Deskripsi perkembangan remaja laki-laki yang dibesarkan tanpa kehadiran Ayah.

(1)

DESCRIPTION OF MALE ADOLESCENT DEVELOPMENT WHO RAISED IN FATHER ABSENCE

Lasma Ester Guntari Simanjuntak

ABSTRACT

This research aimed to know the description of male adolescent development who raised in father

absence. The research question is “how is the description of male adolescent development who

raised in father absence?” This research use qualitative approache and choose descriptive method

as analyzing method. The respondents of this research are male adolescent aged 11 to 24 years old who live apart from his father since childhood because of separation, divorce, death, or career demands. Data were collected by doing semi structured interview as a method. Furthermore, research validity was obtained by member checking and having triangulation data which involves

respondents’ significant others interview. Results show that father absence gives direct effects and

indirect effects to male adolescent. The direct effects tend to be negative and is perceived by male adolescent directly, such as anger, fear, disappointment, sadness, rejection, loneliness, emptiness, dependency in solving problem, anxiety to have romantic relationship with girls, also social and emotional withdrawal. While the indirect effects are the responses of male adolescent social environment, such as mother, big family, peers, and neighbors that tend to give positive or constructive impacts to male adolescent developmentt. The indirect effects are shown by compliance and discipline, willingness to protect and become responsible to family’s need, respond bullying positively with produce something, and have ability to adapt with father absence phenomenon.


(2)

DESKRIPSI PERKEMBANGAN REMAJA LAKI-LAKI YANG DIBESARKAN TANPA KEHADIRAN AYAH

Lasma Ester Guntari Simanjuntak

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui deskripsi perkembangan remaja laki-laki yang

dibesarkan tanpa kehadiran ayah. Adapun pertanyaan penelitian yang diajukan adalah “bagaimana

deskripsi perkembangan remaja laki-laki yang dibesarkan tanpa ayah?” Jenis penelitian yang dipakai adalah kualitatif dengan metode deskriptif sebagai metode analisis data. Responden penelitian ini ialah remaja laki-laki berusia 11-24 tahun yang sejak masa kanak-kanak tidak tinggal bersama dengan ayah karena perpisahan atau perceraian orang tua, meninggalnya ayah, atau kepergian ayah karena urusan pekerjaan. Pengambilan data penelitian dilakukan dengan metode wawancara semi terstruktur. Validitas hasil penelitian didapatkan dengan melakukan member checking serta triangulasi data dimana peneliti mewawancarai significant othersresponden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketidakhadiran ayah memberikan dampak secara langsung dan secara tidak langsung bagi remaja laki-laki. Dampak secara langsung bersifat negatif dan dirasakan secara langsung oleh remaja laki-laki, seperti adanya perasaan marah, takut, kecewa, sedih, tertolak, kesepian, kehampaan, dependensi dalam menyelesaikan masalah, kecemasan untuk menjalin relasi dengan perempuan, serta penarikan diri secara sosial dan emosional. Sedangkan dampak secara tidak langsung merupakan respon lingkungan, yaitu ibu, keluarga besar, teman, dan tetangga yang memberikan pengaruh positif atau konstruktif bagi perkembangan diri remaja laki-laki. Dampak secara tidak langsung ditunjukkan oleh sikap patuh dan disiplin, berkeinginan untuk melindungi dan bertanggung jawab atas kebutuhan keluarga, merespon hinaan dengan sikap positif, seperti produktif menghasilkan sesuatu, serta adanya kemampuan untuk beradaptasi dengan ketidakhadiran ayah dalam keluarga.


(3)

i

DESKRIPSI PERKEMBANGAN REMAJA LAKI-LAKI YANG DIBESARKAN TANPA KEHADIRAN AYAH

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh :

Lasma Ester Guntari Simanjuntak 109114064

PPROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2016


(4)

(5)

(6)

iv

HALAMAN MOTTO

Tetapi carilah dahulu dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu (Matius 6:33)

Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia (Kolose 3:23)


(7)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini secara khusus dipersembahkan untuk

Tuhan Yesus, Bapa, sahabat, dan kekasih jiwaku Mama dan Ayah, my loving parents

Bungi, my lovely brother

Para sahabat

Para pahlawan berinisial Fr, Rd, Rn, terima kasih untuk segala inspirasi yang diberikan


(8)

(9)

vii

DESKRIPSI PERKEMBANGAN REMAJA LAKI-LAKI YANG DIBESARKAN TANPA KEHADIRAN AYAH

Lasma Ester Guntari Simanjuntak

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui deskripsi perkembangan remaja laki-laki yang dibesarkan tanpa kehadiran ayah. Adapun pertanyaan penelitian yang diajukan adalah “bagaimana deskripsi perkembangan remaja laki-laki yang dibesarkan tanpa ayah?” Jenis penelitian yang dipakai adalah kualitatif dengan metode deskriptif sebagai metode analisis data. Responden penelitian ini ialah remaja laki-laki berusia 11-24 tahun yang sejak masa kanak-kanak tidak tinggal bersama dengan ayah karena perpisahan atau perceraian orang tua, meninggalnya ayah, atau kepergian ayah karena urusan pekerjaan. Pengambilan data penelitian dilakukan dengan metode wawancara semi terstruktur. Validitas hasil penelitian didapatkan dengan melakukan member checking serta triangulasi data dimana peneliti mewawancarai significant othersresponden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketidakhadiran ayah memberikan dampak secara langsung dan secara tidak langsung bagi remaja laki-laki. Dampak secara langsung bersifat negatif dan dirasakan secara langsung oleh remaja laki-laki, seperti adanya perasaan marah, takut, kecewa, sedih, tertolak, kesepian, kehampaan, kecemasan untuk menjalin relasi dengan perempuan, serta penarikan diri secara sosial dan emosional. Sedangkan dampak secara tidak langsung merupakan respon lingkungan, yaitu ibu, keluarga besar, teman, dan tetangga yang memberikan pengaruh positif atau konstruktif bagi perkembangan diri remaja laki-laki. Dampak secara tidak langsung ditunjukkan oleh sikap patuh dan disiplin, berkeinginan untuk melindungi dan bertanggung jawab atas kebutuhan keluarga, merespon hinaan dengan sikap positif, seperti produktif menghasilkan sesuatu, serta adanya kemampuan untuk beradaptasi dengan ketidakhadiran ayah dalam keluarga.


(10)

viii

DESCRIPTION OF MALE ADOLESCENT DEVELOPMENT WHO RAISED IN FATHER ABSENCE

Lasma Ester Guntari Simanjuntak

ABSTRACT

This research aimed to know the description of male adolescent development who raised in father absence. The research question is “how is the description of male adolescent development who

raised in father absence?” This research use qualitative approache and choose descriptive method

as analyzing method. The respondents of this research are male adolescent aged 11 to 24 years old who live apart from his father since childhood because of separation, divorce, death, or career demands. Data were collected by doing semi structured interview as a method. Furthermore, research validity was obtained by member checking and having triangulation data which involves

respondents’ significant others interview. Results show that father absence gives direct effects and

indirect effects to male adolescent. The direct effects tend to be negative and is perceived by male adolescent directly, such as anger, fear, disappointment, sadness, rejection, loneliness, emptiness, anxiety to have romantic relationship with girls, also social and emotional withdrawal. While the indirect effects are the responses of male adolescent social environment, such as mother, big family, peers, and neighbors that tend to give positive or constructive impacts to male adolescent developmentt. The indirect effects are shown by compliance and discipline, willingness to protect and become responsible to family’s need, respond bullying positively with produce something, and have ability to adapt with father absence phenomenon.


(11)

(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan kasih karunia-Nya kepada peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Peneliti berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan menginspirasi para pembaca.

Penyusunan skripsi ini terselesaikan atas bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Tuhan Yesus yang telah menginspirasi penulisan skripsi ini dari awal hingga akhir, juga yang telah memberikan hikmat, pengertian, dan dorongan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi.

2. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang turut memberikan motivasi selama penulisan skripsi ini.

3. Ibu Ratri Sunar Astuti, M. Si., selaku Kepala Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

4. Ibu Sylvia C. M. Y. M., S.Psi., M.Si., selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu sabar membimbing dan memotivasi penulis menyusun skripsi dari tahap ke tahap.

5. Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti, M.Si., selaku dosen pembimbing akademik yang telah mendampingi proses kuliah dari awal hingga akhir, memberikan nasihat-nasihat, dan motivasi untuk mengembangkan diri.


(13)

xi

6. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah berbagi ilmu, pengalaman, dan memberikan inspirasi untuk berkarya di dunia psikologi.

7. Ayah dan Mama, terima kasih selalu hadir dan terlibat dalam pertumbuhan dan perkembanganku, my life won’t complete without you.

8. Bang Joy, terima kasih sudah menjadi kakak terbaik sepanjang masa, love you so much.

9. Rachel, Vivid, Christy, Rinta, Ika, Fil, terima kasih untuk masa kuliah yang indah. Kalian sahabat yang tak pernah tergantikan.

10.Ce Melissa, Ce Selvy, Omi, Audi, Eric, Dimas, Jessie, Ko Alex, Ko Ari, dan semua teman-teman gereja. Terima kasih sudah menyemangati penulisan skripsi ini dan memberikan dorongan spirirtual.

11.Keke, terima kasih sudah menjadi sahabat yang mengerti.

12.Mas Jony Eko Yulianto, terima kasih sudah memberikan komentar atas apa yang sudah kukerjan, terima kasih sudah mengajarkan untuk memafkan diri sendiri.

13.Bibin, Grace, Rika, Yovi, Fiona, Natasya, Anju, Lito, Bella, Lukas, Ardi, Anin, Retha, Stanis, Cia, Jejes, Dimas, Tiara, Sasha, Pipit, Estu, Edo, Bayu, Patrice, Ivie, Putri, Chopie, Panca, Dian, Pak Tony, Pak Adi, Mbak Thia, Pak Tius, Sr. Dewi, yang telah menjadi teman, rekan sekerja, dan keluarga yang

therapeutic di P2TKP. Terima kasih juga telah membuatku lulus dengan segudang pengalaman kerja.


