yang mempunyai kesehatan buruk ditinggalkan begitu saja dan beberapa diketahui telah meninggal.
105
Amnesty Internasional juga mencatat laporan penggunaan kuli militer sebagai ancaman oleh otoritas penjara untuk mengambil suap dari tahanan. Ini
berarti bahwa beban pengangkutan paksa pada tahanan miskin lebih tidak proporsional, karena mereka tidak mampu untuk menyuap para pejabat.
106
Dalam laporan mereka mengenai dampak hak asasi manusia dari Proyek Yadana, ERI Earth Rights International merujuk kepada perubahan yang
dirasakan dalam kebijakan tentang kerja paksa di Burma yang menunjukkan bahwa laporan penurunan dalam kerja paksa sedang diimbangi dengan
peningkatan dari kuli tahanan atau narapidana.
107
6. Wajib Militer Paksa
Pada Juli 2008, KHRG Karen Human Rights Group mewawancarai seorang pemuda yang telah meninggalkan militer. Dia berusia 28 tahun dan
berasal dari Kota Thaton; pemuda ini bernama Ko S. Informasi pribadi lainnya disensor untuk melindungi keluarganya yang kemungkinan akan menghadapi
pembalasan karena tindakannya jika identitasnya di publikasikan.
108
105
Burma Human Rights Yearbook, Op. Cit. hal 302.
106
Crimes Against Humanity in Eastern Myanmar AI Index: ASA 160112008, Amnesty International, 2008, hal 23.
107
EarthRights International, The Human Cost of Energy: Chevron’s Continuing Role in Financing Oppression and Profiting From Human Rights Abuses in Military-Ruled Burma
Myanmar, 2008
108
Karen Human
Rights Group,
“Interview with
an SPDC
Deserter”, http:www.khrg.org200807khrg08b5interview-an-spdc-deserter, diakses 11 September 2015.
Ko S telah bergabung dengan militer sejak lama namun ia tidak bergabung atas kemauannya sendiri. Setelah menyelesaikan standar 8 tahun sekolah,
biasanya pada umur 14 atau 15, ia melakukan perjalanan menuju Rangoon untuk mencari pekerjaan. Ayahnya adalah seorang tukang batu dan Ko S telah bekerja
secara singkat sebagai buruh sebelum meninggalkan desanya.
109
Pada suatu malam di Rangoon ia dan teman-temannya yang sedang sedikit mabuk ditahan oleh petugas SPDC, yang lalu membawanya ke Mingaladon
Military Recruitment Centre Pusat Rekrutmen Militer Mingaladon. Di pagi hari berikutnya ia dipukuli oleh beberapa prajurit dan diberikan pilihan untuk
bergabung dengan angkatan militer atau masuk penjara. Dia menyadari bahwa ia harus menjadi seorang tentara. Para anggota baru dikirim ke pusat pelatihan
militer dasar dari Military Operations Command MOC 9 selama 4 setengah bulan.
110
Ada peraturan bahwa seorang komandan batalyon harus merekrut 5 atau 6 prajurit baru setiap bulannya dan akan dikenakan denda jika mereka gagal untuk
memenuhi kuota masing-masing. Orang-orang pada umumnya tidak mempunyai ketertarikan untuk menjadi tentara. Insentif keuangan dalam menjadi seorang
perwira bisa jadi terlihat menarik, tetapi hidup dari seorang tentara biasa sangatlah sulit.
Pihak militer terkadang mewajib militerkan orang-orang yang telah mereka pekerjakan sebagai kuli pengangkut dan terkadang mereka hanya
mengumpulkan orang-orang muda seperti Ko S. Mereka yang berusaha untuk
109
Burma Human Rights Yearbook, Loc. Cit.
110
Ibid.
melarikan diri dari pusat pelatihan militer dimasukkan ke penjara militer untuk beberapa saat lalu kembali lagi untuk berlatih.
111
Ada juga laporan bahwa kebijakan yang sekarang menetapkan bahwa setiap prajurit atau perwira yang ingin mengundurkan diri dari militer harus lebih
dulu merekrut dua orang baru untuk melayani ditempatnya. Secara luas diyakini bahwa aturan ini telah menjadi alasan banyaknya kasus pemaksaan wajib
militer.
112
KHRG Karen Human Rights Group melaporkan bahwa angkatan militer telah menjadi tempat yang buruk dan telah berubah banyak semenjak masa
Jendral Aung San umumnya dianggap sebagai pendiri angkatan militer Burma. Para tentara tidak lagi mematuhi kebijakan mereka sendiri dan kondisi disana
sungguh melecehkan. Kekerasan fisik adalah cara normal dalam menegakkan perintah atau menjaga kedisiplinan umum.
Tentara biasa hidup di barak yang seperti asrama dan menerima jatah makanan yang terdiri dari nasi, garam, bumbu makanan, susu kental dan alkohol.
Jatah itu terkadang tidak mencukupi dan terkadang mengandung makanan basi, serangga atau lintah. Hal ini menyebabkan tentara untuk merampas makanan
untuk tambahan atau uang dari penduduk desa. Anggota baru harus menghadapi waktu yang sangat sulit karena mereka ditindas oleh orang-orang yang lebih tua
serta oleh orang-orang dari peringkat yang lebih tinggi.
111
Interview with an SPDC Deserter, Loc. Cit.
112
Burma News International, “Burmese Army Conscripts Teenager”, http:e- archive.bnionline.netindex.phpnewsnarinjara5464-burmese-army-conscripts-teenager.html,
diakses 12 September 2015.
