Status Kewarganegaraan Etnis Rohingya di Myanmar Berdasarkan

status pengungsi, UNHCR akan mencarikan satu dari tiga solusi jangka panjang yang memungkinkan: penempatan di negara ketiga resettlement 146 , pemulangan sukarela repatriation 147 apabila konflik di daerah asal sudah berakhir, atau integrasi lokal local integration. 148

C. Status Kewarganegaraan Etnis Rohingya di Myanmar Berdasarkan

Convention Relating to the Status of Stateless Persons 1954. Hukum internasional memang telah lama mengatur hak dan kewajiban individu, tetapi pengaturan masalah HAM dalam hukum internasional belum lama. Penghormatan atas HAM sangat penting untuk menjamin agar orang dapat hidup sesuai dengan martabat manusianya 149 Dampak pengaturan HAM dalam hukum internasional tersebut, yaitu pengakuan dan penghormatan HAM untuk melindungi kepentingan individu terhadap tindakan sewenang-wenang pemerintahnya. Dengan perlindungan itu, individu dapat hidup sesuai dengan martabatnya sebagai manusia. Pengakuan, penghormatan, dan perlindungan HAM merupakan urusan domestik negara yang bersangkutan. Akan tetapi, dengan diaturnya HAM dalam hukum internasional, pengakuan, penghormatan, dan perlindungan HAM tidak lagi hanya berkaitan dalam hubungan antara pemerintah dan warganya. Pengakuan, Penghormatan, dan 146 UNHCR The UN Refugee Agency, “Resettlement: A New Beginning in a Third Country”, http:www.unhcr.orgpages4a16b1676.html, diakses 14 September 2015 147 UNHCR The UN Refugee Agency, “Voluntary Repatriation”, http:www.unhcr.orgpages49c3646cfe.html, diakses 14 September 2015 148 UNHCR The UN Refugee Agency, “Local Integration: Accepted by a Generous Host”, http:www.unhcr.orgpages49c3646c101.html, diakses 14 September 2015 149 Dedi Supriyadi, M.Ag., Op. Cit. hal 233. perlindungan HAM berkaitan antara hubungan pemerintah suatu negara dan warga negaranya dengan negara-negara lain. Dengan kata lain, pengakuan, penghormatan, dan perlindungan HAM menjadi urusan internasional. 150 Pengungsi adalah sekelompok manusia yang terpaksa meninggalkan kampung halaman, teman dan kerabat mereka, karena adanya rasa takut yang sangat mengancam keselamatan kehidupan diri pribadi, dan keluarga mereka. Keputusan untuk pergi mengungsi merupakan sebuah keputusan yang sulit diambil setelah sekian lama berada dalam situasi yang tidak menentu karena segala usaha dan upaya yang dilakukan tidak berhasil. 151 Para pengungsi umumnya tidak dibekali dengan dokumen perjalanan. Sehingga banyak di antara mereka mengalami perlakuan yang sewenang-wenang di negara asal ataupun di negara persinggahan maupun di negara tujuan mereka. Perlakuan yang umum terjadi terhadap para pengungsi seperti penyiksaan, perkosaan, diskriminasi, dan dipulangkan secara paksa refoulement. Kesemuanya itu menjurus kepada pelanggaran hak-hak individu manusia. Karena itu didalam membicarakan pengungsi pembahasan juga dikaitkan dengan hak asasi manusia yang berlaku secara universal. 152 Laporan PBB menyatakan bahwa Rohingya merupakan etnis minoritas yang paling teraniaya di dunia sekarang ini. Perserikatan Bangsa Bangsa PBB mengatakan bahwa etnis minoritas Muslim Rohingya di Myanmar merupakan kelompok etnis minoritas yang saat ini paling merana di dunia. Ini dikarenakan konflik kemanusiaan dan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok pengikut 150 Ibid. hal 235-236. 151 Achmad Romsan dkk., Op. Cit. hal 115. 152 Ibid. budha radikal di Myanmar. 153 Hal tersebut terutama terjadi setelah peristiwa kekerasan bernuansa sektarian yang terjadi pada Juni 2012 di Negara Bagian Arakan yang melibatkan etnis Arakan dan etnis Rohingya, yaitu: “the sectarian violence in Arakan State took place primarily from June 8 to 12, 2012, when Arakan and Rohingya mobs attacked homes, shops, and houses of worship. Witnesses described mobs from both populations storming neighborhoods, pillaging and setting fire to homes and other buildings, and beating those they found with crude weapons, such as swords, bamboo sticks, metal bars, and poles. Members of both communities conceded to Human Rights Watch that members of their own groups were responsible for violent acts, including killings.” Setelah kekerasan sektarian tersebut terjadi, mulailah muncul kekerasan- kekerasan baru yang ditujukan kepada etnis Rohingya. Kekerasan yang terjadi melibatkan pula oknum-oknum aparat pemerintah Myanmar baik dari kepolisian dan militer –yang seharusnya non-partisan— maupun unsur-unsur masyarakat seperti dari etnis Arakan. 154 Sejumlah laporan menunjukkan bahwa pemerintah Rohingya dianggap telah gagal mencegah terjadinya kekerasan atau melakukan pembiaran hal itu terhadap negara etnis Rohingya. Hal tersebut berujung pada timbulnya persoalan Hak Asasi Manusia HAM, antara lain seperti: perusakan harta benda, penganiyaan, pembunuhan hingga tindakan persekusi terhadap anggotakelompok masyarakat yang berasal dari etnis Rohingya. 