2.4. Tindakan
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan overt behavior. Untuk terwujudnya sikap untuk menjadi suatu perbuatan nyata
diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Di samping faktor fasilitas, juga diperlukan faktor pendukung
support dari pihak lain, misalnya orang tua, mertua, suami atau istri Notoadmodjo, 2010a.
Notoadmodjo 2010a, menggolongkan tingkat praktek sebagai berikut : a. Praktik terpimpin guided respon.
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan tuntutan atau panduan. Misalnya, seorang ibu dapat memasak sayur dengan
benar, mulai dari cara mencuci dan memotong-motongnya, lama memasak, menutup pancinya, dan sebagainya.
b. Praktik secara mekanisme mechanism. Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara
otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktek. Misalnya, seorang ibu selalu membawa anaknya ke
posyandu untuk ditimbang, tanpa harus menunggu dari kader atau petugas kesehatan.
c. Adopsi adoption suatu tindakan atau praktek yang sudah berkembang. Artinya, apa yang
dilakukan tidak sekedar rutinitas atau mekanisme saja, tetapi sudah dilakukan modifikasi yang lebih berkualitas. Misalnya menggosok gigi, bukan sekedar
gosok gigi, melainkan dengan teknik-teknik yang benar.
Universitas Sumatera Utara
2.5. Kebisingan
2.5.1. Definisi kebisingan Sebagai definisi standar, tiap bunyi yang tak diinginkan oleh penerima
dianggap sebagai bising Silaban, 2008. Sensasi bising ini ditimbulkan oleh getaran yang bersifat tidak periodik dan tidak berulang Ganong, 2008.
Sedangkan secara audiologi bising adalah campuran bunyi nada murni dengan berbagai frekuensi Bashiruddin dan Soetirto, 2007.
Berdasarkan keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. Kep 48MENLH111996 tentang baku tingkat kebisingan menyebutkan “kebisingan
adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan
kenyamanan lingkungan’’ Mulia, 2005.
2.5.2. Pengukuran tingkat kebisingan Alat yang dapat digunakan untuk mengukur kebisingan adalah : Sound
Level Meter, Octave Band Analyzer, Noise Dosimeter, Spectrum Analyzer dan Oscilloscopes. Dari sekian banyak alat, alat yang biasanya digunakan untuk
mengukur kebisingan di lingkungan kerja adalah Sound Level Meter SLM. SLM dilengkapi alat yang dapat merinci frekuensi bunyi berbeda. SLM juga dapat
mengukur gelombang suara dan dapat membedakan besar amplitudo suara dalam berbagai frekuensi. Mekanisme kerja SLM apabila ada benda bergetar, maka
akan menyebabkan terjadinya perubahan tekanan udara yang dapat ditangkap oleh alat ini, selanjutnya akan menggerakkan meter penunjuk Humess dan Bess,
2008.
2.5.3. Nilai ambang batas kebisingan Nilai Ambang Batas Kebisingan telah direkomendasi menurut ACGIH
American Conference of Governmental Industrial Hygienist dan ISO International Standard Organization sebesar 85 dBA, sedang menurut OSHA
Occupational Safety and Health Administration sebesar 90 dBA untuk waktu kerja 8 jamhari.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2. Lama Kerja yang Diperkenankan Berdasarkan Intensitas Bising dBA menurut ACGIH, OSHA dan ISO.
Lama Kerja Jam ACGIH
OSHA ISO 8
85 90 85
8 87
92 -
4
90 95 88
3 92
97 -
2 95
100 91
1 97
105 94 0,5
100 110 97
0,25
105 115 100
Ketentuan Nilai Ambang Batas Kebisingan di Indonesia yang ditetapkan dalam Kepmenaker No. 51 tahun 1999 tentang NAB Faktor Fisik. Di tempat
kerja mengadopsi berdasarkan rekomendasi ISO tabel 2.2.. NAB Kebisingan di tempat kerja sebesar 85 dBA untuk waktu kerja 8 jam per hari atau 40 jam
seminggu
Tabel 2.3. Batas pajanan bising yang diperkenankan sesuai keputusan menteri tenaga kerja 1999.
Waktu pemaparan per hari Intensitas kebisingan
dBA 8
4 2
1 Jam
85 88
91 94
30 15
7,5 3,75
1,88 0,94
Menit 97
100 103
106 109
112
28,12 14,06
7,03 3,52
1,76 Detik
115 118
121 124
127
Universitas Sumatera Utara
0,88 0,44
0,22 0,11
130 133
136 139
Catatan : tidak boleh terpapar lebih dari 140 dBA walaupun sesaat.