Ketika ditanya mengenai adanya tentara dibawah umur, Ko S mengatakan bahwa banyak tentara yang ia temui hanya berumur 15 ataupun 16 tahun dan
mempunyai tinggi yang sama dengan senjata otomatis MA-1 atau MA-2. Mereka bahkang terkadang kesusahan untuk membawa tas mereka. Para petinggi juga
masih sangat muda. Kebanyakan adalah lulusan Akademi Pertahanan Defence Services Academy di Pyin-Oo Lwin tetapi mereka tidak menghargai orang yang
lebih tua dan tidak segan untuk menendang tentara yang berumur sama dengan orang tua mereka.
113
Pada laporan terbarunya, petugas penghubung ILO untuk Burma mencatat peningkatan jumlah pengaduan yang berkaitan dengan pemaksaan wajib militer
dan khususnya pemaksaan wajib militer bagi anak-anak dibawah umur.
114
Laporan dari organisasi lain di Burma juga menyebut pemaksaan wajib militer yang tersebar luas digunakan oleh kedua tentara SPDC State Peace and
Development Council dan kelompok gencatan senjata sekutu sebagai sarana pengendalian populasi.
115
Tampaknya telah menjadi kecenderungan umum untuk meningkatnya tingkat pemaksaan wajib militer dikarenakan tingkat kerja paksa
telah sedikit menurun.
113
Burma Human Rights Yearbook, Op. Cit. hal 303.
114
International Labour Office, Governing Body GB.30382 303
rd
Session, “Report of the Liaison Officer, Developments concerning the question of the observance by the Government
of Myanmar of the Forced Labour Convention, 1930 No. 29”, Geneva, November 2008, Hal 1-2.
115
Shan Human Rights Foundation, “SHRF Monthly Report September 2008”, http:shanhumanrights.orgold_versionindex.php?option=com_contentview=articleid=73:shrf
-monthly-newsletter-september-2008catid=41:2008Itemid=77, diakses 12 September 2015.
B. BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP ETNIS ROHINGYA DI MYANMAR
Diketahui sejumlah
pelanggaran terhadap
norma-norma hukum
internasional, khususnya hukum HAM, yang antara lain, ditandai dengan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan, penyiksaan,
persekusi, pengusiranpemindahan penduduk secara paksa, perkosaan, kekerasan seksual dan penghilangan paksa.
Seluruh kejahatan tersebut merupakan pelanggaran berat HAM gross violations of human rights karena yang dilanggar adalah norma-norma HAM
yang berkategori sebagai hak-hak yang tidak boleh dilanggar non-derogable rights
116
dalam keadaan apa pun perangdamai dan dilakukan secara sistematis dengan akibat yang bersifat meluas.
117
Persoalan yang dialami oleh etnis Rohingya memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan persoalan HAM. Persoalan HAM yang timbul bahkan
menyangkut hak-hak yang bersifat pokok core rights, atau dengan perkataan lain menyangkut HAM yang bersifat non-derogable rights. Oleh karena itu,
persoalan yang tengah dialami oleh etnis Rohingya tersebut telah menjadi perhatian dan keprihatinan dunia internasional, mengingat besarnya dampak yang
timbul dari sisi kemanusiaan.
116
Berdasarkan Pasal 4 ayat 2 International Convention on Civil and Political Rights ICCPR non-derogable rights, yakni: hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk tidak
diperbutak dan diperhamba, hak untuk tidak dipenjara semata-mata atas dasar ketidakmampuan memenuhi kewajiban kontrak, hak untuk tidak diberlakukan aturan yang berlaku surut, hak atas
pengakuan yang sama di hadapan hukum, hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama.
117
Andrey Sujatmoko, Op. Cit. Hal 129.
Persoalan-persoalan tersebut tentunya dapat dikaji dalam perspektif hukum HAM internasional, yaitu mengaitkannya dengan instrumen-instrumen
hukum HAM internasional yang relevan. Di sisi lain, perlu pula melihat tanggung jawab pemerintah Myanmar sebagai bentuk komitmennya selaku warga dunia -
sebagai anggota PBB maupun ASEAN- yang memiliki kewajiban hukum untuk melindungi, menjamin dan memenuhi HAM semua orang yang ada di dalam
wilayah teritorialnya tanpa diskriminasi dan tanpa terkecuali.
118
Masalah pengungsi merupakan masalah yang tidak pernah hilang dalam percaturan dunia internasional. Berbagai sebab mengapa orang mengungsi
merupakan masalah yang beraneka ragam. Forced displacement atau penyingkiran paksa yang dialami umat manusia semenjak manusia ada di dunia
ini, baik karena bencana alam natural disaster maupun karena bencana yang dibuat sendiri oleh manusia human made disaster, merupakan suatu tantangan
yang serius dihadapi oleh masyarakat internasional secara keseluruhan. Pengungsi Rohingya merupakan orang-orang yang secara paksa terusir dari negaranya
sendiri akibat diskriminasi yang dilakukan oleh negaranya sendiri Myanmar. Etnis Rohingya merupakan minoritas muslim di Myanmar, sedangkan masyarakat
Myanmar sendiri mayoritas pemeluk agama Budha.