155 Konvensi yang mengatur tentang orang-orang yang tidak memiliki warga negara ini disahkan melalui sebuah konferensi yang dihadiri oleh wakil berkuasa penuh negara-negara pada tanggal 28 September 1954 melalui sebuah Resolusi 153 Andrey Sujatmoko, Op. Cit. hal 155. 154 Ibid. hal 156. 155 Ibid. hal 157. Dewan Sosial dan Ekonomi Nomor 526 XVII tanggal 26 April 1954 dan diberlakukan pada tanggal 6 Juni 1960, sesuai dengan ketentuan pasal 39 Konvensi. Secara lengkap Konvensi tahun 1954 ini bernama Convention Relating to the Status of Stateless Persons. 156 Konvensi tahun 1954 ini merumuskan mengenai standar perlakuan yang harus dilakukan oleh negara terhadap orang-orang yang tidak memiliki warga negara. Perlakuan yang diberikan adalah sama dengan mereka yang termasuk dalam kelompok pengungsi. Dasar pertimbangan disahkannya Konvensi tahun 1954 ini adalah orang- orang yang tidak memiliki warga negara itu adalah manusia yang memiliki dan harus menikmati hak-haknya sebagai manusia. Kebanyakan dalam kasus ini yang banyak menjadi orang-orang yang tidak memiliki warga negara adalah para pengungsi. Berdasarkan hal itulah maka perlu untuk mengaturnya dalam sebuah persetujuan internasional sehingga status orang-orang yang tidak berkewarganegaraan ini dapat diperbaiki 157 dan setidaknya memiliki hak yang sama dengan pengungsi. 158 Konvensi tahun 1954 ini terdiri dari 42 pasal yang termuat dalam enam Bab. Beberapa pasal yang perlu diketahui seperti pasal 1 yang berbunyi: 159 “For the purpose of this Convention, the term “stateless person” means a person who is not considered as a national by any State under the operation of its law” 156 Achmad Romsan dkk., Op. Cit. hal 90. 157 Bagian “Preamble” Convention Relating to the Status of Stateless Persons 1954 158 Achmad Romsan dkk., Op. Cit. hal 91. 159 Pasal 1 Convention Relating to the Status of Stateless Persons 1954. Pasal tersebut memberikan rumusan tentang “stateless persons”, kewajiban umum yang harus dipatuhi oleh mereka, 160 hak asasi yang melekat kepada dirinya sebagai manusia, seperti hak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif, 161 hak untuk menjalakan agama dan pendidikan agama kepada anak-anak mereka, 162 hak kelangsungan tempat tinggal, 163 hak untuk memiliki benda-benda bergerak dan tidak bergerak, 164 termasuk juga hak atas karya seni dan hak milik industri, 165 hak untuk berserikat, 166 hak untuk mendapatkan pekerjaan dan hidup yang layak. 167 Hak dibidang kesejahteraan, 168 misalnya perumahan, pendidikan umum, kebebasan untuk bergerak. Negara peserta Konvensi tahun 1954 juga diharuskan menerbitkan kartu identitas terhadap orang-orang yang tidak memiliki warga negara yang ada di negaranya, juga termasuk dokumen perjalanan. Konvensi ini juga mengatur tentang para pelaut seamen yang tidak memiliki warga negara. Konvensi tahun 1954 ini hanya berlaku terhadap orang-orang yang pada saat itu belum menerima bantuan perlindungan dari lembaga-lembaga atau badan- badan PBB lainnya. Juga konvensi ini tidak berlaku terhadap orang-orang yang telah diakui sebagai warga oleh sebuah badan yang berwenang dalam negara itu, 160 Ibid. Pasal 2 161 Ibid. Pasal 3 162 Ibid. Pasal 4 163 Ibid. Pasal 10 164 Ibid. Pasal 13 165 Ibid. Pasal 14 166 Ibid. Pasal 15 167 Ibid. Pasal 17-19 168 Ibid. Pasal 20-24 sehingga orang itu memiliki hak-hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara di negara itu. 169 Permasalahan stateless persons ini selain diatur dalam Convention Relating to the Status of Stateless Persons 1954, juga diatur didalam Convention on the Reduction of Stateless 1961 mengenai prosedur-prosedur yang harus dilakukan suatu negara untuk mencegah terjadinya keadaan statelessness. Banyak sekali hak-hak dasar yang diatur dalam konvensi 1954. Salah-satu pasalnya menyatakan bahwa perlakuan yang didapatkan stateless persons tidak boleh membedakan mereka dengan warga Negara lainnya. 170 Seperti mendapatkan pendidikan, pekerjaan, perlindungan hukum dan masih banyak lainnya. Tetapi, ketentuan dari kovensi hanya berlaku bagi Negara peserta yang telah meratifikasi. Sehingga kewajiban untuk memberikan hak yang telah tertera dalam konvensi ini hanya berlaku bagi Negara peserta saja. Selain itu juga kovensi ini hanya berlaku pada saat stateless persons sudah berada di negara peserta, sehingga hak-hak stateless persons pada saat sebelum berada di negara peserta belumlah menjadi tangung jawab Negara peserta. Inilah yang terjadi pada etnis Rohingya pada saat ini, jika memang mereka sudah berada dinegara peserta maka secara otomatis mereka akan diurusi oleh Negara perserta, tetapi permasalahannya adalah kini kebanyakan dari mereka yang berhasil melarikan diri dari Myanmar hanya sanggup sampai Negara sekitar Myanmar. Konvensi 1954 berdasar pada suatu asas pokok: tidak satupun orang yang tidak berkewarganegaraan boleh diperlakukan lebih buruk dari seorang asing 169 Ibid. hal 92. 