Franchise Sebagai Salah Satu Bentuk Investasi Di Indonesia (Studi Pada Merk Dagang IKKI Sushi Di IKKI Sushi Galaxi, Bekasi Selatan)

(1)

FRANCHISE SEBAGAI SALAH SATU BENTUK INVESTASI DI INDONESIA (STUDI PADA MERK DAGANG IKKI SUSHI DI IKKI

SUSHI GALAXI, BEKASI SELATAN) SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh gelar Sarjana Hukum

OLEH :

FELIK

NIM : 070200080

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

FRANCHISE SEBAGAI SALAH SATU BENTUK INVESTASI DI INDONESIA (STUDI PADA MERK DAGANG IKKI SUSHI DI IKKI

SUSHI GALAXI, BEKASI SELATAN) SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh gelar Sarjana Hukum

OLEH : FELIK

NIM : 070200080

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Ekonomi

Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H. NIP. 195603291986011001

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., MH Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum NIP. 195603291986011001 NIP. 197302202002121001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

FRANCHISE SEBAGAI SALAH SATU BENTUK INVESTASI DI INDONESIA (STUDI PADA MERK DAGANG IKKI SUSHI DI IKKI

SUSHI GALAXI, BEKASI SELATAN)

OUTLINE

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

ABSTRAKSI

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah B. Perumusan Masalah

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian D. Keaslian Penelitian

E. Tinjauan Pustaka F. Metode Penelitian G. Sistematika Peneliian

BAB II : FRANCHISE SEBAGAI SALAH SATU BENTUK INVESTASI

A. Bentuk – bentuk Investasi B. Pengertian Franchise C. Manfaat Franchise


(4)

BAB III : PENGATURAN WARALABA DI INDONESIA A. Dasar Hukum Franchise

B. Para Pihak dalam Franchise

C. Perbedaan Franchise dengan Lisensi D. Aspek Hukum Perlindungan HAKI

BAB IV : ANALISIS PERJANJIAN FRANCHISE PADA IKKI SUSHI

A. Hak dan Kewajiban Para Pihak B. Pembiayaan dan Cara Pembayaran C. Perlindungan HAKI

D. Kerahasiaan Informasi E. Ekslusifitas

F. Penyelesaian Sengketa

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., MH Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum NIP. 195603291986011001 NIP. 1973022020021210


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkat dan kasih karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini seusai dengan waktu yang diberikan.

Skripsi ini adalah sebagai syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam skripsi ini, penulis membahas mengenai “ Franchise Sebagai Salah Satu Bentuk Investasi Di Indonesia ( Studi Pada Merk Dagang Ikki Sushi Di Ikki Sushi Galaxi, Bekasi Selatan ) “.

Skripsi ini dapat penulis selesaikan karena adanya bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, dalam bentuk material maupun spiritual serta informasi yang berhubungan dengan penyusunan skripsi ini. Pada kesempatan ini penyusun menyampaikan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan;

2. Bapak Prof Dr. Budiman Ginting SH.,M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan;

3. Bapak Syafruddin SH., M.Hum.,DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan;


(6)

4. Bapak M.Husni, SH.,M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan;

5. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., M.H.,selaku Ketua Jurusan Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan;

6. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH., M.Hum., selaku Sekretaris Jurusan Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan;

7. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., M.H., selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penyelesaian skripsi ini;

8. Seluruf staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang dengan penuh dedikasi menuntun dan membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan sampai dengan menyelesaikan skripsi ini;

9. Abang Aditya Ardi Nugraha, franchisee Restoran Ikki Sushi Galaxi, Bekasi Selatan, yang telah membantu member keterangan dan data – data yang menjadi permasalahan skripsi ini;

10.Orang tua tercinta , dan kakak yang telah banyak memberikan dukungan moril maupun materil;


(7)

11.Sahabat – sahabat dekat penulis yaitu Asido , Dani Syahputra atau AJO, Rinaldi, Wilmart Gultom, Ryan dan Omar Akbar yang telah membantu dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;

12.Rekan – rekan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, khususnya stambuk 2007 buat persahabatan yang terjalin indah selama ini, semoga abadi untuk selamanya.

Akhir kata sebagai makhluk ciptaan – Nya, penulis berserah diri kepada Tuhan dan penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada lagi kekurangan dalam menyelesaikan skripsi ini, baik dari segi bahasa, penulisan maupun penyajian materinya. Namun demikian penulis tetap berusaha untuk menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penulis mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Medan, November 2010

Penulis,

FELIK NIM: 070200080


(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……… i

DAFTAR ISI ……… iv

ABSTRAKSI ……… vii

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

A. Latar Belakang ……… 1

B. Perumusan Masalah ……… 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……… 8

D. Keaslian Penelitian ……… 9

E. Tinjauan Pustaka ……… 9

F. Metode Penelitian ……… 12

G. Sistematika Penulisian ……… 15

BAB II FRANCHISE SEBAGAI SALAH SATU BENTUK INVESTASI ……… 17

A. Bentuk – Bentuk Investasi ……… 17


(9)

C. Manfaat Franchise ………. 40

D. Bentuk – Bentuk Franchise ………. 60

BAB III PENGATURAN WARALABA DI INDONESIA …… 68

A. Dasar Hukum Franchise ………. 68

B. Para Pihak Dalam Franchise ……… 87

C. Perbedaan Franchise Dengan Lisensi ………. 97

D. Aspek Hukum Perlindungan HAKI ………... 104

BAB IV ANALISIS PERJANJIAN FRANCHISE PADA IKKI SUSHI ………... 112

A. Hak dan Kewajiban Para Pihak ………... 112

B. Pembiayaan dan Cara pembayaran ………. 115

C. Perlindungan HAKI ………... 116

D. Kerahasiaan Informasi ………... 117

E. Eksklusifitas ………... 118


(10)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………... 120

A. Kesimpulan ………... 120

B. Saran ………. 123


(11)

ABSTRAKSI

Franchise Sebagai Salah Satu Bentuk Investasi Di Indonesia ( Studi Pada Merk Dagang Ikki Sushi Di Ikki Sushi Galaxi, Bekasi

Selatan)

Prof.Dr. Bismar Nasution SH.MH. Dr. Mahmul Siregar, SH. M.Hum∗∗

Felik***

Dosen Pembimbing I ∗∗ Dosen Pembimbing II

Franchise merupakan salah satu bentuk investasi dimana franchisor memberikan hak kepada franchisee untuk mendistribusikan barang/jasa dalam lingkup area geografis dan periode waktu tertentu dengan mempergunakan merek, logo, dan sistem operasi yang dimiliki dan dikembangkan oleh franchisor. Pemberian hak ini dituangkan dalam bentuk perjanjian waralaba. Di dalam perjanjian tersebut diatur mengenai hak dan kewajiban masing – masing pihak, dan penyelesaian sengketa jika terjadi wanprestasi.

Adapun permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana bentuk investasi waralaba di Indonesia, bagaimana pengaturan waralaba di Indonesia, dan bagaimana perjanjian franchise pada Ikki Sushi.

Metode penulisan yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif yang dilakukan melalui kajian terhadap perundang – undangan, dan bahan hukum yang berhubungan dengan skripsi ini. Data yang dikumpulkan dalam penyusunan skripsi ini dilakukan melalui pengumpulan data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah penelitian kepustakaan dan wawancara. Analisis data dilakukan secara kualitatif.

Dukungan terhadap usaha franchise ini juga diberikan oleh pemerintah dalam PP No.42 Tahun 2007, hal ini terbukti dengan pemberian fasilitas, penghargaan dan bimbingan terhadap usaha franchise. Pada perjanjian franchise Ikki Sushi, hal – hal yang diatur dalam perjanjian Ikki Sushi tersebut sebagian besar sudah sesuai dengan Pasal 5 PP No.42 Tahun 2007 mengenai isi minimal perjanjian franchise. Namun dalam Pasal 5 huruf e PP No.42 Tahun 2007 yang mengatur mengenai pemberian fasilitas dari franchisor kepada franchisee tidak tercantum, sehingga hal ini dapat merugikan pihak franchisee.


(12)

ABSTRAKSI

Franchise Sebagai Salah Satu Bentuk Investasi Di Indonesia ( Studi Pada Merk Dagang Ikki Sushi Di Ikki Sushi Galaxi, Bekasi

Selatan)

Prof.Dr. Bismar Nasution SH.MH. Dr. Mahmul Siregar, SH. M.Hum∗∗

Felik***

Dosen Pembimbing I ∗∗ Dosen Pembimbing II

*** Mahasiswa Fakultas Hukum USU

Franchise merupakan salah satu bentuk investasi dimana franchisor memberikan hak kepada franchisee untuk mendistribusikan barang/jasa dalam lingkup area geografis dan periode waktu tertentu dengan mempergunakan merek, logo, dan sistem operasi yang dimiliki dan dikembangkan oleh franchisor. Pemberian hak ini dituangkan dalam bentuk perjanjian waralaba. Di dalam perjanjian tersebut diatur mengenai hak dan kewajiban masing – masing pihak, dan penyelesaian sengketa jika terjadi wanprestasi.

Adapun permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana bentuk investasi waralaba di Indonesia, bagaimana pengaturan waralaba di Indonesia, dan bagaimana perjanjian franchise pada Ikki Sushi.

Metode penulisan yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif yang dilakukan melalui kajian terhadap perundang – undangan, dan bahan hukum yang berhubungan dengan skripsi ini. Data yang dikumpulkan dalam penyusunan skripsi ini dilakukan melalui pengumpulan data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah penelitian kepustakaan dan wawancara. Analisis data dilakukan secara kualitatif.

Dukungan terhadap usaha franchise ini juga diberikan oleh pemerintah dalam PP No.42 Tahun 2007, hal ini terbukti dengan pemberian fasilitas, penghargaan dan bimbingan terhadap usaha franchise. Pada perjanjian franchise Ikki Sushi, hal – hal yang diatur dalam perjanjian Ikki Sushi tersebut sebagian besar sudah sesuai dengan Pasal 5 PP No.42 Tahun 2007 mengenai isi minimal perjanjian franchise. Namun dalam Pasal 5 huruf e PP No.42 Tahun 2007 yang mengatur mengenai pemberian fasilitas dari franchisor kepada franchisee tidak tercantum, sehingga hal ini dapat merugikan pihak franchisee.


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keberhasilan di bidang ekonomi akan mendukung pembangunan di bidang lainnya. Hal ini dikarenakan ekonomi merupakan suatu bidang yang penting di seluruh dunia. Dengan kata lain, apabila ekonomi suatu negara sudah mencapai suatu tingkat yang baik, sehingga seluruh masyarakat sudah sejahtera, maka akan lebih mudah bagi pemerintah untuk menjalankan pembangunan di bidang lainnya seperti politik, sosial , agama dan keamanan.

Wirausaha merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat. Dengan berwirausaha masyarakat akan mampu menciptakan peluang usaha untuk dirinya sendiri dan bahkan dapat menciptakan peluang kerja bagi masyarakat lainnya. Sehingga wirausaha menjadi pilihan masyarakat pada saat sekarang ini.