Hak Asasi Manusia HAM merupakan masalah dunia internasional, bukan hanya masalah internal dari suatu negara. Hak Asasi Manusia adalah hak-
hak manusia. Itulah hak-hak semua manusia yang sepenuhnya setara. Semua hak itu berasal dari martabat inheren manusia dan telah didefinisikan sebagai klaim-
118
Ibid. Hal 158.
klaim manusia, untuk diri mereka sendiri atau untuk orang lain yang didukung oleh suatu teori yang berpusat pada perikemanusiaan manusia, pada manusia
sebagai manusia, dan anggota umat manusia. Perlindungan HAM memiliki sejarah panjang yang dimulai dari martabat
alamiah dan hak-hak kemanusiaan yang sama dan tidak dapat dicabut. Pengakuan martabat dan hak-hak tersebut merupakan dasar kemerdekaan, keadilan dan
perdamaian dunia. HAM dilihat sebagai sesuatu yang vital untuk menjaga kehidupan manusia tetap manusiawi dan menjaga hak yang paling berharga, yaitu
hak untuk menjadi manusia. Pada Sidang Majelis Umum tanggal 10 Desember 1948, Perserikatan
Bangsa-Bangsa PBB mendeklarasikan pernyataan umum hak asasi manusia melalui Universal Declaration Independent of Human Rights Deklarasi
Universal Hak Asasi ManusiaDUHAM. DUHAM ini berisi 30 pasal. Semua pasal tersebut menegaskan pada semua bangsa bahwa setiap manusia dilahirkan
itu memiliki hak fundamental yang tidak dapat dirampas dan dicabut oleh manusia lainnya.
119
Berkenaan dengan Perlindungan HAM dalam Pasal 2 DUHAM dinyatakan setiap orang berhak atas segala hak dan kebebasan yang telah diatur
dalam deklarasi, tanpa perbedaan apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik, negara atau asasl usul, harta benda, kelahiran, dan status
lainnya. Tidak boleh ada pembedaan yang dibuat berdasarkan politik, hukum, atau
119
Yeni Handayani Perancang Peraturan Perundang-Undangan Bidang Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia Sekretariat Jenderal DPR RI, Hak Asasi Manusia Pengungsi Rohingya,
http:www.gresnews.comberitaopini50255-opini-hak-asasi-manusia-pengungsi-rohingya1, diakses 30 Juli 2015, Hal 1.
status internasional negara atau daerahteritori dari mana orang itu berasal, baik dari negara merdekaindependen maupun negara yang belum merdeka atau di
bawah negara lain. Dalam Pasal 3 DUHAM dinyatakan setiap orang berhak atas penghidupan,
kemerdekaan, dan keselamatan seseorang. Pasal 5 DUHAM menyatakan tidak seorang pun juga boleh dianiaya atau diperlakukan secara kejam, dengan tidak
mengingat kemanusiaan ataupun akan perlakuan atau hukum yang menghinakan. Selanjutnya dalam Pasal 6 DUHAM disebutkan bahwa setiap orang berhak atas
pengakuan sebagai manusia pribadi terhadap undang-undang dimana saja ia berada. Selain itu hak-hak dasarfundamental seseorang diatur dalam pasal lainnya
di DUHAM. Segala ketentuan mengenai hak dasar manusia dalam DUHAM tersebut berlaku juga untuk etnis Rohingya yang telah terdiskriminasi di
negaranya sendiri Myanmar. Selain DUHAM terkait dengan perlindungan HAM terdapat Convention
relating to the Status of Refugees 1951 Konvensi Internasional mengenai Status Pengungsi yang merupakan instrumen internasional yang bersifat yuridis pertama
yang mentransformasikan hak dan kebebasan asasi manusia yang tercantum dalam DUHAM 1948 yang paling esensial dan minimal diperlukan oleh
pengungsi. Konvensi Internasional mengenai Status Pengungsi disetujui pada 28 Juli
1951 di Jenewa. Berdasarkan Konvensi, yang dinamakan pengungsi adalah mereka yang 1 terpaksa berada di luar negaranya karena ancaman persekusi,
karena alasan ras, agama, rumpun bangsaetnik, kelompok sosial, atau pandangan
politik mereka; 2 tidak memperoleh perlindungan dari negara asal mereka. Sesuai dengan Konvensi maka status hukum etnis Rohingya terkategorisasi
sebagai pengungsi yang harus dilindungi HAM-nya. Negara pihak akan menerapkan ketentuan Konvensi pada para pengungsi tanpa diskriminasi
mengenai ras, agama, atau negara asal Pasal 2. Perlindungan HAM telah dijamin dalam Konvensi mengenai Status
Pengungsi sebagaimana tercantum antara lain dalam Pasal 4 yang menyatakan negara pihak akan memberikan kepada para pengungsi yang berada dalam
wilayahnya perlakuan yang setidak-tidaknya sama dengan perlakuan yang diberikan kepada warganegaranya mengenai kebebasan menjalankan agama dan
kebebasan tentang pendidikan dan anak-anak mereka. Terkait kesejahteraan para pengungsi Pasal 20 Konvensi menyatakan bila
terdapat sistem pemberian ransum yang berlaku bagi penduduk umumnya dan yang mengatur distribusi umum produk-produk yang persediaannya kurang, para
pengungsi akan diberikan perlakuan yang sama dengan warga negara. Selain itu Pasal 21 Konvensi mengatur hak terkait perumahan yang akan diberikan kepada
pengungsi yang tinggal secara sah di wilayahnya perlakuan yang sebaik mungkin. Negara pihak akan memberikan kepada pengungsi perlakuan yang sama
dengan perlakuan yang diberikan kepada warga negara mengenai pendidikan dasar Pasal 22 ayat 1. Negara pihak memberikan akses ke studi, pengakuan
sertifikat sekolah asing, ijazah-ijazah dan gelar-gelar, pembebasan biaya-biaya
dan pungutan-pungutan suara pemberian beasiswa-beasiswa. Pertolongan dan bantuan publik diberikan kepada para pengungsi oleh negara pihak Pasal 23.
