Sistem Dan Klasifikasi Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) Dalam Pajak Bumi Dan Bangunan (PBB) Menurut UU No. 12/1994 Dan Peraturan Menteri Keuangan No. 150/PMK.03/2010

(1)

SISTEM DAN KLASIFIKASI PENETAPAN NILAI JUAL OBYEK

PAJAK (NJOP) DALAM PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB)

MENURUT UU NO. 12/1994 DAN PERATURAN MENTERI

KEUANGAN NO. 150/PMK.03/2010

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat dalam Mencapai

Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

Fitri Handayani Sinaga 050200032

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA DAGANG

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

SISTEM DAN KLASIFIKASI PENETAPAN NILAI JUAL OBYEK PAJAK (NJOP) DALAM PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB) MENURUT UU NO.

12/1994 DAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NO. 150/PMK.03/2010

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat dalam Mencapai

Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

Fitri Handayani Sinaga 050 200 032

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA DAGANG

Ketua Bagian

(Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS) NIP. 131764556

Pembimbing I Pembimbing II

(Azwar Mahyuzar, SH) (Asmin Nasution, SH, M. Hum)

NIP. 131460768 NIP. 131571771

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

ABSTRAK

Penulis ini membahas sistem penetapan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) bumi dan mengukur kesesuaian (akurasi) NJOP tersebut terhadap nilai pasarnya dengan menggunakan studi assessment ratio, rasio antara nilai untuk penetapan pajak (assessed value) dengan market value. Hasil studi ini akan memberikan informasi tentang level of assessment, uniformity, equity, ataupun regresivitas-progresivitas dalam penetapan NJOP, sehingga dapat menjadi dasar bagi fiskus untuk membuat suatu kebijakan, khususnya dalam penggalian potensi dan menjaga keadilan dalam pengenaan PBB. Penelitian ini menggunakan data NJOP bumi tahun 2009 dan 2011 di kotamadya Medan.

Hasil uji diketahui bahwa NJOP bumi di kotamadya Medan ditetapkan secara underassessment, yaitu masing-masing sebesar 75,05% dan 64,53% dari nilai pasarnya. Assesment ratio di kota Medan mempunyai tingkat variabilitas yang cukup rendah, dari rasio antara mean dengan weighted mean maka terjadi progresivitas dalam penetapan NJOP bumi di kotamadya Medan. Pro gresiitas terjadi karena properti-properti yang bernilai tinggi memiliki assessment ratio lebih tinggi dibanding properti-properti yang bernilai rendah. Jadi dapat disimpulkan bahwa NJOP bumi di kotamadya Medan ditetapkan di bawah nilai pasar atau underssement tidak seragam, dan bersifat progresive, sehingga menimbulkan ketidakadilan. Hal ini dikarenakan penyesuaian besarnya NJOP bumi setiap desa/kelurahan tidak dilakukan setiap tahun, tergantung skalar prioritas maupun ketersediaan sumber daya, padahal disisi lain market value terus berkembang.

Oleh karena itu, dalam rangka meningkatkan penerimaan PBB maupun BPHTB maka Kantor Pelayanan PBB Medan dapat merumuskan kebijakan untuk meningkatkan pokok ketetapan PBB, yaitu dengan melakukan penyesuaian besarnya NJOP melalui kegiatan analisis metode-metode perbandingan dan mekanisme penetapan NJOP, dengan prioritas pada wilayah yang assessment ratio-nya masih rendah dan wilayah lain yang potensi pajaknya besar. Kebijakan ini akan berdampak pada meningkatnya beban wajib pajak, sehingga rawan terhadap munculnya gejolak dari wajib pajak sebagai stakeholder utama. Untuk itu, kebijakan ini harus dibarengi dengan langkah-langkah antara lain: pelibatan masyarakat dalam proses penentuan besarnya NJOP, pemberian fasilitas perpajakan (stimulus) bagi objek pajak yang mengalami kenaikan NJOP, dan meningkatkan kerjasama dengan pemerintah daerah dalam optimalisasi penerimaan PBB.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugerah dan kesempatan yang telah diberikan oleh-Nya mulai dari masa perkuliahan sampai dengan tahapan penyelesaian skripsi seperti sekarang ini di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini diberi judul “SISTEM DAN KLASIFIKASI PENETAPAN NILAI JUAL OBYEJ PAJAK (NJOP) DALAM PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB) MENURUT UU NO. 12 /1994 DAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NO. 150/PMK.03/2010”.

Sungguh suatu hal yang luar biasa dimana akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktu yang diharapkan. Skripsi adalah merupakan salah satu unsur yang sangat penting sebagai pemenuhan nilai-nilai tugas dalam mencapai gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum di Universitas ataupun perguruan tinggi manapun di seluruh Nusantara, termasuk pula di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan yang berbahagia ini, tidak lupa penulis ingin mengucapkan terima kasih atas jasa-jasa dari nama-nama yang disebutkan di bawah ini. Beliau-beliau tersebut merupakan panutan dan juga motivasi yang mendukung penulis dari awal masa perkuliahan hingga sekarang sampai selesainya skripsi ini. Penulis menghanturkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:


(5)

1. Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, Sp. A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan berharga yang telah diberikan untuk dapat menyelesaikan studi Strata-1 di lingkungan kampus Universitas Sumatera Utara. 2. Azwar Mahyuzar, SH, selaku Dosen Pembimbing I, atas ilmu dan pengajaran

serta bimbingan dan arahan yang telah diberikan, tidak saja dalam masa penulisan skripsi ini, tetapi juga sejak dalam masa-masa perkuliahan.

3. Asmin Nasution, SH, M. Hum, selaku Dosen Pembimbing II, atas ilmu dan pengajaran serta bimbingan yang telah diberikan, tidak saja dalam masa penulisan skripsi ini, tetapi juga sejak dalam masa-masa perkuliahan.

4. Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, tanpa bisa penulis sebut lagi satu per satu, dengan segala kerendahan hati dan tidak mengurangi rasa hormat bagi beliau-beliau, atas jasa-jasanya dalam mengasuh dan memberikan ilmu dan bimbingan serta nasehat yang sangat berarti mulai dari Semester I sampai dengan sekarang ini.

5. Bapak Kepala Departemen Keuangan RI Direktorat Jenderal Pajak Kantor wilayah I Kantor Pelayanan PBB Jl. Diponegoro 30A Lantai II Medan beserta seluruh staf karyawannya yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga, membantu memberikan data-data, petunjuk, saran yang penting sebagai masukan dan motivasi kepada saya dalam rangka penyelesaian skripsi ini.

6. Kedua orangtua saya Drs. Germanicus Sinaga dan Rospita Saragih yang sangat saya cintai dan sayangi, serta kakak-kakak dan abang-abang saya, yang saya sayangi.


(6)

7. Kawan-kawan satu stambuk, serta kakak-kakak senior maupun adik-adik junior, yang tidak akan mungkin dapat sebut namanya satu persatu atas dukungan moril dan semangat yang telah diberikan selama ini.

8. Dan segenap pihak yang belum penulis sebut disini atas jasa-jasanya dalam mendukung dan membantu dari segi apapun, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

Skripsi yang telah diselesaikan dengan segenap hati dan pemikiran ini tentunya masih perlu untuk diperbaiki karena penulis sendiri juga yakin apa yang telah ditulis dalam skripsi ini hanyalah sebagian kecil daripada ruang lingkup perpajakan bagi yayasan, yang tentunya di dalamnya masih terdapat kekurangan-kekurangan. Untuk itu, dengan tangan terbuka akan menerima segala kritik maupun saran yang sifatnya membangun demi kemajuan kita bersama.

Akhir kata, atas segala perhatian yang telah diberikan untuk hasil karya ini, sekali lagi mengucapkan terima kasih. Semoga karya ini sedikit banyak juga dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, October 2011 Hormat penulis,

Fitri H. Sinaga NIM. 050200032


(7)

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL

HALAMAN PERSETUJUAN

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan dan ... 10

D. Manfaat Penulisan ... 10

E. Keaslian Penulisan ... 11

F. Tinjauan Kepustakaan... 11

G. Metode Penulisan ... 15

H. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NILAI JUAL OBYEK PAJAK (NJOP) DALAM PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB) A. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) ... 19

1. Pengertian ... 19


(8)

3. Obyek Pajak Bumi dan Bangunan ... 22 B. Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) ... 28

1. Pengertian Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) dalam Pajak

Bumi dan Bangunan ... 28 2. Dasar-dasar Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) ... 29 3. Faktor-faktor Penentu Klasifikasi NJOP ... 31 C. Penyelesaian Sengketa PBB antara Wajib Pajak dan Pejabat Pajak 33 1. Pengajuan Keberatan ... 33 2. Pengajuan Banding ... 36

BAB III ANALISIS METODE-METODE PERBANDINGAN NJOP DAN MEKANISME KLASIFIKASI PENETAPAN NJOP SERTA FAKTOR EFEKTIFITAS PENARIKAN PBB

A. Analisis Metode Perbandingan NJOP ... 39 B. Mekanisme Penetapan NJOP sebagai Dasar Penerbitan SPPT

Pajak Bumi dan Bangunan ... 47 C. Pihak-pihak yang dilibatkan dalam Penetapan NJOP ... 50 D. Patokan Dasar Penetapan NJOP dan Tanggapan Masyarakat atas

Mekanisme Penetapan NJOP ... 51 E. Faktor-faktor Efektifitas Penarikan Pajak ... 52


(9)

BAB IV SISTEM DAN KLASIFIKASI PENETAPAN NJOP DALAM PBB MENURUT UU NO. 12/1994 DAN PMK NO. 150/PMK.03/2010 SERTA PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK

A. Sistem Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) dalam Pajak

Bumi dan Bangunan ... 55

1. Eksistensi NJOP dan Mekanisme Penetapannya ... 55

2. Kendala-kendala yang Muncul dalam Penetapan NJOP di Wilayah Kerja Kantor Pelayanan PBB Medan ... 59

3. Analisis Langkah-langkah yang dapat Ditangani menurut Penulis ... 60

B. Faktor-faktor Penentuan dalam Klasifikasi NJOP ... 62

1. Dasar-dasar Hukum Klasifikasi NJOP ... 62

2. Faktor-faktor Penentu Klasifikasi NJOP ... 64

C. Penyelesaian Sengketa antara Wajib Pajak dan Pejabat Pajak di Wilayah Kantor Pelayanan PBB Medan ... 86

1. Keberatan atas Penunjukan sebagai WP ... 86

2. Pembetulan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) atau Surat Ketetapan Pajak (SKP) karena Salah Perhitungannya ... 89


(10)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 97 B. Saran ... 98

DAFTAR PUSTAKA ... 100


(11)

ABSTRAK

Penulis ini membahas sistem penetapan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) bumi dan mengukur kesesuaian (akurasi) NJOP tersebut terhadap nilai pasarnya dengan menggunakan studi assessment ratio, rasio antara nilai untuk penetapan pajak (assessed value) dengan market value. Hasil studi ini akan memberikan informasi tentang level of assessment, uniformity, equity, ataupun regresivitas-progresivitas dalam penetapan NJOP, sehingga dapat menjadi dasar bagi fiskus untuk membuat suatu kebijakan, khususnya dalam penggalian potensi dan menjaga keadilan dalam pengenaan PBB. Penelitian ini menggunakan data NJOP bumi tahun 2009 dan 2011 di kotamadya Medan.

Hasil uji diketahui bahwa NJOP bumi di kotamadya Medan ditetapkan secara underassessment, yaitu masing-masing sebesar 75,05% dan 64,53% dari nilai pasarnya. Assesment ratio di kota Medan mempunyai tingkat variabilitas yang cukup rendah, dari rasio antara mean dengan weighted mean maka terjadi progresivitas dalam penetapan NJOP bumi di kotamadya Medan. Pro gresiitas terjadi karena properti-properti yang bernilai tinggi memiliki assessment ratio lebih tinggi dibanding properti-properti yang bernilai rendah. Jadi dapat disimpulkan bahwa NJOP bumi di kotamadya Medan ditetapkan di bawah nilai pasar atau underssement tidak seragam, dan bersifat progresive, sehingga menimbulkan ketidakadilan. Hal ini dikarenakan penyesuaian besarnya NJOP bumi setiap desa/kelurahan tidak dilakukan setiap tahun, tergantung skalar prioritas maupun ketersediaan sumber daya, padahal disisi lain market value terus berkembang.

