Latar Belakang Penelitian PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Perusahaan dalam menjalankan usahanya sering dihadapkan pada kebutuhan dana, baik untuk keperluan modal usaha maupun untuk perluasan usahanya. Dalam memilih dana yang akan ditarik, perusahaan selain harus memperhatikan jangka waktu penggunaan dana, juga harus memperhatikan aspek biaya yang harus dikeluarkan untuk menarik dana tersebut. Oleh karena itu, pembentukan struktur modal perusahaan menjadi salah satu aspek penting didalam perusahaan, khususnya didalam pendanaan jangka panjang perusahaan Ada berbagai sumber bagi perusahaan untuk memperoleh dana yang dapat digunakan untuk memperluas usahanya. Sebuah perusahaan dapat memperoleh dana dari sumber intern dan ekstern perusahaan, proporsi penggunaan dari kedua alternatif dana tersebut ditentukan oleh teori apa yang digunakan perusahaan, apakah lebih berdasar pada hierarki dari pendanaan yang bersumber pada laba, hutang, sampai pada saham yang dimulai dengan biaya termurah sesuai dengan Pecking Order Theory, ataukah didasarkan pada cost dan benefitnya antara biaya modal dan keuntungan penggunaan hutang sesuai dengan Trade Off Theory. Kedua jenis modal ini memiliki karakteristik yang berbeda satu dengan lainnya, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Penerbitan utang mempunyai dua keuntungan yaitu penghematan pajak dan pendapatan tetap bagi pemegang utang. Adapun kelemahan utang diantaranya semakin tingginya resiko perusahaan, sehingga suku bunganya akan lebih tinggi. Dan apabila sebuah perusahaan mengalami kesulitan keuangan dan laba operasi tidak mencukupi untuk menutup beban bunga, maka pemegang sahamnya harus menutup kekurangan itu, dan perusahaan akan bangkrut jika mereka tidak sanggup. Begitu pula terlalu banyak utang juga dapat menghambat perkembangan perusahaan yang pada gilirannya dapat membuat keengganan pemegang saham untuk tetap menanamkan modalnya. Namun demikian dalam penarikan utang harus diusahakan agar beban bunga yang harus dibayar cost of debt lebih rendah daripada tingkat pengembaliannya rate of return, hal ini dilakukan agar dapat menguntungkan bagi pemegang saham. Begitu pula apabila dalam pemenuhan kebutuhan dana tersebut perusahaan lebih mengutamakan pada utang saja maka ketergantungan perusahaan pada pihak luar akan makin besar dan resiko finansialnya akan makin besar pula. Sebaliknya apabila perusahaan hanya mendasarkan pada modal sendiri saham saja, maka biayanya akan sangat mahal Pecking Order Theory,Myers dan Majluf:1984 dalam Hadri Kusuma 2006. Oleh karena itu, manajer harus mampu menghimpun dana secara efisien, yang berarti keputusan pendanaan tersebut merupakan keputusan yang mampu meminimalkan biaya modal yang harus ditanggung perusahaan. Keputusan pendanaan yang diambil oleh manajer akan memberikan konsekuensi langsung berupa biaya modal, misalnya ketika manajer menggunakan hutang, biaya modal yang timbul sebesar biaya bunga yang dibebankan oleh kreditur, dan ketika manajer menggunakan dana internal maka akan timbul opportunity cost dari dana internal yang digunakan. Selain menimbulkan biaya modal, penarikan dana akan mengakibatkan berubahnya tingkat leverage perusahaan yaitu pembelanjaan permanent yang mencerminkan perimbangan hutang jangka panjang dengan total aktivanya. Kesejahteraan pemegang saham serta nilai perusahaan sangat dipengaruhi oleh bagaimana kebijakan tingkat leverage yang diambil oleh manajer keuangan perusahaan. Oleh sebab itu, manajer dalam mengambil keputusan mengenai tingkat leverage harus dilakukan dengan hati-hati dan perlu mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dari banyaknya penelitian yang dilakukan untuk mengetahui faktor- faktor yang mempengaruhi tingkat leverage, ditemukan beberapa faktor yang sering muncul sebagai variabel penentu, antara lain resiko bisnis, pertumbuhan potensial, volatilitas pendapatan, ukuran perusahaan, profitabilitas dan securable asset. Beberapa