BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Keppres No. 89 tahun 2000 dan Tap MPR No. VI dan VII tahun 2000, secara resmi melepaskan institusi POLRI dan TNI. POLRI kembali menjadi
institusi kepolisian sesungguhnya sebagai penjaga keamanan dan pengayom masyarakat. Bukan bagian dari alat pertahanan kekuasaan teritorial seperti TNI.
Dengan format baru kepolisian seharusnya dirancang untuk memberikan perlakuan dan pelayanan yang sama kepada semua orang, menerapkan
keterbukaan dan keadilan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Kemandirian polri sejak terpisahnya dari TNI sabagai bagian dari proses
reformasi. Di era reformasi penyelenggaraan Negara menganut paradigma baru menuju masyarakat madani yang menjunjung tinggi: Supremasi hukum,
Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, Transparansi, dan Akuntabilitas. Kesemuanya itu haruslah dipandang dan disikapi secara arif sebagai tahapan untuk
mewujudkan polri sebagai abdi Negara yang profesional dan dekat dengan masyarakat, menuju perubahan tata kehidupan nasional kearah masyarakat madani
yang demokratis, aman, tertib adil dan sejahtera. Kemandirian polri yang dimaksud bukanlah untuk menjadikan institusi
yang tertutup dan berjalan serta bekerja sendiri namun tetap dalam kerangka ketatanegaraan dan pemerintahan Negara kesatuan Republik Indonesia yang utuh
termasuk dalam hal penegak hukum, pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Pada hakekatnya fungsi setiap Polisi dimanapun di dunia ini sebenarnya ada tiga yaitu, legalitas, keadilan, dan ketertiban. Kepolisian tidak boleh bertindak
sewenang-wenang apalagi anti demokrasi, karena mereka dituntut untuk tanggap terhadap pendapat umum dan turut bertanggungjawab dalam mewujudkan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis. Namun sangat disayangkan semangat perubahan menjadi lebih baik dari Polri sebagai
institusi belum dibuktikan dengan tindakan konkrit dan konsekuen. Sebagai institusi penegak hukum, pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, instansi
dan aparat kepolisian justru sering menampilkan citra semakin buruk di masyarakat.
Fakta kinerja dan sistem kerja dalam tubuh kepolisian yang masih bersifat hirarkis dan otoriter, konsepsi mengenai loyalitas yang sempit di mana laporan
terhadap atasan bersifat “ABS” Asal Bapak Senang, serta penolakan terhadap nilai-nilai demokrasi kritik dianggap sebagai pembakangan, masih kuat dalam
tubuh kepolisian. Dengan melihat struktur birokrasi dan kultur Polri, pemahaman mengenai penyimpangan kinerja maupun korupsi di tubuh kepolisian Indonesia
sebagai lembaga pelayan publik dapat dilihat secara komprehensif. Pola dan perilaku korupsi dalam tubuh kepolisian dapat dianalisa dari proses pelayanan
kinerja Polri dalam penyediaan surat-surat penting yang dibutuhkan masyarakat antara lain STNK, SIM, dan pelayanan masyarakat yanmas. Hal ini sejalan
dengan aktifitas Polri dalam konteks pelayanan yang terfokus pada ketiga aktifitas tersebut.
SIM dibuat atau diterbitkan sebagai upaya kepolisian untuk mengatur lalu lintas di jalan raya. Dengan melakukan “seleksi” terhadap kepemilikan SIM. SIM
Universitas Sumatera Utara
C dibuat atau diterbitkan untuk pengguna kenderaan khusus roda dua atau sepeda motor, diharapkan pengguna kenderaan khususnya sepeda motor memiliki
kemampuan dan pemahaman yang cukup sehingga tidak membahayakan orang lain ketika mengemudi. Kepentingan masyarakat untuk berkendara dan kewajiban
polisi untuk menjaga ketertiban, membuat polisi harus menyediakan sebuah mekanisme pelayanan bagi masyarakat yang memerlukan SIM C.
