Pengaturan Franchise Waralaba secara Internasional

Asas ini penting terutama dalam perjanjian franchise yang bersifat internasional, karena dalam perjanjian franchise internasional pihak-pihak yang terlibat terdiri dari subjek-subjek hukum yang berlainan baik negara, kewarganegaraan maupun geografis. 6. Asas Kebebasan Berkontrak Pasal 1338 KUH Perdata menyatakan bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Menurut Mariam Darus Badrulzaman 104 , semua mengandung arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang namanya dikenal maupun yang tidak dikenal oleh Undang-Undang. Perjanjian franchise merupakan perjanjian yang namanya tidak dikenal oleh Undang-Undang namun diatur sesuai Pasal 1338 KUH Perdata .

B. Pengaturan Franchise Waralaba secara Internasional

Bisnis waralaba di Eropa terdapat pengaturan yang dimuat dalam European Code Of Ethics For Franchising. 105 Pengaturan ini berlaku sebagai kode etik dan dijunjung tinggi dalam membina hubungan franchise di negara-negara Eropa dan negara lainnya yang menundukkan diri terhadap pengaturan ini. Secara garis besar isi dari pengaturan franchise ini memuat hal-hal mengenai: definition of franchising, guiding principles, recruitments, advertising and disclosure, selection of individual franchisees, the franchise agreement, the code of ethics and the master franchise system. 104 Ibid., hal. 109-110. 105 Lihat European Code Of Ethics For Franchising, 1992. Universitas Sumatera Utara Hal yang patut mendapat perhatuan dari pengaturan franchise ini yakni dimuatnya hal-hal yang menjadi syarat minimum yang harus ada dalam suatu perjanjian franchise. Syarat-syarat minimum yang harus ada, sebagai berikut: 106 1 The rights granted to the franchisor; 2 The rights granted to the individual franchisee; 3 The goods andor service to be provided to the individual franchisee; 4 The obligations of franchisor; 5 The obligations of individual franchisee; 6 The duration of agreement which should be long enough to allow individual franchisees to amortize their initial investments specific to the franchise; 7 The basis for any renewal of the agreement; 8 The term upon which the individual franchisee may seel of transfer the franchised business and the franchisor’s possible preemption rights in this respect; 9 Provisions relevant to the use by the individual franchisee of the franchisor’s distinctive signs, trade name, trade mark, service mark, store sign, logo, or other distinguishing identification; 10 The franchisor’s right to adapt the franchise system to new or change methods; 11 Provisions for termination pf the agreement; 12 Provisions for surrendering promptly upon termination of the franchise agreement any tangible and intangible property belonging to franchisor or other owner thereof. 106 Ibid Universitas Sumatera Utara Pencantuman syarat minimum yang harus tercantum dalam suatu perjanjian franchise tentu saja akan memberikan perlindungan bagi kedua belah pihak yang terikat dalam perjanjian itu, dan akan memperkecil kemungkinan bagi salah satu pihak untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya akibat perjanjian yang tidak seimbang dan tidak adil. Franchise merupakan suatu bidang usaha yang tergolong masih baru berkembang di Indonesia, pada tahun-tahun terakhir ini menunjukkan angka perkembangan yang sangat pesat. Kemajuan bisnis dengan menggunakan pola bisnis franchise ini harus diimbangi dengan pengaturan hukum yang baik, Sunaryati Hartono berpendapat bahwa: 107 “… penegakan asas-asas hukum yang sesuai akan memperlancar terbentuknya struktur ekonomi yang dikehendaki. Tetapi sebaliknya penegakkan asas-asas hukum yang tidak sesuai justru akan menghambat terciptanya struktur ekonomi yang dicita-citakan.” Jadi perkembangan di bidang ekonomi yang tidak dibarengi dengan perkembangan pembangunan hukum akan menghambat pembangunan struktur ekonomi yang dicita- citakan. Franchise sebagai salah satu pola bisnis yang berkembang dan menunjang kemajuan perekonomian Indonesia baru akan tercapai apabila dibarengi oleh kemajuan pembangunan hukum. Karena itu, pembangunan hukum di Indonesia harus memperhatikan kepentingan masyarakat Indonesia dengan tanpa mengabaikan kedudukan Indonesia sebagai bagian dari dunia internasional. Manusia dilahirkan sebagai makhluk sosial dalam arti sejak ia dilahirkan saling membutuhkan satu sama lain atau tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan dan berhubungan dengan manusia lainnya. Begitu pula dengan negara di dalam rangka memenuhi 107 Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Bandung : Bina Cipta, 1982, hal. 6-7. Universitas Sumatera Utara kebutuhannya harus mengadakan hubungan dengan negara lain. Indonesia di dalam pergaulan dunia perdagangan internasional negara-negara harus mampu untuk saling menciptakan suatu konsep yang dapat menjadi acuan bagi jaringan kegiatan perdagangan internasional tersebut. Hal tersebut telah diupayakan pembentukannya melalui organisasi atau badan internasional pengendali perdagangan internasional, yang menunjukkan hasil dengan terbentuknya World Trade Organization WTO. WTO merupakan organisasi perdagangan internasional. Pembentukan WTO didasari oleh General Agreement on Tariffs and Trade GATT yaitu persetujuan internasional multilateral mengenai tarif dan perdagangan yang disahkan pada tahun 1947. 108 WTO merupakan forum bagi negara-negara anggota untuk saling berinteraksi mengenai perdagangan internasional, termasuk di dalamnya perdagangan sektor jasa, investasi dalam pengembangan usaha franchise dan saham serta hak-hak milik intelektual yang berkaitan dengan perdagangan dengan sistem franchise. Selain itu berfungsi pula sebagai forum penyelesaian sengketa perdagangan internasional yang terjadi antara negara anggota, misalnya sengketa dalam franchise internasional. Kawasan perdagangan bebas sebagai wujud liberalisasi perdagangan menurut WTO, bagi negara berkembang seperti Indonesia baru akan diwujudkan pada tahun 2020. Liberalisasi perdagangan tingkat regional untuk kawasan ASEAN dan Asia Psifik sudah mulai dipersiapkan dengan disepakatinya ASEAN Free Trade Area AFTA dan Asia- Pacific Economic Cooperation APEC. 108 Huala Adolf, dan kawan-kawan, Masalah-Masalah Hukum Dalam Perdagangan Internasional, Jakarta : Rajagrafindo Persada, 1995, hal. 79. Universitas Sumatera Utara AFTA atau