teori struktur modal muncul untuk menentukan struktur modal optimal maupun untuk melihat perilaku pembelanjaan dalam struktur modal. Magginson:1997 dan Myers:1989 dalam R.Heru Kristanto 2002 mengungkapkan tiga teori yang menjelaskan mengenai tingkat leveragestruktur modal yaitu Agency CostTrade-off balanced theory , pecking order hypothesis, dan Signaling model of financial structure, sedangkan Wald:1999 masih dalam R.Heru Kristanto 2002 menyatakan terdapat 7 teori yang menjelaskan tingkat leverage struktur modal, yaitu: cost financial distress, moral hazard, non debt tax shield, jansen freecash flow, pecking order hypothesis, myer’s under-investment dan unchecked manajemen decreases risk. Namun jika diteliti lebih lanjut, ketujuh teori yang diungkapkan oleh Wald : 1999 akan sama dengan tiga yang dikemukakan oleh Magginson:1997 dan Myers:1989. Menurut Magginson dan Myers Agency CostTrade-off balanced theory dipecah menjadi cost financial distress, moral hazard, non debt tax shield dan unchecked manajemen decreases risk. Sedangkan teori under-investment yang dikemukakan Myer dalam teori Magginson dan Myer dimasukan menjadi bagian dari pecking order hypothesis, demikian pula dengan teori Jansen freecash flow yang dinyatakan Wald, dalam teori Magginson dan Myer hal itu merupakan awal dari signaling theory. Dengan demikian secara garis besar hanya ada dua teori struktur modal dalam manajemen keuangan, diantaranya teori struktur modal Static Trade Off STO yang merupakan pengembangan dari teori struktur modal modern pertama yang diperkenalkan oleh Modigliani Miller pada tahun 1958. Menurut trade-off teory yang diungkapkan oleh Miller “Perusahaan akan berhutang sampai pada tingkat hutang tertentu, dimana penghematan pajak dari tambahan hutang sama dengan biaya kesulitan keuangan financial distress. Biaya kesulitan keuangan Financial distress yang dimaksud adalah biaya kebangkrutan bankruptcy costs atau reorganization , dan biaya keagenan agency costs yang meningkat akibat dari turunnya kredibilitas suatu perusahaan. Dalam menentukan struktur modal yang optimal, trade-off theory memasukkan beberapa faktor antara lain pajak, biaya keagenan agency costs dan biaya kesulitan keuangan financial distress,Biaya keagenan timbul akibat ketidakselarasan kepentingan antara pemegang saham dan manager serta antara pemegang saham dengan kreditur, Handono 2006:6. Sedangkan menurut Ross dkk 2007:6 dalam bukunya yang berjudul Corporate Finance Fundamentals dia mengatakan bahwa “In principle, a company becomes insolvent when the value of assetnya equivalent to the value of its debt, when this happens the value of equity is zero and the shareholders of the company transferring control to bondholder . Tingkat hutang yang optimal tercapai ketika penghematan pajak mencapai jumlah yang maksimal terhadap biaya kesulitan keuangan. Trade-off theory mempunyai pengertian bahwa manajer akan berpikir untuk tujuan menyeimbangkan antara penghematan pajak dan biaya kesulitan keuangan dalam penentuan struktur modal. Tingkat profitabilitas yang tinggi membuat perusahaan berusaha mengurangi pajaknya dengan cara meningkatkan rasio hutangnya, sehingga tambahan hutang tersebut akan mengurangi pajak. Namun pada kenyataannya, sangat sedikit manajer keuangan yang berpikir seperti itu. Pada kenyataannya justru perusahaan-perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang tinggi cenderung rasio hutangnya rendah. Hal ini berlawanan dengan pendapat trade-off theory. Trade-off theory tidak dapat menjelaskan korelasi negatif antara tingkat profitabilitas dan rasio hutang. Menurut Megginson:1997 dalam Muhammad Edi Wijaya 2001 Model tradeoff theory mengasumsikan bahwa struktur modal perusahaan merupakan hasil tradeoff dari keuntungan pajak dengan menggunakan hutang dengan biaya agensi yang akan terjadi dengan penggunaan hutang tersebut. Model ini merupakan pengembangan dari teori Modigliani Miller mengenai irrelevance