Generasi Pertama
a. Generasi Pertama
Al-Muayyad dirintis tahun 1930 oleh Simbah K.H. Abdul Mannan di atas tanah seluas 3.500 m yang dijariyahkan oleh K.H. Ahmad Shofawi di kampung Mangkuyudan, kelurahan Purwosari, kecamatan Laweyan kotamadya Surakarta. Semula merupakan pondok pesantren dengan corak tasawuf. Titik beratnya melatih para santri dengan perilaku keagamaan. Pengajian yang diselenggarakan berkisar pada akhlak. Mulai dari generasi pertama, Pondok Al-Muayyad sudah menekankan pada pembentukan budi pekerti santri melalui kegiatan yang berkisar pada akhlak dan ilmu agama.
Cita-cita untuk menyebarluaskan agama Islam sudah tertanam sejak Simbah K.H. Abdul Mannan masih nyantri pada Kyai Amad di Kadirejo, Karanganom, Klaten bersama K.H. Ahmad Shofawi. Nama kecil Simbah K.H. Abdul Mannan adalah Tarlim, sebagaimana diberikan oleh ayahandanya, Kiai Chasan Hadi, yang seorang demang di Glesungrejo, Baturetno, Wonogiri. Setelah diterima nyantri di Kadirejo, nama Tarlim diganti menjadi Buchori oleh Kyai Ahmad. Pada tahun 1926, Buchori menunaikan ibadah haji dan berganti nama menjadi Abdul Manan.
Wonogiri menempuh jarak tak kurang dari 108 km menuju Kadirejo, Karanganom, Klaten. Setibanya di pondok, Tarlim dihadang oleh Kyai Ahmad di gerbang dan langsung ditempatkan di bekas kandang ayam. Lewat tiga hari.baru dipanggil Kyai untuk diminta kejelasan maksud kedatangannya. Karena untuk nyantri, sang Kyai memberikan syarat agar Tarlim membangun sumur, bak mandi, dan kamar mandi sendirian tanpa bantuan seorangpun. Tugas mulia, tetapi sangat berat itu diselesaikannya dalam waktu 18 bulan. Setelah semua selesai, baru diizinkan mengikuti pengajian Kiai Ahmad.
Selama nyantri, Tarlim yang menjadi Buchori selalu mengisi bak mandi Kyai yang dibangunnya sendiri. Tiap dini hari sebelum subuh, bak mandi diisi penuh, perlahan-lahan, tanpa suara, tanpa sepengetahuan orang lain. Bak yang sudah penuh tetap diisi sampai airnya menyebar sebagaimana air yang tumpah dari bak, memberikan manfaat yang menyejukkan kepada sesama. Di pondok itulah tumbuh persahabatan antara beliau dengan K.H. Ahmad Shofawi, Kyai Ahmad Shofawi merupakan santri putra hartawan sholeh. Keduanya memiliki cita-cita tinggi. Dan keduanya juga dikenal
(cermat dan hati-hati riyadlah (prihatin demi cita-cita luhur) serta taat kepada guru dan kiai. Buchori remaja bercita-cita menjadi hafidzul ilmu agama Islam ke masyarakat. Idaman menjadi penghafal Al Quran tidak bisa terwujud. Hal ini disyaratkan oleh Kyai Ahmad saat menenangkan Buchori yang menangis mengikuti semaan Al- berusia 11 tahun. Namun Kyai Ahmad mengisyaratkan bahwa Buchori tidak mampu menjadi hafidzul
hafidzah, lima di antaranya ketika beliau masih hidup. Sementara K.H. Ahmad Shofawi memiliki tiga cita-cita yaitu berkediaman di dekat (mangku) masjid, menunaikan ibadah haji dengan kapal berbendera Islam, dan memiliki anak-anak yang mangku (mengasuh) pondok pesantren. Ketiga cita-cita itu tercapai bahkan beliau mampu mendirikan atau membangun Masjid Tegalsari di kampung
1928. Masjid Tegalsari dibangun dengan arsitektur dan bahan lain yang amat tinggi nilainya. Arsitek masjid tersebut adalah K.H.R. Prof. Mohamad Adnan yang juga pendiri PTAIN yang kini menjadi IAIN Kartosuro.
K.H. Ahmad Shofawi menunaikan ibadah haji dengan kapal yang dicarter oleh Pakistan, dan berbendera Islam. Cita- cita ketiganya pun tercapai yaitu putra beliau, K.H. Abdul Rozaq Shofawi menjadi pengasuh Pondok Pesantren Al- Muayyad. Putra beliau menggantikan pamannya K.H. Ahmad Umar Abdul Mannan yang wafat tahun 1980 dibantu oleh kedua adik beliau, K.H. Abdul
Nyai H. Siti Maimunah Baidlowi, mendampingi suaminya mengasuh Pondok Pesantren Sirojuth Tholibin di Brabo, Tanggungharjo, Grobogan.
Dalam generasi pertama ini, ilmu-ilmu agama yang dikaji masih tingkat dasar dan belum teratur karena para santrinya masih terbatas pada kerabat dekat
ini para kyai membantu mengasuh Pondok Al-Muayyad antara lain Kyai Dasuki,
Damanhuri seorang pengelana dari Cilacap. Kyai Damanhuri inilah yang memberikan isyarat, saat K.H. Ahmad Umar Abdul Mannan masih nyantri di pondok-pondok pesantren bahwa kelak Mangkuyudan akan menjadi pesantren besar. Hanya tujuh tahun Simbah K.H. Abdul Mannan memimpin pesantren, sebab tahun 1937 kepemimpinan pesantren diserahkan kepada putranya, K.H. Ahmad Umar Abdul Mannan.