Oleh karena itu, dalam rangka meningkatkan penerimaan PBB maupun BPHTB maka Kantor Pelayanan PBB Medan dapat merumuskan kebijakan untuk meningkatkan pokok ketetapan PBB, yaitu dengan melakukan penyesuaian besarnya NJOP melalui kegiatan analisis metode-metode perbandingan dan mekanisme penetapan NJOP, dengan prioritas pada wilayah yang assessment ratio-nya masih rendah dan wilayah lain yang potensi pajaknya besar. Kebijakan ini akan berdampak pada meningkatnya beban wajib pajak, sehingga rawan terhadap munculnya gejolak dari wajib pajak sebagai stakeholder utama. Untuk itu, kebijakan ini harus dibarengi dengan langkah-langkah antara lain: pelibatan masyarakat dalam proses penentuan besarnya NJOP, pemberian fasilitas perpajakan (stimulus) bagi objek pajak yang mengalami kenaikan NJOP, dan meningkatkan kerjasama dengan pemerintah daerah dalam optimalisasi penerimaan PBB.


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanah dan bangunan merupakan barang komiditi atau merupakan barang ekonomi yang berpengaruh sangat kuat terhadap kehidupan bangsa, negara, dan penduduknya. Negara sebagai organisasi yang mengatur dan memerintah rakyat serta kehidupan bernegara demi mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya berkewajiban untuk mengatur tata hidup dan pendayagunaan tanah baik sebagai barang ekonomi maupun tempat tinggal/papan berumah tangga. Untuk itu, sudah sejak zaman kerajaan dimasa lampau berdirinya Negara-negara kerajaan. Bahkan di Eropa, Asia, dan Afrika, pendaya gunaan tanah ini diatur oleh para penguasa atau Negara. Undang-undang Pokok Agraria, Land Use dan Land Reform adalah pemajakan atas tanah dan bangunan. Bila undang-undang Peraturan Agraria mengatur tentang penggunan, dayaguna, penyusunan dab pembentukan tanah maka pajak dapat dipakai untuk mengatur penerimaan Negara, penguasaan atas tanah melalui pembebanan terhadap penguasaan atas tanah.

Di Negara ini, pajak atas tanah dan hasil bumi mempunyai sejarah yang panjang dan dalam jangka panjang pula telah mengakibatkan apa yang disebut trauma dan sindroma pajak. Karena sejarahnya begitu, jenis pajak-pajak tadi


(13)

boleh dikatakan tidak pernah ditangani secara mendasar setelah kita merdeka. Akibatnya justru menimbulkan pajak berganda dan tumpang tindih.

Dan tanah merupakan karunia dari Tuhan kepada alam semesta dan khususnya bagi manusia untuk dipergunakan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran kehidupan manusia. Pentingnya air dan tanah bagi kehidupan atas jalannya hidup dan pijakan merupakan tanah tumpah darah, sumber pangan, dan tempat terakhir menutup mata sungguh menjadikan tanah merupakan harta yang langka dan sangat berharga bagi manusia. Sejarah perkembangan, kejayaan, dan kehancuran manusia juga sangat ditentukan harta tetap yang berupa tanah. Tanah merupakan sumber penghidupan, kenikmatan, persengketaan, peperangan maha dahsyat karena perseorangan, masyarakat, bangsa/Negara selalu bertumpu pada kebutuhan, penguasaan dan manfaat atas yang dihasilkan dari tanah. Manusia akan hidup senang dan bahagia berkecukupan apabila mereka dapat menggunakan tanah yang dikuasai atau dimiliki sesuai dengan hukum alam yang berlaku. Manusia akan hidup damai dan sejahtera jika mereka dapat menggunakan hak dan kewajibannya sesuai dengan batasan daya guna alam yang tertata dalam kebersamaan masyarakat beserta kehidupannya.

Kaitannya disini dilihat dari perkembangannya pada tahun 1959 melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 11/59 tentang Pajak Hasil Bumi, diberlakukan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Undang-undang ini semula hanya mengatur tentang pungutan pajak atas tanah adat, yaitu tanah yang dimiliki/dikuasi oleh orang-orang Indonesia asli, dan tidak termasuk tanah hak


(14)

barat. Karena tanah Barat tersebut telah diatur di dalam ordonansi verponding Indonesia tahun 1923 dan Ordonansi Verponding tahun 1928. Namun kemudian pada tahun 1960 dikeluarkan UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria yang mengemukakan bahwa hak atas tanah berlaku atas semua tanah di Indonesia. Hal itu dipertegas lagi dengan Keputusan Presidium Kabinet tanggal 10 Februari 1967 No. 87/Kep/U/4/1967. Dengan demikian Peraturan Pemerintah tahun pergantian Undang-undang No. 11/1959 yang pajak landasan Pajak Hasil Bumi harus ditafsirkan bahwa semua tanah di Indonesia dipungut Pajak Hasil Bumi, termasuk tanah-tanah yang diatur dalam ordonansi Verponding Indonesia tahun 1923 dan tahun 1928. Dengan adanya tuntutan pembangunan yang terus meningkat, ordonansi atau UU yang mengatur pungutan atas obyek yang sama, terlalu banyak sehingga membingungkan masyarakat.

Menyadari keadaan seperti itu, pemerintah bersama dengan DPRD pada akhir tahun 1985 membuat suatu Undang-undang, yang dikenal dengan UU No. 12 Tahun 1985 tahun Pajak Bumi dan Bangunan (UUPBB)1

1

Tim Penyusun Ditjen Pajak dan Yayasan Bina Bangunan, Buku Panduan PBB, (Jakarta: Edisi Revisi, Bina Rena Pariwara, 1992), hal. 9.

yang kemudian disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 1994 dan juga tertuang mengenai klasifikasinya NJOP dalam PBB disebutkan dalm PMK No. 150/PMK.03/2010.

Dengan dibuatnya Undang-undang Pajak Bumi dan Bangunan ini, sebagai pengganti dari 7 (tujuh) ordonansi/UU yang dulu pelaksanaannya tumpang tindih. Tujuh ordonansi/UU itu adalah sebagai berikut:


(15)

1. Ordonansi Pajak Rumah Tangga tahun 1906; 2. Ordonansi Verponding Indonesia Tahun 1923; 3. Ordonansi Verponding Indonesia Tahun 1928; 4. Ordonansi Pajak Kekayaan Tahun 1932; 5. Ordonansi Pajak Jalan Tahun 1942;

6. UU Darurat No. 11 tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah, Pasal 14 huruf j, k, dan 1;

7. Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang No. 11/1959 tentang Pajak Hasil Bumi.

Undang-undang PBB merupakan langkah penyederhanaan hukum perpajakan khususnya dalam Pajak Bumi dan Bangunan.

Tujuan tersebut tidaklah berlebihan mengingat ruang lingkup UU PBB yang luas. Puluhan juta rakyat di di akan terlibat di dalamnya. Oleh sebab itu dengan penanganan yang tepat, akan membuat kejelasan bagi wajib pajak dalam melaksanakan pembayaran pajaknya serta menghapuskan trauma dan sindroma pajak warisan jaman penjajahan.

Sejalan dengan itu masyarakat memerlukan pelayanan yang bermutu dan profesional. Sampai sejauhmana wajib pajak mendapat pelayanan yang memadai guna mendapatkan kemudahan dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

Seiring dengan tuntutan dari masyarakat tersebut di atas, jauh-jauh dari Ditjen Pajak berupaya agar dapat menunjang “self assessment” yang merupakan


(16)

suatu sistem, dimana wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan dan membayar sendiri pajak yang terhutang sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 1994. Khusus pada Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) serta klasifikasinya dalam kegiatan pemungutan pajak bumi dan bangunan (PBB) masih menggunakan asas official assessment yang berupa Sistem Tempat Pembayaran (SISTEP), dimana sistem ini tidak kalah pentingnya menyangkut penyetoran serta penagihan PBB, pelayanan cepat pada suatu tempat bagi wajib pajak yang memerlukan layanan keberatan serta pengurangan. Sebenarnya pada prinsipnya Direktorat Jenderal Pajak berupa memberikan pelayanan terpadu, sebagai proyeksi dari kesederhanaan, kemudahan dan lebih penting adalah kepastian hukum.

Penentuan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang akan dijadikan dasar pengenaan ketetapan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah salah satu tahap yang harus dilaksanakan. Penentuan NJOP dilakukan dengan melaksanakan penilaian terhadap setiap objek PBB. Dikenal ada dua macam cara penilaian, yakni penilaian individual dan penilaian massal. Penilaian individual diberlakukan untuk objek yang memenuhi kriteria tertentu terutama yang bernilai tinggi, dimana pelaksanaannya dilakukan dengan memperhitungkan seluruh karakteristik dari objek pajak tersebut.


(17)

Jumlah objek pajak yang harus dinilai dengan cara penilaian individual di Kantor Pelayanan PBB Medan sebanyak 745 objek pajak. Keterbatasan tenaga, biaya, dan waktu membuat Kantor Pelayanan PBB Medan setiap tahun hanya mampu melaksanakan penilaian individual sebanyak 50 objek pajak atau 6,71% dari seluruh objek penilaian individual. Fakta ini mengharuskan dilakukan penentuan prioritas objek penilaian individual.

Sampai saat ini belum ada metode yang jelas dalam penentuan prioritas objek penilaian individual yang berorientasi pada penggalian potensi kenaikan NJOP serta mampu mengakomodir seluruh kebijakan Kantor Pelayanan PBB.

Adapun dalam struktur penerimaan negara, penerimaan perpajakan mempunyai peranan yang strategis dan merupakan komponen terbesar serta sumber utama penerimaan dalam negeri untuk menopang pembiayaan penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan nasional. “Penerima negara dari sektor pajak menjadi salah satu indikator kunci keberhasilan pemerintah”.2 Selama krisis ekonomi berkepanjangan yang mulai melanda Indonesia tahun 1997-1998 hingga saat ini, hal tersebut sudah dapat memberikan gambaran bahwa penerimaan perpajakan telah dapat memberikan peranan dan sumbangan yang sangat berarti melalui penyediaan sumber dana bagi pembiayaan berbagai program penanggulangan dampak krisis ekonomi.

2


(18)

Dalam hal penerimaan dalam negeri, Indonesia memperoleh penerimaan tersebut dari penerimaan migas dan juga penerimaan non migas. Namun dalam kenyataannnya penerimaan untuk sektor migas sering mengalami fluktuasi harga yang disebabkan oleh nilai tukar mata uang rupiah yang sangat rentan terhadap kondisi atau keadaan ekonomi baik regional maupun internasional. Oleh karena itu dapat kita lihat untuk penerimaan dari sektor non-migas kurang dapat diandalkan secara konsisten. Dalam hal ini pemerintah kemudian berusaha untuk meningkatkan penerimaan dari sektor non-migas dimana hal ini merupakan salah satu jalan yang harus ditempuh pemerintah dengan memanfaatkan segala sumber yang ada seefektif dan seefisien mungkin. Salah satu penerimaan non migas yang dirasakan sangat menunjang guna penyediaan dan pembangunan adalah penerimaan dari sektor pajak. Oleh karena itu usaha-usaha guna meningkatkan penerimaan dari sektor pajak terus dikembangkan. Pembaharuan dan penyempurnaan system perpajakan yang ada saat ini dirasakan sangat perlu diperlukan apabila melihat keadaan negara saat ini namun tetap memperhatikan asas keadilan.