kawasan perdagangan bebas ASEAN, bertujuan untuk mewujudkan liberlaisasi perdagangan dan investasi di kawasan Asia Tenggara yang harus diwujudkan pada tahun 2003. Sedangkan tujuan jangka panjang APEC adalah menciptakan perdagangan dan investasi yang bebas dan terbuka di kawasan Asia Pasifik, yang pelaksanaannya dibagi dalam dua tahap yaitu tahun 2010 untuk negara-negara industri serta tahun 2020 untuk negara-negara berkembang. Sebagai salah satu negara anggota AFTA, APEC, dan WTO, maka sudah dipastikan bahwa Indonesia terikat untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh ketiga organisasi internasional tersebut, terlebih lagi karena Indonesia telah menyatakan kesiapannya sebagai anggota WTO berdasarkan Undang-Undang No. 7 tahun 1994 tentang Ratifikasi Agreement on Establishing the World Trade Organization Hal ini merupakan tantangan baru bagi Indonesia, karena baik secara langsung maupun tidak langsung, keadaan ini pasti akan mempengaruhi sistem perekonomian di Indonesia. Sistem perekonomian di Indonesia secara utuh termasuk di dalamnya perangkat hukum yang mengatur mekanisme perekonomian di Indonesia harus dipersiapkan untuk mengantisipasi perkembangan ini. Ketidaksiapan menghadapi kondisi sebagai akibat perkembangan nampak sangat nyata dalam lingkungan bisnis. Gambaran situasi tersebut dapat dilihat dari berbagai perkembangan dalam praktek bisnis dimana berbagai konsep bisnis yang baru bermunculan seperti franchise, joint venture, Leasing, serta berbagai bentuk aktifitas bisnis lainnya. 109 109 Ibid. Universitas Sumatera Utara Hingga saat ini kerangka hukum formal yang terpenting yakni hukum perjanjian atau hukum kontrak belum terbentuk sehingga aktifitas bisnis yang menyangkut hal, didasarkan hanya kepada KUH Perdata serta KUH Dagang. KUH Perdata merupakan produk hukum peninggalan jaman kolonial Belanda yang tentu saja isinya memiliki nilai dan pandangan yang berbeda dengan situasi masyarakat Indonesia sekarang ini. Selain itu, berkembangnya perekonomian global telah mengakibatkan KUH Perdata semakin tidak dapat mengimbangi aktifitas bisnis yang terjadi di dalam prakteknya. B. Hal-Hal Yang Menjadi Pelaksanaan dan Pengecualian Terhadap Penerapan Undang- Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan “pengecualian” adalah penyimpangan dari kaidah tidak mengikuti kaidah, tetapi dibenarkan. Sedangkan dalam Black Law Dictionary, pengecualian atau exception diartikan sebagai : “Act of exception or excluding from a number designated or from a description ; that which is excepted or separated from others in a general rule or description ; a person, thing, or case specified as distict or not included ; an act of excepting, omitting from mention or leaving out of consideration. Dari pengertian ini jelaslah bahwa, pada dasarnya pengecualian itu adalah suatu perbuatan yang menyimpang dari aturan hukum yang berlaku, tetapi dibenarkan, atau perbuatan yang secara tegas tidak diklassifikasikan sebagai suatu pelanggaran dalam aturan hukum tertentu. 110 110 Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Jakarta, Prenada Media Group, 2008, hal. 90. Universitas Sumatera Utara Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 50 Huruf b tentang Pengecualian Penerapan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 terhadap Perjanjian yang Berkaitan dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual terdapat di dalam Peraturan komisi pengawas persaingan usaha Republik Indonesia No. 2 Tahun 2009 tentang pedoman pengecualian penerapan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat terhadap perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual komisi pengawas persaingan usaha. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, hal-hal yang menjadi Pelaksanaan dan Pengecualian terhadap Penerapan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 50 huruf b berbunyi sebagai berikut : “dikecualikan dari ketentuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 : b. “perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba”. Dalam dasawarsa terakhir, seiring dengan perdagangan bebas dan globalisasi informasi dan komunikasi, tak pelak lagi keberadaan sistem hukum Hak Kekayaan Intelektual selanjutnya disebut “HKI” yang berkaitan erat dengan perkembangan teknologi dan pertumbuhan industri dan kelancaran perdagangan dunia merupakan suatu permasalahan yang teramat penting yang eksitensinya telah diakui secara global. Jaminan terhadap hal ini menjadi isu penting dalam rangka menarik investasi asing ke Indonesia. Sebagaimana diketahui, HKI didapatkan sebagai bentuk penghargaan pada dan atau atas uang, waktu, tenaga yang telah diinvestasikannya. Hal ini sangat penting untuk memberikan insentif bagi mereka untuk terus berkarya. Universitas Sumatera Utara Pada sisi lain, pasca reformasi sistem perekonomian Indonesia juga diharapkan untuk lebih memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengembangkan usaha dan berperan serta dalam pembangunan ekonomi nasional yang berujung pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sangatlah diharapkan pelaku usaha domestik dapat memperoleh bagian perekonomian yang lebih besar ketimbang asing demikian pula halnya dengan para pelaku usaha kecil dan menengah dapat diberikan kesempatan yang sama untuk berkompetisi secara dengan pelaku usaha besar. Penataan pasar untuk membuka kesempatan yang seluas-luas demi kesejahteraan rakyat, yang dalam praktiknya adalah terbukanya pasar bagi para pendatang baru , adalah salah satu alasan mengapa diperlukannya sistem hukum untuk melarang praktek monopoli dan persaingan usaha yang sehat agar para pelaku lama tidak mematikan persaingan di pasar selanjutnya disebut hukum persaingan. Hal ini mendorong dibentuknya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang sering disebut sebagai Undang-Undang persaingan usaha Indonesia Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Sepintas mungkin terlihat bahwa keberadaan konsepsi HKI dengan Hukum Persaingan sepertinya berposisi diametris atau seakan-akan saling bertentangan saling beroposisi satu sama lain. Padahal meskipun kedua domain hukum tersebut sekilas saling beririsan, namun sebenarnya keduanya bersifat komplementer atau saling mengisi untuk keharmonisan sistem hukum itu sendiri yakni untuk meningkatkan efisiensi dan memajukan sistem perekonomian.

