, The minimum expected count is 10,35, b, Computed only for a 2x2 table
(3)
Kelompok DOSE (%) * GPAB
Crosstab
GPAB
Total Ya Tidak
Kelompok DOSE (%) <= 100 Count 1 23 24 % within GPAB 3,7% 95,8% 47,1%
> 100 Count 26 1 27
% within GPAB 96,3% 4,2% 52,9%
Total Count 27 24 51
% within GPAB 100,0% 100,0% 100,0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp, Sig, (2-sided)
Exact Sig, (2-sided)
Exact Sig, (1-sided) Pearson Chi-Square 43,288a 1 ,000
Continuity Correctionb 39,669 1 ,000 Likelihood Ratio 53,656 1 ,000
Fisher's Exact Test ,000 ,000
Linear-by-Linear Association 42,439 1 ,000 N of Valid Cases 51
(4)
Kelompok DOSE (%) * TINITUS
Kelompok DOSE (%) * TINITUS Crosstabulation
TINITUS
Total Ya Tidak
Kelompok DOSE (%) <= 100 Count 1 23 24 % within TINITUS 4,0% 88,5% 47,1%
> 100 Count 24 3 27
% within TINITUS 96,0% 11,5% 52,9%
Total Count 25 26 51
% within TINITUS 100,0% 100,0% 100,0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp, Sig, (2-sided)
Exact Sig, (2-sided)
Exact Sig, (1-sided) Pearson Chi-Square 36,494a 1 ,000
Continuity Correctionb 33,183 1 ,000 Likelihood Ratio 43,531 1 ,000
Fisher's Exact Test ,000 ,000
Linear-by-Linear Association 35,779 1 ,000 N of Valid Cases 51
a, 0 cells (,0%) have expected count less than 5, The minimum expected count is 11,76, b, Computed only for a 2x2 table
(5)
(6)