(14)

(15)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .. ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Pertanyaan Penelitian ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

1. Manfaat Praktis ... 7


(16)

xiv

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

A. Ketidakhadiran Ayah ... 9

1. Peran Ayah ... 9

2. Definisi Ketidakhadiran Ayah ... 12

3. Dampak Ketidakhadiran Ayah pada Remaja Laki-Laki ... 14

B. Remaja ... 20

1. Definisi Remaja ... 20

2. Perkembangan Fisik Remaja ... 21

3. Perkembangan Kognitif Remaja ... 23

4. Perkembangan Sosioemosi Remaja ... 25

C. Teori Perkembangan ... 33

1. Perkembangan ... 33

2. Teori Ekologi ... 34

D. Dinamika Perkembangan Remaja Laki-Laki yang Dibesarkan Tanpa Kehadiran Ayah ... 35

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 39

A. Jenis Penelitian ... 39

B. Fokus Penelitian ... 40

C. Responden ... 40

1. Teknik Pemilihan Responden ... 40

2. Kriteria Responden ... 41

E. Metode Pengumpulan Data ... 41


(17)

xv

2. Wawancara significant others responden ... 43

F. Metode Analisis Data ... 43

G. Kredibilitas Penelitian ... 45

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 47

A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian ... 47

1. Persiapan Penelitian dan Perizinan ... 47

2. Pelaksanaan Penelitian ... 49

B. Responden Penelitian ... 50

1. Demografi Responden ... 50

2. Latar Belakang Responden ... 50

C. Analisis Data Penelitian ... 52

1. Deskripsi Ayah bagi Responden ... 52

2. Deskripsi Ibu bagi Responden ... 58

3. Ekonomi Keluarga ... 64

4. Deskripsi Laki-Laki dan Perempuan bagi Responden ... 69

5. Peran Lingkungan terhadap Ketidakhadiran Ayah ... 76

6. Kesimpulan Seluruh Data Penelitian ... 82

D. Pembahasan ... 87

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 98

A. Kesimpulan ... 98

B. Saran ... 99

1. Bagi Remaja Laki-Laki yang Dibesarkan Tanpa Kehadiran Ayah .. 99


(18)

xvi

2. Bagi Keluarga Besar ... 100

3. Bagi Sekolah ... 100

4. Bagi Teman Sebaya ... 101

5. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 101

DAFTAR PUSTAKA ... 103


(19)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Pedoman Wawancara Responden ... 42

Tabel 3.2 Pedoman Wawancara Significant Others Responden ... 43

Tabel 4.1 Pelaksanaan Penelitian ... 49

Tabel 4.2 Demografi Responden ... 50

Tabel 4.3 Latar Belakang Responden 1 ... 50

Tabel 4.4 Latar Belakang Responden 2 ... 51

Tabel 4.5 Latar Belakang Responden 3 ... 51

Tabel 4.6 Deskripsi Ayah ... 56

Tabel 4.7 Deskripsi Ibu ... 62

Tabel 4.8 Deskripsi Ekonomi Keluarga ... 67

Tabel 4.9 Deskripsi Laki-Laki dan Perempuan ... 74

Tabel 4.10 Deskripsi Peran Lingkungan terhadap Ketidakhadiran Ayah ... 80

Tabel 4.11 Kesimpulan Data Penelitian Responden 1 ... 82

Tabel 4.12 Kesimpulan Data Penelitian Responden 2 ... 83


(20)

xviii

DAFTAR GAMBAR

Skema 2.1 Kerangka Berpikir ... 38 Skema 4.1 Skema Pembahasan ... 97


(21)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Informed Consent ... 108

Verbatim Wawancara 1 Responden 1 ... 110

Verbatim Wawancara 2 Responden 1 ... 124

Verbatim Wawancara 1 Responden 2 ... 136

Verbatim Wawancara 2 Responden 2 ... 156

Verbatim Wawancara 3 Responden 2 ... 165

Verbatim Wawancara Ibu Responden 2 ... 168

Verbatim Wawancara 1 Responden 3 ... 182

Verbatim Wawancara 2 Responden 3 ... 197

Verbatim Wawancara 3 Responden 3 ... 208


(22)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan bersifat multidimensi dimana perkembangan melibatkan interaksi faktor biologis, kognitif, dan sosioemosi seseorang (Santrock, 2011). Hal ini cukup tampak pada masa remaja dimana aspek fisik, kognitif, dan sosioemosi semakin matang dan berinteraksi satu sama lain sehingga mempengaruhi diri remaja. Misalnya, pubertas yang terjadi pada awal remaja membuat remaja laki-laki mudah mengalami perubahan suasana hati. Pada saat yang sama, kognisi sosial remaja yang cenderung egosentris, membuatnya berpikir bahwa tidak ada seorang pun yang dapat memahaminya termasuk orang tua. Hal ini yang kemudian dapat memicu konflik antara remaja dengan orang tua.

Berdasarkan hal tersebut, remaja memerlukan dukungan dan bimbingan dari orang tua selama masa perkembangannya, terkhusus ayah. Hal ini dikarenakan ayah adalah orang tua yang berjenis kelamin sama dengan remaja laki-laki. Dengan demikian, ayah cukup memahami apa saja yang terjadi dan dibutuhkan oleh remaja laki-laki. Misalnya, ayah dapat berbagi pengalaman ketika ia menghadapi pubertas sehingga remaja laki-laki lebih siap menghadapi pubertas. Selain itu, ayah juga dapat menunjukkan peran laki-laki dewasa sehingga remaja laki-laki dapat mempersiapkan diri menjadi laki-laki dewasa yang baik untuk


(23)

perkembangan berikutnya.

Selain itu, remaja laki-laki juga membutuhkan peranan ayah dalam memberikan kesempatan bagi remaja laki-laki untuk mengeksplorasi dan menyelesaikan masalah. Dengan demikian, remaja laki-laki dapat mengembangkan kemampuan kognitif dan fungsi sosialnya dengan baik. Hal ini selaras dengan pernyataan Gottman dan Declaire (1997) dalam Susanto (2013) dimana ayah yang terlibat dalam pengasuhan akan membentuk kepribadian yang sehat pada anak, yakni yang mandiri dan kompeten.

Peranan ayah menjadi semakin penting bagi remaja laki-laki dalam keluarga Indonesia. Hal ini dikarenakan keluarga Indonesia menggunakan sistem patrilineal yang memposisikan ayah sebagai penentu garis keturunan keluarga. Oleh karena sistem ini, ayah cenderung mendapat penghormatan yang lebih tinggi daripada wanita sehingga dipercaya sebagai kepala keluarga (Sutardi, 2007). Selain itu, sistem patrilineal juga membuat ayah memegang peranan penting lainnya. Misalnya, ayah dipercaya sebagai pencari nafkah, pelindung, pemegang kekuasaan dan kedisiplinan, serta menjadi figur yang diteladani oleh anggota keluarga lainnya.

Sayangnya, beberapa peranan ayah sering terabaikan. Salah satunya adalah peran ayah dalam mengasuh dan mendidik anak (Elia, 2000). Hal ini terjadi karena para ayah lebih fokus pada tugas mencari nafkah. Oleh karena itu, tugas perawatan serta pendidikan anak cenderung diserahkan kepada ibu.


(24)

Peranan ayah dalam keluarga juga dapat terabaikan ketika ayah tidak hadir dalam keluarga. Menurut East, Jackson, dan O’Brien (2006), ketidakhadiran ayah atau father absence adalah suatu kondisi dimana anak tidak tinggal bersama dengan ayah biologis mereka sepanjang masa kanak-kanak atau sebagian masa kanak-kanak-kanak-kanaknya. Hal ini dapat terjadi karena perpisahan orang tua atau karena ayah dan anak tidak pernah tinggal bersama sejak awal. Mancini (2010) juga menjelaskan bahwa ketidakhadiran ayah dapat disebabkan oleh perceraian orang tua, terpenjaranya ayah, atau kepergian ayah karena keperluan militer maupun bisnis. Hal lain yang menyebabkan ketidakhadiran ayah adalah kematian ayah (Spruijt et al., 2001). Oleh karena hal tersebut, keluarga yang awalnya terdiri dari ayah, ibu, dan anak dapat berubah menjadi seorang ibu sebagai orang tua tunggal yang tinggal dengan anak-anaknya.

Berdasarkan beberapa temuan statistik, jumlah ibu sebagai orang tua tunggal di Indonesia semakin meningkat. Menurut hasil survey ekonomi nasional yang dilakukan Biro Pusat Statistik tahun 1994, terdapat 4.459.724 wanita yang menjadi orang tua tunggal karena perceraian dan kematian pasangan. Sedangkan pada tahun 2004, hasil statistik dari Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga menunjukkan bahwa 40 juta janda menjadi kepala keluarga (Bustanova, 2010). Hal ini turut menunjukkan bahwa jumlah ketidakhadiran ayah karena perceraian atau meninggalnya ayah semakin meningkat dari waktu ke waktu.


(25)

Ketidakhadiran ayah dapat berdampak pada sulitnya keadaan ekonomi keluarga karena ayah sebagai pencari nafkah tidak hadir dan berperan dalam keluarga. Hal ini ditunjukkan oleh data statistik Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga dimana lebih dari setengah jumlah janda yang menjadi kepala keluarga pada tahun 2004 hidup dalam kemiskinan (Bustanova, 2010). Akibatnya, kebutuhan keluarga maupun kebutuhan anak akan pendidikan dan fasilitas belajar lainnya akan sulit terpenuhi.

Selain itu, ketidakhadiran ayah juga berdampak pada perkembangan remaja laki-laki. Dalam hal ini, remaja laki-laki tidak mendapatkan peran ayah sebagai figur otorita yang memberikan pelajaran moral baginya. Padahal Jahja (2011) mengungkapkan bahwa salah satu tugas perkembangan remaja adalah mencapai penguasaan diri yang disesuaikan dengan nilai dan norma masyarakat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa remaja laki-laki akan kesulitan menguasai dirinya karena tidak mendapatkan pelajaran moral dari ayah.

Hal ini pun didukung oleh pernyataan Gottman dalam Setiawan (2012) dimana ketidakterlibatan ayah dalam pengasuhan anak laki-laki dapat berdampak pada kesulitan anak laki-laki dalam mencapai keseimbangan antara ketegasan laki-laki dengan pengendalian diri. Misalnya, mereka yang kedua orang tuanya bercerai cenderung mengalami masalah psikologis, seperti merasa malu dan agresif (Jekielek, 1998 dalam Sigle-Rushton dan McLanahan, 2002), menggunakan obat-obatan terlarang


(26)

dan berurusan dengan polisi (Matsueda dan Heimer, 1987; Comanor dan Phillips, 1998; Carlson, 1999; Harper dan McLanahan, 1999; dalam Sigle-Rushton dan McLanahan, 2002), serta melakukan hubungan seks lebih awal (Antecol, dll, 2002). Contoh lain juga ditunjukkan oleh penelitian Konferensi Keluarga Indonesia mengenai remaja yang hidup tanpa ayah dimana remaja laki-laki yang berasal dari keluarga tanpa ayah 85% di antaranya masuk penjara, 63% melakukan bunuh diri, 80% melakukan perkosaan karena kemarahan, dan 85% melakukan tingkah laku yang menyimpang (Setiawan, 2012).

Ketidakhadiran ayah juga berdampak pada kesejahteraan psikologis remaja. Hal ini lebih ditunjukkan oleh remaja laki-laki yang ayahnya meninggal. Menurut Lerner (2011), mereka merasakan emosi negatif, seperti kesedihan, kesepian, dan perasaan malu karena tidak dapat tumbuh bersama keluarga yang utuh.

Selain perceraian, perpisahan orang tua, dan meninggalnya ayah, ketidakhadiran ayah juga didefinisikan Kevorkian (2010) sebagai kondisi dimana ayah hadir secara fisik namun tidak berfungsi dalam menjalankan perannya. Salah satu hal yang menjelaskan hal tersebut adalah kondisi saat ayah sering melakukan kekerasan pada anaknya. Menurut Garbarino (1999), hal tersebut dampak menyebabkan perasaan marah serta depresi yang memicu tindakan kriminal pada remaja laki-laki.

Dampak ketidakterlibatan ayah juga tampak pada perkembangan seksual maupun identitas seksual anak. Menurut Perris, dll (1994) dalam


(27)

Elia (2000), ayah yang tidak berperan secara emosional sehingga memiliki relasi renggang dengan anak laki-lakinya dapat menyebabkan gangguan identitas gender pada anak laki-laki. Dalam hal ini, anak laki-laki lebih mampu mengidentifikasikan diri pada figur kewanitaan daripada kepriaan. Bahkan mereka juga dapat mengalami transeksualisme dan mencari laki sebagai pasangan seksual. Berdasarkan hal tersebut, ayah sebagai laki-laki tampak berperan penting atas pendampingan perkembangan fisik remaja laki-laki, khususnya dalam mengedukasikan hal-hal terkait pubertas, seksualitas, dan pemahaman mengenai identitas seksual remaja laki-laki.

