13. Commonwealth of Independent States Convention on Human Rights
and Fundamental Freedoms
Mulai berlaku sejak 11 Agustus 1998, Pasal 24 konvensi ini menyatakan bahwa semua orang berhak atas kewarganegaraan dan tidak ada orang yang dapat
secara sewenang-wenang dicabut kewarganegaraannya atau hak untuk merubahnya
72
Article 24 1. Everyone shall have the right to citizenship.
2. No one shall be arbitrarily deprived of his citizenship or of the right to
change it.
14. Arab Charter on Human Rights
Mulai berlaku sejak 22 May 2004, Arab Charter on Human Rights juga menyebutkan tentang hak setiap orang atas kewarganegaraan, dan tentang
pelarangan pencabutan kewarganegaraans secara semena-mena. Konvensi ini juga mengharuskan Negara-negara Pihak untuk mengambil langkah-langkah yang
mereka anggap tepat, sesuai dengan undang-undang domestik mereka mengenai kebangsaan, untuk memungkinkan anak untuk memperoleh kewarganegaraan ibu,
dengan memperhatikan, dalam semua kasus, untuk kepentingan terbaik sang anak. Article 29
1. Everyone has the right to nationality. No one shall be arbitrarily or unlawfully deprived of his nationality.
2. States parties shall take such measures as they deem appropriate, in accordance with their domestic laws on nationality, to allow a child to
acquire the mother’s nationality, having due regard, in all cases, to the best interests of the child.
3. No one shall be denied the right to acquire another nationality, having due regard for the domestic legal procedures in his country.
72
Ibid. hal 8.
Hukum internasional memberikan hak, kekuasaan, dan kewenangan kepada negara itu untuk mengatur objek yang bukan merupakan masalah
domestik. Hukum internasional pula yang membatasinya. Secara garis besar, jenis-jenis yurisdiksi negara dapat ditinjau berdasarkan pada: 1 hak, kekuasaan,
dan kewenangan untuk mengatur; 2 hak, kekuasaan, dan kewenangan atas objek yang diatur; 3 hak, kekuasaan, dan kewenangan atas tempat atau terjadinya
objek yang diatur.
73
Seperti halnya yurisdiksi kriminal, yurisdiksi sipil pun menyangkut hak atau yurisdiksi negara atas peristiwa hukum sipil yang terjadi di tempat tertentu.
Dalam hal ini adalah peristiwa-peristiwa hukum sipil yang menyangkut aspek internasional sehingga pengaturan dan penyelesainnya pada tahap awal terletak
pada hukum internasional. Jika menurut hukum internasional sudah jelas tentang negara yang memiliki yurisdiksi atas suatu peristiwa sipil tersebut, negara yang
memiliki yurisdiksi itu akan menerapkan hukum nasionalnya atas peristiwa tersebut.
74
Maksud peristiwa hukum sipil, untuk masa kini memang sukar untuk diberikan perumusan yang tegas dan pasti. Sama sukarnya dengan memberikan
perumusan tentang hukum perdata internasional dan hukum publik internasional. Walaupun demikian, tidak berarti kita tidak perlu untuk membahas yurisdiksi sipil
ini. Sebab, suatu peristiwa sipil agar diselesaikan dengan tuntas, harus dikembalikan di tiap-tiap negara. Untuk menentukan negara yang berwenang
untuk menyelesaikannya, pastikan lebih dahulu negara yang memiliki yurisdiksi
73
Dedi Supriyadi, M.Ag, Hukum Internasional Dari Konsepsi Sampai Aplikasi Bandung: Pustaka Setia, 2013 hal 133.
74
Ibid. hal 144.
sipil atas peristiwa hukum sipil tersebut. Dalam hal ini, hukum internasional berperan mengaturnya atau memberikan petunjuk dan penyelesaian.