capital structure hypothesis. Modigliani Miller berpendapat bahwa dalam keadaan pasar sempurna maka nilai perusahaan dengan menggunakan hutang akan sama dengan perusahaan yang tidak menggunakan hutang Modigliani dan Miller:1958 dalam Winarno2001. Tetapi mereka merevisi kembali hasil temuan mereka dengan mengatakan bahwa dengan adanya pajak maka hutang akan menjadi relevan. Hal ini disebabkan bunga hutang yang dibayarkan akan mengurangi tingkat penghasilan yang terkena pajak, sehingga perusahaan akan mampu meningkatkan nilainya dengan menggunakan hutang. Suatu fakta yang berlawanan dengan temuan tersebut di atas, dalam kenyataannya tidak ada satu perusahaan pun yang akan menggunakan dana yang seluruhnya berasal dari hutang ataupun dalam jumlah yang relatif besar. Model tersebut mengabaikan faktor biaya kebangkrutan dan biaya keagenan yang timbul. Sehingga suatu struktur modal yang optimal akan dapat ditemukan dengan menyeimbangkan antara keuntungan dari penggunaan hutang dan biaya kebangkrutan dan biaya keagenan, hal ini disebut tradeoff theory Myers 1984; Jensen Meckling:1976 dalam Sekar Mayangsari,2000. Penggunaan hutang yang berbeban bunga memiliki keuntungan dan kelemahan bagi perusahaan Brigham:1999 dalam Dede Setyabudi 2007. Keuntungan penggunaan hutang adalah biaya bunga mengurangi penghasilan kena pajak sehingga biaya utang efektif menjadi lebih rendah, kreditor hanya mendapat biaya bunga yang relatif bersifat tetap. Dengan demikian, kelebihan keuntungan merupakan klaim bagi pemilik perusahaan; bondholder tidak memiliki suara sehingga pemilik bisa mengendalikan perusahaan dengan dana kecil. Adapun kelemahan penggunaan hutang terjadi karena semakin tingginya penggunaan hutang akan meningkatkan tingkat kemungkinan kepailitan, sehingga apabila bisnis perusahaan tidak dalam keadaan yang baik, pendapatan operasi menjadi rendah dan tidak cukup untuk menutupi biaya bunga sehingga kekayaan pemilik berkurang. Pada suatu kondisi yang sangat ekstrim, perusahaan akan terancam kebangkrutan. Implikasi tradeoff theory menurut Brigham et al., 1999 adalah perusahaan dengan resiko bisnis yang lebih tinggi baik menggunakan hutang dalam jumlah yang sedikit dan perusahaan yang terkena tingkat pajak lebih tinggi memperoleh penghematan pajak lebih tinggi bila menggunakan hutang. Trade off theory menjelaskan bahwa tingkat leverage perusahaan merupakan hasil trade off perusahaan antara manfaat pajak atas penggunaan hutang dengan meningkatnya biaya keagenan dan financial distress yang muncul akibat peningkatan penggunaan hutang, teori ini memiliki dasar pemikiran untuk menghindari keputusan ekstrim,penggunaan hutang 100, atau penggunaan modal sendiri 100 . Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa dengan meminjam, perusahaan akan dapat melindungi pendapatannya dari pajak sedangkan apabila meminjam terlalu banyak, maka akan menyebabkan timbulnya biaya kebangkrutan. Perusahaan tidak perlu untuk membayar sebagian pajak yang semestinya dibayar karena perusahaan memiliki hutang. Hal ini disebabkan hutang memiliki sifat “tax deductible ” yang berarti hutang mampu mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar. Ini merupakan manfaat pajak yang diperoleh perusahaan. Lain halnya dengan Static Trade Off yang menggunakan pertimbangan cost dan benefit dari penggunaan hutang, teori Pecking Order melakukan keputusan pendanaan yang bersumber pada laba, hutang, sampai pada saham. Hal tersebut mengacu pada pendapat Myers : 1984 yang menyatakan bahwa “Perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang tinggi justru tingkat hutangnya rendah, dikarenakan perusahaan yang profitabilitasnya tinggi memiliki sumber dana internal yang berlimpah.” Dalam pecking order theory ini tidak terdapat struktur modal yang optimal. Secara spesifik perusahaan mempunyai urut-urutan preferensi hierarki dalam penggunaan dana. Myers : 1984 dalam Elyana 2007 berpendapat bahwa keputusan pendanaan berdasarkan pecking order theory akan mengikuti urutan pendanaan sebagai berikut: 1. perusahaan akan lebih menyukai pendanaan dari sumber internal. 