Berdasarkan paparan-paparan sebelumnya, jelas bahwa ketidakhadiran ayah dalam keluarga membuat proses perkembangan remaja laki-laki terganggu. Hal ini berarti bahwa remaja laki-laki memerlukan peranan ayah selama proses perkembangannya, baik bagi perkembangan fungsi kognisi, sosial emosi, maupun perkembangan moral dan perilaku. Misalnya, mengedukasikan remaja laki-laki terkait pubertas, seksulitas, dan identitas seksual sehingga remaja laki-laki memahami dan menerima perubahan fisik serta identitas seksualnya. Selain itu, ayah juga berperan penting sebagai teladan yang menunjukkan peran gender laki-laki, cara menghadapi permasalahan, cara mengelola emosi serta perilaku, moralitas, memberikan kasih sayang, dan lain sebagainya.

Berdasarkan penjelasan di atas, penulis tertarik untuk melihat deskripsi perkembangan remaja laki-laki yang dibesarkan tanpa kehadiran ayah dalam konteks budaya Indonesia. Ketertarikan ini juga didasari oleh


(28)

pertimbangan bahwa kebanyakan penelitian ketidakhadiran ayah sebelumnya didominasi oleh penelitian dari luar negeri yang berbasis budaya barat. Oleh karena itu, deskripsi mengenai fenomena ketidakhadiran ayah masih terbatas pada konteks budaya barat yang individualis sehingga sulit digeneralisasikan ke dalam konteks budaya Indonesia yang cenderung kolektif. Penulis berharap penelitian ini dapat menggambarkan perkembangan remaja laki-laki yang dibesarkan tanpa kehadiran ayah dalam konteks budaya Indonesia.

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini adalah bagaimana deskripsi perkembangan remaja laki-laki yang dibesarkan tanpa kehadiran ayah?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan deskripsi perkembangan remaja laki-laki yang dibesarkan tanpa kehadiran ayah.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Praktis

a. Memberi deskripsi perkembangan remaja laki-laki yang dibesarkan tanpa kehadiran ayah yang akan menolong remaja laki-laki lain yang dibesarkan tanpa kehadiran ayah untuk beradaptasi pada


(29)

kemungkinan-kemungkinan yang terjadi akibat ketidakhadiran ayah. b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pendorong dan inspirasi bagi

remaja yang dibesarkan tanpa kehadiran ayah untuk mengembangkan diri ke arah yang positif.

c. Memberikan informasi dan inspirasi kepada para ibu yang berperan sebagai orang tua tunggal, khususnya dalam mengasuh dan mendidik remaja laki-laki mereka.

d. Memberikan informasi kepada lingkungan keluarga besar, teman sebaya, dan sekolah mengenai remaja laki-laki yang dibesarkan tanpa kehadiran ayah. Dengan demikian lingkungan tersebut dapat berperan aktif dalam mengembangkan remaja laki-laki yang dibesarkan tanpa kehadiran ayah ke arah positif.

2. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi ilmu psikologi mengenai fenomena ketidakhadiran ayah yang masih minim diteliti di Indonesia.

b. Penelitian ini diharapkan menambah referensi ilmu psikologi tentang proses perkembangan remaja laki-laki yang dibesarkan tanpa kehadiran ayah.


(30)

9 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Ketidakhadiran Ayah 1. Peran Ayah

Menurut Gunarsa (2004), tugas seorang ayah berkaitan dengan lingkungan di luar keluarga. Salah satunya adalah tugas mencari nafkah. Akan tetapi, ayah juga memiliki tugas penting lainnya dalam keluarga, yaitu mengarahkan anak. Berikut merupakan tugas-tugas pokok ayah dalam keluarga menurut Gunarsa :

a. Pencari nafkah

Ayah berperan dalam memenuhi kebutuhan utama dan memastikan kelangsungan hidup keluarga dengan mencari nafkah. Ketika peran ini dilakukan oleh ayah maupun kedua orang tua, anak belajar memahami bahwa tanggung jawab perlu dikerjakan secara rutin dan tanpa paksaan. Selain itu, anak juga belajar untuk mengenal berbagai macam pekerjaan yang kelak akan dipilih dan dilakukannya.

b. Suami yang penuh pengertian akan memberi rasa aman

Seorang ayah yang juga berperan sebagai suami perlu menjalin relasi yang baik dengan isterinya. Pengertian, keakraban, dan kemesraan yang diberikan suami mampu memberikan rasa aman bagi ibu sehingga ibu mampu melakukan tugas-tugas kerumahtanggannya dengan baik. Akan tetapi bila hal tersebut tidak didapatkan, ibu


(31)

cenderung bosan dengan tugas kerumahtanggaannya sehingga anak merasa tidak aman dan senang berada di rumah.

c. Berpartisipasi dalam pendidikan anak

Ayah sangat berperan penting dalam proses pendidikan anak. Bagi anak laki-laki, ayah memberikan teladan dan contoh tentang bagaimana sebaiknya berperan sebagai laki-laki. Selain itu, sikap ayah kepada ibu juga memberikan deskripsi pada remaja untuk mempelajari pola hubungan antara laki-laki dengan perempuan.

d. Pelindung, tokoh yang tegas, bijaksana, dan mengasihi keluarga Ayah sebagai pelindung dan figur otoritas berperan menanamkan kepatuhan dan kedisiplinan pada anak secara tegas dan berwibawa. Oleh karena itu, ayah perlu memberikan tugas-tugas yang mampu diselesaikan anak sesuai dengan kemampuannya sehingga anak dapat memahami kemampuan dan keterbatasan yang ia miliki. Selain itu, ayah juga berperan sebagai pemelihara suasana dalam keluarga. Apabila muncul permasalahan maupun konflik, ayah perlu bersikap rasional dan adil.

Riley dan Shalala (2000) juga mendeskripsikan peran ayah dalam keluarga. Berikut ini merupakan peran ayah dalam keluarga menurut Riley dan Shalala :

a. Modeling adult male behavior

Ayah berperan sebagai model untuk anak-anaknya dalam berbagai hal. Misalnya, ayah menunjukkan bahwa laki-laki dewasa perlu


(32)

bertanggung jawab. Selain itu, ayah juga menunjukkan bagiamana cara berpakaian, cara berperilaku dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana memiliki kehidupan spiritual, dan hal-hal lainnya.

b. Making choices

Anak-anak belajar untuk membuat pilihan sederhana seperti memilih pakaian hingga membuat keputusan untuk hal yang besar dengan cara melihat ayahnya saat mengambil keputusan. Hal ini memampukan anak untuk mengembangkan nilai moral yang positif, ketaatan pada peraturan, dan perkembangan kesadaran.

c. Problem solving abilities

Seorang ayah mendorong anaknya untuk mengeksplorasi berbagai hal dan meyakinkan anaknya bahwa mereka mampu menyelesaikan masalah.

d. Providing financial and emotional support

Ayah memiliki peran utama sebagai pencari nafkah dalam keluarga. Selain itu, ayah juga berperan dalam memberi dukungan emosional pada ibu sehingga relasi ibu dengan anak pun menjadi berkualitas. Misalnya, ayah menolong ibu dengan membantu anak dalam mengerjakan pekerjaan rumahnya.

Berdasarkan paparan di atas, ayah memiliki peran sebagai pencari nafkah dimana ayah bertugas untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan keperluan keluarga yang lain. Peran lain yang dimiliki ayah adalah memberikan dukungan emosional khususnya bagi pasangannya, yaitu ibu


(33)

sehingga ibu merasa aman dalam melakukan tugas-tugasnya. Selain itu, ayah juga berperan dalam proses pendidikan anak dengan menjadi teladan dalam perilaku keseharian, proses pengambilan keputusan, cara menyelesaikan masalah, serta memberikan model peran gender seorang laki-laki. Tugas lain yang juga perlu diperhatikan ayah adalah menjadi figur pelindung yang mengasihi keluarganya.

2. Definisi Ketidakhadiran Ayah

Ketidakhadiran ayah atau father absence adalah suatu kondisi dimana anak tidak tinggal bersama dengan ayah biologis mereka sepanjang masa kanak-kanak atau sebagian masa kanak-kanaknya (Leah, Debra, Louise, 2006). Hal ini dapat terjadi karena adanya perpisahan orang tua atau karena ayah dan anak tidak pernah tinggal bersama sejak awal. Ketidakhadiran ayah juga didefinisikan Phares dalam Leah, Debra, Louise (2006) sebagai situasi dimana ayah dan anak tidak melakukan interaksi selama berminggu-minggu, bulanan, atau tahunan. Hal tersebut dapat disebabkan oleh perceraian orang tua, perpisahan, terpenjaranya ayah, kepergian ayah karena keperluan militer maupun bisnis, atau tingkat kehadiran ayah yang sangat minim dalam keluarga (Mancini, 2010).

Kevorkian (2010), mendefinisikan ketidakhadiran ayah sebagai berikut :

a. Ketidakhadiran ayah merupakan keadaan dimana ayah biologis, ayah adoptif, atau ayah tiri tidak tinggal bersama dalam satu rumah


(34)

dengan anak. Ketidakhadiran ini dapat disebabkan oleh kematian, perceraian, perpisahan, atau tuntutan pekerjaan.

b. Ayah dapat absen secara menyeluruh, yakni ketika ayah meninggal, dipenjara, atau dengan sengaja meninggalkan.

c. Ayah juga dapat absen secara parsial, yakni apabila ayah pernah tinggal bersama anak namun berpisah karena perceraian atau perisahan orang tua atau tidak pernah menikah dengan ibu namun tetap menjaga relasi dengan anak.

d. Ketidakhadiran ayah dapat terjadi ketika ayah secara teknis hadir namun tidak berperan sebagaimana harusnya.

Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa ketidakhadiran ayah merupakan suatu kondisi dimana anak tidak tinggal bersama ayah dalam satu rumah yang sama sejak masa kanak-kanaknya. Hal ini dapat terjadi karena adanya kematian, perceraian, perpisahan, keperluan pekerjaan yang menuntut ayah bekerja di wilayah yang berjauhan dengan keluarga, atau terpenjaranya ayah. Selain itu, kehadiran ayah yang tidak disertai dengan fungsi atau peran ayah juga dapat dikategorikan sebagai peristiwa ketidakhadiran ayah.