Pajak adalah sumber utama pembiayaan negara dan pembangunan nasional yang dapat diperbaharui (renewable resource) sesuai dengan perkembangan yang terjadi, serta merupakan salah satu kewajiban kenegaraan yang nantinya akan dikembalikan kepada masyarakat luas. Oleh karenaya, setiap anggota masyarakat wajib berperan aktif dalam melaksanakan sendiri kewajiban perpajakannya, sesuai dengan system self assessment.


(19)

“Keberhasilan pemerintah dalam meningkatkan penerimaan dari sektor pajak dalam tiga tahun terakhir cukup signifikan. Rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) juga turut meningkatkan dari tadinya 10% menjadi 13%”.3

Bertitik tolak dari UU tersebut di atas, maka penulis akan menelusuri seluk beluk sistem penetapan NJOP dalam PBB dimana ini semua berkaitan dengan wajib pajak (WP) itu sendiri dalam pajak terhutang yang menjadi kewajiban serta hak sebagai pembayar pajak. Sedangkan NJOP itu sendiri Salah satu jenis pajak yang ada adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yang merupakan pajak atas tanah dan/bangunan, baik yang dimiliki, diperoleh

kemanfaatannya maupun dikuasai. Dasar hukumnya adalah Undang-undang No. 12 tahun 1985 tentang PBB, yang terakhir telah diubah dan ditambah yang

kemudian tertuang dalam Undang-undang No. 12 Tahun 1994 dan juga tertuang mengenai klasifikasinya NJOP dalam PBB disebutkan dalm PMK No. 150/PMK.03/2010.

Sebagai realisasi dari amanat Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1983, UU No. 12/1985 tentang PBB yang disahkan pada tanggal 31 Desember 1985 yang kemudian disempurnakan dengan UU No. 12/1994 merupakan paket pembaharuan sistem perpajakan nasional. Dalam hal ini juga diatur mengenai klasifikasi NJOP terdapat dalam PMK No.150/PMK.03/2010.

3


(20)

mempunyai faktor-faktor dan klasifikasi tersendiri bagi WP untuk memenuhi kewajibannya sebagai pembayar pajak.

B. Perumusan Masalah

Titik tolak penelitian jenis apapun tiada lain bersumber pada masalah, tanpa adanya masalah suatu penelitian tidak mungkin dilaksanakan. Pada waktu akan memulai penelitian masalah harus sudah dirumuskan dan difokuskan secara jelas, sederhana dan tuntas. Hal ini disebabkan karena seluruh penelitian akan berpangkal pada perumusan masalah tersebut. Maka dalam hubungan inilah perlunya diberikan suatu identifikasi persoalan.

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas serta sesuai dengan judul skripsi ini, yaitu: “Sistem dan Klasifikasi Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak dalam Pajak Bumi dan Bangunan Menurut UU No. 12/1994 dan PMK No. 150/PMK.03/2010”, maka adalah beberapa permasalahan yang akan dibahas penulis, antara lain:

1. Apa yang dijadikan dasar sistem penetapan nilai jual obyek pajak? 2. Faktor-faktor apa yang menentukan sistem klasifikasi NJOP?

3. Bagaimana penyelesaian sengketa PBB antara wajib pajak dengan pejabat pajak?


(21)

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pelaksanaan sistem penetapan NJOP di daerah tempat wajib pajak.

2. Memberikan kejelasan sistem klasifikasi NJOP bagi wajib pajak.

3. Guna memperjelas serta kepastian hukum wajib pajak dalam pembayaran pajaknya.

4. Guna memperjelas tata cara pengajuan keberatan dan banding bagi wajib pajak.

5. Guna menyelesaikan studi ilmu hukum yang merupakan syarat mencapai gelar kesarjanaan Strate Satu (S-1).

D. Manfaat Penulisan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dan manfaat praktis sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan teknologi baik di dalam ilmu hukum ataupun dan beberapa ilmu terkait lainnya.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi Wajib Pajak, konsultan pajak, serta instalasi/lembaga yang berwenang dan masyarakat terkait dengan sistem penetapan NJOP dan PBB yang sesuai


(22)

dengan persyaratan tertentu di dalam peraturan perundang-undangan yaitu menurut UU No. 12 Tahun 1994 dan PMK No. 150/PMK.03/2010.

E. Keaslian Penulisan

Skripsi ini dilakukan dengan melakukan pengamatan dan penelitian yang dilakukan oleh penelitian sendiri. Adapun pembuatan skripsi ini tidak merupakan duplikasi atau bentuk plagiat dari hasil penelitian lain. Serta proses pembuatan skripsi ini saya selaku penulisnya mengacu dan memasukkan beberapa kutipan-kutipan dari buku-buku referensi dimana untuk melengkapi skripsi ini.

Adapun judul-judul skripsi lainnya yang hampir berkaitan, tetapi tidaklah sama dengan skripsi saya ini. Saya selaku peneliti dan penulis bertanggungjawab terhadap hal-hal pembuatan skripsi ini kepada pihak manapun.

F. Tinjauan Kepustakaan

Pajak pada dasarnya iuran yang berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma hukum. Pajak ditetapkan oleh pemerintah, dapat dipaksakan tapi tidak ada jasa beli dan negara secara langsung. Pengenaan pajak di Indonesia dikelompokan menjadi dua bagian, yaitu pajak negara dan pajak daerah.4

Pajak Negara adalah pajak yang dipungut untuk kepentingan negara atau kepentingan pusat. Termasuk dalam pajak negara ini Pajak Penghasilan (PPh),

4


(23)

Pajak Pertambahan Nilai (PPn), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan Bea Materai. Sedangkan pajak daerah adalah pajak yang dipungut daerah berdasarkan peraturan pajak ditetapkan oleh daerah untuk kepentigan pembiayaan rumah tangga daerah.

Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang obyektif yang dikenakan atas Bumi dan Bangunan. Pajak ini mulai berlaku tanggal 1 Januari 1986 berdasarkan UU No. 12 Tahun 1986, objek pajaknya bumi dan bangunan. Yang dimaksud dengan bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. Sedangkan yang dimaksud dengan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan perairan untuk tempat tinggal, tempat usaha dan tempat yang diusahakan.

Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas harta tak bergerak. Yang dipentingkan adalah objeknya, dan oleh karena itu keadaan atau status orang atau badan yang dijadikan subjek penting, sehingga tidak mempengaruhi besarnya pajak.5

5

Rochmat Soemitro, Pajak Bumi dan Bangunan, (Bandung: PT. Eresco, 1993), hal. 98

Walaupun pajak ini merupakan pajak objektif tetapi pemungutannya didasarkan atas surat ketetapan pajak yang setiap tahun dikeluarkan. Setiap tahun Wajib Pajak diwajibkan memasukkan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) yang kemudian oleh kantor PBB dibuatkan Surat Ketatapan Pajak yang disebut Surat Pemberitahua Pajak Terhutang (SPPT). Menurut pasal 6 ayat 1 UU tentang PBB disebutkan bahwa yang dijadikan dasar untuk pengenaan pajak adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang ditetapkan


(24)

setiap tiga tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali daerah tertentu yang ditetapkan setiap tahunnya.

Yang dimaksud dengan NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang wajar. Jika tidak terdapat transaksi jual beli, maka NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis atau nilai perolehan baru atau nilai jual objek pajak pengganti (pasal 1 UU PBB).

Perbandingan harga dalam hal ini dengan membandingkannya dengan objek lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dengan fungsinya sama serta diketahui harga jualnya. Sedangkan yang dimaksud dengan nilai perolehan baru adalah penentuan nilai jual suatu objek dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek tersebut pada saat penilaian dilakukan yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik objek tersebut. Sementara yang dimaksud dengan nilai jual pengganti adalah suatu pendekatan penentuan nilai jual suatu objek yang berdasarkan atas hasil produksi objek pajak tersebut.

Penetapan NJOP untuk bumi dan bangunan sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 174/KMK.04/1993 diklasifikasikan untuk bumi ke dalam 50 kelas dan untuk bangunan menjadi 20 kelas. Perhitungan besarnya PBB didasarkan atas besarnya Nilai Jual Objek Pajak (yaitu besarnya NJOP sesuai SK Menteri setelah dikurangi dengan Nilai Jual Objek Pajak Tak Kena Pajak (NJOPTKP) yang besarnya untuk masing-masing daerah dapat berbeda-beda). Besarnya NJKP adalah 20% dari NJOP setelah dikurangi NJOPTKP. Adapun besarnya tarif PBB adalah 0,5% x 20% x NJOP atau 0,5% x NJKP. Adapun berita


(25)

yang mengenai tentang kenaikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) di tahun 2011 ini banyak dikeluhkan oleh masyarakat Kota Medan. Kenaikan yang cukup besar berada di daerah Sumatera Utara

Kabid penagihan Dinas Pendapatan daerah (Dispenda) Kota Medan, menyatakan memang mulai tahun 2011 ini NJOP PBB naik. Untuk NJOP PBB tahun mengikuti perkembangan harga tanah yang berlaku saat ini menambahkan, keluhan tersebut sebenarnya masuk pada kantor pajak di masing-masing wilayah, sementara Dispenda Kota Malang hanya diberi tembusan.Lebih lanjut laporan dari Dispenda mengatakan, bahwa sampai pertengahan tahun 2011 ini, keluhan yang disampaikan masyarakat terkait kenaikan NJOP PBB mencapai puluhan. Hal itu merupakan tantangan tersendiri bagi Dispenda, tetapi Dispenda tetap berharap kesadaran masyarakat untuk membayar pajak diharapkan masih tetap tinggi, karena pajak nantinya juga akan kembali untuk kepentingan masyarakat.

Besarnya SPPT PBB diberikan setiap tahun oleh Kantor Pelayanan PBB setelah NJKP nya atas dasar Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) yang diisi oleh Wajib Pajak. Secara teoritis SPOP harus diisi oleh Wajib Pajak (WP) sendiri, tetapi dalam kenyataannya pihak Kantor Pelayanan PBB meminta bantuan pemerintah setempat untuk mengisinya. Hal ini menyebabkan sering terjadi kesenjangan yang menyebabkan tidak selarasnya harga pasar asa nalar atas Nilai Jual Objek Pajak yang pada akhirnya memunculkan penolakan dan keberatan dari Wajib Pajak.


(26)

G. Metode Penelitian

Dalam pembahasan masalah, penulis sangat memerlukan data dan keterangan yang akan dijadikan bahan analisis.

Metode penulisan yang dipergunakan dalam penyusunan skrispsi ini adalah metode yuridis normatif dengan metode deskriptif kualitatif.

Dalam penulisan hukum ini metode yang digunakan adalah metode yuridis normatif. Metode yuridis normatif6 yaitu dalam menjawab permasalahan digunakan sudut pandang hukum berdasarkan peraturan hukum yang berlaku, untuk selanjutnya dihubungkan dengan kenyataan di lapangan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas. Serta mencari bahan dan informasi yang berhubungan dengan materi penelitian ini melalui berbagai peraturan perundang-undangan Karya Tulis Ilmiah yang berupa makalah, skripsi, buku-buku, koran, majalah, situs internet yang menyajikan informasi yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.7

Metode deskriptif kualitatif bermanfaat untuk melakukan analisis data dengan cara menggabungkan semua data yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan serta segala informasi yang diperoleh dari informan serta literatur-literatur yang ada, kemudian dilakukan analisa kualitatif berdasarkan penafsiran-penafsiran yuridis guna menjawab permasalahan yang ada.8

6

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum. (Jakarta: Raja Grafindo Persada. Cetakan Keempat, 2002), hal. 43.

7

Zaimul Bahri, Struktur dalam Metode Penelitian Hukum. (Bandung: Angkasa. 1996), hal. 68. 8


(27)

Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui penelusuran kepustakaan (librari research) untuk memperoleh data atau bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, serta bahan hukum tertier.