75
Secara umum, negara bertanggung jawab dalam hukum internasional untuk perbuatan atau tindakan yang bertentangan dengan kewajiban internasional
negara itu. Hukum internasional tentang tanggung jawab negara adalah hukum internasional yang bersumber pada hukum kebiasaan internasional. Ia
berkembang melalui praktik negara-negara dan putusan-putusan pengadilan internasional. ILC International Law Comission menerima seluruh Artikel
secara aklamasi. Pengadilan-pengadilan internasional bahkan telah sejak lama mengutip
dan menyetujui rancangan artikel yang dibuat oleh ILC. Dengan demikian, meskipun rancangan Artikel tidak menjelma sebagai konvensi, ia akan tetap
berpengaruh besar pada pengadilan-pengadilan internasional. Oleh karena itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 38 Ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional
International Court of Justice, yang berisi: Article 38 1:
The Court, whose function is to decide in accordance with international law such disputes as are submitted to it, shall apply:
a. international conventions, whether general or particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states;
b. international custom, as evidence of a general practice accepted as law; c. the general principles of law recognized by civilized nations;
d. subject to the provisions of Article 59, judicial decisions and the teachings of the most highly qualified publicists of the various nations, as
subsidiary means for the determination of rules of law.
Terjemahan pasal: Pengadilan, yang berfungsi untuk memutuskan sesuai dengan hukum
internasional sengketa-sengketa yang diajukan kepadanya, akan berlaku:
75
Ibid. hal 145.
a. konvensi internasional, baik umum maupun khusus, yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum yang diakui oleh negara-negara yang
bersengketa; b. kebiasaan-kebiasaan internasional sebagai bukti dari pada sesuatu
kebiasaan umum yang telah diterima sebagai hukum; c. prinsip-prinsip hukum umum yang telah diterima sebagai hukum;
d. tunduk pada ketentuan pasal 59, keputusan pengadilan dan ajaran- ajaran sarjana yang paling terkemuka dari berbagai negara-negara,
sebagai sumber tambahan untuk menetapkan kaidah-kaidah hukum.
Praktik tersebut akan semakin memperkuat kedudukan hukum kebiasaan internasional yang mengatur pertanggung jawaban negara sebagai sumber
primer hukum internasional.
76
Dengan semakin meningkatnya jumlah dan jenis orang-orang yang terpaksa meninggalkan tempat kediaman atau negara mereka karena adanya
peristiwa-peristiwa dalam negeri, menyebabkan jenis orang yang mendapat bantuan dan perlindungan dari UNHCR telah berkembang melebihi apa yang
telah ditetapkan dalam Statuta UNHCR itu sendiri.
77
Tanggapan yang responsif dari masyarakat internasional tercermin dalam resolusi yang dikeluarkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dan
Dewan Ekonomi dan Sosial Ecosoc Perserikatan Bangsa-Bangsa misalnya terhadap beberapa kasus pengungsi Afrika yang terjadi di tahun 1960-an.
Membanjirnya pengungsi Afrika ini sebagai akibat timbulnya konlfik bersenjata dalam negeri pada negara-negara di Afrika. Sehingga memerlukan suatu pendekan
yang sedikit pragmatis dalam menentukan status pengungsi.
76
Ibid. hal 165-166.
77
Achmad Romsan ,SH., MH., LL.M., dkk., UNHCR Pengantar Hukum pengungsi Internasional: Hukum Internasional dan Prinsip-Prinsip Perlindungan Internasional, Bandung,
Sanic Offset 2003 hal 46.
Perkembangan lain lagi adalah apa yang disebut dengan istilah “displaced persons” atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan orang-orang yang terlantar
karena adanya huru hara, ataupun kejadian lainnya sehingga terjadinya migrasi atau perpindahan penduduk secara besar-besaran. Tentu saja orang-orang yang
dikategorikan dalam pengertian displaced persons tidak dijumpai dalam definisi pengungsi yang terdapat dalam statuta UNHCR.