Menurut Warren J. Keegen, para pengusaha yang bermaksud mengembangkan usahanya secara internasional dapat melakukan berbagai macam pilihan, dari yang paling sederhana hingga yang paling kompleks. Secara singkat dikatakan oleh Keegen, bahwa ada lima macam cara pengembangan usaha, yaitu:

1. Melalui perdagangan internasional dengan cara ekspor – impor; 2. Dengan pemberian lisensi;


(14)

4. Membentuk perusahaan patungan ( joint ventures );

5. Melakukan penanaman modal langsung dengan kepemilikan yang menyeluruh, atau melalui merger, konsolidasi maupun akuisisi1

Dari uraian di atas, banyak cara untuk menjadi wirausahawan, antara lain mendirikan bisnis sendiri atau membeli sistem bisnis yang sudah jadi. Masing – masing mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Mendirikan bisnis sendiri mempunyai kelebihan dalam hal pengaturan yang dapat disesuaikan dengan keinginan pemilik bisnis, baik dalam hal modal maupun jenis bisnis yang ingin dikelola. Tapi kelemahannya apabila membangun bisnis sendiri, maka pemilik harus berupaya untuk mencari pasar sendiri, mengatur menejemen bisnis nya sendiri, hal ini tentu akan membawa resiko kerugian apabila pemilik bisnis tidak mampu untuk mencari pasar bagi bisnisnya tersebut. Berbeda dengan membeli sistem bisnis yang sudah jadi, atau pasarnya sudah ada. Si pemilik hanya tinggal menjalankan sistem bisnis yang sudah ada tersebut, hal ini dikarenakan pasar dari sistem bisnis tersebut sudah ada, sehingga si pemilik baru ini tidak akan kesulitan dalam memasarkan produknya. Namun kelemahannya adalah dalam sistem bisnis ini, si pemilik modal tidak akan bebas dalam menentukan usahanya, karena semua tergantung kepada pihak yang dibeli bisnisnya.

.

Sehubungan dengan berwirausaha dengan membeli bisnis yang sudah ada, maka hal tersebut sudah termasuk dalam melakukan kegiatan investasi. Salah satu

1

Gunawan Widjaja,Seri Hukum Bisnis Waralaba,( Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada , 2001).Hal 1.


(15)

contoh investasi yang dilakukan dengan berwira usaha dengan membeli bisnis yang sudah ada adalah franchise atau waralaba. Dewasa ini dimana konsumen sudah semakin cerdas dan persaingan bisnis semakin tajam, kebanyakan bisnis yang berhasil adalah bisnis yang memiliki merek kuat dan dipercaya oleh pelanggannya. Sayangnya, membangun sebuah merek yang kuat tidak mudah. Perlu ketekunan, kerja keras, waktu dan biaya yang tidak sedikit. Sebab itu, memulai bisnis baru dengan cara membeli franchise yang sudah terbukti sukses menjadi pilihan utama bagi para entrepreneur.

Waralaba berasal dari kata “wara” artinya lebih dan “laba” artinya untung. Dari arti secara harafiah tersebut, maka dapat diketahui bahwa waralaba merupakan usaha yang memberikan keuntungan lebih/istimewa. Namun menurut Amir Karamoy yang menyatakan bahwa waralaba bukan terjemahan langsung dari konsep franchise. Dalam konteks bisnis, franchise berarti kebebasan untuk menjalankan usaha secara mandiri di wilayah tertentu2

Amir Karamoy menyatakan bahwa secara hukum waralaba berarti persetujuan legal atas pemberian hak atau keistimewaan untuk memasarkan suatu produk/jasa dari pemilik ( pewaralaba ) kepada pihak lain ( terwaralaba ), yang diatur dalam suatu aturan permainan tertentu

.

3

2

Lukman Hakim, Info Lengkap Waralaba,( Yogyakarta:Midpress ,2008) Hal 16

. Di samping pengertian franchise menurut Amir Karamoy, masih ada pengertian franchise sebagaimana yang dikemukakan oleh Adrian Sutedi : franchise adalah suatu bisnis yang didasarkan pada perjanjian dua pihak, yaitu franchisor ( pemilik hak ) dan franchisee (yang


(16)

diberi hak) untuk menjalankan bisnis dari franchisor menurut sistem yang ditentukan oleh franchisor4

Franchisee Agreement atau perjanjian waralaba adalah kontrak tertulis antara franchisor dengan franchisee. Perjanjian waralaba menjelaskan setiap hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Perjanjian tersebut mencantumkan kewajiban dan tanggung jawab setiap pihak (franchisor/franchisee). Perjanjian tersebut memberikan detil yang penting tentang hubungan antara penerima waralaba dengan pemberi waralaba. Hal – hal dalam perjanjian mencakup seperti biaya, persyaratan, kewajiban kedua belah pihak, kondisi – kondisi yang menentukan penghentian waralaba dan keterbatasan waralaba. Perjanjian tersebut merupakan dokumen pemberi waralaba dan mencantumkan apa yang diinginkan pemberi waralaba

.

Berdasarkan pengertian – pengertian di atas, diketahui bahwa franchise merupakan salah satu bentuk format bisnis dimana pihak pertama yang disebut sebagai pemberi waralaba (franchisor) memberikan hak kepada pihak kedua yang disebut sebagai penerima waralaba (franchisee) untuk mendistribusikan barang/jasa dalam lingkup geografis dan periode waktu tertentu dengan mempergunakan merek, logo, dan sistem operasi yang dimiliki dan dikembangkan oleh franchisor. Pemberian hak ini dituangkan dalam bentuk perjanjian waralaba (franchise agreement).

5 .

4

Adrian Sutedi, Hukum Waralaba, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2008 ) hal.1

5


(17)

Adapun asas – asas dalam perjanjian waralaba seperti :

1. Asas Kebebasan Berkontrak

Pasal 1338 KUH Perdata menyatakan bahwa semua persetujuan dibuat secara sah berlaku sebagai undang – undang bagi mereka yang membuatnya.

2. Asas Konsensualitas

Perjanjian ini sudah dianggap ada pada saat tercapainya kesepakatan tentang hal – hal yang diperjanjikan.

3. Asas Itikad Baik

Franchisor dengan itikad baik harus menjamin hak – hak yang akan diberikan kepada franchisee itu benar – benar bukan sebagai hasil kejahatan, dan pihak franchisee harus mewujudkan kewajiban yang harus diberikan kepada franchisor dengan baik serta itikad baik pula.

4. Asas Kerahasiaan

Pada dasarnya bisnis dengan pola franchise sangat mengandalkan cirri khas dari suatu produk barang/jasa. Sehingga apabila unsur kerahasiaan dari trade secret know how tidak dijaga dengan baik, hal ini akan merugikan franchisor karena mengakibatkan cirri khas dari franchise yang ada diketahui oleh pihak ketiga.


(18)

5. Asas Persamaan Hukum

Perjanjian bisnis waralaba hendaknya dibuat atas dasar kesamaan hak di depan hukum, baik bagi pemberi hak waralaba maupun penerima hak waralaba.

6. Asas Keseimbangan

Franchisor dinilai mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi, namun franchisor memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. Asas keseimbangan menekankan pada keseimbangan antara hak dan kewajiban dari para pihak secara wajar dengan tidak membebani salah satu pihak saja6

Seperti perjanjian pada umumnya, ada kemungkinan terjadi wanprestasi di dalam pelaksanaan perjanjian franchise. Wanprestasi terjadi ketika salah satu pihak tidak melaksakan kewajiban sebagaimana yang tertera di dalam perjanjian franchise. Jika karena adanya wanprestasi, salah satu pihak merasa dirugikan, maka pihak yang dirugikan tersebut dapat menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi kepadanya. Bentuk – bentuk wanprestasi yang dilakukan oleh para pihak dalam perjanjian franchise tergantung kepada siapa yang melakukan wanprestasi tersebut. Wanprestasi dari pihak franchisee dapat berbentuk tidak membayar biaya franchise tepat pada waktunya, melakukan hal – hal yang dilarang dilakukan oleh franchisee, melakukan

.

6


(19)

pelayanan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam sistem franchise, dan lain – lain.

Wanprestasi dari pihak franchisor dapat berbentuk tidak memberikan fasilitas yang memungkinkan sistem franchise berjalan dengan sebagaimana mestinya, tidak melakukan pembinaan kepada franchisee sesuai dengan yang diperjanjikan, tidak mau membantu franchisee dalam kesulitan yang dihadapi ketika melaksanakan usaha franchise-nya, melanggar batas – batas eksklusifitas yang sudah disepakati oleh kedua belah pihak dan lain –lain.

Adapun alasan penulis memilih judul skripsi “ Franchise sebagai salah satu bentuk investasi di Indonesia ( studi pada merk dagang Ikki Sushi di Ikki Sushi Galaxi, Bekasi Selatan) adalah penulis ingin menganalisis perjanjian franchise antara franchisor dengan franchisee dalam merk dagang restoran Ikki Sushi tersebut, untuk mengetahui apa – apa saja yang harus dipenuhi oleh pihak franchisor maupun pihak franchisee, bagaimana cara penyelesaian sengketa kedua belah pihak tersebut, siapa yang membiayai karyawan dalam melakukan training dan yang menyediakan karyawan, perlindungan HAKI dan kerahasiaan informasi serta pemberian ke-eksklusif-an wilayah bagi si franchisee.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan pengamatan dan penelaahan penulis terhadap berbagai literature dan perundang – undangan, maka untuk dapat memahami lebih lanjut tentang pembahasan topik skripsi ini, perlu dikemukakan dan dibatasi


(20)

1. Bagaimana bentuk investasi waralaba di Indonesia ?

2. Bagaimana pengaturan waralaba atau franchise di Indonesia ? 3. Bagaimana perjanjian franchise pada Ikki Sushi ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah : 1. Untuk mengetahui bentuk investasi atau waralaba di Indonesia. 2. Untuk mengetahui pengaturan franchise di Indonesia.

3. Untuk menganalisis perjanjian franchise pada Ikki Sushi.

Adapun yang menjadi manfaat dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Secara Teoritis

Untuk memberikan manfaat di bidang ilmu pengetahuan hukum baik melalui pengembangan wawasan dan pemikiran bagi mahasiswa kalangan akademis untuk mengetahui dinamika masyarakat dalam menjalankan dunia usaha franchise, khususnya masalah tentang apa saja yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak dalam perjanjian franchise tersebut. Selain itu diharapkan dapat memberikan sumbangsih saran dalam khasanah ilmu hukum, khususnya di bidang hukum ekonomi.

2. Secara Praktis

Untuk memberikan pengembangan wawasan pada masyarakat tentang fasilitas – fasilitas yang diberikan kepada franchisor dalam perjanjian


(21)

franchise Ikki Sushi tersebut, sehingga dapat menjadi pedoman bagi masyarakat apabila ingin melakukan Perjanjian franchise dengan franchisor lainnya.

D. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara, diketahui bahwa penelitian tentang “Franchise sebagai salah satu bentuk investasi di Indonesia ( Studi pada merk dagang Ikki Sushi di Ikki Sushi Galaxi, Bekasi Selatan)” belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama. Jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas – asas keilmuan yang jujur, rasional, obyektif, dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secarra ilmiah dan terbuka atas masukan serta saran – saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah.

E. Tinjauan Pustaka

Franchise berasal dari bahasa Prancis, yang berarti bebas atau bebas dari perhambaan atau perbudakan ( free from servitude ). Sedangkan pewaralabaan ( franchising ) adalah suatu aktivitas dengan sistem waralaba ( franchise ), yaitu suatu sistem keterkaitan usaha yang saling menguntungkan antara pemberi waralaba ( franchisor ) dengan penerima waralaba ( franchisee )7.


(22)

Menurut European Code of Ethics for Franchising, defenisi franchise adalah franchise is a system of marketing goods and/or services and/or technology, which is based upon a close and ongoing collaboration between legally and financially separate and independent undertakings, the franchisor and its individual franchisee, whereby the franchisors grants its individual franchisees the right, and imposes the obligation, to conduct a business in accordance with the franchisor`s concept. ( franchising adalah sistem pemasaran barang dan atau jasa dan atau teknologi, yang didasarkan pada kerja sama tertutup dan terus – menerus antara pelaku – pelaku independen ( maksudnya franchisor dan franchisee individual ) dan terpisah baik secara legal ( hukum ) dan keuangan, di mana franchisor memberikan hak kepada para individual franchisee dan membebankan kewajiban untuk melaksanakan bisnisnya sesuai dengan konsep dari franchisor )8

Istilah franchise dikenal dengan istilah waralaba, yang diperkenalkan pertama kali oleh Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Manajemen ( LPPM ). Waralaba berasal dari kata wara ( lebih atau istimewa ) dan laba ( untung ) sehingga waralaba berarti usaha yang memberikan laba bersih atau istimewa

.

9

Menurut Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba, yang dimaksud dengan waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha

.

8

Ibid hal.14

9


(23)

memasarkan barang dan jasa yang telah terbukti berhasil dan digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.

Lebih lanjut, dalam PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, dilandasi upaya pemerintah meningkatkan pembinaan usaha waralaba di seluruh Indonesia sehingga perlu mendorong pengusaha nasional, terutama pengusaha kecil dan menengah untuk tumbuh sebagai franchisornasional yang andal dan mempunyai daya saing di dalam negeri dan luar negeri khususnya dalam rangka memasarkan produk dalam negeri.

Pemerintah memandang perlu mengetahui legalitas dan bonafiditas usaha franchisor, baik franchisor dari luar dan dalam negeri guna menciptakan transparansi informasi usaha yang dapat dimanfaatkan secara optimal oleh usaha nasional dalam memasarkan barang dan/atau jasa melalui bisnis waralaba. Untuk itu, apabila terjadi kesepakatan perjanjian waralaba, franchisor harus menyampaikan perjanjian waralaba tersebut kepada pemerintah.

Selanjutnya, dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12/M-Dag/Per/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran usaha waralaba ini juga mengatur mengenai kewajiban franchisor, dan juga mengatur isi perjanjian waralaba.

Pembahasan lebih lanjut mengenai analisis perjanjian Ikki Sushi di dalam hukum waralaba di Indonesia akan di tuangkan dalam bab – bab pembahasan selanjutnya.


(24)

F. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif dilakukan melalui kajian terhadap peraturan perundang – undangan dan bahan – bahan hukum yang berhubungan dengan skripsi ini. Penelitian ini bersifat deskriptif. Tujuan penelitian deskriptif adalah menggambarkan secara tepat, sifat individu,suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu, asas – asas atau suatu peraturan – peraturan hukum dalam konteks teori – teori hukum dan pelaksanaannya, serta menganalisis fakta secara cermat tentang penggunaan peraturan perundang – undangan yang mengatur mengenai perjanjian franchise yang dilakukan oleh franchisor dengan franchisee.

2. Data

Data yang dikumpulkan oleh penulis dalam penyusunan skripsi ini dilakukan melalui pengumpulan data primer dan data sekunder. Data sekunder terbagi atas 3 bagian, yaitu :

a. Bahan hukum primer yaitu norma atau kaidah dasar seperti :

1) PP No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba, yang digantikan oleh PP No.42 Tahun 2007 tentang Waralaba.

2) Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 12/M-DAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba yang sebelumnya diatur dalam


(25)

Kepmen Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No. 259/MPP/KEP/1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Waralaba;

3) UU No.19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta;

4) UU No.15 Tahun 2001 Tentang Merek;

5) UU No.14 Tahun 2001 Tentang Paten;

6) UU No.30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang;

7) UU No.25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.

b. Bahan hukum sekunder adalah bahan – bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer.

c. Bahan hukum tertier adalah kamus, bahan dari internet dan lain – lain bahan hukum yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

Penelitian ini juga didukung oleh data primer,berupa hasil wawancara langsung dengan pemilik restoran Ikki Sushi Galaxi, Bekasi Selatan yaitu Bapak Aditya Ardi Nugraha (Franchisee Ikki Sushi).

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan dua teknik pengumpulan data yaitu melalui :


(26)

a. Penelitian Kepustakaan ( Library Research )

Yaitu penelitian dengan mengumpulkan data dan meneliti melalui sumber bacaan yang berhubungan dengan judul skripsi ini, yang bersifat teoritis ilmiah yang dapat dipergunakan sebagai dasar dalam penelitian dan menganalisa masalah – masalah yang dihadapi. Teknik ini dipergunakan untuk mengumpulkan data sekunder. Penelitian yang dilakukan dengan membaca serta menganalisa peraturan Perundang – undangan maupun dokumentasi lainnya seperti karya ilmiah para sarjana, majalah, surat kabar, internet, maupun sumber teoritis lainnya yang berkaitan dengan materi skripsi yang penulis ajukan.

b. Penelitian Lapangan ( Field Research )

Pengumpulan bahan – bahan di lapangan untuk memperoleh data yang akurat, dilakukan dengan materi informasi langsung dengan mempergunakan instrumen wawancara ( interview ) terhadap pemilik restoran yang berhubungan dengan bisnis franchise yaitu restoran Ikki Sushi Galaxi.

4. Analisis Data

Dalam menganalisis data, penulis mempergunakan teknik analisis kualitatif, yaitu lebih focus kepada analisis hukumnya dan menelaah bahan – bahan hukum baik yang berasal dari peraturan perundang – undangan,


(27)

buku – buku yang berhubungan, dan hasil wawancara langsung dengan pemilik restoran Ikki Sushi Galaxi ( franchisee ).

5. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di restoran Ikki Sushi Galaxi yang beralamat di Ruko Taman Galaxi Blok G No.2, Bekasi Selatan.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini, secara keseluruhan dapat diuraikan yaitu :

1. BAB I : Pendahuluan, yang menjadi sub bab terdiri dari, Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Keaslian Penelitian, Metode Penelitian,danSistematika Penulisan.

2. BAB II : Franchise sebagai salah satu bentuk investasi, yang menjadi sub bab terdiri dari, bentuk – bentuk investasi, pengertian franchise, manfaat franchise, dan bentuk bentuk franchise.

3. BAB III : Pengaturan waralaba di Indonesia, yang menjadi sub bab terdiri dari, aspek hukum franchise, para pihak dalam franchise, perbedaan franchise dengan lisensi, aspek hokum perlindungan HAKI.


(28)

4. BAB IV : Analisis perjanjian franchise pada Ikki Sushi, yang menjadi sub bab terdiri dari , hak dan kewajiban para pihak, pembiayaan dan cara pembayaran, perlindungan HAKI, kerahasiaan informasi, eksklusifitas, penyelesaian sengketa.


(29)

BAB II

FRANCHISE SEBAGAI SALAH SATU BENTUK INVESTASI DI

INDONESIA

A. Bentuk – Bentuk Investasi

Pada dasarnya investasi dapat digolongkan berdasarkan :

1. Investasi berdasarkan asetnya.

Investasi berdasarkan asetnya merupakan penggolongan investasi dari aspek modal atau kekayaannya. Investasi berdasarkan asetnya dibagi menjadi dua jenis, yaitu :

a. Real asset ;

b. Financial asset.

Real asset merupakan investasi yang berwujud, seperti gedung – gedung, kendaraan dan sebagainya, sedangkan financial assets merupakan dokumen ( surat – surat ) klaim tidak langsung pemegangnya terhadap aktivitas riil pihak yang menerbitkan sekuritas tersebut. Perbedaan lainnya terletak pada likuiditas. Pengertian likuiditas di sini adalah mudahnya mengonversi sebagai suaatu asset menjadi yang dan biaya transaksi cukup


(30)

rendah. Real asset secara umum kurang likuid daripada asset keuangan. Hal ini disebabkan oleh sifat heterogennya dan khusus kegunaannya10

2. Investasi berdasarkan pengaruhnya

.

Investasi menurut pengaruhnya merupakan investasi yang didasarkan pada faktor – faktor yang mempengaruhi atau tidak berpengaruh dari kegiatan investasi. Investasi berdasarkan pengaruhnya dibagi menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut.

a. Investasi autonomus ( berdiri sendiri ) merupakan investasi yang tidak mempengaruhi tingkat pendapatan, bersifat spekulatif. misalnya pembelian surat – surat berharga.

b. Invesasi induced ( mempengaruhi – menyebabkan ) merupakan investasi yang dipengaruhi kenaikan permintaan akan barang dan jasa serta tingkat pendapatan. misalnya, penghasilan transitori, yaitu penghasilan yang didapat selain dari bekerja, seperti bunga dan sebagainya11

3. Investasi berdasarkan sumber pembiayaannya. .

Investasi berdasarkan sumber pembiayaannya merupakan investasi yang didasarkan pada asal – usul investasi itu diperoleh. Investasi ini dibagi menjadi dua macam,yaitu sebagai berikut.

10

Salim HS. Dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia,( Jakarta : Rajawali Pers,2008),Hal.37-38

11


(31)

a. Investasi yang bersumber dari modal asing ( PMA ).

Investasi ini merupakan investasi yang sumber pembiayaannya berasal dari luar negeri12

1. Joint Venture .

Menurut Undang – Undang Penanaman Modal No.25 tahun 2007, Pasal 1 ayat 3, penanaman modal asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri.

Investasi ini terdiri dari beberapa bagian yaitu sebagai berikut.

Joint Venture adalah suatu usaha kerja sama yang dilakukan antara penanam modal asing dengan pemodal nasional semata – mata berdasarkan suatu perjanjian atau kontrak, dimana tidak membentuk suatu badan hukum baru seperti joint enterprise.

Beberapa bentuk Joint Venture adalah sebagai berikut.


(32)

Suatu bentuk kerjasama yang dilakukan antara pemodal asing dan pemodal dalam negeri sepanjang yang bersangkut paut dengan skill atau cara kerja (metode).

b. Franchise atau Brand-Use Agreement

Suatu bentuk kerjasama yang digunakan, apabila suatu perusahaan nasional hendak memperoduksi suatu barang yang telah mempunyai merk terkenal.

c. Management Conctract.