Bahan hukum primer dapat berupa peraturan perundangan nasional, maupun peraturan perundang-undangan dari negara lain yang berkaitan dengan Sistem Penetapan dalam Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) serta Pajak Bumi dan Bangunan.

Bahan hukum sekunder berupa data asli yang diperoleh peneliti dari tangan pertama, dari sumber asalnya yang pertama yang belum diolah dan diuraikan oleh orang lain.

Bahan hukum tersier berupa yaitu data yang diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan dan dokumentasi, yang merupakan hasil dari penelitian dan pengolahan orang lain yang sudah tersedia dalam bentuk buku-buku dan dokumentasi.

Untuk memperoleh data pendukung yang lainnya dilakukan wawancara. Wawancara dimaksud adalah tanya jawab dalam bentuk komunikasi verbal9

9

Sudikmo Kusumo, Metode Penelitian Hukum Umum, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1998), hal. 27.

(berhubungan dengan lisan), bertatap muka dengan informan atau para responden. Bentuk wawancara yang dipilih penulis adalah wawancara tidak berstandar, yaitu teknik wawancara yang harus dipersiapkan terlebih dahulu sebelum wawancara dilaksanakan, dalam hal ini penulis melakukan wawancara dengan Kepala


(28)

Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Kantor Wilayah 1 – Direktorat Jenderal Pajak – Departemen Keuangan RI di Medan.

Penarikan kesimpulan terhadap data yang berhasil dikumpulkan dilakukan dengan mempergunakan metode penarikan kesimpulan secara deduktif maupun secara induktif, sehingga akan dapat diperoleh jawaban terhadap permasalahan-permasalahan yang telah disusun. Dan juga penulis melakukan tehnik analisis data, yaitu dalam analisis atas data-data yang diperoleh, penulis menggunakan tehnik analisis deskriptif dengan menjelaskan dalam uraian kalimat-kalimat.

H. Sistematika Penulisan

Dalam melakukan pembahasan skripsi ini, penulis membagi dalam lima bab. Tata urutan sistematikanya sebagai berikut:

Bab I : Terdiri dari pendahuluan yang meliputi latar belakang, dimana penulis melihat bahwa NJOP dalam Pajak Bumi dan Bangunan sangatlah penting bagi wajib pajak dalam menjalankan hak dan kewajibannya sebagai pembayar pajak, diikuti dengan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metodologi penelitian dan yang terakhir sistematika pembahasan.

BAB II : Merupakan suatu tinjauan umum tentang NJOP yang berkaitan dengan WP Bumi dan Bangunan. Sub bagiannya terdiri dari subyek PBB, obyek PBB, pengertian NJOP, dasar penetapan


(29)

NJOP, faktor-faktor penentu dan NJOP, penyelesaian sengketa PBB.

BAB III : Merupakan suatu penjelasan yang sub bagiannya terdiri dari analisis metode-metode tentang kriteria perbandingan NJOP, mekanisme penetapan NJOP, pihak-pihak dalam penetapan NJOP, patokan penetapan NJOP, klasifikasi NJOP serta tanggapan masyarakat atas mekanisme penetapan NJOP dan yang terakhir faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas penarikan PBB.

BAB IV : Merupakan pembahasan dari perumusan masalah mengenai sistem penetapan NJOP dan PBB meliputi sistem klasifikasi NJOP, penghitungan, klasifikasi NJOP, penyelesaian sengketa, beserta alternatif pemecahan menurut undang-undang dan praktek.

BAB V : Merupakan suatu penutup. Disini berisikan tentang kesimpulan dan saran-saran dari penulis yang mana guna membantu dalam penyelesaian suatu permasalahan yang ada dalam obyek penelitian.


(30)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG NILAI JUAL OBYEK PAJAK (NJOP) DALAM PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

A. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

1. Pengertian

PBB adalah pajak baru yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1986 berdasarkan UU No. 12/1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 12/1994 dan PMK No.150/PMK.03/2010. Yang dimaksud dengan Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya, dan yang dimaksud dengan Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah d/atau perairan. Sedangkan sistem pemungutan pajak yang digunakan PBB adalah Official Assessment yaitu suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. Dalam hal ini Wajib Pajak bersifat pasif.

2. Subyek Pajak Bumi dan Bangunan

Subeyk PBB adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai hak atas bumi, dan atau memperoleh manfaat atas bumi, dan atau memiliki, menguasai, dan atau memperoleh manfaat atas bangunan. (pasal 4 ayat (1) UU PBB No. 12/1994).


(31)

Subyek Pajak PBB, belum tentu merupakan wjaib pajak PBB. Subyek Pajak (orang atau badan) baru merupakan wajib pajak PBB kalau memenuhi syarat obyektif, yaitu mempunyai obyek PBB yang dikenakan pajak. Mempunyai obyek yang dikenakan pajak, hal ini berarti mempunyai hak atas obyek yang dikenakan pajak, memiliki, menguasai atau memperoleh manfaat dari obyek kena pajak. Subjek PBB yang dikenakan kewajiban membayar PBB berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku menjadi Wajib Pajak.

• Dalam hal objek PBB belum jelas diketahui Wajib Pajaknya, maka Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan Wajib Pajak.

• Apabila Wajib Pajak dimaksud memberikan keterangan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak bahwa ia bukan Wajib Pajak atas objek pajak dimaksud, maka :

• Direktur Jenderal Pajak membatalkan penetapan sebagai Wajib Pajak dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak diterimanya surat keterangan dimaksud apabila keterangan dimaksud disetujui;

• Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan surat keputusan penolakan dengan disertai alasan-alasannya apabila keterangan yang diajukan itu tidak disetujui;


(32)

• Apabila setelah jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya keterangan Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan, maka keterangan yang diajukan itu dianggap diterima.

• Tanda pembayaran/pelunasan PBB bukan merupakan bukti pemilikan hak.

Dan di dalam pasal 4 ayat 2 UU PBB No. 12/1994 menyatakan bahwa subyek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak menurut Undang-undang PBB. Sedangkan apabila dalam hal atas suatu obyek pajak belum jelas diketahui wajib pajaknya, maka Dirjen Pajak dapat menetapkan subyek pajak sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 (pasal 4 ayat 3). Sebagai contoh penulis merujuk pada penjelasan pasal 4 ayat 3 UU PBB No. 12/1994 adalah sebagai berikut:

a. Subyek pajak bernama A yang memanfaatkan atau menggunakan bumi dan/atau bangunan milik orang lain bernama B bukan karena sesuatu hak berdasarkan Undang-undang atau bukan karena perjanjian, maka dalam hal demikian A yang memanfaatkan atau menggunakan bumi dan/atau bangunan tersebut ditetapkan sebagai wajib pajak.

b. Suatu obyek pajak yang masih dalam sengketa pemilikan di pengadilan, maka orang atau badan yang memanfaatkan atau menggunakan obyek pajak tersebut ditetapkan sebagai wajib pajak.


(33)

c. Subyek pajak dalam waktu yang lama, berada diluar wilayah letak obyek pajak, sedangkan untuk merawat obyek tersebut dikuasakan kepada orang atau badan, maka orang atau badan yang diberi kuasa dapat ditunjuk sebagai wajib pajak. Penunjukkan sebagai wajib pajak oleh Dirjen Pajak, bukan merupakan bukti pemilikan hak.

Apabila subyek pajak yang telah ditunjuk oleh Dirjen Pajak sebagai wajib pajak keberatan akan hal tersebut di atas, maka dapat mengajukan keberatan, dengan memberikan keterangan secara tertulis, bahwa ia bukan wajib pajak dari obyek yang bersangkutan (pasal 4 ayat 4). Dan apabila Dirjen Pajak menerima, maka akan dibatalkan penetapan tersebut dalam jangka satu bulan, terhitung sejak diterimanya surat keterangan yang dimaksud (ayat 5). Sedangkan apabila tidak disetujui, maka Dirjen Pajak akan mengeluarkan surat keputusan penolakan dengan disertai alasan-lasan (ayat 6). Di dalam penjelasan pasal 4 ayat (7) UU PBB No. 12/1994, apabila Dirjen Pajak tidak memberikan keputusan dalam waktu satu (1) bulan sejak tanggal diterimanya keberatan dari wajib pajak, maka ketetapan sebagai wajib pajak gugur dengan sendirinya dan berhak mendapatkan keputusan pencabutan penetapan sebagai wajib pajak.

3. Obyek Pajak Bumi dan Bangunan a. Obyek yang dikenakan PBB

Objek PBB adalah bumi dan/atau bangunan.


(34)

Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan, termasuk dalam pengertian bangunan

Dalam pasal 2 ayat 1 UU PBB menyatakan bahwa yang menjadi obyek pajak adalah bumi dan/atau bangunan. Yang dimaksud bumi adalah permukaan bumi (perairan) dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Dan pengertian bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah (dan/atau perairan), yang diperuntukan sebagai tempat tinggal atau tempat yang dapat diusahakan. Selanjutnya penjelasan UU PBB (pasal 1 ayat 2) menguraikan lebih lanjut tentang pengertian bangunan adalah sebagai berikut:

1) Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik dan emplasemennya dan lain-lain yang merupakan satu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut;

2) Kolam renang; 3) Pagar mewah; 4) Tempat olahraga;

5) Galangan kapal dermaga; 6) Taman mewah;

7) Tempat penampungan / kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; 8) Fasilitas lain yang memberikan manfaat;


(35)

b. Obyek Pajak yang tidak dikenakan PBB

Di dalam pasal 3 ayat (1) UU PBB menyatakan bahwa obyek pajak yang tidak dikenakan PBB adalah obyek pajak yang:

1) Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan mempunyai arti adalah bahwa obyek pajak itu diusahakan untuk melayani kepentingan umum, dan nyata-nyata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan; 2) Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis

dengan itu.

3) Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah pengembalaan yang dikuasai desa, tanah negara yang belum dibebani suatu hak.

4) Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik.

5) Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Yang dimaksud dengan tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan adalah bahwa objek PBB semata-mata hanya digunakan untuk pelayanan umum dan nyata-nyata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan. Hal ini dapat diketahui antara lain dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dari yayasan/badan yang bergerak dalam bidang


(36)

ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional tersebut. Termasuk pengertian ini adalah hutan wisata milik Negara sesuai Pasal 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan.

Dan salah satu yang terpenting lagi bagi Wajib Pajak, dengan UU PBB yang baru yaitu UU No. 12/1994 pasal 3 ayat 3 ditentukan bahwa besarnya Nilai Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) ditetapkan sebesar Rp. 8.000.000 (delapan juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. Ini merupakan suatu perubahan dari UU lama yaitu UU No. 12/1985, dimana Batas Tidak Kena Pajak (PTKP) yang tercantum dalam pasal 3 ayat 3 terdahulu disebutkan bahwa BTKP sebesar Rp. 7.000.000 (tujuh juta rupiah) diberikan per/obyek pajak serta dikenakan untuk bangunan saja, sedangkan dengan perubahan UU baru yaitu UU No. 12/1994, dimana BTKP dikenakan sebesar Rp. 8.000.000 (delapan juta rupiah) per / wajib pajak serta dikenakan untuk bumi dan/atau bangunan.

Apabila selanjutnya seorang Wajib Pajak mempunyai beberapa Obyek Pajak yang diberikan NJOTKP hanya salah satu Objek Pajak yang nilainya terbesar10

10

Drs. Waluyo, MSc, MM, Akt dan Drs. Wirawan B. Ilyas, MSi, Perpajakan Indonesia, (Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 1999). Hal. 367.