2.5.4. Tingkat kebisingan maksimum di kamar mesin kapal Berdasarkan aturan yang dikeluarkan oleh American Bureau of Shipping
ABS dalam ABS Guide For American Bureau of Shipping – Guide for Passenger Comfort on Ships tentang tingkat kebisingan maksimum yang diijinkan
dalam ruangan kamar mesin adalah sebagai berikut : Tabel 2.4. Tingkat kebisingan maksimum di kamar mesin menurut ABS
Ruangan Intensitas Kebisingan dB
Kamar mesin dengan ABK berada terus menerus di dalam kamar mesin
100 Kamar mesin dengan ABK yang tidak terus
menerus berada di dalam kamar mesin 110
Workshop ruang yang biasa digunakan untuk perbaikan, alat-alat bengkel
100 Ruang control ruangan yang digunakan
untuk mengontrol ruangan lain, permesinan 100
Ruang kipas ruangan yang terdapat kipas untuk ventilasi udara
100 Yudo dan Jokosisworo, 2006
2.5.5. Jenis kebisingan Berdasarkan sifat dan spektrum frekuensi bunyi, maka Silaban 2008
membagi bising atas : a. Bising yang kontinyu dengan spektrum frekuensi yang luas. Bising ini relatif
tetap dalam batas kurang lebih 5 dB untuk periode 0.5 detik berturut-turut. Misalnya mesin, kipas angin, dapur pijar.
Universitas Sumatera Utara
b. Bising yang kontinyu dengan spektrum frekuensi yang sempit. Bising ini juga relatif tetap, akan tetapi ia hanya mempunyai frekuensi tertentu saja pada
frekuensi 500, 1000, dan 4000 Hz. Misalnya gergaji serkuler, katup gas. c. Bising terputus-putus Intermitten . Bising disini tidak terjadi secara terus
menerus, melainkan ada periode relatif tenang. Misalnya suara lalu lintas, kebisingan di lapangan terbang.
d. Bising Implusif. Bising jenis ini memiliki perubahan tekanan suara melebihi 40 dB dalam waktu sangat cepat dan biasanya mengejutkan pendengarnya.
Misalnya tembakan, suara ledakan mercon, meriam. e. Bising Implusif berulang. Sama dengan bising implusif hanya saja disini
terjadi secara berulang-ulang. Misalnya mesin tempa.
2.5.6. Pengaruh bising terhadap tenaga kerja Bising menyebabkan berbagai gangguan terhadap tenaga kerja, seperti
gangguan fisiologis, ganguan psikologis, gangguan komunikasi dan ketulian atau ada yang menggolongkan gangguannya berupa gangguan auditory, misalnya
gangguan terhadap pendengaran dan gangguan non auditory seperti komunikasi terganggu, ancaman bahaya keselamatan, menurunnya performance kerja,
kelelahan dan stres Buchari, 2007. Hearing loss berkurangnya kemampuan pendengaran merupakan
epidemi yang hening the silent epidemic pada tenaga kerja karena kejadian ini tidak ada sakit dan tidak dapat dilihat Silaban, 2007.
Silaban 2007 membagi efek kebisingan berdasarkan kemampuan untuk dapat diukur atau tidak dapat dibedakan atas:
a. Quantifiable effects efek bising dapat diukur, yaitu Temporary Threshold ShiftTTS; Permanent Threshold ShiftPTS; Noise-Induced Hearing
LossNIHL . b. Non-quantifiable effects efek bising yang tidak dapat diukur, seperti:
tinnitus, vertigo, loudness recruitment, masking.
Universitas Sumatera Utara
Diantara sekian banyak gangguan yang ditimbulkan oleh bising, gangguan terhadap pendengaran adalah gangguan yang paling serius karena dapat
menyebabkan hilangnya pendengaran atau ketulian. Ketulian ini dapat bersifat permanen atau awalnya bersifat sementara tapi bila bekerja terus-menerus
ditempat bising tersebut maka daya dengar akan menghilang secara menetap atau tuli Bashiruddin, 2009.
Buchari 2007 mengklasifikasikan manifestasi klinis akibat dari kebisingan yang dikelompokkan atas dua tipe yaitu badaniah dan fisiologis.
Tabel 2.5. Jenis-jenis gangguan akibat-akibat kebisingan Buchari 2007. Tipe
Uraian
Akibat- akibat
Badaniah Kehilangan
Pendengaran Perubahan ambang batas sementara akibat
kebisingan, perubahan ambang batas permanen Akibat-akibat
Fisiologis Rasa tidak nyaman atau stres meningkat,
tekanan darah meningkat, sakit kepala, bunyi berdenging
Akibat- akibat
Fisiologis Gangguan
Emosional Kejengkelan, kebingungan
Gangguan Gaya Hidup
Gangguan tidur atau istirahat, hilang konsentrasi waktu bekerja, membaca dsb
2.6. Gangguan Pendengaran Akibat Bising