Suatu bentuk usaha kerjasama antara asing dan nasional menyangkut pengelolaan suatu perusahaan, khususnya dalam hal pengelolaan menejemen oleh pihak asing terhadap suatu perusahaan nasional.

d. Build, Operation and Transfer.

Suatu bentuk kerjasama yang pada pokoknya merupakan kerjasama operasi antara para pihak, dimana obyek dibangun, dikelola, dan dioperasikan selama jangka waktu tertentu dan kemudian diserahkan kepada pemilik asli.


(33)

Joint Enterprise merupakan bentuk kerjasama antara penanam modal asing dengan penanam modal dalam negeri ( modal asing dan modal dalam negeri ) dengan membentuk suatu badan hukum yang bertujuan menjalankan kegiatan usaha di wilayah tujuan investasi.

Berdasarkan Pasal 1 ayat 8 UU No.25 Tahun 2007, yang disebut dengan modal asing adalah modal yang dimiliki oleh negara asing, perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, dan/atau badan hukum Indonesia yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki oleh pihak asing.

Pasal 1 ayat 9 UU No.25 Tahun 2007, yang dimaksud dengan modal dalam negeri adalah modal yang dimiliki oleh negara Republik Indonesia, Perseorangan warga negara Indonesia, atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau tidak berbadan hukum.

Menurut Pasal 5 ayat 3 UU No.25 Tahun 2007 yaitu penanam modal dalam negeri dan asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas dilakukan dengan :

1. Mengambil bagian saham pada saat pendirian perseroan terbatas;


(34)

3. Melakukan cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan.

Ada beberapa alasan, bentuk usaha kerja sama ini paling dikehendaki oleh para pihak khususnya penanaman modal asing, yaitu sebagai berikut.

1. Setiap usaha di Indonesia memerlukan rupiah untuk pembayaran barang – barang yang lebih murah dan mudah diperoleh di Indonesia. Juga untuk pembayaran gaji pegawai dan lain – lain pengeluaran dibutuhkan rupiah oleh penanaman modal asing.

2. Penanaman modal asing tidak perlu menanamkan modal dalam bentuk valuta asing, tetapi modal asing dapat berbentuk mesin – mesin atau lain hasil produksi penanaman modal asing itu. Sehingga penanaman modal asing itu telah menghasilkan efek yang menguntungkan, yaitu bahwa tidak hanya dapat membayangkan dapat memperoleh keuntungan dalam masa yang akan dating, akan tetapi pada saat ia diizinkan memasukkan mesin – mesinnya ke Indonesia dengan bebas bea masuk, maka ia pun telah mengekspor barang – barangnya ke luar negeri tanpa membayar pajak impor untuk itu.

3. Dengan bekerja sama dengan pengusaha nasional, apalagi yang telah berpengalaman, maka penanam modal asing itu sudah dapat mengecilkan resiko seminimal mungkin, sehingga sebenarnya


(35)

penanaman modalnya di Indonesia lebih merupakan pemberian kredit daripada penanaman modal asing langsung13

3. Kontrak Karya

.

Kontrak karya merupakan kontrak yang dikenal dalam bidang pertambangan di luar minyak dan gas bumi, seperti kontrak karya pada penambangan batu bara dan pertambangan umum. Istilah kontrak karya merupakan terjemahan dari kata work of contract14

Ismail Suny mengartikan kontrak karya adalah “ Kerja sama modal asing dalam bentuk kontrak karya ( contract of work ) terjadi apabila penanaman modal asing membentuk satu badan hukum Indonesia dan badan hukum ini mengadakan kerja sama dengan satu badan hukum yang mempergunakan modal nasional “

.

15

Defenisi ini ada kesamaan dengan defenisi yang dikemukakan oleh Sri Woelan Aziz. Ia mengartikan kontrak karya adalah suatu kerja sama di mana pihak asing membentuk suatu badan hukum Indonesia dan badan hukum Indonesia bekerja sama dengan badan hukum Indonesia yang menggunakan modal nasional

.

16

1. Bentuk usaha kerjasama antara pemodal asing dan pemodal nasional.

.

Ciri – ciri dari kontrak karya adalah sebagai berikut :

13

Aminuddin Ilmar,Hukum Penanaman Modal Di Indonesia,( Jakarta : Kencana ,2007) Hal.63

14

Salim H.S.,Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia,(Jakarta : Sinar Grafika,2003 ) hal.63

15


(36)

2. Penanam modal asing membentuk badan hukum Indonesia dan badan hukum ini mengadakan kerjasama dengan suatu badan hukum yang mempergunakan modal nasional.

3. Badan hukum Indonesia selalu berbentuk BUMN, misalnya kontrak karya antara PT. Caltex Pacific Indonesia dengan PT.Pertamina ( Persero ).

4. Penanam modal asing memiliki kewenangan dalam manejemen, control, eksplorasi, eksploitasi, dan distribusi.

5. Umumnya terjadi dalam bidang usaha yang berkaitan dengan hak menguasai negara atas bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya seperti pertambangan.

6. Besarnya imbalan pada pihak asing tergantung pada kesepakatan kontrak17

Dalam kontrak karya terdapat juga pengawasan, manajemen, marketing, dan lain tindakan yang berhubungan dengan pengambilan, pengolahan, distribusi, dan penjualan barang yang diproduksi di Indonesia itu sepenuhnya ada di tangan pihak asing, dan bahkan boleh memindahkan hak – hak nya itu kepada seorang subkontraktor dengan berdasarkan ketentuan dan hukum yang berlaku di Indonesia.

.

17


(37)

Dasar hukum yang mengatur kontrak karya, adalah sebagai berikut:

a. Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.

b. Undang – Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahaan dan Tambahan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.

c. Undang – Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri.

d. Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang – Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri.

e. Undang – Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan.

f. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1992 tentang Persyaratan Pemilikan Saham dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing.

g. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1993 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1992 tentang Persyaratan Pemilikan Saham dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing.

h. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1993 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1986 tentang Jangka Waktu Perusahaan Penanaman Modal Asing.


(38)

i. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang didirikan dalam Rangka Penanaman Modal Asing18

Salah satu unsur yang sangat esensial dalam kontrak karya adanya subyek hukum. Subyek hukum merupakan pihak yang terkait dalam kontrak karya. Di dalam kontrak karya, para pihak yang terkait adalah Pemerintah Indonesia, yang diwakili oleh Menteri Pertambangan dan Energi dengan pihak asing atau gabungan dari pihak asing dan domestik. Sedangkan yang menjadi objek kontrak karya adalah perjanjian – perjanjian di bidan pertambangan di luar minyak dan gas bumi. Seperti pertambangan emas, tembaga dan lain – lain

.

19

4. Production Sharing

.

Menurut Sunaryati Hartono, cara dengan production sharing ini sebelum UU Nomor 1 Tahun 1967, yaitu dengan terhapusnya UU Penanaman Modal Asing Tahun 1958 oleh UU Nomor 16 Tahun 1965 boleh dikatakan merupakan satu – satunya cara yang terpenting dilakukan oleh perusahaaan – perusahaan negara. Karena penanaman modal asing sudah dilarang dengan UU Nomor. 16 Tahun 1965 itu, maka untuk memenuhi kebutuhan akan modal dan alat perlengkapan dari luar negeri,

18

Salim H.S. Op.cit Hal.64

19


(39)

dipikirkan orang suatu bentuk kredit yang dinamakan production sharing atau bagi hasil20

Pada umumnya disertai dengan kewajiban untuk mengekspor hasil pada negara pembeli kredit, pendanaan proyek tersebut seluruhnya berasal dari asing dan umumnya dilakukan pada sektor usaha pertambangan minyak bumi dan gas

.

Dinamakan Production Sharing atau bagi hasil oleh karena kredit yang diperoleh dari pihak asing beserta bunganya akan dikembalikan dalam bentuk hasil produksi perusahaan yang bersangkutan.

21

Latar Belakang dilakukannya production sharing adalah sebagai berikut :

.

Suatu production sharing atau bagi hasil, oleh karena kredit yang diperoleh dari pihak asing ini beserta bunganya akan dikembalikan dalam bentuk hasil produksi perusahaan yang bersangkutan, yang biasanya dikaitkan dengan suatu ketentuan mengenai kewajiban perusahaan Indonesia untuk mengekspor hasilnya kepada negara pemberi kredit. Dengan kata lain, bahwa production sharing adalah suatu perjanjian kerja sama antara modal asing dengan pihak Indonesia yang memberikan kewajiban kepada pihak Indonesia untuk mengekspor hasilnya kepada negara pemberi kredit.

20


(40)

a. Besarnya biaya dan investasi serta pemilikan teknologi untuk menjalankan usaha menjadi latar belakang diadakannya production sharing

b. Seluruh peralatan yang dimasukkan ke wilayah pabean Indonesia,akan menjadi milik Indonesia, dan akan dikembalikan secara kredit melalui bagi hasil dari produk yang dihasilkan22

Setelah berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, maka oleh pemerintah dilakukan pembaruan terhadap kontrak kerja sama production sharing ini lewat Instruksi Presidium Kabinet Nomor 34/EK/IN/5/67 tanggal 30 Mei 1967 yang pada pokoknya menekankan penyesuaian proyek – proyek maupun kredit dalam rangka production sharing

.

23

Pengaturan production sharing sebagai suatu kontrak juga terdapat dalam PP No.35 Tahun 1994, definisi kontrak production sharing itu ada, begitu pun sudah berganti menjadi istilah Kontrak Bagi Hasil ( KBH ). Menurut PP No.35 Tahun 1994, kontrak bagi hasil adalah bentuk kerjasama antara PERTAMINA dan kontraktor untuk melaksanakan usaha eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi berdasarkan prinsip pembagian hasil produksi ( Production Sharing ). Karena berprinsip pada

.

22

Ibid.hal. 4 23


(41)

hasil produksi maka kepemilikan aset dan pengusahaan manajemen menjadi penting.

e. DICS Rupiah

Kepanjangan dari DICS Rupiah adalah Debt Investment Convertion Scheme. Dimana pada awalnya DICS Rupiah ini merupakan suatu production sharing, dan proyek tersebut didanai dengan dana kredit oleh investor asing, kemudian tagihan – tagihan pengembalian kredit tersebut dikonversi menjadi penanaman modal asing.