, sedangkan Obyek Pajak lainnya tetap dikenakan secara penuh tanpa dikurangi NJOPTKP. Sebagai contoh:


(37)

a. Seorang wajib pajak hanya mempunyai obyek pajak berupa bumi dengan nilai sebagai berikut:

- NJOP Bumi ………..Rp. 4.000.000 - NJOPTKP ………Rp. 8.000.000

Karena NJOP berada di bawah NJOPTKP, maka obyek pajak tertentu tidak dikenakan PBB.

b. Seorang wajib pajak mempunyai dua obyek pajak berupa bumi dan bangunan masing-masing di Desa A dan Desa B dengan nilai sebagai berikut:

1) Desa A

- NJOP Bumi ………..Rp. 8.000.000 - NJOP Bangunan….………..Rp. 5.000.000 NJOP untuk perhitungan pajak:

- NJOP Bumi ………..Rp. 8.000.000 - NJOP Bangunan….………..Rp. 5.000.000 (+) - NJOP sebagai dasar Pengenakan pajak .…….Rp. 13.000.000 - NJOPTKP………..………..Rp. 8.000.000 (-) - NJOP untuk perhitungan pajak ………..Rp. 5.000.000 2) Desa B

- NJOP Bumi ………..Rp. 5.000.000 - NJOP Bangunan….………..Rp. 3.000.000 NJOP untuk perhitungan pajak:


(38)

- NJOP Bumi ………..Rp. 5.000.000 - NJOP Bangunan….………..Rp. 3.000.000 (+) - NJOP sebagai dasar Pengenakan pajak .…….Rp. 8.000.000 - NJOPTKP………..………..Rp. 0__ (-) - NJOP untuk perhitungan pajak ………..Rp. 8.000.000

Untuk obyek pajak di desa B, tidak diberikan NJOPTKP sebesar Rp. 8.000.000 (delapan juta rupiah), karena NJOPTKP telah diberikan untuk

obyek pajak yang berada di desa A.

Tetapi Di dalam pengenaan PBB terdapat suatu batas nilai yang tidak dikenakan pajak yang disebut Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP). Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No: 201 /KMK.04/2000 tanggal 6 Juni 2000 ditetapkan batas NJOPTKP maksimum sebesar Rp 12.000.000 per Wajib Pajak dan ditetapkan secara regional.

Namun kebijakan Pemerintah setiap tahun berubah, seperti Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bisa menjadi lebih ringan. Pemerintah telah menaikkan Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) dari semula Rp.12.000.000 menjadi Rp.24.000.000. Dengan kebijakan tersebut, nilai jual objek pajak yang dijadikan dasar menghitung PBB yang harus dibayar menjadi lebih kecil. Kebijakan ini juga sebagai respons harga properti yang terus meningkat. Penetapan NJOPTKP baru tersebut dilakukan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 67 / PMK.03/2011 yang terbit 4 April 2011.


(39)

Penyesuaian besaran NJOPTKP ini dilakukan seiring dengan perkembangan, ekonomi, moneter, dan harga umum objek pajak.Aturan baru tersebut akan mulai berlaku pada 2012. Untuk pembayaran sepanjang 2011, masih menggunakan NJOPTKP Rp.12.000.000. PMK baru mulai berlaku 1 Januari 2012. NJOPTKP merupakan pengurangan besarnya NJOP sebelum dikalikan tarif PBB sehingga NJOPTKP akan mengurangi besarnya PBB yang terutang. Saat ini tarif PBB maksimal adalah 0,3 persen dari NJOP. Penerimaan PBB dalam APBN 2011 ditargetkan Rp.27,6triliun. Pada 2010, penerimaan PBB mencapai Rp.25,3 triliun. Capaian tersebut lebih tinggi dibanding tahun 2009 Rp.24,2 triliun.

B. Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)

1. Pengertian Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) dalam Pajak Bumi dan Bangunan Di dalam UU PBB No. 12 Tahun 1994, pasal 1 angka 3 berbunyi: “Nilai jual obyek pajak adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli, nilai jual obyek pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau nilai jual obyek pajak pengganti”. Sedangkan pada pasal 6 ayat 1 berbunyi: “Dasar pengenaan pajak adalah nilai jual obyek. Pajak sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan setiap tiga tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan daerahnya.


(40)

Sehubungan dengan keterangan di atas yang dimaksud dengan pasal 1 angka 3 mengenai:

a. Perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis, adalah suatu pendekatan / metode penentuan nilai jual suatu obyek pajak dengan cara membandingkan dengan obyek lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dengan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya.

b. Nilai perolehan baru, adalah suatu pendekatan / metode penentuan nilai jual suatu obyek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh obyek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik obyek tersebut.

c. Nilai jual pengganti, adalah suatu pendekatan / metode penentuan nilai jual suatu obyek pajak yang berdasarkan pada hasil produksi obyek pajak tersebut (penjelasan pasal 1 angka 3 UU PBB No. 12/1994).

Dan didalam PMK No 150/PMK.03/2010 Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.

2. Dasar-dasar Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP)

Menurut pasal 6 ayat (1) dan (2) dasar pengenaan pajak adalah NJOP serta besarnya NJOP ditetapkan setiap tiga tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali


(41)

untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai perkembangan daerahnya. Namun demikian untuk daerah tertentu yang karena perkembangan pembangunan mengakibatkan kenaikan nilai jual obyek pajak cukup besar, maka dalam menetapkan nilai jual. Menteri Keuangan banyak mendengar pertimbangan Gubernur setempat.

Berdasarkan pengertian NJOP pada pasal 1 angka 3 UU No. 12/1994, bahwa pengertian nilai-nilai yang disebutkan nilai perbandingan harga dengan obyek lain sejenis, nilai perolehan baru, dan NJOP pengganti, disini harus mempehatikan kondisi wajib pajak serta kondisi perekonomian nasional yang berfluktuasi keadaannya.

Memang dalam sistem penetapan NJOP yang harus banyak diperhatikan adalah distribusi beban pajak pada masyarakat yang harus adil. Akan tetapi untuk menilai adil tidaknya distribusi beban pajak tersebut harus melihat dua (2) tolak ukur yang digunakan. Pertama, adalah prinsip kemampuan membayar dan kedua, adalah prinsip manfaat. Dimana pada tolak ukur yang pertama bahwasanya NJOP yang ditetapkan untuk sementara ini memenuhi prinsip keadilan, dan dalam penerapannya juga memperhatikan tiga aspek, yaitu tingkat pendapatan, kekayaan dan pengeluaran wajib pajak. Dan semakin banyak dan tinggi NJOP yang dimiliki wajib pajak, jelas semakin tinggi pula tingkat kemakmuran wajib pajak tersebut untuk membayar pajak


(42)

juga tinggi.11

3. Faktor-faktor Penentu Klasifikasi NJOP

Sedangkan dilihat dari prinsip manfaat, dalam sistem penetapan NJOP tinggi rendahnya, ditentukan diantaranya oleh fasilitas-fasilitas dan jasa-jasa yang diberikan pemerintah. Karenanya pula, wajar apabila NJOP di daerah perkotaan lebih tinggi daripada daerah yang kurang atau belum terjamah oleh sarana dan prasarana dari pemerintah.

Dalam penentuan klasifikasi NJOP dalam PBB, tanah dan bangunan yang banyak macamnya itu tidak mungkin nilainya disamaratakan. Untuk itu tanah dan bangunan perlu dikategorikan dan diklasifikasikan.

Sebagaimana telah disebutkan dalam UU No. 12/1994 pasal 2 ayat 2 dalam penjelasannya yang dimaksud dengan klasifikasi bumi dan bangunan adalah pengelompokan dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman serta untuk memudahkan perhitungan pajak yang terhutang. a. Dalam penentuan klasifikasi bumi/tanah harus diperhatikan faktor-faktor

sebagai berikut:

1) Letak tanah / bangunan 2) Peruntukan tanah / bangunan 3) Pemanfaatan

4) Kondisi lingkungan

Pada faktor-faktor di atas bisa ditambahkan: 1) Luas tanah, bumi dan bangunan

11


(43)

2) Kesuburan atau hasil tanah / bangunan

3) Adanya irigasi atau tidak dan lain sebagainya.

b. Dalam penentuan klasifikasi bangunan yang harus diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut:

1) Bahan yang digunakan 2) Rekayasa

3) Letak

4) Kondisi lingkungan dan lain-lain

Bersamaan dengan ini pemerintah melalui Menteri Keuangan yang berwenang menurut UU, maka dikeluarkan Keputusan Menteri Keuangan R.I. Nomor 523/KMK.04/1998 tanggal 18 Desember 1998 tentang Penentuan Klasifikasi dan Besarnya Nilai Jual Objek Pajak sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan.

Di dalam keputusan ini, pada pasal 7 menyatakan bahwa Keputusan Menteri Keuangan R.I. Nomor 174/KMK.04/1993 dan Keputusan Menteri Keuangan No. 273/KMK.04/1995 tentang Klasifikasi dan Besarnya Nilai Jual Obyek Pajak sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan, dinyatakan tidak berlaku.

Dengan adanya penentuan klasifikasi, penggolongan dan ketentuan nilai jual bumi dan bangunan lebih memudahkan penghitungan pajak terhutang.


(44)

C. Penyelesaian Sengketa PBB antara Wajib Pajak dan Pejabat Pajak

Di dalam masalah ini, penyelesaian sengketa yang dilakukan Wajib Pajak dengan mengajukan keberatan dan banding.

1. Pengajuan Keberatan

Sebagai dasar hukum pengajuan keberatan adalah pasal 15 ayat 1 UU No. 12/1994 tentang PBB yang menyatakan bahwa Wajib Pajak (WP) dapat mengajukan keberatan pada Direktur Jenderal Pajak atas Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang dan Surat Ketetapan Pajak.12

Surat keberatan adalah surat permohonan Wajib Pajak yang bersangkutan yang ditujukan kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang berwenang, untuk meminta kebebasan atau pengurangan pajak yang dikenakan kepadanya berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) atau Surat Ketetapan Pajak (SKP), dengan alasan wajib pajak tidak dapat menyetujui dasar yang digunakan untuk menghitung pajaknya. Syarat keberatan ini di dalam penulisannya mempunyai syarat formal yaitu harus dengan jelas menyebutkan nama Wajib Pajak Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), jenis pajak, tahun pajak, jumlah pajak yang menjadi keberatan besarta alasan-alasan yang kuat dan benar. Dan apabila tidak memenuhi syarat formal di atas, tidak dianggap sebagai Surat Keberatan, sehingga tidak dapat dipertimbangkan (dikaitkan dengan UU No. 9/1994 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan).

12


(45)

Surat keberatan ini harus sudah diajukan dalam jangka tiga bulan terhitung sejak tanggal diterimanya SPPT atau SKP (pasal 15 (3) UU PBB). Jangka waktu tiga bulan ini dimaksudkan untuk memberikan cukup waktu bagi wajib pajak untuk mempersiapkan surat keberatan dan alasan-alasan. Dan apabila dalam tiga bulan itu tidak dapat dipatuhi oleh wajib pajak, karena keadaan laur biasa yang ada di luar kekuasaannya (force majeur), maka hal ini harus diberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala Kantor Pelayanan Pajak (pasal 15 ayat 3), apabila diterima maka diajukan secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia (pasal 15 ayat 2) dan sebagai tanda bukti pemasukan Dirjen Pajak memberikan tanda bukti penerimaan. Dan apabila dikirim melalui pos, maka tanda bukti pengiriman adalah bukti penerimaan surat keberatan (pasal 15 ayat 4).

Pemasukan surat keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak (pasal 15 ayat 6),13

SPPT diterima tanggal 1 April 1994, dan harus dibayar paling lambat tanggal 20 September 1994. Wajib pajak berkeberatan atas jumlah pajak yang ditetapkan SPPT. Ia mengajukan keberatan pada tanggal 5 April 1994. Dikarenakan pajak terhutang baru dilunasi pada tanggal 30 September 1994,

sehingga wajib pajak selama belum ada keputusan surat keberatan yang mengubah SPPT dan SKP, tetap diharuskan membayar pajak yang sudah jatuh temponya.