170 Pasal 3 Convention Relating to the Status of Stateless Persons 1954. manapun yang berkewarganegaraan. Disamping itu, Konvensi ini juga mengakui bahwa orang- orang tanpa kewarganegaraan lebih rentan dibandingkan dengan orang asing lainnya. Karenanya, Konvensi ini menyediakan serangkaian langkah khusus untuk orang-orang tanpa kewarganegaraan. Konvensi 1954 menjamin hak akan bantuan administrasi kepada orang- orang tanpa kewarganegaraan Pasal 25, suatu hak akan identitas diri dan dokumen perjalanan Pasal 27 dan 28 dan mengecualikan mereka dari persyaratan-persyaratan timbal balik Pasal 7. Ketentuan-ketentuan yang diselaraskan ini dirancang untuk mengatasi kesulitan-kesulitan khusus yang dihadapi oleh orang-orang tanpa kewarganegaraan dikarenakan mereka tidak mempunyai kewarganegaraan manapun, misalnya dengan memberi mereka sebuah dokumen perjalanan yang diakui bagi orang-orang tanpa kewarganegaraan yang berfungsi sebagai pengganti sebuah paspor. Hal-hal ini tidak diatur di manapun dalam hukum internasional namun berada di antara manfaat-manfaat hukum pokok untuk orang-orang tanpa kewarganegaraan dalam Konvensi 1954. 171 Mempertimbangkan penderitaan orang-orang tanpa kewarganegaraan, Konvensi ini mengatur bahwa orang-orang tersebut harus diperlakukan selayaknya warga negara suatu Negara terkait dengan hak-hak tertentu seperti kebebasan beragama ataupun pendidikan dasar. Harus ditekankan bahwa Konvensi ini mengambil suatu pendekatan sederhana yang merincikan bahwa beberapa jaminan berlaku untuk semua orang yang tidak berkewarganegaraan, 171 UNHCR, “Melindungi Hak-Hak Orang Tanpa Kewarganegaraan”, Op. Cit. hal 4. sementara yang lainnya dikhususkan untuk orang- orang tanpa kewarganegaraan yang secara sah berada atau menetap di dalam suatu wilayah. Dengan demikian, Konvensi 1954 meneruskan berbagai standar hak-hak asasi manusia yang telah ada dalam perangkat-perangkat internasional lainnya dan memberi panduan tentang cara standar-standar tersebut diterapkan untuk orang- orang tanpa kewarganegaraan. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 2 Konvensi 1954, semua orang yang tanpa kewarganegaraan mempunyai kewajiban untuk mematuhi hukum-hukum dan peraturan-peraturan negara tempat mereka berada. Adalah penting untuk mencatat bahwa hak-hak yang dinikmati yang dijaminkan di bawah Konvensi 1954 masih tidak memadai untuk kepemilikan sebuah kewarganegaraan. Inilah mengapa Konvensi 1954 menghimbau Negara- negara untuk memfasilitasi naturalisasi Pasal 32 orang-orang tanpa kewarganegaraan. Begitu mereka mendapatkan kewarganegaraan yang sah, orang-orang tanpa kewarganegaraan tidak lagi tanpa kewarganegaraan: sehingga penderitaan mereka pun berakhir. 172 Konvensi 1954 tidak menciptakan suatu hak bagi orang-orang tanpa kewarganegaraan untuk mendapatkan kewarganegaraan suatu Negara tertentu. Akan tetapi, karena orang-orang tanpa kewarganegaraan tidak mempunyai Negara untuk melindungi mereka, Konvensi ini mensyaratkan Negara-negara Pihak untuk sebisa mungkin memfasilitasi integrasi dan menaturalisasi orang-orang tanpa 172 Ibid. kewarganegaraan, misalnya dengan mempercepat dan mengurangi biaya persidangan naturalisasi untuk orang-orang tanpa kewarganegaraan. 173 Di tingkat yang lebih umum, hukum tentang hak-hak asasi manusia mengakui hak akan suatu kewarganegaraan – yang diatur, misalnya, dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia. Karenanya, Negara-negara harus berusaha keras menghindari keadaan tanpa kewarganegaraan. Lebih jauh lagi, Konvensi 1961 mengenai Pengurangan Keadaan Tanpa Kewarganegaraan memberi perlindungan umum dan global terhadap keadaan tanpa kewarganegaraan yang dengan demikian membantu Negara-negara dalam memastikan hak akan suatu kewarganegaraan. 174 Untuk memastikan bahwa hak-hak yang dimaktubkan dalam Konvensi ini diberikan kepada orang-orang tanpa kewarganegaraan, Negara-negara perlu mengenali individu-individu tanpa kewarganegaraan melalui prosedur yang semestinya. Konvensi 1954 tidak mengatur prosedur tertentu untuk menentukan apakah seseorang dalam keadaan tanpa kewarganegaraan atau tidak. Meskipun demikian, prosedur penentuan status kewarganegaraan harus memuat unsur-unsur pokok, yang perlu untuk pengambilan keputusan yang adil dan efisien sesuai dengan standar-standar perlindungan internasional. Hal-hal ini termasuk penugasan suatu kewenangan pusat dengan pengetahuan dan keahlian yang relevan untuk menilai permohonan-permohonan, prosedur perlindungan dan jaminan-jaminan di setiap tingkatan proses serta kemungkinan untuk banding atau peninjauan ulang. UNHCR sudah diberi tugas 173 Ibid. hal 5. 174 Ibid. untuk membantu Negara-negara dalam membuat membangun prosedur tersebut. 175 175 Ibid. hal 6. 97 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dokumen yang terkait