120
Dalam Pasal 31 Konvensi mengenai Status Pengungsi, terkait pengungsi yang berada secara tidak sah di negara pengungsian dinyatakan:
1. Negara-negara pihak tidak akan mengenakan hukuman pada para pengungsi, karena masuk atau keberadaannya secara tidak sah, yang
datang langsung dari wilayah dimana hidup atau kebebasannya terancam dalam arti Pasal 1, masuk ke atau berada di wilayah negara-negara pihak
tanpa izin asalakan mereka segera melaporkan diri kepadan instansi- instansi setempat dan menunjukan alasan yang layak untuk masuk atau
keberadaan mereka secara tidak sah itu. 2. Negara-negara pihak tidak akan mengenakan pembatasan-pembatasan
terhadap perpindahan para pengungsi termaksud kecuali pembatasan- pembatasan demikian hanya akan diberlakukan sampai status mereka di
negara itu di sahkan atau mereka mendapat izin masuk ke negara lain. Negara-negara pihak akan memberi waktu yang layak dan segala
kemudahan yang perlu kepada para pengungsi tersebut untuk mendapat izin masuk ke negara lain.
Negara-negara pihak tidak akan mengusir pengungsi berada secara tidak sah di wilayahnya kecuali karena alasan keamanan nasional atau ketertiban
umum. Pengusiran pengungsi hanya akan dilakukan sebagai pelaksanaan suatu keputusan yang dicapai sesuai dengan proses hukum yang semestinya. Kecuali
120
Ibid.
apabila alasan keamanan nasional yang bersifat memaksa mengharuskan lain, pengungsi itu akan diijinkan menyampaikan bukti untuk membersihkan dirinya,
serta untuk mengajukan banding kepadanya, dan untuk maksud itu diwakili di depan, instansi yang berwenang atau seorang atau orang-orang yang khusus di
tunjuk oleh instansi berwenang. Selain itu negara pihak akan memberikan kepada pengungsi jangka waktu
yang layak untuk mengupayakan diterima masuknya secara sah ke negara lain dalam jangka waktu yang diberikan itu. Negara pihak mencadangkan haknya
untuk menerapkan dalam jangka waktu tersebut tindakan-tindakan internal yang dianggapnya perlu Pasal 32 Konvensi mengenai Status Pengungsi. Walaupun
Indonesia bukan merupakan negara penandatangan Konvensi Internasional mengenai Status Pengungsi tahun 1951, namun sebagai negara anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa yang ikut serta dalam perdamaian dunia dan atas dasar kemanusiaan serta HAM sudah semestinya Indonesia memberikan
perlindungan kepada pengungsi Rohingya yang berada di Indonesia.
121
Larangan pengusiran atau pengembalian refoulment para pengungsi juga diatur dalam Pasal 33 ayat 1 Konvensi Internasional mengenai Status Pengungsi
disebutkan bahwa tidak ada negara pihak yang akan mengusir atau mengembalikan refouler pengungsi dengan cara apapun ke perbatasan wilayah
dimana hidup atau kebebasannya akan terancam karena ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau opini politiknya.
121
Ibid. Hal 2.
Berdasarkan Pasal 33 ayat 1 ini, Indonesia mengikuti prinsip non- refoulement dengan menjalankan kewajiban membantu para pengungsi Rohingya
yang masuk ke perairan Indonesia walaupun Indonesia bukan negara penandatangan Konvensi Internasional mengenai Status Pengungsi tahun 1951.
Pemerintah Indonesia telah menerapkan prinsip non refoulement yaitu praktik yang tidak memaksa pengungsi atau pencari suaka untuk kembali ke negara, di
mana mereka kemungkinan akan mengalami atau menjadi sasaran penganiayaan atau kekerasan.
Pasal 33 ayat 2 Konvensi Internasional mengenai Status Pengungsi dinyatakan bahwa namun keuntungan ketentuan ini tidak boleh di klaim oleh
pengungsi dimana terdapat alasan-alasan yang layak untuk menganggapnya sebagai bahaya terhadap keamanan negara dimana ia berada atau karena telah
dijatuhi hukuman oleh putusan hakim yang bersifat final atas tindak pidana sangat berat ia merupakan bahaya bagi masyarakat negara itu.
122
Terkait kerjasama instansi nasional dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menangani pengungsi
juga diatur dalam Pasal 35 Konvensi Internasional mengenai Status Pengungsi, yang berisi:
Article 35: Co-operation of the national authorities with the united nations
1. The Contracting States undertake to co-operate with the Office of the United Nations High Commissioner for Refugees, or any other agency of
the United Nations which may succeed it, in the exercise of its functions, and shall in particular facilitate its duty of supervising the application of
the provisions of this Convention. 2. In order to enable the Office of the High Commissioner or any other
agency of the United Nations which may succeed it, to make reports to the
122
Pasal 33 Convention Relating to the Status of Refugees 1951
competent organs of the United Nations, the Contracting States undertake to provide them in the appropriate form with information and statistical
data requested concerning: a The condition of refugees, b The implementation of this Convention, and; c Laws, regulations and decrees
which are, or may hereafter be, in force relating to refugees. Terjemahan pasal:
Pasal 35 Kerja sama pemerintah nasional dengan perserikatan BANGSA-BANGSA
1. Negara-negara Pihak berjanji untuk bekerja sama dengan Komisariat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Urusan Pengungsi, atau suatu
badan Perserikatan Bangsa-Bangsa lain yang mungkin menggantikannya, dalam menjalankan fungsinya, dan khususnya akan memudahkan tugasnya
dalam mengawasi penerapan ketentuanketentuan dari Konvensi ini 2. Agar Komisariat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa, atau suatu badan
Perserikatan Bangsa-Bangsa lain yang mungkin menggantikannya, dapat membuat laporan-laporan kepada organ-organ Perserikatan BangsaBangsa
yang berwenang, Negara Pihak berjanji untuk memberikan kepada organ- organ termaksud informasi dan data statistik yang diminta, dalam bentuk
sebagaimana mestinya, mengenai: a Kondisi Pengungsi;
b Pelaksanaan Konvensi ini, dan c Undang-undang, peraturan-peraturan dan keputusankeputusan
yang berlaku, atau yang kemudian berlaku mengenai para pengungsi.