78
UNHCR berfungsi tidak saja memberikan perlindungan dan bantuan terhadap para pengungsi yang melintasi batas wilayah negara mereka, tetapi juga
terhadap mereka yang ingin pulang secara suka rela returnees ke negaranya. Disini UNHCR telah diminta oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
untuk tetap melanjutkan kerja kemanusiaan sebagai bagian dari operasi repatriasi sukarela.
79
C. EKSISTENSI ETNIS ROHINGYA DI MYANMAR
Berita tentang Muslim Rohingya timbul menyusul konflik sektarian yang terjadi antara etnis Rohingya yang sebagian besar adalah Muslim dan etnis
Rakhine yang mayoritas merupakan penganut Buddha. Penyebab konflik itu sendiri tak begitu jelas. Namun, beberapa sumber menyebutkan bahwa kerusuhan
itu merupakan buntut peristiwa perampokan dan pemerkosaan terhadap perempuan Rakhine bernama Ma Thida Htwe pada 28 Mei 2012.
Kepolisian Myanmar sebenarnya telah menahan dan memenjarakan 3 orang tersangka pelaku yang kebetulan dua di antaranya adalah etnis Rohingya.
78
Ibid. hal 47.
79
Ibid. hal 48.
Namun, tindakan itu ternyata tak cukup mencegah terjadinya kerusuhan di negara bagian Rakhine yang terletak di bagian barat Myanmar itu. Pada tanggal 4 Juni,
terjadi penyerangan terhadap bus yang diduga ditumpangi pelaku pemerkosaan dan kerabatnya. Tercatat 10 orang Muslim Rohingya tewas. Sejak itu, kerusuhan
rasial di Rakhine pun meluas. Sebenarnya konflik antara etnis Rohingya dan Rakhine kerap terjadi sejak
puluhan tahun silam. Apa sebenarnya akar masalahnya? Salah satu akar konflik menahun itu adalah status etnis minoritas Rohingya yang masih dianggap imigran
ilegal di Myanmar. Pemerintah Myanmar tak mengakui dan tak memberi status kewarganegaraan kepada mereka. Sebagai akibat tiadanya kewarganegaraan, etnis
Rohingya tak bisa mengakses pendidikan, layanan kesehatan, dan bahkan pekerjaan yang layak. Mereka betul-betul terabaikan dan terpinggirkan.
80
Pemerintah Myanmar tak mengakui kewarganegaraan etnis Rohingya karena menganggap kelompok Muslim ini bukan merupakan kelompok etnis yang
sudah ada di Myanmar sebelum kemerdekaan Myanmar pada 1948. Hal itu ditegaskan kembali oleh Presiden Myanmar, Thein Sein, dalam Al Jazeera, 29 Juli
2012 bahwa Myanmar tak mungkin memberikan kewarganegaraan kepada kelompok Rohingya yang dianggap imigran gelap dan pelintas batas dari
Bangladesh itu. Akar konflik yang lain adalah adanya kecemburuan terhadap etnis
Rohingya. Populasi etnis Muslim Rohingya dalam beberapa dasawarsa ini terus
80
Anonim, “Mengenal
Etnis Rohingya
Dari Sudut
Pandang Sejarah”,
http:www.untukku.comberita-untukkumengenal-etnis-rohingya-dari-sudut-pandang-sejarah- untukku.html, diakses 24 Juli 2015.
meningkat. Tentu saja, hal ini menyebabkan kecurigaan dan kecemburuan pada etnis mayoritas Rakhine. Bagi mereka, keberadaan etnis Rohingya pun sangat
mungkin dianggap kerikil dalam sepatu, yakni sesuatu yang terus mengganggu. Keberadaan etnis Rohingya dianggap mengurangi hak atas lahan dan ekonomi,
khususnya di wilayah Arakan, Rakhine yang menjadi pusat kehidupan etnis Muslim ini.