Sebagai contohnya:

13


(46)

maka dia masih ada waktu walaupun ditunda. Akan tetapi apabila sebelum tanggal 30 September 1994 belum juga ada keputusan tentang surat keberatannya, maka wajib pajak harus melunasi pajaknya pada tanggal 30 September 1994, karena pemasukan surat keberatan tidak menunda pembayaran pajaknya.

Jika wajib pajak mendapat SKP pada tanggal 1 April 1994, maka jatuh temponya hanya satu bulan dan pajak harus lunas pada tanggal 30 April 1994. Dan apabila pada tanggal 29 April 1994 belum juga ada keputusannya maka wajib pajak harus melunasi pajak-pajak yang dikenakan kepadanya dengan SKP tersebut.

Dari kesemua di atas, surat keberatan akan diputuskan dalam jangka paling lama 12 (dua belas) bulan oleh Dirjen Pajak c.q. Kepala Kantor Pelayanan Pajak, sejak diterima surat keberatan. Dengan ini wajib memberikan keputusan atas surat keberatan yang diajukan (pasal 16 ayat 1).

Keputusan yang diberikan Dirjen Pajak atas surat keberatan dapat berisi: a. Menerima keberatan, seluruhnya atau sebagian

b. Menolak surat keberatan

c. Menambah besarnya pajak yang terhutang (pasal 16 ayat 3)

Apabila dari pihak Dirjen Pajak menganggap, bahwa surat keberatan yang diajukan beralasan, maka akan diterima, berarti bahwa pengurangan hutang sesuai dengan permohonan wajib pajak. Adakalanya sering terjadi bahwa permohonan surat keberatan yang dilakukan wajib pajak tidak diterima


(47)

seluruhnya, hanya sebagian, berarti juga hutang pajak dikurangi sebagian. Akan tetapi apabila alasan-alasan yang dikemukakan wajib pajak tidak dapat diterima, maka surat keberatan tersebut ditolak, berarti pajak yang dipertahankan tidak dikurangi. Dan apabila prosedur surat keberatan yang diajukan dalam 12 bulan terlewati, dan tidak diberikan keputusan, maka surat keberatan wajib pajak dianggap diterima pasal 26 UU No. 9/19947 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Bagi wajib pajak yang prosedur surat keberatannya ditolak Dirjen Pajak, maka penolakan itu harus disertai alasan-alasannya. Dan apabila wajib pajak belum puas dengan keputusan tersebut maka masih ada satu upaya agi yaitu banding.14

2. Pengajuan Banding

Dengan dihapsukannya dasar hukum banding dalam UU PBB No. 12/1994 pasal 17, maka acuan banding mengikuti pasal 27 UU No. 9/1994 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984.

Dalam pada itu, pasal 27 ayat 1 UU No. 9/1994 menyatakan bahwa wajib pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Selanjutnya sebelum badan peradilan pajak dibentuk, permohonan banding diajukan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak,

14


(48)

yang putusannya bukan merupakan Keputusan Tata Usaha Negara (ayat 2). Dengan dikeluarkannya UU No. 9/1994, maka penyempurnaan UU No. 6/1983 terutama pada pasal 27, ditambah dengan pasal 27A yang menyatakan bahwa apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding diterima sebagian atau seluruhnya, maka kelebihan pembayaran dikembalikan dengan di tambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk selama-lamanya dua puluh empat bulan.15

a. Tertulis dalam bahasa Indonesia

Syarat formal pengajuan banding tersebut antara lain:

b. Dalam jangka tiga bulan

c. Alasan-alasan yang jelas dan kuat d. Dilampiri salinan surat keputusan

e. Tidak menunda kewajiban membayar pajak dan penagihan pajak

Kemudian apabila sudah diputuskan, maka sifat putusan itu bukan merupakan putusan Tata Usaha Negara dan putusan badan peradilan pajak merupakan putusan akhir dan bersifat tetap.

Di dalam penyempurnaan-penyempurnaan mengenai ketentuan banding di atas, akan menghapus keragu-raguan wajib pajak yang selama ini akan mengajukan upaya banding. Ini dimaksudkan untuk memberikan keadilan

15

Harahap, M.Y. Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa,


(49)

dalam pengenaan pajak dan memperjelas ketentuan mengenai banding ke dalam peradilan pajak.

Sebagai contoh:

Pasal UU lama ketentuan umum dan tata ca perpajakan No. 6/1983 pasal 27 ayat 1 menentukan bahwa surat banding terhadap keputusan Dirjen Pajak harus diajukan dalam jangka waktu tiga bulan terhitung sejak tanggal keputusan ditetapkan, sedangkan pasal 17 UU PBB lama No. 12/1985 menentukan bahwa jangka waktu itu adalah tiga bulan sejak diterimanya surat keputusan Dirjen Pajak. Dua ketentuan tentang hal yang sama itu ternyata berlainan.16

16

Prof. DR. H. Rochmat Soemitro, SH., Pajak Bumi dan Bangunan. (Bandung: PT. Eresco, 1986), hal. 13.

Bila kita berdasarkan asas Lex specialis deorgat lex generalis, pasal 17 ayat 1 UU PBB itulah merupakan ketentuan yang lebih khusus.

Pada peraturan yang baru, yaitu pada UU PBB No. 12/1994 pasal 17 mengenai aturan banding pada undang-undang ini dihapuskan. Prosedur banding merujuk pada pasal 27 UU No. 9/1994 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Dengan adanya ketentuan baru ini, maka kepastian hukum putusan badan peradilan pajak (untuk saat ini Badan Penyelesaian Sengketa Pajak menurut Undang-undang No. 17/1997 dapat diwujudkan, sehingga atas setiap putusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak dapat langsung dieksekusi, dan tidak dapat dilakukan upaya hukum lainnya sehingga arus penerimaan pajak dapat terjamin.


(50)

BAB III

ANALISME METODE-METODE PERBANDINGAN NJOP DAN MEKANISME KLASIFIKASI PENETAPAN NJOP SERTA FAKTOR

EFEKTIFITAS PENARIKAN PBB

A. Analisis Metode Perbandingan NJOP

Pada bab ini dibahas bobot tiap kriteria hasil perbandingan berpasangan dan analisis terhaap hasil urutan prioritas ketiga metode, yaitu:17

1. Metode The Analytic Herarchy Process (AHP)

Penentuan prioritas objek penilaian individu dimana sepenuhnya menggunakan pendekatan AHP.

2. Metode Bobot Sama

Penentuan prioritas objek penilaian individu dimana mekanisme hitungan menggunakan pendekatan AHP namun bobot kriteria dibuat sama besar. 3. Metode Aca

Penentuan prioritas objek penilaian individu yang digunakan oleh KP PBB Medan pada tahun 2010

Meskipun KP PBB Medan memiliki kemampuan untuk melakukan penilaian individual sebanyak 50 objek pajak per tahun namun karena pada tahun 2010 anya 30 objek pajak maka fokus analisis dilakukan terhadap 30 prioritas utama.

17


(51)

a. Analisis Bobot Kritera

Penelitian ini menggunakan dua jenis bobot kriteria. Jenis pertama, semua kriteria diberi bobot sama yaitu masing-masing sebesar 2,5. Jenis kedua, bobot tiap kriteria dihasilkan dari perbandingan berpasangan melalui lembar kuesioner. Rinci angka bobot hasil kuesioner disajikan pada tanggal 1 berikut:

KRITERIA KEPALA SEKSI PEDANIL KEPALA SEKIS PENAGIHAN PEJABAT FUNGSIONAL PENILAI PBB RERATA SEMUA AKTOR

NJOP 0,5831 0,2674 0,3033 0,3846

Usia Penilaian

0,2895 0,1267 0,5585 0,3249

Tingkat Ketaatan WP

0,0849 0,5660 0,0950 0,2486

Jarak dari Kantor

0,0425 0,0399 0,0432 0,0418

Angka bobot pada tabel di atas menunjukkan bahwa dalam penentuan prioritas objek penilaian individual kepala seksi pendataan dan penilaian lebih mengutamakan objek dengan NJOP besar yaitu dengan memberi bobot 0,5831. Kepala seksi penagihan berpandangan bahwa wajib pajak yang taat hendaknya lebih diutamakan yaitu dengan memberi bobot 0,5660. Pejabat fungsional penilai PBB lebih mengutamakan objek penilaian individual yang memiliki usia penilaian lama. Semua aktor sepakat bahwa jarak dari kantor pelayanan PBB merupakan pertimbangan terakhir diantara empat kriteria yang digunakan. Hasil rerata atas preferensi semua aktor menempatkan NJOP


(52)

sebagai kriteria yang paling diperhitungkan yaitu dengan bobot sebesar 0,3846.

Perbedaan variasi bobot kriteria menunjukkan bahwa para aktor sangat ketat dalam upaya mencapai tujuan yang menjadi tanggungjawab masing-masing. Kepala seksi pendataan dan penilaian sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam menggali potensi pajak memberi bobot tinggi terhadap NJOP dan usia penilaian dibanding kriteria lain. Hal ini ia lakukan karena NJOP dan usia penilaian merupakan unsur yang paling menentukan besar kenaikan potensi pajak dibanding dua kriteria yang lain.

Kepala seksi penagihan bertanggungjaab untuk menekan sekecil mungkin tumbuhnya tunggakan pajak sehingga memberikan bobot terbesar pada kriteria tingkat ketaatan dibanding tiga kriteria yang lain. Pejabat fungsional penilai PBB merupakan pelaksana teknis kegiatan penilaian individual yang setiap hari lebih sering berinteraksi dengan seksi pendataan penilaian ternyata juga memiliki preferensi yang tidak jauh berbeda dengan kepala seksi pendataan dan penilaian yaitu mengutamakan kriteria NJOP dan usia penilaian, hanya saja usaia penilaian lebih diutamakan dibanding NJOP.

Bobot pada kriteria jarak menunjukan bahwa ketiga aktor memandang bahwa jarak adalah hal yang tidak terlalu penting untuk dipertimbangkan sehingga semua sepakat memberi bobot terkecil.


(53)

b. Analisa Urutan Prioritas Hasil Metode AHP

Potensi kenaikan NJOP pada urutan prioritas objek penilaian individual hasil metode AHP disajikan pada tabel 2 berikut:

PRIORITAS NJOP 2010 POTENSI KENAIKAN NJOP

Rp. %

10 UTAMA 754.032.797.000 151.506.537.728 20%

20 UTAMA 788.382.120.000 182.532.822.151 23%

30 UTAMA 825.606.322.000 209.384.244.911 25%

40 UTAMA 900.106.565.000 241.070.373.145 27%

50 UTAMA 928.516.348.000 253.897.071.215 27%

Tigapuluh prioritas utama objek penilaian individual hasil metode AHP menghasilkan potensi kenaikan NJOP sebesar Rp. 209.384.244.911,- atau 25% terhadap NJOP 2010 artinya rata-rata objek pajak memberikan kontribusi kenaikan NJOP sebesar Rp. 6.979.474.830,-. Sebagaimana tersaji pada tabel 3 jumlah wajib pajak yang selama 10 tahun terakhir senantiasa membayar tepat waktu adalah 27 (90%) wajib pajak dengan nilai potensi NJOP 2011 sebesar Rp. 797.057.349.681 (77%).

Tabel 3. Potensi lunas tepat waktu metode AHP

PRIORITAS NJOP 2008

POTENSI LUNAS TEPAT WAKTU

Rp. OP

10 UTAMA 905.539.334.728 702.990.191.792 8

20 UTAMA 970.914.942.151 768.365.799.215 18

30 UTAMA 1.034.990.566.911 797.057.349.681 27

40 UTAMA 1.141.176.938.145 886.854.278.835 36


(54)

Kemampuan KP PBB Medan untuk melakukan penilaian individual maksimal adalah 50 objek pajak per tahun. Tabel 2 menunjukan bahwa metode AHP memiliki kecenderungan peningkatan persentase jumlah kenaikan NJOP pada beban kerja 10, 20, 30, 40, maupun 50 objek pajak.