(35)

3. Dampak Ketidakhadiran Ayah pada Remaja Laki-Laki

Berikut ini merupakan dampak-dampak yang dapat terjadi akibat ketidakhadiran ayah :

a. Anak-anak yang mengalami ketidakhadiran ayah cenderung memiliki performa dan nilai akademik yang lebih rendah daripada anak-anak yang tinggal bersama keluarga utuh. Oleh karena itu, kepercayaan diri anak dalam dunia akademik juga tergolong rendah. Selain itu, anak yang hidup tanpa ayah juga lebih sering membolos dan mengalami drop out daripada anak yang tinggal dalam keluarga utuh maupun keluarga tiri (Sigle-Rushton dan McLanahan, 2002; Kruk, 2012).

b. Rohner dan Veneziano (2001), mengungkapkan bahwa ketidakhadiran ayah berdampak pada penarikan diri anak secara sosial maupun emosional. Anak-anak yang hidup tanpa ayah juga cenderung merasa tertekan dan tertolak. Selain itu, anak-anak tersebut dilaporkan memiliki permasalahan dengan teman dan menunjukkan perilaku cemas, takut, tidak bahagia, malu, dan agresif. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakhadiran ayah berdampak pada gangguan perilaku dan gangguan psikologis (Sigle-Rushton dan McLanahan, 2002; Kruk, 2012).

c. Anak-anak yang mengalami ketidakhadiran ayah juga dilaporkan memiliki gangguan dengan kesehatan fisik, seperti psikosomatis, asma, sakit kepala, dan sakit perut. Selain gangguan kesehatan fisik,


(36)

anak-anak yang hidup tanpa ayah juga memiliki masalah dengan kesehatan mental, seperti kecemasan, depresi, dan perilaku bunuh diri (Kruk, 2012).

d. Hal lain yang dapat disebabkan oleh ketidakhadiran ayah adalah penggunaan obat-obatan terlarang, perilaku merokok, dan perilaku minum alkohol pada anak-anak (Kruk, 2012). Hal tersebut memberikan efek jangka panjang pada proses pendidikan di sekolah atau dunia pekerjaan di masa yang akan datang (Sigle-Rushton dan McLanahan, 2002).

e. Ketidakhadiran ayah berdampak pada kenakalan dan tindak kriminalitas yang dilakukan oleh remaja. Para remaja ini juga terancam berhubungan dengan polisi dan masuk penjara (Kruk, 2012).

f. Anak yang hidup tanpa ayah cenderung membangun kehidupan berkeluarga lebih awal daripada anak-anak yang tinggal bersama keluarga utuh. Selain itu, mereka juga memiliki peluang yang lebih besar untuk bercerai dengan pasangannya karena telah melihat kedua orang tuanya bercerai (Kruk, 2012).

g. Anak yang hidup tanpa ayah saat beranjak dewasa cenderung mengalami pengangguran, berpenghasilan rendah, dan homelessness

(Kruk, 2012).

h. Berdasarkan beberapa studi, ketidakhadiran ayah yang disebabkan oleh perceraian atau perpisahan dapat menyebabkan


(37)

ketidakbahagiaan dan ketidakstabilan pada pernikahan yang dijalani remaja di masa yang akan datang (Webster, Orbuch, dan House, 1995; Amato dan Booth, 1997; dalam Sigle-Rushton dan McLanahan, 2002).

i. Dampak lain yang diakibatkan oleh ketidakhadiran ayah adalah rendahnya harga diri serta timbulnya perasaan malu (Lerner, 2011). Menurut Lerner, hal tersebut dipicu oleh stimulus eksternal berupa sindiran-sindiran dari lingkungan sosial yang membuat anak merasa berbeda dengan anak lain yang tinggal dalam keluarga utuh. Lambat laun, banyaknya sindiran maupun pertanyaan mengenai ayah menimbulkan perasaan takut apabila orang lain mengetahui bahwa dirinya mengalami ketidakhadiran ayah. Hal lain yang juga disebabkan oleh ketidakhadiran ayah adalah munculnya duka, perasaan kehilangan, kesepian, dan cemburu (Lerner, 2011).

j. Kematian ayah dapat membuat anak merasa takut dan terganggu. Ia merasa suatu saat akan meninggal. Oleh karena itu, anak berharap ibu dapat memberikan rasa aman pada dirinya. Namun ibu justru kesulitan memperhatikan anak karena waktu ibu hampir habis untuk bekerja dan mengurus rumah tangga (Gunarsa, 2008)

Menurut Sigle-Rushton dan McLanahan (2002), munculnya dampak-dampak ketidakhadiran ayah di atas dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah lamanya anak mengalami ketidakhadiran ayah. Sigle-Rushton dan McLanahan (2002) berasusmsi bahwa semakin


(38)

lama seorang anak mengalami ketidakhadiran ayah, semakin besar pula dampak negatif yang mungkin dihasilkan. Meskipun demikian, beberapa penemuan mengungkapkan bahwa faktor tersebut dan menunjukkan sedikit variasi dan insignifikansi. Hal ini dapat terjadi karena sampel keluarga yang digunakan sebagai subjek penelitian sulit digeneralisasikan dengan populasi.

Hal lain yang mempengaruhi munculnya dampak-dampak ketidakhadiran ayah adalah penyebab fenomena ketidakhadiran ayah, yakni perceraian, perpisahan, atau meninggalnya ayah. Menurut Sigle-Rushton dan McLanahan (2002) ketidakhadiran ayah yang disebabkan oleh perceraian atau perpisahan memiliki dampak negatif yang lebih besar daripada ketidakhadiran ayah yang disebabkan oleh meninggalnya ayah. Hal ini terjadi karena perginya ayah secara voluntir dari keluarga membuat anak merasa ditelantarkan (Rogers dan Pryors, 1998 dalam Sigle-Rushton dan McLanahan, 2002). Lang dan Zagorsky (2001) dalam Sigle-Rushton dan McLanahan (2002) mengungkapkan bahwa anak yang mengalami ketidakhadiran ayah akibat perceraian atau meninggalnya ayah akan mengalami dampak negatif yang sama pada kemampuan kognitif, pendidikan di sekolah, maupun penghasilan selama waktu berpisah dengan ayah dikontrol. Hal yang berbeda dari keduanya hanyalah keinginan untuk menikah dimana anak yang ayahnya meninggal kurang tertarik untuk menikah.


(39)

Selain itu, Sigle-Rushton dan Mclanahan (2002) juga mengungkapkan bahwa dampak-dampak ketidaan ayah di atas juga dipengaruhi oleh faktor kurangnya sosialisasi. Ketika seorang anak dibesarkan dengan orang tua yang utuh, anak dapat mempelajari kemampuan interpersonal seperti komunikasi, kerja sama, dan penyelesaian masalah. Akan tetapi, anak yang dibesarkan tanpa kehadiran ayah tidak memiliki kesempatan yang sama untuk belajar dari kedua orang tuanya.

Di sisi lain, Santrock (2003) mengungkapkan beberapa faktor yang mempengaruhi remaja dalam menyikapi ketidakhadiran ayah, seperti berikut ini :

a. Usia dan perubahan perkembangan

Pada masa kanak-kanak, anak memiliki keterbatasan kognisi dan sosial sehingga mereka memiliki sedikit ingatan mengenai ketakutan atau konflik orang tua mereka saat remaja. Meskipun demikian, beberapa anak terus menunjukkan kemarahan karena tidak dapat tumbuh dalam keluarga utuh yang tidak bercerai.

b. Konflik

Remaja yang keluarganya bercerai namun memiliki konflik yang rendah dapat berfungsi lebih baik daripada remaja dalam keluarga bercerai yang memiliki konflik tinggi (Black & Pedro-Carrol, 1993; Rutter, 1983; Wallerstein, 1989 dalam Santrock, 2003).


(40)

c. Jenis kelamin anak dan sifat dasar perwalian

Pada beberapa penelitian, anak yang tinggal dengan orang tua berjenis kelamin sama ditemui memiliki kecakapan sosial dan harga diri yang lebih baik, lebih bahagia, lebih bebas, dan lebih dewasa (Santrock & Warshack, 1979, 1986, dalam Santrock, 2003). Akan tetapi, Buchanan, Maccoby, dan Dornbusch (1992) dalam Santrock (2003) mengungkapkan bahwa remaja lebih baik tinggal bersama dengan ibu atau wali ganda daripada bersama ayah. Hal ini dapat disebabkan oleh kedekatan dan perhatian yang diberikan orang tua wali pada remaja.

d. Pendapat dan tekanan ekonomi

Keadaan ekonomi pada keluarga dengan ibu sebagai orang tua tunggal lebih buruk daripada keluarga dengan ayah sebagai orang tua tunggal. Oleh karena itu, keluarga dengan ibu sebagai orang tua tunggal cenderung mengalami tekanan ekonomi.

Berdasarkan keempat hal tersebut, Santrock (2003) mengungkapkan bahwa ketidakhadiran ayah hanyalah salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan remaja. Adanya sistem pendukung, seperti teman, hubungan positif antara ibu dengan ayah yang telah meninggalkan keluarga, pengasuhan autoritatif, ekonomi yang baik, serta kemampuan-kemampuan remaja menjadi faktor yang mendukung keberhasilan remaja dalam beradaptasi dengan kondisi keluarganya.


(41)

B. Remaja

1. Definisi Remaja

Menurut Santrock (2003), masa remaja merupakan masa transisi dari kanak-kanak menuju dewasa. Sarwono (2011) mengungkapkan bahwa dalam masyarakat Indonesia seseorang yang berusia 11-24 tahun, masih menggantungkan diri pada orang tua, dan belum menikah dapat disebut sebagai remaja. Pada masa ini remaja mengalami banyak perubahan pada aspek fisik, kognitif, dan sosioemosinya (Santrock, 2014). Perubahan pada aspek fisik ditandai dengan adanya kematangan fungsi seksual sedangkan pada aspek kognitif ditandai dengan berkembangnya proses berpikir abstrak remaja. Selain itu, remaja juga berkembang secara sosioemosi menjadi pribadi yang independen.

Masa remaja terbagi menjadi tiga periode, yaitu remaja awal, madya, dan akhir. Menurut Santrock (2014), masa remaja awal didominasi dengan perubahan fisik, seperti pubertas dan munculnya dorongan seksual. Pada masa remaja madya, remaja cenderung bersifat narcistic, membutuhkan kehadiran teman-teman di sekitarnya, dan mengalami banyak kebingungan dalam mengambil keputusan (Sarwono, 2011). Lain halnya dengan masa remaja akhir yang didominasi dengan ketertarikan remaja pada karir, relasi dengan lawan jenis, serta eksplorasi identitas (Santrock, 2014)

Berdasarkan pengertian di atas, disimpulkan bahwa masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju kedewasaan yang disertai dengan perubahan-perubahan pada fisik, kognitif, dan sosioemosi.


(42)

Masa remaja berlangsung pada usia 11 sampai dengan 24 tahun yang terbagi menjadi tiga periode, yaitu masa remaja awal, madya, dan akhir. Masa remaja awal didominasi dengan pubertas sedangkan masa remaja madya didominasi dengan perkembangan kognitif dan ketertarikan untuk menjalin relasi dengan teman sebaya. Di sisi lain, masa remaja akhir yang didominasi dengan persiapan menuju masa dewasa.

2. Perkembangan Fisik Remaja

Menurut Berk (2012), masa remaja, ditandai dengan pubertas, yaitu pertumbuhan tubuh secara keseluruhan dan kematangan seksual. Pertumbuhan tubuh secara keseluruhan ini ditandai dengan bertambahnya massa tubuh dan tinggi badan remaja. Selain itu, otot-otot mereka pun makin kuat dan besar. Oleh karena itu, para remaja, khususnya remaja laki-laki semakin kuat, cepat, dan aktif dalam melakukan kegiatan motorik kasar yang kompleks, seperti olahraga gulat, angkat beban, tennis, golf, dan lain sebagainya.

Perkembangan fisik yang juga dialami remaja adalah kematangan seksual. Kematangan seksual ini terjadi pada karakteristik seksual primer remaja, misalnya organ-organ reproduksi seperti penis dan testis pada remaja laki-laki. Oleh karena hal tersebut, kini remaja laki-laki mampu berejakulasi, menghasilkan spermatozoa, dan bereproduksi. Hal lain yang turut berkembang adalah karakteristik seksual sekunder remaja, misalnya, munculnya rambut di sekitar ketiak dan daerah kelamin laki-laki.