81
Sejatinya Rohingya tidak tepat disebut “etnis” karena kata itu merupakan label politis yang digunakan untuk memperjuangkan keberadaan kelompok
tersebut di Myanmar. Beberapa sejarawan Myanmar mengatakan bahwa nama Rohingya baru muncul pada tahun 1950-an, setelah kemerdekaan Myanmar. Lalu,
siapa sebenarnya mereka? Dalam catatan PBB, Rohingya hanya disebut sebagai penduduk Muslim
yang tinggal di Arakan, Rakhine, Myanmar. Dari sudut kebahasaan, bahasa yang diklaim sebagai bahasa Rohingya sebenarnya termasuk ke dalam rumpun bahasa
Indo-Eropa, khususnya kerabat bahasa Indo-Arya. Lebih detail lagi, bahasa Rohingya dikategorikan sebagai bahasa-bahasa Chittagonia yang dituturkan oleh
masyarakat di bagian tenggara Bangladesh. Sementara itu, kebanyakan bahasa di Myanmar tergolong rumpun Tai Kadal, Austroasiatik, atau Sino-Tibetan. Jadi,
jelas bahwa kelompok etnis Rohingya merupakan keturunan etnis Bengali, khususnya sub-etnis Chittagonia yang tinggal di Bangladesh tenggara.
82
81
Ibid.
82
Ibid.
Kemunculan pemukiman Muslim di Arakan sebagai cikal bakal kelompok Rohingya terlacak sejak zaman Kerajaan Mrauk U, khususnya pada zaman Raja
Narameikhla 1430-1434. Setelah dibuang ke Bengal, Narameikhla lalu menguasai kembali Mrauk U berkat bantuan Sultan Bengal. Seiring dengan
berkuasanya Narameikhla, masuk pula penduduk Muslim dari Bengal kewilayah Arakan, Rakhine. Dalam perkembangannya, jumlah pemukim Muslim dari
Bengal terus bertambah, terutama ketika Inggris menguasai Rakhine. Karena kurangnya populasi di Rakhine, Inggris memasukkan banyak orang Bengali ke
Rakhine untuk bekerja sebagai petani. Oleh karena itu, sampai saat ini pula, kebanyakan orang Rohingya bekerja di sektor agraris.
Ketika Inggris melakukan sensus penduduk pada 1911, pemukim Muslim di Arakan sudah berjumlah 58 ribu orang. Jumlah itu terus bertambah pada tahun
1920-an ketika Inggris menutup perbatasan India, sehingga orang Bengali memilih masuk ke Rakhine. Sejak tahun-tahun ini pulalah mulai timbul konflik
dengan penduduk local yang mayoritas merupakan penganut Buddha. Bertambahnya jumlah penduduk migrant membuat penduduk lokal khawatir.
Konflik yang terjadi antara kaum minoritas Rohingya dengan etnik-etnik lain serta Pemerintah Myanmar merupakan kelanjutan dari sentimen kebangsaan
yang berakar dari sejarah kelam mereka. Sehingga, pertikaiannya bukan hanya karena perbedaan warna kulit, bahasa dan kepercayaan semata, namun berasal
dari kompleksitas permasalahan yang tidak bisa dengan mudah diselesaikan begitu saja.
83
Dari perspektif historis, permasalahan Rohingya memiliki persamaan dengan kasus genocide di Rwanda pada tahun 1994. Belgia yang menjajah
Rwanda sebelum kemerdekaannya menerapkan kebijakan sistem pemisahan penduduk terhadap dua kaum yang mendiami negeri tersebut: yaitu kaum Hutu
dan kaum Tutsi. Kaum Hutu merupakan bangsa asli Rwanda namun memiliki strata sosial lebih rendah. Sedangkan kaum Tutsi merupakan pendatang dari
Afrika Timur, memiliki strata social yang lebih tinggi dan menguasai hampir 90 perekonomian Rwanda. Kebijakan pemisahan ini pada akhirnya menimbulkan
sentiment akut disertai pembantaian Genocide yang dilakukan oleh kaum Hutu terhadap kaum Tutsi. Kaum Hutu bermaksud menguasai Rwanda dari pengaruh
kaum Tutsi.