Diperlukan kerjasama pemerintah Indonesia, berbagai pemangku
kepentinga dengan Badan Urusan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa United Nations High Commisioner for Refugees dalam menangani para pengungsi
Rohingya yang berada di Indonesia. Selain itu agar pemerintah Indonesia melakukan kerjasama regional di kawasan ASEAN karena permasalahan
pengungsi Rohingya merupakan memerlukan keterlibatan negara ASEAN. Negara Indonesia sangat menjunjung tinggi penghormatan atas HAM. Hal
tersebut tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Bab XA Hak Asasi Manusia dan juga dituangkan di dalam Undang-Undang salah
satunya yaitu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
123
C. UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA TERHADAP PELANGGARAN HAM YANG TERJADI PADA ETNIS ROHINGYA DI MYANMAR
BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL
Nasib etnis minoritas ini tidak selalu mendapatkan perlakukan yang baik di wilayah negara yang didudukinya, pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia
sering dialami oleh etnis minoritas ini. Mengenai pelanggaran Hak Asasi Manusia HAM, menurut C.De Rover bahwa pelanggaran HAM merupakan setiap
tindakan yang salah secara internasional yang dilakukan oleh suatu negara, dan dapat menimbulkan pertanggungjawaban internasional kepada negara tersebut.
124
Seiring dengan perkembangannya kejadian yang terjadi, salah satunya di negara Myanmar. Konflik etnis Rohingya ini merupakan konflik yang didasari
atas perlakuan diskriminasi karena perbedaan etnis dan agama. Etnis rohingya tidak diakui keberadaannya oleh negara Myanmar dan tidak mendapatkan
kewarganegaraan. Hal
ini terbukti
dengan dikeluarkannya
Peraturan Kewarganegaraan Myanmar Burma Citizenship Law 1982, Myanmar
menghapus Rohingya dari daftar delapan etnis utama yaitu Burmans, Kachin, Karen, Karenni, Chin, Mon, Arakan, Shan dan dari 135 kelompok etnis kecil
lainnya.
123
Ibid.
124
C. de Rover, To Serve and Protect Acuan Universal Penegakan HAM, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000 Hal 22.
President Myanmar Thein Sein melakukan pengusiran pada etnis ini dengan mengatakan dalam forum internasional, bahwa “Rohingya are not our
people and we have no duty to protect them”, Presiden Thien Sein menginginkan etnis Rohingya dikelola oleh UNHCR United Nations High Comissioner for
Refugee atau ditampung di negara ketiga. Selain itu, Presiden Thein Sein menyebut etnis Rohingya di Arakan sebagai “a threat to national security”.
Pernyataan yang dilakukan oleh Presiden Thein Sein berdampak buruk bagi etnis rohingya yang tidak hanya berasal dari pemerintah saja tapi juga dari masyarakat
Myanmar.
125
Perlakuan buruk yang terjadi terhadap etnis rohingya sebenarnya sudah dialami sejak tahun 1962 pada saat pemerintahan presiden U Nay Win. Presiden
U Nay Win membentuk operasi-operasi hingga menyebabkan orang Rohingya terusir paksa dari negara Myanmar. Terusir paksa melalui beberapa tindakan
sistematis yang berupa: Extra Judicial Killing, penangkapan sewenang-wenang, penyitaan property, perkosaan, propaganda anti-rohingya dan anti-muslim, kerja
paksa, pembatasan gerak, pembatasan lapangan kerja, larangan berpraktek agama.
126
Konflik tersebut dibiarkan oleh pemerintah Myanmar untuk melegalisasi tindakan pemerintah Myanmar mengusir etnis Rohingya dari negara Myanmar.
Masalah pelanggaran HAM berat yang terjadi di Myanmar merupakan salah satu masalah yang sangat serius di dunia ini, karena bukan hanya berdampak negatif
125
Aviantina Susanti, Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat Terhadap Etnis Rohingya Di Myanmar Berdasarkan Hukum Internasional, Jurnal Ilmiah Universitas Brawijaya,
2014, Hal 4.
126
Ibid. Hal 5.
bagi masyarakat yang berada di wilayah Myanmar saja tetapi berdampak pula pada negara yang lain. Selain itu, pelanggaran HAM berat ini bukanlah perkara
mudah untuk diselesaikan.
127
Dalam pasal 33 United Nations Charter dijelaskan bahwa untuk menyelesaikan kasus seharusnya menggunakan cara diplomasi terlebih dahulu
sebelum ke ranah hukum. Hal tersebut berbunyi sebagai berikut :
128
Ayat 1, Pihak-pihak yang tersangkut dalam sesuatu pertikaian yang jika berlangsung
secara terus
menerus mungkin
membahayakan pemeliharaan perdamaian dan keamanan nasional, pertama-tama harus
mencari penyelesaian dengan jalan perundingan, penyelidikan, mediasi, konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian menurut hukum melalui badan-badan
atau pengaturan-pengaturan regional, atau dengan cara damai lainnya yang dipilih mereka sendiri.
Ayat 2, Bila dianggap perlu, Dewan Keamanan meminta kepada pihak-pihak
bersangkutan untuk menyelesaikan pertikaiannya dengan cara-cara yang serupa itu.