(43)

Perubahan fisik yang dialami remaja laki-laki membuat mereka merasa terkejut karena tidak siap menghadapi perubahan yang terjadi pada dirinya meskipun sebelumnya telah mencari informasi terkait pubertas dari bahan bacaan (Berk, 2012). Oleh karena itu, remaja perlu menerima keadaan fisik dirinya sendiri (Jahja, 2011). Harter (2006) dalam Berk (2012) mengungkapkan bahwa dengan memiliki citra tubuh yang baik, remaja dapat menghargai dirinya dengan baik. Selain itu, remaja juga perlu menerima peran jenis kelamin dan fungsi seksualnya serta memanfaatkan kemampuan tubuhnya secara efektif (Sarwono, 2011). Misalnya, remaja laki-laki berperilaku sebagaimana laki-laki seharusnya.

Dampak lain dari pubertas adalah munculnya dorongan seks dan familiaritas remaja terhadap hal-hal terkait seksualitas. Hal-hal tersebut dapat mendorong remaja melakukan hubungan seks dengan orang lain. Oleh karena itu, pendidikan mengenai seksualitas sangat diperlukan oleh remaja. Media-media seperti buku, majalah, film, TV, dan internet dapat memberikan informasi tentang seksualitas pada remaja Selain itu, informasi mengenai seksualitas dapat diperoleh dari orang tua, khususnya ayah yang juga mengalami pubertas seperti remaja laki-laki (Price, 2007). Meskipun demikian, banyak orang tua yang menghindari pembicaraan mengenai seksualitas kepada anak remaja mereka (Berk, 2012). Padahal pembicaraan yang terbuka antara orang tua dengan remaja mengenai seksualitas dapat mencegah terjadinya seks bebas.


(44)

3. Perkembangan Kognitif Remaja

Menurut Piaget dalam Berk (2012), kognisi remaja telah mencapai tahap formal operasional. Pada tahap ini, remaja telah mampu berpikir secara abstrak, sistematis, dan kritis. Piaget juga menyatakan bahwa remaja telah mampu berpikir dengan penalaran hipotetis-deduktif. Artinya, remaja mampu memprediksikan hal-hal yang mungkin terjadi pada berbagai peristiwa yang dihadapinya. Selain itu, remaja juga mampu memadukan prediksi yang mereka miliki dengan hal lain yang mungkin mempengaruhi persoalan tersebut secara logis. Oleh karena itu, remaja mampu menyelesaikan masalah yang ia hadapi dengan berpikir logis.

Kemampuan remaja yang terus meningkat dalam menyelesaikan permasalahan juga diakui oleh Case (1998); Kuhn dan Franklin (2006); Luna et al. (2004) dalam Berk (2012). Meskipun demikian, remaja juga cukup sering melakukan kesalahan dalam mengambil keputusan. Hal ini terjadi karena mereka hanya mempertimbangkan efek jangka pendek dan melupakan efek jangka panjang dari keputusannya. Akan tetapi, dengan terus belajar dari kegagalannya, remaja mampu mengambil keputusan dengan semakin baik.

Selain itu, remaja juga mengalami perkembangan kognisi sosial, yakni cara remaja memandang hubungan antara diri mereka dengan orang lain (Santrock, 2014). Dalam hal ini, remaja memiliki egosentrisme yang cukup tinggi. Misalnya, remaja yakin bahwa diri mereka menjadi pusat perhatian dari lingkungan sekitarnya. Egosentrisme remaja juga


(45)

ditunjukkan oleh keyakinan bahwa diri mereka unik dan kebal sehingga mereka berpandangan bahwa tak seorang pun dapat memahami mereka. Remaja juga cukup dikenal dengan pemikiran idealis dan kritisnya (Berk, 2012). Oleh karena itu, remaja sering membayangkan dunia ideal mereka dan mencoba mewujudkan hal tersebut. Hasilnya remaja sering membuat dunia ideal mereka tanpa mempertimbangkan kepentingan orang di sekitarnya. Hal inilah yang kemudian dapat memicu konflik dengan orang dewasa, misalnya orang tua.

Berkaitan dengan hal tersebut, Price (2007) mengungkapkan bahwa remaja laki-laki perlu menyadari bahwa dirinya bukanlah pusat dari segala hal melainkan bagian dari komunitas. Dengan demikian, remaja laki-laki dapat belajar betanggung jawab serta menghargai diri sendiri dan lingkungan sosialnya serta membuat keputusan yang baik bagi dirinya.

Menurut Berk (2012), lingkungan pendidikan yang positif dapat membantu remaja untuk berprestasi, memiliki kecerdasan yang baik, kepercayaan diri, dan keinginan untuk berhasil. Dalam hal ini, orang tua yang mengasuh anaknya secara autoritatif, yaitu orang tua yang bersikap hangat, terbuka, namun juga tetap terlibat mengawasi anaknya cenderung mendorong remaja untuk dapat berpikir reflektif dan mampu meregulasi diri dengan baik. Selain keluarga, kerja sama orang tua dengan pihak sekolah, seperti guru, serta dukungan dari teman sebaya juga dapat menolong remaja untuk memiliki prestasi akademik dengan baik.


(46)

4. Perkembangan Sosioemosi Remaja a. Pemahaman Diri

Erikson dalam teori psikososialnya menyebutkan bahwa tugas perkembangan remaja yang utama adalah menemukan jati diri dan tujuan hidup (Berk, 2012). Oleh karena itu, remaja perlu diberikan kesempatan untuk mengeksplorasi berbagai peran dan peristiwa, baik dalam pekerjaan, hubungan antar pribadi, keterlibatan dalam masyarakat, dan sebagainya sebelum menemukan jati diri dan tujuan hidup mereka. Dengan demikian, remaja mampu menggabungkan seluruh pengalaman-pengalaman yang pernah ia alami dengan sifat-sifat yang melekat dalam dirinya menjadi sebuah identitas.

Keberhasilan remaja dalam mengeksplorasi berbagai peran akan menghasilkan identitas yang positif (Santrock, 2003). Identitas yang positif ditandai dengan perasaan nyaman terhadap diri, keyakinan atas diri, serta kemampuan untuk memahami tujuan hidup (Erikson, 1968 dalam Berk, 2012). Di sisi lain, remaja yang gagal menyelesaikan tugas perkembangan ini akan mengalami kebingungan identitas dan membentuk identitas negatif. Misalnya, remaja menjadi tidak terarah, tidak memahami tujuan hidupnya, dan tidak siap dalam menghadapi tantangan psikologis pada tahapan perkembangan selanjutnya.

Pada tahapan perkembangan ini, pandangan remaja mengenai konsep diri menjadi semakin kompleks dan terus berkembang. Remaja mulai memiliki banyak pemahaman tentang dirinya. Misalnya


(47)

pemahaman tentang kelemahan maupun kelebihan diri.

Sisi evaluatif konsep diri disebut dengan harga diri. Keberhargaan diri pada remaja dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti relasi pertemanan, daya tarik, dan kompetensi yang dimiliki. Remaja yang memiliki prestasi akademik, kemampuan atletik, dan relasi pertemanan yang baik cenderung memiliki harga diri yang baik pula. Menurut Berk (2012), harga diri yang baik membuat remaja memiliki kesadaran serta kemampuan adaptasi dan sosial yang baik. Sedangkan remaja dengan harga diri yang rendah cenderung memiliki kesulitan dalam beradaptasi.

Hal lain yang mempengaruhi harga diri remaja adalah pola pengasuhan orang tua. Orang tua dengan pola pengasuhan autoritatif cenderung membentuk harga diri yang tinggi. Di sisi lain, orang tua yang sering mengkritisi dan merendahkan anaknya membentuk remaja dengan harga diri yang rendah. Konsep diri dan keberhargaan diri remaja turut membentuk identitas personal mereka.

b. Perkembangan Moral

Menurut Sarwono (2011), moral berkaitan dengan segala hal baik yang perlu dilakukan dan hal buruk yang sebaiknya tidak dilakukan. Hal lain yang terkait dengan moral adalah religi, agama, tata krama, sopan santun, dan norma-norma masyarakat.


(48)

Berdasarkan teori psikoanalisa Freud dalam Sarwono (2011), moral dijelaskan dengan konsep superego yang berfungsi untuk mengatur seseorang agar bertindak sesuai dengan norma. Superego terbentuk karena proses internalisasi ajaran-ajaran, perintah, maupun larangan yang diberikan orang tua atau masayarakat. Dalam hal ini, ayah berperan penting dalam menanamkan moral pada anak-anaknya (Santrock, 2003).

Berbeda dengan Kohlberg yang mengungkapkan bahwa pemahaman moral ditentukan oleh cara individu melakukan penalaran (Berk, 2012). Pada tingkatan pertama, yaitu prakonvensional, moralitas seseorang dikendalikan oleh pihak eksternal. Tingkatan moral ini sering dijumpai pada usia remaja awal. Tingkatan kedua disebut dengan konvensional dimana moralitas didasarkan pada usaha untuk memelihara keteraturan sosial. Tingakatan kedua sering ditemui pada remaja pertengahan. Sedangkan pada tingkatan terakhir, yaitu pascakonvensional, moralitas seseorang didasarkan pada nilai kemanusiaan yang berlaku secara universal.

Perkembangan penalaran moral remaja dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Orang tua yang mampu mendiskusikan ajaran moral secara terbuka dapat mengembangkan moralitas yang tinggi pada remaja (Leman, 2005 dalam Berk, 2012). Di sisi lain, orang tua yang menyampaikan pelajaran moral secara satu arah dan penuh ancaman cenderung menghambat perkembangan penalaran moralitas remaja


(49)

(Walker dan Taylor, 1991 dalam Berk, 2012).

Selain itu, sekolah juga turut berpartisipasi dalam perkembangan penalaran moral remaja. Adanya kesempatan untuk bertemu orang lain dengan berbagai latar belakang budaya memungkinkan remaja untuk memiliki pandangan yang luas terhadap masalah sosial. Selain itu, diskusi terbuka dengan teman sebaya juga memungkinkan remaja untuk mengkritisi masalah sosial di sekitar mereka. Percakapan dengan teman yang seusia dapat membentuk konsep bahwa kehidupan sosial dapat didasarkan pada kesetaraan daripada sekedar ketaatan pada otoritas.

Menurut Berk (2012), perkembangan moral juga turut dipengaruhi oleh budaya setempat. Budaya kolektivis yang sangat menghargai interdependensi cenderung mengedepankan kepedulian terhadap sesama dalam kasus moralitas. Hal lain yang juga turut mempengaruhi moralitas remaja adalah agama. Remaja yang terlibat aktif dengan kegiatan keagamaan dan mendapatkan pendidikan keagamaan cenderung terlibat dalam tindakan prososial

c. Penipean Gender

Peran gender seseorang ditentukan oleh jenis kelamin dan lingkungan yang mempengaruhinya, misalnya orang tua (Sarwono, 2011). Dalam masyarakat tradisional, seorang perempuan cenderung mengembangkan sisi femininitas, seperti mengasihi, bersahabat,


(50)

rendah diri, dan suka menolong (Santrock, 2003 dan Berk, 2012). Begitu pula sebaliknya laki-laki. Mereka cenderung berkembang menjadi figur yang maskulin yang memiliki sikap dominan, percaya diri, mandiri, agresif, ambisisus, kompetitif, dan fokus pada kemampuan untuk bertahan (Santrock, 2003 dan Berk, 2012).