Jika pada production sharing suatu perusahaan ( nasional ) Indonesia memperoleh modal asing dalam bentuk kredit, maka penanaman modal asing dengan DISC-Rupiah ini kredit modal asing yang telah harus dikembalikan kepada kreditornya oleh pihak Indonesia dengan adanya ketentuan Instruksi Presidium Kabinet No.28/EK/IN/5/1967 yang pada prinsipnya menyatakan bahwa tagihan – tagihan para kreditor asing yang menyangkut utang – utang tidak dijamin oleh pemerintah asing dapat diubah menjadi penanaman modal asing di Indonesia. Kebijaksanaan tersebut dinamakan dengan Debt Investment Convertion Scheme (DISC), oleh sebab itu pelunasan utang – utang tersebut di atas, yang semula sudah diperhitungkan berdasarkan valuta asing, tetapi dibayar dengan rupiah


(42)

yang dilakukan dengan DISC-Rupiah yang merupakan Kertas Perbendaharaan Negara berbunga 3% setahun.24

Menurut Ismail Suny dan Rudiono Rochmat, apabila kreditornya sendiri yang menggunakan DISC-Rupiah, maka yang akan dicatat sebagai modal adalah jumlah utang Republik Indonesia yang telah dihapuskan dengan pembayaran berupa DISC, pencatatan mana dilakukan dengan valuta asing25

f. Kredit Investasi .

Kredit luar negeri via investasi menjadi modal nasional setelah bergabung dengan modal asing dalam joint venture dapat digolongkan sebagai penanaman modal asing.

Adanya penanaman modal dengan menggunakan kredit investasi adalah merupakan kebijaksanaan pemerintah pada tahun 1970 dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Negara Ekonomi, Keuangan, dan Industri No.21/MENKUIN/4/1970. Di mana di dalam bidang penanaman modal ternyata kredit luar negeri dan penanaman modal tidak dapat dipisahkan dengan tegas, oleh karena kredit luar negeri dapat menjadi penanaman modal asing di dalam negeri. Dalam kenyataan tampak bahwa kredit luar negeri via kredit investasi menjadi modal nasional yang setelah bergabung dengan modal asing dalam joint venture dapat digolongkan 24

Aminuddin Ilmar, Op.cit Hal.65

25


(43)

sebagai penanaman modal asing. Kebijaksanaan pemerintah untuk memberikan kredit investasi kepada para pengusaha nasional yang kemudian mengadakan kerja sama ( joint venture ) dengan penanam modal asing sudah dapat digolongkan menjadi penanaman modal asing meskipun jalan yang ditempuh sangat berbelit – belit. Dalam praktik penanaman modal dengan kredit investasi ini banyak dilakukan oleh para pemodal dalam negeri untuk membiayai setiap proyeknya yang ada di Indonesia.26

g. Portofolio Investment

Penanaman modal yang dilakukan melalui pembelian saham atau efek suatu perusahaan yang sudah berdiri, melalui bursa saham atau bursa efek.

Pembelian saham tersebut dapat dilakukan melalui bursa, baik melalui penawaran umum maupun strategic partner atau direct placement.

b. Investasi yang bersumber dari modal dalam negeri.

Investasi yang bersumber dari modal dalam negeri maksudnya adalah investasi yang bersumber dari pembiayaan dalam negeri27

Menurut Pasal 1 ayat 2 UU No. 25 Tahun 2007 , penanaman modal dalam negeri adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di

.

26


(44)

wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal dalam negeri.

Menurut Pasal 1 ayat 9 UU No.25 Tahun 2007, yang dimaksud dengan modal dalam negeri adalah modal yang dimiliki oleh negara Republik Indonesia, Perseorangan warga negara Indonesia, atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau tidak berbadan hukum.

4. Investasi berdasarkan bentuknya.

Investasi berdasarkan bentuknya merupakan investasi yang didasarkan pada cara menanamkan investasinya. Investasi ini dibagi menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut.

a. Investasi portofolio

Pada jenis investasi portofolio, investornya tidak perlu hadir secara fisik, sebab pada umumnya tujuan utama dari investor bukanlah mendirikan perusahaan, melainkan hanya membeli saham dengan tujuan untuk dijual kembali. Tujuan investor di sini adalah bagaimana memperoleh hasil yang maksimal dengan rentang waktu yang tidak terlalu lama sudah bisa menikmati keuntungan. Dengan kata lain, jenis investasi seperti ini, yang diharapkan oleh investor adalah capital gain,


(45)

artinya adanya penghasilan dari selisih antara beli dan jual saham di bursa efek28

b. Investasi langsung .

Bagi pemodal asing maupun dalam negeri yang hendak menanamkan modalnya secara langsung, maka secara fisik ia hadir dalam menjalankan usahanya. Dengan hadirnya atau tepatnya dengan didirikannya badan usaha yang berstatus sebagai penanaman modal asing, badan usaha tersebut harus tunduk pada hukum di Indonesia29

Investor yang hadir langsung secara fisik ke tempat tujuan investasi harus dengan membawa seluruh sumber daya yang dipergunakan , menjalankan, dan turut mengendalikan kegiatan investasi yang bersangkutan

.

30

1. Sifatnya permanen / jangka panjang. .

Kelebihan penanaman modal asing secara langsung adalah :

2. Member andil dalam alih teknologi

3. Memberi andil dalam alih ketrampilan, dan

4. Membuka lapangan kerja baru31

28

Sentosa Sembiring,Hukum Investasi,( Bandung : Nuansa Aulia ,2007) Hal.71

29

Hendrik Budi Untung, Hukum Investasi,( Jakarta : Sinar Grafika ,2010) Hal.13

30

Budiman Ginting dan Mahmul Siregar,Loc.cit Hal.2


(46)

B. Pengertian Franchise

Franchise berasal dari bahasa Prancis, yang berarti bebas atau bebas dari perhambaan atau perbudakan ( free from servitude ). Bila dihubungkan dengan konteks usaha, franchise berarti kebebasan yang diperoleh seseorang untuk menjalankan sendiri suatu usaha di wilayah tertentu. Sedangkan pewaralabaan ( franchising ) adalah suatu aktivitas dengan sistem waralaba ( franchise ), yaitu suatu sistem keterkaitan usaha yang saling menguntungkan antara pemberi waralaba ( franchisor ) dan penerima waralaba ( franchisee )32

Menurut European Code of Ethics for Franchising, defenisi franchise adalah franchise is a system of marketing goods and/or services and/or technology, which is based upon a close and ongoing collaboration between legally and financially separate and independent undertakings, the franchisor and its individual franchisee, whereby the franchisors grants its individual franchisees the right, and imposes the obligation, to conduct a business in accordance with the franchisor`s concept. ( franchising adalah sistem pemasaran barang dan atau jasa dan atau teknologi, yang didasarkan pada kerja sama tertutup dan terus – menerus antara pelaku – pelaku independen ( maksudnya franchisor dan franchisee individual ) dan terpisah baik secara legal ( hukum ) dan keuangan, di mana franchisor memberikan hak kepada para individual franchisee dan

.

32


(47)

membebankan kewajiban untuk melaksanakan bisnisnya sesuai dengan konsep dari franchisor )33

Menurut LPPM ( Lembaga Pendidikan dan Pembinaan Manajemen ), waralaba pertama kali diperkenalkan oleh LPPM sebgai padanan kata franchise. Waralaba berasal dari kata “ wara “ yang berarti lebih atau istimewa dan “ laba “ berarti untung. Jadi, waralaba berarti usaha yang memberikan keuntungan yang lebih atau istimewa – berbeda dengan sistem bisnis konvensional yang sudah ada

.

34

AS melalui International Franchise Association ( IFA ) mendefenisikan franchise sebagai hubunga kontraktual antara franchisor dengan franchisee, dimana franchisor berkewajiban menjaga kepentingan secara kontiniu pada bidang usaha yang dijalankan oleh franchisee misalnya lewat pelatihan, di bawah merek dagang yang sama, format dan standar operasional atau control pemilik ( franchisor ), dimana franchisee menanamkan investasi pada usaha tersebut dari sumber dananya sendiri

.

35

Dalam setiap perjanjian Waralaba, sang Pewaralaba (Franchisor) – selaku pemilik dari Sistem Waralabanya memberikan lisensi kepada Terwaralaba (Franchisee)

. Lebih lanjut menurut IFA, Franchise atau Waralaba pada hakekatnya memiliki 3 elemen berikut:

1. Merek

33

Ibid. hal 14


(48)

untuk dapat menggunakan Merek Dagang/Jasa dan logo yang dimiliki oleh Pewaralaba.

2. Sistem Bisnis

Keberhasilan dari suatu organisasi Waralaba tergantung dari penerapan Sistem/Metode Bisnis yang sama antara Pewaralaba dan Terwaralaba. Sistem bisnis tersebut berupa pedoman yang mencakup standarisasi produk, metode untuk mempersiapkan atau mengolah produk atau makanan, atau metode jasa, standar rupa dari fasilitas bisnis, standar periklanan, sistem reservasi, sistem akuntansi, kontrol persediaan, dan kebijakan dagang, dll.

3. Biaya (Fees)

Dalam setiap format bisnis waralaba, sang pewaralaba baik secara langsung atau tidak langsung menarik pembayaran dari terwaralaba atas penggunaan merek dan atas partisipasi dalam sistem waralaba yang dijalankan. Biaya biasanya terdiri atas biaya awal, biaya royalti, biaya jasa, biaya lisensi dan atau biaya pemasaran bersama. Biaya lainnya juga dapat berupa biaya atas jasa yang diberikan kepada terwaralaba (mis: biaya manajemen )36

36

Yudistiray.wordpress.com/2010/03/20/semua-tentang-waralaba/, diakses pada tanggal 20 September 2010 Pukul 16.32 WIB.

.

Menurut British Franchise Association, sebagai garansi lisensi kontraktual satu orang ( franchisor ) ke pihak lain (franchisee) dengan :


(49)

1. Mengijinkan atau meminta franchisee menjalankan usaha dalam periode tertentu pada bisnis yang menggunakan merek yang dimiliki oleh franchisor.

2. Mengharuskan franchisor untuk melatih control secara kontiniu selama periode perjanjian.

3. Mengharuskan franchisor untuk menyediakan asistensi terhadap franchisee pada subyek bisnis yang dijalankan di dalam hubungan terhadap organisasi usaha franchisee seperti training terhadap staf, merchandising, manajemen, atau yang lainnya.

4. Meminta kepada franchisee secara periodic selama masa kerja sama franchise untuk membayarkan sejumlah fee franchise atau royalty untuk produk atau servis yang disediakan oleh franchisor kepada franchisee.

Defenisi waralaba juga diberikan oleh Institut Pendidikan dan Managemen yang antara lain mendefenisikan waralaba sebagai berikut.

1. Waralaba adalah suatu sistem pemasaran atau distribusi barang dan jasa, di mana sebuah perusahaan induk ( franchisor ) memberikan hak istimewa untuk melakukan suatu sistem usaha dengan cara, waktu , dan lokasi tertentu kepada individu atau perusahaan lain ( franchisee ) yang berskala kecil dan menengah.

2. Waralaba merupakan sebuah metode pendistribusian barang dan jasa kepada masyarakat konsumen, yang dijual kepada pihak lain yang


(50)

berminat. Pemilik dari metode yang dijual ini disebut franchisor, sedangkan pembeli hak untuk menggunakan metode tersebut disebut franchisee.