84
Perbedaan kasus Rwanda dan Myanmar adalah Pemerintah Belgia di Rwanda dengan sengaja menciptakan sistem pemisahan penduduk terhadap kaum
pribumi sehingga akan mudah bagi pemerintah jajahan untuk mengatur dan mengelola tanah jajahannya. Sedangkan yang terjadi di Myanmar adalah British
meninggalkan Myanmar setelah perang dunia kedua dengan terpaksa melepaskan beberapa tanah jajahannya kepada kaum nationalis tanpa memberikan legalitas
perlindungan kepada kaum Rohingya yang banyak membantu British pada perang
83
M. Hafeza,
“Rohingya: Warga
Negara Tanpa
Negara”, https:maxtroman.wordpress.com20121031rohingya-warga-negara-tanpa-negara, diakses 24
Juli 2015.
84
Ibid.
dunia kedua. Hal ini semakin memberi konstribusi yang besar terhadap krisis kemanusiaan kaum Rohingya hingga sekarang ini.
Permasalahan Rohingya sedemikian kompleks, sehingga pemecahannya bagaikan mengurai benang kusut yang sulit dicari titik pangkalnya. Demokratisasi
yang mulai dilakukan junta militer tahun 2010, berhasil membuka tabir tentang keadaan yang sebenarnya terjadi di Myanmar kepada dunia luar. Isu-isu berkaitan
HAM Rohingya baru akhir-akhir ini diketahui oleh masyarakat internasional setelah maraknya pemberitaan mengenai kondisi kamp-kamp pengungsian
Rohingya yang memprihatinkan di perbatasan Bangladesh dan Thailand.
Para sejarawan menyebutkan bahwa Islam masuk ke negeri itu tahun 877 M pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid. Saat itu Daulah al-Khilafah menjadi
negara terbesar di dunia selama beberapa abad. Islam mulai menyebar di seluruh Birma ketika mereka melihat kebesaran, kebenaran, dan keadilannya. Kaum
Muslimin memerintah propinsi Arakan lebih dari tiga setengah abad antara tahun 1430 hingga tahun 1784 M. Penderitaan Muslim di sana mulai terjadi saat
penjajah kerajaan Budha maupun kolonialis Inggris menjajah negeri itu.
85
85
Ibid.
52
BAB III PELANGGARAN HAM YANG TERJADI PADA ETNIS ROHINGYA DI
MYANMAR
A. BENTUK-BENTUK PELANGGARAN HAM TERHADAP ETNIS ROHINGYA YANG DILAKUKAN OLEH RAKYAT MYANMAR
Hak Asasi Manusia HAM ditegaskan oleh Daniel Lev secara sama melekat pada semua manusia, karena umat manusia memiliki spesies biologis
yang satu : kesatuan paling dasar, sehingga berdasarkan kesamaan ini perbedaan- perbedaan yang ada akan tak berati. Maka, konsep HAM bersifat universal dan
tidak mengakui makna atau penafsiran yang hanya bercirikan kekhususan lokal. Banyak pemerintah tidak menyukai ini, sebab konsep yang bersifat universal akan
membatasi semuanya yang dilakukan pemerintah dan sebaliknya justru melindungi warga negara terhadap kekuasaan negara Daniel Lev ; 1993.
86
Jika membicarakan hanya hak-hak asasi Eropa, Afrika, dan Asia saja bagaimanapun tidak lagi dapat berbicara mengenai hak asasi manusia pada
umumnya. Karena konsep hak asasi manusia bersifat universal, hendaknya isi dari konsep pun dapat dapat dispesifikasikan secara universal pula. Satu kawasan atau
satu kebudayaan jangan sampai memonopoli kekuasaan untuk menentukan standar hak-hak asasi manusia yang dapat diterapkan secara universal.