Akan tetapi dalam masyarakat modern, seorang perempuan maupun laki-laki dapat menjadi androgini dimana mereka memiliki sifat maskulin dan juga feminin. Misalnya saja suami dapat pergi berbelanja ketika istrinya sibuk atau seorang perempuan berprofesi sebagai pilot pesawat terbang yang identik sebagai profesi maskulin (Sarwono, 2011). Berk mengungkapkan bahwa remaja androgini lebih sehat secara psikologis, lebih percaya diri, lebih mau mengungkapkan pendapat, dan disukai teman sebaya. Selain itu, mereka juga dapat menjadi undifirentiated dimana mereka kurang menunjukkan sisi maskulin maupun feminin (Sarwono, 2011)

d. Relasi dengan Keluarga

Pada tahapan remaja awal, remaja memiliki emosi yang labil (Berk, 2012). Salah satu hal yang menyebabkan gejolak ketidakstabilan emosi remaja adalah konflik peran sosial (Sarwono, 2011). Di satu sisi, remaja ingin bertindak mandiri seperti orang dewasa namun mereka juga perlu mematuhi orang tua. Akibatnya, remaja sering berkonflik dengan orang tua. Oleh karena itu, orang tua


(51)

perlu memahami gejolak emosi remaja serta menerima kondisi bahwa remaja bukanlah anak-anak lagi melainkan individu yang telah bertambah dewasa dan lebih senang untuk menghabiskan waktu bersama teman sebayanya daripada bersama keluarga.

Dalam hal ini, ayah sebagai laki-laki dewasa dalam keluarga sangat diperlukan perannya dalam membimbing remaja laki-laki (Price, 2007). Ayah dapat menghabiskan waktu bersama remaja laki-laki untuk berakitivitas bersama, berbagi pengalaman hidup, memberikan arahan yang positif dan membangun, atau pun berdiskusi mengenai hal tertentu, seperti cara-cara mengambil keputusan.

Apabila keluarga dapat berfungsi dengan baik, maka remaja akan merasakan kebebasan sekaligus lekat dengan orang tua (Steinberg dalam Berk, 2012). Dengan demikian tugas perkembangan remaja untuk mencapai kedewasaan yang mandiri, percaya diri, dan mampu menghadapi kehidupan dapat tercapai.

e. Relasi dengan Teman Sebaya

Dalam relasi sosial, para remaja awal lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman-teman sebaya mereka (Berk, 2012). Remaja ingin memiliki keintiman, rasa saling mempercayai, dan sikap saling memahami dalam persahabatan yang terjalin antara dirinya dengan teman sebaya. Selain itu, remaja juga ingin temannya bersikap setia kepadanya. Oleh karena itu, seiring waktu, remaja semakin terbuka


(52)

dan memiliki kesamaan dengan teman-temannya. Meskipun demikian, mereka tetap menghargai kebebasan dan otonomi temannya.

Menurut Berk (2012), relasi pertemanan yang terjadi antara remaja laki-laki berbeda dengan remaja perempuan. Remaja laki-laki cenderung berkumpul karena aktivitas tertentu, seperti olahraga atau pertandingan sedangkan remaja perempuan berkumpul untuk berbicara dan membuka diri. Oleh karena itu, pertemanan remaja laki-laki lebih menekankan pada pencapaian dan status sedangkan remaja perempuan menekankan kedekatan emosional satu sama lain.

Kedekatan remaja dengan beberapa teman berakibat pada terbentuknya sebuah kelompok kecil yang disebut clique. Kelompok kecil tersebut dapat mempengaruhi nilai, keyakinan, dan perilaku remaja baik secara positif maupun negatif. Dampak positif yang dapat ditimbulkan clique adalah meningkatnya kemampuan akademis remaja sedangkan dampak negatif yang mungkin terjadi adalah penggunaan obat-obat terlarang pada remaja.

Teman sebaya memiliki pengaruh yang besar terhadap diri remaja. Ketika teman sebaya memiliki suatu gagasan, remaja cenderung memihak temannya. Hal tersebut terjadi karena adanya konformitas pada relasi pertemanan remaja. Menurut Sim (2000) dalam Berk (2012), pengasuhan autoritatif menyebabkan resistensi remaja terhadap konformitas sehingga remaja lebih memilih untuk mematuhi orang tua mereka. Sedangkan pengasuhan yang permisif


(53)

dan otoriter memicu konformitas remaja pada teman sebaya mereka. Oleh karena itu, remaja dengan pengasuhan permisif dan otoriter lebih sering membantah orang tua, mengabaikan tugas sekolah, dan memiliki masalah perilaku.

f. Relasi Romantis

Santrock (2014), menjelaskan bahwa pada masa remaja awal, remaja mulai tertarik untuk menjalin relasi romantis karena pengaruh pubertas sedangkan pada masa remaja madya, remaja mulai mencoba untuk menjalin relasi romantis meskipun hanya berlangsung sementara. Lain halnya dengan masa remaja akhir dimana remaja membangun relasi romantis yang melibatkan ikatan emosional, lebih serius, dan berlangsung lebih lama.

Menurut Cheng, dkk. (2012) dan Holloway, dkk. (2012) dalam Santrock (2014), budaya mempengaruhi pola relasi romantis remaja. Dalam hal ini, nilai sosial, agama, dan tradisi cukup menentukan kapan remaja menjalin relasi romantis, kebebasan dalam relasi romantis, dan peran laki-laki serta perempuan dalam relasi romantis.

g. Masalah Perkembangan

Selama masa perkembangannya, remaja dapat mengalami masalah, seperti menjadi orang tua dini dan penyalahgunaan obat-obatan. Selain itu, masalah-masalah perkembangan seperti depresi,


(54)

bunuh diri, dan kenakalan remaja juga dapat terjadi pada remaja. Menurut Berk (2012), masalah tersebut dapat terjadi karena faktor perceraian orang tua, perpisahan orang tua, putusnya pertemanan atau hubungan asmara, kekerasan, pengabaian, dan kesulitan ekonomi.

C. Teori Perkembangan 1. Perkembangan

Perkembangan merupakan pola perubahan yang berlangsung sepanjang masa hidup manusia (Santrock, 2011). Baltes dalam Santrock (2011), mengungkapkan bahwa perkembangan memiliki beberapa karakteristik, seperti berikut ini:

a. Berlangsung seumur hidup.

b. Bersifat multidimensi dimana perkembangan melibatkan interaksi biologis, kognitif, dan sosioemosi.

c. Bersifat multiarah dimana satu dimensi dapat berkembang sedangkan dimensi yang lain menurun.

d. Bersifat plastis dimana kapasitas seseorang masih dapat berubah. e. Bersifat multidisiplin yang melibatkan berbagai disiplin ilmu. f. Bersifat kontekstual yang melibatkan berbagai konteks seperti

keluarga, sekolah, teman sebaya, lingkungan sekitar, dan lain-lain. g. Perkembangan manusia melibatkan pertumbuhan, pemeliharaan,

dan regulasi terhadap kehilangan.


(55)

2. Teori Ekologi

Dalam teori ekologinya, Bronfenbrenner menyatakan bahwa perkembangan seseorang dipengaruhi oleh sistem lingkungannya. Berikut merupakan macam-macam sistem lingkungan menurut Bronfenbrenner dalam Santrock (2008) :

a. Microsystem

Microsystem merupakan tempat dimana individu hidup, misalnya keluarga, sekolah, dan teman-teman sebaya.. Dalam lingkup

microsystem, seorang remaja dapat berinteraksi secara langsung dengan orang tua, teman-teman sebaya, maupun gurunya. Dalam lingkup ini pula, seorang remaja mendapatkan banyak pengalaman serta berpartisipasi untuk membangun microsystem yang dimilikinya.

b. Mesosystem

Mesosystem merupakan hubungan antar microsystem, misalnya hubungan antara pengalaman remaja dalam keluarga dengan pengalaman remaja saat di sekolah.

c. Exosystem

Exosystem merupakan hubungan antara lingkup sosial yang tidak diperankan individu dengan lingkup sosial yang dekat dengan individu. Misalnya, pengalaman remaja di rumah dapat dipengaruhi oleh pengalaman ayah di tempat kerja. Dalam hal ini, keperluan pekerjaan yang menuntut ayah bepergian dapat memicu konflik


(56)

antara ayah dengan ibu serta mempengaruhi interaksi dengan remaja.

d. Macrosystem

Macrosystem meliputi kebudayaan dimana individu tinggal. Dalam hal ini, budaya merupakan pola perilaku, keyakinan, serta hal lain yang dihasilkan oleh sekelompok orang dan diwariskan turun-temurun.

e. Chronosystem

Chronosystem merupakan peristiwa lingkungan yang terpola dan transisi antar masa kehidupan. Misalnya, peristiwa perceraian yang memberikan efek negatif pada anak di tahun pertama setelah perceraian namun pada tahun kedua keluarga mulai menjadi stabil.

D. Dinamika Perkembangan Remaja Laki-Laki yang Dibesarkan Tanpa Kehadiran Ayah

Ayah memiliki peran penting dalam keluarga. Menurut Gunarsa (2004) serta Riley dan Shalala (2000), ayah berperan sebagai financial support yang mencari nafkah demi kelangsungan hidup keluarga sekaligus memberikan teladan kepada anak untuk melakukan tanggung jawab secara rutin dan tanpa paksaan. Selain itu, ayah juga berperan memberikan emotional support bagi ibu, yakni partner ayah dalam mengasuh anak dan mengurus rumah tangga. Peran lain yang juga dimiliki ayah dalam keluarga adalah menjadi role model


(57)

cara menyelesaikan masalah, serta memberikan model peran gender laki-laki bagi anak laki-laki. Tugas lain yang melekat pada ayah adalah terlibat dalam pendidikan anak serta melindungi dan mengasihi keluarganya.

Akan tetapi, tidak semua ayah dapat berperan dengan baik dalam keluarga. Meninggalnya ayah, perceraian atau perpisahan orang tua, kepergian ayah karena urusan pekerjaan di wilayah yang berjauhan, terpenjaranya ayah, atau ketidakberfungsian ayah dalam keluarga menyebabkan ayah tidak dapat hadir dan menjalankan perannya dalam keluarga.

Ketidakhadiran ayah dalam keluarga dapat berarti peran pencari nafkah dalam keluarga hilang sehingga keluarga mengalami kesulitan ekonomi (Santrock, 2003). Ketidakhadiran ayah sebagai pencari nafkah juga membuat remaja laki-laki kehilangan teladan yang menunjukkan pentingnya bertanggung jawab. Padahal remaja laki-laki perlu belajar bertanggung jawab serta mengeksplorasi peran-peran, khususnya peran terkait karir dan pekerjaan. Dengan demikian, ketidakhadiran ayah pada remaja laki-laki dapat menyebabkan remaja kesulitan dalam dunia pekerjaan (Kruk, 2012).

Ketidakhadiran ayah dalam keluarga juga berdampak pada hilangnya pendamping ibu dalam melakukan tugas kerumahtanggan, perawatan, pengasuhan, dan pendidikan anak. Hal ini membuat ibu kelelahan karena harus bekerja sekaligus mengurus tugas rumah tangga seorang diri. Hal tersebut juga membuat ibu kekurangan waktu dan tenaga untuk memperhatikan anak remajanya (Gunarsa, 2004). Apabila hal ini terjadi,


(58)

kesempatan remaja laki-laki untuk mendapatkan kasih sayang, bimbingan, dan pengawasan dari orang tua juga turut berkurang sehingga mereka dapat terjebak pada kenakalan-kenakalan remaja dan merasakan ketidakbahagiaan.