3. Waralaba merupakan suatu hubungan berdasarkan kontrak antara franchisor dengan franchisee. Franchisor menawarkan dan berkewajiban menyediakan perhatian terus – menerus pada bisnis waralaba melalui penyediaan pengetahuan dan pelatihan. Franchisee beroperasi dengan menggunakan merek dagang, format, atau prosedur yang dipunyai serta dikendalikan oleh franchisor. Franchisee melakukan investasi dalam bisnis yang dimilikinya37

Sejumlah pakar juga ikut memberikan defenisi terhadap franchise. .

Campbell Black dalam bukunya Black`s Law Dict menjelaskan franchise sebagai sebuah lisensi merek dari pemilik yang mengijinkan orang lain menjual produk atau servis atas nama mereka38

Franchising is a system of marketing and distribution whereby a small independent businessman ( the franchise) is granted – in return for a fee-the right to market the goods and serviss of another (the franchisor) in accordance with the established standards and practice of the franchisor, and with its assistance. ( Waralaba sebagai sebuah sistem pemasaran dan distribusi yang dijalankan oleh institusi bisnis kecil ( franchisee ) yang digaransi dengan membayar sejumlah fee, hak terhadap akses pasar oleh franchisor dengan standar operasi yang mapan di bawah assistensi franchisor )

.

David J. Kaufmann memberi defenisi :

39

37

Adrian Sutedi, Op.cit Hal. 9

38

Ibid. hal 11

39

Ibid. hal 11


(51)

Menurut Reitzel, Lyden, Roberts & Severance, franchise didefenisikan sebagai sebuah kontrak atas barang yang intangible yang dimiliki oleh seseorang (franchisor) seperti merek yang diberikan kepada orang lain (franchisee) yang menggunakan barang ( merek ) tersebut pada usahanya sesuai dengan teritori yang disepakati40

Menurut Dr. Martin mendelsonh, pakar waralaba asal Amerika Serikat, format bisnis franchise adalah modal izin dari satu orang ( franchisor ) kepada orang lain ( franchisee ), yang member hak ( dan biasanya mempersyaratkan ) franchisee untuk mengadakan bisnis di bawah nama dagang franchisor, meliputi seluruh elemen yang dibutuhkan untuk membuat orang yg sebelumnya belum terlatih dalam berbisnis untuk mampu menjalankan bisnis yang dikembangkan / dibangun oleh franchisor di bawah brand miliknya, dan setelah di-training untuk menjalankannya berdasarkan pada basis yang ditentukan sebelumnya dengan pendampingan yang berkelanjutan

.

41

Pradmod Khera mendefenisikan waralaba sebagai metode distribusi di mana pemberi hak waralaba, yang telah menyempurnakan konsep bisnisnya, menerapkan transfer pengetahuan, dengan mekanisme tindak lanjut, kepada penerima hak waralaba yang ingin mendirikan bisnis kewirausahaan

.

42

Dr. Aminuddin Ilmar SH., M,Hum. mendefenisikan franchise sebagai suatu bentuk usaha kerja sama yang digunakan, apabila suatu perusahaan nasional atau dalam negeri hendak memproduksi suatu barang yang telah mempunyai merek terkenal seperti Coca – cola, Pepsi – cola, Van Houten, Mc’Donalds, Kentucky Fried Chicken, dan sebagainya43

Zaeni Asyhadie, mendefenisikan waralaba adalah suatu perikatan, yaitu perikatan yang lahir karena perjanjian antara dua pihak. Pihak pertama disebut dengan pemberi waralaba dan pihak kedua disebut dengan penerima waralaba

.

44

40

Ibid hal 10

41

Lukman Hakim,Op.,cit hal.15

42

Ibid hal. 15

43

Aminuddin Ilmar, Op.,cit hal.61-62

44

Zaeni Asyhadie,Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, (Jakarta : PT.


(52)

Ridwan Khairandi, istilah franchise mengandung makna “ Seseorang memberikan kebebasan dari ikatan yang menghalangi orang untuk menggunakan atau membuat atau menjual sesuatu45

J.Queen mengemukakan defenisi franchise sebagai berikut. Mem- franchise – kan adalah suatu metode perluasan pemasaran dan bisnis, artinya bisnis untuk memperluas pasar dan distribusi serta pelayanannya dengan membagi bersama standar pemasaran dan operasional. Pemegang franchise ( franchisee ) yang membeli suatu bisnis mendapatkan manfaat dari kesadaran pelanggan akan nama dagang, sistem yang teruji, dan pelayanan lain yang disediakan pemilik franchise ( franchisor )

.

46

Amir Karamoy . 47

C. Manfaat Franchise

menyatakan bahwa secara hukum waralaba berarti persetujuan legal atas pemberian hak atau keistimewaan untuk memasarkan suatu produk/jasa dari pemilik ( pewaralaba ) kepada pihak lain ( terwaralaba ), yang diatur dalam suatu aturan permainan tertentu.

Menurut Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba, yang dimaksud dengan waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha memasarkan barang dan jasa yang telah terbukti berhasil dan digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.

Sebuah bisnis waralaba baru ataupun lama, terkadang tidak dapat dijadikan patokan mengenai keberhasilan dan pertumbuhannya. Bisa saja bisnis

45

Adrian Sutedi,Loc.,cit hal. 9

46

Ibid. hal. 10

47


(53)

waralaba yang baru didirikan menjadi sangat prospektif dan memberikan keuntungan serta bisa berkembang dengan sangat baik di masa depan. Sebaliknya, bukan tidak mungkin bisnis waralaba yang telah lama berdiri ternyata memberikan hanya sedikit keuntungan. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa faktor resiko memang berhubungan dengan berapa lama suatu bisnis waralaba telah berdiri. Untuk bisnis waralaba yang baru hadir, tentu resiko menjadi relatif lebih tinggi daripada waralaba yang telah lama hadir. Namun, dapat juga diperhatikan apakah bisnis waralaba yang baru hadir merupakan bagian dari sebuah grup yang terdiri dari beberapa bisnis waralaba lain yang telah sukses.

Menurut Adrian Sutedi, bisnis waralaba memiliki beberapa keunggulan, yaitu :

1. Waralaba pada hakikatnya merupakan sebuah konsep pemasaran dalam rangka memperluas jaringan usaha dengan cepat. Dengan demikian, waralaba bukanlah sebuah alternatif, melainkan salah satu cara yang sama kuat dan sama strategisnya dengan cara konvensional dalam mengembangkan usaha. Contohnya, dalam membangun usaha baru yang semakin penuh dengan persaingan, seorang pengusaha harus mampu memilih bentuk dan strategi pemasaran yang tepat, misalnya dengan membuka sendiri jaringan pendistribusian pemasaran. Hal ini membutuhkan modal yang tidak sedikit, padahal tidak semua orang memiliki modal yg cukup untuk mengembangkan usaha. Namun,, dengan memilih bisnis waralaba, seorang pengusaha dapat memperluas jaringan


(54)

usahanya dengan cepat. Dengan kata lain, waralaba merupakan bentuk pendistribusian barang atau jasa tertentu melalui suatu jaringan outlet yang pengelolaannya dilakukan oleh franchisee. Dengan demikian, franchisee dapat diuntungkan karena sistem ini dari reputasi, informasi teknis, dan keahlian dalam menjual ke konsumen dengan jelas telah teruji.

Waralaba sebagai konsep pemasaran juga diungkapkan oleh John Naisbit dalam bukunya yang berjudul Megatrends. Naisbit menyatakan bahwa waralaba merupakan konsep pemasaran yang paling berhasil selama sejarah umat manusia. Oleh karena itu, tidak mengherankan bisnis waralaba banyak digunakan di berbagai negara untuk mendistribusikan barang atau jasa. Salah satu juru bicara International Franchise Association (IFA) mengatakan bahwa waralaba akan menjadi bentuk pengeceran yang dominan di kebanyakan negara – negara berkembang di seluruh dunia.

2. Bisnis waralaba juga akan menciptakan kemitraan yang saling menguntungkan. Waralaba digambarkan sebagai perpaduan bisnis “besar” dan “kecil”, yaitu perpaduan antara energi dan komitmen individual dengan sumber daya dan kekuatan sebuah perusahaan besar. Dengan kata lain, pengusaha yang memiliki modal terbatas bisa bergabung dengan sistem waralaba yang memberikan jaminan usaha. Dalam mengatur hasil usaha, kedua belah pihak melakukan perjanjian yang terikat oleh hukum sehingga dikemudian hari tidak menimbulkan permasalahan –


(55)

permasalahan yang pelik dan tanpa ujung penyelesaian. Adanya kekuatan hukum secara tidak langsung juga memberikan jaminan kepada franchisor bahwa usaha waralaba yang dimilikinya benar – benar legal. Dari pihak franchisee,sistem waralaba juga melindungi dari monopoli.

3. Bisnis waralaba juga dapat memberikan kesempatan berusaha yang baru yang tentunya diikuti dengan penyediaan lapangan kerja baru dan peningkatan pendapatan.Selain itu, bisnis waralaba mampu mempercepat alih teknologi serta meningkatkan peluang berusaha bagi Usaha Kecil dan Menengah ( UKM ). Dengan kata lain, bisnis waralaba selain mampu memperluas akses pasar secara efisien juga mampu menyinergikan perkembangan usaha besar dengan usaha kecil dan menengah melalui kemitraan yang saling menguntungkan dan transparan dengan tetap mempertahankan kepemilikan usaha masing – masing secara mandiri.

4. Bagi para pemula, bisnis waralaba merupakan pilihan untuk berwirausaha dan bereskpansi dengan resiko paling kecil. Resiko bisnis kegagalan waralaba jauh lebih kecil dibandingkan dengan konsep bisnis lain, seperti MLM ( Multi Level Marketing ), distributor, direct sales ( penjualan langsung ), dan berbagai konsep bisnis lain. Resiko kegagalan franchisee ialah 5 – 15%, sedangkan pada bisnis biasa dapat mencapai lebih dari 65%. Selain itu, para pengusaha yang telah menjalankan bisnisnya, dapat mengonversi usahanya menjadi waralaba untuk meningkatkan keuntungannya. Walaupun mendapat tambahan tuntutan untuk


(56)

mempertinggi kualitas bisnis mereka, dampak yang didapat lebih dari sekedar membangun brand image produk dan jasa mereka. Dari uraian ini, seecara umum bisnis waralaba merupakan alternatif jalan keluar yang relatif aman bagi :

5. Orang – orang untuk terjun memiliki bisnis sendiri;

6. Perusahaan – perusahaan untuk melakukan ekspansi atau pembukaan cabang secara efektif tanpa memunculkan overhead yang tinggi dan kerumitan manajemen yang biasanya berkaitan dengan pendirian sebuah cabang;

7. Perusahaan untuk mengubah sistem cabang atau agensinya menjadi mesin pemasaran yang ramping dan tangguh48

Seperti yang telah dikemukakan, sistem waralaba yang berkembang di Indonesia pada saat ini ialah waralaba produk dan merek dagang serta waralaba sistem format bisnis. Menurut Mandelson, ada beberapa keuntungan dan kerugian usaha waralaba format bisnis , yaitu sebagai berikut.