Adapun bentuk-bentuk mekanisme diplomasi yang dapat digunakan untuk
menyelesaikan kasus yang terjadi di Myanmar ialah dengan menggunakan Mediasi. Mediasi adalah cara penyelesaian dengan melalui perundingan yang
diikutsertakan pihak ketiga sebagai penengah. Pihak ketiga disini disebut sebagai mediator. Mediator disini tidak hanya negara tetapi dapat individu, organisasi
internasional dan lain sebagainya. Mengenai kasus yang terjadi pada etnis rohingya, PBB dapat sebagai mediator untuk menengahi para pihak yang
bersengketa etnis rohingya dengan pemerintah Myanmar dan penduduk warga negara Myanmar. Serta PBB dapat membantu memberikan usulan-usulan bagi
127
Ibid.
128
Pasal 33 the Charter of the United Nations.
para pihak untuk menyelesaikan masalah yang terjadi tanpa adanya salah satu pihak yang dirugikan.
Dalam menyikapi kasus yang terjadi di Myanmar terhadap etnis rohingya, PBB memang telah mengecam keras kepada pemerintah Myanmar untuk segera
mengakhiri kekerasan yang terjadi. Namun, hal tersebut tidak ditanggapi dengan baik oleh pemerintah Myanmar dan hingga saat ini masih belum ada upaya
penyelesaian.
129
Jika dalam menggunakan cara mediasi sudah digunakan oleh negara dalam mengakhiri permasalahan yang terjadi, namun masih belum dapat
menyelesaikan masalah yang terjadi dengan hal ini kasus yang terjadi dapat diambil alih oleh Dewan Keamanan PBB untuk diselesaikan menggunakan cara
melalui Mahkamah Pidana Internasional International Criminal Court.
129
United Nations Press Release, “UN Human Rights Experts Call on Myanmar to Address Discrimination Against Members of Muslim Minority in North Rakhine State”,
http:www.unhchr.chhuricanehuricane.nsf0F0ED9448671A73E6C12572B100553470?opendoc ument, diakses 13 September 2015
79
BAB IV STATUS KEWARGANEGARAAN ETNIS ROHINGYA DI MYANMAR
BERDASARKAN CONVENTION RELATING THE STATUS OF STATELESS PERSON 1954
A. PERLINDUNGAN
STATUS KEWARGANEGARAAN
ETNIS ROHINGYA
DI MYANMAR
BERDASARKAN HUKUM
INTERNASIONAL.
Memperoleh status kewarganegaraan merupakan hak setiap individu, sebagaimana yang termaktub dalam Universal Declaration of Human Rights
1948,
130
sehingga secara teoritik tidak ada satupun individu di dunia ini di negara manapun dia berada tidak memiliki kewarganegaraan. Dalam pembukaan
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 menunjukkan bahwa aspirasi tertinggi dari semua orang adalah kemajuan dunia dimana semua mahkluk akan
menikmati kebebasan berbicara dan berkeyakinan serta kebebasan dari rasa takut dan kekurangan.
Integritas, kebebasaan, dan kesetaraan menjadi suatu yang seringkali tidak dapat diwujudkan oleh suatu negara, banyaknya etnis dalam suatu negara
menjadi salah satu faktor yang menjadikan beberapa etnis yang tergolong minoritas menjadi komunitas yang terdiskriminasi dalam negara tersebut. Hal
yang juga seringkali dijumpai adalah adanya komunitas dalam suatu negara tidak diakui sebagai warga negara dimana dia berada. Selanjutnya dalam hukum
internasional mereka yang tidak memiliki kewarganegaraan disebut stateless persons. Stateless persons merupakan individu yang tidak diakui sebagai warga
130
Pasal 2 Universal Declaration of Human Rights 1948
negara oleh suatu negara berdasarkan aturan hukum negara tersebut, di mana individu tersebut tinggal.
Dari segi struktur, Negara Myanmar beserta aparaturnya telah dengan sengaja tidak mau memberikan perlindungan terhadap Etnis Rohingya sesuai
dengan hukum internasional yang berlaku. Dimana Etnis Rohingya sebagai manusia yang memiliki status Stateless Person tetap memiliki hak untuk dapat
hidup yang layak dan terbebas dari segala jenis penindasan dan diskriminasi yang didasarkan atas apapun.
Keengganan dari negara Myanmar untuk memenuhi kewajiban internasionalnya memberikan perlindungan kepada Etnis Rohingya dapat dilihat
dari: Pertama, tindakan-tindakan aparatus negaranya yang melakukan berbagai operasi-operasi militer yang ditujukan kepada Etnis Rohingya. Aksi-aksi militer
ini bertujuan untuk melemahkan sosial ekonomi, mengontrol pertumbuhan penduduk, pembersihan etnis dan menyebarkan agama serta kebudayaan Buddha
Burma di Arakan.
131
Kedua, sistem administrasi yang mendiskreditkan Etnis Rohingya dimana mereka mendapatkan kesulitan dalam mendaftarkan kelahiran anak
mereka dan mencantumkannya ke dalam kartu keluarga, pembatasan jumlah kelahiran, dan izin pernikahan yang sulit didapatkan. Sebagai tanda pengenal
diri dari Etnis Rohingya, maka pemerintah Myanmar mengeluarkan Temporary Registration Card TRC yang berwarna putih. Didalam TRC ini telah dengan
131
Aviantina Susanti, Op. Cit. Hal 61.
jelas disebutkan bahwa kartu tersebut tidak dapat digunakan untuk mengklaim kewarganegaraan.
132
Ketiga, Pemerintah Myanmar telah dengan tegas mengatakan kepada masyarakat internasional bahwa Etnis Rohingya bukanlah bagian dari
Myanmar.