1. Latar Belakang

Dokumen yang terkait

Hubungan Induk Perusahaan Dan Anak Perusahaan Dalam Kaitannya Dengan Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Di Indonesia Menurut Uu No. 5 Tahun 1999

5 100 133

Pengecualian Praktek Monopoli Yang Dilakukan Oleh Bumn Menurut Pasal 51 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999

10 104 80

Perjanjian Pelaku Usaha Dengan Pihak Luar Negeri yang Bertentang Dengan Undang-Undang nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Prektik Monopoli Persaingan Usaha Tidak Sehat

2 69 130

Perjanjian Kartel Industri Minyak Goreng Sawit di Indonesia Sebagai Pelanggaran Undang-Undang No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Studi Putusan KPPU Nomor 24/KPPU-I/2009)

3 59 116

Peranan Notaris Dalam Persekongkolan Tender Barang/Jasa Pemerintah Terkait Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

6 47 130

Analisis Terhadap Pengecualian Penerapan Undang-Undang No. 5 TAHUN 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Terhadap Perjanjian Yang Berkaitan Dengan Waralaba (Studi terhadap Perjanjian Kerjasama Yayasan Pendidikan Oxford

0 72 150

Sertifikasi & Akreditasi Oleh Asosiasi Dalam Perspektif Uu No. 5/1999 (Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat)

0 25 21

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Hubungan Induk Perusahaan Dan Anak Perusahaan Dalam Kaitannya Dengan Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Di Indonesia Menurut Uu No. 5 Tahun 1999

0 0 18

Hubungan Induk Perusahaan Dan Anak Perusahaan Dalam Kaitannya Dengan Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Di Indonesia Menurut Uu No. 5 Tahun 1999

0 0 11

Tinjauan Yuridis Terhadap Divestasi Kapal Tanker VLCC PT.Pertamina Menurut UU No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

0 1 160