.

1. Keuntungan usaha waralaba format bisnis :

a. Franchisee tidak memerlukan pengetahuan dasar dan pengetahuan

khusus.

48


(57)

b. Franchisee mendapat insentif dengan memiliki bisnis sendiri sehingga mendapat keuntungan tambahan.

c. Franchisee akan menerima ( apabila perlu ) bantuan sebagai

berikut :

1. Penyeleksian tempat;

2. Mempersiapkan rencana untuk memperbaiki model outlet, termasuk rencana tata kota yang diperlukan atau persyaratan – persyaratan hukum yang diperlukan;

3. Mendapatkan dana untuk sebagian biaya akuisisi dari bisnis yang diwaralabakan;

4. Pelatihan staf franchisee;

5. Bantuan pembelian peralatan;

6. Membantu membuka bisnis dan menjalankannya dengan lancar.

d. Franchisee mendapatkan keuntungan dari aktivitas iklan dan

promosi franchisor pada tingkat nasional.

e. Franchisee mendapat keuntungan dari daya beli yang besar dan


(58)

f. Franchisee mendapatkan pengetahuan khusus serta pengalaman dari organisasi dan manajemen kantor pusat franchisor, walaupun ia tetap mandiri.

g. Resiko bisnis franchisee berkurang sangat besar.

h. Franchisee mengambil keuntungan dari program riset dan

pengembangan franchisor yang terus – menerus dilakukan untuk memperbaiki sistem bisnis dan membuatnya tetap up to date dan kompetitif.

i. Franchisor mengumpulkan informasi dan pengalaman yang

tersedia sebanyak – banyaknya untuk dibagi kepada seluruh franchisee dalam sistemnya49

2. Kerugian usaha waralaba format bisnis : .

a. Tidak dapat dihindari bahwa hubungan antara franchisor dengan franchisee pasti melibatkan penekanan kontrol, artinya kontrol tersebut akan mengatur kualitas jasa dan produk yang akan diberikan kepada masyarakat melalui franchisee.

b. Franchisee harus membayar franchisor untuk jasa – jasa yang

didapatkannya untuk penggunaan sistem.

c. Kesukaran dalam menilai kualitas franchisor.

49


(59)

d. Kontrak waralaba akan berisi beberapa pembatasan terhadap bisnis yang diwaralabakan.

e. Franchisee mungkin menjadi terlalu tergantung terhadap

franchisor.

f. Kebijakan – kebijakan franchisor mungkin memengaruhi keuntungan franchisee.

g. Franchisor mungkin membuat kesalahan dalam kebijakan –

kebijakannya.

h. Reputasi dan citra merek bisnis yang diwaralabakan mungkin menjadi turun citranya karena alasan – alasan di luar kontrak franchisor50

Menurut Amir Karamoy, dalam bukunya Sukses Usaha Lewat Waralaba, ada tiga alasan bagi pemberi waralaba untuk mewaralabakan bisnisnya:

.

1. Kekurangan modal untuk ekspansi usaha/pasar yang lebih luas;

2. Kekurangan personil untuk menjalankan usahanya;

3. Melakukan perluasan ( dan penetrasi ) pasar secara cepat51

50

Ibid.hal.131


(60)

Menurut Robert L. Purvin, Jr. dalam Franchise Fraud, menyatakan bahwa ada sekurangnya delapan alasan mengapa pengusaha memilih mewaralabakan usahanya. Alasan – alasan tersebut adalah :

1. Pengembangan/perluasan usaha secara cepat;

2. Modal sepenuhnya berasal dari penerima waralaba;

3. Pemberi waralaba menerima persentase atas penghasilan penerima waralaba tanpa menanggung kerugian penerima waralaba;

4. Penerima waralaba membentuk sendiri manajemen operasional usahanya;

5. Penerima waralaba membayar seluruh biaya pelatihan yang diselenggarakan oleh pemberi waralaba. Ini berarti pemberi waralaba dapat memperoleh penghasilan lebih dari kegiatan pelatihannya tersebut;

6. Waralaba membentuk sistem-nya sendiri sebagai pencari laba;

7. Rasio keuangan ekuitas yang positif, karena tidak perlu mengeluarkan modal yang besar;

8. Pemberi waralaba memperoleh penghasilan dari hasil penjualan dan bukan keuntungan penerima waralaba52

52

Ibid.hal 18


(61)

Sedangkan bagi penerima waralaba, menurut Robert L. Purvin,Jr. , waralaba dipilih sebagai salah satu keuntungan karena waralaba dapat mengurangi:

1. Biaya tinggi untuk memulai suatu usaha;

2. Mengurangi resiko kegagalan dan kerugian53

Selain itu, waralaba diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat atau keuntungan lainnya seperti :

1. Produk atau jasa yang sudah terkenal;

2. Merek dagang yang populer;

;

3. Pelatihan yang jelas dan terarah dari pemberi waralaba;

4. Bantuan pemasaran dan operasional;

5. Bantuan teknis dari pemberi waralaba;

6. Bantuan keuangan dalam bentuk kemudahan memperoleh pinjaman melalui sistem waralaba yang telah teruji54

Menurut Mandelson, keuntungan bagi pemberi waralaba : .

1. Waralaba merupakan suatu organisasi sentral kecil yang secara ideal terdiri dari beberapa manajer yang berpengalaman luas dan

53


(62)

mengkhususkan pada berbagai macam aspek bisnis yang menjadi perhatian dan tulang punggung organisasi tersebut. Organisasi semacam ini dapat menghasilkan keuntungan yang memadai tanpa perlu terlibat dengan resiko modal yang tinggi maupun dengan masalah – masalah detail sehari – hari yang timbul dari pengelolaan dan manajemen outlet eceran yang kecil. Semua kegiatan administrasi dan pengelolaan jalannya bisnis dan atau produk yang diwaralabakan akan diselenggarakan sepenuhnya oleh penerima waralaba. Pemberi waralaba akan mempunyai banyak waktu untuk memikirkan kebijakan ( policy ) untuk mengembangkan bisnis yang diwaralabakan tersebut.

2. Tidak ada kebutuhan untuk menyuntikkan sejumlah besar modal untuk meningkatkan kecepatan pertumbuhan yang besar. Masing – masing outlet yang terbuka memanfaatkan sendiri sumber daya financial yang disediakan oleh setiap penerima waralaba. Dana yang ada pada penerima waralaba dapat dipergunakan untuk mengembangkan bisnis dan produk yang diwaralabakan.

3. Organisasi pemberi waralaba mempunyai kemampuan untuk memperluas jaringan secara lebih cepat pada tingkat nasional dan tentunya pun internasional dengan menggunakan modal yang resikonya seminimal mungkin.

4. Pemberi waralaba akan lebih mudah untuk melakukan eksploitasi wilayah yang belum masuk dalam lingkungan organisasinya.


(63)

5. Pemberi waralaba hanya akan mempunyai permasalahan staf yang lebih sedikit karena ia tidak terlibat dalam masalah staf pada masing – masing pemilik outlet. Setiap karyawan pada outlet bisnis penerima waralaba menjadi tanggung jawab penerima waralaba sepenuhnya.

6. Penerima waralaba akan mengkonsentrasikan diri secara lebih optimum pada bisnis yang diwaralabakan tersebut, oleh karena mereka adalah pemilik bisnis itu sendiri. Penerima waralaba yang berpikiran tajam, bermotivasi kuat, dan tajam pengamatannya dalam meminimalkan biaya serta memaksimalkan penjualan; memiliki nilah lebih yang jauh lebih banyak daripada yang harus dan dapat diselesaikan oleh seorang manajer yang harus dibayar oleh pemberi waralaba.

7. Pemberi waralaba cenderung tidak memiliki aset outlet dagang sendiri. Tanggung jawab bagi aset tersebut diserahkan pada penerima waralaba yang memilikinya.

8. Seorang pemberi waralaba yang melibatkan bisnisnya dalam kegiatan manufaktur/pedagang besar bisa mendapatkan distribusi yang lebih luas dan kepastian bahwa ia mempunyai outlet untuk produknya.

9. Tipe – tipe skema waralaba tertentu mampu menangani penerima waralaba secara nasional. Pemberi waralaba, dalam skala yang besaar lebih dapat bernegosiasi dengan pihak – pihak yang menaruh perhatian dan mempunyai sejumlah pabrik, kantor, gudang, depot, atau tempat – tempat


(64)

untuk menangani pekerjaan yang muncul di perusahaan – perusahaan di wilayah waralabanya. Hal ini akan mengefisienkan waktu para penerima waralaba. Disamping itu, tidak semua penerima waralaba memiliki kemampuan atau kapasitas untuk bernegosiasi atau pengaturan jasa mengenai hal ini. Dengan pengkoordinasian keseluruhan kegiatan di bawah satu pemberi waralaba, masing – masing penerima waralaba dapat terjamin bahwa kelompok tersebut secara keseluruhan dapat menguasai bisnis dan perusahaan nasional yang besar tanpa perlu menimbulkan pertentangan atau benturan kepentingan ( conflict of interest ) di antara sesame penerima waralaba55

Sedangkan keuntungan yang diperoleh dari pelaksanaan waralaba yang diperoleh oleh penerima waralaba, menurut Martin Mandelson yaitu sebagai berikut :

.

1. Penerima waralaba dapat mengatasi kurangnya pengetahuan dasar dan pengetahuan khusus yang dimiliki melalui program pelatihan yang terstruktur dari Pemberi Waralaba.

2. Penerima Waralaba mendapatkan insentif dengan memiliki bisnis sendiri yang memiliki keuntungan tambahan dan bantuan terus – menerus dari Pemberi Waralaba. Penerima Waralaba adalah pengusaha independen yang beroperasi di dalam kerangka perjanjian Waralaba. Dia memiliki peluang melalui kerja keras serta usahanya untuk memaksimalkan

55


(65)

penghasilan dari bisnis dan nilai investasinya. Di seluruh jejaring waralaba, ada tiga tingkat dasar kinerja, meskipun pada dasarnya seluruh penerima waralaba mendapatkan bahan mentah yang sama. Ada penerbang – penerbang yang dapat terbang tinggi dengan sangat baik, yang mempunyai sikap dan ancangan yang tepat, serta ketrampilan wirausaha yang memungkinkan mereka memanfaatkan peluang sebesar – besarnya. Kemudian ada pelaksana yang rata – rata, yang menjalankan sistem dan pada dasarnya mencapai tingkat kinerja yang telah ditentukan sebelumnya. Sikap dan pendekatan mereka memang bagus, tetapi mereka kurang berbakat sebagaimana para penerbang tinggi. Mereka akan mendapatkan penghasilan yang layak sesuai dengan harapan mereka. Terakhir, adalah orang – orang yang bergabung dengan waralaba dengan maksud sangat baik, namun mereka berkurang keinginan atau kemampuannya, atau telah berubah fikirannya dan ingin keluar dari waralaba. Mereka yang disebut terakhir ini jelas – jelas telah membuat kesalahan pertama dengan menjadi pengusaha mandiri, dan barangkali mereka telah menipu diri sendiri dengan mempercayai bahwa pemberi waralaba mereka akan menghilangkan resiko bagi mereka. Jadi penerima waralaba harus dapat mengenali mereka sendiri agar tidak terjebak dalam bisnis waralaba, yang mungkin saja akan merugikan merkea dan bisnis waralaba itu sendiri.