2. perusahaan akan menyesuaikan target pembayaran dividen terhadap peluang investasi. 3. kebijakan deviden bersifat sticky, fluktuasi profitabilitas dan peluang investasi berdampak pada aliran kas internal bisa lebih besar atau lebih kecil dari pengeluaran investasi. 4. bila dana eksternal dibutuhkan, perusahaan akan berusaha memilih sumber dana dari hutang karena dipandang lebih aman dan penerbitan ekuitas baru sebagai pilihan terakhir untuk memenuhi kebutuhan sumber dana. Pecking order theory menjelaskan urut-urutan pendanaan. Pada manajer keuangan tidak memperhitungkan tingkat hutang yang optimal. Kebutuhan dana ditentukan oleh kebutuhan investasi. Pecking order theory ini dapat menjelaskan mengapa perusahaan yang mempunyai tingkat keuntungan yang tinggi justru mempunyai tingkat hutang yang kecil. Pada kenyataan yang terjadi, terdapat perusahaan-perusahaan yang dalam menggunakan dana untuk kebutuhan investasinya tidak sesuai seperti skenario urutan hierarki yang disebutkan dalam pecking order theory. Penelitian yang dilakukan oleh Singh dan Hamid 1992 dan Singh 1995 menyatakan bahwa “Perusahaan-perusahaan di negara berkembang lebih memilih untuk menerbitkan ekuitas daripada berhutang dalam membiayai perusahaannya.” Hal ini berlawanan dengan pecking order theory yang menyatakan bahwa perusahaan akan memilih untuk menerbitkan hutang terlebih dahulu daripada menerbitkan saham pada saat membutuhkan pendanaan eksternal. Pecking order theory mengacu pada teori perusahaan yang bertujuan memaksimumkan kemakmuran pemilik perusahaan.. Pecking order theory membedakan ekuitas yang diperoleh dari laba diahan dan penerbitan saham baru karena prioritas sumber pendanaan menempatkan posisi yang paling atas sedangkan penerbitan saham baru pada posisi yang paling bawah. Tradeoff theory tidak membedakan urutan pemilihan sumber pendanaan. Oleh karena itu, ekuitas tidak dibedakan apakah diperoleh dari laba ditahan atau dari penerbitan saham baru, melainkan merupakan kombinasi dari keduanya. Sejauh ini, penelitian mengenai struktur modal memiliki tujuan untuk menentukan model atau teori struktur modal yang dapat menjelaskan perilaku keputusan pendanaan perusahaan. Namun kenyataannya, sulit bagi perusahaan untuk menentukan suatu struktur modal yang terbaik dalam suatu komposisi pembelanjaan yang tepat. Lebih mudah apabila perusahaan mencoba menaksir dalam suatu “range berapa tingkat leverage yang tepat bagi perusahaan” Hartono, 1990:3 dalam Elyana 2007. Sehubungan dengan uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik melakukan penelitian tentang “Analisis Pengaruh Faktor-faktor Penentu Kebijakan struktur modal Terhadap leverage: hipotesis Static Trade Off atau Pecking Order Theory ”. Untuk lebih memfokuskan arah penelitian ini, maka variabel-variabel yang dijadikan objek penelitian terdiri dari asset tangibility, size, growth, profitability,dan earning volatility. Penelitian ini merupakan lanjutan dan pengembangan dari penelitian Ari Christianti 2006 yang berjudul, ” penentuan perilaku kebijakan struktur modal pada perusahaan manufaktur di Bursa Efek Jakarta: hipotesis Static Trade Off atau Pecking Order Theory ” Adapun yang membedakan dan kelebihan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah sebagai berikut : 1. Penelitian sebelumnya hanya menggunakan populasi perusahaan industri manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta dengan purposive sampling yang menghasilkan 76 perusahaan, sedangkan kali ini penulis akan menggunakan populasi yaitu seluruh perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tentunya dengan menggunakan purposive sampling. 2. Perbedaan periode yang digunakan pada penelitian ini adalah mengambil sampel dari tahun 2005-2008, sedangkan peneliti sebelumnya mengambil sampel dari tahun 2000-2008

B. Perumusan Masalah