Dengan demikian akan lebih efisien apabila melaksanakan penilaian individual sebanyak 50 objek pajak.

Puncak persentase potensi peningkatan NJOP dicapai pada saat objek penilaian individual sebanyak 94 objek pajak yaitu sebesar 31,44% atau Rp. 372.054.616.671.

c. Analisi Urutan Prioritas Hasil Metode Bobot Sama

Potensi kenaikan NJOP dan potensi pelunasan pada urutan urioritas objek penilaian individual hasil metode bobot sama disajikan pada tabel 4 berikut:

Tabel 4. Potensi kenaikan NJOP metode bobot sama

PRIORITAS NJOP 2010 POTENSI KENAIKAN NJOP

Rp. %

10 UTAMA 544.843.820.000 129.386.336.929 24%

20 UTAMA 590.029.275.000 161.348.603.290 27%

30 UTAMA 612.205.212.000 180.237.315.322 29%

40 UTAMA 682.941.006.000 211.085.203.567 31%

50 UTAMA 724.136.977.000 236.813.626.567 33%

Ada 30 prioritas utama objek penilaian individual hasil metode bobot sama menghasilkan potensi kenaikan NJOP sebesar Rp. 180.237.315.322,-


(55)

atau 29% terhadap NJOP 2009 artinya rata-rata tiap objek pajak memberikan kontribusi kenaikan NJOP sebesar Rp. 6.007.910.511,-. Jumlah wajib pajak yang selama 10 tahun terakhir senantiasa membayar tepat waktu adalah 28

(97%) wajib pajak dengan nilai potensi NJOP 2010 besar Rp. 589.893.384.386 (74%), sebagaimana tercantum pada tabel 5.

Kemampuan KP PBB Medan untuk melakukan penilaian individual maksimal adalah 50 objek pajak per tahun. Tabel IV 3 menunjukkan bahwa metode bobot sama memiliki kecendrungan peningkatan persentase jumlah kenaikan NJOP pada beban kerja 10, 20, 30, 40 maupun 50 objek pajak, dengan demikian akan lebih efisien apabila melaksanakan penilaian individual sebanyak 50 objek pajak.18

PRIORITAS

Puncak efisiensi dicapai pada saat objek penilaian individual sebanyak 62 objek pajak yaitu dengan persentasei jumlah kenaikan NJOP sebesar 33,24% atau Rp. 258.581.576.942.

Tabel 5. Potensi Pelunasan Tepat Waktu Metode Bobot Sama

NJOP 2010 POTENSI KENAIKAN NJOP

Rp. OP

10 UTAMA 674.230.156.929 471.681.013.994 8

20 UTAMA 751.377.878.290 548.828.735.354 18

30 UTAMA 792.442.527.322 589.893.384.386 29

40 UTAMA 984.026.209.567 656.092.992.336 37

50 UTAMA 960.950.603.567 706.627.953.257 46

18


(56)

d. Analisis Urutan Prioritas Hasil Metode Acak

Potensi kenaikan NJOP dan potensi pelunasan pada urutan prioritas objek penilaian individual hasil metode acak disajikan pada tabel 6.

Ada 30 prioritas utama objek penilaian individual berdasarkan urutan prioritas objek penilaian individual dengan metode acak menghasilkan potensi kenaikan NJOP sebesar Rp. 152.667.528.562,- atau 23% terhadap NJOP 2010 rtinya rata-rata tiap objek pajak memberikan kontribusi kenaikan NJOP sebesar Rp. 5.088.917.619,-

Tabel 6. Potensi kenaikan NJOP metode acak

PRIORITAS NJOP 2010 POTENSI KENAIKAN NJOP

Rp. %

10 UTAMA 20 UTAMA

30 UTAMA 668.827.920.000 152.667.528.562 23%

Jumlah wajib pajak yang selama 10 tahun terakhir senantiasa membayar tepat waktu adalah 15 (50%) wajib pajak dengan nilai potensi NJOP 2010 besar Rp. 584.486.789.486 (71%), sebagaimana disajikan pada tabel 7.

Tabel 7. Potensi pelunasan tepat waktu metode acak

PRIORITAS NJOP 2010 POTENSI KENAIKAN NJOP

Rp. OP

10 UTAMA 20 UTAMA


(57)

e. Perbandingan Antar Metode

Berikut akan dibandingkan ketiga metode dari sisi jumlah potensi kenaikan NJOP dan potensi lunas tepat waktu. Perbandingan dilakukan terhadap data 30 prioritas utama.

1) Perbandingan potensi kenaikan NJOP

Perbandingan kemampuan tiap metode penentuan prioritas objek penilaian individual menggali potensi kenaikan NJOP.

2) Perbandingan potensi pelunasan tepat waktu

Perbandingan kemampuan tiap metode penentuan prioritas objek penilaian individual dalam potensi pelunasan tepat waktu.

Persentasi tertinggi potensi lunasi tepat waktu dimiliki oleh tigapuluh prioritas utama hasil metode AHP yaitu 77% dari potensi NJOP tahun 2010 Rp. 797.057.349.681,-. Potensi kedua diduduki metode bobot sama yaitu sebesar 74% dari potensi NJOP tahun 2010 atau Rp. 589.893.384.386,-

Tigapuluh prioritas utama hasil metode acak memiliki persentasei terkecil yaitu sebesar 71% dari potensi NJOP tahun 2010 atau Rp. 584.486.789.486,-. Dari sisi potensi pelunasan tepat waktu metode AHP kembali menduduki metode terbaik.19

19

Rusjdi, M. KUP Ketentuan Umum dan Tata Cara Penghitungan Pajak, (Jakarta: PT. Ineks, 2003), hal. 56.


(58)

B. Mekanisme Penetapan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebagai Dasar Penerbitan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Sesuai dengan yang tercantum dalam pasal 1 UU No. 12 tahun 1994 tentang PBB, Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) ditetapkan berdasarkan harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar. Adapun mekanisme disebut dengan Analisis Zona Nilai Tanah (ZNT), dimana penilaian objek pajak dilakukan dengan tiga pendekatan yaitu,20

Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan Kepala KPPBB, ditemukan bahwa data yang digunakan pihak KPPBB untuk harga tanah diperoleh berdasarkan laporan transaksi jual beli yang dilakukan oleh notaris, yang biasanya diberikan tiap akhir bulan yang memuat tentang letak tanah yang dijadikan objek Pendekatan Data Pajak (untuk pajak bumi), Pendekatan Biaya (untuk data bangunan) dan Pendekatan Pendapatan (terutama untuk tanah-tanah produktif / pertanian). Untuk PBB di perkotaan di kotamadya Medan, menurut Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KPPBB) yang dijadikan acuan adalah transaksi jual beli tanah dan harga bangunan yang ada di masyarakat dan perkembangan suatu wilayah. Adapun faktor-faktor yang dijadikan acuan untuk NJOP Bumi/Tanah adalah: letak, peruntukan, pemanfaatan tanah, sedangkan untuk NJOP Bangunan adalah bahan bangunan, rekayasa, letak dan kondisi lingkungan.

20

Syofyan, S. Hukum Pajak dan Permasalahannya, (Jakarta: PT. Refika Aditama Cet. Pertama, 2004), hal. 120.


(59)

jual beli, luas tanah, dan harga tanah. Berdasarkan harga tersebut selanjutnya nilai jual tanah/bumi tersebut dikelompokkan sesuai dengan klasifikasi NJOP untuk bumi berdasarkan keputusan MenKeu No. 174/KMK.04/1993, untuk dilihat beberapa ketentuan nilai jualnya.

Sementara itu untuk NJOP untuk bangunan ditentukan dengan pendekatan biaya yang didasarkan atas harga bahan bangunan yang dipergunakan. Dalam hal ini kepada Wajib Pajak diminta untuk mengisi formulir rincian data bangunan yang disediakan oleh KPPBB. Berdasarkan data dalam formulir tersebut untuk penetapan NJOP nya dilakukan penilaian berdasarkan daftar biaya komponen bangunan (DBKB) yang dipergunakan, dimana informasinya diperoleh dari toko-toko bangunan yang ada. Dari data-data tersebut selanjutnya oleh petugas dari KPPBB diolah dalam program computer yang sudah disediakan dari pusat, hingga akan diperoleh NJOP untuk bangunan.

Selanjutnya berdasarkan NJOP baik Bmi dan Bangunan tersebut dapat dilakukan penghitungan besarnya PBB yang harus dibayar, yaitu dengan mengurangi total NJOP dengan Nilai Jual Objek Tak Kena Pajak (NJOPTKP) sehingga ditemukan besarnya nilai jual objek pajak untuk penghitungan PBB.21

21

Soemitro, H.R. Asas dan Dasar Perpajakan, (Bandung: PT. Eresco Cet. Pertama, 1996), hal. 45.

Adapun besarnya NJOPTKP untuk masing-masing daerah berbeda-beda, dimana untuk kotamadya Medan ditentukan besarnya adalah Rp. 24.000.000 besarnya nilai jual kena pajak adalah 20% dari NJOP untuk menghitungan PBB. Selanjutnya berdasarkan NJKP tersebut dapat dihitung besarnya Pajak Bumi dan


(60)

Bangunan (PBB) yang terhutang yaitu 0,5% dari NJKP. Dengan kata lain besarnya PBB yang harus dibayar setiap Wajib Pajak di kotamadya Medan adalah: 0,5% x 20% x NJOP dikurangi NJOPTK.

Sesuai dengan pasal 6 ayat 2 UU PBB penetapan nilai jual objek pajak diperbaiki setiap tiga tahun sekali, kecuali untuk daerah tertentu yang karena perkembangan pembangunanya mengakibatkan kenaikan nilai jual objek pajak cukup besar, maka penetapan nilai objek pajak ditentukan setahun sekali. Untuk kotamadya Medan penetapan NJOP dilakukan setiap tiga tahun sekali.

Dari keseluruhan mekanisme yang dilakukan dalam rangka penetapan PBB tersebut persoalan yang muncul biasanya berkaitan dengan penentuan nilai jual objek pajak untuk bangunan yang dijadikan sebagai acuan untuk penentuan NJOP bangunan.

Dalam hal ini pajak petugas di KPPBB pun tidak bisa memberikan jawaban yang jelas, karena program komputernya sudah dibuat dari pusat. Hal ini seperti dikemukakan sendiri oleh petugas yang memasukkan data ke komputer KPPBB.

Tentang mekanisme penetapan JOP PBB ini dari hasil kuisioner yang diberikan, ternyata 56 dari 60 responden (93,3%) menjawab tidak tahu mekanismenya. Hal ini berakibat pada ketidaktahuan mereka akan dasar perhitungan besarnya PBB yang harus dibayar, yaitu 48 dari 60 responden (80%). Penetapan NJOP secara penuh dilakukan oleh pihak Kantor Pelayanan PBB


(61)

dengan mengacu pada program penghitungan dengan komputer yang telah ditetapkan oleh pusat.

C. Pihak-Pihak yang Dilibatkan dalam Penetapan NJOP

Berdasarkan mekanisme yang dikemukakan diatas nampak bahwa secara langsung penetapan NJOP dilakukan secara tersentralisir oleh pihak KPPBB sendiri, yaitu dengan mengacu pada Keputusan Menteri Keuangan, dengan menggunakan program computer yang sudah ditetapkan oleh pusat. Untuk penetapan dilakukan secara tersentralisir oleh pusat, mereka sendiri pun tidak tahu tentang hal tersebut, karena mereka hanya mengacu pada SK Menteri Keuangan No. 174/KMK.04/1993.

Mereka tinggal memasukkan data yang diperlukan kemudian akan diperoleh nilai jual objek pajaknya terutama untuk bangunan. Namun demikian, untuk memenuhi persyaratan data kelengkapan baik untuk penetapan NJOP Bumi maupun Bangunan mereka juga melibatkan beberapa komponen masyarakat, seperti notaris, aparat desa, pengembang, dan pedagang bangunan.