Selain itu, ketidakhadiran ayah mengakibatkan hilangnya role model bagi remaja laki-laki dalam keluarga, baik dalam perilaku keseharian, proses pengambilan keputusan, cara menyelesaikan masalah, dan peran gender laki-laki. Akibatnya remaja laki-laki akan kesulitan memahami peran laki-laki yang mandiri dalam menyelesaikan masalah, peran laki-laki dalam hubungannya dengan teman sesama jenis maupun lawan jenis, dan sebagainya.

Dampak lain yang diakibatkan oleh ketidakhadiran ayah adalah tidak adanya figur otorita yang mendidik, melindungi, sekaligus mengasihi keluarga. Oleh karena hal tersebut, remaja laki-laki dapat kehilangan edukasi mengenai hal-hal terkait pubertas, seperti perubahan seksual primer dan sekunder yang cukup mengejutkan remaja laki. selain itu, remaja laki-laki juga kehilangan peran ayah yang mengedukasi hal-hal terkait seksualitas laki-laki serta sistem nilai dan norma. Akibatnya, remaja laki-laki mungkin melakukan hubungan seks lebih awal, terlibat kenakalan-kenakalan remaja (Kruk, 2012).


(59)

Skema 2.1 Kerangka Berpikir

Ayah

Tidak hadir Hadir

Penyebab ketidakhadiran ayah : Kematian, perpisahan, perceraian orang tua, keperluan pekerjaan di wilayah berjauhan, terpenjaranya ayah, ketidakberfungsian ayah

Remaja Laki-Laki Berperan sebagai :

financial support, emotional support,

role model, figur otorita, pelindung,

mengasihi

Dampak ketidakhadiran ayah : Performa akademik rendah, gangguan perilaku, gangguan psikologis, gangguan kesehatan fisik, kenakalan remaja, tindakan kriminalitas, penyalahgunaan obat-obatan, pernikahan dini, kesejahteraan psikolgis yang rendah, kesulitan dalam pekerjaan

Keterangan : : Hilang

: Perkembangan terganggu

: Ada


(60)

39 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dimana peneliti mencoba memahami permasalahan individu atau kelompok sosial dengan mengumpulkan data-data spesifik dari responden, kemudian menganalisanya secara induktif, dan menginterpretasi data sehingga menjadi bermakna (Creswell, 2014). Creswell (2014) juga menyatakan bahwa penelitian kualitatif bertujuan menggambarkan suatu permasalahan secara menyeluruh. Oleh karena itu, penelitian kualitatif tidak fokus pada hubungan sebab-akibat namun melihat berbagai faktor terkait permasalahan yang diteliti. Selain itu, penelitian kualitatif dilakukan dalam lingkungan alamiah sehingga peneliti dapat mengumpulkan data dengan berbicara dan mengamati responden secara langsung dalam lingkungan mereka (Creswell, 2014).

Penelitian ini didesain dengan format deskriptif yang didasari oleh paham fenomenologis dan postpositivisme (Bungin, 2011). Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan mendeskripsikan berbagai fenomena realita sosial secara menyeluruh dengan menemukan ciri, karakter, sifat, model, tanda, maupun deskripsi mengenai fenomena tersebut.


(61)

B. Fokus Penelitian

Penelitian ini menekankan pada pendeskripsian perkembangan remaja laki-laki yang dibesarkan tanpa kehadiran ayah. Hal-hal yang dideskripsikan terkait aspek perkembangan kognitif remaja laki-laki yang dibesarkan tanpa kehadiran ayah, seperti persepsi dan idealisme remaja laki-laki terhadap ayah dan laki-laki secara umum serta cara penyelesaian masalah dimana remaja laki-laki tidak mendapatkan teladan dari ayah dalam menyelesaikan masalah. Selain itu, peneliti juga berfokus pada aspek perkembangan sosioemosi remaja laki-laki yang dibesarkan tanpa kehadiran ayah, seperti identifikasi peran laki-laki secara umum, perkembangan moral, relasi dengan ibu, dan relasi dengan laki-laki. Hal lain yang juga diteliti adalah keadaan ekonomi keluarga yang merupakan keadaan dari lingkup microsystem remaja laki-laki. Pada penelitian ini, peneliti tidak meneliti aspek perkembangan fisik remaja laki-laki secara spesifik. Hal ini dikarenakan peran ayah pada remaja laki-laki lebih mengarah kepada aspek sosioemosi remaja.

C. Responden

1. Teknik Pemilihan Responden

Dalam penelitian ini, peneliti membutuhkan responden dengan kriteria-kriteria khusus. Oleh karena itu, pemilihan responden dilakukan dengan metode purposefully selected, yaitu pemilihan responden yang dilakukan untuk situasi khusus dan dengan tujuan yang spesifik sehingga dapat menjawab pertanyaan penelitian (Creswell, 2014).


(62)

2. Kriteria Responden

Penelitian ini menggunakan tiga orang responden yang dipilih dengan dengan kriteria sebagai berikut :

a. Remaja berusia 11-24 tahun b. Berjenis kelamin laki-laki.

c. Tidak tinggal serumah dengan ayah sejak masa kanak-kanak oleh karena kematian, perceraian, perpisahan, keperluan pekerjaan yang menuntut ayah bekerja di wilayah yang berjauhan dengan keluarga, atau terpenjaranya ayah.

Kriteria pertama dan kedua dipilih karena peneliti tertarik untuk meneliti fenomena ketidakhadiran ayah pada remaja laki-laki yang sedang dalam pencarian identitas diri dan membutuhkan role model seorang laki-laki dari ayahnya. Sedangkan kriteria ketiga ditetapkan karena peneliti ingin menggambarkan fenomena ketidakhadiran ayah yang disebabkan oleh kematian, perceraian, dan perpisahan orang tua.

E. Metode Pengumpulan Data

Data-data penelitian ini dikumpulkan dengan metode wawancara. Metode wawancara dalam penelitian kualitatif dapat berupa percakapan tatap muka antara peneliti dengan responden. Kegiatan wawancara bertujuan untuk mendapatkan pandangan maupun opini responden sehingga peneliti


(63)

menggunakan pertanyaan terbuka selama proses wawancara (Creswell, 2014). Sedangkan teknik wawancara yang digunakan adalah teknik wawancara semi terstruktur. Menurut Smith (2015), teknik wawancara semi terstruktur memungkinkan peneliti untuk mengubah urutan pertanyaan sesuai dengan respon responden. Selain itu, peneliti juga dapat memberikan probing sesuai dengan hal penting yang muncul atau ketertarikan responden.

1. Wawancara Responden

Peneliti mewawancarai responden terkait aspek perkembangan kognitif dan sosioemosi. Hal ini dikarenakan peran ayah lebih dominan pada aspek perkembangan tertentu, yaitu sosioemosi. Berikut ini pertanyaan yang digunakan sebagai pedoman wawancara terhadap responden :

Tabel 3.1 Pedoman Wawancara Responden

Apek Pertanyaan

Kognitif Bagaimana kamu memandang ayahmu? Menurutmu ayah yang ideal itu seperti apa?

Bagaimana dirimu memandang figur laki-laki pada umumnya?

Bagaimana caramu menanggapi permasalahan?

Sosioemosi Apa yang kamu rasakan ketika dibesarkan tanpa ayah? Bagaimana relasimu dengan laki-laki?

Siapa yang menjadi kepala keluarga di dalam rumah? Apa saja perannya sebagai kepala keluarga?

Siapa yang bertugas mencari nafkah dalam keluarga? Bagaiamana keadaan finansial keluargamu?


(1)

239 913

914 915 916 917 918 919 920 921 938 939 940 941 942 943 944 945 946 947 948 949 950 951 952 953 954 955 956 957 958 959 960

I I-Rn

: :

tekan, marah besar waktu itu. Saya bilang, saya mau serahkan ke sekolah untuk bisa menangani semua ini atau saya ke Perlindungan Anak dengan nama sekolah jatuh. Dia masih terlalu kecil, anak SD segitu untuk ditodongkan.. Benar-benar pistol, bukan mainan Mbak. Ini yang siapa Ibu?

Gustav. Waaa.. saya jadi macan luar biasa. Jangan Anda pikir saya takut. Presiden pun akan saya hancurkan kepalanya kalau memang kamu mau berbuat kurang ajar sama saya. Anak-anak biar selesaikan dengan anak-anak. Kamu nggak perlu seperti itu. Kamu perlu memberi tahu anak tapi tidak dengan ancaman seperti itu. Dan memberikan trauma healing itu bukan sesuatu yang mudah. Sampai terkencing-kencing itu. Dan saya sekarang masih dendam luar biasa itu sampai saya mau hancurkan sekolah itu, pernah. Pernah terjadi. Sampai pada akhirnya semua

berlalu dengan baik. Kepala sekolah kemudian minta maaf, saya katakan saya akan masukkan ini ke koran, ke internet, dan lain sebagainya. Kemudian diselesaikan secara kekeluargaan.

967 968 969 970 971 972 973 974 975 976 977 978

I-Rn : Bapak yang mengacungkan pistol itu.. Bener-bener pistol e Mbak. Bukan pistol mainan. Demi Tuhan Yesus saksinya. Anak saya nomer 2 nggak terima waktu itu. Waktu itu sudah kerja di Indomaret dia. Kakak-kakaknya semua mau dateng mau hancurin anak saya. Bayangkan anak SD mau dihancurkan. Bapak, ibu, kakak-kakak dari anak yang ribut sama anak saya itu. Yang namanya pertengkaran, ribut itu kan

Ketika seorang anak dalam masalah, ibu akan

menolong dan

melindungi.

Ketika seorang anak dalam masalah, ibu akan

menolong dan

melindungi.

Need of nurturance ibu.


(2)

240 979

980 981 982 983 984 985 986 987

wajar saja. Kecuali anaknya sampai melakukan sesuatu yang sudah luar biasa. Main pukul kepala atau apalah. Kalau sekedar berebut itu kan wajar saja. Gitu lho. Dan soalnya sebenarnya sepele saja ceritanya. Tapi itu luar biasa. Salah satu contohnya itu. Jadi jangan main-main dengan saya. 988

989 990 991 992 993 994 995 996 997 998 999 1000 1001 1002 1003

I-Rn

I I-Rn

:

: :

Pernah juga yang nomer 1, yang Alang ini masih kecil juga. He'em.

Masih TK apa ya? TK atau belum TK atau SD saya lupa. Dipaksa dengan teman-teman makan,

makanya saya paksa anak-anak saya tidak bermain di kampung. Mereka tidak punya teman di kampung. Sekedar kenal tapi nggak bermain. Karena trauma itu membuat saya tidak ijinkan anak-anak bermain apalagi mabok dan lain sebagainya. Itu terjadi ketika masih kecil, dia bermain di sekolah. Dipaksa oleh teman-temannya untuk merokok.

Anak dipaksa teman untuk merokok sehingga ibu membatasi pergaulan anak.

Ketika anak memiliki pergaulang yang membahaya kan, ibu membatasin ya.

Ibu sebagai figur otorita.

Ibu sebagai pelindung.