3. Di dalam banyak kasus, penerima waralaba mendapat keuntungan dari kegiatan operasional di bawha nama yang telah mapan dalam pandangan dan pikiran masyarakat. Dalam hal ini seorang penerima waralaba harus


(66)

dapat menetapkan dengan baik sikapnya. Memang secara prinsip dikatakan bahwa bisnis waralaba adalaha bisnis yang memerlukan pengujian yang ketat sebelum pada akhirnya ia berhasil, namun tidak juga dapat dipungkiri bahwa waralaba yang lebih baru pada tahap – tahap awal bisa menjadi proposisi yang bagus, tentunya dengan resiko – resiko yang lebih besar.

4. Penerima waralaba biasanya akan membutuhkan modal yang lebih kecil disbanding bila ia mencoba untuk menjalanka bisnis secara mandiri. Hal ini dimungkinkan oleh karena pemberi waralaba, melalui operasi percobaannya, telah menghapuskan biaya – biaya yang tidak perlu. Namun ini bukanlah jaminan, mungkin saja dapat terjadi bahwa seorang penerima waralaba akan menemukan bahwa dia harus menginvestasikan lebih banyak dari yang harus dia keluarkan seandainya dia berusaha secara mandiri.

5. Penerima waralaba mendapat keuntungan dan aktifitas iklan dari promosi pemberi waralaba pada tingkat nasional dan atau internasional.

6. Penerima Waralaba akan menerima bantuan – bantuan berikut ini :

a. Penyeleksian tempat.

b. Mempersiapkan rencana untuk memperbaiki model outlet, termasuk rencana tata kota yang diperlukan atau persyaratan – persyaratan hukum yang diperlukan.


(67)

c. Mendapatkan dana untuk sebagian biaya akuisisi dari bisnis yang diwaralabakan.

d. Pelatihan staf franchisee.

e. Pembelian peralatan.

f. Membantu membuka bisnis dan menjalankannya dengan lancar.

g. Seleksi dan pembelian suku cadang.

7. Penerima waralaba mendapatkan keuntungan dan daya beli yang besar dari kemampuan negosiasi yang dilakukan pemberi waralaba atas nama seluruh penerima waralaba dalam jejaringnya.

8. Penerima waralaba mendapatkan pengetahuan khusus dan ber-skill tinggi serta pengalaman, organisasi dan manajemen kanto pusat pemberi waralaba, walaupun dia tetap mandiri dalam bisnis-nya sendiri.

9. Resiko bisnis penerima waralaba berkurang sangat besar. Ini tidak berarti penerima waralaba tidak akan menghadapi resiko bisnis karena dia berada di bawah paying pemberi waralaba. Semua pelaku bisnis melibatkan resiko dan bisnis yang diwaralabakan bukan merupakan suatu pengecualian. Untuk menjadi sukses penerima waralaba tetap harus bekerja keras, bahkan barangkali dapat lebih keras dari yang pernah dilakukan sebelumnya. Waralaba tidak akan dan tidak pernah menjanjikan imbalan besar untuk usaha yang kecil. Cetak biru untuk


(68)

menjalankan bisnis dengan berhasil dan menguntungkan jarang bisa menjadi cetak biru untuk menjalankan bisnis dengan berhasil tanpa kerja atau usaha.

10. Penerima waralaba mendapatkan jasa – jasa dan para staf lapangan pemberi waralaba yang berada di sana untuk membantunya mengatasi masalah – masalah yang mungkin timbul dari waktu ke waktu dalam pengelolaan bisnis.

11. Penerima waralaba mendapatkan keuntungan dari penggunaan paten, merek dagang, hak cipta, rahasia dagang, serta proses, formula, dan resep rahasia milik pemberi waralaba.

12. Penerima waralaba mengambil keuntungan dari program riset dan pengembangan yang dilakukan oleh pemberi waralaba secara terus menerus, yang dilakukan untuk memperbaiki bisnis dan membuatnya tetap up to date dan kompetitif.

13. Pemberi waralaba mengumpulkan banyak informasi dan pengalaman yang tersedia sebanyak – banyaknya untuk dibagi kepada seluruh penerima waralaba dalam sistemnya. Hal ini tentu saja juga didukung oleh seluruh penerima waralaba, yang juga memberikan kontribusi dari pengetahuan dan pengalamannya yang diperoleh selama menjalankan kegiatan waralaba, yang tersedia bagi seluruh penerima waralaba dalam jejarin pemberi waralaba.


(1)

nya. Dan juga pemberian jaminan kepastian hukum, karena dalam Pasal 3 huruf f PP No.42 Tahun 2007, menyebutkan salah satu kriteria waralaba adalah Hak Kekayaan Intelektual yang telah terdaftar, hal ini berarti seorang pemilik usaha harus mendaftarkan merek dagangnya agar dapat memenuhi kriteria sebagai usaha waralaba. Serta jaminan memperoleh keuntungan,berdasarkan Pasal 3 huruf b PP No.42 Tahun 2007 bahwa salah satu kriteria waralaba adalah terbukti sudah memberikan keuntungan. Peraturan ini juga mengatur mengenai isi minimal perjanjian waralaba, hal ini terdapat dalam Pasal 5 PP No.42 Tahun 2007, yang mengatur mengenai isi minimal dari perjanjian waralaba yakni, nama dan alamat para pihak, jenis Hak Kekayaan Intelektual, kegiatan usaha , hak dan kewajiban para pihak , bantuan fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan, dan pemasaran yang diberikan Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba, wilayah usaha, jangka waktu perjanjian, tata cara pembayaran imbalan; kepemilikan, perubahan kepemilikan, dan hak ahli waris. Sehingga pemberi waralaba tidak boleh memasukkan isi perjanjian waralaba kurang dari apa yang sudah ditentukan oleh peraturan kepada penerima waralaba.

3. Perjanjian franchise dalam Ikki Sushi sudah mencerminkan sebagian besar hal – hal yang mesti ada dalam suatu perjanjian franchise menurut Pasal 5 PP No.42 Tahun 2007 tentang Waralaba,di mana dapat dilihat perjanjian

franchise Ikki Sushi tersebut memuat mengenai para pihak, hak dan


(2)

pembayaran fee, dan penyelesaian sengketa antara kedua belah pihak. Dan di dalam perjanjian franchise Ikki Sushi tersebut, sebagian besar pasal juga sudah mengacu pada peraturan isi perjanjian waralaba yang diatur oleh dalam Pasal 4 PP No.42 Tahun 2007 maupun pasal 6 Peraturan Menteri Perdagangan RI No.12/M-DAG/PER/3/2006 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba. Namun, dalam perjanjian tersebut, klausula mengenai kewajiban dari

franchisor untuk memberikan pelatihan atau bimbingan tidak tercantum

dalam perjanjian tersebut, sehingga hal ini mungkin dapat merugikan pihak franchisee.

B. Saran

Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya dan kesimpulan, selanjutnya dapat disarankan hal - hal sebagai berikut :

1. Dalam PP No.42 Tahun 2007, pasal 5 poin e yang memuat mengenai pemberian bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan dan pemasaran yang diberikan oleh pemberi waralaba kepada penerima waralaba, tidak tercantum dalam klausul perjanjian franchise ikki sushi ini, sehingga disarankan bagi franchisor agar mencantumkan klausul pemberian bantuan,fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan dan pemasaran yang diberikan oleh pemberi waralaba kepada penerima waralaba.


(3)

2. Untuk mengantisipasi terjadinya perselisihan antar franchisor dan

franchisee yang mungkin timbul akibat tidak tercantumnya klausula

pemberian bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan dan pemasaran yang diberikan oleh pemberi waralaba kepada penerima waralaba, seharusnya pihak pertama atau franchisor membuat hak dan kewajiban tersebut secara lebih mendetail dan mencakup seluruh hak dan kewajiban yang seharusnya sesuai dalam Pasal 5 PP No.42 Tahun 2007 tersebut. Dengan demikian, maka akan memperkecil resiko terjadinya perselisihan antara pihak pertama atau franchisee dengan pihak kedua atau

franchisor dalam hal pemberian bantuan, fasilitas, bimbingan operasional,


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Asyhadie,Zaeni, Hukum Bisnis : Prinsip Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2008.

Djaja,Ermansyah, Hukum dan Hak Kekayaan Intelektual.Jakarta : Sinar Grafika, 2009.

Fuady,Munir, Pengantar Hukum Bisnis : Menata Bisnis Modern Di Era

Global.Bandung : PT.Citra Aditya Bakti,2008.

Hakim,Lukman, Info Lengkap Waralaba. Yogyakarta : MedPress, 2008.

HS,Salim & Sutrisno,Budi, Hukum Investasi di Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika, 2008.

Ilmar, Aminuddin, Hukum Penanaman Modal Di Indonesia.Jakarta : Kencana, 2007.

Lutviansori,Arif, Hak Cipta dan Perlindungan Foklor di Indonesia. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001.

Margono,Suyud & Angkasa,Amir, Komersialisasi Aset Intelektual : Aspek Hukum

Bisnis. Jakarta, PT. Grasindo, 2002.

Miru,Ahmad, Hukum Merek. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005.

Saidin,H.OK. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007.


(5)

Sembiring,Sentosa, Hukum Investasi. Bandung : CV. Nuansa Aulia, 2007.

Simanjuntak, Amir, Sistem Paten : Pedoman & Praktik Alih Teknologi, Jakarta : Djambatan, 1994.

Sutedi, Adrian, Hak Atas Kekayaan Intelektual. Jakarta : Sinar Grafika ,2009.

_____, Adrian, Hukum Waralaba. Bojongkerta : Ghalia Indonesia, 2008.

Untung, Hendrik Budi, Hukum Investasi. Jakarta : Sinar Grafika, 2010.

Widjaja,Gunawan, Lisensi Atau Waralaba : Suatu Panduan Praktis. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002.

______,Gunawan, Seri Hukum Bisnis : Lisensi. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001.

______,Gunawan, Seri Hukum Bisnis : Waralaba. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001.

Peraturan Perundang – undangan

UU No.19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta.

UU No.15 Tahun 2001 Tentang Merek.

UU No.14 Tahun 2001 Tentang Paten.


(6)

UU No.25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.

PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba.

Peraturan Menteri Perdagangan RI No.12/M-DAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba.

Internet

http://salamfranchise.com/?s=aspek+hukum+franchise, Tri Raharjo,Aspek Hukum

Franchise, terakhir diakses pada tanggal 28 Oktober 2010.

http://www.waralabaku.com/regulasi.php?reg Septana, Regulasi, terakhir diakses pada tanggal 28 Oktober 2010.

, Semua Tentang Waralaba, terakhir diakses pada tanggal 29 Oktober 2010.