Dengan demikian keterlibatan komponen lain diluar kantor pelayanan PBB hanyalah merupakan bentuk keterlibatan tidak langsung saja. Notaris misalnya memberikan informasi yang berkaitan dengan harga tanah pada suatu tempat, aparat desa membantu memberikan penyuluhan dengan sosialisasi pada warga masyarakat serta membantu mengisikan rincian data bangunan, pedagang bahan bangunan memberikan informasi untuk mengisi Daftar Biaya Komponen


(62)

Bangunan (DBKB), Gubernur membantu memberikan perkembangan kepada Menteri Keuangan dan sebagainya.

Melihat kegiatan tersebut perlu dipertimbangkan upaya melibatkan pemerintah kotamadya secara riil khususnya untuk menyiasasti pengisian data terutama yang berkaitan dengan rincian bangunan dan harga bangunan sehingga masyarakat tidak terlalu merasa berat untuk membayar PBB,22

D. Patokan Dasar Penetapan NJOP dan Tanggapan Masyarakat atas Mekanisme Penetapan NJOP

khususnya jika terjadi kenaikan.

Hasil penelitian menunjukan bahwa selama ini pihak pemerintah kotamadya lebih dilibatkan hanya dalam upaya pemunggutan PBB, sementara penetapan dilakukan oleh pusat.

Disamping itu aktifitas pembaharuan data mestinya dilakukan langsung kepada pemilik bangunan sekaligus memberikan pengertian pada Wajib Pajak.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa patokan yang dijadikan dasar untuk penetapan NJOP adalah harga tanah yang diperoleh dari notaris (untuk NJOP Bumi) dan pengisian rincian data bangunan yang dibuat oleh petugas yang dibantu aparat desa untuk kemudian disesuaikan dengan DBKP dari pedagang bahan-bahan bangunan (untuk NJOP Bangunan) yang selanjutnya diklasifikasikan seperti yang tertuang dalam SK MenKeu No. 174/KMK.04/1993.

22


(63)

Adapun berbagai tanggapan yang muncul dari masyarakat tentang mekanisme tersebut, cenderung menyatakan bahwa mekanisme kurang transparan (80%), mereka menyatakan bahwa penetapan NJOP PBB belum memenuhi rasa keaslian (85%). Ketelitian petugas PBB juga dirasa yang sangat kurang (76%). Mereka banyak hal yang dirasa tidak sesuai. Sebanyak 88,3% menyatakan nilai tanah dan bangunan yang mereka miliki tidak sesuai dengan harga pasar asa nalar. Sering ditemukan bangunan yang seharusnya nilai PBB nya lebih besar tetapi ternyata malah lebih kecil (63%).

Dalam kaitan dengan berbagai tanggapan warga masyarakat tersebut, pihak kantor pelayanan PBB kotamadya memang menyadarinya. Kurangnya sosialisasi memang diakui petugas dari kantor PBB, dimana menurut mereka sosialisasikan hanya dilakukan setiap akan diadakan perubahan NJOP (awal tahun pajak).23

E. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Penarikan PBB

Berbagai persoalan yang berkaitan dengan ketidaktahuan dan ketidakpuasan masyarakat telah menjadi masyarakat enggan atau tidak membayar pajak. Namun demikian, setelah dilakukan perbaikan NJOP untuk tahun 2009 angka tersebut menurun cukup signifikan. Setelah ada pro kontra mengenai perbaikan NJOP tahun ini kesadaran warga untuk membayar agak menurun. Ini dapat dilihat sampai dengan bulan Agustus nanti yang merupakan batas akhir

23


(64)

pembayaran PBB baru sekitar 60% yang membayar, dan sampai sekarang pun masih terlihat wajib pajak yang mengajukan keberatan atau mempertanyakan ke KPPBB.

Hal itu juga dibenarkan oleh Kepala Dipenden Kotamadya Medan yang menyatakan bahwa untuk PBB tahun ini nampaknya ada sedikit penurunan. Hal itu disebabkan karena adanya kenaikan PBB yang disebabkan naiknya NJOP, sementara masyarakat belum dapat menerima kenaikan tersebut. Namun demikian, akan berupaya memberikan pemahaman dan sosialisasi kepada masyarakat.

Berkaitan dengan belum efektifitasnya penarikan PBB, menurut petugas dari PBB disamping disebabkan karena kurangnya sosialisasi yang berkaitan dengan perubahan NJOP, itu dikarenakan juga kebiasaan menggunakan data yang kurang akurat, sehingga wajib pajak menjadi kaget ketika terjadi perubahan yang diakibatkan pendataan kembali.

Dengan kata lain kesadaran wajib pajak merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efektifitas penarikan PBB.24

Sementara itu disamping kesadaran warga masyarakat banyaknya tanah yang dimiliki oleh orang-orang yang berada di luar kota juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan efektifitas penarikan PBB berkuang. Banyak tanah di Dari beberapa responden yang diwawancarai menyatakan pernah tidak membayar PBB. Sedangkan untuk tiga tahun terakhir sebesar 23,3% yang tidak membayar PBB.

24


(1)

bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk selama-lamanya dua puluh empat bulan.33

Dari semua keterangan di atas, secara formalitas demi kepastian hukum, WP tidak akan ragu lagi dalam mengajukan permohonan keberatan ataupun banding.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab-bab terdahulu, maka pada bab V ini penulis mencoba mengambil kesimpulan mengenai sistem penetapan nilai jual obyek pajak (NJOP) dalam Pajak Bumi dan Bangunan.

1. Di dalam Pajak Bumi dan Bangunan NJOP merupakan dasar pengenaan pajak, dimana NJOP itu sendiri mempunyai klasifikasi sendiri, yang nilainya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

2. Tujuan dari penetapan NJOP secara garis besar adalah sebagai ketentuan bagi wajib pajak untuk mengetahui pendekatan perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis dan letaknya berdekatan serta telah diketahui harga jualnya; dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh / membangun obyek pajak; serta untuk menghitung hasil produksi / pendapatan obyek pajak yang bersangkutan.

3. Klasifikasi, penggolongan dan ketentuan nilai jual Bumi dan Bangunan ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun sekali oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan daerahnya.


(3)

Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) untuk wajib pajak sebesar Rp. 24.000.000,- (delapan juta rupiah).

5. Apabila seorang wajib pajak mempunyai beberapa obyek, yang dikenakan hanya salah satu objek pajak yang nilainya terbesar, sedangkan obyek pajak lainnya tetap dikenakan secara penuh tanpa dikurangi Nilai Jual Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTK).

6. Pengajuan surat keberatan terhadap surat pemberitahuan pajak terhutang dan surat ketetapan pajak, diajukan masing-masing dalam satu surat keberatan tersendiri untuk setiap tahun pajak.

7. Bagi wajib pajak yang tidak puas terhadap keputusan keberatan atau keputusan Direktur Jenderal Pajak berupa penolakan akibat wajib pajak ditunjuk sebagai subyek pajak PBB dapat mengajukan banding kepada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP).

8. Bahwa eksistensi NJOP dewasa ini tidak hanya sekedar sebagai dasar pengenaan pajak, akan tetapi mulai mengarah untuk berkepentingan lain (misalnya: ganti rugi atas tanah dan atau bangunan).

B. Saran-saran


(4)

1. Dalam penerimaan PBB jangka panjang maka perlu diadakannya intensifikasi dan ekstensifikasi dalam rangka meningkatkan collection rate. Intensifikasi dilaksanakan dengan selalu menyelesaikan penyesuaian NJOP untuk daerah-daerah yang berkembang dengan cepat (sektor perkotaan) dan perbaikan data atas obyek-obyek yang berubah/berkembang. Sedangkan ekstensifikasi ditempuh dengan melaksanakan pendataan obyek-obyek yang selama ini belum dikenakan PBB dapat terjaring.

2. Sistem pemungutan pajak yang digunakan untuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dari Official Assessment secara bertahap hendaknya diubah menjadi sistem self assessment agar supaya masyarakat menjadi aktif untuk melaporkan obyek pajak yang harus dikenai pajak.

3. Dalam penaksiran terhadap bumi dan bangunan, maka panitia penaksir yang dalam melaksanakan tugasnya dibawah seksi verifikasi haruslah petugas yang cakap di bidangnya serta bertanggung jawab atas segala tugas yang dilakukan di lapangan.


(5)

Bambang Sunggono. Metodologi Penelitian Hukum. Raja Grafindo Persada. Cetakan Keempat, Jakarta. 2002.

Bahri Zaimul, Struktur dalam Metode Penelitian Hukum. Angkasa, Bandung. 1996. D. Darmodihardjo. Tinjauan Umum Nilai Jual Objek Pajak Nasional. PT. Gramedia

Pustaka Bakti, Jakarta. 1995.

Drs. C.S.T. Kansil, SH. Pengantar Ilmu Hukum. Penerbit Balai Pustaka, Jakarta. 1989.

D. Jarwoko. Permasalahan dan Penegakan Sistem Perpajakan. PT. Bhuana Ilmu Populer, Cetakan Pertama, Jakarta. 1993.

Drs. Waluyo, MSc, MM, Akt & Drs. Wirawan B. Ilyas, M.Si, Perpajakan Indonesia, Penerbit Salemba Empat, Jakarta. 1999.

H. Rodiana, Perpajakan Teori dan Aplikasi. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2005.

I.Y. Mahendra, Hukum Pajak Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. 2003. Kusumo Sudikmo, Metode Penelitian Hukum Umum, Liberty Yogyakarta.

Yogyakarta. 1998.

K. Purbapronoto, Beberapa Catatan tentang Hukum Perpajakan, Kilat Maju, Bandung. 2003.

K.Y. Pudyatmoko, Sistematika Hukum Pajak, Bulan Bintang, Jakarta. 2001. Mardiasmo, Perpajakan Indonesia, CV. Andi Pustaka, Jakarta. 1992.

Muhajir Dar, Pengantar Hukum Pajak, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2004. M. Rusjdi, KUP Ketentuan Umum dan Tata Cara Penghitungan Pajak, PT. Ineks,


(6)

M. Pilip, Pengantar Singkat Hukum Pajak, Bina Cipta, Cetakan Ketiga. Jakarta. 2000. Tim Penyusun Ditjen Pajak dan Yayasan Bina Pembangunan, Panduan Pajak Bumi

dan Bangunan, Edisi Revisi, Bina Rena Pariwara, Jakarta. 1992. P. Zakaria, Nilai Jual Objek Pajak, PT. Eresco, Cetakan Pertama. Bandung. 1991. Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro, SH. Pajak Bumi dan Bangunan. Penerbit PT. Eresco.

Bandung. 1993.

_________________, Asas dan Dasar Perpajakan. Penerbit PT. Eresco, Cetakan Pertama, Bandung. 1996.

S. Sofyan, Hukum Pajak dan Permasalahannya, PT. Refika Aditmana, Cetakan Pertama, Jakarta. 2004.

Soetomo Wijaya, Standar Penetapan NJOP, PT. Rosdakarya, Jakarta. 1996.

Waluyo, MSc, MM, Akt. Perpajakan Indonesia. Penerbit Salemba Empat. Jakarta. 1999.

Y. H. Harapan, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, PT. Citra Adiyta Bakti, Bandung. 1997.

Keppres No. 55 Tahun 1993, tentang Penadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Peraturan Pemerintah No. 48 tahun 1997 tentang Besarnya Nilai Jual Kena Pajak. Undang-undang No. 9 Tahun 1994, tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan.

Undang-undang No. 12 Tahun 1994, tentang Pajak Bumi dan Bangunan.

Undang-undang No. 17 Tahun 1997, tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak. Klikpajak. Com, 22 Desember 2003, Masih Seputar Gijzeling dan Pemeriksaan

Pajak.

Harian Analisa, 24 Maret 2004.