ANALISIS YURIDIS STATUS KEWARGANEGARAAN TERHADAP ORANG YANG TIDAK MEMILIKI KEWARGANEGARAAN (STATELESS) BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

0 3 8

ANALISIS YURIDIS STATUS KEWARGANEGARAAN TERHADAP WARGA NEGARA YANG TIDAK MEMILIKI KEWARGANEGARAAN (STATELESS) BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

0 2 15

tanggung jawab negara transit kepada kaum etnis minoritas rohingya yang tidak memiliki status kewarganegaraan (stateless persons) dalam melindungi hak kewarganegaraan menurut hukum internasional.

0 0 1

Tinjauan Yuridis mengenai Status Kewarganegaraan Etnis Rohingya di Myanmar berdasarkan Convention Relating to the Status of Stateless Persons 1954

0 0 13

Tinjauan Yuridis mengenai Status Kewarganegaraan Etnis Rohingya di Myanmar berdasarkan Convention Relating to the Status of Stateless Persons 1954

0 0 1

Tinjauan Yuridis mengenai Status Kewarganegaraan Etnis Rohingya di Myanmar berdasarkan Convention Relating to the Status of Stateless Persons 1954

0 1 21

Tinjauan Yuridis mengenai Status Kewarganegaraan Etnis Rohingya di Myanmar berdasarkan Convention Relating to the Status of Stateless Persons 1954

0 1 30

Tinjauan Yuridis mengenai Status Kewarganegaraan Etnis Rohingya di Myanmar berdasarkan Convention Relating to the Status of Stateless Persons 1954

0 2 7

ETNIS ROHINGYA DI MYANMAR ANALISIS PEL

0 0 5

1 BAB I PENDAHULUAN - Urgensi Indonesia Meratifikasi The Convention Relating To The Status of The Refugees 1951 dan Protocol Relating To The Status of Refuges 1967 - UNS Institutional Repository

0 0 11