133
Keempat, hak diskresi yang dimiliki oleh Council State of Myanmar untuk menentukan siapa saja yang berhak menjadi warganegara
Myanmar telah membuat kesewenang-wenangan kepada pemegang hak diskresi tersebut untuk menentukan siapa saja yang dapat menjadi warganegara
Myanmar. Dari sisi substansi, hukum internasional telah memberikan hak kepada
setiap orang untuk mendapatkan kewarganegaraan serta telah terdapat kodifikasi yang menyeluruh akan hak-hak serta kewajiban yang dimiliki oleh Stateless
Person. Bahkan masyarakat internasional telah menyepakati suatu konvensi internasional tentang pengurangan dari Stateless Person ini. Namun hal ini
masih belum berhasil menghilangkan keberadaan Stateless Person. Hal ini disebabkan masih banyak negara yang belum meratifikasi dan meregulasi
ketentuanketentuan dalam level nasional untuk memberikan status warganegara terhadap orang-orang yang tidak memiliki atau terancam tidak memiliki
kewarganegaraan.
134
132
Chris Lewa, “Issues to be Raised Concerning the Situation of Stateless Rohingya Children in Myanmar Burma”, The Arakan Project, Bangkok, 2012, hal 5.
133
The Atlantic, “Burma Doesn’t Want the Rohingya But Insists on Keeping Them”, http:www.theatlantic.cominternationalarchive201506burma-rohingya-migration-ban395729,
diakses 13 September 2015.
134
UNHCR, “Key
for Protecting
the Stateless”,
http:www.unhcr.orgpages4a2535c3d.html, diakses 13 September 2015.
Selain itu, didalam konvensi yang mengatur pemberian hak dan perlindungan hukum terhadap Stateless Person baik berdasarkan Universal
Declaration of Human Rights, International Convention Relating to the Status of Stateless Person 1954, International Convention on Reduction of Statelessness
1961 dan International Covenant on Civil and Political Rights 1966 tidak satupun dari konvensi ini yang memberikan sanksi yang kongkret terhadap
pelanggaran isi konvensi. Sehingga hal ini menjadi penyebab lemahnya pemberian perlindungan hukum dan pemenuhan hak yang dimiliki oleh Stateless
Person. Dalam hukum internasional memperoleh status kewarganegaraan
merupakan suatu yang mutlak adanya, beberapa konvensi yang mengatur persoalan tersebut, seperti Universal Declaration of Human Rights 1948, yang
kemudian mengilhami konvensi-konvensi berikutnya sehubungan dengan status kewarganegaraan, seperti Convention to the Relating of Stateless persons 1954
dan Convention on the Reduction of Statelessness 1961. Dari dua kovenan yang berkaitan erat dengan Stateless Person, Myanmar bukanlah negara pihak dari
kovenan tersebut.
135
Jika dilihat dari isi Konvensi tentang Status Stateless Person 1954 telah berisi ketentuan standar hak-hak yang cukup lengkap yang diberikan kepada
Stateless Person untuk melanjutkan kehidupannya sebagai manusia yang beradab. Bahkan didalam konvensi inipun negara diberikan kewajiban untuk melakukan
135
Status of the Convention on the Reduction of Statelessness 1961, as at: 13-09-2015 05:02:24
EDT, https:treaties.un.orgpagesViewDetails.aspx?src=TREATYmtdsg_no=V-
4chapter=5lang=en, diakses 13 September 2015.
proses naturalisasi dan asimilasi dari Stateless Person untuk menjadi warganegara dari negara yang bersangkutan secepat mungkin.
136
Aturan perlindungan hukum terhadap Stateless Person dalam berbagai instrumen hukum internasional telah memenuhi standar pemenuhan hak asasi
manusia. Namun didalam instrument-instrumen hukum internasional tersebut belum terdapat sanksi yang jelas yang dapat diterapkan terhadap setiap
pelanggarnya. Sehingga negara-negara yang tidak memenuhi kewajiban internasionalnya tidak dapat dikenakan suatu hukuman yang jelas yang bersifat
memaksa ataupun menghukum negara pelanggar. Selain aturan-aturan hukum internasional yang memiliki peran terhadap
masih adanya Etnis Rohingya yang tidak memiliki kewarganegaraan, aturan hukum negara Myanmar tentang kewarganegaraan juga memiliki peran terhadap
Statelessness dari Etnis Rohingya. Dapat diketahui bahwa Myanmar menganut asas Ius Sanguinis penentuan kewarganegaraan seseorang berdasarkan dari
keturunannya atau orang tuanya
137
dalam menentukan seseorang sebagai warganegaranya atau tidak. Hal ini dapat diketahui, berdasarkan pasal 5 dari
Undang-Undang Kewarganegaraan Myanmar 1982 yang mengatakan bahwa anak-anak yang lahir dari orang tua yang berkewarganegaraan Myanmar adalah
warga negara Myanmar semenjak lahir.
138
Oleh karena itu, anak-anak Etnis Rohingya terancam tidak memiliki kewarganegaraan dikarenakan memiliki orang tua yang tidak memiliki
136
Pasal 32 Convention Relating to the Status of Stateless Persons 1954
137
Herlin Wijayati, Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian Bayumedia: Malang, 2011 hal 58.
138
Pasal 5 Myanmar Citizenship Law 1982.
kewarganegaraan. Padahal, berdasarkan pasal 7 dari International Convention on the Rights of the Child dan pasal 24 dari International Covenan on Civil and
Political Rights 1966 memberikan hak kepada setiap anak wajib untuk segera didaftarkan dan mendapatkan nama serta berhak atas kewarganegaraan.
