Masa Transisi Sejarah Dan Perkembangan Seni Panahan Jepang

14

2.1.4 Masa Transisi

Pada awal abad ketujuh belas, Shogun Tokugawa Ieyasu mengelola untuk menyatukan fraksi samurai pejuang dan negara itu berada dalam damai yang cukup lama. Ketiadaan perang, dikaitkan dengan diperkenalkannya senjata api, harus dapat membuat para pemanah samurai menyingkirkan busurnya tetapi mereka menolak untuk melakukannya. Merasakan bahwa Kyujutsu teknik berjuang dengan busur adalah sesuatu yang absolut, dengan kompetisi yang teratur di kuil Sanjusangendo di Kyoto dengan harapan mempertahankan minatnya dalam memanah. Hideharu Onuma: 1961:18. Di Sanjusangendo , pemanah, dari posisi yang ada, adalah diminta untuk memanah ke bawah melalui koridor sempit pada target yang ditempatkan 120 meter jauhnya. Beam kayu yang menggantung rendah telah membuat panahan itu menjadi sulit, sebagaimana dibuktikan oleh nilai poros panah yang masih tetap di batang itu hingga saat ini. Hingga akhir zaman Edo , 823 pemanah telah mengambil tantangan Sanjusangendo, tetapi sangat sedikit dibandingkan dengan tiga puluh yang masih tersisa dari catatan itu. Diantaranya, dua panah bertahan sendiri : Hoshino Kanzaemon dan Wasa Daihachiro. Hoshino Kanzaemon adalah mengkhawatirkan tentang keadaan panahan yang membawanya bergerak melintasi negara dan meneliti teknik panahan. Dia menentukan untuk menjadi pemanah terbaik di zaman itu. Dedikasinya telah ada. Pada pertengahan abad ketujuh belas, ketika dia menjadi bagian dalam kompetisi di Sanjusangendo , tak seorangpun yang menjadi rivalnya dalam memanah. Record Universitas Sumatera Utara 15 Hoshino adalah 8.000 panahan dari total 10.542 panah yang dipanahkan dan menjadi kesaksian terhadap keahliannya. Sama kagumnya dengan Record Hoshino Kanzamon , adalah jauh lebih baik tujuh belas tahun kemudian oleh Wasa Daihachiro , pemanah dengan kekuatan dan stamina yang besar. Sejarahnya adalah bahwa ketika Wasa Daihachiro telah berusaha, dia beristirahat setelah beberapa jam memanah terus menerus. Ketika dia kembali dia tidak lagi mampu memanah seperti sebelumnya, panahnya tidak lagi dapat melintasi panjang koridor. Pada saat itu, samurai tua yang telah ada di sekitarnya memanah mendekati dan kemudian berhenti. Laki-laki itu mengambil pisau kecil dan membuat sejumlah sayatan pada tangan kiri Wasa Daihachiro yang kemudian menjadi bagian dengan darah yang tidak lagi mampu memegang busurnya dengan baik. Setelah tekanan dilepaskan, Wasa Daihachiro mendapatkan kembali kekuatannya dan kemudian pergi untuk melakukan usaha seperti sebelumnya. Dia tidak menemukan bagian terakhir dimana seseorang membantunya untuk memecahkan Record Hoshino yaitu Hoshino Kanzaemon itu sendiri. Dalam dua puluh empat jam memanah dari malam hingga keesokan harinya Wasa Daihachiro memanah 13.053 panah dan mengenai sebanyak 8.133 kali.Rata- rata ini adalah kurang lebih sembilan panah per menit, atau satu setiap enam atau tujuh detik catatan yang tidak dipercaya yang hampir tidak pernah tersaingi. Hideharu Onuma :2013:17. Universitas Sumatera Utara 16 Disamping semua usaha yang mereka lakukan, kaum samurai ini gagal memulihkan Kyujutsu ke keadan sebelumnya. Waktu berubah dan kemudian busur tidak pernah lagi digunakan dalam pertempuran. Dalam paruh terakhir abad ketujuh belas, populasi umum menggunakan praktek memanah dalam jumlah yang meningkat dan upacara panahan menjadi populer. Menurut beberapa sumber, Morikawa Kozan , pendiri Yamoto Ryu modern, pertama kali menggunakan kata Kyudo pada saat itu. Dan meskipun telah berlangsung selama dua ratus tahun untuk waktu memperoleh penerimaan yang luas, tempat yang terus menerus dan diperkenalkannya senjata api yang lebih efisien menjadi sesuatu yang tidak dapat dielakkan bahwa penekanan terhadap pelatihan memanah ini harus bergeser ke arah perkembangan spritual dan mental. Era Meiji 1868 – 1912 melihat Jepang berembarkasi pada modernisasi yang cepat. Tiba-tiba, segala sesuatu telah berlangsung di Eropa. Secara natural, budaya tradisional telah diderita dan panahan Jepang adalah dalam kondisi bahaya atau menghilang. Mendekati abad Honda Toshizane , instruktur Kyudo di Universitas Imperial Tokyo , memadukan berbagai unsur pejuang dan gaya upacara untuk menciptakan metode hibrida dari memanah yang kemudian diajarkan kepada murid-muridnya. Hingga saat itu pengajaran terhadap kedua gaya ini lebih kurang terpisah. Tentu saja, sekolah tradisional tidak mendukung metode yang baru. Protes mereka adalah tidak didengarkan, seperti Honda Toshizane yang terus mengajarkan muridnya gaya hibrid . Seiring dengan berlalunya waktu, pengajarannya menyebar ke seluruh sistem Universitas Sumatera Utara 17 sekolah dan Honda Ryu yang kemudian menjadi terkenal, ditemukan lebih diketahui oleh umum. Dewa ini, Honda Toshizane diakui sebagai seorang master Kyudo yang berpengaruh pada zaman modern. Sebagian mengatakan bahwa ini bukan hanya bertanggung jawab untuk merubah arah panahan Jepang tetapi juga memastikan kelangsungannya dalam abad keduapuluh.

2.1.5 Zaman modern