Sejak dibebaskannya Pemimpin oposisi Myanmar yaitu Aung San Suu Kyi, proses demokratisasi si Myanmar mulai menemukan titik terang dan
merupakan kabar yang baik untuk ASEAN khususnya di kawasan Asia Tenggara
86
Dewa Gede Sudika Mangku, “Kasus Pelanggaran HAM Etnis Rohingya : Dalam Perspektif Asean”, 2013, hal 61.
dan membuat negara anggota ASEAN ini menjadi topik utama yang dibicarakan di dunia.
Harapan mulai muncul untuk menegakkan HAM di negara tersebut, sebagai negara berkembang Myanmar sudah banyak menarik perhatian di dunia
internasional dimulai Pemerintah Myanmar bebas tugaskan 42 tentara anak Kompas,
11 Juli
2013;9, dimana
angkatan bersenjata
Myanmar membebastugaskan sedikitnya 42 anak yang selama ini mereka rekrut untuk
menjadi tentara atau untuk mengerjakan berbagai pekerjaan militer lainnnya. Mereka dibebaskan sebagai bagian dari kesepakatan antara pemerintah dan militer
Myanmar dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB, disamping itu juga dunia internasional sudah mencabut sanksi ekonomi terhadap Myanmar yang hal ini
membuat banyak investor tertarik menanamkan modalnya disana.
87
Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB dan negara-negara Barat, tampaknya, tidak terganggu sama sekali dengan berita pembantaian etnis muslim Rohingya
tersebut. Bahkan, pemimpin negara yang memiliki penduduk Islam terbanyak di dunia, Indonesia, juga tutup mata.
Kementerian Luar Negeri menganggap persoalan tersebut sebagai masalah internal Myanmar. Kasus Rohingya memang bukan soal agama. Mereka
dibantai bukan karena beragama Islam. Tapi, dilatarbelakangi tidak diakuinya etnis Rohingya sebagai salah satu etnis di Myanmar. Bagi pemerintah Myanmar,
87
Ibid.
etnis Rohingya dianggap sebagai warga tanpa kewarganegaraan stateless people. Atas dasar itulah tentara Myanmar melakukan berbagai pelanggaran HAM.
88
Sejarah telah mencatat berbagai pelanggaran HAM yang disebabkan perlakuan tidak adil dan diskriminatif atas dasar etnik, ras, warna kulit, budaya,
bahasa, agama, golongan, jenis kelamin, status sosial, politik, keturunan dan sebagainya. Pelanggaran ini terjadi secara horizontal antar masyarakat maupun
vertikal antar Negara terhadap rakyat atau sebaliknya. Banyak diantaranya tergolong pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat gross violation of human
rights.
89
Salah satunya di Negara Myanmar, telah terjadi perpaduan kedua konflik diatas. Konflik ini merupakan konflik yang didasari atas diskriminasi karena
perbedaan etnis dan agama. Etnis Rohingya yang beragama muslim tidak diakui keberadaanya di Myanmar dan tidak diberikan kewarganegaraan stateless
person sehingga status mereka adalah imigran gelap. Mereka tidak mendapatkan perlindungan hukum dari negara manapun, sehingga berbagai tindakan kekerasan
kerap dilakukan oleh masyarakat pro pemerintah junta militer secara horizontal dan juga oleh pemerintah Myanmar secara vertikal.
90
88
Ibid. hal 63
89
Septiana Tindaon, Perlindungan atas Imigran Rohingya dalam Pelanggaran HAM Berat di Myanmar dari Aspek Hukum Internasional dan Hukum Nasional, Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, Jurnal Ilmiah, 2013, hal 2.
90
Irma D. Rismayati, “Manusia Perahu Rohingya Tantangan Penegakan HAM di ASEAN.” http:pustakahpi.kemlu.go.id, Hal. 21-22, diakses tanggal 26 Juli 2015.
Beberapa bentuk-bentuk dari pelanggaran HAM yang terjadi kepada etnis Rohingya:
1. Pencabutan Kewarganegaraan Secara Paksa