139
B. PROSUDER
PENENTUAN STATUS
PENGUNGSI ETNIS
ROHINGYA DI MYANMAR OLEH UNHCR
Lembaga internasional yang berkompeten dengan urusan pengungsi adalah United Nations High Commissioner for Refugees UNHCR. Organisasi ini
merupakan komisi Perserikatan Bangsa Bangsa PBB yang khusus menangani para pengungsi. Badan ini didirikan pada tanggal 14 Desember 1950 oleh Majelis
Perserikatan Bangsa Bangsa dan mulai bekerja satu tahun kemudian, tepatnya tanggal 1 Januari 1951. UNHCR awalnya hanyalah membantu memberikan
perlindungan keamanan, makanan, serta bantuan medis dalam keadaan darurat. Disamping itu membantu dalam mencarikan solusi bagi pengungsi untuk jangka
waktu yang lama.
140
Sejak didirikannya UNHCR berfungsi memberikan perlindungan pada pengungsi dan bekerjasama dengan pemerintah-pemerintah di dunia untuk
mencarikan solusi jangka panjang atas masalah-masalah yang dihadapi para pengungsi. Sekarang ini UNHCR tengah menangani lebih dari 20.000.000
pengungsi. UNHCR diberikan kewenangan untuk memberikan perlindungan internasional terhadap pengungsi serta mencarikan solusi atas masalah-masalah
139
Article 24 International Covenant on Civil and Political Rights 1966.
140
Wagiman, S.Fil., S.H., M.H., Op. Cit. hal 188.
yang dihadapi oleh pengungsi. Badan ini secara periodic memberikan laporan hasil kerjanya dihadapan sidang Majelis Umum PBB.
141
Badan Pengungsi PBB ini muncul setelah Perang dunia ke-2 untuk membantu orang-orang eropa yang mengungsi akibat konflik tersebut. Secara
optimis, Office of the United Nations High Commissioner for Refugees didirikan pada tanggal 14 Desember 1950 oleh Majelis Umum PBB dengan mandat tiga
tahun untuk menyelesaikan pekerjaannya dan bubar setelahnya. Pada tahun berikutnya, tanggal 28 Juli, the United Nations Convention relating to the Status
of Refugees, landasan hukum untuk membantu pengungsi dan undang-undang dasar untuk membimbing pekerjaan UNHCR diadopsi.
142
Pada wilayah Asia-Pasifik sendiri, ada lebih dari 1,4 juta orang yang tidak mempunyai kewarganegaraan, atau terancam tidak punya kewarganegaraan.
Kelompok yang paling besar ada di Negara Bagian Rakhine di Myanmar, dimana sekitar 1.09 juta orang tidak mempunyai kewarganegaraan. UNHCR memberikan
saran dan dukungan pembangunan kapasitas kepada pemerintah untuk membantu mengatasi tantangan yang berkaitan dengan kewarganegaraan. Pada saat yang
sama, UNHCR mendorong untuk menghormati hak-hak dasar orang-orang yang tidak mempunyai kewarganegaraan.
Situasi di Myanmar adalah operasi utama UNHCR. Orang-orang dari kelompok etnis yang berbeda-beda telah melarikan diri selama beberapa dekade
untuk mencari perlindungan dari konflik etnis dan kekerasan. Saat ini diperkirakan 500.000 pengungsi dari Myanmar berada di negara-negara tetangga
141
Ibid. hal 189.
142
UNHCR The
UN Refugee
Agency, “History
of UNHCR”,
http:www.unhcr.orgpages49c3646cbc.html
di kawasan tersebut. Termasuk didalamnya adalah Karen dan Karenni di Thailand, Chin di Malaysia, Muslim Rohingya di Bangladesh dan tempat dengan
populasi luas di kota-kota di seluruh wilayah.
143
Perlindungan yang diberikan UNHCR, dimulai dengan memastikan bahwa pengungsi dan pencari suaka terlindung dari refoulement yakni perlindungan dari
pemulangan kembali secara paksa ke tempat asal mereka dimana hidup atau kebebasan mereka terancam bahaya atau penganiayaan. Perlindungan pengungsi
lebih jauh mencakup proses verifikasi identitas pencari suaka dan pengungsi agar mereka dapat terdaftar dan dokumentasi individual dapat dikeluarkan.
144
Pencari suaka yang telah terdaftar kemudian dapat mengajukan permohonan status pengungsi melalui prosedur penilaian yang mendalam oleh
UNHCR, yang disebut sebagai Penentuan Status Pengungsi atau Refugee Status Determination RSD. Prosedur ini memberikan kesempatan kepada para pencari
suaka secara individual untuk diinterview dalam bahasa ibu mereka oleh seorang staff RSD dan dibantu oleh seorang penerjemah ahli, yang akan menilai keabsahan
permintaan perlindungan yang diajukan.
145
Selanjutnya pencari suaka akan diberikan keputusan, apakah status pengungsi diberikan atau tidak kepadanya, beserta dengan alasannya. Apabila
permintaan untuk perlindungan ditolak, prosedur dalam RSD memberlakukan satu kesempatan untuk pengajuan ulang banding. Bagi mereka yang mendapatkan
143
UNHCR The UN Refugee Agency, “2015 UNHCR Regional Operations Profile- Asia and the Pacific Working Environment”, http:www.unhcr.orgpages4a02d8ec6.html, diakses 13
September 2015
144
UNHCR The
UN Refugee
Agency, “UNHCR
di Indonesia”,
http:www.unhcr.or.ididtentang-unhcr, diakses 13 September 2015
145
Ibid.
status pengungsi, UNHCR akan mencarikan satu dari tiga solusi jangka panjang yang memungkinkan: penempatan di negara ketiga resettlement
146
, pemulangan sukarela repatriation
147
apabila konflik di daerah asal sudah berakhir, atau integrasi lokal local integration.
148
C. Status Kewarganegaraan Etnis Rohingya di Myanmar Berdasarkan
Convention Relating to the Status of Stateless Persons 1954.