1004 1005 1006 1007 1008 1009 1010 1011 1012 1013 1014 1015 1016 1017 1018 1019 1020 1021 1022

I-Rn : Jadi serpihan-serpihan rokok dikumpulkan, masukkan ke mulut anak saya yang namanya Alang. Dia pulang sambil nangis, saya sedang apa.. mencuci beras untuk saya masak. Mama.. Mama.. Katanya. Apa? Aku tuh dimasukkin rokok. Mulutku penuh dengan ini. Apa.. serpihan rokok. Apa? Mana orangnya? Saya lari, saya kejar setiap orang satu per satu. Soampe ibunya terkencing-kencing minta maaf itu. Saya nggak tahu anaknya mana. Anak saya juga bilang, yang mana anaknya? Enggak tahu. Yang mana? Saya sampai masuk ke kampung, kampung selatan sana. Padahal orang kan kadang ngeri juga menghadapi orang sebelah.

Ketika anak menjadi sasaran kenakalan temannya, ibu akan mencari tahu siapa teman tersebut.

Ketika anak mengalami keadaan yang

membahaya, ibu akan melindungi

Anak menjadi korban bullying teman.

Ibu sebagai pelindung.


(3)

241 1023

1024

Tapi saya nggak ngeri. Saya kejar sampai ketemu orangnya.

1025 1026 1027 1028

I-Rn : Sampai orang tuanya minta maaf juga. Nah kadang-kadang saya bersikap seperti itu. Jadi saya nggak akan biarkan anak saya terluka.

Ibu tidak membiarkan anaknya terluka

Ibu tidak membiarkan anaknya terluka

Ibu sebagai pelindung.

1029 1030 1031 1032 1033 1034 1035 1036 1037 1038 1039 1040 1041 1042 1043 1044 1045

I-Rn :

Tapi kadang-kadang apa yang saya lakukan banyak salah. Justru anak-anak saya yang merasa.. Aku pasti dilindungi. Jadi aku juga keras. Nggak pa-pa. Gitu juga. Jadi itu salah, kesalahan besar juga. Jadi bukan sesuatu perlindungan itu benar terus. Jadi apa yang saya lakukan itu juga banyak-banyak salah juga. Jadi anak-anak kan mencontoh kekerasan saya. Jadi anak-anak saya yang nomer 1 sampai nomer 3 temperamen semua. Begitu. Akhirnya terjadi

pemberontakan dengan saya. Tapi bukan berarti tidak mencintai saya. Saya sangat mengenal anak saya.

Ibu

melindungi anak-anak dengan cara yang keras sehingga anak mencontoh ibu yang temperamen .

Anak meneladani sifat

temperamen ibu.

Ibu sebagai role model.

1046 1047 1048 1049 1050 1051 1052 1053 1054 1055 1056 1057

I

I-Rn I I-Rn

:

: : :

Kalau di rumah gitu, sering adu argumen atau gimana Bu? Sering. Kemudian ribut. Sering. Tapi setelah itu?

Ya makan bersama lagi. Berdoa bersama lagi. Ribut lagi. Itu hal-hal biasa. Apalagi anak-anak semakin tumbuh remaja waktu itu. Jadi ada banyak pendapat yang berbeda. Yang paling diam itu yang nomer 2. Jadi kalau ada ribut-ribut, dia diam. Yang nomer 1, yang nomer 3 ribut.

Sering terjadi perbedaan pendapat dalam keluarga namun responden yang paling diam.

Sering terjadi perbedaan pendapat dalam keluarga namun responden tetap tenang.

Anggota keluarga yang

temperamen.

Responden cukup mampu mengendalik an emosi.

1144 1145 1146 1147 1148 1149 1150 1151

I-Rn : Jadi anak saya nomer 1 tuh, ceritanya dulu sekolah di STM Negeri 1. Itu jurusan gambar pembangunan. Waktu itu dia udah praktik sampai ke Palembang. Sudah dengan biaya yang begitu besar. Saya sudah cari setengah mati untuk biaya hidup di Palembang.

Anak menuntut berbagai kebutuhan namun ibu tidak dapat memenuhi meskipun

Anak menuntut berbagai kebutuhan namun ibu tidak dapat memenuhi.

Ibu sebagai financial support.

Ketidakmam puan ibu untuk memenuhi


(4)

242 1152

1153 1154 1155 1156 1157 1158 1159 1160 1161 1162 1163 1164 1165 1166 1167 1168 1169 1170 1171 1172 1173 1174

Waktu itu. 4 bulan. Pulang dari Palembang, sekolah berapa lama, sudah praktik, sudah hampir selesai, nggak mau sekolah. Dengan

tuntutan dengan motorlah pertama. Yang kedua minta alat-alat yang serba mahal waktu itu. Rapido, flashdisk. Masih mahal. Nggak seperti sekarang. Flashdisk sudah tidak jaman. Rapido sudah model aucad. Autocad. Dulu sudah autocad, tapi rapido masih

dibutuhkan. Nah itu, dengan seribu alasan yang sebetulnya tidak perlu terjadi, dia buat terjadi. Akhirnya dia tidak mau sekolah. Sampai saya katakan kalau gitu mama minta maaf kalau mama salah. Tapi mama mohon please sekolah sampai selesai. Habis itu terserah kamu. Tuhan berkati ya kuliah, nggak Tuhan berkati ya kamu jadi apa saja. Jadilah kamu. Tetap dia nggak mau..

telah berusaha.

semua kebutuhan anak.

Keadaan finansial keluarga yang kurang.

1175 1176 1177 1178 1179 1180 1181 1182 1183 1184 1185 1186

I-Rn : Padahal waktu itu kan harapan saya, ya namanya besarin anak 3, hidup sendiri Mbak. Anakku andai sudah bisa menghidupi dirinya sendiri, bertanggung jawab pada dirinya sendiri, syukur bisa bantu tentang adik-adiknya kan luar biasa. Makanya sekolah STM itu dengan harapan kan tidak harus kuliah tapi sudah dimampukan untuk kerja. Udah punya modal, keterampilan. Ternyata saya hancur.

Ibu berharap dengan keterampila n yang diperoleh di sekolah, anak dapat memenuhi kebutuhan diri dan keluarga.

Ibu berharap dengan keterampila n yang diperoleh di sekolah, anak dapat memenuhi kebutuhan diri dan keluarga.

Harapan ibu agar anak mandiri secara finansial.

Harapan ibu agar anak membantu finansial keluarga.

1300 1301 1302 1303 1304 1305 1306 1307 1308

I-Rn : Terkadang gini Mbak, pendidikan kan penting. Asuhan tu penting, tapi jangan lupa.. Lingkungan juga bisa membentuk sebuah karakter. Kalau lingkungannya terus mendidik mereka untuk melawan orang tuanya, mereka akan ikut melawan. Tetapi itu dulu ketika anak-anak. Nah sekarang setelah mereka

Anak mendapat pengaruh dari asuhan orang tua dan

lingkungan namun anak dapat

Anak memilih nilai-nilai hidup yang diberikan oleh orang dan

lingkungan.

Ibu sebagai pendidik.

Lingkungan sebagai pendidik.

Asertivitas anak dalam


(5)

243 1309

1310 1311 1312 1313 1314 1315 1316 1317 1318 1319

dewasa kan mereka bisa berpikir. Asupan mana yang bisa aku pakai pada pikirku. Kalaupun ada yang memberi masukan (berbicara dengan tetangga sejenak).. kalaupun ada yang berpikir bisa mempengaruhi anak untuk membenci orang tuanya, mereka sudah mulai bisa berpikir, apa alasan saya membenci orang tua saya.

memilih nilai-nilai hidup mereka.

menyeleksi informasi dari

lingkungan

1322 1323 1324 1325 1326 1327 1328 1329 1330

I-Rn : Jadi sekalipun ada pertengkaran, kita kan kemudian bisa saling cerita lagi. Tadi tuh begini-begitu. Tadi mama juga begini-begitu. Oh aku kayak gini. Kamu tadi gini-gini. Tengkar lagi. Ya karena kamu tadi nggak ngomong gini-gini. Ribut lagi. Abis itu makan bersama lagi. Ya terus begitu.

Ibu dan anak saling bertukar pikiran.

Ibu dan anak saling bertukar pikiran.

Komunikasi yang terbuka antara ibu dan anak.

1330 1331 1332 1333 1334 1335 1336 1337 1338 1339 1340 1341 1342 1343 1344 1345 1346 1347 1348 1349 1350 1351 1352 1353

I-Rn : Ketika mereka mendapatkan berkat, di jalan, entah itu rejeki, apapun, ya mereka ingat bahwa mereka punya ibu, punya adik, punya kakak. Akan dinikmati bersama. Mereka tidak menikmati masing-masing. Tidak. Anak-anak juga saya tekankan bahwa hidup harus jadi berkat. Terkadang kita harus merugi karena kita menjadi berkat. Tapi kita mendapatkan berkat luar biasa ketika kita kehilangan berkat itu. Karena kita mau berbagi. Kemudian ketika anak-anak mempunyai sesuatu ya mereka ingat bahwa itu tuh untuk bersama. Dan ketika ada orang lain yang membutuhkan, saya rasa anak-anak berusaha

memberikan apa yang seharusnya diberikan. Karena sudah saya katakan bahwa hidupmu harus menjadi berkat. Contohnya

misalnya. Waktu itu ada berkat luar biasa dari Tuhan, ketika Tuhan

Ibu

mengajarka n anak untuk berbagi dengan sesama.

Ibu

mengajarka n nilai-nilai sosial kepada anak.

Ibu sebagai pendidik.


(6)

244 1354

1355 1356 1357 1358 1359 1360 1361 1362 1363 1364 1365 1366 1367 1368 1369 1370 1371 1372 1373 1374

memberkati anak saya bisa kredit motor pertama kali. Itu kredit lho. Dengan uang cash 3 juta waktu itu. Baru itu. Baru cash. 3 juta dan lainnya kredit. Motor. Kan dia sudah pegang kata-kata orang tua bahwa hidup jadi berkat tidak boleh ingin memiliki semua sendiri. Dipinjamin itu motor sampai jatuh. Dia sampai dipanggil kepala tokonya, kapan ganti rugi dan sebagainya. Dia juga nggak mau. Dan terkadang itu juga timbul rasa kecewa, kenapa ndadak rusak barang. Lalu terkadang bukankah ada barang itu, itu berkat dari Tuhan? Nah ketika orang lain mau pakai ya mungkin saja itu juga cara Dia supaya kita bisa berbagi berkat. Pokoknya yang penting hidup itu harus bisa berguna bagi orang lain. 1376

1377 1378 1379 1380 1381 1382

I-Rn : Walaupun itu tidak bisa diterapkan sepenuh hati, semaksimal mungkin, tapi setidaknya saya tekankan itu sama anak-anak. Itu harus.

Walaupun apa yang terkadang kita lakukan justru jadi cemoohan orang, harus jadi hinaan orang.

Ibu mendidik anak untuk melakukan ajarannya meski dihina orang.

Ibu

memotivasi anak untuk melakukan didikannya.

Ibu sebagai pendidik.

1528 1529 1530 1531 1532 1533 1534 1535 1536 1537

I-Rn : Karena saya memang keras kepada anak-anak. Untuk anak saya nomer 2 ini, luar biasa juga Mbak.

Merokok pun tidak. Yang nomer satu merokok. Kalau nomer dua ini tidak sama sekali. Untuk apa sih merokok bergaya-gaya nggak ada manfaatnya. Uang habis. Setiap kali minta uang cuma buat dibakar kan? Nggak ada manfaatnya.

Responden tidak merokok karena dianggap tidak bermanfaat.

Responden memiliki prinsip dalam dirinya.

Responden memiliki prinsip dalam dirinya.