Untuk wilayah Kota Tebing tinggi pelayanan proses pembuatan SIM dijalankan oleh POLRESTA Tebing tinggi secara terpusat di Satlantas polresta
Tebing tinggi di Jl. Langsat, Kecamatan Padang Hilir Kota Tebing tinggi. Aktivitas pelayanan SIM yang dilakukan Polri di berbagai daerah mengalami
pasang surut terhadap garis kerja yang telah ada. Pada waktu tertentu ketika diberlakukan aturan resmi efektifitas pelayanan pembuatan SIM berjalan sesuai
aturan, di waktu lain pada saat tidak ada kebijakan ketat memberlakukan aturan resmi, proses pelayanan berjalan dengan semrawut dan kental dengan per-calo-an.
Dalam Media Indonesia, 15 November 2006, terungkap adanya aktifitas calo dalam pembuatan SIM. Harga pembuatan SIM melambung jauh dari harga
resmi akibat ketidaktahuan masyarakat. Misalnya rela mengeluarkan uang lebih dari ketentuan resmi, karena ia tidak tahu prosedur dan biaya resmi pembuatan
SIM. Ketidaktahuan ini, bisa karena keacuhan bisa juga karena informasi mengenai prosedur dan ketentuan itu tidak diinformasikan secara memadai kepada
publik. Pertayaan sikap digunakan untuk mengetahui apakah berbagai aturan dan praktek pembuatan SIM masih dianggap wajar atau tidak oleh masyarakat.
Berdasarkan data empiris yang ditemukan dan didengar serta dibaca oleh peneliti masalah lain yaitu yang terjadi di Propinsi Sumatera Utara. Biaya
Universitas Sumatera Utara
pengurusan SIM di Polda Sumut “mencekik leher”. Secara admistratif, seharusnya biaya hanya Rp 52.500 per lembar SIM A atau B, kenyataanya mencapai Rp
170.000 samapai Rp. 300.000. Hal itu bisa terjadi karena adanya biaya tambahan yang harus dikeluarkan di luar ketentuan oleh pengurus SIM. Misalnya, “biaya
komando” Rp 75.000, Kasat Lantas Rp. 50.000, uang pendaftaran Rp. 10.000, uang buku petunjuk Rp 10.000, biaya praktik Rp 10.000, uang tes psikologi Rp.
5.000, uang tebus psikologi Rp. 25.000, uang gesek nomor rangka kenderaan Rp. 10.000 dan asuransi Rp. 5.000. Peryataan tersebut dikemukakan pengemudi dan
pengusaha angkutan dari Medan dan Binjai yang tergabung dalam Himpunan Profesi pengemudi Indonesia. Menurut wakil organisasi membengkaknya biaya
pengurusan karena adanya permainan sindikasi antara pihak ketiga dengan oknum-oknum jajaran Polda Sumut. Hal ini diperkuat oleh Ketua dan Wakil ketua
Komisi IV DPRD. Kompas 13 April 2006 Dengan Judul : Biaya pengurusan SIM di Polda Sumut “mencekik leher”
Beragamnya kasus penyimpangan aktivitas pelayanan pembuatan SIM di berbagai daerah tersebut menunjukkan bahwa penyimpangan pembuatan SIM
dalam tubuh kepolisian sudah sangat kronis dan sistematis. Disisi lain masyarakat pada umumnya tidak tahu informasi sesungguhnya berapa biaya yang harus
dikeluarkan untuk pembuatan SIM. Penyebab ketidaktahuan ini adalah : masyarakat memang tidak tahu ketentuan pembuatan SIM, atau masyarakat tahu
tetapi tidak berdaya, tidak memiliki keberanian untuk mempertayakan. Fatalnya ketidaktahuan ini dimanfaatkan oleh pihak kepolisian sebagai pemegang otoritas
dalam pelayanan pembuatan SIM untuk berkecenderungan memaksimalkan keuntungan.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan diatas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dan menuangkannya dalam bentuk skripsi
dengan judul “Persepsi Masyarakat Dalam Pelayanan Pembuatan SIM C” Studi pada kantor Satlantas Polresta Tebing tinggi Kota Tebing tinggi
1.2 Perumusan Masalah